Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan
 Untuk mengetahui bagaimana hubungan struktur kelarutan dan aktivitas biologis
obat.

1.3 Rumusan Masalah


 Bagaimana hubungan struktur kelarutan dan aktivitas biologis obat ?

BAB II
ISI
2.1 Hubungan Kelarutan Dengan Aktivitas Biologis Obat

 Aktivitas Biologis Senyawa Seri Homolog


Suatu seri homolog senyawa sukar terdisosiasi, yang perbedaan strukturnya hanya
menyangkut perbedaan jumlah dan panjang rantai atom C, ternyata intensitas efek
biologisnya tergantung pada jumlah atom C.
Contoh senyawa seri homolog :
1. n-Alkohol, alkilresorsinol, alkilfenol dan alkilkresol (antibakteri).
2. Ester asam para-aminobenzoat (anestesi setempat).
3. Alkil 4,4’-stilbenediol (hormon estrogen).
Makin panjang rantai samping atom C, makin bertambah bagian molekul yang
bersifat non polar dan terjadi perubahan sifat fisik, seperti kenaikan sifat didih,
berkurangnya kelarutan dalam air, serta meningkatnya koefisien partisi lemak/air,
tegangan permukaan dan kekentalan. Perubahan sifat fisik ini diikuti dengan peningkatan
aktivitas biologis sampai tercatat aktivitas maksimum. Bila panjang rantai atom C terus
ditingkatkan akan terjadi penurunan aktivitas secara drastis. Hal ini disebabkan dengan
makin bertambahnya jumlah atom C, makin berkurang kelarutan senyawa dalam air, yang
berarti kelarutan dalam cairan luar sel juga berkurang, sedang kelarutan senyawa dalam
cairan luar sel berhubungan dengan proses pengangkutan obat ke sisi kerja (site of action)
atau reseptor. Oleh karena itu kelarutan dan koefisien partisi lemak/air merupakan sifat
fisik penting dari senyawa seri homolog untuk dapat menghasilkan aktivitas biologis.
Contoh seri homolog :
1. Seri homolog n-alkohol
Seri homolog n-alifatik alkohol primer, pada jumlah atom C 1 sampai C7
menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Bacillus typhosus yang makin meningkat
dan mencapai maksimum pada jumlah atom C = 8. pada jumlah atom C lebih besar 8
aktivitasnya menurun dengan drastis. Terhadap Staphylococcus aureus aktivitasnya
mencapai maksimum pada jumlah atom C = 5.
Rantai alkohol yang bercabang, seperti alkohol sekunder dan tersier,
mempunyai kelarutan dalam air lebih besar, nilai koefisien partisi lemak/air lebih
rendah dibanding alkohol primer sehingga aktivitas antibakterinya lebih kecil.
Contoh : aktivitas n-heksanol 2 kali lebih besar dibanding heksanol sekunder
dan 5 kali lebih besar dibanding heksanol tersier. Adanya ikatan rangkap dapat
meningkatkan kelarutan dalam air dan menurunkan aktivitas antibakteri.
Alkohol dengan berat molekul besar, seperti : setilalkohol, praktis tidak larut
dalam air sehingga tidak berkhasiat sebagai antibakteri,
2. Seri homolog 4-n-alkilresorsinol
Aktivitas antibakteri terhadap Bacillus typhosus mencapai maksimum pada jumlah
atom C = 6, dan terhadap Staphylococcus aureus aktivitas maksimum dicapai pada
jumlah atom C = 9.
3. Seri homolog ester asam vanilat
Tabel hubungan seri homolog ester asam vanilat dengan aktivitas anti bakterinya
terhadap Staphylococcus aureus.
Ester asam vanilat Koefisien fenol terhadap Staphylococcus aureus
Metil 1,7
Etil 7,3
n-propil 33,4
Isopropil 11,2
4. Seri homolog ester asam para-hidroksi benzoat
Tabel hubungan struktur seri homolog ester asam para-hidroksi benzoat dengan nilai
koefisien partisi dan aktivitas anti bakteri terhadap Staphylococcus aureus
Ester PHB Koefisien Partisi Koefisien fenol terhadap
Staphylococcus aureus
Metil 1,2 2,6
Etil 3,4 7,1
n-propil 13 15
Isopropil 7,3 13

