Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH FOT

SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2015-2016

SEDIAAN EMULSI EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza


Roxb). SEBAGAI PENINGKAT NAFSU MAKAN

DISUSUN OLEH
KELOMPOK V
1. Luh Ade Dyah Tantri Lestari (1208505032)
2. I Komang Alan Ariadi (1208505045)
3. Putu Eka Masmitha Utami Dewi (1208505096)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini yang banyak menjadi perhatian orang tua adalah rendahnya nafsu makan pada anak.
Mengingat pentingnya asupan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, maka banyak dari
orang tua yang bersedia melakukan apapun demi meningkatkan nafsu makan si anak. Terdapat banyak
faktor yang dapat menyebabkan nafsu makan anak berkurang, yaitu dapat berupa faktor psikis, faktor
fisik, maupun faktor pola makan (Sunarto, 2009). Dorongan untuk makan umumnya didasarkan pada
nafsu makan dan rasa lapar. Nafsu makan adalah keadaan yang mendorong seseorang untuk memuaskan
keinginannya dalam hal makan, hal ini berhubungan dengan konsep budaya yang berbeda antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sedangkan lapar menggambarkan suatu keadaan kekurangan
gizi dan merupakan suatu konsep fisiologis Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi pangan
keluarga. Kekurangan gizi pada usia dini dapat mengganggu pertumbuhan fisik, perkembangan mental
dan kecerdasan anak (Wilson et al, 1995).
Banyak jenis obat-obat perangsang nafsu makan (Appetite Stimulant), namun sebagian besar telah
ditarik dari peredaran oleh pemerintah karena efek sampingnya yang membahayakan. Dalam hal ini
sebagai alternatif pengganti adalah pemakaian obat tradisional. Indonesia kaya akan bermacam-macam
spesies tanaman, banyak diantaranya telah digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional oleh
sebagian besar rakyat Indonesia secara turun-temurun sebagai penambah nafsu makan. Keuntungan
penggunaan obat tradisional ialah bahan bakunya mudah diperoleh. Kemajuan pengetahuan dan
teknologi modern tidak mampu menggantikan peranan obat tradisional, bahkan pada saat ini pemerintah
tengah menggalakkan pengobatan kembali ke alam (back to nature) Dari beberapa tanaman obat
Indonesia yang telah dikembangkan, ada beberapa tanaman yang berpotensi dalam meningkatkan nafsu
makan, salah satunya yang sudah banyak digunakan sebagai bahan dalam pembuatan sediaan penambah
nafsu makan yaitu temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb).
Temulawak adalah tanaman asli Indonesia yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia
karena berbagai macam manfaatnya, yang salah satunya dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan.
Salah satu penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa kandungan minyak atsiri dalam
temulawak memiliki sifat koleretik, yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat
pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus (Sudarsono dkk., 1996). Kurkumin
dengan dosis 200 mg/kg pada tikus dapat meningkatkan hormon ghrelin yang signifikan dibandingkan
dengan kontrol tikus diabetes. Hormon ghrelin berkontribusi dalam merangsang lapar (Xu et al., 2013).
Selain itu, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ardhiani (2005) tentang pengaruh pemberian
ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) dan temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb)
terhadap peningkatan berat badan tikus putih jantan galur wistar adalah pada ekstrak temulawak dan
ekstrak temu hitam dosis 140 mg/Kg BB dan 560 mg/Kg BB pada sepuluh hari ketiga dapat memacu
kenaikan berat badan tikus.
Bentuk pengembangan dari obat tradisional dimulai dari jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan
fitofarmaka. Pengembangan jamu pada temulawak sebagai penghilang penambah nafsu makan memiliki
banyak kekurangan terutama aseptabilitas pada konsumen. Kendala lain yaitu kurkumin yang diperoleh
dari rimpang temulawak adalah kelarutannya yang rendah di dalam air, sehingga membatasi absorbsi zat
aktifnya (Ravindran, 2007). Sehingga perlu dilakukan suatu formulasi yang dapat meningkatkan absorbsi
kurkumin tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini, ekstrak rimpang temulawak dibuat menjadi
sediaan emulsi. Emulsi merupakan suatu sistem sediaan heterogen yang terdiri atas dua cairan yang tidak
menyatu, dimana salah satu fase terdispersinya (globul) sebagai tetesan seragam di dalam fase lainnya.
Terdapat dua tipe emulsi yaitu tipe minyak dalam air (M/A) dan air dalam minyak (A/M). Penggunaan
emulsi tipe M/A merupakan suatu cara pemberian sediaan oral yang dapat dengan mudah diterima untuk
zat dalam bentuk cairan-cairan yang tidak larut dalam air. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
perlu dibuat formulasi sediaan emulsi dari ekstrak rimpang temulawak sehingga diperoleh sediaan emulsi
yang stabil dan absorbsi yang tinggi.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana formulasi emulsi dari ekstrak rimpang temulawak untuk memperoleh sediaan yang
stabil sebagai obat penambah nafsu makan?
1.2.2 Bagaimana hasil uji sediaan emulsi dari ekstrak rimpang temulawak sebagai obat obat penambah
nafsu makan?

1.3. Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui formulasi emulsi dari ekstrak rimpang temulawak untuk memperoleh sediaan
yang stabil sebagai obat penambah nafsu makan.
1.3.2 Untuk mengetahui hasil uji sediaan emulsi dari ekstrak rimpang temulawak sebagai obat obat
penambah nafsu makan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Temulawak
Temulawak berasal dari kawasan Indo-Malaysia, dan telah tersebar diseluruh nusantara dan
dimanfaatkan masyarakat dalam bentuk jamu dan sebagainya. Temulawak hanya bisa tumbuh dan
berproduksi dengan baik di daratan rendah sampai pengunungan (daratan tinggi) yakni mulai 5 – 1200
m di atas permukaan laut, tumbuh liar di tempat yang agak terlindung, seperti di bawah naungan hutan
jati, padang alang-alang, dan hutan belantara lainnya. Juga cocok ditanam di bawah pohon-pohon
tahunan dan dibudidayakan di lahan perkarangan dan dikebun. Tumbuhan ini hidup pada berbagai jenis
tanah seperti tanah liat, berpasir, tetapi untuk mendapatkan rimpang yang berkualitas baik diperlukan
tanah yang subur yang mengandung banyak unsur hara (Rukmana, 1995).

2.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Backer, 1968)
2.2.1 Morfologi
Temulawak merupakan tanaman terna berumur tahunan (perennial). Tinggi tanaman sekitar 0,5 -
2,5 m. Batangnya merupakan batang semu yang terdiri atas beberapa gabungan pangkal daun yang
berpadu. Daun berbentuk lanset memanjang berwarna hijau tua dengan garis-garis cokelat. Bunga
temulawak biasanya muncul dari samping batang semunya setelah tanaman cukup dewasa. Bunga
berukuran pendek dan lebar, warnanya putih atau kuning muda bercampur merah. Daun pelindung bunga
berukuran besar. Rimpangnya berukuran besar dan berbentuk bulat. Rimpang induk dapat memiliki
banyak cabang sehingga bentuk keseluruhan rimpang beraneka. Kulit luar rimpang berwarna cokelat
kemerahan atau kuning tua. Apabila dibelah akan terlihat daging rimpang berwarna orange tua atau
kecokelatan, beraroma tajam khas temulawak, dan rasanya pahit. Warna rimpang cabang umumnya lebih
muda dari pada rimpang induk (Dalimartha, 2006).
2.3.1 Kandungan Kimia
Rimpang temulawak mengandung kurkumin, xanthorizol, kurkuminoid, minyak atsiri dengan
komponen α-kurkumen, germakran, ar-turmeron, β-atlantanton, d-kamfor. Fraksi pati merupakan
kandungan terbesar, jumlah bervariasi antara 48-54% tergantung dari ketinggian tempat tumbuh, makin
tinggi tempat tumbuh maka kadar patinya semakin rendah dan kadar minyak atsirinya semakin tinggi.
Pati temulawak terdiri dari abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, kurkuminoid, kalium, natrium,
kalsium, magnesium, besi, mangan, dan cadmium. Fraksi kurkuminoid memiliki aroma khas, tidak
toksik, terdiri dari kurkumin yang mempunyai aktivitas antiradang (Dalimartha, 2006).

2.4.1 Khasiat
Secara empiris Rimpang Temulawak (Curcuma domestica) berkhasiat untuk pelancar asi, penurun
kolesterol, penyakit kuning, diare, demam, malaria, radang saluran napas, batuk, dan badan letih, dan
menambah nafsu makan (Syukur, 2005). Berdasarkan uji bioaktivitas, Kurkumin yang terkandung dari
Curcuma xanthorizza memiliki aktivitas anti- inflamasi, antioksidan, antiprotozoa, antibakterial, anti-
HIV, antitumor, antikanker, menstimulasi regenerasi otot, penyakit kardiovaskular, diabetes (Aggarwal
et al., 2006). Kurkuminoid temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah,
serta dapat menaikkan kadar asam empedu darah kelinci dalam keadaan hiperlipidemia. Minyak atsiri
temulawak yang telah dijenuhkan dapat menghambat penyerapan glukosa dalam usus halus tikus dan
dan penyerapan ini bersifat reversibel. Selain itu, Xu (2013) menyebutkan bahwa setelah terapi
menggunakan (200 mg/kg) kurkumin pada tikus, terjadi peningkatan hormon ghrelin yang signifikan
dibandingkan dengan kontrol tikus diabetes. Hormon ghrelin berkontribusi dalam merangsang lapar

2.2. Nafsu Makan


Istilah nafsu makan sering dinyatakan sebagai hasrat akan jenis makanan spesifik, bukan makanan
pada umumnya. Oleh karena itu, nafsu makan membantu seseorang memilih kualitas makanan yang
dimakan. Istilah kenyang berarti perasaan pemenuhan dalam pencarian makanan. Kenyang biasanya
akibat dari pengisian makanan, khususnya bila depot cadangan makanan, jaringan adiposa dan cadangan
glikogen telah terisi (Guyton,1990).
Nafsu makan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor hedonik (palatabilitas atau derajat kesukaan
terhadap makanan tertentu, rasa, tekstur, bau), kesukaan dan keengganan yang diketahui (bait shynes,
selera makan yang tidak spesifik), pengaruh farmakologis (obat-obatan anoreksia dan naloxone), selera
makan spesifik (NaCl), perubahan psikologis akibat pengaruh dari penyakit (diabetes, obesitas, kanker),
pengaruh metabolik (kebutuhan kalori tingkat neuro transmitter, hormon adrenalin, hormon seks),
pengaruh lingkungan (temperatur) dan pengaruh sosial (kebudayaan, agama). Sedangkan lapar berarti
sangat membutuhkan makanan, dan hal ini dihubungkan dengan sejumlah sensasi objektif. Hal ini
menyebabkan perasaan tercekik atau perih pada lambung dan kadang-kandang menyebabkan rasa nyeri
yang dinamakan “hunger pangs”. Selan itu orang yang lapar lebih tegang dan gelisah daripada biasanya
(Guyton, 1990).

2.3. Homeostasis Energi dan Pengaturan Perilaku Makan


Metabolisme energi di dalam tubuh manusia diatur oleh berbagai faktor, baik yang menyebabkan
meningkatnya penyimpanan energi, atau yang mendorong pemakaian energi. Pengaturan tersebut
berperan dalam mempertahankan keseimbangan energi. Keseimbangan energi ini merupakan fungsi
utama pengaturan asupan makanan, yaitu melalui pengaturan perilaku dan nafsu makan. Banyak faktor
yang berperan dalam mengatur perilaku makan. Faktor-faktor tersebut mengatur agar asupan makanan
disesuaikan untuk menyeimbangkan perubahan pemakaian energi selama suatu periode. Berbagai faktor
kimia yang berada di aliran darah bekerja sebagai sinyal kondisi nutrisi tubuh, seperti berapa banyak
lemak yang tersimpan dan berapa banyak glukosa tersedia, berperan penting dalam mengatur asupan
makanan (Sherwood, 2001).

