B. Raloksifen
Raloksifen golongan preparat anti estrogen yang mempunyai efek seperti
estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan terhadap
endometrium dan payudara. Golongan Raloksifen yang disebut juga selective
estrogen receptor modulators (SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor
estrogen-β sehingga tidak menyebabkan perdarahan dan kejadian keganasan
payudara. Mekanisme kerja Raloksifen terhadap tulang diduga melibatkan
TGFβ3 yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi menghambat
diferensiasi sel osteoklas. Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan
osteoporosis adalah 60 mg/hari. Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi
dengan baik dan akan di metabolisme di hati. Raloksifen dapat menyebabkan
kecacatan janin, sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau
berencana untuk hamil. Efek samping raloksifen dapat meningkatkan kejadian
deep venous thrombosis (DVT), rasa panas dan kram pada kaki.
C. Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai anti resorpsi, mempengaruhi aktivitas sel
osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian terapi
estrogen dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis dikenal sebagai
Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen sangat baik diabsorbsi melalui kulit,
mukosa vagina, dan saluran cerna. Efek samping estrogen meliputi nyeri
payudara (mastalgia), retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboemboli,
dan pada pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker
payudara.
Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah : kanker payudara, kanker
endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan uterus disfungsional,
hipertensi, penyakit tromboemboli, karsinoma ovarium, dan penyakit hati
yang berat. Di beberapa negara, saat ini TSH hanya direkomendasikan untuk
gejala klimakterium dengan dosis sekecilnya dan waktu sesingkatnya. TSH
tidak direkomendasikan lagi sebagai terapi pilihan pertama untuk
osteoporosis. Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis
untuk anti resorpsi, adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17 -
estradiol oral 1-2 mg/hari, 17 -estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17-
estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan.
Kombinasi estrogen dengan progesteron akan menurunkan risiko kanker
endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan TSH,
kecuali yang telah menjalani histerektomi.4 Pada wanita pasca menopause,
dosis estrogen terkonyugasi 0,3125 – 1,25 mg/hari, dikombinasi dengan
medroksiprogesteron asetat 2,5 – 10 mg/hari, setiap hari secara kontinyu. Pada
wanita pra menopause, estrogen terkonyugasi diberikan pada hari 1 s/d 25
siklus haid sedangkan medroksiprogesteron asetat diberikan hari 15 – 25
siklus haid, kemudian kedua obat tersebut dihentikan pada hari 26 s/d 28
siklus haid, sehingga penderita mengalami haid. Hari 29 dianggap sebagai 1
siklus berikutnya dan pemberian obat dapat diulang pemberiannya seperti
semula.
D. Kalsitonin
Kalsitonin obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan
penyakit-penyakit yang meningkatkan resorpsi tulang. Dosis yang dianjurkan
untuk pemberian intra nasal adalah 200 IU pre hari. Kadar puncak dalam
plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit dan akan dimetabolisme
dengan cepat di ginjal. Efek samping kalsitonin berupa kemerahan dan nyeri
pada tempat injeksi serta rhinorrhea (dengan kalsitonin nasal spray).
E. Strontium ranelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis kerja ganda, yaitu
meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Dosis
strontium ranelat adalah 2 mg/hari yang dilarutkan dalam air dan diberikan
pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makan atau 2 jam setelah
makan. Efek samping strontium ranelat adalah dispepsia dan diare. Strontium
ranelate harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat
tromboemboli vena.
F. Vitamin D
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Lebih dari
90% vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya ada di bawah kulit oleh
paparan sinar ultraviolet. Vitamin D dapat berupa alfacalcidol (25 OH vitamin
D3) dan calcitriol (1,25 (OH)2 Vitamin D3), kedua dapat digunakan untuk
pengobatan osteoporosis.8 Kadar vitamin D dalam darah diukur dengan cara
mengukur kadar 25 OH vitamin D3. Pada penelitian didapatkan suplementasi
500 IU kalsiferol dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan ternyata
mampu menurunkan fraktur non spinal sampai 50% (Dawson-Hughes, 1997).
Pada pemberian vitamin D dosis tinggi (50.000 IU) dapat berkembang
menjadi hiperkalsiuria dan hiperkalsemia.
G. Kalsitriol
Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan
osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat
hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium
peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme
sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun gagal ginjal terminal. Dosis
kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah 0,25µg, 1-2 kali per hari.
H. Kalsium
Kalsium sebagai mono terapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur
pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik adalah kalsium
karbonat, karena mengandung kalsium elemental 400 mg/gram, disusul
kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemental 230 mg/gram, kalsium
sitrat yang mengandung kalsium elemental 211 mg/gram, kalsium laktat yang
mengandung kalsium elemental 130 mg/gram dan kalsium glukonat yang
mengandung kalsium elemental 90 mg/gram. Pemberian kalsium dapat
meningkatkan risiko hiperkalsiuria dan batu ginjal.
I. Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas estrogenik. Ada banyak
senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavin dan lignans.
Isoflavon yang berefek estrogenik antara lain genistein, daidzein dan
glikosidanya yang banyak ditemukan pada golongan kacang-kacangan
(Leguminosae) seperti soy bean dan red clover. Fitoestrogen terdapat banyak
dalam kacang kedelai, daun semanggi. Sampai saat ini belum ada uji klinis
bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati osteoporosis (Alekel,
2000; Potter 1998).22 Dosis efektif isoflavon 20-60 mg/hari, dengan lama
terapi 6 sampai 24 bulan. Seperti obat osteoporosis yang lain dianjurkan
pemberiannya bersama kalsium dan vitamin D.
J. Hormon paratiroid
Pemberian hormon paratiroid (PTH) secara intermitten dapat menyebabkan
peningkatan jumlah dan aktivitas osteoblas, sehingga terjadi peningkatan
massa tulang dan perbaikan mikroarsitektur tulang. Teriparatide terbukti
menurunkan risiko fraktur vertebra dan non vertebra. Dosis yang
direkomendasikan adalah 20 g/hari subkutan selama 18-24 bulan. Kontra
indikasi teriparatide adalah hiperkalsemia, penyakit tulang metabolik selain
osteoporosis primer, misalnya hiperparatiroid dan penyakit paget,
peningkatan alkali fosfatase yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien
yang mendapat terapi radiasi.
K. Monoklonal antibodi RANK-Ligand
Seperti diketahui terjadinya osteoporosis akibat dari jumlah dan aktivitas sel
osteoklas menyerap tulang. Dalam hal ini secara biomolekuler RANK-L
sangat berperan. RANK-L akan bereaksi dengan reseptor RANK pada
osteoklas dan membentuk RANK-RANKL kompleks, yang lebih lanjut akan
mengakibatkan meningkatnya deferensiasi dan aktivitas osteoklas. Untuk
mencegah terjadinya reaksi tersebut digunakanlah monoklonal antibodi
(MAbs) dari RANK-L yang dikenal dengan : denosumab. Besarnya dosis
yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita pascamenopause
adalah 60 mg subkutan setiap 6 bulan sekali. Kontra indikasi denosumab
adalah pada wanita dengan hipokalemia atau hipersensitif terhadap formula
denosumab. Obat ini tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan anak
usia <18 tahun. Efek samping, termasuk infeksi kulit, sellulitis dan
hipokalsemia.
2.6.3 Pembedahan
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama
fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah penderita
osteoporosis adalah 3,27 1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila
diperlukan tindakan bedah, sebaiknya segera dlakukan. Sehingga dapat menghindari
imobilisasi lama dan komplikasi fraktur yang lebih lanjut. 2. Tujuan terapi bedah
adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga mobilisasi penderita dapat
dilakukan sedini mungkin. 3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan pada penderita
yang menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna. 4.
Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan medikamentosa osteoporosis
dengan bisfosfonst atau raloksifen atau terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin
tetap harus diberikan.
OSTEARTITIS
A. Pengertian
Pengertian Osteoartritis Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi
degeneratif, dimana keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan
patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi,
meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan
osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan,
dan melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi. (Felson, 2008)
B. Epidemiologi Osteoartritis Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang
dewasa yang paling umum di dunia. Felson (2008) melaporkan bahwa satu dari
tiga orang dewasa memiliki tanda-tanda radiologis terhadap OA. OA pada lutut
merupakan tipe OA yang paling umum dijumpai pada orang dewasa. Penelitian
epidemiologi dari Joern et al (2010) menemukan bahwa orang dewasa dengan
kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22% . Pada pria dengan kelompok umur
yang sama, dijumpai 23% menderita OA. pada lutut kanan, sementara 16,3%
sisanya didapati menderita OA pada lutut kiri. Berbeda halnya pada wanita
yang terdistribusi merata, dengan insiden OA pada lutut kanan sebanyak 24,2%
dan pada lutut kiri sebanyak 24,7.
C. Klasifikasi
Pada umumnya diagnosis osteoarthritis didasarkan pada gabungan gejala klinik
dan perubahan radiografi. Gejala klinik perlu diperhatikan, oleh karena tidak
semua pasien dengan perubahan radiografi osteoarthritis mempunyai keluhan
pada sendi. Terdapat 4 kelainan radiografi utama pada osteoarthritis, yaitu:
penyempitan rongga sendi, pengerasan tulang bawah rawan sendi,
pembentukan kista di bawah rawan sendi dan pembentukan osteofit, sendi yang
dapat terkena osteoarthritis antara lain:
1. Osteoarthritis sendi lutut.
2. Osteoarthritis sendi panggul.
3. Osteoarthritis sendi-sendi kaki.
4. Osteoarthritis sendi bahu.
5. Osteoarthritis sendi-sendi tangan.
6. Osteoarthritis tulang belakang (Nur, 2009).
Namun ada pula yang membagi klasifikasi osteoarthritis berdasarkan primer
dan sekunder :
1. Osteoartritis primer atau OA idiopatik
Belum diketahui penyebabnya dan tidak berhubungan dengan penyakit
sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Meski demikian,
osteoartritis primer banyak dihubungkan pada penuaan. Pada orang tua,
volume air dari tulang muda meningkat dan susunan protein tulang
mengalami degenerasi. Akhirnya, kartilago mulai degenerasi dengan
mengelupas atau membentuk tulang muda yang kecil. Pada kasus-kasus
lanjut, ada kehilangan total dari bantal kartilago antara tulang-tulang dan
sendi sendi. Penggunaan berulang dari sendi-sendi yang terpakai dari tahun
ke tahun dapat membuat bantalan tulang mengalami iritasi dan meradang,
menyebabkan nyeri dan pembengkakan sendi. Kehilangan bantalan tulang
ini menyebabkan gesekan antar tulang, menjurus pada nyeri dan
keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan dari kartilago dapat juga
menstimulasi pertumbuhan-pertumbuhan tulang baru yang terbentuk di
sekitar sendi-sendi. Osteoartritis primer ini dapat meliputi sendi-sendi
perifer (baik satu maupun banyak sendi), sendi interphalang, sendi besar
(panggul, lutut), sendi sendi kecil (carpometacarpal, metacarpophalangeal),
sendi apophyseal dan atau intervertebral pada tulang belakang, maupun
variasi lainnya seperti OA inflamatorik erosif, OA generalisata,
chondromalacia patella, atau Diffuse Idiopathic Skeletal Hyperostosis
(DISH).
2. Osteoartritis sekunder
Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lainnya, seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan
pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi,
penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin, metabolik, inflamasi,
imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya seperti obesitas,
operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya
D. Patofisiologi
Rawan sendi dibentuk oleh sel tulang rawan sendi (kondrosit) dan matriks
rawan sendi. Kondrosit berfungsi mensintesis dan memelihara matriks tulang
rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks
rawan sendi terutama terdiri dari air, proteoglikan dan kolagen. Perkembangan
perjalanan penyakit osteoarthritis dibagi menjadi fase, yaitu sebagai berikut :
1) Fase 1
Terjadinya penguraian proteolitik pada matriks kartilago. Metabolisme
kondrosit menjadi terpengaruh dan meningkatkan produksi enzim seperti
metalloproteinases yang kemudian hancur dalam matriks kartilago.
Kondrosit juga memproduksi penghambat protease yang mempengaruhi
proteolitik. Kondisi ini memberikan manifestasi pada penipisan kartilago.
2) Fase 2
Pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari permukaan kartilago, disertai
adanya pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan
sinovia.
3) Fase 3
Proses penguraian dari produk kartilago yang menginduksi respons
inflamasi pada sinovia. Produksi magrofag sinovia seperti interleukin 1 (IL-
1), tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), dan metalloproteinase menjadi
meningkat. Kondisi ini memberikan manifestasi balik pada kartilago dan
secara langsung memberikan dampak adanya destruksi pada kartilago.
Molekul-molekul pro inflamasi lainnya seperti nitric oxide (NO) juga ikut
terlibat. Kondisi ini memberikan manifestasi perubahan arsitektur sendi dan
memberikan dampak terhadap pertumbuhan tulang akibat stabilitas sendi.
Perubahan arsitektur sendi dan stress inflamasi memberikan pengaruh pada
permukaan artikular menjadi kondisi gangguan yang progresif (Helmi,
2012).
E. Diagnosa Osteoarthritis
1. Manifestasi Klinis
Nyeri pada sendi tersebut biasanya merupakan keluhan utama yang
membuat pasien datang ke dokter. Nyeri biasanya bertambah berat dengan
gerakan dan berkurang dengan istirahat. Pada umumnya pasien OA
mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama tetapi berkembang
secara perlahan. Nyeri tersebut juga tidak menghilang setelah lutut pasien
dikompres, nyeri makin memberat saat pasien melipat lututnya dan
menggerakkan kakinya namun sedikit berkurang dengan istirahat.. Pada
beberapa pasien OA juga dapat timbul kaku sendi yang dapat timbul setelah
imobilisasi seperti setelah duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang
cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur. Biasanya kaku sendi ini
berlangsung kurang dari 30 menit.. Pasien dengan OA mengalami hambatan
gerak sendi dan adanya rasa gemertak yang kadang – kadang dapat
terdengar ketika sendinya digerakkan. Pada pasien ini juga mengeluhkan
susah untuk bergerak dan berjalan karena nyerinya dan pasien juga
mengaku kadang merasakan seperti ada sesuatu yang patah atau remuk
ketika lututnya digerakkan. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya
bengkak pada lutut kirinya yang juga dapat ditemukan pada pasien OA.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pada pasien OA ditemukan adanya gerak sendi baik
secara aktif maupun pasif. Selain itu biasanya terdengar adanya krepitasi
yang semakin jelas dengan bertambah beratnya penyakit. Gejala ini
disebabkan karena adanya pergesekan kedua permukaan tulang sendi pada
saat sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi. Pada pasien ini
terdengar adanya krepitasi pada lutut kirinya ketika digerakkan secara pasif.
Selain itu pada pasien juga terdapat hambatan gerak aktif pada sendi lutut
kiri yaitu pasien hanya mampu untuk memfleksikan lututnya sebatas 40-45°
saja, begitu pula jika digerakkan secara pasif. Dari hasil pemeriksaan lokal
pada sendi pasien juga ditemukan adanya pembengkakan dan adanya tanda-
tanda peradangan seperti adanya nyeri sendi, kemerahan dan teraba hangat
pada lutut kirinya. Semua tanda ini sesuai dengan tanda – tanda pada pasien
OA yang biasanya pembengkakan yang terjadi itu disebabkan karena
adanya efusi cairan dan adanya osteofit pada permukaan sendi.
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis osteoarthritis selain berdasarkan gejala klinis juga didasarkan
pada hasil radiologi. Namun pada awal penyakit , radiografi sendi seringkali
masih normal. Adapun gambaran radiologis sendi yang menyokong
diagnosis osteoarthritis adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada
bagian yang menanggung beban).
b. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.
c. Kista tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi (Imayati, 2012)
F. Terapi Farmakologi
Terapi obat osteoarthritis ditargetkan pada penghilang rasa sakit. Karena
osteoartritis sering terjadi pada individu lanjut usia yang memiliki kondisi
medis lainnya, diperlukan suatu pendekatan konsenvartif terhadap pengobatan
obat, antaranya (Elin dlkk, 2008) :
1). Golongan Analgetik
a). Golongan Analgetik Non Narkotik
(1). Asetaminofen (Analgetik oral)
Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin pada sistem
saraf pusat (SSP). Asetaminofen diindikasi pada pasien yang
mengalami nyeri ringan ke sedang dan juga pada pasien yang
demam. Obat yang sering digunakan sebagian lini pertama
adalah parasetamol.
(2). Kapsaisin (Analgetik Topikal)
Kapsaisin merupakan suatu estrak dari lada merah yang
menyebabkan pelepasan dan pengosongan substansi P dari
serabut syaraf. Obat ini juga bermanfaat dalam menghilangkan
rasa sakit pada osteoarthritis jika digunakan secara topikal pada
sendi yang berpengaruh. Kapsaisin dapat digunakan sendiri
atau kombinasi dengan analgetik oral atau NSAID. Kapsaisin
ini diberikan dalam bentuk topikal, yaitu dioleskan pada bagian
nyeri sendi.
b). Golongan Analgetik Narkotik
analgetik narkotika dapat mengatasi rasa nyeri sedang sampai berta.
Penggunaan dosis obat analgetik narkotika dapat berguna untuk
pasien yang tidak toleransi terhadap pengobatan asetaminofen,
NSAID, injeksi intra artikular atau terapi secara topikal. Pemberian
narkotika alagesik merupakan intervasi awal, dan sering diberikan
secara kombinasi bersama asetaminofen. Pemberian narkotika ini
harus diawasi karena dapat menyebabkan ketergantungan.