 Hubungan Koefisien Partisi dengan Efek Anestesi Sistemik


Koefisien partisi kali pertama dihubungkan dengan aktivitas biologis obat-obat
penekan sistem saraf pusat, yaitu: efek hipnotik dan anestesi oleh Overton dan Meyer
(1899).
Mereka memberikan 3 postulat yang berhubungan dengan efek anestesi suatu
senyawa, yang dikenal dengan teori lemak, sebagai berikut:
a. Senyawa kimia yang tidak reaktif dan mudah larut, dalam lemak seperti eter,
hidrokarbon, dan hidrokarbon terhalogenasidapat memberikan efek narkosis pada
jaringan hidup sesuai dengan kemampuannya untuk terdistribusi ke dalam jaringan sel.
b. Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yng banyak mengandung lemak, seperti sel
saraf.
c. Efisiensi anestesi tergantung pada koefisien partisi lemak/air atau distribusi senyawa
dalam fasa lemak dan fasa air jaringan.
Dari postulat diatas dismpulkan bahwa ada hubungan antara aktivitas anestesi
dengan koefisien partisi lemak/air.
Wulf dan Featherstone (1957), mengemukakan teori anestesi sistemik yang dikenal
sebagai teori ukuran molekul.
Beberapa bahan anestetika yang tidak reaktif, dapat menimbulkan efek anestesi
sistemik karena ada hubungan mendasar antara sifat molekul dengan efek penekan sistem
saraf pusat. Mereka menganggap bahwa tetapan molekul suatu senyawa dengan ada
tidaknya potensi anestesi. Tetapan volume molekul dapat dicari melalui persamaan vander
walls sebagai berikut:
(p + a/V2) (V – b) = Rt
a = tetapan kepolarisasian gas ideal
b = tetapan volume molekul
Pauling (1961), mengemukakan suatu teori anestesi yang penekanannya tidak pada
fasa lemak sistem saraf pusat tetapi pada fasa air, yang dikenal dengan teori klatrat atau
teori air.
Obat anastetika yang berupa gas atau larutan mudah menguap dan bersifat inert,
seperti xenon dan kloroform, mempunyai potensiasi samadan hanya berbeda pada
kemampuannya untuk mencapai reseptor. Pada percobaan in vivo, xenono dan kloroform
dalam lingkungan air dapat membentuk mikrokristal hidrat (klatrat) yang stabil. Pauling
menganggap bahwa pada in vivo, xenon dan kloroform akan menduduki ruang-ruang
yang berisi molekul air, kemudian bersama-sama dengan rantai protein dan zat terlarut
lain mengubah struktur media air yang mengelilinginya sehingga lebih terorganisasi dan
terstabilkan oleh ikatan van der Waals, membentuk mikrokristal hidrat. Mikrokristal
hidrat yang stabil ini dapat menyebabkan perubahan daya hantar rangsangan elektrik
yang diperlukan untuk memelihara kesadaran mental sehngga timbul efek anestesi.

 Prinsip Ferguson
Pada prinsip Ferguson, banyak senyawa seri homolog aktivitasnya akan meningkat
sesuai dengan kenaikan jumlah atom C.
Fuhner ( 1904), mendapatkan bahwa untuk mencapai aktifitas sama, anggota seri
homolog yang lebih tinggi memerlukan kadar yang lebih rendah sesaui dengan
persamaan deret ukur sebagai berikut:
1/31, 1/32, 1/33, 1/34,....................... 1/3n
Contoh: seri homolog obat penekan sistem saraf pusat, seperti turunan alkohol, keton,
amin, ester, uretan, dan hidrokarbon.
Perubahan sefat fisik tertentu dari suatu seri homolog, seperti tekanan uap,
kelarutan dalam air, tegangan permukaan dan distribusi dalam pelarut tidak tercampur,
kadang-kadang juga sesuai dengan persamaan deret ukur.
Sifat-sifat fisik secara umum melibatkan distribusi pada beberapa macam fasa.
Contoh:
a. Kelarutan, melibatkan distribusi antara suatu padatan atau cairan dan larutan
jenuhnya.
b. Tegangan permukaan, melibatkan distribusi antar larutan dan permukaan.
c. Tekanan uap, melibatkan distribusi antara cairan dan uap.
Menurut Ferguson, kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangan
distribusi pada fasa-fasa yang heterogen, yaitu fasa eksternal, yang kadar senyawanya
dapat diukur, dan biofasa.
Ferguson menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu menentukan kadar obat
dalam biofasa (reseptor) karena pada keadaan keseimbangan kecenderungan obat untuk
meninggalkan biofasa dan fase eksternal adalah sama, walaupun kadar obat dalam tiap
fasa mungkin berbeda. Kecenderungan obat untuk meninggalkan fasa disebut aktivitas
termodinamik.
Untuk menjelaskan kecenderungan obat dalam meninggalkan biofasa dan fasa
eksternal, derajat kejenuhan masing-masing fasa merupakan pendekatan yang cukup
beralasan.
Contoh hubungan aktivitas biologis obat dengan aktifitas termodinamik:
a. Seri homolog n-alkohol primer, kadar antibakteri terhadap Bacillus typhosus
bervariasi antara 0,0034-10,8 mol/liter, sedang aktifitas termodinamiknya berkisar
antara 0,33-0,88.
b. Obat penekan sistem saraf pusat yang berupa gas atau uap, seperti nitrogen
oksida, etil klorida, kloroform, asetilen, dietil formaldehid, dan eter, kadar
isonarkotik bervariasi antara 0,5-100%, sedang aktifitas termodinamiknya berkisar
antara 0,01-0,07.

 Model Kerja Obat


Berdasarkan model kerja farmakologisnya, secara umum obat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :
1. Senyawa Berstruktur Tidak Khas
Senyawa berstruktur tidak khas adalah senyawa dengan struktur kimia bervariasi,
tidak berinteraksi dengan reseptor khas dan aktivitas biologisnya secara langsung
dipengaruhi oleh struktur kimia tetapi lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika,
seperti derajat ionisasi kelarutan, aktivitas termodinamik, tegangan permukaan dan
redoks potensial. Terlihat bahwa efek biologis terjadi karena terkumpulnya obat pada
daerah penting dari sel sehingga menyebabkan ketidakteraturan rantai proses
metabolisme.
Senyawa berstruktur tidak khas menunjukkan aktivitas fisik dengan karakteritik
sebagai berikut :
a. Efek biologis berhubungan langsung dengan aktivitas termodinamik dan untuk
menimbulkan efek memerlukan dosis yang relative besar.
b. Walaupun perbedaan struktur kimia besar, asal mempunyai aktivitas termodinamik
sama akan memberikan efek yang sama pula.
c. Ada kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
d. Bila terjadi kesetimbangan, aktivitas termodinamik masing-masing fasa harus
sama.
e. Pengukuran aktivitas termodinamik pada fasa eksternal juga mecerminkan
aktivitas termodinamik biofasa.
f. Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa gas atau uap dapat dihitung
melalui persamaan sebagai berikut :
a  Pt Ps

Pt : Tekanan parsial senyawa dalam larutan yang diperlukan untuk menimbulkan


efek biologis
Ps : Tekanan uap jenuh senyawa
Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa larutan dapat dihitung melalui
persamaan sebagai berikut :
a  St So

