OLEH:
KELOMPOK IV
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
2.4 Ghrelin
Ghrelin adalah peptida dengan 28 asam amino, merupakan peptida alami
yang memiliki satu ester n-octanoyl pada residu serine. Setelah penemuan ghrelin-
28, ditemukan ghrelin endogen kedua dari ekstrak lambung tikus yang dinamakan
des-Gln 14- ghrelin (peptida 27 asam amino). Ghrelin manusia identik dengan
ghrelin tikus dengan pengecualian pada dua residu. Kadar ghrelin plasma pada
seseorang yang puasa adalah 140 +/- 14 pmol/mL. Ghrelin pertama sekali
ditemukan sebagai ligan endogen terhadap growth hormone secretagogue
receptors (GHS-R) yang sangat baik menstimulasi sekresi GH (Gualillo et al.,
2003).
Peptida ini diproduksi dan disekresikan oleh X/A-like cells di dalam
kelenjar-kelenjar oxyntic mukosa yang tersebar di lambung. Selain lambung,
didapati adanya rangkaian neuron di antara nukleus-nukleus di sekitar ventrikel III
yang menghasilkan ghrelin. Ghrelin juga dihasilkan dalam jumlah sedikit di testis,
plasenta, ginjal, hipofise, usus halus, pankreas, limfosit dan bagian otak lainnya.
Rata-rata, dua per tiga jumlah ghrelin dalam plasma berasal dari lambung dan
sekurangnya sepertiga berasal dari usus halus. Selain menstimulasi sekresi GH,
ghrelin mampu menyebabkan peningkatan asupan makanan dan mengurangi
pemakaian cadangan lemak. Satu hal yang penting adalah, bahwa kemampuannya
menciptakan keseimbangan energi positif itu terlepas dari pengaturan sekresi GH
(Cowley et al., 2003).
Peningkatan kadar ghrelin menyebabkan meningkatnya ekspresi mRNA
untuk NPY dan AgRP, dan menstimulasi penglepasan NPY/AgRP tersebut.,
sebagai modulator yang telah diketahui menyebabkan peningkatan nafsu makan
dan menurunkan pemakaian 9nergy Pengaruhnya terhadap jalur NPY dan AgRP
di sini mengimbangi pengaruh leptin dengan menimbulkan efek yang berlawanan.
NPY selanjutnya mempengaruhi MCH dan orexin melalui reseptor Y1 dan Y5 di
neuron orde kedua, dan menghasilkan efek meningkatnya nafsu makan (Bear et
al., 2001)
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehinggga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Ekstraksi bertujuan untuk melarutkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam
jaringan tanaman ke dalam pelarut yang dipakai untuk proses ekstraksi tersebut.
Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam
golongan minyak atsiri, alkaloida, falvonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya
senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut
dan cara ekstraksi yang tepat. (Ditjen POM, 2000).
Salah satu ekstraksi yang dapat dilakukan untuk mengekstraksi kurkumin
adalah dengan menggunakan metode maserasi. Maserasi merupakan cara
ekstraksi yang sederhana, menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali
pengadukan pada temperatur ruangan (kamar) (Ditjen POM, 2000). Maserasi
digunakan untuk menyari zat aktit yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak
mengandung stirak, benzoin dan lain-lain. Maserasi pada umumnya dilakukan
dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia dalam 75 bagian cairan penyari
(pelarut) (Ditjen POM, 1986). Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama
beberapa hari pada temperature kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk
kedalam sel tanaman melewati di dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan didala sel dengan diluar sel. Larutan yang
konentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan
konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi
keseimbangan antara larutan didalam sel dan larutan diluar sel (Ansel, 1989).
2.5.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum
mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya
berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan
baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk.
Berdasarkan hal tersebut maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan/mineral (Istiqomah,
2013).
2.6 Emulsi
2.6.1 Pengertian Emulsi
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispers dalam
cairan yang lain dalam bentuk tetesan kecil (droplet/globul) dengan diameter
biasanya lebih dari 0,1 m atau 0,1-50 m. Jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pendispersi, maka sistem ini disebut
emulsi minyak dalam air. Sebaliknya, jika air merupakan fase terdispersi dan
minyak merupakan fase pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi air dalam
minyak. Suatu sistem emulsi pada dasarnya tidak stabil, karena masing-masing
partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel sesama
lainnya. Molekul fase A (air) ditarik ke dalam fase A dan ditolak oleh fase B
(minyak), membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi
tersebut pecah. Kekuatan dan kekompakan lapisan antarmuka adalah sifat yang
penting yang dapat membentuk stabilitas emulsi (Lachman et al., 1994).
Bahan pengemulsi umumnya dibedakan menjadi tiga golongan besar,
yaitu surfaktan, hidrokoloid dan zat padat terbagi halus. Golongan pengemulsi
tertentu dipilih terutama berdasarkan stabilitas shelf life yang dikehendaki, tipe
emulsi yang diinginkan dan biaya zat pengemulsi (Lachman et al., 1994). Suatu
zat pengemulsi harus dapat dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya dan
tidak boleh mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik, serta tidak
toksik pada penggunaan. Bahan tambahan yang diperlukan dalam formulasi
emulsi, di antaranya: bahan pengawet, antioksidan dan penutup rasa. Penambahan
bahan pengawet bertujuan untuk mencegah kontaminasi mikroba. Suatu pengawet
harus efektif terhadap kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat
melindungi emulsi selama digunakan pasien. Pengawet harus mempunyai
toksisitas rendah, stabil terhadap pemanasan dan selama penyimpanan,
tercampurkan secara kimia, memiliki rasa, bau dan warna yang lemah. Contoh
pengawet yang biasa digunakan di antaranya: asam benzoat dan turunannya,
nipagin, nipasol, benzalkonium klorida, klorbutanol, glutaraldehih, asam sorbat,
fenol kresol, fenil merkuri asetat, klorotimol fenil merkuri nitrat (Lachman et
al.,1994).
Munculnya suatu ketengikan pada minyak tak jenuh seperti minyak nabati,
disebabkan akibat dari proses autooksidasi, dimana peristiwa ini juga
mempengaruhi penampilan, dan rasa yang menjadi tidak menyenangkan.
Sehingga dengan penambahan antioksidan dapat mencegah oksidasi dari fase
minyak yang terdapat dalam suatu sediaan emulsi. Contoh antioksidan yang biasa
digunakan di antaranya: BHA (butylated hydroxyanisole), BHT (butylated
hydroxytoluene), asam galat, propil galat, asam askorbat, askorbil palmitat, sulfit
dan tokoferol (Lachman et al., 1994). Sedangkan penutup rasa ditujukan untuk
mengurangi rasa tidak enak dan secara ideal dilakukan dengan cara mengurangi
rasa pahit, menggunakan penghambat rasa khasiat, stabilitas, penampilan sediaan,
serta memberi rasa tertentu untuk mencirikan suatu produk. Cara penutupan rasa
pahit sediaan oral secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan pemanis
dan flavor. Pemanis dapat memainkan peranan penting dalam formulasi sediaan
yang digunakan melalui mulut seperti dengan cara menambah rasa, menutupi rasa
yang tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Contoh pemanis yang biasa
digunakan di antaranya: sukrosa, dekstrosa, fruktosa, gliserin, maltitol, manitol,
sorbitol dan xylitol (Nabiela, 2013).
2.6.2 Tahap Emulsifikasi
Kestabilan suatu emulsi adalah kemampuan suatu emulsi untuk
mempertahankan distribusi yang teratur dari fase terdispersi dalam jangka waktu
yang lama. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kestabilan emulsi
tetap terjaga, diantaranya:
1. Teknik pembuatan
2. Penambahan garam atau elektrolit lemah dalam konsentrasi besar
mempengaruhi kestabilan emulsi.
3. Pengocokan yang keras, apabila emulsi dikocok keras-keras maka
partikel-partikel kecil akan mengadakan kontak menjadi partikel yang
lebih besar sehingga emulsi akan pecah.
4. Penyimpanan
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan suatu emulgator merupakan
faktor yang penting karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi
oleh emulgator yang digunakan. Salah satu emulgator yang yang banyak
digunakan adalah zat aktif permukaan atau lebih dikenal dengan surfaktan.
Mekanisme kerja emulgator ini adalah menurunkan tegangan antar permukaan air
dan minyak serta membentuk lapisan film pada permukaan globul-globul fase
terdisperisnya. Tipe emulsi dapat ditentukan dari jenis surfaktan digunakan.
Secara kimia, molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan non polar. Apabila
surfaktan dimasukkan ke dalam sistem yang dari air dan minyak, maka guugus
polar akan terarah ke fasa air sedangkan gugus non polar terarah ke fasa minyak.
Surfaktan yang mempunyai gugus polar lebih kuat akan cenderung membentuk
emulsi minyak dalam air, sedangkan bila gugus non polar yang lebih kuat maka
akan cenderung membentuk emulsi air dalam minyak (Lachman, 1994).
Ada beberapa teori yang dapat dipakai pada proses emulsifikasi yaitu:
1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension): Didalam teori ini
dikatakan bahwa penambahan emulgator akan menurunkan dan
menghilangkan tegangan permukaan yang terjadi pada bidang batas
sehingga antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur.
2. Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge): Setiap molekul
emulgator dibagi menjadi dua kelompok yakni : kelompok hidrofilik
yaitu bagian dari emulgator yang suka pada air, dan kelompok lipofilik
yaitu bagian yang suka pada minyak.
3. Teori Interparsial Film: Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan
diserap pada batas antara air dan minyak, sehingga terbentuk lapisan
film yang akan membungkus partikel fase dispers. Dengan
terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang
sejenis untuk bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain fase
dispers menjadi stabil.
4. Teori Electric Double Layer (lapisan listrik ganda): Jika minyak
terdispersi kedalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan
dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan
berikutnya akan bermuatan yang berlawanan dengan lapisan
didepannya. Dengan demikian seolah-olah tiap partikel minyak
dilindungi oleh dua benteng lapisan listrik yang saling berlawanan.
Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel minyak yang
akan menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar.
Karena susunan listrik yang menyelubungi sesama partikel akan tolak
menolak dan stabilitas emulsi akan bertambah.
(Syamsuri, 2006)
3.1 Formula
Tabel 1. Formula Sediaan dan Fungsinya
Bahan Fungsi Konsentrasi Pustaka Konsentrasi
yang digunakan
Ekstrak etanol Zat Aktif - 6,4 %
rimpang temulawak penambah nafsu
makan
Minyak Kelapa Fase Minyak - 40%
Gom Arab Emulgator 10-20% 15%
Vitamin E Antioksidan - 0,1%
Sukrosa Pemanis 15% 15%
Asam Sitrat buffering agent 0,1-2% 0,25%
Natrium Sitrat buffering agent 0,3-2% 0,25%
Natrium Benzoat Bahan Pengawet 0,1% 0,1%
Aquades ad Fase Air - 100%
b. Kemasan Sekunder
Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan
bakunya telah di standarisasi (BPOM RI, 2005). Nafsu makan merupakan
keadaan yang mendorong seseorang untuk memuaskan keinginan untuk makan
selain rasa lapar. Oleh karena itu, nafsu makan membantu seseorang memilih
kualitas makanan yang dimakan (Guyton,1990). Rasa lapar dipengaruhui oleh
saraf pusat hipotalamus. Dimana hipotalamus memiliki fungsi dalam pengaturan
asupan makan yang dikenal sebagai teori dual center, yaitu terdapat dua area di
hipotalamus yang berperan sebagai pusat lapar dan pusat kenyang. Hipotalamus
lateral bisa disebut sebagai pusat lapar atau pusat makan, sedangkan inti
ventromedialis hipotalamus sebagai pusat kenyang.
Pembuatan OHT emulsi penambah nafsu makan ekstrak temulawak
digunakan karena temulawak mengandung minyak atsiri yang memiliki sifat
koleretik, yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat
pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus. Temulawak
juga mengandung senyawa kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin,
desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin yang berdasarkan penelitian
diketahui memiliki efek peningkatan nafsu makan (Anggoro, dkk., 2015).
Kurkumin merupakan senyawa kurang polar yang tidak larut dalam air tetapi larut
dalam alkohol. Karena sifat kurkumin yang tidak larut air kurkumin dapat dibuat
sediaan emulsi.
Tahap ekstraksi dilakukan untuk menyari simplisia sehigga diperoleh
senyawa kurkumin, desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Kemudian
selanjutnya dilakukan skrining fitokimia untuk mengetahui kandungan dan
senyawa yang terkandung di dalam ekstrak etanol temulawak. Adapun hasil
skrinig fitokimia dari temulawak yaitu:
Setelah dilakukan uji pendahuluan terhadap ekstrak etanol temulawak maka
dilanjutkan dengan formulasi Sediaan emulsi. Emulsi yang diinginkan berupa
emulsi sediaan OHT, maka emulsi harus berupa sediaan obat yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan baku terdiri dari simplisia atau
sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku dan harus memenuhi uji
preklinik.
Pembuatan emulsi penambah nafsu makan dengan bahan aktif utama yaitu
ekstrak etanol temulawak dengan minyak kelapa sebagai fase minyak dan aquades
sebagai fase airnya. Ditambahkan juga sebuah emulgator sebagai zat penstabil
emulsi yaitu gom arab. Bahan pengemulsi tersebut berguna untuk menurunkan
tegangan antarmuka antara fase air dan fase minyak serta mencegah koalesensi,
yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu
fase tunggal yang memisah, dengan membentuk lapisan yang protektif di
sekeliling globul (Effionora, 2012; Lachman, et al., 1994). Pengawet yang
ditambahkan pada sediaan emulsi yaitu natrium benzoate yang bertujuan untuk
mencegah kontaminasi mikroba yang dapat merusak stabilitas sediaan emulsi
yang dibuat. Pengawet yang digunakan harus mempunyai toksisitas rendah, stabil
terhadap pemanasan dan selama penyimpanan, tercampurkan secara kimia,
memiliki rasa, bau dan warna yang lemah. Suatu pengawet harus efektif terhadap
kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat melindungi emulsi
selama digunakan pasien (Lachman et al.,1994). Vitamin E ditambahkan sebagai
antioksidan untuk mencegah kerusakan akibat radikal bebas, selain itu vitamin E
juga berfungsi untuk menstabilkam minyak yang digunakan agar tidak berbau
tengik. Kombinasi dari asam sitrat dan natrium sitrat sebagai buffering agent.
Selain itu untuk memperbaiki emulsi yang dihasilkan ditambahkan sukrosa
sebagai corigen saporis.
Untuk mengetahui jenis emulsi yang digunakan dilakukan uji fisiko kimia
sediaan, apabila minyak yang merupakan fase terdispersi dan larutan air
merupakan fase pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi minyak dalam air.
Sebaliknya, jika air merupakan fase terdispersi dan minyak merupakan fase
pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi air dalam minyak (Lachman, et al.,
1994). Pada emulsi penambah nafsu makan ini sediaan menggunakan emulgator
Gom Arab, sehingga dapat membentuk emulsi minyak dalam air. Sediaan OHT
emulsi rimpang temulawak ini harus memenuhi syarat uji praklinik, dimana Uji
praklinik merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara in
vivo maupun in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Uji
praklinik terdiri atas uji farmakologi dan uji toksikologi. Uji farmakologi
dilakukan untuk membuktikan khasiat dan menelusuri mekanisme efek dari obat
tradisional Uji toksikologi dilakukan untuk menilai keamanan suatu obat
tradisional yang diuji dan menetapkan spektrum efek toksik. (Suwandi, 2012).
Uji famakologi dilakukan secara in vivo pada Tikus Galur Wistar dengan
melihat peningkatan kadar hormone ghrelin. Hormon ghrelin berkontribusi dalam
merangsang lapar. Ghrelin adalah peptida dengan 28 asam amino, merupakan
peptida alami yang memiliki satu ester n-octanoyl pada residu serine. Setelah
penemuan ghrelin-28, ditemukan ghrelin endogen kedua dari ekstrak lambung
tikus yang dinamakan des-Gln 14- ghrelin (peptida 27 asam amino). Ghrelin
manusia identik dengan ghrelin tikus dengan pengecualian pada dua residu. Kadar
ghrelin plasma pada seseorang yang puasa adalah 140 +/- 14 pmol/mL. Ghrelin
pertama sekali ditemukan sebagai ligan endogen terhadap growth hormone
secretagogue receptors (GHS-R) yang sangat baik menstimulasi sekresi GH
(Gualillo et al., 2003).
Berdasarkan hasil uji Radioimmunoassay (RIA), setelah pemberian
kurkumin pada tikus terjadi peningkatan kadar hormon Ghrelin pada Kelompok
perlakuan. Setelah pengobatan dengan pemberian kurkumin, kadar ghrelin dalam
jaringan perut meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tikus control dari
194.34725.20 menjadi 300.20736.10 jaringan pg/mg (200mg/kgBB) atau
327.10756.20 pg / mg jaringan (400 mg/kgBB)(Gambar. A). Hormon ghrelin
pada plasma masih dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi setelah
pengobatan kurkumin (Gambar B). Ghrelin adalah hormon pertumbuhan
secretagogue baru-baru ini diisolasi dari perut manusia dan tikus (Kojimaetal.,
1999). Peran fisiologis ghrelin adalah untuk merangsang hormon pertumbuhan,
asupan makanan (Asakawaetal., 2001), dan motilitas lambung (Masuda et al.,
2000).
Uji toksisitas akut untuk mempelajari derajat efek toksik ekstrak etanol dari
pada mencit yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberian dosis tunggal.
Hewan uji yang digunakan adalah mencit galur Swiss Webster jantan dan betina,
usia 2 bulan, bobot antara 22 36 g. Sediaan disuspensikan dalam CMCNa 0,5%
dan dibuat dengan 5 tingkat serangkaian dosis uji yaitu 625 mg/kg BB (D1), 1250
mg/kg BB(D2), 2500 mg/kg BB (D3), 5000 mg/kg BB (D4) dan 7.500 mg/kg BB
(D5), sedangkan kontrol normal hanya diberi larutan CMCNa 0,5%. Sediaan uji
diberikan secara oral dalam dosis tunggal 1 ml per 20 g mencit, satu dosis per
kelompok. Hewan coba di kelompokkan ke dalam 5 kelompok. Setiap kelompok
terdiri dari 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Tiap kelompok terdiri dari 5 mencit
jantan dan 5 mencit betina yang dikelompokkan secara acak. Kelompok kontrol
(K) hanya diberi larutan pembawa yaitu Na-CMC 0,5%. Pengamatan terhadap
efek-efek yang muncul dilakukan segera setelah pemberiaan sediaan uji selama 3
menit pada tiap jam dalam periode 4 jam pertama, kemudian diamati secara
seksama efek-efek yang muncul yang meliputi efek terhadap sistem syaraf pusat,
sistem saraf otonom, refleks, ritme pernapasan, perubahan dalam ekskresi, kondisi
kulit dan mukosa, postur tubuh, kecepatan denyut jantung dan beberapa respon
lainnya yang umum diamati pada uji toksisitas akut. Hasil uji toksisitas akut
setelah pemberian ekstrak pada mencit jantan dan betina menunjukkan bahwa
sampai dosis 7500 mg/kg bobot badan (BB) tidak ada kematian dan efek toksik
yang bermakna. Dengan demikian LD 50 dari ekstrak etanol dari rimpang
temulawak pada mencit lebih besar dari 7500 mg/kg BB (Katrin, dkk., 2011).
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Formulasi Obat Herbal Terstandar (OHT) emulsi dari ekstrak rimpang
temulawak yaitu dengan bahan aktif ekstrak etanol temulawak dengan
minyak kelapa sebagai fase minyak dan aquades sebagai fase airnya.
Ditambahkan juga sebuah emulgator sebagai zat penstabil emulsi yaitu gom
arab. Pengawet yang ditambahkan pada emulsi yaitu natrium benzoate.
Vitamin E ditambahkan sebagai antioksidan untuk mencegah terjadinya
radikal bebas, juga berfungsi untuk membuat minyak yang digunakan agar
tidak berbau tengik. Buffering agent juga digunakan yaitu kombinasi dari
asam sitrat dan natrium sitrat. Untuk memperbaiki rasa emulsi yang
dihasilkan perlu ditambahkan suatu corigen saporis sebagai pemanis yaitu
sukrosa.
5.2 Kontrol kualitas sediaan Obat Herbal Terstandar (OHT) emulsi dari ekstrak
rimpang temulawak sebagai penambah nafsu makan dilakukan dengan uji
preklinik yaitu uji farmakologi dan uji toksikologi.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, E., dan Tim Lentera. 2003. Khasiat Dan Manfaat Temulawak Rimpang
Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Anggarwal, B.B. and Harikumar, K.B. 2009. Potential therapeutic effects of
curcumin, the anti-inflammatory agent, against neurodegenerative,
cardiovascular, pulmonary, metabolic, autoimmune and neoplastic
diseases. International Journal of Biochemical Cell Biology, 41(1), pp.40-
59.
Anggoro, D., R.S. Rezki, Siswarni. 2015. Ekstraksi Multi Tahap Kurkumin Dari
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Menggunakan Pelarut Etanol.
Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 4, No. 2. Hal 39-45
Ansel, H.C., 1989. Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.
Ardhiani, M., 2005, Pengaruh Pemberian Campuran Suspensi Ekstrak Rimpang
Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan Temulawak (Curcuma
xantorrhiza Roxb.) Terhadap Peningkatan Berat Badan Tikus Putih Jantan
serta Identfikasi Kandungan Kimianya. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
Farmasi UGM.
Bear, MF, Connors, BW, Paradiso MA. 2001. Neuroscience-Exploring the Brain,
2nd Ed, Lippincott Williams & Wilkins. pp. 523-545.
BPOM RI. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
Nomor: HK.00.05.4.2411. Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokkan dan
Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta: BPOM RI.
BPOM RI. 2004. Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan
Alam Indonesia Nomor: HK.00.05.4.2411. Jakarta: Badan Pengawas Obat
Dan Makanan Republik Indonesia.
BPOM RI. 2005. Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar dan Fitofarmaka Nomor: HK.00.05.41.1384. Jakarta:
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
Ciulei, J. 1984. Metodology for Analysis of Vegetables and Drugs. Bucharest
Rumania: Faculty of Pharmacy. Pp. 11-26.
Cowley MA, Smith RG, Diano S. 2003. The distribution and Mechanism of
Action of Ghrelin in the CNS Demonstrates a Novel Hypothalamic Circuit
Regulating Energy Homeostasis. Neuron. 37:649-661.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departeman Kesehatan
Republik Indonesia
Depkes RI. 1995b. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta : Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Ditjen POM. (1986). Sediaun Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Halaman. 10-11.
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departeman Kesehatan RI. Halaman. 10-
12.
Drastinawati, Herawati.S. 2003. Isolasi Minyak Atsiri dari Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza ROXB) dengan Metode Destilasi Air. Pekanbaru: Kampus
Binawidya UR.
Dyaningratri, Y. W. 2014. PENGARUH EKSTRAK Curcuma xanthorrhiza, Roxb.
TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL DARAH Rattus norvegicus
HIPERGLIKEMIA AKIBAT INDUKSI ALOKSAN. Universitas
Tanjungpura.
Farnworth, N. R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plant. J.
Pharm. Sci., 55: 59.
Febrina, E., D. Gozali dan T. Rusdiana. 2007. Formulasi Sediaan emulsi Buah
Merah (Pandanus conoideus Lam.) Sebagai Produk Antioksidan Alami.
Laporan Penelitian. Bandung: Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran.
Gualillo O, Lago F, Gomez-Reino J. 2003. Ghrelin, a widespread hormone:
insight to molecular and cellular regulation of its expression and
mechanism of action. FEBS letter. 552:105-109.
Guyton, A. C. 1990, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 5. Bagian I. Jakarta:
EGC.
Imeson, A. 1999. Thickening and Gelling Agent for Food. New York: Aspen
Publisher Inc.
Katrin, E., Susanto, H. Winarno. 2011. Toksisitas Akut Ekstrak Etanol
Temulawak (Curcuma xanthorrizhaRoxb.) Iradiasi yang Mempunyai
Aktivitas Antikanker. A Scientific Journal for The Applications of Isotopes
and Radiation. Vol. 7 No. 1. Hal 41-52.
Lachman, dkk, 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Jakarta: Universitas
Indonesia.
Martin, A., Swarbrick, J., Commarata, A. 1993. Farmasi Fisik 2, Edisi Ketiga.
Maulana, IT, Sukraso, Sophi Damayanti. 2014. Kandungan Asam Lemak Dalam
Minyak Ikan Indonesia. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.
6, No. 1, Hlm. 121-130.
Oehadian, H., S. Mohamad, M. Eksan, Nuraini. 1985. Efek antijamur dari
Curcuma xanthor-rhiza terhadap beberapa jamur golongan
Dermatophyta. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Rahmatini. 2010. Evaluasi Khasiat Dan Keamanan Obat (Uji Klinik). Majalah
Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Hal 33-38.
Ravindran, A., Phillips, D.T., dan Solberg, J.J. 1987. Operations Research
Principles And Practice-Second Edition, John Wiley & Sons. New York.
Rowey, R.C., Sheskey, P.J., dan Owen, S.C. 2006. Handbook of Pharmaceutical
Excipients Fifth Edition. London: Pharmaceutical Press.
Rukmana, rahmat. 1995. Temulawak Tanaman Rempah dan Obat. Yogjakarta:
Penerbit Kanisius.
Schwartz MW, Morton GJ. 2002. Keeping hunger at bay. Nature. 418:595-597.
Sherwood, L. 2001. Human Physiology from Cells to System, 3th Ed. Brooks/Cole
pp 617-620.
Stephen, A. M. and S. C. Churms. 1995. Food Polysaccarides and Their
Applications. New York: Marcell Dekker, Inc.
Sunarto, Agung. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Asdi
Mahasatya.