Gambar 1. Peran Berbagai Sinyal Hormonal yang Mempengaruhi Hipotalamus.

Leptin dan insulin beredar di dalam darah dengan kadar yg sesuai massa lemak tubuh. Keduanya
menurunkan nafsu makan dengan menginhibisi neuron yang memproduksi NPY/AgRP, dan
menstimulasi neuron yang memproduksi melanocortin di bagian nukleus arkuatus hipotalamus. Aktivasi
neuron NPY/AgRP dapat menghambat neuron melanocortin. Hormon lambung ghrelin menstimulasi
nafsu makan dengan mengaktivasi neuron NPY/AgRP. Sebaliknya PYY3-36 dari colon menurunkan
nafsu maka dengan menghambat neuron ini (Schwartz and Morton, 2002)
Pengaturan asupan makanan tidak ditentukan pada perubahan hanya dari satu sinyal, tetapi oleh
integrasi berbagai input yang menyampaikan informasi tentang status energi tubuh. Berbagai molekul
sinyal bekerja sama untuk menjamin bahwa perilaku makan sesuai dengan kebutuhan energi tubuh
jangka pendek maupun yang jangka panjang (Sherwood, 2001). Terdapat berbagai mekanisme
pengaturan asupan makanan, sebagian bekerja secara jangka panjang untuk mempertahankan cadangan
lemak (cadangan energi) tubuh, dan yang lainnya bekerja untuk waktu singkat (jangka pendek) untuk
pengaturan segera jumlah dan frekuensi makan (Bear et al., 2001).

2.4. Ghrelin
Ghrelin adalah peptida dengan 28 asam amino, merupakan peptida alami yang memiliki satu ester
n-octanoyl pada residu serine. Setelah penemuan ghrelin-28, ditemukan ghrelin endogen kedua dari
ekstrak lambung tikus yang dinamakan des-Gln 14- ghrelin (peptida 27 asam amino). Ghrelin manusia
identik dengan ghrelin tikus dengan pengecualian pada dua residu. Kadar ghrelin plasma pada seseorang
yang puasa adalah 140 +/- 14 pmol/mL. Ghrelin pertama sekali ditemukan sebagai ligan endogen
terhadap growth hormone secretagogue receptors (GHS-R) yang sangat baik menstimulasi sekresi GH
(Gualillo et al., 2003).
Peptida ini diproduksi dan disekresikan oleh X/A-like cells di dalam kelenjar-kelenjar oxyntic
mukosa yang tersebar di lambung. Selain lambung, didapati adanya rangkaian neuron di antara nukleus-
nukleus di sekitar ventrikel III yang menghasilkan ghrelin. Ghrelin juga dihasilkan dalam jumlah sedikit
di testis, plasenta, ginjal, hipofise, usus halus, pankreas, limfosit dan bagian otak lainnya. Rata-rata, dua
per tiga jumlah ghrelin dalam plasma berasal dari lambung dan sekurangnya sepertiga berasal dari usus
halus. Selain menstimulasi sekresi GH, ghrelin mampu menyebabkan peningkatan asupan makanan dan
mengurangi pemakaian cadangan lemak. Satu hal yang penting adalah, bahwa kemampuannya
menciptakan keseimbangan energi positif itu terlepas dari pengaturan sekresi GH (Cowley et al., 2003).
Peningkatan kadar ghrelin menyebabkan meningkatnya ekspresi mRNA untuk NPY dan AgRP,
dan menstimulasi penglepasan NPY/AgRP tersebut., sebagai modulator yang telah diketahui
menyebabkan peningkatan nafsu makan dan menurunkan pemakaian energi Pengaruhnya terhadap jalur
NPY dan AgRP di sini mengimbangi pengaruh leptin dengan menimbulkan efek yang berlawanan. NPY
selanjutnya mempengaruhi MCH dan orexin melalui reseptor Y1 dan Y5 di neuron orde kedua, dan
menghasilkan efek meningkatnya nafsu makan (Bear et al., 2001)
2.5. Ekstraksi
2.5.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses
apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan
obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk.
Berdasarkan hal tersebut maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia
hewani, dan simplisia pelikan/mineral (Istiqomah, 2013).
2.5.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses
apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan
obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk.
Berdasarkan hal tersebut maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia
hewani, dan simplisia pelikan/mineral (Istiqomah, 2013).
2.5.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari
bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya
senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang
tepat (Ditjen POM, 2000). Menurut anggoro (2015) ektraksi serbuk rimpang temulawak menggunakan
etanol 96% dengan perbandingan bahan baku: pelarut (1:4) b/v, pada suhu 35oC memperoleh rndemen
sebesar 8,85-12,1% dari bobot serbuk.

2.6 Emulsi
2.6.1 Pengertian Emulsi
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispers dalam cairan yang lain dalam
bentuk tetesan kecil (droplet/globul) dengan diameter biasanya lebih dari 0,1 µm atau 0,1-50 µm. Jika
minyak yang merupakan fase terdispersi dan larutan air merupakan fase pendispersi, maka sistem ini
disebut emulsi minyak dalam air. Sebaliknya, jika air merupakan fase terdispersi dan minyak merupakan
fase pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi air dalam minyak. Suatu sistem emulsi pada dasarnya
tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel
sesama lainnya. Molekul fase A (air) ditarik ke dalam fase A dan ditolak oleh fase B (minyak),
membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi tersebut pecah. Kekuatan dan
kekompakan lapisan antarmuka adalah sifat yang penting yang dapat membentuk stabilitas emulsi
(Lachman, et al., 1994).
Di dalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan bahan ketiga untuk menstabilkan emulsi.
Bahan pengemulsi tersebut berguna untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fase air dan fase
minyak serta mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya
menjadi satu fasetunggal yang memisah, dengan membentuk lapisan yang protektif di sekeliling globul
(Effionora, 2012; Lachman, et al., 1994). Bahan pengemulsi umumnya dibedakan menjadi tiga golongan
besar, yaitu surfaktan, hidrokoloid dan zat padat terbagi halus. Golongan pengemulsi tertentu dipilih
terutama berdasarkan stabilitas shelf – life yang dikehendaki, tipe emulsi yang diinginkan dan biaya zat
pengemulsi (Lachman, et al., 1994). Suatu zat pengemulsi harus dapat dicampurkan dengan bahan
formulatif lainnya dan tidak boleh mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik, serta tidak
toksik pada penggunaan.
Kondisi Lingkungan seperti adanya cahaya, udara dan mikroorganisme, dapat memberikan efek
yang mengubah stabilitas emulsi. Oleh karena itu dilakukan formulasi yang sesuai guna mengurangi
kerusakan stabilitas tersebut dengan cara penambahan bahan-bahan tambahan lain. Bahan tambahanyang
diperlukan dalam formulasi emulsi, di antaranya: bahan pengawet, antioksidan dan penutup rasa.
Penambahan bahan pengawet bertujuan untuk mencegah kontaminasi mikroba. Suatu pengawet harus
efektif terhadap kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat melindungi emulsi selama
digunakan pasien. Pengawet harus mempunyai toksisitas rendah, stabil terhadap pemanasan dan selama
penyimpanan, tercampurkan secara kimia, memiliki rasa, bau dan warna yang lemah. Contoh pengawet
yang biasa digunakan di antaranya: asam benzoat dan turunannya, nipagin, nipasol, benzalkonium
klorida, klorbutanol, glutaraldehih, asam sorbat, fenol kresol, fenil merkuri asetat, klorotimol fenil
merkuri nitrat (Ansel, 2005; Lachman, et al.,1994).
Pada autooksidasi minyak-minyak tak jenuh seperti minyak nabati menimbulkan ketengikan
dengan bau, penampilan, dan rasa yang tidak menyenangkan. Di pihak lain, minyak mineral dan
hidrokarbon-hidrokarbon jenuh yang berhubungan mudah mengalami degradasi oksidatif pada
lingkungan tidak sesuai. Penambahan antioksidan dapat mencegah oksidasi dari fase minyak yang
terdapat dalam suatu sediaan emulsi. Contoh antioksidan yang biasa digunakan di antaranya: BHA
(butylated hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene), asam galat, propil galat, asam askorbat,
askorbil palmitat, sulfit dan tokoferol (Lachman, et al., 1994).

Sedangkan penutup rasa ditujukan untuk mengurangi rasa tidak enak dan secara ideal dilakukan
dengan cara mengurangi rasa pahit, menggunakan penghambat rasa khasiat, stabilitas, penampilan
sediaan, serta memberi rasa tertentu untuk mencirikan suatu produk (Effionora, 2012). Cara penutupan
rasa pahit sediaan oral secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan pemanis dan flavor. Pemanis
dapat memainkan peranan penting dalam formulasi sediaan yang digunakan melalui mulut seperti dengan
cara menambah rasa, menutupi rasa yang tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Contoh pemanis
yang biasa digunakan di antaranya: sukrosa, dekstrosa, fruktosa, gliserin, maltitol, manitol, sorbitol dan
xylitol (Effionora, 2012).

2.6.2 Tujuan Emulsi dan Emulsifikasi


Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan seorang farmasis dapat membuat suatu
sediaan yang stabil dan rata dari dua cairan yang tidak dapat bercampur, memecah fase dalam menjadi
tetesan-tetesan dan menstabilkan tetesan-tetesan tersebut dalam fase pendispersi dan ditujukan untuk
pemberian obat yang mempunyai rasa lebih enak walaupun yang diberikan sebenarnya minyak yang
tidak enak rasanya dengan penambahan pemanis dan pemberi rasa pada pembawa airnya sehingga mudah
dikonsumsi dan ditelan sampai ke lambung. Ukuran partikel yang diperkecil dari bola-bola minyak dapat
mempertahankan minyak tersebut agar lebih dapat dicernakan dan memudahkan absorpsi obat (Ansel,
2005; Lachman, et al., 1994).
Ada beberapa teori yang dapat dipakai pada proses emulsifikasi yaitu:
1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension): Didalam teori ini dikatakan bahwa penambahan
emulgator akan menurunkan dan menghilangkan tegangan permukaan yang terjadi pada bidang
batas sehingga antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur.
2. Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge): Setiap molekul emulgator dibagi menjadi dua
kelompok yakni : kelompok hidrofilik yaitu bagian dari emulgator yang suka pada air, dan
kelompok lipofilik yaitu bagian yang suka pada minyak.
3. Teori Interparsial Film: Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan diserap pada batas antara air
dan minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel fase dispers. Dengan
terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang sejenis untuk bergabung menjadi
terhalang. Dengan kata lain fase dispers menjadi stabil.
4. Teori Electric Double Layer (lapisan listrik ganda): Jika minyak terdispersi kedalam air, satu lapis
air yang langsung berhubungan dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan
lapisan berikutnya akan bermuatan yang berlawanan dengan lapisan didepannya. Dengan demikian
seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh dua benteng lapisan listrik yang saling
berlawanan. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel minyak yang akan
menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar. Karena susunan listrik yang
menyelubungi sesama partikel akan tolak menolak dan stabilitas emulsi akan bertambah.
(Syamsuni, 2006)

2.7 Sifat Fisiko Kimia Komponen Emulsi


2.7.1 Kurkumin
Kurkumin memiliki berat molekul sebesar 368,37, titik lebur 183⁰C, dan titik leleh 176-177⁰C.
Kurkumin tidak stabil pada perubahan pH. Dalam suasana asam kurkumin berwarna kuning atau kuning
jingga. Sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Selain terjadi perubahan disosiasi, pada suasana
basa kurkumin dapat mengalami degradasi membentuk asam ferulat dan ferulloilmetan. Degradasi ini
terjadi bila kurkumin berada dalam lingkungan pH 8,5-10,0 dalam waktu yang relatif lama, walaupun
tidak berarti bahwa dalam waktu relatif singkat tidak terjadi degradasi kurkumin, karena proses degradasi
juga sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Salah satu hasil degradasi, yaitu feruloilmetan memiliki
warna kuning cokelat yang akan mempengaruhi warna merah yang seharusnya terjadi. Sifat lain yang
penting dari kurkumin ialah aktivitasnya terhadap cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi
dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin atau terjadi degradasi struktur Kurkumin relatif tidak
larut dalam air, tetapi dapat larut dalam aseton, dimetilsulfoksid, alkali, keton, asam asetat, kloroform,
dan etanol (Ravindran, 2007).

2.7.2 Minyak Ikan Kod


Minyak ikan kod berasal dari jaringan pada jenis ikan kod berminyak. Minyak ikan mengandung
asam lemak omega-3, eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA)yang merupakan
prekursor untuk eicosanoids yang bisa mengurangi peradangan di seluruh tubuh (Houve, 2005 )

2.7.3 Gum Arab


Gum arab dihasilkan dari getah bermacam-macam pohon Acasia sp. di Sudan dan Senegal. Gum
arab pada dasarnya merupakan serangkaian satuan-satuan D-galaktosa, L-arabinosa, asam D-
galakturonat dan L-ramnosa. Berat molekulnya antara 250.000-1.000.000. Gum arab jauh lebih mudah
larut dalam air dibanding hidrokoloid lainnya. Pada olahan pangan yang banyak mengandung gula, gum
arab digunakan untuk mendorong pembentukan emulsi lemak yang mantap dan mencegah kristalisasi
gula (Tranggono dkk,1991). Gum dimurnikan melalui proses pengendapan dengan menggunakan etanol
dan diikuti proses elektrodialisis (Stephen and Churms, 1995). Menurut Imeson (1999), gum arab stabil
dalam larutan asam. pH alami gum dari Acasia Senegal ini berkisar 3,9-4,9 yang berasal dari residu asam
glukoronik. Emulsifikasi dari gum arab berhubungan dengan kandungan nitrogennya (protein). Gum
arab dapat meningkatkan stabilitas dengan peningkatan viskositas. Jenis pengental ini juga tahan panas
pada proses yang menggunakan panas namun lebih baik jika panasnya dikontrol untuk mempersingkat
waktu pemanasan, mengingat gum arab dapat terdegradasi secara perlahan-lahan dan kekurangan
efisiensi emulsifikasi dan viskositas.

2.7.4 Pemanis (Sorbitol)


Sorbitol dengan rumus kimia C6H14O6 adalah monosakarida poliol (1,2,3,4,5,6-Hexanehexol).
Sorbitol berupa senyawa yang berbentuk granul atau kristal berwarna putih dengan titik leleh berkisar
antara 89˚-101˚C, dan memiliki rasa manis. Sorbitol memiliki tingkat kemanisan relatif sama dengan 0,5
kali sampai 0,7 kali tingkat kemanisan sukrosa dengan nilai kalori sebesar 2,6 kkal/g atau setara dengan
10,87 kJ/g. Sorbitol termasuk dalam golongan GRASS (Generally Recognized as Safe), sehingga aman
dikonsumsi manusia, tidak menyebabkan karies gigi dan sangat bermanfaat sebagai pengganti gula bagi
penderita diabetes dan diet rendah kalori (Cahyadi, 2008).

2.7.5 Pemanis (Sukrosa)


Sukrosa merupakan pemanis alami yang paling umum digunakan dalam formulasi sediaan secara
oral yang dapat menutupi rasa sediaan yang kurang enak. Sukrosa diproduksi dari tebu (Sachharum
oficinarum) dan gula bit (Beta vulgaris) serta dikenal nontoksik dan biodegradable. Sukrosa berwarna
putih, berbentuk serbuk kristal, tidak berbau dan memiliki rasa manis (Rowey, Sheskey dan Owen, 2006).
Kelarutan sukrosa Sangat mudah larut dalam air; lebih mudah larut dalam air mendidih; sukar larut dalam
etanol; tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (Depkes RI, 1979).

2.7.6 Asam Sitrat


Penggunaan utama Asam Sitrat saat ini adalah sebagai zat pemberi cita rasa dan pengawet makanan
dan minuman, terutama minuman ringan. Kode Asam Sitrat sebagai zat aditif makanan (E number)
adalah E330. Sifat sitrat sebagai larutan penyangga digunakan sebagai pengendali pH dalam larutan
pembersih dalam rumah tangga. Kemampuan Asam Sitrat untuk mengikat ion-ion logam menjadikannya
berguna sebagai bahan sabun dan deterjen. Dengan mengikat ion-ion logam pada air sadah, Asam Sitrat
akan memungkinkan sabun dan deterjen membentuk busa dan berfungsi dengan baik tanpa penambahan
zat penghilang kesadahan (Cahyadi, 2008).

2.7.7 Pengawet (Na Benzoat)


Na Benzoat merupakan pengawet yang kompatibel dengan tragakan dalam formulasi dengan
konsentrasi 0,1%. Na Benzoat berwarna putih, berbentuk serbuk hingga kristal, tidak berbau dan tidak
berasa. Aktivitas Na benzoat sebagai pengawet dapat berkurang dengan adanya interaksi dengan kaolin
dan surfaktan nonionik (Rowey, Sheskey dan Owen, 2006). Kelarutannya mudah larut dalam air, agak
sukar larut dalam etanol dan lebih mudah larut dalam etanol 90% (Depkes RI, 1995)

2.7.8 Pelarut (Aquademineralisata)


Aquademineralisata adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan. Air murni dapat
diperoleh dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis terbalik, atau dengan cara yang sesuai.
Karena akan digunakan untuk sediaan oral, maka digunakan air yang bebas mineral, partikel dan mikroba
(Rowey, Sheskey dan Owen, 2006)

2.8 Fitofarmaka
Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang dapat
disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi
modern,tenaga ahli,dan biaya yang tidak sedikit (Lestari, 2007). Menurut Keputusan Menkes RI No. 761
tahun 1992, Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan
baku terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Obat
fitofarmaka merupakan ramuan obat dari tanaman yang disajikan setelah melalui berbagai proses.
Khasiat obat tersebut telah dibuktikan melalui proses percobaan pada penderita penyakit mengikuti
kaidah percobaan klinis.
BAB III
METODE

3.1 Formula
Formula sediaan emulsi ekstrak etanol temulawak yang digunakan yaitu :

Bahan Fungsi Konsentrasi Pustaka Konsentrasi


yang digunakan
Ekstrak Etanol Zat Aktif - 19,2%
Temulawak penambah
nafsu makan
Minyak Ikan Cod Fase Minyak - 7,5%
Gom Arab Emulgator 10-20% 15%
Sorbitol Pengental, 20-35% 25%
Sukrosa Pemanis 15% 15%
Asam Sitrat buffering agent 0,1-2%, 0,25%
Natrium Sitrat buffering agent 0,3-2% 0,25%
Natrium Benzoat Bahan 0,1% 0,1%
Pengawet
Aquades ad Fase Air - 100%
(Febrina, dkk., 2007)

Penentuan Dosis
Berdasarkan penelitian Xu et al (2013) Kurkumin dengan dosis 200 mg/kg pada tikus dapat
meningkatkan hormon ghrelin yang signifikan dibandingkan dengan kontrol tikus diabetes. Hormon
ghrelin berkontribusi dalam merangsang lapar.
Dosis Absolut = Dosis pada tikus x 0,2 kg
= 200mg/kgBB x 0,2 kg
= 40 mg
BB dewasa = 60 kg
Dosis Dewasa (60kg) = Dosis Absolut x Bobot Dewasa x Konversi LPT tikus pada manusia
= 40 mg x 60/70 x 56,0
= 1920 mg
= 1,92 gram
Takaran Dosis dalam sediaan = 1,92 gran/10ml
Maka untuk sediaan 100ml, diperlukan Ekstrak Etanol rimpang temulawak sebanyak
= 1,92 gram x 10
= 19,2 gram

3.2 Cara Pembuatan


3.2.1 Alat dan Bahan
- Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini meliputi alat-alat gelas, homogenizer, batang pengaduk,
timbangan analitik, pipet tetes, viscometer, pH-meter digital, beker glass, Hot plate dengan magnetic
stirrer, timbangan digital, botol kaca gelap, kertas perkamen, sendok tanduk, cawan porselen.
- Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini meliputi Rimpang temulawak, Gom arab, Minyak
Ikan Cod, Sukrosa, Sorbitol, Asam Sitrat, Natrium Sitrat, Natrium Benzoat dan Aquades.

3.2.2 Ekstraksi Rimpang Temulawak


Sampel yang digunakan dalam penelitin ini adalah rimpang temulawak. Rimpang temulawak yang
masih segar disortasi basah dan ditimbang. Selanjutnya rimpang diiris-iris dengan ketebalan 2-5mm, lalu
dikeringkan selama 3-8 hari dalam lemari pengering pada tempratur 40oC, irisan rimpang yang kering
ditandai dengan rapuh saat dipatahkan. Kemudian sampel dihaluskan dengan blender sehingga terbentuk
serbuk simplisa (Meilisa, 2009)
Sebanyak 160 gram rimpang temulawak dimasukkan ke dalam labu leher tiga, lalu diekstraksi
dengan menggunakan etanol 96% dengan perbandingan bahan baku: pelarut (1:4) b/v, pada suhu 35oC
selama waktu 180 menit dengan jumlah tahap ekstraksi tiga tahap. Rafinat yang diperoleh kemudian di
distilasi. Dengan rendemen yang diperoleh yaitu 8,85-12,1% (Anggoro, dkk., 2015)

3.2.3 Standarisasi Ekstrak


1. Pengujian Kadar Air Ekstrak
Uji kadar air dilakukan dengan metode gravimetri. Dimasukkan 10 g zat dan timbang dalam wadah
yang telah ditara, dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 jam dan timbang. Lanjutkan pengeringan dan
timbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari
0,25%. Persentase kadar air dihitung dengan rumus:
B − (C − A)
Susut pengeringan = x 100%
B
Keterangan :
A : botol timbang kosong (gram)
B : botol timbang dengan sampel (gram)
C :botol timbang dengan sampel setelah dipanaskan (gram)

2. Penetapan Susut Pengeringan


Menurut Depkes RI, (1995b), susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap suatu zat.
Kecuali dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105oC dan susut pengeringan ditetapkan sebagai berikut:
Ditimbang saksama 1 g dan 2 g zat dalam bobot timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Jika zat berupa hablur besar, sebelum
ditimbang digerus dengan cepat hingga ukuran butiran lebih kurang 2 mm. Zat dalam botol timbang
diratakan dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai
10 mm, dimasukkan ke dalam ruang pengering, dibuka tutupnya, dikeringkan pada suhu penetapan
hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan tertutup mendingin
dalam desikator hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan, pengeringan
dilakukan pada suhu antara 5o dan 10oC dibawah suhu leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian
pada suhu penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap (Depkes RI, 1995b).

3. Penetapan Kadar Abu Total


Menurut Depkes RI, (1995b), penetapan kadar abu dilakukan dengan prosedur yaitu lebih kurang
2 g sampai 3 g zat yang telah digerus dan ditimbang saksama, dimasukkan ke dalam krus platina atau
krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, lalu diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka ditambahkan air
panas, disaring melalui kertas saring bebas abu. Dipijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama.
Dimasukkan filtrat ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Dihitung kadar
abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

4. Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam


Abu yang telah diperoleh pada penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25 mL asam klorida encer
P selama 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam. Kemudian disaring melalui krus
kaca masir atau kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, dipijarkan hingga bobot tetap,
ditimbang. Dihitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di
udara (Depkes RI, 1995b).
5. Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air
Penetapan kadar sari yang larurt dalam air dilakukan dengan cara serbuk dikeringkan di udara,
dimaserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 mL air kloroform P, menggunakan labu bersumbat
sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring,
diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, dipanaskan
sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air, dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995b).

6. Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol


Serbuk dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 mL etanol (95%),
menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan
selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindarkan penguapan etanol (95%), diuapkan 20 mL filtrat
hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, dipanaskan sisa pada suhu 105°C
hingga bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (95%) dihitung terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995b).

3.2.4 Skrining Fitokimia


1. Tanin dan fenol
Sebanyak 5 ml ekstrak etanol rimpang temulawak dimasukkan kedalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan 5 tetes NaCl 10%, kemudian larutan dibagi menjadi 2 bagian kedalam tabung reaksi yang
berbeda. Tabung reaksi pertama ditambahkan 3 tetes FeCl3, kemudian didiamkan selama beberapa saat.
Terjadinya perubahan warna menjadi warna hijau kehitaman, menandakan adanya senyawa fenol dan
tanin yang terkandung dalam sampel tersebut. Kemudian, tabung reaksi kedua dijadikan sebagai kontrol.
2. Saponin
Sebanyak 5 ml ekstrak etanol rimpang temulawak, dimasukkan kedalam tabung reaksi, dikocok
kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm, menunjukkan
adanya saponin. Pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1995).
3. Triterpenoid dan Steroid
Pemeriksaan triterpenoid dan steroid dilakukan dengan reaksi Liebermann-Burchard. Larutan uji
sebanyak 2 mL diuapkan dalam cawan porselin. Residu dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform,
kemudian ditambahkan 0,5 mL asam asetat anhidrat. Asam sulfat pekat sebanyak 2 mL selanjutnya
ditambahkan melalui dinding tabung. Terbentuk cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan
menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin biru kehijauan menunjukkan adanya
steroid (Ciulei, 1984).
4. Flavonoid
Larutan uji ± 1 mL diuapkan hingga kering, dibasahkan sisanya dengan aseton P, ditambahkan
sedikit serbuk halus asam borat P dan serbuk halus asam oksalat P, dipanaskan di atas tangas air dan
hindari pemanasan berlebihan. Eter P ditambahkan 10 mL. Larutan diamati di bawah sinar UV 366 nm;
berfluoresensi kuning intensif, menunjukkan adanya flavonoid (Depkes RI, 1995)
5. Alkaloid
Larutan uji sebanyak 2 mL diuapkan di atas cawan porselin. Residu yang dihasilkan kemudian
dilarutkan dengan 5 mL HCL 2 N. Larutan yang diperoleh dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung
pertama ditambahkan dengan 3 tetes HCl 2 N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan
3 tetes pereaksi Dragendorff dan tabung ketiga ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer. Terbentuk endapan
jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid
(Farsnworth, 1966).

3.3 Formulasi Sediaan Emulsi Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak


Sediaan emulsi dibuat dengan menggunakan metode gom basah (4 bagian minyak:2 bagian gom:1
bagian air) yaitu mula-mula minyak buah merah dituang kan ke dalam mortir, kemudian gom arab
didispersikan hingga merata ke dalam minyak, diaduk hingga homogen, lalu ditambahkan air sekaligus
sambil diaduk dengan segera dan cepat sampai terdengar bunyi “ lengket” yang menandakan corpus
emulsi telah terbentuk. Asam sitrat, natrium sitrat serta natrium benzoat masing-masing dilarutkan dalam
air secukupnya, lalu secara perlahan-lahan bersama zatzat lainnya dimasukkan ke dalam corpus emulsi
yang telah terbentuk, terakhir air ditambahkan sampai jumlah yangditentukan (Ansel, 1989).

3.4 Cara Pakai


Diminum 3x sehari dengan sendok takar 10ml

3.5 Cara Evaluasi Mutu Sediaan


3.5.1 Uji Fisika-Kimia
1. Uji Organoleptis
Pengamatan organleptis dilakukan dengan mengamati bentuk, rasa, bau, warna, serta konsistensi
sediaan uji (Depkes RI, 1995).
2. Uji Viskositas
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan viskometer brokfield pada pada suhu ruang (27°C)
dengan kecepatan 2, 4, 10, 20, 50, 100 rpm. Data yang di peroleh di plot terhadap tekanan geser
(dyne/cm2) dan kecepatan geser (detik-1) sehingga akan di dapat sifat aliran (rheology). (Febrina dkk.,
2007).
3. Uji Redispersi
Sediaan emulsi dimasukkan ke dalam botol 150 ml, sebanyak 120 ml dan didiamkan selama 8
minggu. Setelah 8 minggu dilakukan redispersi dengan cara membalikkan botol dengan sudut 900,
kemudian dicatat jumlah pengocokan yang diperlukan hingga emulsi terdispersi dengan baik (Febrina
dkk., 2007).
4. Uji Jenis Emulsi
Uji tipe emulsi dilakukan dengan menggunakan salah satu metode yaitu metode pengenceran.
Dilakukan dengan penambahan sejumlah air dalam emulsi. Bila emulsi tersebut bercampur sempurna
dengan air, maka emulsi termasuk tipe M/A sedangkan bila emulsi tidak bercampur dengan sempurna
maka tipe emulsiA/M. Uji tipe emulsi ini dilakukan pada hari ke-0 dan 21, untuk melihat ada atau
tidaknya fenomena inversi fasa (pengubahan fasa) dari minyak dalam air menjadi air dalam minyak
(Martin et al., 1993).
5. Uji pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Elekroda sebelumnya telah dikalibrasi
pada larutan buffer pH 4, pH 7 dan pH 9. Kemudian elektroda dicelupkan ke dalam sediaan, pH yang
muncul dilayar dan stabil lalu dicatat (Depkes RI, 1995).
6. Uji Mikrobiologi
Uji mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui angka cemaran mikroba yang mungkin
mengkontaminasi sediaan selama penyimpanan. Uji ini dilakukan dengan menentukan Angka Lempeng
Total (ALT) yaitu penentuan jumlah koloni dari pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah sampel
diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok selama 24-48 jam pada suhu 35±1ºC. Cara
Pengujiannya sebagai berikut:
- Penyiapan alat-alat dan bahan yang telah disterilkan.
- Homogenisasi sampel, yaitu dengan memipet 1 mL sampel yang dimasukkan ke dalam wadah
lain, yang telah berisi 9 mL larutan pengencer sehingga diperoleh pengenceran 1:10. Sampel hasil
pengenceran ini kemudian digunakan untuk pengenceran lain apabila diperlukan.
- Sampel hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril.
Dilakukan sebanyak dua kali (duplo).
- Sebanyak 12-15 mL nutrient agar yang telah dicairkan dituang ke dalam masing-masing cawan
kemudian cawan digoyangkan perlahan-lahan sampai sampel tercampur rata dengan nutrient
agar, lalu dibiarkan sampai menjadi padat.
- Blanko dibuat dengan mencampur air pengencer dengan nutrient agar untuk masing-masing
sampel yang diperiksa.
- Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam inkubator dalam posisi terbalik dan diinkubasikan
selama 24-48 jam pada suhu 35±1ºC.
- Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan yang mengandung 25-250 koloni setelah 48 jam.
- Angka lempeng total dihitung dalam 1 gram atau 1 mL sampel dengan mengalikan jumlah rata-
rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang sesuai.
(Febrina dkk., 2007)

3.6 Kontrol Kualitas


3.6.1 Uji Preklinik
1. Uji Farmakologi
2. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut untuk mempelajari derajat efek toksik ekstrak etanol dari pada mencit yang
terjadi dalam waktu singkat setelah pemberian dosis tunggal. Hewan uji yang digunakan adalah mencit
galur Swiss Webster jantan dan betina, usia 2 bulan, bobot antara 22 — 36 g. Sediaan disuspensikan
dalam CMCNa 0,5% dan dibuat dengan 5 tingkat serangkaian dosis uji yaitu 625 mg/kg BB (D1), 1250
mg/kg BB(D2), 2500 mg/kg BB (D3), 5000 mg/kg BB (D4) dan 7.500 mg/kg BB (D5), sedangkan
kontrol normal hanya diberi larutan CMCNa 0,5%. Sediaan uji diberikan secara oral dalam dosis tunggal
1 ml per 20 g mencit, satu dosis per kelompok. Hewan coba di kelompokkan ke dalam 5 kelompok.
Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Tiap kelompok terdiri dari 5 mencit jantan
dan 5 mencit betina yang dikelompokkan secara acak. Kelompok kontrol (K) hanya diberi larutan
pembawa yaitu Na-CMC 0,5%. Pengamatan terhadap efek-efek yang muncul dilakukan segera setelah
pemberiaan sediaan uji selama 3 menit pada tiap jam dalam periode 4 jam pertama, kemudian diamati
secara seksama efek-efek yang muncul yang meliputi efek terhadap sistem syaraf pusat, sistem saraf
otonom, refleks, ritme pernapasan, perubahan dalam ekskresi, kondisi kulit dan mukosa, postur tubuh,
kecepatan denyut jantung dan beberapa respon lainnya yang umum diamati pada uji toksisitas akut. Hasil
uji toksisitas akut setelah pemberian ekstrak pada mencit jantan dan betina menunjukkan bahwa sampai
dosis 7500 mg/kg bobot badan (BB) tidak ada kematian dan efek toksik yang bermakna. Dengan
demikian LD 50 dari ekstrak etanol dari rimpang temulawak pada mencit lebih besar dari 7500 mg/kg
BB (Katrin, dkk., 2011).

3.6.2 Uji Klinik


1. Uji Klinik Fase I
Uji ini dilakukan pada sukarelawan sehat, dengan berat badan yang ideal (tidak mengalami
kehilangan nafsu makan). Tujuan fase ini ialah menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat
diterima, artinya yang tidak menimbulkan efek samping serius. Dosis oral yang diberikan pertama kali
pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang menimbulkan efek pada hewan. dosis berikutnya
ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan dua sampai diperoleh efek farmakologik atau sampai
timbul efek yang tidak diinginkan. Total jumlah subjek pada fase ini bervariasi antara 20-50 orang
2. Uji Klinik Fase II
Uji dilakukan pada kelompok penderita yang selanjutnya diberikan sediaan obat, dalam hal ini
adalah sukarelawan dengan bobot badan dibawah katagori ideal dan akan mendapatkan sediaan emulsi
rimpang temulawak. Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan dosis
optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai eliminasi obat,
terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada fase ini antara 100-200
penderita.
3. Uji Klinik Fase III
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat-baru benar-benar berkhasiat
(sama dengan penelitian pada akhit fase II) dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan
dengan obat standar. Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan dengan plasebo,
obat yang sama tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang
indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda
4. Uji Klinik Fase IV
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena merupaka pengamatan terhadap
obat yang telah dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat
serta pola efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Penelitian fase IV
merupakan survei epidemiologi menyangkut efek samping maupun efektifitas obat. Studi fase IV dapat
juga berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat terhadap
morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.
(Rahmatini, 2010)
3.6 Kemasan
3.7

Anda mungkin juga menyukai