Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH KIMIA MEDISINAL

Dosen: Lia Puspitasari, S.Farm, M.Si, Apt.

Disusun oleh:
AHMAD FAKHRY ZIYANULQAYS (17330092)

FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami yakin masih banyak


kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca dapat kesempurnaan makalah ini

Jakarta, 20 Oktober 2019

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I

DAFTAR ISI II

BAB I PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG 1

BAB II ISI 2

1. HUBUNGAN STRUKTUR, ASPEK STEREOKIMIA DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT 2

a. Modifikasi Isosterisme 2

b. Isomer Dan Aktivitas Biologis Obat 3

c. Jarak Antar Atom Dan Aktivitas Biologis 11

2. HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DAN OBAT AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT 11

a. Ionisasi Dan Aktivitas Biologis 12

b. Pembentukan Kelat Dan Aktivitas Biologis 12

c. Potensial Redoks Dan Aktivitas Biologis 13

d. Aktivitas Permukaan Dan Aktivitas Biologis 14

3. HUBUNGAN STRUKTUR, IKATAN KIMIA DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT 14

a. Ikatan Kovalen 14

b. Ikatan Ion 15

c. Interaksi dipol-dipol 15

d. Ikatan Hidrogen 15

e. Ikatan Van Der Waals 15

f. Ikatan Hidrofob 15

g. Transfer Muatan 16

4. HUBUNGAN STRUKTUR DAN INTERAKSI OBAT DAN RESEPTOR 16

a. Teori Klasik 16

b. Teori Pendudukan 17

c. Teori Kecepatan 17

d. Teori Kesesuaian Terimbas 18

e. Teori Gangguan Molekul 18

f. Konsep Kurir Kedua 19

II
5. HUBUNGAN STRUKTUR DAN PENGEMBANGAN SENYAWA AGONIS DAN ANTAGONIS 19

a. Agonis Dan Antagonis 19

b. Kombinasi Obat 21

c. Antagonis Pada Fase Farmakokinetik 23

d. Antagonis Antar Obat Pada Fase Farmakodinamik 23

e. Hubungan Struktur Kimia Senyawa Agonis Dan Antagonis Kompetitif 27

6. HUBUNGAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF STRUKTUR AKTIVITAS 29

a. Aktivitas Obat 29

b. Faktor Yang Mendukung Hubungan Struktur Aktivitas 33

c. Pengukuran Kuantitatif Aktivitas Obat 33

d. Pendekatan Free-Wilson 33

e. Pendekatan Hansch 34

7. HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT FISIKA KIMIA TERHADAP ABSORBSI, DISTRIBUSI, EKSKRESI 34

8. HUBUNGAN STRUKTUR DAN PROSES METABOLISME 39

a. Faktor-faktor Metabolisme Obat 39

b. Tempat Metabolisme Obat Dan Peran Sitokrom Oksdase 40

c. Reaksi Metabolisme Fase I 41

d. Reaksi Metabolisme Fase II 41

9. HUBUNGAN STRUKTUR, KELARUTAN DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT 42

a. Aktivitas Biologis Senyawa Homolog 42

b. Hubungan Koefisien Partisi Dengan Anastesi Sistemik 42

c. Prinsip Ferguson 43

BAB III PENUTUP 44

A. KESIMPULAN 44

DAFTAR PUSTAKA 45

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Batasan kimia medisinal menurut Burger (1970) adalah Ilmu pengetahuan yang
merupakan cabang dari ilmu kimia dan biologi,dan digunakan untuk memahami dan
menjelaskan mekanisme kerja obat. Sebagai dasar adalah mencoba menetapkan hubungan
struktur kimia dan aktivitas biologis obat, serta menghubungkan perilaku biodinamik
melalui sifat-sifat fisik dan kereaktifan kimia senyawa obat. Kimia medisinal melibatkan
isolasi, karakterisasi dan sintesis senyawa-senyawa yang dingunakan dalam bidang
kedokteran, untuk mencegah dan mengobati penyakit serta memelihara kesehatan.

Batasan kimia medisinal menurut IUPAC (1974) adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari penemuan, pengembangan, identifikasi dan interpretasi cara kerja senyawa
biologis aktif (obat) pada tingkat molekul. Kimia medisinal juga melibatkan studi,
identifikasi dan sintesis produk metabolisme obat dan senyawa yang berhubungan.

Ruang lingkup bidang kimia medisinal menurut burger (1980), adalah:

1. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik telah
digunakan untuk pengobatan.
2. Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas
pengobatan potensial.
3. Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organic, dengan ataupun
tanpa berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4. Menghubungkan sturktur kimia obat dengan cara kerjanya.
5. Mengembangkan rancangan obat.
6. Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat kimia
fisika dengan bantuan statistic.

1
BAB II

ISI

1. HUBUNGAN STRUKTUR, ASPEK STEREOKIMIA DAN AKTIVITAS


BIOLOGIS OBAT

Sterokimia merupakan salah satu factor penting dalam aktivitas biologis obat, oleh karena
itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan aktivitas farmakologis obat
sangat menarik untuk dipelajari. Untuk berinteraksi dengan reseptor, molekul obat harus
mencapai sisi reseptor dan sesuai dengan permukaan reseptor.

Dua hal penting yang perlu diketahui adalah modifikasi isosterisme dan pengaruh isomer
terhadap aktivitas biologis obat.

a. Modifikasi Isosterisme

Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping atau
toksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan modifikasi struktur
molekul obat.

Istilah isosterisme telah digunakan secara luas untuk menggambarkan seleksi dari
bagian struktur yang karena karakterisasi sterik, elektronik dan sifat kelarutannya,
memungkinkan untuk saling dipergantikan pada modifikasi struktur molekul obat.

Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul, yang
mempunyai sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan ukuran,
keelektronegatifan atau stereokimia. Contoh pasangan isosterik yang mempunyai sifat
sterik dan konfigurasi elektronik sama adalah :

a) Ion karboksilat (-COO-) dan ion sulfonamido (-SOO2NR-),


b) Gugus keton (-CO-) dan gugus sulfon (-SO2-),
c) Gugus klorida (-Cl) dan gugus trifluorometil (-CF3).

Secara umum prinsip isosterisme ini digunakan untuk :

a) Mengubah struktur senyawa sehingga didapatkan senyawa dengan aktivitas


biologis yang dikehendaki
b) Mengembangkan analog dengan efek biologis yang lebih efektif

2
c) Mengubah struktur senyawa sehingga bersifat antagonis terhadap normal metabolit
(antimetabolit)

Friedman (1951) memperkenalkan istilah bioisosterisme, yang kemudian berkembang


menjadi salah satu konsep dasar sebagai hipotesis untuk perkembangan kimia medisinal.
Idealnya, bioisosterisme melibatkan pergantian gugus fungsi dalam struktur molekul yang
spesifik aktif dengan gugus lain dan pergantian tersebut akan menghasilkan senyawa baru
dengan aktivitas biologis yang lebih baik.

Contoh modifikasi isosterisme :

1. Pergantian gugus sulfide (-S-) pada system cincin fenotiazin dan cincin tioxanten,
dengan gugus etilen (-CH2CH2-), menghasilkan system cincin dihidrodibenzazepin
dan dibenzosiklo-heptadien yang berkhasiat berlawanan.
2. Turunan dialkiletilamin
R-X-CH2-CH2-N-(R1)2
3. Turunan ester etiltrimetilamonium
R-COO-CH2-CH2—N+(CH3)3
4. Obat antidiabetes turunan sulfonamide
5. Prokain dan prokainamid
6. Antimetabolit purin

b. Isomer Dan Aktivitas Biologis Obat

Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada umumnya
mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini disebabkan oleh orientasi
gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang sama. Dari gambaran sterik dikenal
beberapa macam struktur isomeri, antara lain adalah isomer geometric, isomer konformasi,
diastereoisomer dan isomer optic. Bentuk-bentuk isomer tersebut dapat mempengaruhi
aktivitas biologis obat.

1. Isomer Geometrik dan Aktivitas Biologis

Isomer geometri atau isomer cis trans adalah isomer yang disebabkan adanya atom-
atom atau gugus-gugus yang terikaat secara langsung pada suatu ikatan rangkap atau
dalam suatu sistem alisiklik. Ikatan rangkap dan sistem alisiklik membatasi gerakan

3
atom dalam mencapai kedudukan yang stabil sehingga terbantuk isomer cis-trans dan
isomer cis-trans cenderung menahan gugus-gugus dalam molekul pada ruang yang
relatif berbeda dan perbedaan letak gugus-gugus tersebut dapat menimbulkan
perbedaan kimia fisika. Akibatnya, distribusi isomer dalam media biologis juga
berbeda, dan berbeda pula kemampuan isomer untuk interaksi dengan reseptor biologis.

A A A C
C == C C == C
B C B A
X

X
A' A' A' A'
R e s e pt o r C' B' R e s e pt o r C'
B'

Gugus B dan C dalam bentuk Gugus B dan C dalam bentuk


isomer cis, interaksi serasi isomer trans, interaksi kurang serasi

2. Isomer konfirmasi dan aktivitas biologis

Isomer konfirmasi adalah isomer yang terjadi karena ada perbedaan pengaturan
ruang dari atom-atom atau gugus-gugus dalam struktur molekul obat. Isomer
konfirmasi lebih stabil pada struktur senyawa non aromatik.

Contoh sikloheksan dapat membentuk 3 konfomer yaitu bentuk kursi, perahu, dan
melipat.

Sikloheksan cenderung dalam bentuk konfirmasi kursi dibanding bentuk konfirmasi


perahu atau melipat. Substituen atau gugus pada cincin sikloheksan cenderung ditahan
pada kedudukan equatorial oleh karena bentuk aksial lebih muda terpengaruh oleh efek
sterik.

Pada bentuk 1,3 diaksial, subtituennya cenderung tolak-menolak satu sama lain
sehingga mengubah kelenturan cincin dan menmpatkan substituen pada kedudukan
ekuatorial yang kurang terpengaruh oleh efek sterik. Pada cincin non aromatik, atom
atau gugus yang terikat dapat pada kedudukan ekuatorial atau aksial atau kedua-duanya
dan dapat menunjukkan aktivitas biologis yang sama atau berbeda. Contoh ,

4
Trimeperidin adalah senyawa narkotik analgesik poten pada struktur molekulnya
bentuk konfirmasi ekuatorial atau aksial ditunjang dan berorientasi pada gugus fenil
dan gugus alisiklik. Gugus fenil cendrung dipertahankan dalam bidang cincin pada
kedudukan ekuatorial. Untuk mengubah kedudukan aksial dibutuhkan energi lebih
kurang7 kilo kalori/mol. Isomer aksial dan ekuatorial dari trimeperidin mempunyai
analgesik sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh bentuk isomer konfirmasi
terhadap aktivitas analgesik trimeperidin sangat kecil.

H H
H3C
+
N CH3 7 kkal/mol O
H
H
C
H5C2 O CH3 + CH3
CH3 N
H H3C
O H H H
C O
H5C2 H H

Bentuk equatorial-fenil trimeperidin Bentuk aksial-fenil trimeperidin

Planaritas pada bagian tertentu molekul obat sangat penting untuk dapat
menimbulkan aktivitas biologis pada umumnya. Pada umumnya akan menunjang
rigiditas molekul obat dan ini terjadi pada cincin aromatik atau suatu sistem
kerkonjugasi yang lain . atom atau gugus yang terikat secara langsung pada cincin atau
sistem tersebut akan berada pada ruang yang sama.

Kadang-kadang aktivitas biologis senyaswa tidak berhubungan dengan gugus


fungsi tetapi hanya bergantung pada aromatik atau karakteristik planar dari molekul.

Contoh :

1. Amfetamin yang mempunyai cincin aromatik lebih aktif dibanding analog


jenuhnya. Aktivitasnya ditunjang oleh planaritas cincin yang menigkatkan
kemampuan senayawa untuk mengikat reseptor yang juga mempunyai permukaan
planar melalui ikatan vander waals yang relatif kuat. Pada interaksi obat yang tidak
planar dengan reseptor planarikatan van der waals relatif rendah.
2. Aktivitas pemblok adrenergik dari - haloalkilamin tergantung pada koplanaritas
substituen pada cincin benzen.

5
Kadang-kadang suatu molekul senyawa tertentu memberikan lebih dari satu efek
biologis karena mempunyai bentuk konfirmaasi yang unik dan lentur sehingga dapat
berinteraksi dengan reseptor-reseptor yang berbeda. Contoh:
1. Asetil kolin
Asetilkolin memiliki dua bentuk konfirmasi yaitu
a. bentuk konfirmasi tertutup
Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaknya berdekatan demgam atom O
dari gugus asetoksi sehingga terjadi ikatan hidrogen intermolekul membentuk
struktur tertutup. Bentuk konfirmasi ini dapoat berinteraksi dengan reseptor
nikotinik dari ganglia dan penghubung saraf otot.
b. bentuk konfirmasi memanjang penuh
pada bentuk ini atom H dari N-metil letaaknya berjauhan dengan atom O
sehingga membentuk struktur memanjang. Bentuk konfirmasi ini dapat
berinteraksi dengan reseptor muskarinik dari saraf post ganglionik parasimpatik
dan mudah dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase,

2. 2-Asetoksisiklopropiltrimetilamonium iodide
Pada bentuk (+) trans, atom H dari N-metil letaknya berjauhan dan terpisah dari
atom O gugus asektosi sehingga mempunyai bentuk konfirmasi memanjang seperti
asetilkolin. Senyawa ini memiliki derajat kekakuan yang lebih besar dari asetilkolin
dan mempunyai aktivitas muskarinik pada pembuluh darah anjing 5 kali lebih besar
dari asetilkolin.

I- I-
H3C O
H3C
+ CH3 + CH3
N O C
N H H3C
H3C CH3
CH3 H
H H O C H H
O
H H

trans-2-Asetoksisiklopropil cis-2-Asetoksisiklopropil
trimetilamonium iodida trimetilamonium iodida

6
3. Histamin
Histamin mempunyai 3 bentuk isomer konformasi yaitu bentuk konformasi
memanjang (A dan B) dan bentuk konformasi tertutup (C). Pada bentuk konformasi
A, jarak atom N cincin imidazol dengan N rantai samping ± 4,55 Ǻ, sedang pada
bentuk konformasi B jaraknya ± 3,60 Ǻ. Bentuk konformasi C tertutup karena ada
ikatan hydrogen intramolekul.
3. Diastereoisomer dan Aktivitas Biologis
Diastereoisomer adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang mempunyai
dua atau lebih pusat atom asimetrik, mempunyai gugus fungsional sama dan
memberikan tipe reaksi yang sama pula. Kedudukan gugus-gugus substitusi terletak
pada ruang yang relatif berbeda sehingga diastereoisomer mempunyai sifat fisik,
kecepatan reaksi dan sifat biologis yang berbeda pula. Perbedaan sifat-sifat di atas
berpengaruh terhadap distribusi, metabolisme dan interaksi isomer dengan reseptor.
Perbedaan interaksi dengan reseptor dari senyawa-senyawa diastereoisomer dapat
dilihat pada gambar berikut.

(cis) Diastereoisomer (trans)

B Contoh :
BC
log P (cis) > log P (trans)
A C
A
membran biologis

B BC

A C A

B' B'
Reseptor
A' C' A' C'

Interaksi serasi Interaksi kurang serasi


aktivitas lebih besar aktivitas kecil

7
Keterangan :
Nilai koefisien partisi lemak/air isomer cis tidak sama dengan isomer trans atau log P
(cis) > log P (trans).
A,B, dan C : gugus-gugus pada Isomer
A’,B’,dan C’ : tempat yang sesuai pada reseptor

4. Isomer Optik dan Aktivitas Biologis


Isomer Optik adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang mempunyai atom
C asimetrik. Isomer optic mempunyai sifat kimia Fisika sama dan hanya berbeda pada
kemampuan dalam memutar bidang cahaya terpolarisasi atau berbeda rotasi optiknya.
Masing-masing isomer hanya dapat memutar bidang cahaya terpolarisasi ke kiri atau
ke kanan saja dengan sudut pemutaran yang sama.
Isomer optic kadang-kadang mempunyai aktivitas biologis yang berbeda karena
ada perbedaan dalam interaksi isomer-isomer dengan reseptor biologis.
Menurut Beckett, perbedaan interaksi isomer-isomer optic dengan reseptor biologis
diilustrasikan seperti pada gambar berikut:

(+) Isomer Optik (-)

Contoh :
A C A C log P ( + ) = log P ( - )
B B

membran biologis

A C A C
B B

A' C' Reseptor A' C'


B' B'

Interaksi serasi Interaksi kurang serasi


aktivitas lebih besar aktivitas kecil

8
Keterangan :
Nilai koefisien partisi lemak/air dari isomer (-) atau log P (+) = log P(-)
A, B, dan C : gugus-gugus pada isomer
A’, B’, dan C’ : tempat yang sesuai pada reseptor
Contoh obat yang dapat membentuk isomer optic dengan aktivitas biologis
berbeda:
1. (-)- Hiosiamin, aktivasi medriatiknya 15-20 kali lebih besar disbanding isomer (+)
2. D-(-)adrenalin, aktivitas vasokonsttiktornya 12-15 kali lebih basar disbanding
isomer (+)
3. (-)-Sinefrin, aktivitas presornya 60 kali lebih besar disbanding isomer (+)
4. (-)-α-Metildopa, mempunyai efek antihipertensi, sedang isomer (+) tidak
menimbulkan efek antihipertensi
5. D-(-)-treo-Kloramfenikol mempunyai efek antibakteri, sedang isomer L (+) eritro
efeknya negative
6. (+)-Norhormoepinefrin, aktivitas presosnya 160 kali lebih besar disbanding isomer
(-)
7. (+)-α-Propoksifen mempunyai efek analgesikm d\sedang isomer (-) mempunyai
efek antibatuk
8. L-(+)-Asam askorbat mempunyai efek antiskorbut, sedang isomer (-) efeknya
negarif
9. S-(+)-Indometasin mempunyai efek antiradang, sedang isomer R(-) efeknya
negative
10. Isomer (-) dan (+)-klorokuin mempunyai efek antimalaria yang sama, hal ini berarti
bahwa aspek steriokimia sedikit berpengaruh terhadap aktivitas biologis kliekuin

Perbedaan aktivitas dari isomer-isomer optic dapat dijelaskan dengan beberapa


perkiriraan sebagai berikut :
1. Ada perbedaan distribusi dari isomer-isomer dalam tubuh, tanpa memandang
perbedaan kerja pada sisi reseptor. Perbedaan ini disebabkan isomer optic diseleksi
terlebih dahulu oleh system biologis sebelum mencapai reseptor spesifiknya.
Contoh :
a. Isomer optic berinteraksi dengan senyawa aktif optic dalam cairan tubuh, missal
protein plasma, membentuk diasterioisomer sehungga terjadi perbedaan
absorbs, distribusi dan metabolism isomer-isomer tersebut.
9
b. Salah satu isomer optic cenderung dimetabolisis oleh enzim yang bersifat
stereospesifik.
c. Salah satu isomer diabsorbsi secara selektif pada sisi kehilangan yang
stereospesifik, missal pengikatan oleh protein plasma tertentu
2. Menurut Cushny , perbedaan aktivitas tersebut disebabkan karena isomer optic
berinteraksi denga sisi reseptor yang aktif optis, menghasilkan diasterioisomer
dengan sifat kimia fisika berbeda sehingga terjadi perbedaan dalam distribusi dan
interaksi dengan reseptor spesifik.
3. Menurut Easson dan Stedman, struktur isomer optic secara teoritis dapat
menimbulkan efek fisiologis yang berbeda karena ada perbedaan dalam hal
pengaturan molekul sehingga salah satu isomer dapat berinteraksi dengan reseptor
hipotesis sedang isomer yang lain tidak dapat berinteraksi.

Interaksi reseptor hipotesis dengan isomer optic dapat dijelaskan pada gambar

A A

B' D' B D D B
'
C C C

Reseptor hipotetis Isomer 1 Isomer 2


Letak persis sesuai Letak kurang sesuai
dengan reseptor hipotetis dengan reseptor hipotetis
Senyawa aktif Senyawa tidak aktif

Easson-Stedman juga memberikan postulat bahwa isomer optic dari epinefrin,


suatu obat adenergik, dapat menimbulkan aktivitas presor yang berbeda karena
mempunyai perbedaan dalam interaksi dengan permukaan reseptor.

10
Perbedaaan interaksi isomer-isomer epinefrin dengan permukaan reseptor
dijelaskan pada gambar

N Kationik Cincin aromatik N Kationik Cincin aromatik


H3C H2 H2
C H H3C OH
C
+ +
H N C H N C
H H
OH H

- daerah datar daerah datar


-
tempat anionik tempat anionik
R e s e pto r
tempat hidroksil tempat hidroksil tidak diduduki
(-) Epinefrin (+) Epinefrin
Interaksi serasi, lebih aktif Interaksi kurang serasi, kurang aktif

Dari gambar tersebut, terlihat bahwa pada (-) epinefrin ketiga gugus diikat
secara serasi pada permukaan reseptor sehingga menimbulkan aktivitas presor yang
jauh lebih besar disbanding (+) epinefrin,karena ada isomer (+) hanya dua gugus yang
terikat pada permukaan reseptor. Hilangnya gugus hidroksil pada struktur (-) epinefrin
(deoksiepinefrin) menyebabkan senyawa mempunyai aktivitas presor yang serupa
dengan (+) epinefrin, karena hanya dua gugus yang mengikat permukaan reseptor.

c. Jarak Antar Atom Dan Aktivitas Biologis Obat


Hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas biologis sering ditunjang oleh
konsep kelenturan reseptor. Pada beberapa tipe kerja biologis, jarak antar gugus-gugus
fungsional molekul dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis obat. Hal ini dapat
diperkiraan dari “jarak identitas” atau jarak antar ikatan-ikatan peptida struktur protein
yang memanjang.
Contoh: obat parasimpatomimetik, obat kurare, hormon estrogen non steroid.

2. HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DAN OBAT AKTIVITAS


BIOLOGIS OBAT
Sifat kimia fisika dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat oleh karena dapat
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh dan proses interaksi obat-reseptor. Beberapa
sifat kimia fisika penting yang berhubungan dengan aktivitas biologis antara lain adalah
ionisasi, pembentukan kelat, potensial redoks dan tegangan permukaan.

11
a. Ionisasi Dan Aktivitas Biologis
Ionisasi sangat penting dalam hubungannya dengan proses penembusan obat kedalam
membran biologis dan interaksi obat-reseptor. Untuk dapat menimbulkan aktivitas
biologis, pada umumnya obat dalam bentuk tidak terionisasi, tetapi ada pula yang aktif
adalah bentuk ionnya.
1. Obat yang aktif dalam bentuk tidak terionisasi
Sebagian obat yang bersifat asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat
memberikan efek biologis. Hal ini dimungkinkan bila kerja obat terjadi di membran sel
atau di dalam sel. Contoh: fenobarbital, turunan asam barbiturat yang bersifat asam
lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat menembus sawar darah otak dan menimbulkan
efek penekan fungsi sistem saraf pusat dan pernafasan.
2. Obat yang aktif dalam bentuk ion
Beberapa senyawa obat menunjukkan aktivitas biologis yang makin meningkat bila
derajat ionisasinya meningkat. Seperti diketahui dalam bentuk ion senyawa obat
umumnya sulit menembus membran biologis, sehingga diduga senyawa obat dengan
tipe ini memberikan efek biologisnya diluar sel. Contoh: aktivitas sulfonamida
mencapai maksimum bila mempunyai nilai pKa 6-8. Pada pKa tersebut sulfonamida
terionisasi ±50%. Pada pKa 3-5, sulfonamida terionisasi sempurna dan bentuk ionisasi
ini tidak dapat menembus membran sehingga aktivitas antibakterinya rendah. Bila
kadar bentuk ion kurang lebih sama dengan kadar bentuk molekul pKa 6-8, aktivitas
antibakterinya akan maksimal.
Menurut Cowles (1942), sulfonamida menembus membran sel bakteri dalam
bentuk tidak terionisasinya, dan sesudah mencapai reseptor yang bekerja adalah bentuk
ion.

b. Pembentukan Kelat Dan Aktivitas Biologis


Kelat adalah senyawa yang dihasilkan oleh kombinasi senyawa yang mengandung
gugus elektron donor dengan ion logam, membentuk suatu struktur cincin. Gugus-
gugus kimia yang dapat membentuk kelat antara lain adalah gugus amin primer,
sekunder dan tersier, oksim, imin, imin tersebstitusi, tioter, keto, tioketo, hidroksil,
tioalkohol, karboksilat, fosfonat, dan sulfonat. Sebagai contohh adalah pembentukan
kelat antara etilendiamin tetraasetat (EDTA) dengan ion Ca.
Ligan adalah senyawa yang dapat membentuk struktur cincin dengan ion logam
karena mengandung atom yang bersifat elektron donor, sperti N, S, dan O. Struktur
12
cincin yang umum terdapat dan cukup stabil adalah struktur cincin dengan jumlah atom
5 dan 6. Ligan mempunyai afinitas yang besar terhadap ion logam, sehingga dapat
menurunkan kadar ion logam yang toksis dalam jaringan dengan membentuk kelat yang
mudah larut dan kemudian diekresikan melalui ginjal.

Penggunaan ligan dalam bidang farmakologi antara lain adalah :


1. Membunuh mikroorganisme parasit, dengan cara membentuk kelat dengan logam
esensial yang diperlikan untuk pertumbuhan sel (aksi bakterisida, fungisida, dan
virisida).
2. Untuk menghilangkan logam yang tidak diinginkan atau yang membahayakan
organisme hidup (antidotum keracunan logam).
3. Untuk studi fungsi logam dan metaloenzim pada media biologis.
Contoh Ligan :
1. Dimerkaprol ( British Anti-Lewisite=BAL)
2. (+) Penisilamin
3. Oksin (8-hidroksikuinolin)
4. Isoniazid, tiasetazon, dan etambutol.
5. Tetrasiklin

c. Potensial Redoks dan Aktivitas Biologis


Potensial redoks adalah ukuran kuantitatif kecenderungan senyawa untuk memberi
dan menerima elektron.
Reaksi redoks adalah perpindahan elektron dari satu atom ke atom molekul yang
lain. Tiap reaksi pada organisme hidup terjadi pada potensial redoks optimum, dengan
kisaran yang bervariasi, sehingga diperkirakan bahwa potensial redoks senyawa
tertentu berhubungan dengan aktivitas biologisnya.pengaruh potensial redoks tidak
dapat diamati secara langsung karena hanya berlaku untuk sistem keseimbangan ion
tunggal yang bersifat reversibel, sedang reaksi pada sel hidup merupakan reaksi yang
serentak, termasuk oksidasi ion tunggal yang bersifat reversibel adapula yang
ireversibel. Hubungan potensial redoks dengan aktivitas biologis secara umum hanya
terjadi pada senyawa dengan struktur dan sifat fisik yang hampir sama. Pada sistem
interaksi obat secara redoks, pengaruh sistem distribusi dan faktor sterik sangat kecil.
13
Contoh:
a. Turunan kuinon
b. Sb dan As
c. Riboflavin
d. Aktivitas Permukaan dan Aktivitas Biologis
Surfaktan adalah suatu senyawa yang karena orientasi dan pengaturan molekul
pada permukaan larutan, dapat menurunkan tegangan permukaan. Strukur surfaktan
terdiri dari dua bagian yang berbeda, yitu bagian yang bersifat hidrofilik atau polar dan
bagian lipofilik atau non polar, sehingga dikatakan surfaktan bersifat ampifilik.
Bila surfaktan dimasukkan kedalam air maka pada permukaan akan teratur
sedemikian rupa sehingga bagian non polar, ,isal rantai hidrokarbon,, berorientasi ke
fasa uap, sedang bagian polar, misal gugus-gugus COOH, OH, NH2, dan NO2
berorientasi ke fasa air.
Bila surfaktan dimasukkan kedalam campuran pelarut polar dan non polar, maka
pada batas cairan polar dan non polar, bagian non polar berorientasi ke pelarut non
polar, sedang gugus polar berorientasi ke pelarut polar. Pada orientasi ini terlibat ikatan
van der waal’s, ikatan hidrogen dan ikatan ion-dipol.berdasarkan sifat gugus yang
dikandungnya, surfaktan dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
1. Surfaktan anionic
2. Surfaktan kationik
3. Surfaktan non ionic
4. Surfaktan amfoterik.

3. HUBUNGAN STRUKTUR, IKATAN KIMIA DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT


Respons biologis merupakan akibat interaksi molekul obat dengan gugus fungsional
molekul reseptor. Interaksi ini dapat berlangsung karena kekuatan ikatan kimia tertentu.
Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi obat reseptor antara lain adalah ikatan-
ikatan kovalen, ion-ion yang saling memperkuat (reinforce ions), ion (elektrostatik), hidrogen,
ion-dipol, dipol-dipol, van der Waal’s, ikatan hidrofob dan transfer muatan.

a. Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan sepasang elektron
secara bersama-sama. Ikatan kovalen merupakan ikatan kimia yang paling kuat dengan
rata-rata kekuatan ikatan 1000 kkal/mol. Dengan kekuatan ikatan yang tinggi ini, pada
14
suhu normal ikatan bersifat ireversibel dan hanya dapat pecah bila ada pengaruh
katalisator enzim tertentu. Interaksi obat-katalisator melalui ikatan kovalen menghasilkan
kompleks yang cukup stabil dan sifat ini dapat digunakan untuk tujuan pengobatan
tertentu.

b. Ikatan ion
Ikatan ion adalah ikatan yag dihasilkan oleh daya tarik menarik elektrostatik antara
ion-ion yang muatannya berlawanan. Kekuatan tarik-menarik akan makin berkurang bila
jarak antar ion makin jauh dan pengurangan tersebut berbanding terbalik dengan jaraknya.
c. Interaksi dipol-dipol
Adanya perbedaan keelektronegatifan atom C dengan atom yang lain seperti O dan N,
akan membentuk distribusi elektron tidak simetrik atau dipol, yang mampu membentuk
ikatan dengan ion atau dipol lain, baik yang mempunyai daerah kerapatan elektron tinggi
maupun yang rendah. Contoh: turunan metadon
d. Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen adalah suatu ikatan antara atom H yang mempunyai muatan positif
parsial dengan atom lain yang bersifat elektronegatif dan mempunyai sepasang elektron
bebas dengan oktet lengkap seperti O, N, F. Atom yang bermuatan positif parsial dapat
berinteraksi dengan atom negatif parsial dari molekul atau atom lain yang berbeda ikatan
kovalennya dalam satu molekul.
Contoh : H2O
e. Ikatan Van Der Waal’s
Ikatan van der waal’s merupakan kekuatan tarik-menarik antar molekul atau atom
yang tidak bermuatan dan letaknya berdekatan atau jaraknya ± 4-6 Å. Ikatan ini terjadi
karena sifat kepolarisasian molekul atau atom. Meskipun secara individu lemah tetapi
hasil penjumlahan ikatan van del waal’s merupakan faktor pengikat yang cukup
bermakna terutama untuk senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi.
Ikatan van der waal’s terlibat pada interaksi cincin benzen dengan daerah bidang datar
reseptor dan pada interaksi rantai hidrokarbon dengan makromolekul protein atau
reseptor.
f. Ikatan hidrofob
Ikatan hidrofob merupakan salah satu kekuatan penting pada proses penggabungan
daerah non polar molekul obat dengan daerah non polar reseptor biologis. Daerah non
polar molekul obat yang tidak larut dalam air dan molekul-molekul air disekelilingnya
15
akan bergabung melalui ikatan hidrogen membentuk struktur quasi-
crystalline (icebergs).

g. Transfer Muatan
Kompleks yang terbentuk antara dua molekul melalui ikatan hidrogen merupakan
kasus khusus dari fenomena umum kompleks donor-aseptor, yang distabilkan melaui
daya tarik-menarik elektrostatis antara molekul donor elektron dan molekul aseptor
elektron. Contoh: komplek transfer muatan N-metilpiridinum iodida

4. HUBUNGAN STRUKTUR DAN INTERAKSI OBAT DAN RESEPTOR


Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus
fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik, dapat
berinteraksi secara reversibel dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional
spesifik, menghasilkan respons biologis yang spesifik pula.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap, yaitu:
a. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik Interaksi ini memerlukan afinitas
b. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein sehingga
timbul respons biologis

a. Teori Klasik
Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat yang karakteristik.
Langley (1878), dari studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin,
memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali dan kemudian dikembangkan
oleh Ehrlich.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana
tentang interaksi obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau obat tidak dapat
menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor.

16
b. Teori Pendudukan
Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu sisi
reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif selama
proses pembentukan kompleks.
Obat akan berinteraksi dengan reseptor membentuk kompleks obat-
reseptor. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi
oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi antagonis.
Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat merupakan:
1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi interaksi obat-
reseptor menjadi dua tahap, yaitu:
1. Pembentukan kompleks obat-reseptor
2. Menghasilkan respons biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan
respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat reseptor.

c. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada
saat berinteraksi dengan reseptor.
Paton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat setara dengan kecepatan
ikatan obat-reseptor dan bukan dari jumlah reseptor yang didudukinya.
Asosiasi Disosiasi
O + R -----------> Kompleks O-R ----------> Respons biologis
<-----------
Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat mengikat
reseptor besar dan disosiasi yang besar. Senyawa dikatakn antagonis bila mempunyai
kecepatan asosiasi sangat besar sedang disosiasi nya sangat kecil. Senyawa
dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal.

17
d. Teori Kesesuaian Terimbas
Menurut Koshland (1958), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat menginduksi
terjadinya perubahan konformasi struktur enzim sehingga menyebabkan orientasi
gugus-gugus aktif enzim.
(E) + (S) ----------> Kompleks E-S -----------> Respons biologis
<-----------

e. Teori Ganguan Makromolekul


Belleau (1964), memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori gangguan
makromolekul. Menurut Belleau, interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul
protein (reseptor) dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor
sebagai berikut:
1. Gangguan konformasi spesifik (Specific Conformational Perturbation = SCP)
2. Gangguan konformasi tidak spesifik (Non Specific Conformational Perturbation =
NSCP.
Obat agonis adalah obat yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah
struktur reseptor menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respons biologis.
Obat antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat
mengubah struktur reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek
pemblokan.
Pada teori ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting pada
proses pengikatan obat-reseptor

f. Teori Pendudukan-Aktivasi
Ariens dan Rodrigues de Miranda (1979), mengemukakan teori pendudukan-
aktivasi dari model dua keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi dengan obat,
reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik antara dua keadaan yang berbeda
fungsinya, yaitu:
1. Bentuk teraktifkan (R*) : dapat menunjang efek biologis
2. Bentuk istirahat (R) : tidak dapat menunjang efek biologis
Agonis
R -----------> R*
<-----------
Antagonis
18
g. Konsep Kurir Kedua
Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan system adenyl siklase.
Sebagai contoh katekolamin, glukagon, hormon paratiroid, serotonin, dan histamin telah
menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar siklik-AMP. Interaksi hormon reseptor dapat
meningkatkan atau menurunkan kadar siklik-AMP dalam intrasel, tergantung pada
rangsangan atau hambatan dari adenil siklase. Bila rangsangan tersebut meningkatkan
kadar siklik-AMP, hormon dianggap sebagai kurir pertama (first messenger), sedang
siklik-AMP sebagai kurir kedua (second messenger).
Turunan xantin, seperti kafein dan teofilin, juga dapat menghambat secara
kompetitif siklik nukletida fosfodiesterase (PDE), suatu enzim yang mengkatalisis
perubahan siklik-AMP menjadi 5’-AMP. Pemberian turunan tersebut akan meningkatkan
kadar siklik-AMP dalam jaringan.

5. HUBUNGAN STRUKTUR DAN PENGEMBANGAN SENYAWA AGONIS DAN


ANTAGONIS
A. AGONIS DAN ANTAGONIS
Antagonis obat tidak hanya penting untuk merancang obat atu dalam membuat
komposisi obat tetapi juga digunakan secara luas karena banyak aski obat berdasarkan
antagonis dengan agonis endogen, seperti biokatalis, hormone dan neurotransmitter atau
kemungkinan bekerja sebagai antimetabolit terhadap matabolit penting pada proses
biokimia.
Contoh :
1. Kurare bekerja dengan memblok reseptor dari senyawa neuritransmiter asetilkolin
pada penghubung saraf otot.
2. Organofosfat bekerha sebagai racun saraf dan insektisida dengan cara memblok
enzim asetilkolinesterase sehingga kadar asetilkolin dalam tubuh menjadi berlebihan.
3. Anthistamin bekerja dengan memblok tempat aksi histamine endogen.
Tujuan rancangan senyawa aggonis dan antagonis adalah untuk mengembangkan
antagonis spesifik terhadap biokatalis utama atau metabolit endogen.
Contoh : asetilkolin dan senyawa kolinergik, histamine dan senyawa histaminergik,
norepinerfin dan senyawa α-adrenergik.
Senyawa agonis adalah senyawa yang dapat menghasilkan respon biologis terterntu
serupa dengan senyawa agonis endogen.
19
Senyawa antagonis adalah senyawa yang dapat menetralisir atau menghilangkan
respon biologis senyawa agonis.Pada umumnya senyawa antagonis mempunyai dasar
struktur yang mirip dengan senyawa agonis.
Pengetahuan tentang agonis dan antagonis penting untuk diketahui karena dapat
digunakan untuk:
a. Merancang kombinasi obat, terutama dalam formulasi obat di industry farmasi.
b. Pembuatan komposisi obat, terutama dalam pencampuran obat di apotek.
c. Merancang senyawa antagonis terhadap senyawa agonis endogen, seperti : metabolit-
antimetabolit, histamin–antihistamin dan neurotransmiter-antineurotransmiter.
Rancangan ini terutama dikembangkan di bagian riset dan pengembangan.
Pengetahuan tentang agonis-antagonis juga penting untuk mengetahui dan
mengantisipasi kemungkinan terjadinya bahaya interaksi obat.

Berdasarkan fasa kerja obat, senyawa antagonis dikelompokkan sebagai berikut :

1. Antagonis Ketersediaan Farmasetik


Antagonis ini menyebabkan ketersediaan obat dalam fasa farmasetik menurun oleh
karena berkurangnya kuantitas atau jumlah bentuk aktif obat yang dilepaskan atau
menurunnya kecepatan pelepasan senyawa aktif dari senyawa aktif dari sediaan farmasi.
Faktor utama sebagai penyebab adalah ketidaksesuaian (incompatibility) antara obat-
obat yang dikombinasikan dan ketidaksesuaian kimia atau fisika.
2. Antagonis ketersediaan Biologis
Antagonis ini juga disebut antagonis farmakokinetik, yang menyebabkan
ketersediaan biologis obat menurun sehingga kadar obat dalam darah dan jaringan juga
menurun.

Antagonis farmakokinetik dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :


a. Menurunnya absorpsi obat dalam saluran cerna.
b. Meningkatnya eksresi obat aktif.
c. Meningkatnya proses bioinaktivasi obat.
d. Menurunnya proses bioaktivasi obat.
e. Menurunnya kadar obat aktif karena ada interaksi kimia secara langsung antar obat
kombinasi.
3. Antagonis pada tingkat jaringan atau plasma dan reseptor
20
Antagonis ini juga disebut antagonis farmakokdinamik, yang mempangaruhi proses
interaksi obat dengan reseptor spesifik, sehingga menurunkan respons biologis obat.

B. KOMBINASI OBAT
Kombinasi obat kemungkinan melibatkan campuran dua atau lebih obat dalam satu
formulasi, penggunaan dua obat dalam formulasi yang berbeda dan diminum bersama-
sama, atau penggunaan dua obat yang diminum dalam waktu yang berbeda tetapi kemudian
berada bersama-sama dalam darah.Hal-hal di atas dapat menimbulkan masalah interaksi
obat, sehingga kemungkinan terjadi peningkatan atau penurunan efek obat (bersifat
antagonis).
Penurunan efek satu obat oleh obat yang lain atau antagonis antar obat pada umumnya
tidak diinginkan, tetapi kadang-kadang juga diinginkan.
Pada kasus penurunan efek obat yang tidak diinginkan, kombinasi obat dikatakan tidak
sesuai (incompatible).
Bila senyawa antagonis diberikan sebelumnya dan obyek biologis menjadi tidak
sensitive terhadapa obat kedua, maka terjadi proses desentisasi atau pencegahan aksi obat.
Bila senyawa antagonis diberikan sesudah agonis, yang dimaksudkan untuk
menghilangkan efek agonis atau efek sampingnya, maka disebut efekkuratif, misal untuk
pengobatan keracunan obat, senyawa antagonis berfungsi sebagai antidotum.
Kombinasi obat kemungkinan juga dapat meningkatkan aktivitas obat, yaitu :
a. Efek potensiasi, dengan cara :
1. Meningkatkan ketersediaan farmasetik.
2. Meningkatkan ketersediaan biologis dengan proteksi terhadap proses bioinaktivasi.
3. Menurunkan ekskresi obat.
4. Meningkatkan proses bioaktivasi
b. Efek sinergisme, yang berdasarkan pengaruh pada fasa farmakodinamik.

Kombinasi obat digunakan apabila :


a) Obat-obat tersebut mempunyai efek potensiasi atau dosis yang digunakan untuk
masing-masing onat menjadi lebih rendah dan dapat menghasilkan efek terapetik yang
sama dengan efek samping yang lebih kecil.
b) Salah satu obat untuk menyembuhkan infeksi sedang obat yang lain untuk meringankan
atau menghilangkan gejala-gejala yang timbul akibat infeksi tersebut.

21
Contoh : pada infeksi pernapasan, obat kemoterapi untuk membunub penyebab infeksi,
sedang analgesic, antihistamin dan pelega pernapasan untuk meringankan gejala-
gejalanya.
c) Untuk mencegah resistensi mikroorganisme.
d) Pada kasus di mana penyebab infeksi tidak dapat diidentifikasi secara cepat, sedang
pasien memerlukan penanganan dengan segera.
e) Pada penyakit yang disebabkan oleh parasit, obat-obat kombinasi yang bekerja melalui
mekanisme aksi berbeda dapat meningkatkan aktivitas terhadap miroorganisme.
f) Pada kasus dimana terjadi infeksi ganda, seperti infeksi kulityang disebabkan oleh
bakteri gram-positif dan Gram-negatif atau bekteri aerub dan anaerub.
g) Kombinasi obat lebih murah dan lebih nyaman penggunaannya disbanding apabila
diberikan secara terpisah.

Kombinasi obat menjadi tidak rasional atau tidak diinginkan apabila :


a. Salah satu obat menimbulkan efek potensiasi yang berlebihan terhadap obat lainnya.
b. Salah satu obat tidak tercampurkan dengan obat yang lain oleh karena berinteraksi
secara kimia atau karena dapat menghambat atau bersifat antagonis terhadap efek
teraperik obat lain.
c. Pada kasus obat antiparasit, bila efek terapetik yang dihasilkan kombinasi obat tidak
lebih baik dibandingkan diberikan sebagai obat tunggal, maka kombinasi tersebut dapat
meningkatkan resistensi parasit.

Kombinasi obat kemungkinan juga mempunyai kerugian oleh karena :


a. Tidak ada fleksebilitas dosis.
b. Sering terjadi dosis yang diberikan tidak cukup, sehingga kemungkinan terjadi
pengobatan yang tidak adekuat.
c. Dapat mempengaruhi identifikasi atau diagnose penyakit.
d. Toksisitas salah satu obat mungkin mempengaruhi dosis terapi dari obat yang lain.
e. Toksisitas yang dihasilkan oleh kombinasi obat sering diasosiasikan sebagai toksisitas
salah satu obat.
f. Dapat terjadi reaksi kimia antar obat kombinasi selama penyimpanan.
g. Jarang diperlukan penggunaan lebih dari satu obat untuk pengobatan kelainan fingsi
organic.

22
Oleh karena itu penggunaan kombinasi obat yang tidak benar dapat menyebabkan
keadaan atau kondisi pasien menjadi lebih buruk.

C. ANTAGONIS PADA FASA FARMAKOKINETIK


Antagonis pada fasa farmakokinetik pada umumnya adalah antagonis kimia
atau netralisasi.
Dasar dari antaginis kimia adalah adanya interaksi antar obat pada obyek biologis
sesudah absorpsi. Antagonis kimia akan berinteraksi dengan senyawa agonis menghasilkan
produk tidak aktif sehingga jumlah agonis yang berinteraksi dengan reseptor menurun dan
aktivitas biologis obat juga menurun.Hal tersebut digambarkan secara skematis sebagai
berikut :

Agonis (A) + Reseptor (R) ⟶ Kompleks A-R ⟶ Stimulus ⟶ Efek biologis


+
Antagonis Kimia
+
Produk Tidak Aktif

Potensi antagonis kimia tergantung pada kemampuan untuk berinteraksi dengan


senyawa agonis.

Contoh antagonis kimia :


a. Antikoagulan heparin yang bersifat asam dapat berinteraksi dengan protamin yang
bersifat basa sehingga senyawa menjadi tidak aktif.
b. Ion merkuri (Hg++) dapat membentuk kelat yang nontoksik dan mudah larut dalam air
dengan dimerkaprol sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini dapat digunakan untuk
merancang senyawa ke;at sebagai antidotum keracunan logam berat.

D. ANTAGONIS ANTAR OBAT PADA FASA FARMAKODINAMIK


Antagonis farmakodinamik adalah antagonis yang mempengaruhi proses interaksi obat
reseptor, sehingga respons biologis obat menurun. Antagonis berperan pada proses
biokimia penting atau melakukan pemblokan pada reseptor spesifik. Interaksi dapat bersifat
reversible, kompetitif atau irreversible.

23
1. Antagonis Kompetitif
Senyawa agonis dan antagonis berkompetisi dalam memperebutkan tempat reseptor
sehingga jumlah agonis yang berinteraksi dengan reseptor menuerun, dan aktivitas agonis
akan menurun. Hal tersebut digambarkan secara skematis sebagai berikut :

Agonis (A) + Reseptor (R) ⟶ Kompleks A-R ⟶ Stimulus ⟶⟶Efek Biologis



Antagonis Kompetitif

Pada umumnya ada hubungan struktur agonis dengan antagonis. Kurva hubungan
antara efek biologis dengan log dosis serupa dengan kurva pada antagonis kimia.
Contoh :
a. Antihistamin dan histamin
b. Kolinergik dan antikolinergik
c. Spironolakton dan aldosterone
d. Antagonis kompetitif dapat diatasi dengan meningkatkan kadar senyawa nagonis.
Proses antagonis kompetitif tergantung dari afinitas senyawa terhadapa reseptor.

2. Antagonis Nonkempetitif
Antagonis Nonkempetitif dapat bekerja dengan mekanisme sebagai berikut :
a. Pengurangan afinitas pada reseptor
Obat bekerja pada sel yang sama tetapi pada tempat yang berbeda atau
penghambatan alosetrik. Interaksi senyawa antagonis dengan reseptor menyebabkan
perubahan bentuk konformasi reseptor yang dapat menurunkan afinitas senyawa
agonis sehingga efek yang ditimbulkan juga menurun.
Hal ini berarti afinitas senyawa agonis dan antagonis terhadpa reseptor sama tetapi
aktivitas intrinsiknya berbeda.

b. Pengurangan aktivitas intrinsic


Senyawa antagonis bekerja pada sel yang berbeda dengan senyawa agonis.
Interaksi senyawa antagonis dengan sel yang berbeda dapat menyebabkan penrunan
aktivitas intrinsik senyawa agonis sehingga efek bioligis yang dihasilkan akan
menurun.

24
Contoh :
1) Agonis :spasmolitik (papaverin) dengan antagonis : spasmogen (histamin,
asetilkolin, serotonin atau metakolin).
2) Agonis :antimetabolit (aminopterin) dengan antagonis : normal
metabolit (asam p-aminobenzoat).

c. Menghalangi transmisi impuls.


Interaksi senyawa antagonis dengan sel yang berbeda dapat menyebabkan
halangan transmisi impuls senyawa agonis sehingga efek biologis yang dihasilkan
akan menurun.

Contoh agonis : striknin (perangsang sistem saraf pusat) dengan antagonis :


prokain (anestesi setempat).

d. Berinteraksi dengan makromolekul (membrane, sel atau jaringan ) yang sama


dengan obat agonis, yang merupakan bagian dari sistem reseptor-efektor, sehingga
terjadi penurunan efek biologis.
3. Kombinasi Antagonis Kompetitif dan Nonkompetitif
Kombinasi satu senyawa yang menimbulkan efek antagonis kompetitif dan
nonkompetitif dengan senyawa agonis juga sering terjadi. Aksi dari komponen non
kompetitif akan terlihat pada kadar yang tinggi dari senyawa antagonis.
Efek yang terjadi pada kurva log dosis-respons adalah pergeseran parallel dan
penekanan dari respons maksimal.

Contoh : kombinasi antikolinergik dengan adifenin atau kamilofen (papaverin-like


action).

4. Antagonis Fungsional dan Fisiologik


Apabila dua senyawa agonis yang mempunyai efek “berlawanan” [efek(+) dan efek
(-)] diberikan secara bersama-sama dapat mengubah parameter biologis, sehingga
terjadi efek antagonis.
Antagonis fungsional adalah apabila dua senyawa agonus yang mempunyai efek
“berlawanan” bekerja pada satu sel atau sistem yang sama, tetapi pada tempat yang
berbeda.
25
Contoh Antagonis Fungsional :
Spasmogen, sperti histamine dan senyawa kolinergik, dengan β-adrenergik, seperti
isoprenalin, yang bekerja pada sel yang sama yaitu otot polos jaringan bronki.
Antagonis Fisiologi adalah apabila dua senyawa agonis yang mempunyai efek
“berlawanan” bekerja pada organ atau jaringan yang berebeda sehingga dihasilkan efek
resultante.

Contoh antagonis fisiologis :


α-Adrenergik seprti norepinerfin, menimbulkan efek vasokontriksi arteri sehingga
meningkatkan tekanan darah, apabila dikombinasi dengan β-adrenergik yang
menimbulkan efek vasodilatasi pada kapiler dan menurunkan tekanan darah, maka
akan mempengaruhi tekanan darah dan terjadi efek resultante.

5. Antagonis Ireversible
Tipe antagonis dengan karakteristik masa kerja yang panjang.Pengikatan obat
reseptor kemungkinan bersifat selektif, tempat reseptor hanya untuk satu tipe agonis.
Contoh : Senyawa pemblok α-adrenergik, seperti dibenamin dan dibenezilin,
dapat memblok reseptor α-adrenergik dengan mengikat reseptor melalui ikatan
kovalen.

6. Antagonis Tipe Kompleks


Antagonis tipe ini cara kerjanya sangat kompleks.

Contoh :
 Senyawa bakteriostatik, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, sulfonamide,
eritromisin dan linkomisin, bekerja sebagai antibakteri dengan menghambat
sintesis protein, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri dan tidak mematikan
bakteri.

 Senyawa bakterisid, seperti penisilin, sefalosporin, D-sikloserin, vankomisin,


polimiksin, basitrasin, kolistin, streptomisin, kanamisisn dan neomisin, bekerja

26
sebagai antibakteri dengan menghambat sintesis mukopeptida yang dibutuhkan
untuk pembentukan dinding sel bakteri, akibatnya dinding sel mudah lisis dan
bakteri mengalami kematian.

Apabila senyawa bakteriostatik dan bakterisid dikombinasi, efek bakteriostatik


akan menghentikan pertumbuhan sel bakteri, sehingga senyawa baktersidal menjadi
tidak aktif terhadapa bakteri.

E. HUBUNGAN STRUKTUR KIMIA SENYAWA AGONIS DAN ANTAGONIS


KOMPETITIF
Agonis dan antagonis kompetitif mempunyai afinitas terhadap reseptor yang sama dan
yang berbeda adalah aktivitas intrinsiknya. Interaksi obat dengan tempat aktif atau reseptor
berdasarkan pada keseimbangan dinamik antara sifat-sifat kimia obat dan reseptor. Oleh
karena itu hubungan antara struktur kimia dan aktivitas dapat diprakirakan untuk obat-obat
yang bekerja pada reseptor yang sama.
1. Metabolit dan Antimetabolit
Pada umumnya senyawa agonis dan antagonis tipe ini mempunyai struktur yang
mirip atau suatu bioisosterik parsial.
Perubahan substrat menjadi penghambat kompetitif mungkin berdasar pada
stabilitas gugus kimia yang mudah diserang (gugus vulnerable) atau mudah
dimetabolisis, seperti gugus ester pada substrat.Prosedur yang sering efektif adalah
memasukkan satu atau lebih gugus alkil kecil pada atom karbon yang berdekatan gugus
vulnerable.
Contoh klasik adalah asetil-β-metilkolin dibanding asetilkolin terhadap efek
enzim asetilkolin esterase dan fenilisopropilamin (amfetamin) dibanding
feniletilamin terhadap efek enzim monoamine oksidase.
Adanya gugus metail (R) pada asetil-β-metilkolin dan amfetamin menyebabkan
senyawa lebih tahan terhadap enzim-enzim metabolism di atas sehingga masa kerja
obat menjadi lebih panjang.
Contoh metabolit dan antimetabolit lain adalah asam p-aminobenzoat dengan
sulfonamide, dan asam folat dengan aminopetrin atau metrotreksat.

27
2. Agonis dan Pemblok Selektif
Suatu fakta bahwa apabila struktur asetilkolin dipotong sehingga tinggal molekul
tetrametil ammonium, ternyata masih menunjukkan aktivitas intrinsic yang tertinggi
karena interaksi gugus onium dengan reseptor kolinergik masih cukup untuk aktivasi
reseptor. Hilangnya gugus onium akan menghilangkan aktivitas kolinergik.
Potensi asetlkolin 1000 kali lebih tinggi dibanding tetrametil ammonium, hal ini
berarti bahwa sisa molekul, yaitu gugus ester sangat penting untuk menunjang afinitas
asetilkolin terhadap reseptor kolinergik. Gugus ester berfungsi sebagai fasilisator
interaksi gugus onium dengan komplemen reseptor, sehingga untuk mengubah
senyawa kolinergik menjadi antikolinergik dapat dilakukan dengan subtitusi secara
bertingkat gugus metal pada gugus onium dengan gugus etil, diikuti dengan
penghilangan gugus ester dalam molekul.
Pengaruh etilasi bertingkat dari turunan ammonium kuartener terhadap afinitas dan
aktivitas intrinsic kolinergik.
Yang berperan terhadap aktivitas kolinergik turunan ammonium kuartener adalah
gugus ester dan gugus onium.

3. Hubungan Struktur Kimia Agonis dan Antagonis irreversible Selektif


Senyawa yang mengandung gugus pengalkilasi atau pengasilasi mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap tempat aksi obat dan dapat memblokadenya dengan pembentukan
ikatan kovalen melalui reaksi alkilasi atau asilasi.
Senyawa berinteraksi dengan gugus nukleofilik seperti OH, SH atau NH2 yang terdapat
pada semua makromolekul jaringan biologis, sehingga senyawa pemblok irreversible
tersebut aktivitasnya cenderung tidak selektif.
Contoh : obat antikanker golongan senyawa pengalkilasi turunan nitrogen mustard,
seperti mekloretamin, siklofosfamid dan tiotepa, bekerja tidak selektif, karena dapat
menghambat pertumbuhan sel kanker maupun sel normal dalam tubuh.
Prinsip pendudukan tempat aktif secara langsung oleh senyawa pemblok irreversible
dapat digunakan untuk mendapatkan senyawa dengan derajat selektifitas tertentu.Senyawa
yang mempunyai gugus pengalkilasi atau pengasilasi dengan afinitas atau selektifitas yang
tinggi terhadap tempat aksi atau reseptor dapat digunakan sebagai antimetabolit kompetitif
yang bersifat irreversible.Gugus-gugus selektif tersebut dapat dipandang sebagai
antimetabolit kompetitif yang irreversible terhdapa enzim sasaran atau antagonis kompetitif
terhdapa reseptor sasaran.
28
Contoh : senyawa pemblok enzim asetilkolin esterase irreversible, seperti benzililkolin
mustard.
Senyawa pemblok antikolinergik irreversible diasats didapat dengan memasukkan
gugus nitrogen mustar reaktif pada senyawa pemblok antikolinergik reversible
(benzililkolin).
Benzililkolin mustar dapat berinteraksi dengan reseptor asetilkolin, melalui reaksi
alkilasi, membentuk ikatan kovalen yang bersifat irreversible ssehingga masa kerja obat
menjadi lebih panjang

6. HUBUNGAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF STRUKTUR AKTIVITAS

A. AKTIVITAS OBAT
Dasar dari aktivitas obat adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari saat
obat diberikan sampai terjadinya respons biologis.

Fasa-fasa yang mempengaruhi aktivitas obat, yaitu:


Fasa farmakokinetik Meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses
absorpsi molekul obat yang menghasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa
aktif dalam cairan darah (pH = 7,4) yang akan didistribusikan ke jaringan atau organ
tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan ekskresi
obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat reseptor berada.
Fasa I, II dan III menentukan kadar obat aktif yang dapat mencapai jaringan target.
Fasa farmakodinamik Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap
interaksi molekul senyawa aktif dengan tempat aksi spesifik atau reseptor pada jaringan
target, yang dipengaruhi oleh ikatan kimia yang terlibat seperti ikatan kovalen , ion van
der waal’s, hidrogen, hidrofob, ion-dipol atau dipol-dipol, keserasian bentuk dan ukuran
molekul obat dengan reseptor. Fasa V adalah induksi ransangan, dengan melalui proses
biokimia, menyebabkan terjadinya respons biologis. Rancangan obat dalapt dilakukan
pada fasa I sampai IV.

29
1. Aktivitas pada Fase Farmakokinetik
Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi
dengan reseptor atau tempat aksi atau sel target, dengan kadar yang cukup tinggi.
Sebelum mencapai reseptor, obat terlebih dulu harus melalui proses farmakokinetik.

Faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetik adalah :


a. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti : cairan intrasel, cairan ekstrasel
dan berbagai fasa lipofil dalam tubuh.
b. Protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa biologis yang mungkin
dapat mengikat obat.
c. Distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama hubungan
waktu dan kadar obat dalam berbagai sistem tersebut yang sangat menentukan
kinetika obat.
d. Dosis dan sediaan obat, transpor antar kompartemen seperti proses absorpsi,
bioaktivasi, biodegradasi dan ekskresi yang menentukann lama obat dalam tubuh.

Metabolisme obat mempunyai peranan penting dalam proses farmakokinetik.


Sistem enzim metabolisme obat, terutama enzim oksidase di hati serta enzim hidrolase
di hati dan plasma, berperan dalam mengubah senyawa lipofilik menjadi substrat untuk
sistem konjugasi. Selanjutnya senyawa mengalami konjugasi menghasilkan konjugat
glukuronida, sulfat dan glisin yang bersifat sangat mudah larut dalam air dan kemudian
diekskresikan melalui ginjal atau hati. Senyawa lipofilik yang tahan terhadap proses
metabolisme akan diakumulasikan pada jaringan lemak.
Pengikatan obat dengan protein plasma terutama albumin juga berperan penting
dalam proses farmakokinetik. Hanya fraksi obat yang bebas (bentuk tidak terikat)
dalam plasma yang dipandang sebagai indikator untuk kadar obat dalam
kompartemen-kompartemen lain, bukan kadar obat dalam plasma.

2. Aktivitas yang Terjadi pada Proses Farmakokinetik Lingkungan


Farmakokinetik lingkungan mempelajari tentang interaksi antara makhluk hidup,
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan senyawa-senyawa kimia yang tersebar
di lingkungan.

Studi farmakokinetik lingkungan meliputi :


30
a. Ekosistem atau populasi dalam lingkungan
Bagian utama sistem kompartemen lingkungan adalah udara, tanah, air tanah dan
air permukaan serta populasi berbagai spesies tanaman dan hewan atau biomasa.
b. Polutan
Tingkat akumulasi polutan atau senyawa radioaktif perlu ditentukan dengan satuan
unit per waktu, juga waktu paro (t1/2) dan kecepatan eliminasi biologisnya.

c. Senyawa anorganik.
Ditentukan waktu beradanya, lama senyawa berubah, kadar senyawa dan
kecepatan peningkatan senyawa dengan satuan unit per waktu, waktu eliminasi
senyawa sampai tercapai keadaan keseimbangan dan waktu paro senyawa.

3. Aktivitas oleh Induksi dari Efek


Kekuatan respons biologis obat tergantung pada :
a. Jumlah tempat reseptor yang diduduki
b. Rata-rata lama pendudukan, yang tergantung pada kecepatan disosiasi kompleks
obat-reseptor
c. Kemampuan atau kapasitas molekul obat untuk menginduksi perubahan bentuk
konformasi biopolimer, yang dibutuhkan sebagai pemicu rangsangan timbulnya
respons biologis.

4. Afinitas dan Aktivitas Instrinsik


Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk
menimbulkan respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat reseptor.

Parameter induksi efek pada reseptor spesifik adalah sebagai berikut :


a. Afinitas molekul obat dengan reseptor, yang ditentukan oleh kekuatan ikatan obat-
reseptor.
b. Kompleks obat-reseptor yang memungkinkan terjadinya perubahan transformasi
dan distribusi muatan reseptor sehingga timbul rangsangan atau respons yang
sesuai. Kemampuan untuk menimbulkan respons biologis disebut aktivitas
intrinsik.

31
Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat
tergantung pada struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Aktivitas intrinsik adalah ukuran kemampuan obat untuk dapat memulai timbulnya
respons biologis. Aktivitas intrinsik merupakan karakteristik dari senyawa-senyawa
agonis.

5. Aktivitas pada Percobaan in vivo dan in vitro


Aktivitas biologis pada percobaan in vivo adalah satu integrasi dan keseimbangan
yang kompleks dari sifat kimia fisika senyawa yang ditentukan oleh berbagai kondisi
biologis atau biokimia dan biofisika pada berbagai fasa dari aktivitas obat.
Studi obat secara in vitro pada pecobaan dengan menggunakan organ yang
terisolasi, pengaruh dari transpor, perubahan kimia, metabolisme dan ekskresi obat
menjadi minimal dan distribusi menjadi lebih sederhana, sehingga diharapkan
hubungan struktur-aktivitas menjadi lebih jelas dan mendapatkan informasi tentang
sifat kimia obat yang berperan terhadap aktivitas, bagian struktur molekul obat yang
berinteraksi dengan reseptor (gugus fungsi) dan penyebab dari efek.

6. Aktivitas dari Senyawa Multipoten


Beberapa senyawa dalam satu turunan obat dapat menunjukkan aktivitas biologis
yang bermacam-macam.
Hubungan antara komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas senyawa
multipoten mempunyai kemungkinan bervariasi, yaitu:
a. Komponen yang bervariasi dalam aktivitas biologis disebabkan oleh interaksi obat
dengan tipe reseptor yang berbeda
b. Komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas kemungkinan disebabkan
oleh tipe molekul yang berbeda. Molekul obat sendiri dapat menimbulkan satu efek
sedang metabolitnya menimbulkan efek yang lain
c. Komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas kemungkinan merupakan
aspek yang mendasar dari satu tipe unit aksi farmakologis
d. Hilangnya satu komponen aktivitas dalam spektrum aktivitas dari turunan obat
tertentu kemungkinan disebabkan oleh perbedaan distribusi, tidak oleh pemisahan
yang mendasar dari aktivitas komponen.

32
7. Efek Terapetik dan Efek Samping
Spektrum efek dari senyawa multipoten dapat dibedakan dalam efek terapetik dan
efek samping atau efek yang diinginkan dan efek yang tidak diinginkan. Kualifikasi
efek terapetik atau efek samping dapat relatif subyektif.
Untuk mencapai tujuan pengembangan obat dapat dilakukan dengan
menghilangkan salah satu komponen aktivitas dari spektrum aktivitas obat atau
memisahkan dua komponen aktivitas dari satu obat menjadi dua senyawa yang
berbeda, melalui manipulasi molekul.

B. FAKTOR YANG MENDUKUNG HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVASI


a. Hubungan struktur-aktivitas empiris yang sifatnya Insidental
Untuk tipe obat tertentu hukum empiris yang diperlukan untuk terjadinya
aktivitas biologis dapat digunakan untuk membuat turunan obat berdasarkan data
percobaan yang tersedia.
b. Struktur obat simetrik
Beberapa tipe obat tertentu ada yang mengandung dua gugus fungsi yang
simetrik yang berhubungan dan mungkin diperlukan untuk aktivitas atau
mempunyai keuntungan tertentu.

C. PENGUKURAN KUANTITATIF AKTIVITAS OBAT


a. Efek individu, dengan mengukur dosis efektif individu terhadap hewan coba
Contoh: pemberian obat hipnotik dengan dosis ditingkatkan secara bertahap
sampai terjadi efek tertidur
b. Efek bertingkat, yaitu mengukur efek obat terhadap tiap-tiap hewan coba
Contoh: pemberian obat anabolic dengan dosis yang bervariasidan dilihat efeknya
terhadap kenaikan berat badan hewan coba.
c. Efek kuantal, yaitu mengukur respons “semua atau tidak” dari suatu kelompok
hewan coba, dengan menentukan persen respons
Contoh: menetukan dosis efektif median (ED50) dan dosis letal median (LD50) dari
suatu obat dari kelompok hewan coba.

D. PENDEKATAN FREE-WILSON
Free dan Wilson (1964), mengembangkan suatu konsep hubungan struktur dan
aktivitas biologis obat, yang dinamakan model de novo atau model matematik Free-
33
Wilson. Mereka mengemukakan bahwa respons biologis merupakan sumbangan
aktivitas dari gugus-gugus substituen terhadap aktivitas biologis senyawa induk.

E. PENDEKATAN HANSCH
Hansch (1963), mengemukakan suatu konsep bahwa hubungan struktur kimia
dengan aktivitas biologis (log 1/C) suatu turunan senyawa dapat dinyatakan secara
kuantitatif melalui parameter-parameter sifat kimia fisika dari substituen yaitu
parameter hidrofobik, elektronik, dan sterik. Model pendekatan ini disebut pula model
hubungan energi bebas linier (linier free energy relationships = LFER) atau pendekatan
ekstratermodinamik. Pendekatan ini menggunakan dasar persamaan Hammet yang
didapat dari kecepatan hidrolisis turunan asam benzoate.

7. HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT FISIKA KIMIA TERHADAP ABSORBSI,


DISTRIBUSI, EKSKRESI
Setelah masuk ke tubuh melalui cara tertentu (oral, parenteral, anal, dermal, dll) obat
akan mengalami proses absorpsi, distribusi, metanolisme dan ekskresi.
Tiga Fasa yang menentukan terjadinya aktivitas biologis obat adalah :
1. Fasa farmasetik
Meliputi proses pabrikasi, penganturan dosis, formulasi, bentuk sediaan,
pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Fasa ini berperan dalam
ketersediaan obat untuk dapat diabsorpsi ke tubuh.
2. Fasa Farmakokinetik
Meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat (ADME).
Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran (target)
atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
3. Fasa Farmakodinamik
Fasa terjadinya interaksi obat-reseptor dalam jaringan sasaran. Fasa ini berperan
dalam timbulnya respons biologis obat.
Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses-
proses sebagai berikut :
1. Obat disimpan dalam depo jaringan
2. Obat terikat oleh protein plasma, terutama albumin
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas dan
menimbulkan respons biologis.
34
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu:
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan
menghasilkan senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respons biologis (bioaktivasi)
b. Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak
aktif, kemudian diekskresikan (bioinaktivasi)
c. Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik
(biotoksifikasi)

5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan


Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat
yang tetap utuh dan mencapai reseptor pada jaringan sasaran. Sebagian besar obat
berubah atau terikat pada biopolimer. Tempat dimana obat berubah atau terikat
sehingga tidak dapat mencapai reseptor disebutsisi kehilangan (site of loss).
Contoh sisi kehilangan: protein darah, depo-depo penyimpanan, sistem
enzim yang dapat menyebabkan perubahan metabolisme obat dari bentuk aktif
menjadi bentuk tidak aktif dan proses ekskresi obat baik sebelum maupun sesudah
proses metabolisme.

A. Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Absorpsi Obat


Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan ata kehilangan obat selama proses absorpsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
1. Absorpsi Obat melalui Saluran Cerna
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dulu harus mengalami proses absorpsi
pada saluran cerna.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna
antara lain:
 Bentuk sediaan
 Sifat kimia fisika
 Cara pemberian
 Faktor biologis

35
 Faktor-faktor lain seperti umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan
senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.
Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada ukuran partikel
molekul obat, kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi.

2. Absorpsi Obat melalui Mata


Bila suatu obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diabsorpsi melalui
membran konjungtiva dan sebagian lagi melalui kornea. Kecepatan penetrasi
tergantung pada derajat ionisasi dan koefisien partisi obat. Bentuk yang tidak
terionisasi dan mudah larut dalam lemak cepat diabsorpsi oleh membran mata.
Penetrasi obat yang bersifat asam lemah lebih cepat dalam suasana asam karena
dalam suasana tersebut bentuk tidak terionisasinya besar sehingga mudah menembus
membran mata. Untuk obat yang bersifat basa lemah penetrasi lebih cepat dalam
suasana basa.

3. Absorpsi Obat melalui Paru


Obat anestesi sistemik yang diberikan secara inhalasi akan diabsorpsi melalui
epitel paru dan membran mukosa saluran napas. Krena mempunyai luas permukaan
besar maka absorpsi melalui buluh darah paru berjalan dengan cepat.
Absorpsi obat melalui paru tergantung pada:
 Kadar obat dalam alveoli
 Koefisien partisi gas/darah
 Kecepatan aliran darah paru
 Ukuran partikel obat

4. Absorpsi Obat melalui Kulit


Absorpsi obat melalui kulit sangat tergantung pada kelarutan obat dalam lemak
karena epidermis kulit berfungsi sebagai membran lemak biologis.

B. Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Distribusi Obat


Setelah masuk ke peredaran sistemik, molekul obat secara serentak didistribusikan ke
seluruh jaringan dan organ tubuh.

36
Kecepatan dan besarnya distribusi obat dalam tubuh bervariasi dan tergantung pada
faktor-faktor sebagai berikut:
 Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan dalam lemak
 Sifat membran biologis
 Kecepatan distribusi aliran darah pada jaringan dan organ tubuh
 Ikatan obat dengan sisi kehilangan
 Adanya pengangkutan aktif dari beberapa obat
 Masa atau volume jaringan

1. Struktur Membran Biologis


Membran biologis mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
 Sebagai penghalang dengan sifat permeabilitas yang khas
 Sebagai tempat untuk reaksi biotransformasi energi

a. Komponen Membran Sel


 Lapisan Lemak Bimolekul
 Protein
 Mukopolisakarida
b. Model Membran Sel
 Model Struktur Membran Davson-Danielli (1935)
Struktur membran sel terdiri daru dua bagian dalam adalah bagian lapisan lemak
bimolekul dan bagian luar adalah satu lapisan protein, yang mengapit lapisan lemak
bimolekul. Protein ini bergabung dengan bagian polar lemak melalui kekuatan
elektrostatik.
 Model Struktur Membran Robertson (1964)
Memperjelas model membran biologis Davson-danielli yaitu daerah polar molekul
lemak secara normal berorientasi pada permukaan sel dan diselimuti oleh satu lapis
protein pada permukaan membran.
 Model Struktur Membran Singer dan Nicholson (1972)
Disebut model cairan mosaik dimana struktur membran terdiri dari lemak
bimolekul dan protein globular yang tersebar diantara lemak bimolekul tersebut.

37
2. Hubungan Struktur, Kimia Fisika dengan Proses Distribusi Obat
Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara menembus membran biologis
melalui proses difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia
fisika obat dan sifat membran biologis.

Proses difusi dibagi menjadi dua yaitu difusi pasif dan difusi aktif.
 Difusi pasif
o Difusi pasif melalui pori
o Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran
o Difusi pasif dengan fasilitas
 Difusi aktif
o Sistem pengangkutan aktif
o Pinositosis
o Interaksi obat dengan biopolimer

C. Hubungan Struktur, Kimia Fisika dengan Proses Ekskresi Obat


1. Ekskresi obat melalui Paru
Obat yang diekskresikan melalui paru terutama obat yang digunakan secara
inhalasi. Sifat fisik yang menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah
koefisien partisi darah/udara.
2. Ekskresi obat melalui Ginjal
Ekskresi obat melalui Ginjal melibatkan tiga proses:
 Penyaringan Glomerulus
 Absorpsi Kembali secara Pasif pada Tubulus Ginjal
 Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal
3. Ekskresi Obat melalui Empedu
Obat dengan berat molekul lebih dari 150 dan obat yang telah dimetabolisis
menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati, melewati empedu
menuju ke usus dengan mekanisme pegangkutan aktif. Obat tersebut biasanya
dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sulfat atau glisin. Di
usus bentuk terkonjugat tersebut secara langsung diekskresikan melaui tinja, atau
dapat mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa

38
yang bersifat non polar, sehingga diabsorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke
hati, dimetabolisis, dikeluarkan lagi melaui empedu menuju ke usus,demikian
seterusnya sehingga merupakan suatu siklus yang dinamakan siklus enterohepatik.
Siklus ini menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.

8. HUBUNGAN STRUKTUR DAN PROSES METABOLISME


Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktovitas biologis, masa kerja dan toksisitas
obat sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain
(xenobiotika) sangat penting dalam bidang kimia medisinal.
Suatu obat dapat menimbulkan respons biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a. Obat aktif setelah masuk ke peredaran darah, langsung berinteraksi dengan
reseptor dan menimbulkan respons biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme
menjadi obat aktif, berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons
biologis (bioaktivasi).
Metabolisme obat adalah mengubah senyawa yang relatif non polar, menjadi senyawa
yang lebih polar sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh.

A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat


1. Faktor Genetik atau Keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang
terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau
keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat
2. Perbedaan Spesies dan Galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan
yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan
dilakukan terhadap tipe resksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada
kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif.
3. Perbedaan Jenis kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin
terhadap kecepatan metabolisme obat.
4. Perbedaan Umur

39
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom
hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga
sangat peka terhadap obat.
5. Penghambatan Enzim Metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang
menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek
obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek
samping dan toksisitas.
6. Induksi Enzim Metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi
enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam
plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih
singkat. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat
meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif.
7. Faktor lain-lain
Diet makanan, keadaan kekurangan gizi, ganguan keseimbangan hormon,
kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan
dan keadaan patologis hati.

B. Tempat Metabolisme Obat Dan Peran Sitokrom Oksidase


Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan dan organ-organ
seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati adalah organ tubuh yang merupakan
tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung lebih banyak enzim-enzim
metabolisme dibanding organ lain. Setelah pemberian secara oral, obat diserap oleh
saluran cerna, masuk keperedaran darah dan kemudian ke hati melalui efek lintas
pertama. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-
sel hati secara perlahan-lahan dan termetabolisis menjadi senyawa yang mudah larut
dalam air kemudian diekskresikan melalui urin.

40
C. Reaksi Metabolisme Fase I
1. Reaksi oksidasi:
 Oksidasi gugus aromatik, ikatan rangkap, atom C benzilik dan alilik, atom C
dari gugus karbonil dan imin.
 Oksidasi atom C alifatik dan alisiklik
 Oksidasi sistem C-N, C-O dan C-S
 Oksidasi alkohol dan aldehid
 Reaksi oksidasi lain-lain
2. Reaksi reduksi
 Reduksi aldehid dan keton
 Reduksi senyawa azo dan nitro
 Reaksi reduksi lain-lain
Reaksi fasa I dapat dicapai dengan :
1. Secara langsung memasukkan gugus fungsional, contoh : hidroksilasi senyawa
aromatik dan alifatik
2. Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul, contoh :
reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol
Fasa I dapat menghasilkan suatu gugus fungsional yang mudah terkonjugasi atau
mengalami reaksi fasa II. Tujuan reaksi fasa II adalah mengikat gugus fungsional hasil
metabolit reaksi fasa I dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat
polar.

D. Reaksi Metabolisme Fase II


1. Reaksi konjugasi:
 Konjugasi asam glukuronat
 Konjugasi sulfat
 Konjugasi dengan glisin dan glutamin
 Konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat
2. Reaksi asetilasi
3. Reaksi metilasi

41
9. HUBUNGAN STRUKTUR, KELARUTAN DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT
Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam media
yang berbeda dan bervariasi diantara dua hal yang ekstrem, yaitu pelarut polar, seperti air,
dan pelarut nonpolar seperti lemak. Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan
kelarutan dalam lemak. Gugus-gugus yang dapat meningkatkan kelarutsn molekul dalam
air disebut gugus hidrofilik (lipofobik atau polar), sedang gugus yang dapat meningkatkan
kelarutan molekul dam lemak disebut lipofilik (hidrofobik atau nonpolar).
Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan aktivitas biologis dari senyawa seri
homolog. Sifat kelarutan juga berhubungan erat dengan proses absorpsi obat. Hal ini
penting karena intensitas aktivitas biologis obat tergantung pada derajat absorpsinhya.

A. Aktivitas Biologis Senyawa Seri Homolog


Pada beberapa seri homolog senyawa sukar terdisosiasi, yang perbedaan struktur
hanya menyangkut perbedaan jumlah dan panjang rantai atom C, intensitas aktivitas
biologisnya tergantung pada jumlah atom C.
Contoh senyawa seri homolog:
1. n-Alkohol, alkilresorsinol, alkilfenol, dan alkilresol (antibakteri)
2. Ester asam para-aminobenzoat (anestesi setempat)
3. Alkil 4,4’-stilbenediol (hormon estrogen
Makin panjang rantai samping atom C, makin bertambah bagian molekul yang bersifat
nonpolar dan terjadi perubahan sifat fisik, seperti kenaikan titik didih, berkurangnya
kelarutan dalam air, meningkatnya koefisien partisi lemak/air, tegangan permukaan dan
kekentalan.
B. Hubungan Koefisien Partisi Dengan Anastesi Sistemik
Koefisien partisi pertama kali dihubungkan dengan aktivitas biologis, yaitu efek
hipnotik dan anastesi, obat-obat penekan system saraf pusat oleh Overton dan Meyer
(1899)
Mereka memberikan tiga postulat yang berhubungan dengan efek anastesi suatu
senyawa, yang dikenal dengan teori lemak, sebagai berikut:
a. Senyawa kimia yang tidak reaktif dan mudah larut dalam lemak, seperti eter,
hidrokarbon dan hidrokarbon terhalogenasi, dapat memberikan efek narkosis pada
42
jaringan hidup sesuai dengan kemampuannya untuk terdistribusi ke dalam jaringan
sel.
b. Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yang banyak mengandung lemak, seperti
sel saraf.
c. Efisiensi anastesi atau hipnotik tergantung pada koefisien partisi lemak/air atau
distribusi senyawa dalam fasa lemak dan fasa air jaringan.
Dari postulat di atas disimpulkanbahwa ada hubungan antara aktivitas anestesi dengan
koefisien partisi lemak/air.

C. Prinsip Ferguson
Banyak senyawa kimia dengan struktur berbeda tetapi mempunyai fisik yang sama,
seperti ester, kloroform, dan nitrogen oksida, dapat menimbulkan efek narkosis atau
anestesi sistemik. Hal ini menunjukkan bahwa sifat fisik lebih berperan dibanding sifat
kimia
Menurut Ferguson, kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangan
distribusi pada fasa-fasa yang heterogen, yaitu fasa eksternal, yang kadar senyawanya
dapat diukur dan biofasa. Ferguson menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu
menentukan kadar obat dalam biofasa atau reseptor karena pada keadaan
kesetimbangan kecenderungan obat untuk menentukan biofasa dan fasa eksternal
adalah sama, walaupun kadar obat dalam masing-masing fasa mungkin berbeda.
Kecenderungan untuk meninggalkan fasa disebut aktivitas termodinamik.

43
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu kimia dan
biologi, digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat pada tingkat
molekul.
Kimia medisinal melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas
biologis dan menghubungkan perilaku biodinamik melalui sifat-sifat kimia fisika dan
kereaktifan kimia senyawa obat.

44
DAFTAR PUSTAKA
Siswandono dan Bambang Soekardjo. Kimia Medisinal, Surabaya : Airlangga
University Press, 2000
Taylor JB, and Kennewell PD. Introductory Medicinal Chemistry, Chichester : Ellis
Horwood Limited, 1981
Wolf ME, Ed. Burger’s Medicinal Chemistry, 4thed., part I, The Basis of Medicinal
Chemistry, New York, Chichester, Brisbane, Toronto : John Wiley & Sons, 1980

45

Anda mungkin juga menyukai