Disusun oleh:
AHMAD FAKHRY ZIYANULQAYS (17330092)
FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah agar
menjadi lebih baik lagi.
Penyusun
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
BAB II ISI 2
a. Modifikasi Isosterisme 2
2. HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DAN OBAT AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT 11
a. Ikatan Kovalen 14
b. Ikatan Ion 15
c. Interaksi dipol-dipol 15
d. Ikatan Hidrogen 15
f. Ikatan Hidrofob 15
g. Transfer Muatan 16
a. Teori Klasik 16
b. Teori Pendudukan 17
c. Teori Kecepatan 17
II
5. HUBUNGAN STRUKTUR DAN PENGEMBANGAN SENYAWA AGONIS DAN ANTAGONIS 19
b. Kombinasi Obat 21
a. Aktivitas Obat 29
d. Pendekatan Free-Wilson 33
e. Pendekatan Hansch 34
c. Prinsip Ferguson 43
A. KESIMPULAN 44
DAFTAR PUSTAKA 45
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Batasan kimia medisinal menurut Burger (1970) adalah Ilmu pengetahuan yang
merupakan cabang dari ilmu kimia dan biologi,dan digunakan untuk memahami dan
menjelaskan mekanisme kerja obat. Sebagai dasar adalah mencoba menetapkan hubungan
struktur kimia dan aktivitas biologis obat, serta menghubungkan perilaku biodinamik
melalui sifat-sifat fisik dan kereaktifan kimia senyawa obat. Kimia medisinal melibatkan
isolasi, karakterisasi dan sintesis senyawa-senyawa yang dingunakan dalam bidang
kedokteran, untuk mencegah dan mengobati penyakit serta memelihara kesehatan.
Batasan kimia medisinal menurut IUPAC (1974) adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari penemuan, pengembangan, identifikasi dan interpretasi cara kerja senyawa
biologis aktif (obat) pada tingkat molekul. Kimia medisinal juga melibatkan studi,
identifikasi dan sintesis produk metabolisme obat dan senyawa yang berhubungan.
1. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik telah
digunakan untuk pengobatan.
2. Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas
pengobatan potensial.
3. Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organic, dengan ataupun
tanpa berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4. Menghubungkan sturktur kimia obat dengan cara kerjanya.
5. Mengembangkan rancangan obat.
6. Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat kimia
fisika dengan bantuan statistic.
1
BAB II
ISI
Sterokimia merupakan salah satu factor penting dalam aktivitas biologis obat, oleh karena
itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan aktivitas farmakologis obat
sangat menarik untuk dipelajari. Untuk berinteraksi dengan reseptor, molekul obat harus
mencapai sisi reseptor dan sesuai dengan permukaan reseptor.
Dua hal penting yang perlu diketahui adalah modifikasi isosterisme dan pengaruh isomer
terhadap aktivitas biologis obat.
a. Modifikasi Isosterisme
Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping atau
toksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan modifikasi struktur
molekul obat.
Istilah isosterisme telah digunakan secara luas untuk menggambarkan seleksi dari
bagian struktur yang karena karakterisasi sterik, elektronik dan sifat kelarutannya,
memungkinkan untuk saling dipergantikan pada modifikasi struktur molekul obat.
Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul, yang
mempunyai sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan ukuran,
keelektronegatifan atau stereokimia. Contoh pasangan isosterik yang mempunyai sifat
sterik dan konfigurasi elektronik sama adalah :
2
c) Mengubah struktur senyawa sehingga bersifat antagonis terhadap normal metabolit
(antimetabolit)
1. Pergantian gugus sulfide (-S-) pada system cincin fenotiazin dan cincin tioxanten,
dengan gugus etilen (-CH2CH2-), menghasilkan system cincin dihidrodibenzazepin
dan dibenzosiklo-heptadien yang berkhasiat berlawanan.
2. Turunan dialkiletilamin
R-X-CH2-CH2-N-(R1)2
3. Turunan ester etiltrimetilamonium
R-COO-CH2-CH2—N+(CH3)3
4. Obat antidiabetes turunan sulfonamide
5. Prokain dan prokainamid
6. Antimetabolit purin
Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada umumnya
mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini disebabkan oleh orientasi
gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang sama. Dari gambaran sterik dikenal
beberapa macam struktur isomeri, antara lain adalah isomer geometric, isomer konformasi,
diastereoisomer dan isomer optic. Bentuk-bentuk isomer tersebut dapat mempengaruhi
aktivitas biologis obat.
Isomer geometri atau isomer cis trans adalah isomer yang disebabkan adanya atom-
atom atau gugus-gugus yang terikaat secara langsung pada suatu ikatan rangkap atau
dalam suatu sistem alisiklik. Ikatan rangkap dan sistem alisiklik membatasi gerakan
3
atom dalam mencapai kedudukan yang stabil sehingga terbantuk isomer cis-trans dan
isomer cis-trans cenderung menahan gugus-gugus dalam molekul pada ruang yang
relatif berbeda dan perbedaan letak gugus-gugus tersebut dapat menimbulkan
perbedaan kimia fisika. Akibatnya, distribusi isomer dalam media biologis juga
berbeda, dan berbeda pula kemampuan isomer untuk interaksi dengan reseptor biologis.
A A A C
C == C C == C
B C B A
X
X
A' A' A' A'
R e s e pt o r C' B' R e s e pt o r C'
B'
Isomer konfirmasi adalah isomer yang terjadi karena ada perbedaan pengaturan
ruang dari atom-atom atau gugus-gugus dalam struktur molekul obat. Isomer
konfirmasi lebih stabil pada struktur senyawa non aromatik.
Contoh sikloheksan dapat membentuk 3 konfomer yaitu bentuk kursi, perahu, dan
melipat.
Pada bentuk 1,3 diaksial, subtituennya cenderung tolak-menolak satu sama lain
sehingga mengubah kelenturan cincin dan menmpatkan substituen pada kedudukan
ekuatorial yang kurang terpengaruh oleh efek sterik. Pada cincin non aromatik, atom
atau gugus yang terikat dapat pada kedudukan ekuatorial atau aksial atau kedua-duanya
dan dapat menunjukkan aktivitas biologis yang sama atau berbeda. Contoh ,
4
Trimeperidin adalah senyawa narkotik analgesik poten pada struktur molekulnya
bentuk konfirmasi ekuatorial atau aksial ditunjang dan berorientasi pada gugus fenil
dan gugus alisiklik. Gugus fenil cendrung dipertahankan dalam bidang cincin pada
kedudukan ekuatorial. Untuk mengubah kedudukan aksial dibutuhkan energi lebih
kurang7 kilo kalori/mol. Isomer aksial dan ekuatorial dari trimeperidin mempunyai
analgesik sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh bentuk isomer konfirmasi
terhadap aktivitas analgesik trimeperidin sangat kecil.
H H
H3C
+
N CH3 7 kkal/mol O
H
H
C
H5C2 O CH3 + CH3
CH3 N
H H3C
O H H H
C O
H5C2 H H
Planaritas pada bagian tertentu molekul obat sangat penting untuk dapat
menimbulkan aktivitas biologis pada umumnya. Pada umumnya akan menunjang
rigiditas molekul obat dan ini terjadi pada cincin aromatik atau suatu sistem
kerkonjugasi yang lain . atom atau gugus yang terikat secara langsung pada cincin atau
sistem tersebut akan berada pada ruang yang sama.
Contoh :
5
Kadang-kadang suatu molekul senyawa tertentu memberikan lebih dari satu efek
biologis karena mempunyai bentuk konfirmaasi yang unik dan lentur sehingga dapat
berinteraksi dengan reseptor-reseptor yang berbeda. Contoh:
1. Asetil kolin
Asetilkolin memiliki dua bentuk konfirmasi yaitu
a. bentuk konfirmasi tertutup
Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaknya berdekatan demgam atom O
dari gugus asetoksi sehingga terjadi ikatan hidrogen intermolekul membentuk
struktur tertutup. Bentuk konfirmasi ini dapoat berinteraksi dengan reseptor
nikotinik dari ganglia dan penghubung saraf otot.
b. bentuk konfirmasi memanjang penuh
pada bentuk ini atom H dari N-metil letaaknya berjauhan dengan atom O
sehingga membentuk struktur memanjang. Bentuk konfirmasi ini dapat
berinteraksi dengan reseptor muskarinik dari saraf post ganglionik parasimpatik
dan mudah dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase,
2. 2-Asetoksisiklopropiltrimetilamonium iodide
Pada bentuk (+) trans, atom H dari N-metil letaknya berjauhan dan terpisah dari
atom O gugus asektosi sehingga mempunyai bentuk konfirmasi memanjang seperti
asetilkolin. Senyawa ini memiliki derajat kekakuan yang lebih besar dari asetilkolin
dan mempunyai aktivitas muskarinik pada pembuluh darah anjing 5 kali lebih besar
dari asetilkolin.
I- I-
H3C O
H3C
+ CH3 + CH3
N O C
N H H3C
H3C CH3
CH3 H
H H O C H H
O
H H
trans-2-Asetoksisiklopropil cis-2-Asetoksisiklopropil
trimetilamonium iodida trimetilamonium iodida
6
3. Histamin
Histamin mempunyai 3 bentuk isomer konformasi yaitu bentuk konformasi
memanjang (A dan B) dan bentuk konformasi tertutup (C). Pada bentuk konformasi
A, jarak atom N cincin imidazol dengan N rantai samping ± 4,55 Ǻ, sedang pada
bentuk konformasi B jaraknya ± 3,60 Ǻ. Bentuk konformasi C tertutup karena ada
ikatan hydrogen intramolekul.
3. Diastereoisomer dan Aktivitas Biologis
Diastereoisomer adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang mempunyai
dua atau lebih pusat atom asimetrik, mempunyai gugus fungsional sama dan
memberikan tipe reaksi yang sama pula. Kedudukan gugus-gugus substitusi terletak
pada ruang yang relatif berbeda sehingga diastereoisomer mempunyai sifat fisik,
kecepatan reaksi dan sifat biologis yang berbeda pula. Perbedaan sifat-sifat di atas
berpengaruh terhadap distribusi, metabolisme dan interaksi isomer dengan reseptor.
Perbedaan interaksi dengan reseptor dari senyawa-senyawa diastereoisomer dapat
dilihat pada gambar berikut.
B Contoh :
BC
log P (cis) > log P (trans)
A C
A
membran biologis
B BC
A C A
B' B'
Reseptor
A' C' A' C'
7
Keterangan :
Nilai koefisien partisi lemak/air isomer cis tidak sama dengan isomer trans atau log P
(cis) > log P (trans).
A,B, dan C : gugus-gugus pada Isomer
A’,B’,dan C’ : tempat yang sesuai pada reseptor
Contoh :
A C A C log P ( + ) = log P ( - )
B B
membran biologis
A C A C
B B
8
Keterangan :
Nilai koefisien partisi lemak/air dari isomer (-) atau log P (+) = log P(-)
A, B, dan C : gugus-gugus pada isomer
A’, B’, dan C’ : tempat yang sesuai pada reseptor
Contoh obat yang dapat membentuk isomer optic dengan aktivitas biologis
berbeda:
1. (-)- Hiosiamin, aktivasi medriatiknya 15-20 kali lebih besar disbanding isomer (+)
2. D-(-)adrenalin, aktivitas vasokonsttiktornya 12-15 kali lebih basar disbanding
isomer (+)
3. (-)-Sinefrin, aktivitas presornya 60 kali lebih besar disbanding isomer (+)
4. (-)-α-Metildopa, mempunyai efek antihipertensi, sedang isomer (+) tidak
menimbulkan efek antihipertensi
5. D-(-)-treo-Kloramfenikol mempunyai efek antibakteri, sedang isomer L (+) eritro
efeknya negative
6. (+)-Norhormoepinefrin, aktivitas presosnya 160 kali lebih besar disbanding isomer
(-)
7. (+)-α-Propoksifen mempunyai efek analgesikm d\sedang isomer (-) mempunyai
efek antibatuk
8. L-(+)-Asam askorbat mempunyai efek antiskorbut, sedang isomer (-) efeknya
negarif
9. S-(+)-Indometasin mempunyai efek antiradang, sedang isomer R(-) efeknya
negative
10. Isomer (-) dan (+)-klorokuin mempunyai efek antimalaria yang sama, hal ini berarti
bahwa aspek steriokimia sedikit berpengaruh terhadap aktivitas biologis kliekuin
Interaksi reseptor hipotesis dengan isomer optic dapat dijelaskan pada gambar
A A
B' D' B D D B
'
C C C
10
Perbedaaan interaksi isomer-isomer epinefrin dengan permukaan reseptor
dijelaskan pada gambar
Dari gambar tersebut, terlihat bahwa pada (-) epinefrin ketiga gugus diikat
secara serasi pada permukaan reseptor sehingga menimbulkan aktivitas presor yang
jauh lebih besar disbanding (+) epinefrin,karena ada isomer (+) hanya dua gugus yang
terikat pada permukaan reseptor. Hilangnya gugus hidroksil pada struktur (-) epinefrin
(deoksiepinefrin) menyebabkan senyawa mempunyai aktivitas presor yang serupa
dengan (+) epinefrin, karena hanya dua gugus yang mengikat permukaan reseptor.
11
a. Ionisasi Dan Aktivitas Biologis
Ionisasi sangat penting dalam hubungannya dengan proses penembusan obat kedalam
membran biologis dan interaksi obat-reseptor. Untuk dapat menimbulkan aktivitas
biologis, pada umumnya obat dalam bentuk tidak terionisasi, tetapi ada pula yang aktif
adalah bentuk ionnya.
1. Obat yang aktif dalam bentuk tidak terionisasi
Sebagian obat yang bersifat asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat
memberikan efek biologis. Hal ini dimungkinkan bila kerja obat terjadi di membran sel
atau di dalam sel. Contoh: fenobarbital, turunan asam barbiturat yang bersifat asam
lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat menembus sawar darah otak dan menimbulkan
efek penekan fungsi sistem saraf pusat dan pernafasan.
2. Obat yang aktif dalam bentuk ion
Beberapa senyawa obat menunjukkan aktivitas biologis yang makin meningkat bila
derajat ionisasinya meningkat. Seperti diketahui dalam bentuk ion senyawa obat
umumnya sulit menembus membran biologis, sehingga diduga senyawa obat dengan
tipe ini memberikan efek biologisnya diluar sel. Contoh: aktivitas sulfonamida
mencapai maksimum bila mempunyai nilai pKa 6-8. Pada pKa tersebut sulfonamida
terionisasi ±50%. Pada pKa 3-5, sulfonamida terionisasi sempurna dan bentuk ionisasi
ini tidak dapat menembus membran sehingga aktivitas antibakterinya rendah. Bila
kadar bentuk ion kurang lebih sama dengan kadar bentuk molekul pKa 6-8, aktivitas
antibakterinya akan maksimal.
Menurut Cowles (1942), sulfonamida menembus membran sel bakteri dalam
bentuk tidak terionisasinya, dan sesudah mencapai reseptor yang bekerja adalah bentuk
ion.
a. Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan sepasang elektron
secara bersama-sama. Ikatan kovalen merupakan ikatan kimia yang paling kuat dengan
rata-rata kekuatan ikatan 1000 kkal/mol. Dengan kekuatan ikatan yang tinggi ini, pada
14
suhu normal ikatan bersifat ireversibel dan hanya dapat pecah bila ada pengaruh
katalisator enzim tertentu. Interaksi obat-katalisator melalui ikatan kovalen menghasilkan
kompleks yang cukup stabil dan sifat ini dapat digunakan untuk tujuan pengobatan
tertentu.
b. Ikatan ion
Ikatan ion adalah ikatan yag dihasilkan oleh daya tarik menarik elektrostatik antara
ion-ion yang muatannya berlawanan. Kekuatan tarik-menarik akan makin berkurang bila
jarak antar ion makin jauh dan pengurangan tersebut berbanding terbalik dengan jaraknya.
c. Interaksi dipol-dipol
Adanya perbedaan keelektronegatifan atom C dengan atom yang lain seperti O dan N,
akan membentuk distribusi elektron tidak simetrik atau dipol, yang mampu membentuk
ikatan dengan ion atau dipol lain, baik yang mempunyai daerah kerapatan elektron tinggi
maupun yang rendah. Contoh: turunan metadon
d. Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen adalah suatu ikatan antara atom H yang mempunyai muatan positif
parsial dengan atom lain yang bersifat elektronegatif dan mempunyai sepasang elektron
bebas dengan oktet lengkap seperti O, N, F. Atom yang bermuatan positif parsial dapat
berinteraksi dengan atom negatif parsial dari molekul atau atom lain yang berbeda ikatan
kovalennya dalam satu molekul.
Contoh : H2O
e. Ikatan Van Der Waal’s
Ikatan van der waal’s merupakan kekuatan tarik-menarik antar molekul atau atom
yang tidak bermuatan dan letaknya berdekatan atau jaraknya ± 4-6 Å. Ikatan ini terjadi
karena sifat kepolarisasian molekul atau atom. Meskipun secara individu lemah tetapi
hasil penjumlahan ikatan van del waal’s merupakan faktor pengikat yang cukup
bermakna terutama untuk senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi.
Ikatan van der waal’s terlibat pada interaksi cincin benzen dengan daerah bidang datar
reseptor dan pada interaksi rantai hidrokarbon dengan makromolekul protein atau
reseptor.
f. Ikatan hidrofob
Ikatan hidrofob merupakan salah satu kekuatan penting pada proses penggabungan
daerah non polar molekul obat dengan daerah non polar reseptor biologis. Daerah non
polar molekul obat yang tidak larut dalam air dan molekul-molekul air disekelilingnya
15
akan bergabung melalui ikatan hidrogen membentuk struktur quasi-
crystalline (icebergs).
g. Transfer Muatan
Kompleks yang terbentuk antara dua molekul melalui ikatan hidrogen merupakan
kasus khusus dari fenomena umum kompleks donor-aseptor, yang distabilkan melaui
daya tarik-menarik elektrostatis antara molekul donor elektron dan molekul aseptor
elektron. Contoh: komplek transfer muatan N-metilpiridinum iodida
a. Teori Klasik
Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat yang karakteristik.
Langley (1878), dari studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin,
memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali dan kemudian dikembangkan
oleh Ehrlich.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana
tentang interaksi obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau obat tidak dapat
menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor.
16
b. Teori Pendudukan
Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu sisi
reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif selama
proses pembentukan kompleks.
Obat akan berinteraksi dengan reseptor membentuk kompleks obat-
reseptor. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi
oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi antagonis.
Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat merupakan:
1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi interaksi obat-
reseptor menjadi dua tahap, yaitu:
1. Pembentukan kompleks obat-reseptor
2. Menghasilkan respons biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan
respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat reseptor.
c. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada
saat berinteraksi dengan reseptor.
Paton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat setara dengan kecepatan
ikatan obat-reseptor dan bukan dari jumlah reseptor yang didudukinya.
Asosiasi Disosiasi
O + R -----------> Kompleks O-R ----------> Respons biologis
<-----------
Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat mengikat
reseptor besar dan disosiasi yang besar. Senyawa dikatakn antagonis bila mempunyai
kecepatan asosiasi sangat besar sedang disosiasi nya sangat kecil. Senyawa
dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal.
17
d. Teori Kesesuaian Terimbas
Menurut Koshland (1958), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat menginduksi
terjadinya perubahan konformasi struktur enzim sehingga menyebabkan orientasi
gugus-gugus aktif enzim.
(E) + (S) ----------> Kompleks E-S -----------> Respons biologis
<-----------
f. Teori Pendudukan-Aktivasi
Ariens dan Rodrigues de Miranda (1979), mengemukakan teori pendudukan-
aktivasi dari model dua keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi dengan obat,
reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik antara dua keadaan yang berbeda
fungsinya, yaitu:
1. Bentuk teraktifkan (R*) : dapat menunjang efek biologis
2. Bentuk istirahat (R) : tidak dapat menunjang efek biologis
Agonis
R -----------> R*
<-----------
Antagonis
18
g. Konsep Kurir Kedua
Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan system adenyl siklase.
Sebagai contoh katekolamin, glukagon, hormon paratiroid, serotonin, dan histamin telah
menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar siklik-AMP. Interaksi hormon reseptor dapat
meningkatkan atau menurunkan kadar siklik-AMP dalam intrasel, tergantung pada
rangsangan atau hambatan dari adenil siklase. Bila rangsangan tersebut meningkatkan
kadar siklik-AMP, hormon dianggap sebagai kurir pertama (first messenger), sedang
siklik-AMP sebagai kurir kedua (second messenger).
Turunan xantin, seperti kafein dan teofilin, juga dapat menghambat secara
kompetitif siklik nukletida fosfodiesterase (PDE), suatu enzim yang mengkatalisis
perubahan siklik-AMP menjadi 5’-AMP. Pemberian turunan tersebut akan meningkatkan
kadar siklik-AMP dalam jaringan.
B. KOMBINASI OBAT
Kombinasi obat kemungkinan melibatkan campuran dua atau lebih obat dalam satu
formulasi, penggunaan dua obat dalam formulasi yang berbeda dan diminum bersama-
sama, atau penggunaan dua obat yang diminum dalam waktu yang berbeda tetapi kemudian
berada bersama-sama dalam darah.Hal-hal di atas dapat menimbulkan masalah interaksi
obat, sehingga kemungkinan terjadi peningkatan atau penurunan efek obat (bersifat
antagonis).
Penurunan efek satu obat oleh obat yang lain atau antagonis antar obat pada umumnya
tidak diinginkan, tetapi kadang-kadang juga diinginkan.
Pada kasus penurunan efek obat yang tidak diinginkan, kombinasi obat dikatakan tidak
sesuai (incompatible).
Bila senyawa antagonis diberikan sebelumnya dan obyek biologis menjadi tidak
sensitive terhadapa obat kedua, maka terjadi proses desentisasi atau pencegahan aksi obat.
Bila senyawa antagonis diberikan sesudah agonis, yang dimaksudkan untuk
menghilangkan efek agonis atau efek sampingnya, maka disebut efekkuratif, misal untuk
pengobatan keracunan obat, senyawa antagonis berfungsi sebagai antidotum.
Kombinasi obat kemungkinan juga dapat meningkatkan aktivitas obat, yaitu :
a. Efek potensiasi, dengan cara :
1. Meningkatkan ketersediaan farmasetik.
2. Meningkatkan ketersediaan biologis dengan proteksi terhadap proses bioinaktivasi.
3. Menurunkan ekskresi obat.
4. Meningkatkan proses bioaktivasi
b. Efek sinergisme, yang berdasarkan pengaruh pada fasa farmakodinamik.
21
Contoh : pada infeksi pernapasan, obat kemoterapi untuk membunub penyebab infeksi,
sedang analgesic, antihistamin dan pelega pernapasan untuk meringankan gejala-
gejalanya.
c) Untuk mencegah resistensi mikroorganisme.
d) Pada kasus di mana penyebab infeksi tidak dapat diidentifikasi secara cepat, sedang
pasien memerlukan penanganan dengan segera.
e) Pada penyakit yang disebabkan oleh parasit, obat-obat kombinasi yang bekerja melalui
mekanisme aksi berbeda dapat meningkatkan aktivitas terhadap miroorganisme.
f) Pada kasus dimana terjadi infeksi ganda, seperti infeksi kulityang disebabkan oleh
bakteri gram-positif dan Gram-negatif atau bekteri aerub dan anaerub.
g) Kombinasi obat lebih murah dan lebih nyaman penggunaannya disbanding apabila
diberikan secara terpisah.
22
Oleh karena itu penggunaan kombinasi obat yang tidak benar dapat menyebabkan
keadaan atau kondisi pasien menjadi lebih buruk.
23
1. Antagonis Kompetitif
Senyawa agonis dan antagonis berkompetisi dalam memperebutkan tempat reseptor
sehingga jumlah agonis yang berinteraksi dengan reseptor menuerun, dan aktivitas agonis
akan menurun. Hal tersebut digambarkan secara skematis sebagai berikut :
Pada umumnya ada hubungan struktur agonis dengan antagonis. Kurva hubungan
antara efek biologis dengan log dosis serupa dengan kurva pada antagonis kimia.
Contoh :
a. Antihistamin dan histamin
b. Kolinergik dan antikolinergik
c. Spironolakton dan aldosterone
d. Antagonis kompetitif dapat diatasi dengan meningkatkan kadar senyawa nagonis.
Proses antagonis kompetitif tergantung dari afinitas senyawa terhadapa reseptor.
2. Antagonis Nonkempetitif
Antagonis Nonkempetitif dapat bekerja dengan mekanisme sebagai berikut :
a. Pengurangan afinitas pada reseptor
Obat bekerja pada sel yang sama tetapi pada tempat yang berbeda atau
penghambatan alosetrik. Interaksi senyawa antagonis dengan reseptor menyebabkan
perubahan bentuk konformasi reseptor yang dapat menurunkan afinitas senyawa
agonis sehingga efek yang ditimbulkan juga menurun.
Hal ini berarti afinitas senyawa agonis dan antagonis terhadpa reseptor sama tetapi
aktivitas intrinsiknya berbeda.
24
Contoh :
1) Agonis :spasmolitik (papaverin) dengan antagonis : spasmogen (histamin,
asetilkolin, serotonin atau metakolin).
2) Agonis :antimetabolit (aminopterin) dengan antagonis : normal
metabolit (asam p-aminobenzoat).
5. Antagonis Ireversible
Tipe antagonis dengan karakteristik masa kerja yang panjang.Pengikatan obat
reseptor kemungkinan bersifat selektif, tempat reseptor hanya untuk satu tipe agonis.
Contoh : Senyawa pemblok α-adrenergik, seperti dibenamin dan dibenezilin,
dapat memblok reseptor α-adrenergik dengan mengikat reseptor melalui ikatan
kovalen.
Contoh :
Senyawa bakteriostatik, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, sulfonamide,
eritromisin dan linkomisin, bekerja sebagai antibakteri dengan menghambat
sintesis protein, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri dan tidak mematikan
bakteri.
26
sebagai antibakteri dengan menghambat sintesis mukopeptida yang dibutuhkan
untuk pembentukan dinding sel bakteri, akibatnya dinding sel mudah lisis dan
bakteri mengalami kematian.
27
2. Agonis dan Pemblok Selektif
Suatu fakta bahwa apabila struktur asetilkolin dipotong sehingga tinggal molekul
tetrametil ammonium, ternyata masih menunjukkan aktivitas intrinsic yang tertinggi
karena interaksi gugus onium dengan reseptor kolinergik masih cukup untuk aktivasi
reseptor. Hilangnya gugus onium akan menghilangkan aktivitas kolinergik.
Potensi asetlkolin 1000 kali lebih tinggi dibanding tetrametil ammonium, hal ini
berarti bahwa sisa molekul, yaitu gugus ester sangat penting untuk menunjang afinitas
asetilkolin terhadap reseptor kolinergik. Gugus ester berfungsi sebagai fasilisator
interaksi gugus onium dengan komplemen reseptor, sehingga untuk mengubah
senyawa kolinergik menjadi antikolinergik dapat dilakukan dengan subtitusi secara
bertingkat gugus metal pada gugus onium dengan gugus etil, diikuti dengan
penghilangan gugus ester dalam molekul.
Pengaruh etilasi bertingkat dari turunan ammonium kuartener terhadap afinitas dan
aktivitas intrinsic kolinergik.
Yang berperan terhadap aktivitas kolinergik turunan ammonium kuartener adalah
gugus ester dan gugus onium.
A. AKTIVITAS OBAT
Dasar dari aktivitas obat adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari saat
obat diberikan sampai terjadinya respons biologis.
29
1. Aktivitas pada Fase Farmakokinetik
Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi
dengan reseptor atau tempat aksi atau sel target, dengan kadar yang cukup tinggi.
Sebelum mencapai reseptor, obat terlebih dulu harus melalui proses farmakokinetik.
c. Senyawa anorganik.
Ditentukan waktu beradanya, lama senyawa berubah, kadar senyawa dan
kecepatan peningkatan senyawa dengan satuan unit per waktu, waktu eliminasi
senyawa sampai tercapai keadaan keseimbangan dan waktu paro senyawa.
31
Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat
tergantung pada struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Aktivitas intrinsik adalah ukuran kemampuan obat untuk dapat memulai timbulnya
respons biologis. Aktivitas intrinsik merupakan karakteristik dari senyawa-senyawa
agonis.
32
7. Efek Terapetik dan Efek Samping
Spektrum efek dari senyawa multipoten dapat dibedakan dalam efek terapetik dan
efek samping atau efek yang diinginkan dan efek yang tidak diinginkan. Kualifikasi
efek terapetik atau efek samping dapat relatif subyektif.
Untuk mencapai tujuan pengembangan obat dapat dilakukan dengan
menghilangkan salah satu komponen aktivitas dari spektrum aktivitas obat atau
memisahkan dua komponen aktivitas dari satu obat menjadi dua senyawa yang
berbeda, melalui manipulasi molekul.
D. PENDEKATAN FREE-WILSON
Free dan Wilson (1964), mengembangkan suatu konsep hubungan struktur dan
aktivitas biologis obat, yang dinamakan model de novo atau model matematik Free-
33
Wilson. Mereka mengemukakan bahwa respons biologis merupakan sumbangan
aktivitas dari gugus-gugus substituen terhadap aktivitas biologis senyawa induk.
E. PENDEKATAN HANSCH
Hansch (1963), mengemukakan suatu konsep bahwa hubungan struktur kimia
dengan aktivitas biologis (log 1/C) suatu turunan senyawa dapat dinyatakan secara
kuantitatif melalui parameter-parameter sifat kimia fisika dari substituen yaitu
parameter hidrofobik, elektronik, dan sterik. Model pendekatan ini disebut pula model
hubungan energi bebas linier (linier free energy relationships = LFER) atau pendekatan
ekstratermodinamik. Pendekatan ini menggunakan dasar persamaan Hammet yang
didapat dari kecepatan hidrolisis turunan asam benzoate.
35
Faktor-faktor lain seperti umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan
senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.
Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada ukuran partikel
molekul obat, kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi.
36
Kecepatan dan besarnya distribusi obat dalam tubuh bervariasi dan tergantung pada
faktor-faktor sebagai berikut:
Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan dalam lemak
Sifat membran biologis
Kecepatan distribusi aliran darah pada jaringan dan organ tubuh
Ikatan obat dengan sisi kehilangan
Adanya pengangkutan aktif dari beberapa obat
Masa atau volume jaringan
37
2. Hubungan Struktur, Kimia Fisika dengan Proses Distribusi Obat
Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara menembus membran biologis
melalui proses difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia
fisika obat dan sifat membran biologis.
Proses difusi dibagi menjadi dua yaitu difusi pasif dan difusi aktif.
Difusi pasif
o Difusi pasif melalui pori
o Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran
o Difusi pasif dengan fasilitas
Difusi aktif
o Sistem pengangkutan aktif
o Pinositosis
o Interaksi obat dengan biopolimer
38
yang bersifat non polar, sehingga diabsorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke
hati, dimetabolisis, dikeluarkan lagi melaui empedu menuju ke usus,demikian
seterusnya sehingga merupakan suatu siklus yang dinamakan siklus enterohepatik.
Siklus ini menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.
39
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom
hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga
sangat peka terhadap obat.
5. Penghambatan Enzim Metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang
menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek
obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek
samping dan toksisitas.
6. Induksi Enzim Metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi
enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam
plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih
singkat. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat
meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif.
7. Faktor lain-lain
Diet makanan, keadaan kekurangan gizi, ganguan keseimbangan hormon,
kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan
dan keadaan patologis hati.
40
C. Reaksi Metabolisme Fase I
1. Reaksi oksidasi:
Oksidasi gugus aromatik, ikatan rangkap, atom C benzilik dan alilik, atom C
dari gugus karbonil dan imin.
Oksidasi atom C alifatik dan alisiklik
Oksidasi sistem C-N, C-O dan C-S
Oksidasi alkohol dan aldehid
Reaksi oksidasi lain-lain
2. Reaksi reduksi
Reduksi aldehid dan keton
Reduksi senyawa azo dan nitro
Reaksi reduksi lain-lain
Reaksi fasa I dapat dicapai dengan :
1. Secara langsung memasukkan gugus fungsional, contoh : hidroksilasi senyawa
aromatik dan alifatik
2. Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul, contoh :
reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol
Fasa I dapat menghasilkan suatu gugus fungsional yang mudah terkonjugasi atau
mengalami reaksi fasa II. Tujuan reaksi fasa II adalah mengikat gugus fungsional hasil
metabolit reaksi fasa I dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat
polar.
41
9. HUBUNGAN STRUKTUR, KELARUTAN DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT
Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam media
yang berbeda dan bervariasi diantara dua hal yang ekstrem, yaitu pelarut polar, seperti air,
dan pelarut nonpolar seperti lemak. Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan
kelarutan dalam lemak. Gugus-gugus yang dapat meningkatkan kelarutsn molekul dalam
air disebut gugus hidrofilik (lipofobik atau polar), sedang gugus yang dapat meningkatkan
kelarutan molekul dam lemak disebut lipofilik (hidrofobik atau nonpolar).
Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan aktivitas biologis dari senyawa seri
homolog. Sifat kelarutan juga berhubungan erat dengan proses absorpsi obat. Hal ini
penting karena intensitas aktivitas biologis obat tergantung pada derajat absorpsinhya.
C. Prinsip Ferguson
Banyak senyawa kimia dengan struktur berbeda tetapi mempunyai fisik yang sama,
seperti ester, kloroform, dan nitrogen oksida, dapat menimbulkan efek narkosis atau
anestesi sistemik. Hal ini menunjukkan bahwa sifat fisik lebih berperan dibanding sifat
kimia
Menurut Ferguson, kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangan
distribusi pada fasa-fasa yang heterogen, yaitu fasa eksternal, yang kadar senyawanya
dapat diukur dan biofasa. Ferguson menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu
menentukan kadar obat dalam biofasa atau reseptor karena pada keadaan
kesetimbangan kecenderungan obat untuk menentukan biofasa dan fasa eksternal
adalah sama, walaupun kadar obat dalam masing-masing fasa mungkin berbeda.
Kecenderungan untuk meninggalkan fasa disebut aktivitas termodinamik.
43
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu kimia dan
biologi, digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat pada tingkat
molekul.
Kimia medisinal melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas
biologis dan menghubungkan perilaku biodinamik melalui sifat-sifat kimia fisika dan
kereaktifan kimia senyawa obat.
44
DAFTAR PUSTAKA
Siswandono dan Bambang Soekardjo. Kimia Medisinal, Surabaya : Airlangga
University Press, 2000
Taylor JB, and Kennewell PD. Introductory Medicinal Chemistry, Chichester : Ellis
Horwood Limited, 1981
Wolf ME, Ed. Burger’s Medicinal Chemistry, 4thed., part I, The Basis of Medicinal
Chemistry, New York, Chichester, Brisbane, Toronto : John Wiley & Sons, 1980
45