St : Kadar molar senyawa yang diperlukan untuk menimbulkan efek biologis


So : Kelarutan senyawa
g. Senyawa dengan derajat kejenuhan sama mempunyai aktivitas termodinamik sama
sehingga derajat efek biologis sama pula. Oleh karena itu larutan jenuh dari
senyawa dengan struktur yang berbeda dapat memberikan efek biologis yang
sama.
Contoh senyawa yang berstruktur tidak khas :
1. Obat anastesi sistemik yang berupa gas atau uap, seperti etil klorida, asetilen,
nitrogen oksida, eter dan kloroform.
Nama gas/uap P uap (Ps) Kadar anastesi P parsial (a)
mm. (% vol) (Pt) mm (Pt/Ps)
Nitrogen oksida 59,3 100 760 0,01
Etilen 49,5 80 610 0,01
Asetilen 51,7 65 495 0,01
Etil klorida 1,78 5 38 0,02
Hubungan Kadar Isoanastesi Beberapa Obat Anastesi, yang Berupa Uap atau
Gas, dengan Aktivitas Termodinamik, pada Manusia (pada suhu 37oC)
2. Insektisida yang mudah menguap dan bakterisida tertentu, seperti timol, fenol,
kresol, n-alkohol dan resorsinol.
Nama Obat Kadar Bakterisid Kelarutan (So), (a)
(St), Molar Molar,25oC (St/So)
Timol 0,0022 0,0057 0,38
Oktanol 0,0034 0,0040 0,88
O-kresol 0,039 0,23 0,17
Fenol 0,097 0,90 0,11
Hubungan Kadar Bakterisid Beberapa insektisida yang mudah menguap
terhadap Salmonella typhosa dengan Aktivitas Termodinamik

2. Senyawa Berstruktur Khas


Senyawa berstruktur khas adalah senyawa yang memberikan efeknya dengan mengikat
reseptor atau aseptor yang khas.
Mekanisme kerjanya dapat melewati salah satu cara berikut yaitu:
a) Bekerja pada enzim, yaitu dengan cara pengaktifan, penghambatan atau
pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
b) Bekerja sebagai antagonis, secara antagonis kimia, fungsional, farmakologis,
atau anatgonis metabolik.
c) Menekan fungsi gen, yaitu dengan menghambat biosintesis asam nukleat atau
sintesis protein.
d) Bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran sel dan
mempengaruhi sistem pengangkutan membran sel.
Aktivitas biologis senyawa berstruktur khas tidak tergantung pada struktur kimia yang
khas tidak bergantung pada aktivitas termodinamik (nilai a lebih kecil dari 0,01) tetapi
lebih tergantung pada struktur kimia yang khas. Kereaktifan kimia, bentuk, ukuran dan
pengaturan stereo kimia molekul, distribusi gugus fungsional, efek induksi dan
resonansi, distribusi elektronik dan interaksi dengan reseptor mempunyai peran yang
menentukan untuk terjadinya aktifitas biologis
Senyawa berstruktur khas mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a) Efektif pada kadar yang rendah .
b) Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
c) Melibatkan ikatan-ikata kimia yang lebih kuat dibanding pada ikatan senyawa
yang berstruktur tidak khas.
d) Pada keadaan kesetimbangan aktivitas biologisnya maksimal.
e) Sifat fisik dan kimia sama-sama berperan dalam menentukan efek biologis.
f) Secara umum mempunyai struktur dasar karakteristik yang bertanggung jawab
terhadap efek biologis senyawa analog.
g) Sedikit perubahan struktur dapat mempengaruhi secara drastis aktivitas
biologis obat.
Contoh obat yang berstruktur khas: obat antikanker, antimalaria, antibiotika, obat
adrenergik, antihistamin, dan diuretik.

BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Farmakologi dan Terapi Edisi keempat. Gaya Baru. Jakarta

Siswando, dan Bambang Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press.
Surabaya
Tjay, Tan Hoan. 2002. Obat-Obat Penting Edisi kelima. PT. Elex Media Kompotindo. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai