Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH FORMULASI OBAT TRADISIONAL

OBAT HERBAL TERSTANDAR SEDIAAN EMULSI EKSTRAK


RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb). SEBAGAI
PENAMBAH NAFSU MAKAN

OLEH:
KELOMPOK IV

IDA AYU PUTU SURYANTARI (1308505019)


PUPUT RHAMADANI HARFA (1308505027)
A.A. SG. DEWI TRISNA DAMAYANTI (1308505063)
NI PUTU JULIANITA (1308505071)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nafsu makan merupakan keadaan yang mendorong seseorang untuk
memuaskan keinginan untuk makan selain rasa lapar (Guyton, 1990). Gangguan
nafsu makan merupakan gangguan klinis yang penting namun sering diabaikan.
Gangguan nafsu makan dapat berupa kurangnya nafsu makan yang sering menjadi
masalah utama pada anak-anak. Anak yang mengalami gangguan nafsu makan
akan sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Dengan tidak terpenuhinya
kebutuhan nutrisi ini, maka perkembangan dan pertumbuhan anak pun menjadi
terhambat (Sunarto, 2006).
Sejak dahulu Indonesia sudah dikenal memiliki kekayaan dan
keanekaragaman flora, termasuk keberagaman tanaman herbal yang bisa
dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Penggunaan obat tradisional telah dikenal
jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat modern menyentuh
masyarakat luas. Bahkan sampai saat ini obat tradisional masih diakui eksistensi
dan manfaatnya sebagai salah satu pilihan dalam mencari pemecahan masalah
kesehatan yang ada di masyarakat. Adanya kecenderungan gaya hidup alami
masyarakat saat ini membuat penggunaan obat tradisional terus meningkat
(Retno, 1998). Dalam hal ini obat tradisional dapat digunakan sebagai alternatif
pengobatan. Salah satu tanaman obat yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan nafsu makan anak adalah Curcuma xanthorrhiza Roxb atau lebih
dikenal dengan nama temulawak.
Minyak atsiri dan kurkuminoid dalam temulawak memiliki sifat koleretik,
yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat pengosongan lambung
serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus. Kurkumin dengan dosis 200 mg/kg
pada tikus dapat meningkatkan hormon ghrelin yang signifikan dibandingkan
dengan kontrol tikus diabetes. Hormon ghrelin berkontribusi dalam merangsang
lapar (Xu et al., 2013). Penelitian lain dilakukan oleh Ardhiani (2005) tentang
pengaruh pemberian ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
dan temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb) terhadap peningkatan berat badan
tikus putih jantan galur wistar adalah pada ekstrak temulawak dan ekstrak temu
hitam dosis 140 mg/Kg BB dan 560 mg/Kg BB pada hari ke 30 dapat memacu
kenaikan berat badan tikus. Ekstrak rimpang temulawak memberikan kenaikan
berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak temu hitam.
Bentuk pengembangan dari obat tradisional dimulai dari jamu, obat herbal
terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Pengembangan jamu pada temulawak sebagai
penambah nafsu makan memiliki banyak kekurangan terutama aseptabilitas pada
konsumen. Kurkumin yang diperoleh dari rimpang temulawak memiliki kelarutan
yang rendah di dalam air, sehingga membatasi absorbsi zat aktifnya (Ravindran,
2007). Untuk meningkatkan hal tersebut maka perlu dilakukan mengembangan
obat tradisional dalam bentuk obat herbal terstandar (OHT). Obat herbal
terstandar (OHT) merupakan obat tradisional yang sudah melewati uji praklinik
dan bahan-bahan sudah terstandarisasi dengan baik dan sudah memenuhi
persyaratan yang berlaku (BPOM RI, 2004). Sehingga dibuat formulasi sediaan
emulsi untuk meningkatkan absorbsi kurkumin. Emulsi merupakan suatu sistem
sediaan heterogen yang terdiri atas dua cairan yang tidak menyatu, dimana salah
satu fase terdispersinya (globul) sebagai tetesan seragam di dalam fase lainnya.
Terdapat dua tipe emulsi yaitu tipe minyak dalam air (M/A) dan air dalam minyak
(A/M). Penggunaan emulsi tipe M/A merupakan suatu cara pemberian sediaan
oral yang dapat dengan mudah diterima untuk zat dalam bentuk cairan-cairan
yang tidak larut dalam air dan sediaan emulsi diharapkan mampu menutupi rasa
pahit. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dibuat formulasi sediaan
emulsi dari ekstrak temulawak sehingga diperoleh sediaan emulsi yang stabil dan
absorbsi yang tinggi (Nabiela, 2013).

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana formula emulsi dari ekstrak rimpang temulawak sebagai obat
penambah nafsu makan?
1.2.2 Bagaimana hasil kontrol kualitas uji sediaan emulsi dari ekstrak rimpang
temulawak sebagai obat penambah nafsu makan?
1.3. Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui formula emulsi dari ekstrak rimpang temulawak
sebagai obat penambah nafsu makan.
1.3.2 Untuk mengetahui hasil kontrol kualitas sediaan emulsi dari ekstrak
rimpang temulawak sebagai obat penambah nafsu makan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Temulawak


2.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Rahmat, 1995)

Gambar 2.1. Rimpang Temulawak


2.1.2 Deskripsi Tanaman Temulawak
Temulawak merupakan tanaman berbatang semu setinggi kurang lebih 2
m, berwarna hijau atau coklat gelap, akar rimpang terbentuk dengan sempurna,
bercabang-cabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap tanaman mempunyai daun 2
helai sampai 9 helai, berbentuk bundar memanjang sampai bangun lanset,
berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang tangkai daun
(termasuk helaian) 4-80 cm lebih. Perbungaan lateral, tangkai ramping, berbentuk
garis, berambut halus, panjang 4-12 cm, lebar 2-3 cm. Berbentuk bulir bulat
memanjang, panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak,
panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bulat telur
sungsang sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu atau putih dengan
sebagian dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawah berwarna hijau muda atau
keputihan, panjang 3-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm (Depkes RI, 1979).
2.1.3 Kandungan Kimia
Rimpang temulawak mengandung beberapa macam unsur kimia, yang
antara lain berupa curcumin (zat warna kuning) 1,4%-4%; minyak atsiri yang
terdiri atas phellandren, kamfen, dan lain-lain sebanyak 7,3%-29,5%; zat tepung
37%-61%; lemak; tannin; serta amilum (Rukmana, 1995). Komponen yang
terkandung dalam temulawak digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu minyak
atsiri dan golongan kurkuminoid. Minyak atsiri merupakan komponen dalam
temulawak yang memberikan bau karateristik, sedangkan kurkuminoid terdiri dari
beberapa zat warna kuning (Oehadian dkk., 1985).
2.1.4 Khasiat
Secara empiris rimpang temulawak dapat meningkatkan kerja ginjal serta
anti inflamasi. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini sebagai obat jerawat,
meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, antioksidan,
pencegah kanker, dan anti mikroba (Rukmana, 1995). Berdasarkan uji
bioaktivitas, kurkumin yang terkandung dari Curcuma xanthorizza memiliki
aktivitas anti- inflamasi, antioksidan, antiprotozoa, antibakterial, anti-HIV,
antitumor, antikanker, menstimulasi regenerasi otot, penyakit kardiovaskular,
diabetes (Aggarwal et al., 2006). Selain itu, Xu (2013) menyebutkan bahwa
setelah terapi menggunakan (200 mg/kg) kurkumin pada tikus, terjadi
peningkatan hormon ghrelin yang signifikan dibandingkan dengan kontrol tikus
diabetes. Hormon ghrelin berkontribusi dalam merangsang rasa lapar.

2.2 Nafsu Makan


Nafsu makan merupakan keadaan yang mendorong seseorang untuk
memuaskan keinginan untuk makan selain rasa lapar. Oleh karena itu, nafsu
makan membantu seseorang memilih kualitas makanan yang dimakan. Istilah
kenyang berarti perasaan pemenuhan dalam pencarian makanan. Kenyang
biasanya akibat dari pengisian makanan, khususnya bila dapat cadangan makanan,
jaringan adiposa dan cadangan glikogen telah terisi (Guyton, 1990).
Nafsu makan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor hedonik
(palatabilitas atau derajat kesukaan terhadap makanan tertentu, rasa, tekstur, bau),
kesukaan dan keengganan yang diketahui (bait shynes, selera makan yang tidak
spesifik), pengaruh farmakologis (obat-obatan anoreksia dan naloxone), selera
makan spesifik, perubahan psikologis akibat pengaruh dari penyakit (diabetes,
obesitas, kanker), pengaruh metabolik (kebutuhan kalori tingkat neuro transmitter,
hormon adrenalin, hormon seks), pengaruh lingkungan (temperatur) dan pengaruh
sosial (kebudayaan, agama).

2.3 Homeostasis Energi


Metabolisme energi di dalam tubuh manusia diatur oleh berbagai faktor,
baik yang menyebabkan meningkatnya penyimpanan energi, atau yang
mendorong pemakaian energi. Pengaturan tersebut berperan dalam
mempertahankan keseimbangan energi. Keseimbangan energi ini merupakan
fungsi utama pengaturan asupan makanan, yaitu melalui pengaturan perilaku dan
nafsu makan. Banyak faktor yang berperan dalam mengatur perilaku makan.
Faktor-faktor tersebut mengatur agar asupan makanan disesuaikan untuk
menyeimbangkan perubahan pemakaian energi selama suatu periode. Berbagai
faktor kimia yang berada di aliran darah bekerja sebagai sinyal kondisi nutrisi
tubuh, seperti berapa banyak lemak yang tersimpan dan berapa banyak glukosa
tersedia, berperan penting dalam mengatur asupan makanan (Sherwood, 2001).
Gambar 2.3 Peran Berbagai Sinyal Hormonal yang Mempengaruhi Hipotalamus
Leptin dan insulin beredar di dalam darah dengan kadar yg sesuai massa
lemak tubuh. Keduanya menurunkan nafsu makan dengan menginhibisi neuron
yang memproduksi NPY/AgRP, dan menstimulasi neuron yang memproduksi
melanocortin di bagian nukleus arkuatus hipotalamus. Aktivasi neuron
NPY/AgRP dapat menghambat neuron melanocortin. Hormon lambung ghrelin
menstimulasi nafsu makan dengan mengaktivasi neuron NPY/AgRP. Sebaliknya
PYY3-36 dari colon menurunkan nafsu maka dengan menghambat neuron ini
(Schwartz and Morton, 2002).

2.4 Ghrelin
Ghrelin adalah peptida dengan 28 asam amino, merupakan peptida alami
yang memiliki satu ester n-octanoyl pada residu serine. Setelah penemuan ghrelin-
28, ditemukan ghrelin endogen kedua dari ekstrak lambung tikus yang dinamakan
des-Gln 14- ghrelin (peptida 27 asam amino). Ghrelin manusia identik dengan
ghrelin tikus dengan pengecualian pada dua residu. Kadar ghrelin plasma pada
seseorang yang puasa adalah 140 +/- 14 pmol/mL. Ghrelin pertama sekali
ditemukan sebagai ligan endogen terhadap growth hormone secretagogue
receptors (GHS-R) yang sangat baik menstimulasi sekresi GH (Gualillo et al.,
2003).
Peptida ini diproduksi dan disekresikan oleh X/A-like cells di dalam
kelenjar-kelenjar oxyntic mukosa yang tersebar di lambung. Selain lambung,
didapati adanya rangkaian neuron di antara nukleus-nukleus di sekitar ventrikel III
yang menghasilkan ghrelin. Ghrelin juga dihasilkan dalam jumlah sedikit di testis,
plasenta, ginjal, hipofise, usus halus, pankreas, limfosit dan bagian otak lainnya.
Rata-rata, dua per tiga jumlah ghrelin dalam plasma berasal dari lambung dan
sekurangnya sepertiga berasal dari usus halus. Selain menstimulasi sekresi GH,
ghrelin mampu menyebabkan peningkatan asupan makanan dan mengurangi
pemakaian cadangan lemak. Satu hal yang penting adalah, bahwa kemampuannya
menciptakan keseimbangan energi positif itu terlepas dari pengaturan sekresi GH
(Cowley et al., 2003).
Peningkatan kadar ghrelin menyebabkan meningkatnya ekspresi mRNA
untuk NPY dan AgRP, dan menstimulasi penglepasan NPY/AgRP tersebut.,
sebagai modulator yang telah diketahui menyebabkan peningkatan nafsu makan
dan menurunkan pemakaian 9nergy Pengaruhnya terhadap jalur NPY dan AgRP
di sini mengimbangi pengaruh leptin dengan menimbulkan efek yang berlawanan.
NPY selanjutnya mempengaruhi MCH dan orexin melalui reseptor Y1 dan Y5 di
neuron orde kedua, dan menghasilkan efek meningkatnya nafsu makan (Bear et
al., 2001)

2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehinggga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Ekstraksi bertujuan untuk melarutkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam
jaringan tanaman ke dalam pelarut yang dipakai untuk proses ekstraksi tersebut.
Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam
golongan minyak atsiri, alkaloida, falvonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya
senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut
dan cara ekstraksi yang tepat. (Ditjen POM, 2000).
Salah satu ekstraksi yang dapat dilakukan untuk mengekstraksi kurkumin
adalah dengan menggunakan metode maserasi. Maserasi merupakan cara
ekstraksi yang sederhana, menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali
pengadukan pada temperatur ruangan (kamar) (Ditjen POM, 2000). Maserasi
digunakan untuk menyari zat aktit yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak
mengandung stirak, benzoin dan lain-lain. Maserasi pada umumnya dilakukan
dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia dalam 75 bagian cairan penyari
(pelarut) (Ditjen POM, 1986). Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama
beberapa hari pada temperature kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk
kedalam sel tanaman melewati di dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan didala sel dengan diluar sel. Larutan yang
konentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan
konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi
keseimbangan antara larutan didalam sel dan larutan diluar sel (Ansel, 1989).
2.5.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum
mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya
berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan
baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk.
Berdasarkan hal tersebut maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan/mineral (Istiqomah,
2013).

2.6 Emulsi
2.6.1 Pengertian Emulsi
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispers dalam
cairan yang lain dalam bentuk tetesan kecil (droplet/globul) dengan diameter
biasanya lebih dari 0,1 m atau 0,1-50 m. Jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pendispersi, maka sistem ini disebut
emulsi minyak dalam air. Sebaliknya, jika air merupakan fase terdispersi dan
minyak merupakan fase pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi air dalam
minyak. Suatu sistem emulsi pada dasarnya tidak stabil, karena masing-masing
partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel sesama
lainnya. Molekul fase A (air) ditarik ke dalam fase A dan ditolak oleh fase B
(minyak), membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi
tersebut pecah. Kekuatan dan kekompakan lapisan antarmuka adalah sifat yang
penting yang dapat membentuk stabilitas emulsi (Lachman et al., 1994).
Bahan pengemulsi umumnya dibedakan menjadi tiga golongan besar,
yaitu surfaktan, hidrokoloid dan zat padat terbagi halus. Golongan pengemulsi
tertentu dipilih terutama berdasarkan stabilitas shelf life yang dikehendaki, tipe
emulsi yang diinginkan dan biaya zat pengemulsi (Lachman et al., 1994). Suatu
zat pengemulsi harus dapat dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya dan
tidak boleh mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik, serta tidak
toksik pada penggunaan. Bahan tambahan yang diperlukan dalam formulasi
emulsi, di antaranya: bahan pengawet, antioksidan dan penutup rasa. Penambahan
bahan pengawet bertujuan untuk mencegah kontaminasi mikroba. Suatu pengawet
harus efektif terhadap kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat
melindungi emulsi selama digunakan pasien. Pengawet harus mempunyai
toksisitas rendah, stabil terhadap pemanasan dan selama penyimpanan,
tercampurkan secara kimia, memiliki rasa, bau dan warna yang lemah. Contoh
pengawet yang biasa digunakan di antaranya: asam benzoat dan turunannya,
nipagin, nipasol, benzalkonium klorida, klorbutanol, glutaraldehih, asam sorbat,
fenol kresol, fenil merkuri asetat, klorotimol fenil merkuri nitrat (Lachman et
al.,1994).
Munculnya suatu ketengikan pada minyak tak jenuh seperti minyak nabati,
disebabkan akibat dari proses autooksidasi, dimana peristiwa ini juga
mempengaruhi penampilan, dan rasa yang menjadi tidak menyenangkan.
Sehingga dengan penambahan antioksidan dapat mencegah oksidasi dari fase
minyak yang terdapat dalam suatu sediaan emulsi. Contoh antioksidan yang biasa
digunakan di antaranya: BHA (butylated hydroxyanisole), BHT (butylated
hydroxytoluene), asam galat, propil galat, asam askorbat, askorbil palmitat, sulfit
dan tokoferol (Lachman et al., 1994). Sedangkan penutup rasa ditujukan untuk
mengurangi rasa tidak enak dan secara ideal dilakukan dengan cara mengurangi
rasa pahit, menggunakan penghambat rasa khasiat, stabilitas, penampilan sediaan,
serta memberi rasa tertentu untuk mencirikan suatu produk. Cara penutupan rasa
pahit sediaan oral secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan pemanis
dan flavor. Pemanis dapat memainkan peranan penting dalam formulasi sediaan
yang digunakan melalui mulut seperti dengan cara menambah rasa, menutupi rasa
yang tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Contoh pemanis yang biasa
digunakan di antaranya: sukrosa, dekstrosa, fruktosa, gliserin, maltitol, manitol,
sorbitol dan xylitol (Nabiela, 2013).
2.6.2 Tahap Emulsifikasi
Kestabilan suatu emulsi adalah kemampuan suatu emulsi untuk
mempertahankan distribusi yang teratur dari fase terdispersi dalam jangka waktu
yang lama. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kestabilan emulsi
tetap terjaga, diantaranya:
1. Teknik pembuatan
2. Penambahan garam atau elektrolit lemah dalam konsentrasi besar
mempengaruhi kestabilan emulsi.
3. Pengocokan yang keras, apabila emulsi dikocok keras-keras maka
partikel-partikel kecil akan mengadakan kontak menjadi partikel yang
lebih besar sehingga emulsi akan pecah.
4. Penyimpanan
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan suatu emulgator merupakan
faktor yang penting karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi
oleh emulgator yang digunakan. Salah satu emulgator yang yang banyak
digunakan adalah zat aktif permukaan atau lebih dikenal dengan surfaktan.
Mekanisme kerja emulgator ini adalah menurunkan tegangan antar permukaan air
dan minyak serta membentuk lapisan film pada permukaan globul-globul fase
terdisperisnya. Tipe emulsi dapat ditentukan dari jenis surfaktan digunakan.
Secara kimia, molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan non polar. Apabila
surfaktan dimasukkan ke dalam sistem yang dari air dan minyak, maka guugus
polar akan terarah ke fasa air sedangkan gugus non polar terarah ke fasa minyak.
Surfaktan yang mempunyai gugus polar lebih kuat akan cenderung membentuk
emulsi minyak dalam air, sedangkan bila gugus non polar yang lebih kuat maka
akan cenderung membentuk emulsi air dalam minyak (Lachman, 1994).
Ada beberapa teori yang dapat dipakai pada proses emulsifikasi yaitu:
1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension): Didalam teori ini
dikatakan bahwa penambahan emulgator akan menurunkan dan
menghilangkan tegangan permukaan yang terjadi pada bidang batas
sehingga antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur.
2. Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge): Setiap molekul
emulgator dibagi menjadi dua kelompok yakni : kelompok hidrofilik
yaitu bagian dari emulgator yang suka pada air, dan kelompok lipofilik
yaitu bagian yang suka pada minyak.
3. Teori Interparsial Film: Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan
diserap pada batas antara air dan minyak, sehingga terbentuk lapisan
film yang akan membungkus partikel fase dispers. Dengan
terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang
sejenis untuk bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain fase
dispers menjadi stabil.
4. Teori Electric Double Layer (lapisan listrik ganda): Jika minyak
terdispersi kedalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan
dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan
berikutnya akan bermuatan yang berlawanan dengan lapisan
didepannya. Dengan demikian seolah-olah tiap partikel minyak
dilindungi oleh dua benteng lapisan listrik yang saling berlawanan.
Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel minyak yang
akan menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar.
Karena susunan listrik yang menyelubungi sesama partikel akan tolak
menolak dan stabilitas emulsi akan bertambah.
(Syamsuri, 2006)

2.7 Sifat Fisiko Kimia Komponen Emulsi dalam Formulasi


2.7.1 Kurkumin (Curcuma xanthorrhiza)
Temulawak atau dengan nama latin Curcuma xanthorrhiza dikenal
sebagai tanaman obat tradisional yang banyak tersebar di berbagai tempat di
Indonesia, dan diantara jenis temu merupakan jenis yang paling banyak digunakan
sebagai obat tradisional. Rimpang temulawak mengandung beberapa macam
unsur kimia, salah satunya mengandung kurkuminoid (1,4%-4%) (Rukmana,
1995). Kurkumin memiliki berat molekul sebesar 368,37, titik lebur 183 C, dan
titik leleh 176-177 C. Kurkumin tidak stabil pada perubahan pH. Dalam suasana
asam kurkumin berwarna kuning atau kuning jingga, sedangkan dalam suasana
basa berwarna merah (Ravindran, 2007).
Pada suasana basa kurkumin terjadi degradasi membentuk asam ferulat
dan ferulloilmetan, Degradasi ini terjadi bila kurkumin berada dalam lingkungan
pH 8,5-10,0 dalam waktu yang relatif lama, walaupun tidak berarti bahwa dalam
waktu relatif singkat tidak terjadi degradasi kurkumin, karena proses degradasi
juga sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Salah satu hasil degradasi, yaitu
feruloilmetan memiliki warna kuning cokelat yang akan mempengaruhi warna
merah yang seharusnya terjadi. Sifat lain yang penting dari kurkumin ialah
aktivitasnya terhadap cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi
dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin atau terjadi degradasi struktur
Kurkumin relatif tidak larut dalam air, tetapi dapat larut dalam aseton,
dimetilsulfoksid, alkali, keton, asam asetat, kloroform, dan etanol (Ravindran,
2007).
2.7.2 Minyak Kelapa
Minyak kelapa memiliki organoleptis cairan jernih tidak berwarna, kuning
pucat, bau khas, tidak tengik. Larut dalam 2 bagian etanol (95%) pada suhu 60oC,
sangat mudah larut dalam kloroform p dan dalam eter p (Depkes RI, 1979).
Apabila minyak kelapa terkena paparan udara, minyak akan mudah teroksidasi
dan akan mengakibatkan bau tengik. Minyak kelapa mungkin terbakar pada suhu
tinggi (Rowe et al., 2009).
2.7.3 Gum Arab
Gum arab dihasilkan dari getah bermacam-macam pohon Acasia sp. di
Sudan dan Senegal. Gum arab pada dasarnya merupakan serangkaian satuan-
satuan D-galaktosa, L-arabinosa, asam D-galakturonat dan L-ramnosa. Berat
molekulnya antara 250.000-1.000.000. Gum arab jauh lebih mudah larut dalam air
dibanding hidrokoloid lainnya. Pada olahan pangan yang banyak mengandung
gula, gum arab digunakan untuk mendorong pembentukan emulsi lemak yang
mantap dan mencegah kristalisasi gula (Tranggono dkk., 1991). Gum dimurnikan
melalui proses pengendapan dengan menggunakan etanol dan diikuti proses
elektrodialisis (Stephen and Churms, 1995). Menurut Imeson (1999), gum arab
stabil dalam larutan asam. pH alami gum dari Acasia Senegal ini berkisar 3,9-4,9
yang berasal dari residu asam glukoronik. Emulsifikasi dari gum arab
berhubungan dengan kandungan nitrogennya (protein). Gum arab dapat
meningkatkan stabilitas dengan peningkatan viskositas. Jenis pengental ini juga
tahan panas pada proses yang menggunakan panas namun lebih baik jika
panasnya dikontrol untuk mempersingkat waktu pemanasan, mengingat gum arab
dapat terdegradasi secara perlahan-lahan dan kekurangan efisiensi emulsifikasi
dan viskositas.
2.7.4 Pemanis (Sukrosa)
Sukrosa yang memiliki rumus molekul C12H22O11 merupakan pemanis
alami yang paling umum digunakan dalam formulasi sediaan secara oral yang
dapat menutupi rasa sediaan yang kurang enak. Sukrosa diproduksi dari tebu
(Sachharum oficinarum) dan gula bit (Beta vulgaris) serta dikenal nontoksik dan
biodegradable. Sukrosa berwarna putih, berbentuk serbuk kristal, tidak berbau dan
memiliki rasa manis (Rowey, Sheskey dan Owen, 2006). Kelarutan sukrosa
Sangat mudah larut dalam air; lebih mudah larut dalam air mendidih; sukar larut
dalam etanol; tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (Depkes RI, 1979).

Gambar 2.7. Struktur Kimia Sukrosa (Rowe et al., 2009)


2.7.5 Asam Sitrat
Penggunaan utama Asam Sitrat saat ini adalah sebagai zat pemberi cita
rasa dan pengawet makanan dan minuman, terutama minuman ringan. Kode Asam
Sitrat sebagai zat aditif makanan (E number) adalah E330. Sifat sitrat sebagai
larutan penyangga digunakan sebagai pengendali pH dalam larutan pembersih
dalam rumah tangga. Kemampuan Asam Sitrat untuk mengikat ion-ion logam
menjadikannya berguna sebagai bahan sabun dan deterjen. Dengan mengikat ion-
ion logam pada air sadah, Asam Sitrat akan memungkinkan sabun dan deterjen
membentuk busa dan berfungsi dengan baik tanpa penambahan zat penghilang
kesadahan (Cahyadi, 2008).
2.7.6 Pengawet (Na Benzoat)
Na Benzoat merupakan pengawet yang kompatibel dengan tragakan dalam
formulasi dengan konsentrasi 0,1%. Na Benzoat berwarna putih, berbentuk serbuk
hingga kristal, tidak berbau dan tidak berasa. Aktivitas Na benzoat sebagai
pengawet dapat berkurang dengan adanya interaksi dengan kaolin dan surfaktan
nonionik (Rowey, Sheskey dan Owen, 2006). Kelarutannya mudah larut dalam
air, agak sukar larut dalam etanol dan lebih mudah larut dalam etanol 90%
(Depkes RI, 1995).
2.7.7 Vitamin E
Vitamin E atau Alpha Tocopherol memiliki rumus molekul C29H50O2.
Organoleptis dari vitamin E adalah jernih tidak berwarna atau kuning kecoklatan,
kental, berminyak. Vitamin E memiliki sifat praktis tidak larut dalam air; larut
dalam etanol (95%). Larut dengan aseton, kloroform dan eter. Vitamin E dapat
berfungsi sebagai antioksidan (Rowe dkk, 2009)
2.7.8 Aqua Destilata
Aquadestilata adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan.
Air murni dapat diperoleh dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis
terbalik, atau dengan cara yang sesuai. Karena akan digunakan untuk sediaan oral,
maka digunakan air yang bebas mineral, partikel dan mikroba (Rowey, Sheskey
dan Owen, 2006). Aquades memiliki BJ sebesar 0,997, dimana pemeriannya
berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa.
2.8 Obat Herbal Terstandar (OHT)
Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan
bakunya telah di standarisasi. Standarisasi simplisia merupakan upaya
menyeluruh dimulai dengan pemilihan lahan (unsur tanah) yang tepat untuk
tumbuhan obat tertentu, budi daya yang baik sampai pasca panen (good
agriculture practices). Setiap simplisia mengandung komponen yang kompleks.
Untuk standarisasi bagi setiap simplisia maka perlu ditetapkan zat penanda (finger
print) yang digunakan sebagai parameter (BPOM RI, 2005).
Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
2. Klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik
3. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi
4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Jenis klaim penggunaan Obat Herbal Terstandar sesuai dengan tingkat
pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium. Obat Herbal Terstandar
harus mencantumkan logo dan tulisan OBAT HERBAL TERSTANDAR. Logo
berupa Jari Jari Daun (3 Pasang) Terletak Dalam Lingkaran, dan ditempatkan
pada bagian atas sebelah kiri dari wadah /pembungkus /brosur. Logo (jari-jari
daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau
warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo. Tulisan OBAT HERBAL
TERSTANDAR harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam
diatas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan
OBAT HERBAL TERSTANDAR (BPOM RI, 2004).

Gambar 2.8 Logo obat herbal terstandar (BPOM RI, 2004)


Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 obat
tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi
persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan / khasiat.
2. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik
yang berlaku.
3. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat
menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan
fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil
evaluasi dalam rangka pendaftaran.
(BPOM RI, 2005)
2.9 Uji Praklinik
Uji praklinik merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan
secara in vivo maupun in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan
coba. Setiap jenis uji praklinis hanya dapat dibenarkan untuk dikerjakan jika ada
petunjuk bahwa uji praklinik dimaksud dapat terselesaikan secara tuntas oleh
pelaku dan fasilitas yang kompeten (Setyorini, 2010). Di Indonesia, pelaksanaan
uji praklinik obat tradisional berdasarakan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.56/Menkes/SK/I/2000. Uji praklinik terdiri atas uji toksikologi dan
farmakodinamik. Uji toksikologi dilakukan untuk menilai keamanan suatu obat
tradisional yang diuji dan menetapkan spektrum efek toksik. Uji farmakodinamik
dilakukan untuk membuktikan khasiat dan menelusuri mekanisme efek dari obat
tradisional (Suwandi, 2012). Data hasil pengamatan uji praklinik merupakan
persyaratan untuk dasar pertimbangan dapat tidaknya dipertanggungjawabkan
suatu obat tradisional dalam pengujian masuk dalam tahap uji klinik obat
tradisional. Dengan hasil uji praklinik, penelitiannya dimungkinkan untuk
mengantisipasi masalah yang dapat timbul, dan merancang eksperimen yang
rasional (Setyorini, 2010).
BAB III
METODE DAN PROSEDUR KERJA

3.1 Formula
Tabel 1. Formula Sediaan dan Fungsinya
Bahan Fungsi Konsentrasi Pustaka Konsentrasi
yang digunakan
Ekstrak etanol Zat Aktif - 6,4 %
rimpang temulawak penambah nafsu
makan
Minyak Kelapa Fase Minyak - 40%
Gom Arab Emulgator 10-20% 15%
Vitamin E Antioksidan - 0,1%
Sukrosa Pemanis 15% 15%
Asam Sitrat buffering agent 0,1-2% 0,25%
Natrium Sitrat buffering agent 0,3-2% 0,25%
Natrium Benzoat Bahan Pengawet 0,1% 0,1%
Aquades ad Fase Air - 100%

a. Penentuan Dosis Ekstrak Temulawak


Berdasarkan penelitian Xu et al (2013) Kurkumin dengan dosis 200 mg/kg
pada tikus dapat meningkatkan hormon ghrelin yang signifikan dibandingkan
dengan kontrol tikus diabetes. Hormon ghrelin berkontribusi dalam
merangsang lapar.
Dosis Absolut = Dosis pada tikus x 0,2 kg
= 200mg/kgBB x 0,2 kg
= 40 mg
BB Anak-anak = 20 kg
Dosis Anak(20kg) = Dosis Absolut x Bobot Dewasa x Konversi LPT tikus
pada manusia
= 40 mg x 20/70 x 56,0
= 640 mg
Takaran Dosis dalam sediaan = 640 mg/10ml
Maka untuk sediaan 100ml, diperlukan Ekstrak rimpang temulawak sebanyak
= 640 mg x 10
= 6,4 gram

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini meliputi alat-alat gelas,
homogenizer, batang pengaduk, timbangan analitik, pipet tetes, viscometer, toples
kaca, pH-meter digital, beker glass, hot plate dengan magnetic stirrer, timbangan
digital, botol kaca gelap, kertas perkamen, sendok tanduk, cawan porselen.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini meliputi rimpang temulawak,
vitamin E, gom arab, minyak kelapa, sukrosa, asam sitrat, natrium sitrat, natrium
benzoat, dan aquadest.

3.3 Ekstraksi Rimpang Temulawak


Untuk mengekstraksi kurkumin dalam simplisia temulawak metode
ekstraksi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan metode maserasi
dengan menggunakan pelarut etanol 96%. Rimpang temulawak yang sudah
berumur sekitar 10-12 bulan dipanen kemudian dilakukan sortasi basah untuk
memisahkan kotoran atau bahan asing lainnya dari rimpang temulawak. Rimpang
dicuci dengan air bersih yang mengalir untuk menghilangkan tanah dan pengotor
lainnya yang melekat pada rimpang. Rimpang kemudian dikupas kulitnya dan
dirajang. Pengeringan dilakukan selama 5 hari menggunakan oven pada suhu
40oC kemudian dilakukan sortasi kering untuk memisahkan benda asing dan
pengotor lain yang masih tertinggal pada simplisia. Simplisia kemudian
dihaluskan menjadi serbuk dengan menggunakan blender dan diayak
menggunakan ayakan berukuran 40 mesh. Serbuk simplisia temulawak kemudian
dimaserasi dengan menambahkan pelarut etanol 96% sampai semua sampel
terendam. Proses maserasi dilakukan selama 524 jam dan sampel diaduk
sesekali. Setiap hari pelarut diganti dan hasil maserasi yang diperoleh selanjutnya
diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada kecepatan 60 rpm dan
suhu 50oC. Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan penggunaan waterbath
pada suhu 40oC selama 7 hari hingga diperoleh ekstrak kental (Dyaningratri,
2014).

3.4 Standarisasi Ekstrak


3.5.1 Pengujian Kadar Air Ekstrak
Uji kadar air dilakukan dengan metode gravimetri. Dimasukkan 10 g zat
dan timbang dalam wadah yang telah ditara, dikeringkan pada suhu 105C selama
5 jam dan timbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam sampai
perbedaan antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%.
Persentase kadar air dihitung dengan rumus:
B (C A)
Susut pengertingan = x100%
B
Keterangan :
A : botol timbang kosong (gram)
B : botol timbang dengan sampel (gram)
C : botol timbang dengan sampel setelah dipanaskan (gram)
3.5.2 Penetapan Susut Pengeringan
Menurut Depkes RI, (1995b), susut pengeringan adalah kadar bagian yang
menguap suatu zat. Kecuali dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105C dan
susut pengeringan ditetapkan sebagai berikut: Ditimbang saksama 1 g dan 2 g zat
dalam bobot timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada
suhu penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Jika zat berupa hablur besar,
sebelum ditimbang digerus dengan cepat hingga ukuran butiran lebih kurang 2
mm. Zat dalam botol timbang diratakan dengan menggoyangkan botol, hingga
merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm, dimasukkan ke
dalam ruang pengering, dibuka tutupnya, dikeringkan pada suhu penetapan hingga
bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan tertutup
mendingin dalam desikator hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah
dari suhu penetapan, pengeringan dilakukan pada suhu antara 5C dan 10C
dibawah suhu leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu
penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap (Depkes RI,
1995b).
3.5.3 Penetapan Kadar Abu Total
Menurut Depkes RI, (1995b), penetapan kadar abu dilakukan dengan
prosedur yaitu lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus dan ditimbang
saksama, dimasukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan
dan ditara, lalu diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan,
maka ditambahkan air panas, disaring melalui kertas saring bebas abu. Dipijarkan
sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Dimasukkan filtrat ke dalam krus,
diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Dihitung kadar abu terhadap
bahan yang telah dikeringkan di udara.
3.5.4 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam
Abu yang telah diperoleh pada penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25
mL asam klorida encer P selama 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut
dalam asam. Kemudian disaring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas
abu, dicuci dengan air panas, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Dihitung
kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di
udara (Depkes RI, 1995b).
3.5.5 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air
Penetapan kadar sari yang larurt dalam air dilakukan dengan cara serbuk
dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 mL air
kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6
jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, diuapkan 20 ml
filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara,
dipanaskan sisa pada suhu 105C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam
persen sari yang larut dalam air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
di udara (Depkes RI, 1995b).
3.6 Skrining Fitokimia
3.6.1 Tanin dan fenol
Sebanyak 5 ml ekstrak rimpang temulawak dimasukkan kedalam tabung
reaksi, lalu ditambahkan 5 tetes NaCl 10%, kemudian larutan dibagi menjadi 2
bagian kedalam tabung reaksi yang berbeda. Tabung reaksi pertama ditambahkan
3 tetes FeCl3, kemudian didiamkan selama beberapa saat. Terjadinya perubahan
warna menjadi warna hijau kehitaman, menandakan adanya senyawa fenol dan
tanin yang terkandung dalam sampel tersebut. Kemudian, tabung reaksi kedua
dijadikan sebagai kontrol.
3.6.2 Saponin
Sebanyak 5 ml ekstrak rimpang temulawak, dimasukkan kedalam tabung
reaksi, dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk buih yang mantap
setinggi 1 sampai 10 cm, menunjukkan adanya saponin. Pada penambahan 1 tetes
HCl 2 N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1995).
3.6.3 Triterpenoid dan Steroid
Pemeriksaan triterpenoid dan steroid dilakukan dengan reaksi
Liebermann-Burchard. Larutan uji sebanyak 2 mL diuapkan dalam cawan
porselin. Residu dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan 0,5
mL asam asetat anhidrat. Asam sulfat pekat sebanyak 2 mL selanjutnya
ditambahkan melalui dinding tabung. Terbentuk cincin kecoklatan atau violet
pada perbatasan larutan menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul
cincin biru kehijauan menunjukkan adanya steroid (Ciulei, 1984).
3.6.4 Flavonoid
Larutan uji 1 mL diuapkan hingga kering, dibasahkan sisanya dengan
aseton P, ditambahkan sedikit serbuk halus asam borat P dan serbuk halus asam
oksalat P, dipanaskan di atas tangas air dan hindari pemanasan berlebihan. Eter P
ditambahkan 10 mL. Larutan diamati di bawah sinar UV 366 nm; berfluoresensi
kuning intensif, menunjukkan adanya flavonoid (Depkes RI, 1995).
3.6.5 Alkaloid
Larutan uji sebanyak 2 mL diuapkan di atas cawan porselin. Residu yang
dihasilkan kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCL 2 N. Larutan yang diperoleh
dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan 3 tetes
HCl 2 N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan 3 tetes
pereaksi Dragendorff dan tabung ketiga ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer.
Terbentuk endapan jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung
ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Farsnworth, 1966).
3.5 Formulasi Sediaan Emulsi Ekstrak Rimpang Temulawak
Sediaan emulsi dibuat dengan menggunakan metode gom basah (4 bagian
minyak: 2 bagian gom:1 bagian air) yaitu mula-mula minyak kelapa, vitamin E
dan ekstrak rimpang temulawak dituangkan ke dalam mortir, kemudian gom arab
didispersikan hingga merata ke dalam minyak, diaduk hingga homogen, lalu
ditambahkan air sekaligus sambil diaduk dengan segera dan cepat sampai
terdengar bunyi lengket yang menandakan corpus emulsi telah terbentuk. Asam
sitrat, sukrosa, natrium sitrat serta natrium benzoat masing-masing dilarutkan
dalam air secukupnya, lalu secara perlahan-lahan bersama zat-zat lainnya
dimasukkan ke dalam corpus emulsi yang telah terbentuk, terakhir air
ditambahkan sampai jumlah yang ditentukan (Ansel, 1989).

3.6 Cara Pakai


Diminum 2x sehari dengan sendok takar 10 ml.

3.7 Cara Evaluasi Mutu Sediaan


3.9.1 Uji Fisika-Kimia
1. Uji Organoleptis
Pengamatan organleptis dilakukan dengan mengamati bentuk, rasa, bau,
warna, serta konsistensi sediaan uji (Depkes RI, 1995).
2. Uji Viskositas
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan viskometer brokfield pada
pada suhu ruang (27C) dengan kecepatan 2, 4, 10, 20, 50, 100 rpm. Data
yang di peroleh di plot terhadap tekanan geser (dyne/cm2) dan kecepatan
geser (detik-1) sehingga akan di dapat sifat aliran (rheology). (Febrina
dkk., 2007).
3. Uji Redispersi
Sediaan emulsi dimasukkan ke dalam botol 150 ml, sebanyak 120 ml dan
didiamkan selama 8 minggu. Setelah 8 minggu dilakukan redispersi
dengan cara membalikkan botol dengan sudut 90, kemudian dicatat
jumlah pengocokan yang diperlukan hingga emulsi terdispersi dengan baik
(Febrina dkk., 2007).
4. Uji Jenis Emulsi
Uji tipe emulsi dilakukan dengan menggunakan salah satu metode yaitu
metode pengenceran. Dilakukan dengan penambahan sejumlah air dalam
emulsi. Bila emulsi tersebut bercampur sempurna dengan air, maka emulsi
termasuk tipe M/A sedangkan bila emulsi tidak bercampur dengan
sempurna maka tipe emulsiA/M. Uji tipe emulsi ini dilakukan pada hari
ke-0 dan 21, untuk melihat ada atau tidaknya fenomena inversi fasa
(pengubahan fasa) dari minyak dalam air menjadi air dalam minyak
(Martin et al., 1993).
5. Uji pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Elekroda
sebelumnya telah dikalibrasi pada larutan buffer pH 4, pH 7 dan pH 9.
Kemudian elektroda dicelupkan ke dalam sediaan, pH yang muncul
dilayar dan stabil lalu dicatat (Depkes RI, 1995).
6. Uji Mikrobiologi
Uji mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui angka cemaran mikroba
yang mungkin mengkontaminasi sediaan selama penyimpanan. Uji ini
dilakukan dengan menentukan Angka Lempeng Total (ALT) yaitu
penentuan jumlah koloni dari pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah
sampel diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok selama 24-48
jam pada suhu 351C. Cara Pengujiannya sebagai berikut:
- Penyiapan alat-alat dan bahan yang telah disterilkan.
- Homogenisasi sampel, yaitu dengan memipet 1 mL sampel yang
dimasukkan ke dalam wadah lain, yang telah berisi 9 mL larutan
pengencer sehingga diperoleh pengenceran 1:10. Sampel hasil
pengenceran ini kemudian digunakan untuk pengenceran lain apabila
diperlukan.
- Sampel hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke
dalam cawan petri steril. Dilakukan sebanyak dua kali (duplo).
- Sebanyak 12-15 mL nutrient agar yang telah dicairkan dituang ke
dalam masing-masing cawan kemudian cawan digoyangkan perlahan-
lahan sampai sampel tercampur rata dengan nutrient agar, lalu
dibiarkan sampai menjadi padat.
- Blanko dibuat dengan mencampur air pengencer dengan nutrient agar
untuk masing-masing sampel yang diperiksa.
- Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam inkubator dalam posisi
terbalik dan diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 351C.
- Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan yang mengandung 25-
250 koloni setelah 48 jam.
- Angka lempeng total dihitung dalam 1 gram atau 1 mL sampel dengan
mengalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan dengan faktor
pengenceran yang sesuai.
(Febrina dkk., 2007)

3.8 Kontrol Kualitas


3.10.1 Uji Preklinik
1. Uji Farmakologi
a. Aklimatisasi hewan Uji
Tikus Jantan galur Wistar berusia 8 minggu dengan berat 250 20 g,
Ditempatkan pada kandang polypropylene bersih. Tiap kandang terdiri
dari 6 ekor tikus dengan suhu kamar 250 dan lampu menyala pada
pukul 8:00-20:00. Diberikan pakan pellet dan aquades ad libitum.
b. Induksi Diabetes
Pembuatan diabetes pada tikus dilakukan dengan pemberian makanan
yang mengandung gula dan diberikan induksi Streptozotin setelah 4
minggu dengan dosis 35 mg/kg BB.
Tikus yang diinduksi STz menjadi tikus diabetes STz menunjukkan
peningkatan GFR pada single/nepron GFR, total renal plasma flow dan
single nepron plasma flow, sesuai dengan penemuan pada nefropati
human. Mekanisme pada hiperfiltrasi tikus diabetes diantaranya
peningkatan ekspresi angiotensinase dengan stimulasi arteri, kontrasi
otot polos mesangial yang akan meningkatkan intraglomerular dan
ekses factor pertumbuhan (VEGF). Pemberian minyak Nigella sativa
secara oral selama enam minggu pada hamster yang diinduksi
streptozotosin, memberikan efek yang bermanfaat secara signifikan
yang dapat dilihat melalui peningkatan aktivitas fagositik makrofag
peritoneal dan hitung limfosi T darah tepi. Thymoquinone yang
merupakan zat aktif Nigella sativa dapat menurunkan kenaikan nitric
oxide (NO) tikus yang diinduksi oleh streptozotocin selama tiga puluh
hari. Hal ini mengindikasikan potensi minyak Nigella sativa dalam
meningkatkan fungsi sel imun non-spesifik, termasuk makrofag dan
sel NK yang berperan sebagai imuni tas seluler (Indah, Ariestya.
2009).
c. Pengujian Aktivitas kurkumin dalam Peningkatan Kada Hormon
Ghrelin
Tikus uji dibagi ke dalam 6 kelompok yang masing-masing terdiri dari
8 ekor tikus:
- Kelompok Kontrol Norma : diberikan larutan CMC Na 1%.
- Kelompok Kontrol Diabetes (negatif): diberikan induksi
streptozotosin 35 mg/kg bb dan larutan CMCNA 1 %.
- Kelompok Perlakuan Diabetes 1 : diberikan induksi streptozotosin
35 mg/kg bb dan kurkumin 100 mg/kg BB.
- Kelompok Perlakuan Diabetes 1 : diberikan induksi streptozotosin
35 mg/kg bb dan kurkumin 200 mg/kg BB.
- Kelompok Perlakuan Diabetes 1 : diberikan induksi streptozotosin
35 mg/kg bb dan kurkumin 400 mg/kg BB.
Kelompok Perlakuan Normal : diberikan kurkumin 200 mg/kg BB
- Setelah 28 hari pengobatan, tikus uji di bius dan perut tikus
dibedah. Kemudian perut dibuka dan jaringan perut diambil lalu
dicuci dengan garam es dingin. Jaringan yang telah diisolasi
direndam di dalam nitrogen cair dan segera disimpan pada suhu -
800C untuk analisis biokimia lebih lanjut.
d. Pengukuran Kadar Ghrelin
Pengukuran kadar ghrelin dilakukan pada jaringan perut yang telah
diisolasi dan sampel darah yang sebelumnya telah diambil. Semua
sampel darah diambil ke dalam tabung yang berisi EDTA dan
aprotinin. Plasma diperoleh dan disimpan pada suhu -800C sampai
sampel diuji. Jaringan Perut dicuci dua kali dalam PBS dan direbus
dalam 0,9% NaCl selama 5 enit. Sisa air diserap dengan kertas saring.
Mukosa diisolasi dan ditimbang dan dihomogenkan dengan HCl 1M.
Kemudian suspensi diinkubasi selama 120 menit pada suhu kamar,
Ditambahkan NaOH 1 M dan disentrifugasi selama 20 menit.
Kemudian diambil supernatan dan disimpan pada -70oC sampai diuji.
Kadar ghrelin diukur dengan RIA (Radioimmunoassay) sesuai dengan
protokol pengguanaan. Sampel diencerkan dalam 0,02 M penyangga
barbital, pH8.4, mengandung 1g / l bovine serum albumin kemudian
diinkubasi dengan ghrelin antiserum pada tabung selama 24 jam pada
4oC. Setelah penambahan 125 I-ghrelin (sekitar1.8 x 104 cpm), semua
sampel lebih lanjut diinkubasi selama 24 jam pada 4oC untuk
mencapai keseimbangan. Antibodi terikat dan marker bebas
dipisahkan dengan menambahkan 0,5 ml suspensi 20 mg arang aktif.
Sampel diinkubasi pada ruang Suhu selama 45 menit dan kemudian
disentrifugasi pada 1790 gat 4oC untuk 20 menit; supernatan dan
mengendap arang dihitung di automatic g-scintillation counters selama
5 menit. Supernatan dideteksi menggunakan FJ-2008 auto-event-per-
unit- Time meter (NuclearApparatus, Xian, Cina).
e. Analisis Data
Data yang diperoleh berupa persentase kadar ghrelin dalam jaringan
perut dan darah dibandingkan dengan kontrol negatif. Data dianalisis
dengan menggunakan program SPSS 16 dengan uji ANOVA dengan
taraf kepercayaan (P>0,05).
2. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut untuk mempelajari derajat efek toksik ekstrak etanol
dari pada mencit yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberian dosis
tunggal. Hewan uji yang digunakan adalah mencit galur Swiss Webster
jantan dan betina, usia 2 bulan, bobot antara 22 36 g. Sediaan
disuspensikan dalam CMCNa 0,5% dan dibuat dengan 5 tingkat
serangkaian dosis uji yaitu 625 mg/kg BB (D1), 1250 mg/kg BB(D2),
2500 mg/kg BB (D3), 5000 mg/kg BB (D4) dan 7.500 mg/kg BB (D5),
sedangkan kontrol normal hanya diberi larutan CMCNa 0,5%. Sediaan uji
diberikan secara oral dalam dosis tunggal 1 ml per 20 g mencit, satu dosis
per kelompok. Hewan coba di kelompokkan ke dalam 5 kelompok. Setiap
kelompok terdiri dari 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Tiap kelompok
terdiri dari 5 mencit jantan dan 5 mencit betina yang dikelompokkan
secara acak. Kelompok kontrol (K) hanya diberi larutan pembawa yaitu
Na-CMC 0,5%. Pengamatan terhadap efek-efek yang muncul dilakukan
segera setelah pemberiaan sediaan uji selama 3 menit pada tiap jam dalam
periode 4 jam pertama, kemudian diamati secara seksama efek-efek yang
muncul yang meliputi efek terhadap sistem syaraf pusat, sistem saraf
otonom, refleks, ritme pernapasan, perubahan dalam ekskresi, kondisi
kulit dan mukosa, postur tubuh, kecepatan denyut jantung dan beberapa
respon lainnya yang umum diamati pada uji toksisitas akut. (Katrin dkk.,
2011).
3.9 Kemasan
a. Kemasan Primer

Gambar 3.11a. Botol kaca emulsi IMUNO CURCUMIN

b. Kemasan Sekunder

Gambar 3.11b. Kemasan sekunder emulsi IMUNO CURCUMIN


c. Etiket

Gambar 3.11c. Etiket emulsi IMUNO CURCUMIN


d. Brosur

Gambar 3.11d. Brosur emulsi IMUNO CURCUMIN


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan
bakunya telah di standarisasi (BPOM RI, 2005). Nafsu makan merupakan
keadaan yang mendorong seseorang untuk memuaskan keinginan untuk makan
selain rasa lapar. Oleh karena itu, nafsu makan membantu seseorang memilih
kualitas makanan yang dimakan (Guyton,1990). Rasa lapar dipengaruhui oleh
saraf pusat hipotalamus. Dimana hipotalamus memiliki fungsi dalam pengaturan
asupan makan yang dikenal sebagai teori dual center, yaitu terdapat dua area di
hipotalamus yang berperan sebagai pusat lapar dan pusat kenyang. Hipotalamus
lateral bisa disebut sebagai pusat lapar atau pusat makan, sedangkan inti
ventromedialis hipotalamus sebagai pusat kenyang.
Pembuatan OHT emulsi penambah nafsu makan ekstrak temulawak
digunakan karena temulawak mengandung minyak atsiri yang memiliki sifat
koleretik, yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat
pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus. Temulawak
juga mengandung senyawa kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin,
desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin yang berdasarkan penelitian
diketahui memiliki efek peningkatan nafsu makan (Anggoro, dkk., 2015).
Kurkumin merupakan senyawa kurang polar yang tidak larut dalam air tetapi larut
dalam alkohol. Karena sifat kurkumin yang tidak larut air kurkumin dapat dibuat
sediaan emulsi.
Tahap ekstraksi dilakukan untuk menyari simplisia sehigga diperoleh
senyawa kurkumin, desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Kemudian
selanjutnya dilakukan skrining fitokimia untuk mengetahui kandungan dan
senyawa yang terkandung di dalam ekstrak etanol temulawak. Adapun hasil
skrinig fitokimia dari temulawak yaitu:
Setelah dilakukan uji pendahuluan terhadap ekstrak etanol temulawak maka
dilanjutkan dengan formulasi Sediaan emulsi. Emulsi yang diinginkan berupa
emulsi sediaan OHT, maka emulsi harus berupa sediaan obat yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan baku terdiri dari simplisia atau
sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku dan harus memenuhi uji
preklinik.
Pembuatan emulsi penambah nafsu makan dengan bahan aktif utama yaitu
ekstrak etanol temulawak dengan minyak kelapa sebagai fase minyak dan aquades
sebagai fase airnya. Ditambahkan juga sebuah emulgator sebagai zat penstabil
emulsi yaitu gom arab. Bahan pengemulsi tersebut berguna untuk menurunkan
tegangan antarmuka antara fase air dan fase minyak serta mencegah koalesensi,
yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu
fase tunggal yang memisah, dengan membentuk lapisan yang protektif di
sekeliling globul (Effionora, 2012; Lachman, et al., 1994). Pengawet yang
ditambahkan pada sediaan emulsi yaitu natrium benzoate yang bertujuan untuk
mencegah kontaminasi mikroba yang dapat merusak stabilitas sediaan emulsi
yang dibuat. Pengawet yang digunakan harus mempunyai toksisitas rendah, stabil
terhadap pemanasan dan selama penyimpanan, tercampurkan secara kimia,
memiliki rasa, bau dan warna yang lemah. Suatu pengawet harus efektif terhadap
kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat melindungi emulsi
selama digunakan pasien (Lachman et al.,1994). Vitamin E ditambahkan sebagai
antioksidan untuk mencegah kerusakan akibat radikal bebas, selain itu vitamin E
juga berfungsi untuk menstabilkam minyak yang digunakan agar tidak berbau
tengik. Kombinasi dari asam sitrat dan natrium sitrat sebagai buffering agent.
Selain itu untuk memperbaiki emulsi yang dihasilkan ditambahkan sukrosa
sebagai corigen saporis.
Untuk mengetahui jenis emulsi yang digunakan dilakukan uji fisiko kimia
sediaan, apabila minyak yang merupakan fase terdispersi dan larutan air
merupakan fase pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi minyak dalam air.
Sebaliknya, jika air merupakan fase terdispersi dan minyak merupakan fase
pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi air dalam minyak (Lachman, et al.,
1994). Pada emulsi penambah nafsu makan ini sediaan menggunakan emulgator
Gom Arab, sehingga dapat membentuk emulsi minyak dalam air. Sediaan OHT
emulsi rimpang temulawak ini harus memenuhi syarat uji praklinik, dimana Uji
praklinik merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara in
vivo maupun in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Uji
praklinik terdiri atas uji farmakologi dan uji toksikologi. Uji farmakologi
dilakukan untuk membuktikan khasiat dan menelusuri mekanisme efek dari obat
tradisional Uji toksikologi dilakukan untuk menilai keamanan suatu obat
tradisional yang diuji dan menetapkan spektrum efek toksik. (Suwandi, 2012).
Uji famakologi dilakukan secara in vivo pada Tikus Galur Wistar dengan
melihat peningkatan kadar hormone ghrelin. Hormon ghrelin berkontribusi dalam
merangsang lapar. Ghrelin adalah peptida dengan 28 asam amino, merupakan
peptida alami yang memiliki satu ester n-octanoyl pada residu serine. Setelah
penemuan ghrelin-28, ditemukan ghrelin endogen kedua dari ekstrak lambung
tikus yang dinamakan des-Gln 14- ghrelin (peptida 27 asam amino). Ghrelin
manusia identik dengan ghrelin tikus dengan pengecualian pada dua residu. Kadar
ghrelin plasma pada seseorang yang puasa adalah 140 +/- 14 pmol/mL. Ghrelin
pertama sekali ditemukan sebagai ligan endogen terhadap growth hormone
secretagogue receptors (GHS-R) yang sangat baik menstimulasi sekresi GH
(Gualillo et al., 2003).
Berdasarkan hasil uji Radioimmunoassay (RIA), setelah pemberian
kurkumin pada tikus terjadi peningkatan kadar hormon Ghrelin pada Kelompok
perlakuan. Setelah pengobatan dengan pemberian kurkumin, kadar ghrelin dalam
jaringan perut meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tikus control dari
194.34725.20 menjadi 300.20736.10 jaringan pg/mg (200mg/kgBB) atau
327.10756.20 pg / mg jaringan (400 mg/kgBB)(Gambar. A). Hormon ghrelin
pada plasma masih dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi setelah
pengobatan kurkumin (Gambar B). Ghrelin adalah hormon pertumbuhan
secretagogue baru-baru ini diisolasi dari perut manusia dan tikus (Kojimaetal.,
1999). Peran fisiologis ghrelin adalah untuk merangsang hormon pertumbuhan,
asupan makanan (Asakawaetal., 2001), dan motilitas lambung (Masuda et al.,
2000).
Uji toksisitas akut untuk mempelajari derajat efek toksik ekstrak etanol dari
pada mencit yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberian dosis tunggal.
Hewan uji yang digunakan adalah mencit galur Swiss Webster jantan dan betina,
usia 2 bulan, bobot antara 22 36 g. Sediaan disuspensikan dalam CMCNa 0,5%
dan dibuat dengan 5 tingkat serangkaian dosis uji yaitu 625 mg/kg BB (D1), 1250
mg/kg BB(D2), 2500 mg/kg BB (D3), 5000 mg/kg BB (D4) dan 7.500 mg/kg BB
(D5), sedangkan kontrol normal hanya diberi larutan CMCNa 0,5%. Sediaan uji
diberikan secara oral dalam dosis tunggal 1 ml per 20 g mencit, satu dosis per
kelompok. Hewan coba di kelompokkan ke dalam 5 kelompok. Setiap kelompok
terdiri dari 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Tiap kelompok terdiri dari 5 mencit
jantan dan 5 mencit betina yang dikelompokkan secara acak. Kelompok kontrol
(K) hanya diberi larutan pembawa yaitu Na-CMC 0,5%. Pengamatan terhadap
efek-efek yang muncul dilakukan segera setelah pemberiaan sediaan uji selama 3
menit pada tiap jam dalam periode 4 jam pertama, kemudian diamati secara
seksama efek-efek yang muncul yang meliputi efek terhadap sistem syaraf pusat,
sistem saraf otonom, refleks, ritme pernapasan, perubahan dalam ekskresi, kondisi
kulit dan mukosa, postur tubuh, kecepatan denyut jantung dan beberapa respon
lainnya yang umum diamati pada uji toksisitas akut. Hasil uji toksisitas akut
setelah pemberian ekstrak pada mencit jantan dan betina menunjukkan bahwa
sampai dosis 7500 mg/kg bobot badan (BB) tidak ada kematian dan efek toksik
yang bermakna. Dengan demikian LD 50 dari ekstrak etanol dari rimpang
temulawak pada mencit lebih besar dari 7500 mg/kg BB (Katrin, dkk., 2011).
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Formulasi Obat Herbal Terstandar (OHT) emulsi dari ekstrak rimpang
temulawak yaitu dengan bahan aktif ekstrak etanol temulawak dengan
minyak kelapa sebagai fase minyak dan aquades sebagai fase airnya.
Ditambahkan juga sebuah emulgator sebagai zat penstabil emulsi yaitu gom
arab. Pengawet yang ditambahkan pada emulsi yaitu natrium benzoate.
Vitamin E ditambahkan sebagai antioksidan untuk mencegah terjadinya
radikal bebas, juga berfungsi untuk membuat minyak yang digunakan agar
tidak berbau tengik. Buffering agent juga digunakan yaitu kombinasi dari
asam sitrat dan natrium sitrat. Untuk memperbaiki rasa emulsi yang
dihasilkan perlu ditambahkan suatu corigen saporis sebagai pemanis yaitu
sukrosa.
5.2 Kontrol kualitas sediaan Obat Herbal Terstandar (OHT) emulsi dari ekstrak
rimpang temulawak sebagai penambah nafsu makan dilakukan dengan uji
preklinik yaitu uji farmakologi dan uji toksikologi.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, E., dan Tim Lentera. 2003. Khasiat Dan Manfaat Temulawak Rimpang
Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Anggarwal, B.B. and Harikumar, K.B. 2009. Potential therapeutic effects of
curcumin, the anti-inflammatory agent, against neurodegenerative,
cardiovascular, pulmonary, metabolic, autoimmune and neoplastic
diseases. International Journal of Biochemical Cell Biology, 41(1), pp.40-
59.
Anggoro, D., R.S. Rezki, Siswarni. 2015. Ekstraksi Multi Tahap Kurkumin Dari
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Menggunakan Pelarut Etanol.
Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 4, No. 2. Hal 39-45
Ansel, H.C., 1989. Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.
Ardhiani, M., 2005, Pengaruh Pemberian Campuran Suspensi Ekstrak Rimpang
Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan Temulawak (Curcuma
xantorrhiza Roxb.) Terhadap Peningkatan Berat Badan Tikus Putih Jantan
serta Identfikasi Kandungan Kimianya. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
Farmasi UGM.
Bear, MF, Connors, BW, Paradiso MA. 2001. Neuroscience-Exploring the Brain,
2nd Ed, Lippincott Williams & Wilkins. pp. 523-545.
BPOM RI. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
Nomor: HK.00.05.4.2411. Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokkan dan
Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta: BPOM RI.
BPOM RI. 2004. Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan
Alam Indonesia Nomor: HK.00.05.4.2411. Jakarta: Badan Pengawas Obat
Dan Makanan Republik Indonesia.
BPOM RI. 2005. Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar dan Fitofarmaka Nomor: HK.00.05.41.1384. Jakarta:
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
Ciulei, J. 1984. Metodology for Analysis of Vegetables and Drugs. Bucharest
Rumania: Faculty of Pharmacy. Pp. 11-26.
Cowley MA, Smith RG, Diano S. 2003. The distribution and Mechanism of
Action of Ghrelin in the CNS Demonstrates a Novel Hypothalamic Circuit
Regulating Energy Homeostasis. Neuron. 37:649-661.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departeman Kesehatan
Republik Indonesia
Depkes RI. 1995b. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta : Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Ditjen POM. (1986). Sediaun Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Halaman. 10-11.
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departeman Kesehatan RI. Halaman. 10-
12.
Drastinawati, Herawati.S. 2003. Isolasi Minyak Atsiri dari Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza ROXB) dengan Metode Destilasi Air. Pekanbaru: Kampus
Binawidya UR.
Dyaningratri, Y. W. 2014. PENGARUH EKSTRAK Curcuma xanthorrhiza, Roxb.
TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL DARAH Rattus norvegicus
HIPERGLIKEMIA AKIBAT INDUKSI ALOKSAN. Universitas
Tanjungpura.
Farnworth, N. R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plant. J.
Pharm. Sci., 55: 59.
Febrina, E., D. Gozali dan T. Rusdiana. 2007. Formulasi Sediaan emulsi Buah
Merah (Pandanus conoideus Lam.) Sebagai Produk Antioksidan Alami.
Laporan Penelitian. Bandung: Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran.
Gualillo O, Lago F, Gomez-Reino J. 2003. Ghrelin, a widespread hormone:
insight to molecular and cellular regulation of its expression and
mechanism of action. FEBS letter. 552:105-109.
Guyton, A. C. 1990, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 5. Bagian I. Jakarta:
EGC.
Imeson, A. 1999. Thickening and Gelling Agent for Food. New York: Aspen
Publisher Inc.
Katrin, E., Susanto, H. Winarno. 2011. Toksisitas Akut Ekstrak Etanol
Temulawak (Curcuma xanthorrizhaRoxb.) Iradiasi yang Mempunyai
Aktivitas Antikanker. A Scientific Journal for The Applications of Isotopes
and Radiation. Vol. 7 No. 1. Hal 41-52.
Lachman, dkk, 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Jakarta: Universitas
Indonesia.
Martin, A., Swarbrick, J., Commarata, A. 1993. Farmasi Fisik 2, Edisi Ketiga.
Maulana, IT, Sukraso, Sophi Damayanti. 2014. Kandungan Asam Lemak Dalam
Minyak Ikan Indonesia. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.
6, No. 1, Hlm. 121-130.
Oehadian, H., S. Mohamad, M. Eksan, Nuraini. 1985. Efek antijamur dari
Curcuma xanthor-rhiza terhadap beberapa jamur golongan
Dermatophyta. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Rahmatini. 2010. Evaluasi Khasiat Dan Keamanan Obat (Uji Klinik). Majalah
Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Hal 33-38.
Ravindran, A., Phillips, D.T., dan Solberg, J.J. 1987. Operations Research
Principles And Practice-Second Edition, John Wiley & Sons. New York.
Rowey, R.C., Sheskey, P.J., dan Owen, S.C. 2006. Handbook of Pharmaceutical
Excipients Fifth Edition. London: Pharmaceutical Press.
Rukmana, rahmat. 1995. Temulawak Tanaman Rempah dan Obat. Yogjakarta:
Penerbit Kanisius.
Schwartz MW, Morton GJ. 2002. Keeping hunger at bay. Nature. 418:595-597.
Sherwood, L. 2001. Human Physiology from Cells to System, 3th Ed. Brooks/Cole
pp 617-620.
Stephen, A. M. and S. C. Churms. 1995. Food Polysaccarides and Their
Applications. New York: Marcell Dekker, Inc.
Sunarto, Agung. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Asdi
Mahasatya.

Suwandi, T. 2012. Pengembangan Potensi Antibakteri Kelopak Bunga


Hibiscus sabdariffa (Rosella) Terhadap Streptococcus sanguinis
Penginduksi Gingivitis Menuju Obat Herbal Terstandar. Disertasi. Jurusan
Ilmu Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Tranggono, S., Haryadi, Suparmo, A. Murdiati, S. Sudarmadji, K. Rahayu, S.
Naruki, dan M. Astuti. 1991. BahanTambahan Makanan (Food Additive).
Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Xu, Luo, Zhiling Li, Feifei Guo. 2013. Curcumin improves expression of ghrelin
through attenuating oxidative stress in gastric tissues of streptozotocin-
induced diabetic gastroparesis rats. European Journal of Pharmacology
718 (2013) 219225.

Anda mungkin juga menyukai