Anda di halaman 1dari 29

OSTEOPOROSIS

2.1 Pengertian Osteoporosis


Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous
berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos,
yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau
berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan
tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang ( Tandra, 2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma,
Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang
yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas
jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan
tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan
kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi
oleh meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan
gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007).
Tulang adalah jaringan yang hidup dan terus bertumbuh. Tulang mempunyai
struktur, pertumbuhan dan fungsi yang unik. Bukan hanya memberi kekuatan dan
membuat kerangka tubuh menjadi stabil, tulang juga terus mengalami perubahan.
Tulang yang terkena osteoporosis dapat patah (fraktur) karena cedera kecil yang
biasanya tidak akan menyebabkan tulang patah. Fraktur tersebut dapat berupa
retak/remuk, seperti patah tulang pinggul, atau patah (seperti pada tulang belakang.
Bagian punggung, pinggul, rusuk, dan pergelangan tangan merupakan daerah umum
terjadinya patah tulang akibat osteoporosis, meskipun fraktur osteoporosis dapat terjadi
pada semua tulang rangka.
2.2 Epidemiologi
Osteoporosis merupakan masalah kesehatan utama global yang menyebabkan lebih
dari 200 juta patah tulang osteoporosis di seluruh dunia setiap tahun, termasuk 1,6 juta
fraktur panggul. Di Amerika Serikat pada tahun 2005, ada sekitar dua juta patah tulang
diperkirakan terkait osteoporosis, termasuk sekitar 547.000 patah tulang belakang,
297.000 patah tulang pinggul (hip), 397.000 patah tulang pergelangan tangan, 135.000
patah tulang panggul (pelvic), dan 675.000 patah tulang di tempat lain. Jumlah seluruh
patah tulang di Amerika Serikat diproyeksikan mencapai lebih dari 3 juta tahun 2025.
Meskipun hanya sekitar seperempat sampai sepertiga dari patah tulang belakang
yang terbukti secara klinis, ini dapat menyebabkan hilangnya tinggi badan, kyphosis,
penyakit paru restriktif, distensi perut dan meningkatkan angka kematian. Fraktur
pinggul (hip) adalah fraktur paling banyak yang terkait dengan osteoporosis. Sekitar
50% dari pasien yang patah tulang pinggul kehilangan kemampuan untuk berjalan
secara mandiri, sekitar 24% wanita dan 30% pria meninggal dalam satu tahun pertama.
Osteoporosis menyebabkan lebih dari 8,9 juta kasus fraktur setiap tahun di dunia,
dimana 4,5 juta kasus terjadi di Amerika dan Eropa. Saat ini diperkirakan ada sekitar
0,3 juta fraktur panggul pertahun di Amerika Serikat dan 1,7 juta di Eropa.
Hampir semua peristiwa ini dikaitkan dengan osteoporosis, baik primer atau
sekunder. Rasio wanita dan pria pada fraktur pinggul 2:1. Insiden fraktur pergelangan
tangan di Inggris dan Amerika berkisar 400-800 per 100.000 wanita. Fraktur kompresi
tulang belakang jauh lebih sulit untuk diperkirakan karena sering tanpa gejala.
Diperkirakan lebih dari satu juta wanita pasca menopause Amerika akan mengalami
patah tulang tulang belakang dalam perjalanan satu tahun. Diperkirakan 40% wanita
dan 13% pria berusia 50 tahun dan lebih tua akan mengalami patah tulang osteoporosis
pada kehidupan mereka. Ada kecenderungan angka kematian di masa depan akan
meningkat menjadi 47% untuk wanita dan 22% untuk pria.
2.3 Etiologi Osteoporosis
Etiologi Osteoporosis secara garis besarnya dikelompokan ke dalam 3 kategori:
1. Penyebab primer : menopause, usia lanjut, penyebab lain yang tidak
diketahui.
2. Penyebab sekunder: pemakaian Obat kortikosteroid, gangguan metabolism,
gizi buruk, penyerapan yang buruk, penyakit tulang sumsum, gangguan fungsi
ginjal, penyakit hepar, penyakit paru kronis, cedera urat saraf belakang,
rematik, transplasi organ.
3. Penyebab secara kausal: Osteoporosis juga dapat dikelompokan berdasarkan
penyebab penyakit atau keadaan dasarnya :
a. Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kurangnya hormon estrogen
(hormon utama pada perempuan ), yang membantu pengangkutan kalsium
ke- dalam tulang pada perempuan. Biasanya gejala timbul pada peempuan
