DISUSUN OLEH
KELOMPOK V
1. Luh Ade Dyah Tantri Lestari (1208505032)
2. I Komang Alan Ariadi (1208505045)
3. Putu Eka Masmitha Utami Dewi (1208505096)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini yang banyak menjadi perhatian orang tua adalah rendahnya nafsu makan pada anak.
Mengingat pentingnya asupan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, maka banyak dari
orang tua yang bersedia melakukan apapun demi meningkatkan nafsu makan si anak. Terdapat banyak
faktor yang dapat menyebabkan nafsu makan anak berkurang, yaitu dapat berupa faktor psikis, faktor
fisik, maupun faktor pola makan (Sunarto, 2009). Dorongan untuk makan umumnya didasarkan pada
nafsu makan dan rasa lapar. Nafsu makan adalah keadaan yang mendorong seseorang untuk memuaskan
keinginannya dalam hal makan, hal ini berhubungan dengan konsep budaya yang berbeda antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sedangkan lapar menggambarkan suatu keadaan kekurangan
gizi dan merupakan suatu konsep fisiologis Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi pangan
keluarga. Kekurangan gizi pada usia dini dapat mengganggu pertumbuhan fisik, perkembangan mental
dan kecerdasan anak (Wilson et al, 1995).
Banyak jenis obat-obat perangsang nafsu makan (Appetite Stimulant), namun sebagian besar telah
ditarik dari peredaran oleh pemerintah karena efek sampingnya yang membahayakan. Dalam hal ini
sebagai alternatif pengganti adalah pemakaian obat tradisional. Indonesia kaya akan bermacam-macam
spesies tanaman, banyak diantaranya telah digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional oleh
sebagian besar rakyat Indonesia secara turun-temurun sebagai penambah nafsu makan. Keuntungan
penggunaan obat tradisional ialah bahan bakunya mudah diperoleh. Kemajuan pengetahuan dan
teknologi modern tidak mampu menggantikan peranan obat tradisional, bahkan pada saat ini pemerintah
tengah menggalakkan pengobatan kembali ke alam (back to nature) Dari beberapa tanaman obat
Indonesia yang telah dikembangkan, ada beberapa tanaman yang berpotensi dalam meningkatkan nafsu
makan, salah satunya yang sudah banyak digunakan sebagai bahan dalam pembuatan sediaan penambah
nafsu makan yaitu temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb).
Temulawak adalah tanaman asli Indonesia yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia
karena berbagai macam manfaatnya, yang salah satunya dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan.
Salah satu penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa kandungan minyak atsiri dalam
temulawak memiliki sifat koleretik, yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat
pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus (Sudarsono dkk., 1996). Kurkumin
dengan dosis 200 mg/kg pada tikus dapat meningkatkan hormon ghrelin yang signifikan dibandingkan
dengan kontrol tikus diabetes. Hormon ghrelin berkontribusi dalam merangsang lapar (Xu et al., 2013).
Selain itu, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ardhiani (2005) tentang pengaruh pemberian
ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) dan temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb)
terhadap peningkatan berat badan tikus putih jantan galur wistar adalah pada ekstrak temulawak dan
ekstrak temu hitam dosis 140 mg/Kg BB dan 560 mg/Kg BB pada sepuluh hari ketiga dapat memacu
kenaikan berat badan tikus.
Bentuk pengembangan dari obat tradisional dimulai dari jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan
fitofarmaka. Pengembangan jamu pada temulawak sebagai penghilang penambah nafsu makan memiliki
banyak kekurangan terutama aseptabilitas pada konsumen. Kendala lain yaitu kurkumin yang diperoleh
dari rimpang temulawak adalah kelarutannya yang rendah di dalam air, sehingga membatasi absorbsi zat
aktifnya (Ravindran, 2007). Sehingga perlu dilakukan suatu formulasi yang dapat meningkatkan absorbsi
kurkumin tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini, ekstrak rimpang temulawak dibuat menjadi
sediaan emulsi. Emulsi merupakan suatu sistem sediaan heterogen yang terdiri atas dua cairan yang tidak
menyatu, dimana salah satu fase terdispersinya (globul) sebagai tetesan seragam di dalam fase lainnya.
Terdapat dua tipe emulsi yaitu tipe minyak dalam air (M/A) dan air dalam minyak (A/M). Penggunaan
emulsi tipe M/A merupakan suatu cara pemberian sediaan oral yang dapat dengan mudah diterima untuk
zat dalam bentuk cairan-cairan yang tidak larut dalam air. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
perlu dibuat formulasi sediaan emulsi dari ekstrak rimpang temulawak sehingga diperoleh sediaan emulsi
yang stabil dan absorbsi yang tinggi.
1.3. Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui formulasi emulsi dari ekstrak rimpang temulawak untuk memperoleh sediaan
yang stabil sebagai obat penambah nafsu makan.
1.3.2 Untuk mengetahui hasil uji sediaan emulsi dari ekstrak rimpang temulawak sebagai obat obat
penambah nafsu makan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Temulawak
Temulawak berasal dari kawasan Indo-Malaysia, dan telah tersebar diseluruh nusantara dan
dimanfaatkan masyarakat dalam bentuk jamu dan sebagainya. Temulawak hanya bisa tumbuh dan
berproduksi dengan baik di daratan rendah sampai pengunungan (daratan tinggi) yakni mulai 5 – 1200
m di atas permukaan laut, tumbuh liar di tempat yang agak terlindung, seperti di bawah naungan hutan
jati, padang alang-alang, dan hutan belantara lainnya. Juga cocok ditanam di bawah pohon-pohon
tahunan dan dibudidayakan di lahan perkarangan dan dikebun. Tumbuhan ini hidup pada berbagai jenis
tanah seperti tanah liat, berpasir, tetapi untuk mendapatkan rimpang yang berkualitas baik diperlukan
tanah yang subur yang mengandung banyak unsur hara (Rukmana, 1995).
2.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Backer, 1968)
2.2.1 Morfologi
Temulawak merupakan tanaman terna berumur tahunan (perennial). Tinggi tanaman sekitar 0,5 -
2,5 m. Batangnya merupakan batang semu yang terdiri atas beberapa gabungan pangkal daun yang
berpadu. Daun berbentuk lanset memanjang berwarna hijau tua dengan garis-garis cokelat. Bunga
temulawak biasanya muncul dari samping batang semunya setelah tanaman cukup dewasa. Bunga
berukuran pendek dan lebar, warnanya putih atau kuning muda bercampur merah. Daun pelindung bunga
berukuran besar. Rimpangnya berukuran besar dan berbentuk bulat. Rimpang induk dapat memiliki
banyak cabang sehingga bentuk keseluruhan rimpang beraneka. Kulit luar rimpang berwarna cokelat
kemerahan atau kuning tua. Apabila dibelah akan terlihat daging rimpang berwarna orange tua atau
kecokelatan, beraroma tajam khas temulawak, dan rasanya pahit. Warna rimpang cabang umumnya lebih
muda dari pada rimpang induk (Dalimartha, 2006).
2.3.1 Kandungan Kimia
Rimpang temulawak mengandung kurkumin, xanthorizol, kurkuminoid, minyak atsiri dengan
komponen α-kurkumen, germakran, ar-turmeron, β-atlantanton, d-kamfor. Fraksi pati merupakan
kandungan terbesar, jumlah bervariasi antara 48-54% tergantung dari ketinggian tempat tumbuh, makin
tinggi tempat tumbuh maka kadar patinya semakin rendah dan kadar minyak atsirinya semakin tinggi.
Pati temulawak terdiri dari abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, kurkuminoid, kalium, natrium,
kalsium, magnesium, besi, mangan, dan cadmium. Fraksi kurkuminoid memiliki aroma khas, tidak
toksik, terdiri dari kurkumin yang mempunyai aktivitas antiradang (Dalimartha, 2006).
2.4.1 Khasiat
Secara empiris Rimpang Temulawak (Curcuma domestica) berkhasiat untuk pelancar asi, penurun
kolesterol, penyakit kuning, diare, demam, malaria, radang saluran napas, batuk, dan badan letih, dan
menambah nafsu makan (Syukur, 2005). Berdasarkan uji bioaktivitas, Kurkumin yang terkandung dari
Curcuma xanthorizza memiliki aktivitas anti- inflamasi, antioksidan, antiprotozoa, antibakterial, anti-
HIV, antitumor, antikanker, menstimulasi regenerasi otot, penyakit kardiovaskular, diabetes (Aggarwal
et al., 2006). Kurkuminoid temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah,
serta dapat menaikkan kadar asam empedu darah kelinci dalam keadaan hiperlipidemia. Minyak atsiri
temulawak yang telah dijenuhkan dapat menghambat penyerapan glukosa dalam usus halus tikus dan
dan penyerapan ini bersifat reversibel. Selain itu, Xu (2013) menyebutkan bahwa setelah terapi
menggunakan (200 mg/kg) kurkumin pada tikus, terjadi peningkatan hormon ghrelin yang signifikan
dibandingkan dengan kontrol tikus diabetes. Hormon ghrelin berkontribusi dalam merangsang lapar
Leptin dan insulin beredar di dalam darah dengan kadar yg sesuai massa lemak tubuh. Keduanya
menurunkan nafsu makan dengan menginhibisi neuron yang memproduksi NPY/AgRP, dan
menstimulasi neuron yang memproduksi melanocortin di bagian nukleus arkuatus hipotalamus. Aktivasi
neuron NPY/AgRP dapat menghambat neuron melanocortin. Hormon lambung ghrelin menstimulasi
nafsu makan dengan mengaktivasi neuron NPY/AgRP. Sebaliknya PYY3-36 dari colon menurunkan
nafsu maka dengan menghambat neuron ini (Schwartz and Morton, 2002)
Pengaturan asupan makanan tidak ditentukan pada perubahan hanya dari satu sinyal, tetapi oleh
integrasi berbagai input yang menyampaikan informasi tentang status energi tubuh. Berbagai molekul
sinyal bekerja sama untuk menjamin bahwa perilaku makan sesuai dengan kebutuhan energi tubuh
jangka pendek maupun yang jangka panjang (Sherwood, 2001). Terdapat berbagai mekanisme
pengaturan asupan makanan, sebagian bekerja secara jangka panjang untuk mempertahankan cadangan
lemak (cadangan energi) tubuh, dan yang lainnya bekerja untuk waktu singkat (jangka pendek) untuk
pengaturan segera jumlah dan frekuensi makan (Bear et al., 2001).
2.4. Ghrelin
Ghrelin adalah peptida dengan 28 asam amino, merupakan peptida alami yang memiliki satu ester
n-octanoyl pada residu serine. Setelah penemuan ghrelin-28, ditemukan ghrelin endogen kedua dari
ekstrak lambung tikus yang dinamakan des-Gln 14- ghrelin (peptida 27 asam amino). Ghrelin manusia
identik dengan ghrelin tikus dengan pengecualian pada dua residu. Kadar ghrelin plasma pada seseorang
yang puasa adalah 140 +/- 14 pmol/mL. Ghrelin pertama sekali ditemukan sebagai ligan endogen
terhadap growth hormone secretagogue receptors (GHS-R) yang sangat baik menstimulasi sekresi GH
(Gualillo et al., 2003).
Peptida ini diproduksi dan disekresikan oleh X/A-like cells di dalam kelenjar-kelenjar oxyntic
mukosa yang tersebar di lambung. Selain lambung, didapati adanya rangkaian neuron di antara nukleus-
nukleus di sekitar ventrikel III yang menghasilkan ghrelin. Ghrelin juga dihasilkan dalam jumlah sedikit
di testis, plasenta, ginjal, hipofise, usus halus, pankreas, limfosit dan bagian otak lainnya. Rata-rata, dua
per tiga jumlah ghrelin dalam plasma berasal dari lambung dan sekurangnya sepertiga berasal dari usus
halus. Selain menstimulasi sekresi GH, ghrelin mampu menyebabkan peningkatan asupan makanan dan
mengurangi pemakaian cadangan lemak. Satu hal yang penting adalah, bahwa kemampuannya
menciptakan keseimbangan energi positif itu terlepas dari pengaturan sekresi GH (Cowley et al., 2003).
Peningkatan kadar ghrelin menyebabkan meningkatnya ekspresi mRNA untuk NPY dan AgRP,
dan menstimulasi penglepasan NPY/AgRP tersebut., sebagai modulator yang telah diketahui
menyebabkan peningkatan nafsu makan dan menurunkan pemakaian energi Pengaruhnya terhadap jalur
NPY dan AgRP di sini mengimbangi pengaruh leptin dengan menimbulkan efek yang berlawanan. NPY
selanjutnya mempengaruhi MCH dan orexin melalui reseptor Y1 dan Y5 di neuron orde kedua, dan
menghasilkan efek meningkatnya nafsu makan (Bear et al., 2001)
2.5. Ekstraksi
2.5.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses
apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan
obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk.
Berdasarkan hal tersebut maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia
hewani, dan simplisia pelikan/mineral (Istiqomah, 2013).
2.5.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses
apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan
obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk.
Berdasarkan hal tersebut maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia
hewani, dan simplisia pelikan/mineral (Istiqomah, 2013).
2.5.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari
bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya
senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang
tepat (Ditjen POM, 2000). Menurut anggoro (2015) ektraksi serbuk rimpang temulawak menggunakan
etanol 96% dengan perbandingan bahan baku: pelarut (1:4) b/v, pada suhu 35oC memperoleh rndemen
sebesar 8,85-12,1% dari bobot serbuk.
2.6 Emulsi
2.6.1 Pengertian Emulsi
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispers dalam cairan yang lain dalam
bentuk tetesan kecil (droplet/globul) dengan diameter biasanya lebih dari 0,1 µm atau 0,1-50 µm. Jika
minyak yang merupakan fase terdispersi dan larutan air merupakan fase pendispersi, maka sistem ini
disebut emulsi minyak dalam air. Sebaliknya, jika air merupakan fase terdispersi dan minyak merupakan
fase pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi air dalam minyak. Suatu sistem emulsi pada dasarnya
tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel
sesama lainnya. Molekul fase A (air) ditarik ke dalam fase A dan ditolak oleh fase B (minyak),
membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi tersebut pecah. Kekuatan dan
kekompakan lapisan antarmuka adalah sifat yang penting yang dapat membentuk stabilitas emulsi
(Lachman, et al., 1994).
Di dalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan bahan ketiga untuk menstabilkan emulsi.
Bahan pengemulsi tersebut berguna untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fase air dan fase
minyak serta mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya
menjadi satu fasetunggal yang memisah, dengan membentuk lapisan yang protektif di sekeliling globul
(Effionora, 2012; Lachman, et al., 1994). Bahan pengemulsi umumnya dibedakan menjadi tiga golongan
besar, yaitu surfaktan, hidrokoloid dan zat padat terbagi halus. Golongan pengemulsi tertentu dipilih
terutama berdasarkan stabilitas shelf – life yang dikehendaki, tipe emulsi yang diinginkan dan biaya zat
pengemulsi (Lachman, et al., 1994). Suatu zat pengemulsi harus dapat dicampurkan dengan bahan
formulatif lainnya dan tidak boleh mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik, serta tidak
toksik pada penggunaan.
Kondisi Lingkungan seperti adanya cahaya, udara dan mikroorganisme, dapat memberikan efek
yang mengubah stabilitas emulsi. Oleh karena itu dilakukan formulasi yang sesuai guna mengurangi
kerusakan stabilitas tersebut dengan cara penambahan bahan-bahan tambahan lain. Bahan tambahanyang
diperlukan dalam formulasi emulsi, di antaranya: bahan pengawet, antioksidan dan penutup rasa.
Penambahan bahan pengawet bertujuan untuk mencegah kontaminasi mikroba. Suatu pengawet harus
efektif terhadap kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat melindungi emulsi selama
digunakan pasien. Pengawet harus mempunyai toksisitas rendah, stabil terhadap pemanasan dan selama
penyimpanan, tercampurkan secara kimia, memiliki rasa, bau dan warna yang lemah. Contoh pengawet
yang biasa digunakan di antaranya: asam benzoat dan turunannya, nipagin, nipasol, benzalkonium
klorida, klorbutanol, glutaraldehih, asam sorbat, fenol kresol, fenil merkuri asetat, klorotimol fenil
merkuri nitrat (Ansel, 2005; Lachman, et al.,1994).
Pada autooksidasi minyak-minyak tak jenuh seperti minyak nabati menimbulkan ketengikan
dengan bau, penampilan, dan rasa yang tidak menyenangkan. Di pihak lain, minyak mineral dan
hidrokarbon-hidrokarbon jenuh yang berhubungan mudah mengalami degradasi oksidatif pada
lingkungan tidak sesuai. Penambahan antioksidan dapat mencegah oksidasi dari fase minyak yang
terdapat dalam suatu sediaan emulsi. Contoh antioksidan yang biasa digunakan di antaranya: BHA
(butylated hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene), asam galat, propil galat, asam askorbat,
askorbil palmitat, sulfit dan tokoferol (Lachman, et al., 1994).
Sedangkan penutup rasa ditujukan untuk mengurangi rasa tidak enak dan secara ideal dilakukan
dengan cara mengurangi rasa pahit, menggunakan penghambat rasa khasiat, stabilitas, penampilan
sediaan, serta memberi rasa tertentu untuk mencirikan suatu produk (Effionora, 2012). Cara penutupan
rasa pahit sediaan oral secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan pemanis dan flavor. Pemanis
dapat memainkan peranan penting dalam formulasi sediaan yang digunakan melalui mulut seperti dengan
cara menambah rasa, menutupi rasa yang tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Contoh pemanis
yang biasa digunakan di antaranya: sukrosa, dekstrosa, fruktosa, gliserin, maltitol, manitol, sorbitol dan
xylitol (Effionora, 2012).
2.8 Fitofarmaka
Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang dapat
disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi
modern,tenaga ahli,dan biaya yang tidak sedikit (Lestari, 2007). Menurut Keputusan Menkes RI No. 761
tahun 1992, Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan
baku terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Obat
fitofarmaka merupakan ramuan obat dari tanaman yang disajikan setelah melalui berbagai proses.
Khasiat obat tersebut telah dibuktikan melalui proses percobaan pada penderita penyakit mengikuti
kaidah percobaan klinis.
BAB III
METODE
3.1 Formula
Formula sediaan emulsi ekstrak etanol temulawak yang digunakan yaitu :
Penentuan Dosis
Berdasarkan penelitian Xu et al (2013) Kurkumin dengan dosis 200 mg/kg pada tikus dapat
meningkatkan hormon ghrelin yang signifikan dibandingkan dengan kontrol tikus diabetes. Hormon
ghrelin berkontribusi dalam merangsang lapar.
Dosis Absolut = Dosis pada tikus x 0,2 kg
= 200mg/kgBB x 0,2 kg
= 40 mg
BB dewasa = 60 kg
Dosis Dewasa (60kg) = Dosis Absolut x Bobot Dewasa x Konversi LPT tikus pada manusia
= 40 mg x 60/70 x 56,0
= 1920 mg
= 1,92 gram
Takaran Dosis dalam sediaan = 1,92 gran/10ml
Maka untuk sediaan 100ml, diperlukan Ekstrak Etanol rimpang temulawak sebanyak
= 1,92 gram x 10
= 19,2 gram