yang berusia antara 51 – 75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih
lambat. Tidak semua perempuan memiliki risiko yang sama untuk
menderita osteoporosis postmenopausal, perempuan kulit putih dan daerah
timur lebih rentan menderita penyakit ini daripada kulit hitam.
b. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara
kecepatan hancurnya tulang ( osteoklas ) dan pembentukan tulang baru (
osteoblas ). Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut
yaitu terjadi pada orang – orang berusia di atas 70 tahun dan 2 kali lebih
sering pada perempuan.
c. Kurang dari 5 % klien osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder,
yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat – obatan. Penyakit ini
disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal ( terutama tiroid,
paratiroid, dan adrenal ) serta obat – obatan ( misalnya kortikosteroid,
barbiturate, antikejang, dan hormone tiroid yang berlebihan ). Pemakaian
alcohol yang berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini.
d. Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak – anak dan dewasa
muda yang memiliki kadar dan fungsi hormone yang normal, kadar vitamin
yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuh yang
jelas.
Faktor-faktor etiologi yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia lanjut
adalah :
1. Determinan Massa Tulang
Massa tulang maksimal pada usia dewasa ditentukan oleh berbagai faktor
antara lain :
a. Faktor genetic
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap kepadatan tulang .
b. Faktor mekanik
Beban mekanik berpengaruh terhadap massa tulang, bertambahnya beban
akan menambah massa tulang dan berkurangnya massa tulang. Ada
hubungan langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua
hal tersebut menunjukkan respon terhadap kerja mekanik. Beban mekanik
yang berat akan mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang
yang besar.
c. Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup
(protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai
dengan pengaruh genetic yang bersangkutan
2. Determinan pengurangan massa tulang
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan massa tulang pada usia
lanjut yang dapat mengakibatkan fraktur osteoporosis pada dasarnya sama seperti
pada faktor-faktor yang mempengaruhi massa tulang.
a. Faktor genetic
Faktor genetik berpengaruh terhadap resiko terjadinya fraktur. Pada
seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat resiko
fraktur dari seseorang denfan tulang yang besar.
b. Faktor mekanis
Pada umumnya aktifitas fisik akan menurun dengan bertambahnya usia dan
karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanik, massa tulang
tersebut pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.
c. Faktor lain
1. Kalsium
Kalsium merupakan nutrisi yang penting, dengan masukan kalsium
yang rendah dan absorbsinya tidak baik akan mengakibatkan
keseimbangan kalsium yang negatif begitu sebaliknya.
2. Protein
Protein yang berlebihan akan mengakibatkan kecenderungan
keseimbangan kalsium yang negative.
3. Estrogen
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium, karena
menurunnya efisiensi absorbsi kalsium dari makanan dan juga
menurunnya konservasi kalsium diginjal.
4. Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan
mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai
masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh rokok terhadap
penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat
memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.
5. Alkohol
Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan
kalsium yang rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang
meningkat. Mekanisme yang pasti belum diketahui.
2.4 Patofisiologi Osteoporosis
Setelah menopause, kadar hormon estrogen semakin menipis dan kemudian tidak
diproduksi lagi. Akibatnya, osteoblas pun makin sedikit diproduksi. Terjadilah
ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan tulang. Osteoklas
menjadi lebih dominan, kerusakan tulang tidak lagi bisa diimbangi dengan
pembentukan tulang. Untuk diketahui, osteoklas merusak tulang selama 3 minggu,
sedangkan pembentukan tulang membutuhkan waktu 3 bulan. Dengan demikian,
seiring bertambahnya usia, tulang-tulang semakin keropos (dimulai saat memasuki
menopause) dan mudah diserang penyakit osteoporosis.

2.5 Diagnosis Osteoporosis


Hingga saat ini deteksi dini osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang
tidak memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnosis
penyakit osteoporosis terkadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang
punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada
orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 3040%
baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional
2.5.1 Gejala Klinik
Gejala klinik dapat ditemukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pengenalan terhadap faktor risiko osteoporosis akan sangat membantu dalam
pendekatan diagnosis osteoporosis. Seorang dokter harus waspada terhadap
kemungkinan osteoporosis bila didapatkan : 1) patah tulang akibat trauma yang
ringan, 2) tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang, 3) secara
kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas. Evaluasi klinis terhadap
penderita osteoporosis diarahkan pada identifikasi faktor risiko.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada anamnesis faktor risiko
osteoporosis :
1. Riwayat fraktur akibat trauma minimal, penurunan tinggi badan atau
peningkatan kifosis torakal.
2. Penyakit-penyakit yang dapat menjadi predisposisi osteoporosis :
a. Penyakit endokrin, misalnya sindroma cushing, diabetes melitus, penyakit
tiroid, penyakit Adison, hiperparatiroidisme, hipogonadisme, menopause
dini atau operasi ovarium yang menyebabkan menopause dini.
b. Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal, riwayat transplantasi ginjal, riwayat
urolithiasis (hiperkalsiuria).
c. Penyakit hati, misalnya sirosis bilier primer, transplantasi hati.
d. Kemungkinan defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang jarang
terpajan dengan sinar matahari.
e. Penyakit hematologik, misalnya multiple myeloma, anemia sideroblastik,
talasemia.
f. Penyakit syaraf, dalam hal ini berbagai obat anti epileptik, seperti dilantin
dan fenobarbital, ternyata dalam menurunkan densitas massa tulang.
g. Penyakit gastrointestinal, misalnya sindroma malabsorpsi, penyakit kolon
inflamatif, reseksi usus.
h. Penyakit rematik, misalnya reumatoid arthritis, spondilosis ankilosis,
penyakit Reiter.
3. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat menebabkan osteoporosis, seperti
kortikosteroid jangka panjang > 3 bulan, obat anti epilepsi, siklosporin, litium.
4. Riwayat menopause dan riwayat kehamilan.
5. Anamnesis asupan gizi, terutama asupan kalsium.
6. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat menjadi faktor risiko osteoporosis,
seperti merokok, minum alkohol, kurang olahraga.
7. Riwayat terjatuh dan bagaimana penderita berusaha mengurangi faktor risiko
ini.
8. Riwayat kelainan payudara, genitalia dan penyakit vaskules yang mungkin akan
mempengaruhi keputusan pemberian terapi pengganti hormonal.
Pada pemeriksaan fisik, tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap
pasien osteoporosis. Demikian juga dengan gaya berjalan pasien, deformitas
tulang, leg-length inequality, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher (bekas
operasi tiroid). Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal, yang berupa
tetani. Biasanya didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi
metakarpalpalangeal dan ekstensi sendi-sendi interpalangeal.
2.5.2 Pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium berupa penanda biokimiawi tulang
Penentuan massa tulang secara radiologis penting untuk menentukan
diagnosis osteoporosis, akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang
proses dinamis penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat
menunjukkan derajat kecepatan kehilangan tulang. Biopsi tulang dan
parameter biokimiawi dapat memberikan gambaran ini dengan jelas, tetapi
biopsi tulang merupakan prosedur yang invasif, sehingga sulit untuk
dilaksanakan secara rutin, baik untuk uji saring maupun untuk pemantauan
pengobatan. Sehingga satu satunya pilihan untuk menentukan bone
turnover adalah parameter atau penanda biokimiawi.
Indikasi analisis penanda tulang yang utama adalah wanita berusia dengan
risiko osteoporosis, masa perimenopause sampai senilis, mendampingi
pengukuran BMD. Juga dianjurkan pada semua orang dengan sangkaan
osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid yang lama, merokok,
konsumsi alkohol, kecenderungan fraktur karena trauma ringan, riwayat
keluarga dan artritis reumatoid. The Expert Committee of the Committee of
Scientific Advisors of the Tnternational Osteoporosis Foundation,
merekomendasikan pada osteoporosis pasca menopause dengan terapi
sulih hormon atau bisfosfonat, dengan mengukur 1 atau 2 parameter,
masing-masing proses formasi dan resorpsi tulang, yaitu osteocalsin,
BSAP, P1NP untuk formasi tulang, serta β-Cross Laps (CTx) dan U-DPD
untuk resorpsi tulang. Pengambilan spesimen darah sebaiknya dilakukan
pagi hari setelah puasa semalam dan sebaiknya disertai koreksi kreatinin.
Dianjurkan pemeriksaan dilakukan sebelum memulai terapi, lalu
pemeriksaan penanda resorpsi tulang dilakukan 3/6 bulan dan penanda
formasi 6 bulan kemudian. Penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa
kadar interleukin-6 dan RANK-ligand yang tinggi dalam serum merupakan
faktor risiko terhadap kejadian osteoporosis pada wanita pascamenopause
defisiensi estrogen. Akan tetapi sayangnya pemeriksaan dari kedua
komponen tersebut belum dapat dilakukan secara rutin di laboratorium.
B. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi untuk menilai densitas tulang sangat tidak sensitif.
Nilai diagnostik pemeriksaan radiologi biasa untuk menilai osteoporosis
dini, kurang memuaskan, karena pemeriksaan ini baru dapat mendeteksi
osteoporosis setelah penurunan densitas massa tulang lebih dari 30%.
Gambaran radiologi yang khas pada osteoporosis adalah penipisan kortek
dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan terlihat akan tampak
terlihat pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-
frame vertebra. Pada tulang-tulang vertebra, pemeriksaan radiologi
anteoposterio dan lateral sangat baik untuk mencari adanya fraktur
kompresi, fraktur baji atau fraktur bikonkaf.
C. Pemeriksaan densitas massa tulang
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan presisi untuk
menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai
faktor prognosis, prediksi fraktur dan diagnosis osteoporosis. Berbagai
metode yang dapat digunakan untuk menilai massa tulang adalah single
photon absorptiometry (SPA), dual photon absorptiometry (DPA), X-ray
Absorptiometry (ada dua jenis, yaitu Single X-ray Absorptiometry = SXA
dan Dual Energy X-ray Absorptiometry = DEXA) dan quantitative
computer tomography (QCT).
2.6 Penatalaksanaan Osteoporisis
2.6.1 Non Farmakologi
A. Edukasi dan Pencegahan
Osteoporosis dapat menyerang siapa saja, termasuk individu-individu yang
yang sangat hati-hati dengan gaya hidupnya, mereka makan dengan benar,
berolahraga secara teratur, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol
atau hanya dengan jumlah yang sedikit dan tidak memiliki penyakit, kondisi
atau menggunakan obat yang mungkin merupakan predisposisi
osteoporosis. Pasien osteoporosis yang gaya hidup mereka tidak menentu
harus konseling tentang semua kegiatan mereka dalam kehidupan sehari-
hari agar memungkinkan untuk memperlambat perkembangan keropos
tulang.
Pasien dengan patah tulang belakang sangat membutuhkan petunjuk
khusus mengenai perubahan dalam aktivitas hidup sehari-hari, seperti
belajar membungkuk, mengangkat dan sebagainya sehingga tidak
menambah stres dan ketegangan pada tulang belakang. Saran serupa juga
harus diberikan kepada mereka dengan massa tulang yang sangat rendah
tetapi belum retak. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam edukasi dan
pencegahan, sebagai berikut :
1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur untuk
memelihara kekuatan, kelenturan dan keseimbangan sistem
neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko
terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60
menit per hari, bersepeda maupun berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-
hari maupun suplementasi.
3. Hindari merokok dan minum alkohol.
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testesteron pada
laki-laki dan menopause awal pada perempuan.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
osteoporosis.
6. Hindari mengangkat barang yang berat pada penderita yang sudah pasti
osteoporosis.
7. Hindari berbagai hal yang dapat membuat penderita terjatuh, seperti
lantai licin, obat-obat sedatif atau obat anti hipertensi yang dapat
menimbulkan hipotensi orthostatik.
8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang kurang terpajan
sinar matahari atau penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE
(Systemic Lupus Erythematosus). Bila di duga ada defisiensi vitamin D,
maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila kadar 25(OH)D
serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800
IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal
ginjal, suplementasi 12,5(OH)2D harus dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi
asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan resorpsi
kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium > 300 mg/hari, berikan
diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan
jangka panjang, usahakan pemberian glokokortikoid pada dosis
serendah mungkin dan sesingkat mungkin.
11. Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat
penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi
nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat artritis inflamasi yang
aktif.
B. Latihan dan program rehabilitasi
Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita
osteoporosis karena dengan latihan teratur penderita akan lebih lincah,
tangkas dan kuat ototototnya sehingga tidak mudah jatuh. Selain itu latihan
juga akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan
biofisikoelektrokimikal yang akan meningkatkan remodelling tulang. Pada
penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan adalah
pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah
osteoporosis, maka latihan dimulai dengan tanpa beban, kemudian
ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan dengan
pembebanan yang adekuat.
Latihan (olahraga) merupakan bagian yang sangat penting pada
pencegahan maupun pengobatan osteoporosis. Program olahraga bagi
penderita osteoporosis sangat berbeda dengan olahraga untuk pencegahan
osteoporosis. Gerakan-gerakan tertentu yang dapat meningkatkan risiko
patah tulang harus dihindari. Jenis olahraga yang baik adalah dengan
pembebanan dan ditambah latihan kekuatan otot yang disesuaikan dengan
usia dan keadaan individu masing-masing. Dosis olahraga harus tepat
karena terlalu ringan kurang bermanfaat, sedangkan terlalu berat pada
wanita dapat menimbulkan gangguan pola haid yang justru akan
menurunkan densitas tulang. Jadi olahraga sebagai bagian dari pola hidup
sehat dapat menghambat kehilangan mineral tulang, membantu
mempertahankan postur tubuh dan meningkatkan kebugaran secara umum
untuk mengurangi risiko jatuh.
2.6.2 Farmakologi
Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja
osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-obat yang
beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat anti resorpsi
misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak
mempunyai efek anti resorpsi maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk
optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel osteoblas.
A. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis.
Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat yang
diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi
tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan
menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan
enzim lisosomal di bawah osteoklas. Pemberian bisfosfonat secara oral akan
diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk (kurang dari 55 dari dosis
yang diminum). Absorpsi juga akan terhambat bila diberikan bersama-sama
dengan kalsium, kation divalen lainnya, dan berbagai minuman lain kecuali air.
Idealnya diminum pada pagi hari dalam keadaan perut kosong. Setelah itu
penderita tidak diperkenankan makan apapun minimal selama 30 menit, dan
selama itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak boleh berbaring. Sekitar
20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang
setelah 12-24 jam.
Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat
akan tetap berada di dalam tulang selama berbulanbulan bahkan bertahun-
tahun, tetapi tidak aktif lagi. Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak
akan mengalami metabolism di dalam tubuh dan akan diekresikan dalam bentuk
utuh melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya pada penderita gagal
ginjal. Efek samping bisfosfonat adalah refluks esofagitis, osteonekrosis jaw,
hipokalsemia dan atrial fibrilasi. Oleh sebab itu, penderita yang memperoleh
bisfosfonat harus diperhatikan asupan kalsiumnya.
Jenis bisfosfosnat yang dapat digunakan untuk terapi osteoporosis:
1. Risedronat, merupakan aminobisfosfonat generasi ketiga yang sangat
poten. Untuk mengatasi penyakit paget diperlukan dosis 30 mg/hari selama
2 bulan, sedangkan untuk osteoporosis diperlukan dosis 35 mg/minggu
atau 5 mg/hari secara kontinyu atau 75 mg 2 hari berturut-turut sebulan
sekali atau 150 mg sebulan sekali. Kontra indikasi pemberian risedronat
adalah hipokalsemia, ibu hamil, menyusui dan gangguan ginjal (creatinine
clearance < 30 ml/menit).
2. Alendronat, merupakan aminobisfosfonat yang poten. Untuk terapi
osteoporosis dapat diberikan dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu,
karena tidak mengganggu mineralisasi tulang. Saat ini dikembangkan dosis
70 mg seminggu sekali. Untuk pencegahan osteoporosis pada wanita pasca
menopause dan osteoporosis induce glukkortikoid diberikan dosis 5 mg/dl.
Untuk penyakit paget diberikan dosis 40 mg/hari selama 6 bulan.
Alendronat tidak direkomendasikan pada penderita gangguan ginjal
(creatinine clearance < 35 ml/menit).
3. Ibandronat, juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga. Pemberian peroral
untuk terapi osteoporosis dapat diberikan 2,5 mg/hari atau 150 mg sebulan
sekali. Ibandronat juga dapat diberikan intravena dengan dosis 3 mg, 3
bulan sekali. Kontra indikasi pemberian ibandronat adalah hipokalsemia.
4. Zoledronat, bisfosfonst terkuat yang ada saat ini. Sediaan yang ada adalah
sediaan intravena yang harus diberikan per drip selama 15 menit untuk
dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis cukup diberikan 5 mg setahun
sekali, sedangkan untuk pengobatan hiperkalsemia akibat keganasan dapat
diberikan 4 mg per drip setiap 3-4 minggu sekali tergantung responnya.
Kontra indikasi pemberian zoledronat adalah hipokalsemia, ibu hamil dan
menyusui.

B. Raloksifen
Raloksifen golongan preparat anti estrogen yang mempunyai efek seperti
estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan terhadap
endometrium dan payudara. Golongan Raloksifen yang disebut juga selective
estrogen receptor modulators (SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor
estrogen-β sehingga tidak menyebabkan perdarahan dan kejadian keganasan
payudara. Mekanisme kerja Raloksifen terhadap tulang diduga melibatkan
TGFβ3 yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi menghambat
diferensiasi sel osteoklas. Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan
osteoporosis adalah 60 mg/hari. Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi
dengan baik dan akan di metabolisme di hati. Raloksifen dapat menyebabkan
kecacatan janin, sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau
berencana untuk hamil. Efek samping raloksifen dapat meningkatkan kejadian
deep venous thrombosis (DVT), rasa panas dan kram pada kaki.
C. Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai anti resorpsi, mempengaruhi aktivitas sel
osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian terapi
estrogen dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis dikenal sebagai
Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen sangat baik diabsorbsi melalui kulit,
mukosa vagina, dan saluran cerna. Efek samping estrogen meliputi nyeri
payudara (mastalgia), retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboemboli,
dan pada pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker
payudara.
Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah : kanker payudara, kanker
endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan uterus disfungsional,
hipertensi, penyakit tromboemboli, karsinoma ovarium, dan penyakit hati
yang berat. Di beberapa negara, saat ini TSH hanya direkomendasikan untuk
gejala klimakterium dengan dosis sekecilnya dan waktu sesingkatnya. TSH
tidak direkomendasikan lagi sebagai terapi pilihan pertama untuk
osteoporosis. Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis
untuk anti resorpsi, adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17 -
estradiol oral 1-2 mg/hari, 17 -estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17-
estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan.
Kombinasi estrogen dengan progesteron akan menurunkan risiko kanker
endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan TSH,
kecuali yang telah menjalani histerektomi.4 Pada wanita pasca menopause,
dosis estrogen terkonyugasi 0,3125 – 1,25 mg/hari, dikombinasi dengan
medroksiprogesteron asetat 2,5 – 10 mg/hari, setiap hari secara kontinyu. Pada
wanita pra menopause, estrogen terkonyugasi diberikan pada hari 1 s/d 25
siklus haid sedangkan medroksiprogesteron asetat diberikan hari 15 – 25
siklus haid, kemudian kedua obat tersebut dihentikan pada hari 26 s/d 28
siklus haid, sehingga penderita mengalami haid. Hari 29 dianggap sebagai 1
siklus berikutnya dan pemberian obat dapat diulang pemberiannya seperti
semula.
D. Kalsitonin
Kalsitonin obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan
penyakit-penyakit yang meningkatkan resorpsi tulang. Dosis yang dianjurkan
untuk pemberian intra nasal adalah 200 IU pre hari. Kadar puncak dalam
plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit dan akan dimetabolisme
dengan cepat di ginjal. Efek samping kalsitonin berupa kemerahan dan nyeri
pada tempat injeksi serta rhinorrhea (dengan kalsitonin nasal spray).
E. Strontium ranelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis kerja ganda, yaitu
meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Dosis
strontium ranelat adalah 2 mg/hari yang dilarutkan dalam air dan diberikan
pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makan atau 2 jam setelah
makan. Efek samping strontium ranelat adalah dispepsia dan diare. Strontium
ranelate harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat
tromboemboli vena.
F. Vitamin D
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Lebih dari
90% vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya ada di bawah kulit oleh
paparan sinar ultraviolet. Vitamin D dapat berupa alfacalcidol (25 OH vitamin
D3) dan calcitriol (1,25 (OH)2 Vitamin D3), kedua dapat digunakan untuk
pengobatan osteoporosis.8 Kadar vitamin D dalam darah diukur dengan cara
mengukur kadar 25 OH vitamin D3. Pada penelitian didapatkan suplementasi
500 IU kalsiferol dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan ternyata
mampu menurunkan fraktur non spinal sampai 50% (Dawson-Hughes, 1997).
Pada pemberian vitamin D dosis tinggi (50.000 IU) dapat berkembang
menjadi hiperkalsiuria dan hiperkalsemia.
G. Kalsitriol
Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan
osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat
hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium
peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme
sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun gagal ginjal terminal. Dosis
kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah 0,25µg, 1-2 kali per hari.
H. Kalsium
Kalsium sebagai mono terapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur
pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik adalah kalsium
karbonat, karena mengandung kalsium elemental 400 mg/gram, disusul
kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemental 230 mg/gram, kalsium
sitrat yang mengandung kalsium elemental 211 mg/gram, kalsium laktat yang
mengandung kalsium elemental 130 mg/gram dan kalsium glukonat yang
mengandung kalsium elemental 90 mg/gram. Pemberian kalsium dapat
meningkatkan risiko hiperkalsiuria dan batu ginjal.
I. Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas estrogenik. Ada banyak
senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavin dan lignans.
Isoflavon yang berefek estrogenik antara lain genistein, daidzein dan
glikosidanya yang banyak ditemukan pada golongan kacang-kacangan
(Leguminosae) seperti soy bean dan red clover. Fitoestrogen terdapat banyak
dalam kacang kedelai, daun semanggi. Sampai saat ini belum ada uji klinis
bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati osteoporosis (Alekel,
2000; Potter 1998).22 Dosis efektif isoflavon 20-60 mg/hari, dengan lama
terapi 6 sampai 24 bulan. Seperti obat osteoporosis yang lain dianjurkan
pemberiannya bersama kalsium dan vitamin D.
J. Hormon paratiroid
Pemberian hormon paratiroid (PTH) secara intermitten dapat menyebabkan
peningkatan jumlah dan aktivitas osteoblas, sehingga terjadi peningkatan
massa tulang dan perbaikan mikroarsitektur tulang. Teriparatide terbukti
menurunkan risiko fraktur vertebra dan non vertebra. Dosis yang
direkomendasikan adalah 20 g/hari subkutan selama 18-24 bulan. Kontra
indikasi teriparatide adalah hiperkalsemia, penyakit tulang metabolik selain
osteoporosis primer, misalnya hiperparatiroid dan penyakit paget,
peningkatan alkali fosfatase yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien
yang mendapat terapi radiasi.
K. Monoklonal antibodi RANK-Ligand
Seperti diketahui terjadinya osteoporosis akibat dari jumlah dan aktivitas sel
osteoklas menyerap tulang. Dalam hal ini secara biomolekuler RANK-L
sangat berperan. RANK-L akan bereaksi dengan reseptor RANK pada
osteoklas dan membentuk RANK-RANKL kompleks, yang lebih lanjut akan
mengakibatkan meningkatnya deferensiasi dan aktivitas osteoklas. Untuk
mencegah terjadinya reaksi tersebut digunakanlah monoklonal antibodi
(MAbs) dari RANK-L yang dikenal dengan : denosumab. Besarnya dosis
yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita pascamenopause
adalah 60 mg subkutan setiap 6 bulan sekali. Kontra indikasi denosumab
adalah pada wanita dengan hipokalemia atau hipersensitif terhadap formula
denosumab. Obat ini tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan anak
usia <18 tahun. Efek samping, termasuk infeksi kulit, sellulitis dan
hipokalsemia.
2.6.3 Pembedahan
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama
fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah penderita
osteoporosis adalah 3,27 1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila
diperlukan tindakan bedah, sebaiknya segera dlakukan. Sehingga dapat menghindari
imobilisasi lama dan komplikasi fraktur yang lebih lanjut. 2. Tujuan terapi bedah
adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga mobilisasi penderita dapat
dilakukan sedini mungkin. 3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan pada penderita
yang menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna. 4.
Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan medikamentosa osteoporosis
dengan bisfosfonst atau raloksifen atau terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin
tetap harus diberikan.
OSTEARTITIS

A. Pengertian
Pengertian Osteoartritis Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi
degeneratif, dimana keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan
patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi,
meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan
osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan,
dan melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi. (Felson, 2008)
B. Epidemiologi Osteoartritis Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang
dewasa yang paling umum di dunia. Felson (2008) melaporkan bahwa satu dari
tiga orang dewasa memiliki tanda-tanda radiologis terhadap OA. OA pada lutut
merupakan tipe OA yang paling umum dijumpai pada orang dewasa. Penelitian
epidemiologi dari Joern et al (2010) menemukan bahwa orang dewasa dengan
kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22% . Pada pria dengan kelompok umur
yang sama, dijumpai 23% menderita OA. pada lutut kanan, sementara 16,3%
sisanya didapati menderita OA pada lutut kiri. Berbeda halnya pada wanita
yang terdistribusi merata, dengan insiden OA pada lutut kanan sebanyak 24,2%
dan pada lutut kiri sebanyak 24,7.
C. Klasifikasi
Pada umumnya diagnosis osteoarthritis didasarkan pada gabungan gejala klinik
dan perubahan radiografi. Gejala klinik perlu diperhatikan, oleh karena tidak
semua pasien dengan perubahan radiografi osteoarthritis mempunyai keluhan
pada sendi. Terdapat 4 kelainan radiografi utama pada osteoarthritis, yaitu:
penyempitan rongga sendi, pengerasan tulang bawah rawan sendi,
pembentukan kista di bawah rawan sendi dan pembentukan osteofit, sendi yang
dapat terkena osteoarthritis antara lain:
1. Osteoarthritis sendi lutut.
2. Osteoarthritis sendi panggul.
3. Osteoarthritis sendi-sendi kaki.
4. Osteoarthritis sendi bahu.
5. Osteoarthritis sendi-sendi tangan.
6. Osteoarthritis tulang belakang (Nur, 2009).
Namun ada pula yang membagi klasifikasi osteoarthritis berdasarkan primer
dan sekunder :
1. Osteoartritis primer atau OA idiopatik
Belum diketahui penyebabnya dan tidak berhubungan dengan penyakit
sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Meski demikian,
osteoartritis primer banyak dihubungkan pada penuaan. Pada orang tua,
volume air dari tulang muda meningkat dan susunan protein tulang
mengalami degenerasi. Akhirnya, kartilago mulai degenerasi dengan
mengelupas atau membentuk tulang muda yang kecil. Pada kasus-kasus
lanjut, ada kehilangan total dari bantal kartilago antara tulang-tulang dan
sendi sendi. Penggunaan berulang dari sendi-sendi yang terpakai dari tahun
ke tahun dapat membuat bantalan tulang mengalami iritasi dan meradang,
menyebabkan nyeri dan pembengkakan sendi. Kehilangan bantalan tulang
ini menyebabkan gesekan antar tulang, menjurus pada nyeri dan
keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan dari kartilago dapat juga
menstimulasi pertumbuhan-pertumbuhan tulang baru yang terbentuk di
sekitar sendi-sendi. Osteoartritis primer ini dapat meliputi sendi-sendi
perifer (baik satu maupun banyak sendi), sendi interphalang, sendi besar
(panggul, lutut), sendi sendi kecil (carpometacarpal, metacarpophalangeal),
sendi apophyseal dan atau intervertebral pada tulang belakang, maupun
variasi lainnya seperti OA inflamatorik erosif, OA generalisata,
chondromalacia patella, atau Diffuse Idiopathic Skeletal Hyperostosis
(DISH).
2. Osteoartritis sekunder
Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lainnya, seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan
pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi,
penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin, metabolik, inflamasi,
imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya seperti obesitas,
operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya
D. Patofisiologi
Rawan sendi dibentuk oleh sel tulang rawan sendi (kondrosit) dan matriks
rawan sendi. Kondrosit berfungsi mensintesis dan memelihara matriks tulang
rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks
rawan sendi terutama terdiri dari air, proteoglikan dan kolagen. Perkembangan
perjalanan penyakit osteoarthritis dibagi menjadi fase, yaitu sebagai berikut :
1) Fase 1
Terjadinya penguraian proteolitik pada matriks kartilago. Metabolisme
kondrosit menjadi terpengaruh dan meningkatkan produksi enzim seperti
metalloproteinases yang kemudian hancur dalam matriks kartilago.
Kondrosit juga memproduksi penghambat protease yang mempengaruhi
proteolitik. Kondisi ini memberikan manifestasi pada penipisan kartilago.
2) Fase 2
Pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari permukaan kartilago, disertai
adanya pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan
sinovia.
3) Fase 3
Proses penguraian dari produk kartilago yang menginduksi respons
inflamasi pada sinovia. Produksi magrofag sinovia seperti interleukin 1 (IL-
1), tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), dan metalloproteinase menjadi
meningkat. Kondisi ini memberikan manifestasi balik pada kartilago dan
secara langsung memberikan dampak adanya destruksi pada kartilago.
Molekul-molekul pro inflamasi lainnya seperti nitric oxide (NO) juga ikut
terlibat. Kondisi ini memberikan manifestasi perubahan arsitektur sendi dan
memberikan dampak terhadap pertumbuhan tulang akibat stabilitas sendi.
Perubahan arsitektur sendi dan stress inflamasi memberikan pengaruh pada
permukaan artikular menjadi kondisi gangguan yang progresif (Helmi,
2012).
E. Diagnosa Osteoarthritis
1. Manifestasi Klinis
Nyeri pada sendi tersebut biasanya merupakan keluhan utama yang
membuat pasien datang ke dokter. Nyeri biasanya bertambah berat dengan
gerakan dan berkurang dengan istirahat. Pada umumnya pasien OA
mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama tetapi berkembang
secara perlahan. Nyeri tersebut juga tidak menghilang setelah lutut pasien
dikompres, nyeri makin memberat saat pasien melipat lututnya dan
menggerakkan kakinya namun sedikit berkurang dengan istirahat.. Pada
beberapa pasien OA juga dapat timbul kaku sendi yang dapat timbul setelah
imobilisasi seperti setelah duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang
cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur. Biasanya kaku sendi ini
berlangsung kurang dari 30 menit.. Pasien dengan OA mengalami hambatan
gerak sendi dan adanya rasa gemertak yang kadang – kadang dapat
terdengar ketika sendinya digerakkan. Pada pasien ini juga mengeluhkan
susah untuk bergerak dan berjalan karena nyerinya dan pasien juga
mengaku kadang merasakan seperti ada sesuatu yang patah atau remuk
ketika lututnya digerakkan. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya
bengkak pada lutut kirinya yang juga dapat ditemukan pada pasien OA.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pada pasien OA ditemukan adanya gerak sendi baik
secara aktif maupun pasif. Selain itu biasanya terdengar adanya krepitasi
yang semakin jelas dengan bertambah beratnya penyakit. Gejala ini
disebabkan karena adanya pergesekan kedua permukaan tulang sendi pada
saat sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi. Pada pasien ini
terdengar adanya krepitasi pada lutut kirinya ketika digerakkan secara pasif.
Selain itu pada pasien juga terdapat hambatan gerak aktif pada sendi lutut
kiri yaitu pasien hanya mampu untuk memfleksikan lututnya sebatas 40-45°
saja, begitu pula jika digerakkan secara pasif. Dari hasil pemeriksaan lokal
pada sendi pasien juga ditemukan adanya pembengkakan dan adanya tanda-
tanda peradangan seperti adanya nyeri sendi, kemerahan dan teraba hangat
pada lutut kirinya. Semua tanda ini sesuai dengan tanda – tanda pada pasien
OA yang biasanya pembengkakan yang terjadi itu disebabkan karena
adanya efusi cairan dan adanya osteofit pada permukaan sendi.
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis osteoarthritis selain berdasarkan gejala klinis juga didasarkan
pada hasil radiologi. Namun pada awal penyakit , radiografi sendi seringkali
masih normal. Adapun gambaran radiologis sendi yang menyokong
diagnosis osteoarthritis adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada
bagian yang menanggung beban).
b. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.
c. Kista tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi (Imayati, 2012)
F. Terapi Farmakologi
Terapi obat osteoarthritis ditargetkan pada penghilang rasa sakit. Karena
osteoartritis sering terjadi pada individu lanjut usia yang memiliki kondisi
medis lainnya, diperlukan suatu pendekatan konsenvartif terhadap pengobatan
obat, antaranya (Elin dlkk, 2008) :
1). Golongan Analgetik
a). Golongan Analgetik Non Narkotik
(1). Asetaminofen (Analgetik oral)
Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin pada sistem
saraf pusat (SSP). Asetaminofen diindikasi pada pasien yang
mengalami nyeri ringan ke sedang dan juga pada pasien yang
demam. Obat yang sering digunakan sebagian lini pertama
adalah parasetamol.
(2). Kapsaisin (Analgetik Topikal)
Kapsaisin merupakan suatu estrak dari lada merah yang
menyebabkan pelepasan dan pengosongan substansi P dari
serabut syaraf. Obat ini juga bermanfaat dalam menghilangkan
rasa sakit pada osteoarthritis jika digunakan secara topikal pada
sendi yang berpengaruh. Kapsaisin dapat digunakan sendiri
atau kombinasi dengan analgetik oral atau NSAID. Kapsaisin
ini diberikan dalam bentuk topikal, yaitu dioleskan pada bagian
nyeri sendi.
b). Golongan Analgetik Narkotik
analgetik narkotika dapat mengatasi rasa nyeri sedang sampai berta.
Penggunaan dosis obat analgetik narkotika dapat berguna untuk
pasien yang tidak toleransi terhadap pengobatan asetaminofen,
NSAID, injeksi intra artikular atau terapi secara topikal. Pemberian
narkotika alagesik merupakan intervasi awal, dan sering diberikan
secara kombinasi bersama asetaminofen. Pemberian narkotika ini
harus diawasi karena dapat menyebabkan ketergantungan.

2). Golongan NSAID

Dalam dosis tunggak antiinflamasi non steroid (NSAID) merupakan


aktivitas analgetk yang setara dengan paracetamol, tetapi paracetamol
lebih banyak dipakai terutamanya pada pasien lanjut usia.Dalam dosisi
penuh yang lazim NSAID dapat sekaligus memperlihatkan efek
analgetikyang bertahan lama membuatnya sangat berguna pada
pengobatan nyeri berlanjut ataunyeri berulang akhibat radang. NSAID
lebih tepat digunakan daripada paracetamol atau analgesik opioid dlam
arthitis rematoid dan pada kasus osteoarthritis lanjut.
3). Kortikosteroid
Krtikosteroid berfungsi sebagai antiinflamasi dn digunakan dalam dosis
yang beragam untuk berbagai penyakit dan beragam individu, agar dapat
dijamin rasio manfaat dan rasio setinggi-tingginya. Kortikosteroid sering
diberikan dalam bentuk injeksi intra artikular dibandingkan dengan
penggunaan oral.
4). Suplemen Makanan
Pemberian suplemen makanan yang mengandung glukosamin, kondroitin
yang berdasarkan uji klinik dapat mengurangi gangguan sendi atau
mengurangi simptom osteoarthritis (Priyanto, 2008). Suplemen makanan
ini dapat digunakan sebagai obat tambahan pada penderita osteoarthritis
terutamanya diberikan pada pasien lanjut usia.
5). Obat osteoarthritis Yang Lain
a). Injeksi Hialuronat
Asam hialuronat membantu dalam rekonstitusi cairan sinovial,
meningkatkan elastisitas, viskositas dan meningkatkan fungsi sendi.
Obat ini diberikan dalam bentuk garamnya (sodium hialuronat)
melalui injeksi intra arthrikular pada sendi lutut jika osteoarthritis tidak
responsif dengan terapi yang lain (Priyanti, 2008). Dua agen intra
artrikular yang mengandung asam hialuronat tersedia untuk mengobati
rasa sakit yang berkaitan dengan osteoarthritis lutut.
Injeksi asam hailuronat diberikan pada pasien yang tidak lagi teloransi
terhadap pemberian obat anti nyeri dan anti inflamasi yang lainnya
(Hansen & Elliot, 2005). Injeksi asam hailuronat diberikanoleh tenaga
medis yang mempunyai keahlian karena kesalahan dalam memberikan
injeksi akan mempengaruhi kosisi lutu pasien.
G. Terapi Non Farmakologi
1). Edukasi atau penerangan
Langkah pertama adalah memberikan edukasi pada pasien tentang
penyakit, prognosis, dan pendekatan manajemennya. Selain itu
diperlukan konseling diet untuk pasien osteoarthritis yang mempunyai
kelebihan berat badan (Elin dkk, 2008).
Ahli bidangkesehatan harus memberikan informasi pada pasien dengan
penyakit osteoarthritis mengikuti kesesuaian keadaan dan keselesaan
pasien.
2). Terapi fisik dan rehabiltasi
Terapi fisik dapat dilakukan dengan pengobatan panas atau dingin dan
program olahraga bagi membanti untuk menjaga dan mengembalikan
rentang pergerakan sendi dan mengurangi rasa sakit serta spasmus otot.
Program olahraga dengan menggunakan teknik isometric didisain untuk
menguatkan otot, memperbaiki fungsi sendi dan pergerakan serta
menurunkan ketidakmampuan, rasa sakit dan kebutuhan akan
penggunaan analgesik (Elin dkk, 2008).
Alat bantu dan ortotik seperti tongkat, alat pembantu berjalan, alat
bantu gerak, heel cups, dan insole dapat digunakan selama olahraga atau
aktivitas harian (Elin, dkk, 2008). Pasien osteoarthritis lutut yang
memakai sepatu dengan sol tambahan yang empuk yang bertujuan untuk
meratakan pembagian tekanan akibat berat, dengan demikian akan
mengurangi tekanan di lutut (Bethesda, 2013).
Kompres hangat atau dingin serta olahraga dapat dilakukan untuk
memelihara sendi, mengurangi nyeri, dan menghindari terjadinya
kekakuan (Priyono, 2008). Kompres hangat dan dingin dilakukan pada
bagian sendi yang mengalami nyeri.
3). Penurunan berat badan
Penurunan berat badan dapat diteapkan dengan mempunyai gaya hidup
sehat. Penurunan berat badan dapat membanti mengurangi beban atau
mengurangi gejala pada bagian yang mengalami penyakit osteoarthritis
terutamannya pada lutut dan pinggul (Felson, 2008).
4). Istirahat
Istirahat yang cukup dapat mengurangi kesakitan pada sendi. Selain itu
juga istirahat dapat menghindari taruma pada persendian secara berulang
(Priyono, 2008).
H. Pembedahan
Terapi pembedahan dapat dilakukan pada pasien dengan rasa sakit parah
yang tidak memberikan respon terhadap terapi konservatif atau rasa sakit
yang menyebabkan ketidakmampuan fungsional substansial dan
mempengaruhi gaya hidupn (Elin dkk, 2008).
Beberapa sendi, terutama sendi oinggul dan lutut, dapat diganti dengan
sendi bantuan. Biasanya dengan pembedahan dapat memperbaiki fungsi dan
pergerakan sendi serta mengurangi nyeri.
Terdapat bebrapa jenis pembedahan yan dapat dilakukan. Antara
pembedahan yang dapat dilakukan jika terapi pengobatan tidak dapat
berespon dengan baik atau tidak efektif pada pasien adalah Arthroscopy,
Osteotomy, Arthroplasty dan Fusion (Lozada, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I,K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J.I., Sunandar, E.Y., dkk. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT ISFI Penerbitan : Jakarta.

Felson D T. Osteoarthritis. In: Fauci AS, et al., editors. HARRISON’S Principles


of Internal Medicine.17thed. New York:McGraw-Hill Companies
Inc.;2008.p.2158-2165.

Isbagio H, Setiyohadi B. Masalah dan Penanganan Osteoartritis Sendi Lutut. Cermin


dunia Kedokteran 1995 Okt;104:8-10.

Soeroso S, Isbagio H, Kalim H, Broto R, PramudiyoR. Osteoartritis. In: Sudoyo A


W, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006.p. 1195-1201
Tandra H. 2009. Osteoporosis. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai