Anda di halaman 1dari 51

Makalah Praktikum Biofarmasetika-Farmakokinetika

Praktikum II
Penetapan Waktu Pengambilan Cuplikan, Pemilihan Dosis Dalam
Farmakokinetika Dan Asumsi Model Kompartemen Obat
Parasetamol Dalam Darah Kelinci Dengan Metode
Spektrofotometri Visibel

Disusun oleh :
Benedictus Wisnu Putra Jati 158114102
Mada Putri Lestari 158114103
Andita Suryarini 158114105
Maria Arielisa 158114106
Felicita Eka Putri S 158114107
Kelompok : C1

LABORATORIUM FARMAKOKINETIKA - BIOFARMASETIKA


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
Praktikum II
Penetapan Waktu Pengambilan Cuplikan, Pemilihan Dosis Dalam
Farmakokinetika Dan Asumsi Model Kompartemen Obat
Parasetamol Dalam Darah Kelinci Dengan Metode
Spektrofotometri Visibel

A. LATAR BELAKANG
Makhluk hidup diciptakan dengan dengan keunikan serta karakteristik
masing-masing yang berbeda satu sama lainnya dalam berbagai hal. Begitu juga
dengan hal yang terjadi di dalam tubuh seseorang. Setiap orang memiliki
karakteritik masing-masing yang berkaitan dengan ADME (absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi), dengan mengetahui ADME dapat
menentukan kadar obat pada reseptornya ataupun kadar obat di dalam
tubuh sehingga juga dapat diketahui efek farmakologi maupun efek
toksiknya. Selain ADME yang berbeda, dosis obat juga akan berbeda sesuai
karakter yang dimiliki untuk memberikan efek terapinya.
Ketika obat masuk ke dalam tubuh maka obat tersebut akan tergabung
dalam keadaan dinamik. Peristiwa yang dialami obat-obat tersebut di dalam suatu
sistem biologik terjadi secara serentak sehingga apa yang terjadi sangat kompleks.
Dalam penggambaran sistem biologi hal tersebut diperlukan penyederhanaan
anggapan mengenai pergerakan obat. Oleh karena itu, telah dirancang suatu
model untuk meniru peristiwa yang dialami obat tersebut ( proses laju
absorpsi, distribusi, dan eliminasi). Model ini merupakan suatu model
kompartemen yang memungkinkan pengembangan persamaan untuk
menggambarkan konsentrasi obat dalam tubuh sebagai fungsi waktu (Kar,
2010). Tujuan dari permodelan ini adalah untuk menyederhanakan struktur
tubuh yang begitu kompleks sehingga mempermudah mengetahui reaksi
obat (ADME) di dalam tubuh (WHO, 2007).
Model kompartemen terdapat beberapa jenis diantaranya model
Mammillary, model Caterrary, dan model fisiologi (model aliran). Model
mammilary terbagi lagi menjadi 4 yaitu kompartemen satu terbuka intravaskuler,
kompartemen satu terbuka ekstravaskuler, kompartemen dua terbuka
intravaskuler, dan kompartemen dua terbuka ekstravaskuler. Masing-masing
model memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing sehingga untuk
penggunaannya disesuaikan dengan tujuan (Shargel dan Yu, 2015).
Model kompartemen berkaitan erat dengan pengambilan cuplikan,
mulai dari lama waktu pengambilan cuplikan, kapan pengambilan sampai
frekuensi atau banyaknya pengambilan. Lama waktu pengambilan cuplikan
perlu diperhatikan agar didapatkan data kadar obat dalam darah lawan waktu yang
cukup sehingga dapat mengetahui evaluasi parameter farmakokinetika obat.
Ketika kinetika obat mengikuti model dua kompartemen terbuka maka dianjurkan
untuk banyaknya pengambilan cuplikan paling tidak tiga kali pada tahap absorpsi,
tiga kali pada sekitar puncak , tiga kali pada tahap distribusi, dan tiga kali pada
tahap eliminasi. Hal ini diperlukan agar didapatkan data kadar obat dalam darah
lawan waktu yang cukup untuk mengetahui evaluasi pada parameter
farmakokinetika obat. Pengambilan cuplikan pada tahap distribusi tidak
diperlukan. Apabila kinetika obat mengikuti model satu kompartemen terbuka
selain pengambilan seperti diatas juga diperhatikan pemberian dosisnya karena
terdapat beberapa obat yang kinetikanya tergantung dari dosis (Sugano, 2012).
Maka berdasarkan hal-hal tersebut dalam percobaan ini dilakukan penetapan
waktu pengambilan cuplikan, pemilihan dosis dalam farmakokinetika dan asumsi
model kompartemen dengan menggunakan obat parasetamol pada hewan uji
kelinci.
Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari kinetika absorbsi obat,
distribusi dan eliminasi (ekskresi dan metabolisme). Pada pemberian obat secara
oral, obat harus mengalami proses sebagai berikut antara lain:
a. Absorbsi
Proses penyerapan obat dari tempat pemberian melalui saluran cerna terjadi
secara difusi pasif, karena itu absorbsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non
ion dan hidrofobik. Kecepatan absorbsi tergantung pada faktor bentuk dan cara
pemberian serta sifat kimia fisika obat. Absorbsi sistemik suatu obat dari
saluran cerna maupun tempat ekstravaskuler yang lain bergantung pada bentuk
sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorbsi. Faktor-faktor seperti luas
permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran
cerna dan aliran darah ketempat absorbsi, semuanya mempengaruhi laju dan
jumlah absorbsi obat (Pakarti, 2009).
b. Distribusi
Obat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah tergantung
dari aliran darah dan sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase
berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi
segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya:
jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase dua jauh lebih luas
yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada distribusi fase
pertama misalnya: otot, visera, kulit, dan aringan lemak. Sebelum mencapai
kesetimbangan distribusi, distribusi ditentukan oleh pasokan darah dari organ dan
jaringan. Akibat aliran darah yang cepat dan dengan demikian jangka waktu
kontaknya yang singkat dalam kapiler maka, bagian obat yang dapat berdifusi
kedalam organ dari pembuluh darah makin tinggi apabila pasokan
darahnya makin besar. Ini akan berakibat, obat yang mempunyai banyak kapiler
untuk memulai proses distribusi mengambil jumlah obat yang lebih besar
dibanding daerah yang pasokan darahnya kurang. (Pakarti, 2009).
c. Eliminasi
Eliminasi sebagian besar obat dari tubuh terdiri dari dua proses yaitu
metabolisme (biotransformasi) dan ekskresi. Seperti halnya biotransformasi,
ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi bahan
berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi bergantung kepada sifat
fisikokimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, tekanan uap). Obat yang
dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada
obat larut lemak. Organ utama yang bertanggung jawab dalam biotransformasi
obat adalah hati. Pada proses biotransformasi molekul obat akan diubah menjadi
lebih polar sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Ada 2 fase
biotransformasi yaitu reakse fase I dan reaksi fase II. Faktor yang
mempengaruhi laju dan jalur metabolisme obat, dan pengaruh-pengaruh utamanya
dibagi menjadi: faktor internal (fisiologis dan patologis) dan faktor eksternal
(eksogen) (Pakarti, 2009).
Saat obat telah diminum, nasib obat tersebut akan didistribusikan ke
seluruh tubuh oleh cairan tubuh (darah), tetapi kita tidak mengetahui dengan
pasti kemana dan berapa jumlahnya pada jaringan yang akan menerima
hasil distribusi tersebut. Untuk mengetahui hal tersebut, maka di buat suatu
model farmakokinetik yaitu model kompartemen. (Shargel, L and Yu., 2015). Ada
3 model kompartemen, yaitu:
1. Model 1 kompartemen
Model ini merupakan satu model yang sangat sederhana, karena tubuh
dianggap sebagai 1 kompartemen tempat obat menyebar dengan seketika
dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh.
2. Model 2 kompartemen
Pada model farmakokinetik ini, jaringan-jaringan tubuh disatukan
menjadi satu kompartemen perifer, sedangkan sirkulasi darah (plasma)
merupakan suatu kompartemen yang di sebut kompartemen sentral.
Kompartemen perifer adalah berbagai jaringan yang kurang dialiri darah
misalnya otot, kulit , dan jaringan lemak, sehingga mengakibatkan obat
akan lambat masuk ke dalamnya. Sedangkan kompartemen sentral terdiri
dari darah dan berbagai jaringan yang dialiri darah seperti jantung, hati,
ginjal, dan kelenjar-kelenjar endokrin, sehingga akan tersebar dan
mencapai kesetimbangan dengan cepat.
Model dua kompartemen ini sebenarnya merupakan modifikasi dari
model satu kompartemen. Dengan modifikasi ini, kemungkinan dapat
terjadinya kejenuhan dari enzim-enzim metabolisme obat dan ini
meyebabkan degradasi obat yang tidak meningkat tanpa batas. Sering juga
terjadi transfer obat antara kompartemen sentral dan kompartemen perifer
yang relatif lebih cepat dari pada kecepatan eliminasi obat yaitu, dengan
terjadinya perpindahan yang cepat dari plasma kejaringan-jaringan
sehingga dengan cepat menurunkan konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini
sering disebut sebagai redistribusi. (Raharjo,2008)
3. Model 3 kompartemen
Model ini sama seperti model 2 kompartemen tapi kompartemen
perifernya dibedakan menjadi perifer dangkal dan perifer dalam. Jika
digunakan sebagai regimen dosis klinik, biasanya digunakan model satu
kompartemen untuk pemberian oral dan kompartemen dua untuk
pemberian intravena. Pada pemberian intravena , fase distribusi terlihat
jelas dengan menandakan adanya 2 kompartemen, sedangkan pada
pemberian oral, fase distribusinya sering tertutup oleh fase absorbsi
(Ganiswarna, 2007).
Parameter farmakokinetik adalah besaran yang diturunkan berdasarkan
hasil pengukuran kadar obat utuh atau metabolitnya dalam darah, urin atau cairan
hayati lainnya. Adapun fungsi adalah untuk memperoleh gambaran yang dapat
dipergunakan untuk mengukur absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat dalam
tubuh (Pakarti, 2009).
Terdapat 3 macam parameter yang dapat digunakan untuk menjelaskan
profil farmakokinetika obat didalam tubuh yaitu parameter primer, sekunder dan
turunan (Simaremare, 2013). Parameter farmakokinetik primer adalah parameter
farmakokinetik yang dipengaruhi oleh perubahan salah satu atau lebih ubahan
fisiologi yang terkait. Termasuk dalam parameter tersebut adalah Ka (konstanta
kecepatan absorbsi), Fa ( fraksi obat terabsorbsi), Vd (volume distribusi), CL T
(Clirens hepatik), dan Clr (klirens renal) (Pakarti, 2009).
Parameter sekunder adalah parameter farmakokinetik tergantung pada
harga parameter farmakokinetik primer. Termasuk parameter farmakokinetik
sekunder adalah t (waktu paruh eliminasi), K e (konstanta kecepatan eliminasi)
dan F e (fraksi obat yang terekskresi). Sedangkan parameter farmakokinetik
turunan harganya semata-mata tidaktergantung dari harga parameter
farmakokinetik primer tetapi tergantung dari dosis atau kecepatan pemberian obat
terkait (Pakarti, 2009).
Parameter tetapan laju eliminasi (K) adalah suatu tetapan laju eliminasi
orde kesatu dengan waktu. Waktu paruh eliminasi (t ) ini adalah waktu yang
dibutuhkan untuk suatu konsentrasi obat dalam plasma tertentu menjadi
separuhnya (Pakarti, 2009).
Parameter Ka dapat menjelaskan kinetika absorpsi dari parasetamol.
Parameter volume distribusi digunakan untuk menjelaskan kinetika distribusi dan
eliminasi parasetamol. Volume distribusi sebagai volume dimana obat terlarut.
Parameter volume distribusi obat berbanding terbalik dengan kadar obat dalam
plasma (Cp) dimana ketika suatu obat terikat oleh protein plasma dalam jumlah
besar atau berada didalam pembuluh darah, maka nilai kadar obat dalam plasma
akan semakin tinggi, yang mengakibatkan nilai Vd menjadi lebih kecil demikian
sebaliknya (Simaremare, 2013).
Parameter klirens atau Cl menjelaskan kinetika eliminasi dari
parasetamol. Parameter klirens berpengaruh terhadap kinetika eliminasi suatu
obat dimana semakin tinggi harga klirens, maka semakin cepat obat tersebut
tereliminasi dari tubuh dan semakin cepat proses metabolisme suatu obat
berlangsung maka semakin cepat obat tersebut dikeluarkan dari tubuh
(Simaremare, 2013).
Parameter Ka suatu obat mempengaruhi nilai T maks dari obat, semakin
kecil nilai Ka maka semakin besar nilai T maks nya. Parameter AUC merupakan
parameter yang mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai siklus
sistemik. Nilai parameter AUC berkaitan dengan parameter volume distribusi
(Vd), semakin besar harga Vd suatu obat maka semakin kecil harga AUC obat
tersebut (Simaremare, 2013).
Ada berbagai macam cairan hayati, yaitu darah, saliva, cairan
serebrospinal, produk ekskresi atau fases. Untuk pemilihan lam dan banyaknya
wktu pengambilan cuplikan sesuai dengan parameter farmakokinetika yang

dipergunakan. Untuk sampel darah diambil kurang lebih 4 kali waktu paruh (t

) obat. Selain dengan cuplikan darah, parameter farmakokinetika suatu obat juga

dapat ditetapkan dari pengukuran kadar obat atau metabolitnya didalam urin.
Pengukuran atau penggunaan cuplikan urin ini dapat lebih baik dari cuplikan
darah, terutama jika obat diekskresikan kedalam urin secara sempurna dalam
bentuk tidak berubah.hal ini dikarenakan:
a. Kadar obat dalam urin lebih besar daripada darah
b. Volume yang tersedia lebih besar
c. Data urin mengukur langsung jumlah obat yang berada di dalam darah
Tetapi penggunaan urin juga mempunyai beberapa keterbatasan seperti,
a. Dapat terjadinya dekomposisi obat selaam penyimpanan
b. Sulit diperoleh pengosongan kandung kecing yang sempurna
Pencuplikan pada tahap distribusi tidak diperlukan jika kinetikanya
mengikuti model satu kompartemen terbuka. (Ritschell, W.A., 2007).
Pemilihan dosis yang dapat digunakan untuk mengukur kadar obat yang
terdapat dalam cairan hayati yaitu dengan mengacu pada LD 50 yang menunjukan
toksisitas akut dari senyawa uji. dari obat yang akan diuji. Perbandingan harga
LD50 oral dengan intravena dapat digunakan untuk memperoleh gambaran tentang
absorbabilitas obat sebagai fungsi dari pemberian peroral. Jika obat yang akan
diuji tidak mempunyai informasi tentang LD50 maka digunakan dosis awal 5-10%
dari LD50 intravena. Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah metode analisis
yang mendukung besaran dosis tersebut sehingga fase eliminasi kadar obat masih
dapat dimonitoring. (Katzung, B.B., 2008).
Parasetamol merupakan obat golongan analgetik- antipiretik yang umum
dan banyak beredar di pasaran dengan harga yang terjangkau untuk mengobati
penyakit ringan seperti demam dan sakit kepala. Parasetamol mempunyai panjang
gelombang maksimum yaitu pada 244 nm (Simaremare, 2013). Konsentrasi darah
puncak obat parasetamol biasanya tercapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh
acetaminofen adalah 2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal
(Pakarti, 2009).
Penambahan TCA atau Trichloroacetat acid pada sampel darah bertujuan
untuk mengendapkan makro-molekul di dalam darah, salah satunya adalah
protein. TCA akan menyebabkan produk yang mengandung peptide dan asam
amino akan larut dalam TCA, sedangkanprotein yang tidak terhidrolisis akan
mengendap (Simaremare, 2013).

B. TUJUAN
1. Memperkirakan model kompartemen berdasarkan kurva
semilogaritmik kadar obat dalam plasma/ darah lawan waktu.
2. Menentukan jadwal dan jumlah pencuplikan untuk pengukuran
parameter farmakokinetika berdasarkan model kompartemen suatu obat.
3. Menghitung besaran dosis sesuai obyek uji.
4. Mengakomodasikan dosis yang tepat untuk subyek uji.

C. ALAT DAN BAHAN


Alat : Bahan :
Pipet volume 0,1;0,2;2;2,5 mL Asam Trikloroasetat (TCA)
10 %
Labu takar 10 mL Natrium nitrit 10% (dibuat baru)
Tabung sentrifuge Asam sulfamat
Stopwatch NaOH 10%
Kalkulator HCL 6 N
Mikropipet Larutan parasetamol dalam
etanol-air
Spuit Darah
Pipet ukur 5 mL Heparin
Spektrofotometri visibel CMC-Na
Vortex
Sentrifugator
Kateter
Scalpel
Effendorf

D. CARA KERJA
1. Pembuatan suspensi parasetamol
Sebanyak 10 g parasetamol ditimbang dengan seksama

Dilarutkan dalam sedikit CMC-Na di dalam labu ukur 50 ml

Ditambahkan CMC hingga batas tanda

2. Penetapan waktu pengambilan, memilih dosis dalam farmakokinetika


dan asumsi model kompartemen
Suspensi parasetamol diberikan secara peroral pada masing-masing
kelinci dengan dosis kelinci I : 1000mg/kgBB; kelinci II : 1500
mg/kgBB; kelinci III : 500 mg/kgBB

Darah kelinci diambil pada menit ke-


5;10;20;30;40;50;60;75;90;120;150;180

Ditampung dalam effendorf yang telah diteteskan heparin 1-3 tetes


Darah kelinci yang telah ditampung disentrifugasi selama 10 menit
dengan kecepatan 8000 rpm

Diambil 0,5 ml plasma, dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge

Ditambah 1,5 ml TCA 10%, divortex 1 menit

Disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm

Diambil 0,5 ml supernatan, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml,


ditambah 0,5 ml dan HCl 6 N

Didinginkan dengan ice bath hingga suhu < 8oC , ditambahkan 1 ml


NaNO2 10% (labu ukur ditutup dengan alumunium foil)

Didiamkan selama OT (25 menit), ditambahkan 1 ml asam sulfat 15%


melewati dinding labu ukur secara hati-hati

Ditambahkan 3,5 ml NaOH 10%, ditambah aquadest hingga batas


tanda

Larutan dibaca pada panjang gelombang maksimum dengan


spektrofotometer visibel

Dibuat kurva kadar parasetamol lawan waktu dan ln kadar parasetamol


lawan waktu

Berdasarkan kurva, model kompartemen farmakokinetik parasetamol


ditentukan dan parameter farmakokinetik dihitung

F. DATA PRAKTIKUM
Dosis yang digunakan adalah 500 mg/kgBB, 1000 mg/kgBB, 1500 mg/kgBB
Dosis (mg/kgBB) Bobot Kelinci (kg)
500 1,450
1000 1,530
1500 1,751

Volume maksimal pemberian obat


Volume pemberian maksimum, kelinci 2,5kg = 20 ml
Dipakai bobot kelinci terbesar
Volume pemberian maksimum untuk kelinci =
1,751 kg x 20 ml

= 14 ml
Volumi yang diberikan pada kelinci = 14 ml 2 ml
= 12 ml
(dikurangi 2 ml karena 2 ml merupakan aquades yang digunakan untuk
membersihkan mulut kelinci)

Konsentrasi Parasetamol
D x BB = CxV
1500 mg/kgBB x 1,751 kg = C x 12 ml
C = 218,875 mg/ml

Volume pemberian untuk tiap kelinci


Kelinci 1
D x BB = CxV
500 mg/kgBB x 1, 45 kg = 218,875 mg/ml x V
V = 3,312 ml

Kelinci 2
D x BB = CxV
1000 mg/kgBB x 1, 53 kg = 218,875 mg/ml x V
V = 6,990 ml

Kelinci 3
D x BB = CxV
1500 mg/kgBB x 1, 751 kg = 218,875 mg/ml x V
V = 12 ml

Penimbangan Parasetamol untuk pembuatan larutan parasetamol dalam 50 ml


Bobot parasetamol = 218,875 mg/ml x 50 ml
= 10.943,75 mg
= 19,94 gram

Dosis 500 mg/ml


t Cp Cp x Fp Ln Cp Cp' Residu Ln Cp' Cp'' Residu' Ln Cp''
0 0 0 3104,475 3104,475 4084,685 980,2101
5 2,68 214,4 2685,44 2471,04 3197,102 726,0615
10 4,97 397,6 2322,966 1925,366 2502,386 577,0203 6,357878
20 9,73 778,4 1738,191 959,7907 1533,028 573,2371 6,351299
30 12,87 1029,6 1300,625 271,0247 939,1733 668,1485 6,504511
40 15,15 1212 973,2101 238,7899 575,3623 336,5725
50 13,31 1064,8 728,2177 336,5823 5,818843
60 9,71 776,8 544,8988 231,9012 5,446312
75 5,67 453,6 352,6937 100,9063 4,614192
5,4905
90 3,03 242,4 89
4,6288
120 1,28 102,4 87
3,6686
150 0,49 39,2 77
2,9549
180 0,24 19,2 1

Fase Eliminasi
Persamaan Eliminasi
a = 8,0406
b = -0,029
r = -0,998
Ln Cp = -kt + Ln Co
= -0,029t + 8,0406

Perhitungan Cp
Menit ke 0 Ln = -0,029(0) + 8,0406
Cp
= 8,0406
Cp = 3104,47 g/ml

Menit ke 5 Ln = -0,029(5) + 8,0406


Cp
= 7,8965
Cp = 2685,44 g/ml

Menit ke 10 Ln Cp = -0,029(10) + 8,0406


= 7,7506
Cp = 2322,97 g/ml

Menit ke 20 Ln Cp = -0,029(20) + 8,0406


= 7,4606
Cp = 1738,19 g/ml
Menit ke 30 Ln Cp = -0,029(30) + 8,0406
= 7,1706
Cp = 1300,62 g/ml

Menit ke 40 Ln Cp = -0,029(40) + 8,0406


= 6,8806
Cp = 973,21 g/ml

Menit ke 50 Ln Cp = -0,029(50) + 8,0406


= 6,5906
Cp = 728,22 g/ml

Menit ke 60 Ln Cp = -0,029(60) + 8,0406


= 6,3006
Cp = 544,90 g/ml

Menit ke 75 Ln Cp = -0,029(75) + 8,0406


= 5,8656
Cp = 352,69 g/ml

Fase Distribusi
Persamaan Distribusi
a = 8,315
b = -0,049
r = -0,994
Ln Cp = -kt + Ln Co
= -0,049t + 8,315

Perhitungan Cp
Menit ke 0 Ln Cp = -0,049(0) + 8,315
= 8,315
Cp = 4084,69 g/ml

Menit ke 5 Ln Cp = -0,049(5) + 8,315


= 8,07
Cp = 3197,1 g/ml

Menit ke 10 Ln Cp = -0,049(10) + 8,315


= 7,825
Cp = 2502,39 g/ml
Menit ke 20 Ln Cp = -0,049(20) + 8,315
= 7,335
Cp = 1533,03 g/ml

Menit ke 30 Ln Cp = -0,049(30) + 8,315


= 6,845
Cp = 939,17 g/ml

Menit ke 40 Ln Cp = -0,049(40) + 8,315


= 6,355
Cp = 575,36 g/ml

Fase Absorpsi
Persamaan Absorpsi
a = 6,21
b = 0,009
r = 0,933
Ln Cp = -kt + Ln Co
= 0,009t + 6,21

Parameter Farmakokinetika
Fase absorpsi
waktu Ln cp
10 6,32
20 6,35
30 6,50

a. K = 0,027/menit
b. Auc Rumus
AUC =
+ -
=
+ -

= 169,69 + 277,26 690


-243,05 g/ml/menit

AUC trapezium
t Luas trapezium
0-5 670
5 10 19,125
10 20 73,5
20 30 113
30 40 140,1
40 50 142,3
50 60 165,1
60 75 115,35
75 90 65,25
90 - 120 110,1
120 150 26,55
150 180 10,95

AUC trapezoid = luas trapesium


1651, 075

c. Fa = 80% = 0,8

d. T mak
t max =

= 42, 375 menit

e. Ln C total
Ln C = Ln Cp distribusi + Ln Cp eliminasi Ln Cp absorpsi
total
= (-0,049t + 8,315) + (-0,029t + 8,0406) (0,009t + 6,21)
= (-0,049(42, 375 ) + 8,315) + (-0,029(42, 375 ) + 8,0406)
(0,009(42, 375 ) + 6,21)
= 0,045 + 0,721 1,445
= -0,679
C total = -0,387 g/ml

f. t absorpsi
t =
absorpsi
=

= 77 menit

Fase Distribusi
T Ln Cp
50 5,82
60 5,45
70 4,61

a. Vd Area
Vd area =

= 4,37 x 10-6 ml

b. Vd
Vd =

= 2,18 x ml

c. t distribusi
t distribusi =

= 14,14 menit

Fase Eliminasi
t Ln Cp
90 5,490
120 4,628
150 3,668
180 2,954

a. K Eliminasi = 0,029/ menit


b. t eliminasi
t distribusi =

= 23,90 menit

Dosis 1000 mg/ml


t cp cp.fp ln cp Cp res' ln cp' Cp res'' ln cp''
0 0 0 3078,815 -3078,81 6896,022 9974,837
5 5,36 428,8 2753,973 -2325,17 5762,922 8088,096
10 10,51 840,8 2463,405 -1622,61 4816,005 6438,61 8,7701
20 14,04 1123,2 1971,007 -847,807 3363,374 4211,182 8,3455
30 23,56 1884,8 1577,032 307,7678 2348,894 2041,127 7,6213
40 29,78 2382,4 1261,807 1120,593 1640,408 519,8144
50 27,63 2210,4 1009,59 1200,81 7,0908
60 19,4 1552 807,7883 744,2117 6,6123
75 13,26 1060,8 578,1307 482,6693 6,1793
90 6,88 550,4
120 2,56 204,8 5,3220
150 1,43 114,4 4,7397
180 0,67 53,6 3,9815

Fase Eliminasi
Persamaan Eliminasi
a = 8,0323
b = -0,0223
r = -0,9943
Ln Cp = -kt + Ln Co
= -0,0223t + 8,0323

Perhitungan Cp
Menit ke Ln = -0,0223(0) + 8,0323
0 Cp
= 8,0323
Cp = 3078,815 g/ml

Menit ke Ln = -0,0223(5) + 8,0323


5 Cp
= 7,9208
Cp = 2753,973 g/ml

Menit ke 10 Ln Cp = -0,0223(10) + 8,0323


= 7,8093
Cp = 2463,405 g/ml

Menit ke 20 Ln Cp = -0,0223(20) + 8,0323


= 7,5863
Cp = 1971,007 g/ml

Menit ke 30 Ln Cp = -0,0223(30) + 8,0323


= 7,3633
Cp = 1577,032 g/ml

Menit ke 40 Ln Cp = -0,0223(40) + 8,0323


= 7,1403
Cp = 1261,807 g/ml

Menit ke 50 Ln Cp = -0,0223(50) + 8,0323


= 6,9173
Cp = 1009,59 g/ml

Menit ke 60 Ln Cp = -0,0223(60) + 8,0323


= 6,6943
Cp = 807,7883 g/ml

Menit ke 75 Ln Cp = -0,0223(75) + 8,0323


= 6,3598
Cp = 578,1307 g/ml

Menit ke 90 Ln Cp = -0,0223(90) + 8,0323


= 6,0253
Cp = 413,7658 g/ml

Fase Distribusi
Persamaan Distribusi
a = 8,8387
b = -0,0359
r = 0,9795
Ln Cp = -kt + Ln Co
= -0,0359t + 8,8387

Perhitungan Cp
Menit ke 0 Ln Cp = -0,0359(0) + 8,8387
= 8,8387
Cp = 6896,022 g/ml

Menit ke 5 Ln Cp = -0,0359(5) + 8,8387


= 8,6592
Cp = 5762,922 g/ml

Menit ke 10 Ln Cp = -0,0359(10) + 8,8387


= 8,4797
Cp = 4816,005 g/ml

Menit ke 20 Ln Cp = -0,0359(20) + 8,8387


= 8,1207
Cp = 3363,374 g/ml

Menit ke 30 Ln Cp = -0,0359(30) + 8,8387


= 7,7617
Cp = 2348,894 g/ml

Menit ke 40 Ln Cp = -0,0359(40) + 8,8387


= 7,4027
Cp = 1640,408 g/ml

Fase Absorpsi
Persamaan Absorpsi
a = 9,3944
b = -0,0574
r = 0,9778
Ln Cp = -kt + Ln Co
= -0,0574t + 9,3944
Perhitungan Cp
Menit ke 0 Ln Cp = -0,0574(0) + 9.3944
= 9,3944
Cp = 12020,87 g/ml
Menit ke 5 Ln Cp = -0,0574(5) + 9,3944
= 9,1074
Cp = 9021,808 g/ml

Parameter Farmakokinetika
Fase absorpsi
waktu Ln cp
10 8,7701
20 8,3455
30 7,6213

a. K = 0,0574/menit
b. Auc Rumus
AUC =
+ -
=
+ -
= 192.089,7214 + 138.063,4439 209.422,892
120.730,2733 g/ml/menit

AUC trapezium
t Luas trapezium
0-5 13,4
5 10 39,675
10 20 122,75
20 30 188
30 40 266,7
40 50 287,05
50 60 235,15
60 75 244,95
75 90 151,05
90 - 120 141,6
120 150 59,85
150 180 31,5

AUC trapezoid = luas trapesium


= 1781,675
c. Fa = 80% = 0,8
d. T mak
t max =

= 21,83 menit

e. Ln C total
Ln C = Ln Cp distribusi + Ln Cp eliminasi Ln Cp absorpsi
total
= (-0,0359t + 8,8387) + (-0,0223t + 8,0323) (-0,0574t +
9,3944)
= (-0,049(21,83) + 8,315) + (-0,029(21,83) + 8,0406)
(0,009(21,83) + 6,21)
= 8,047 + 7,5455 8,1414
C total = 7,4511 g/ml

f. t absorpsi
t =
absorpsi
=

= 12,07 menit

Fase Distribusi
t Ln Cp
50 7,0908
60 6,6123
70 6,1793

a. Vd Area
Vd area =
=

= 184,5778 ml

b. Vd
Vd =

= 108,8325 ml

c. t distribusi
t distribusi =

= 19,30 menit

Fase Eliminasi
t Ln Cp
120 5,3220
150 4,7397
180 3,9815

a. K Eliminasi = 0,0223/ menit


b. Cp
Cp =

= 6,6263 ml/menit

c. t eliminasi
t eliminasi =

= 31,08 menit

Dosis 1500 mg/ml


Cp x
t Cp Fp Ln Cp Cp' Residu Ln Cp' Cp'' Residu' Ln Cp''
0 0 0 28566,7862 28566,7862 24100,7924 4465,9938
5 10,72 857,6 24221,5982 23363,9982 18214,9871 5149,0111
10 19,92 1593,6 20537,3406 18943,7406 13766,5911 5177,1495 8,552
20 35,36 2828,8 14764,7816 11935,9816 7863,60161 4072,38 8,312
30 53,74 4299,2 10614,7519 6315,55189 4491,76051 1823,7914 7,5087
40 60,56 4844,8 7631,19706 2786,39706 7,9325
50 54,26 4340,8 5486,24868 1145,44868 7,04355
60 37,87 3029,6 3944,19438 914,594382 6,81848
75 25,76 2060,8 2404,26615 343,466148 5,83909
90 18,71 1496,8 7,3111
120 6,23 498,4 6,2114
150 2,92 233,6 5,4536
180 0,89 71,2 4,2655

Fase Eliminasi
Persamaan Eliminasi
A = 10,26
B = -0,033
R = 0,996
Ln Cp = -kt + Ln Co
= -0,033t + 10,26

Perhitungan Cp
Menit ke Ln = -0,033(0) + 10,26
0 Cp
= 10,26
Cp = 28.566,7862 g/ml

Menit ke Ln = -0,033(5) + 10,26


5 Cp
= 10,095
Cp = 24.221,5982 g/ml
Menit ke 10 Ln Cp = -0,033(10) + 10,26
= 9,93
Cp = 20.537,3406 g/ml

Menit ke 20 Ln Cp = -0,033(20) + 10,26


= 9.6
Cp = 14.764,7816 g/ml

Menit ke 30 Ln Cp = -0,033(30) + 10,26


= 9,27
Cp = 10.614,7519 g/ml

Menit ke 40 Ln Cp = -0,033(40) + 10,26


= 8,94
Cp = 7631,1971 g/ml

Menit ke 50 Ln Cp = -0,033(50) + 10,26


= 8,61
Cp = 5486,2487 g/ml

Menit ke 60 Ln Cp = -0,033(60) + 10,263


= 8,28
Cp = 3944,1944 g/ml

Menit ke 75 Ln Cp = -0,033(75) + 10,26


= 7,785
Cp = 2404,2662 g/ml

Fase Distribusi
Persamaan Distribusi
A = 10,09
B = -0,056
R = 0,983
Ln Cp = -kt + Ln Co
= -0,0056t +10,09

Perhitungan Cp
Menit ke 0 Ln Cp = -0,056(0) + 10,09
= 10,09
Cp = 24.100,7924 g/ml

Menit ke 5 Ln Cp = -0,056(5) + 10,09


= 9,78
Cp = 18214,9871 g/ml

Menit ke 10 Ln Cp = -0,056(10) + 10,09


= 9,53
Cp = 13.766,5911 g/ml

Menit ke 20 Ln Cp = -0,056(20) + 10,09


= 8,97
Cp = 7863,6016 g/ml

Menit ke 30 Ln Cp = -0,056(30) + 10,09


= 8,41
Cp = 4491,7605 g/ml

Fase Absorpsi
Persamaan Absopsi
A = 9,167
B = -0,052
R = 0,954
Ln Cp = -kt + Ln Co
= -0,052t + 9,167

Parameter Farmakokinetika
Fase absorpsi
waktu Ln cp
10 8,553
20 8,312
30 7,5087

a. K = 0,052/menit
b. Auc Rumus
AUC =
+ -
=
+ -
1.111.880,443 g/ml/menit

AUC trapezium
T Luas trapezium
0-5 26,8
5 10 76,6
10 20 276,4
20 30 445,5
30 40 571,5
40 50 574,1
50 60 460,65
60 75 477,225
75 90 333,525
90 120 374,1
120 150 137,25
150 180 57,15

AUC trapezoid = luas trapesium


= 3810,8

c. Fa = 80% = 0,8
d. T mak
t max =

= 18,527 menit

e. Ln C total
Ln C = Ln Cp distribusi + Ln Cp eliminasi Ln Cp absorpsi
total
= (-0,056t + 10,09) + (-0,033t + 10,26) (-0,052t + 9,167)
= (-0,049(18,527) + 8,315) + (-0,029(18,527) + 8,0406)
(0,009(18,527) + 6,21)
C total = 20.385,9096 g/ml

f. t absorpsi
t =
absorpsi
=

= 13,327 menit

Fase Distribusi
T Ln Cp
40 7,9325
50 7,0214
60 6,8185
70 5,8391

a. Vd Area
Vd area =

= 19,2724 ml

b. Vd
Vd =

= 23,9734 ml

c. t distribusi
t distribusi =

= 12,375 menit
Fase Eliminasi
T Ln Cp
90 7,311
120 6,2114
150 5,2114
180 4,2655

a. K Eliminasi = 0,033/ menit


b. Cp
Cp =

= 6,6263 ml/menit

c. t eliminasi
t eliminasi =

= 21 menit

Kurva
Dosis 500mg/mL

t LnCp
90 5.49
120 4.628
150 3.668
180 2.954

t LnCp
50 5.82
60 5.45
75 4.61

t LnCp
10 6.32
20 6.35
30 6.5

Dosis 1500mg/mL
90 7.3111
120 6.2114
150 5.4536
180 4.2655

40 7.9325
50 7.04355
60 6.81848
75 5.83909

10 8.552
20 8.312
30 7.5087
Dosis 1000 mg/mL

t LnCp
120 5.322034
150 4.739701
180 3.981549

t LnCp
50 7.090751
60 6.612326
75 6.179322
t LnCp
10 8.770068
20 8.345499
30 7.621257

Dosis 500mg/mL

Waktu Luas
0 s/d 5 6.7
5 s/d 10 19.125
10 s/d 20 73.5
20 s/d 30 113
30 s/d 40 140.1
40 s/d 50 142.3
50 s/d 60 115.1
60 s/d 75 115.35
75 s/d 90 65.25
90 s/d 120 64.65
120 s/d 150 26.55
150 s/d 180 10.95
Total 892.575
Dosis 1000mg/mL untuk perhitungan luas trapezoid

Waktu Luas
0 s/d 5 13.4
5 s/d 10 39.675
10 s/d 20 122.75
20 s/d 30 188
30 s/d 40 266.7
40 s/d 50 287.05
50 s/d 60 235.15
60 s/d 75 244.95
75 s/d 90 151.05
90 s/d 120 141.6
120 s/d 150 59.85
150 s/d 180 31.5
Total 1781.675
Dosis 1500 mg/mL untuk perhitungan luas trapezoid

Waktu Luas
0 s/d 5 26.8
5 s/d 10 76.6
10 s/d 20 276.4
20 s/d 30 445.5
30 s/d 40 571.5
40 s/d 50 574.1
50 s/d 60 460.65
60 s/d 75 477.225
75 s/d 90 333.525
90 s/d 120 374.1
120 s/d 150 137.25
150 s/d 180 57.15
Total 3810.8
G. PEMBAHASAN
Tujuan dari praktikum ini adalah memperkirakan model kompartemen
berdasarkan kurva semilogaritmik kadar obat parasetamol dalam plasma/darah
kelinci lawan waktu, menentukan jadwal dan jumlah pencuplikan untuk
pengukuran parameter farmakokinetika berdasarkan model kompartemen suatu
obat parasetamol, menghitung besaran dosis parasetamol sesuai obyek uji, dan
mengakomodasi dosis paracetamol yang tepat untuk subyek uji. Pada praktikum
ini, praktikan menggunakan parasetamol dengan konsentrasi 218,875 mg/mL dan
kelinci sebagai hewan uji.
Langkah kerja yang mula-mula dilakukan adalah mempuat suspensi
parasetamol dengan cara melarutkan parasetamol 10,94 gram dengan sedikit
etanol, kemudian dilarutkan dan diadd di labu takar 50 mL dengan CMC-
Na. Kemudian mencukur bulu kelinci pada bagian telinga, di sekitar pembulh
darah vena marginais,sehingga aliran darah saat pengambilan sampel tidak
terganggu. Sampel yang digunakan adalah darah, karena darah merupakan tempat
yang paing cepat dicapai oleh senyawa zat aktif suatu sediaan obat serta
merupakan media absorbsi, distribusi, dan membawa zat aktif ke tempat
eliminasi. Dilakukan pengambilan sampel darah kelinci sebelum dilakukan
intervensi (pemberian suspensi parasetamol). Sampel darah tersebut
dimasukkan ke dalam tabung effendorf yang telah berisi 3 tetes heparin yang
berfungsi sebagai anti koagulan. Sampel darah tersebut dgunakan sebagai kontrol
negatif (blanko). Apabila aliran darah terganggu, maka bekas luka sayatan diusa
dengan tissue yang telah dibasahi oleh paraffin cair atau dianginkan dengan
menggunakan hair dryer. Dengan perlakuan yang demikian, diharapkan aliran
darah menjadi lancar kembali.
Setelah dilakukan pengambilan darah pada menit ke-0, suspensi parasetamol
diinjeksi secara per oral pada kelinci. Waktu penculikan sampel darah selanjutnya
dilakukan pada menit ke-5,10,20,30,40,50,60,75,90,120,150 dan 180. Waktu
pencuplikan sampel dihitung sejak pemberian suspensi parasetamol pada kelinci.
Sampel darah di setiap waktu pencuplikan ditampung dalam tabung effendorf
yang telah berisi heparin.
Pada praktikum ini, digunakan 3 dosis parasetamol yaitu 500 mg/kgBB,
1000 mg/kgBB, dan 1500 mg/kgBB. Suspensi parasetamol diberikan secara
peroral dengan tujuan agar praktikan dapat mengamati profil farmakokinetika
parasetamol dalam sampel hayati pada setiap dosis. Praktikan menggunakan dosis
1500 mg/kgBB untuk kelinci dengan berat bada 1,751 kg sehingga diperoleh
volume pemberiannya sebesar 12 mL.
Seluruh sampel darah dari berbagai waktu pencuplikan yang telah
ditampung dalam tabung effendorf, disentrifuge selama 10 menit dengan
kecepatan 8000 rpm. Bagian darah yang digunakan untuk analisa kandungan
parasetamol adalah plasma darah, karena konsentrasi parasetamol dalam
bentuk bebas lebih banyak ditemukan di plasma dibandingkan bagian darah
yang lain. Prinsip dari sentrifugasi adalah adanya perbedaan densitas dalam suatu
cairan. Pada saat pemisahan, partikel yang densitasnya lebih tinggi akan turun
(sedimentasi) dan partikel yang lebih ringan akan mengapung ke atas (Suryawati
dan Donatus, 2008).
Dalam prosedur kerja, plasma darah yang didapatkan dari proses
sentrifugasi kemudian ditambahkan TCA 20%, HCl 6N, NaNO 2 10%, asam
sulfamat 15%, dan NaOH 10%. Berikut adalah penjelasan mengenai fungsi
larutan-larutan tersebut :
1. (Suspensi parasetamol+plasma darah) + TCA 20%. TCA 20% berfungsi
untuk mengendapkan protein yang ada di dalam plasma darah, sehingga
mempermudah obat lepas dari bentuk terikatnya dengan protein. Adanya
kompleksobat dan protein yang masih berikatan dapat berpotensi
mengganggu proses analisis. Lalu divortex dan disentrifuge selama 10 menit
dengan kecepatan 2500 rpm.
2. Supernatan + HCl 6N + NaNO2 10%. HCl 6N dan NaNO2 10% berfungsi
untuk membentuk asam ntrit yang nantinya akan melepaskan ion nitro
sodium. Ion nitro sodium merupakan ion yang akan masuk ke dalam cincin
benzene dari parasetamol dan mmbentuk senyawa berwarna kuning. Asam
nitrit yang terbentuk dari HCl dan NaNO2 sifatnya tidak stabil sehingga
reaksi harus dilakukan dalam ice bath bersuhu 8C.
3. Supernatan + HCl 6N + NaNO 2 10% + asam sulfamat 15%. Asam sulfamat
15% berfungsi untuk menghentikan reaksi agar tidak berjalan terus menerus
dan untuk mengurangi kelebihan nitrit. Penambahan asam sulfamat
dilakukan melalui dinding labu takar karena reaksi yang terjadi merupakan
reaksi eksotermis (melepaskan panas) dan dilakukan dalam ice bath bersuhu
8C.
4. Supernatan + HCl 6N + NaNO2 10% + asam sulfamat 15% + NaOH 10%.
NaOH berfungsi untuk menetralkan kelebihan asam yang dihasilkan dari
reaksi sebelumnya.
(Suryawati dan Donatus, 2008)
Alat yang digunakan untuk menganalisis ketersediaan hayati obat
(parasetamol) dalam cairan hayati (darah kelinci) adalah spektrofotometer UV-
Vis. Spektrofotometer UV-Vis merupakan spektrofotometer yang dapat digunakan
untuk mengukur serapan di daerah ultraviolet (200-400 nm) dan daerah tampak
(400-800 nm). Prinsip dari penetapan kadar menggunakan spektrofotometer
adalah penyerapan cahaya oleh partikel senyawa yang diukur absorbansinya.
Penembakan radiasi elektromagnetik pada sampel akan mengakibatkan eksitasi
elektron dari ground state menuju ke orbital yag lebih tinggi yakni excited state.
Akan tetapi, pada kondisi tereksitasi sifat elektron tidak stabil, maka elektron yang
berada di excited state akan turun kembali ke ground state. Pada saat berpindah
dari tingkat energi tinggi ke tingkat energi rendah, elektron mengeluarkan emisi.
Emisi inilah yang kemudian dibaca oleh bagian detektor spektrofotometer sebagai
nilai absorbansi (Mulja dan Suharman, 2013).
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan praktikan pada percobaan 2,
serapat paling stabil terjadi pada OT (operating time) 25 menit. Penentuan OT
dilakukan untuk mengetahui waktu yang diperlukan agar reaksi yang terjadi
optimal, sedangkan serapan tertinggi terjadi pada panjang gelombang 427 nm.
Penentuan panjang gelombang dilakukan untuk mengetahui pada panjang
gelombang berapakah erjadi serapan maksimum (Mulja dan Suharman, 2013).
Sebelum melakukan pengukuran larutan uji degan spektrofotometer,
praktikan perlu melakukan auto zero (menormalkan spektrofotometer) dengan
larutan blanko. Tujuan dari auto zero adalah untuk meminimalkan kesalahan
pengukuran karena di dalam tablet parasetamol terdiri dari bahan
tambahan lain sehingga kemungkinan akan mengganggu pembacaan
konsentrasi zat aktif parasetamol. Larutan blanko dibuat seperti larutan uji
tetapi tanpa parasetamol. Pembuatan larutan blanko bertujuan untuk membuat
konsentrasi pelarut menjadi nol sehingga tidak akan terukur oleh detektor dan
tidak mengganggu pembacaan absorbansi sampel, sehingga dapat memperkecil
kesalahan.
Paracetamol yang digunakan sebagai bahan uji mengandung tidak kurang
dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C 8H9NO2. Parasetamol berupa serbuk
hablur, putih, tidak berbau, dan berasa sedikit pahit. Kelarutan parasetamol adalah
mudah larut dalam etanol 95%, propilen glikol, air mendidih, natrium hidroksida
1 N, dan aseton, agak sukar larut dalam air dan gliserol. Parasetamol tidak larut
dalam benzene dan eter (Dirjen POM RI, 2014).

Struktur Parasetamol (Dirjen POM RI, 2014)

Parasetamol diabsorbsi secara cepat dan


lengkap melalui saluran pencernaan. Absorbsi parasetamol menurun jika diikuti
dengan makanan berkarbohidrat tinggi. Waktu onset parasetamol kurang dari 1
jam dengan durasi 4-6 jam. Parasetamol memiliki tmaks 0,5-2 jam. Terdistribusi ke
seluruh cairan tubuh.. di dalam plasma, sebanyak 20-50% parasetamol akan
terikat oleh protein plasma. Sebanyak 90-95% dimetabolisme di hari dalam reaksi
konjugasi glutation, glukoronida, dan sulfat. Sebagian lainnya dimetabolisme oleh
enzim sitokrom P450 menjadi metabolit toksik yang berbahaya bagi sel hati.
Waktu paruh parasetamol sekitar 1-4 jam dengan jalur eliminasi melalui ginjal
(Suryawati dan Donatus, 2008).
Pada praktikum ini, praktikan menggunakan metode chavest untuk
mengoptimalkan metode analisis yang digunakan. Metode chavest merupakan
salah satu metode penetapan kadar parasetamol secara kolorimetri. Kolorimetri
merupakan teknik pengukuran serapan cahaya yang diabsorbsi oleh zat berwarna.
Pada kolorimetri dibuat seri kadar larutan yang semakin meningkat serta
membandingkan warnanya dengan senyawa yang hendak dianalisis. Metode
kolorimetri digunakan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Memberikan hasil yang lebih akurat pada konsentrasi rendah daripada
titrimetri atau gravimetri
b. Memiliki beberapa keuntungan untuk penentuan sejumlah komponen
dalamsampel yang sama?
(Rowland dan Toler, 2010)
Metode chavest dilakukan denan cara menambahkan HCl 6N, NaNO 2
10%, asam sulfamat 15%, dan NaOH 10% ke dalam parasetamol yang telah
dilarutkan dengan aquadest dan CMC-Na, sehingga akan menghasilkan warna
kuning. Cincin aromatis dari parasetamol akan dinitrasi oleh asam nitrit menjadi
2-nitro-4-asetamidofenol. Dalam suasana basa, larutan akan memiliki kromofor
yang lebih panjang sehingga serapan dapat terbaca pada lamda maksimal yaitu
427 nm (Rowland dan Toler, 2010).

(Rowland
dan Toler, 2010)

Metode analisis yang baikharus memenuhi beberapa kriteria, yaitu :


1. Peka (sensitive); metode harus dapat digunakan untuk menetapkan
kadar senyawa dengan konsentrasi yang kecil
2. Tepat (precise); metode harus menghasilkan hasil analisis yang hampir
sama dalam satu seri pengukuran
3. Teliti (accurate); metode dapat menghasilkan nilai rata-rata yang sangat
dekat dengan nilai sebenarnya
4. Selektif; untuk penetapan kadar senyawa tertentu, metode tersebut tidak
banyak terpengaruhh oleh adanya senyawa lain
5. Kasar (rugged); adanya perubahan komposisi pelarut atau variasi
lingkungan tidak menyebabkan perubahan hasil analisis
6. Praktis; metode tersebut mudah dikerjakan serta tidak banyak
memerlukan waktu dan biaya
(Dirjen POM RI, 2014)
Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara
sistematis dari model berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh atau
metabolitnya dalam darah, urin, atau cairan hayati lainnya. Fungsi dari penetapan
parameter farmakokinetika suatu obat adalah untuk mengkaji kinetika absorpsi,
distribusi, dan eliminasi tubuh (Iersa, 2012). Secara umum, parameter
farmakokinetika dibagi menjadi 3, yaitu parameter primer, parameter sekunder,
dan parameter turunan. Parameter primer adalah parameter farmakokinetika yang
harganya dipengaruhi secara langsung oleh variabel biologis. Contohnya adalah
volume distribusi (Vd), klirens (Cp), dan kecepatan absorbsi (Ka). Volume
distribusi (Vd) adalah salah satu faktor yang harus diperhitungkan dalam
memperkirakan jumlah obat dalam tubuh. Volume distribusi (Vd) merupakan
parameter yang berguna untuk menilai jumlah relatif obat di luar kompartemen
sentral atau dalam jaringan. Kliren (Cp) adalah parameter farmakokinetika yang
menggambarkan eliminasi obat yang merupakan jumlah volumecairan yang
mengandung obat yang dibersihkan dari kompartemen tubuh setiap waktu
tertentu. Secara umum, eliminasi obat terjadi pada ginjal dan hati yang terkenal
dengan istilah klirens total yang merupakan jumlah dari kliren ginjal (renal) dan
klirens hati (hepar). Parameter sekunder adalah parameter farmakokinetika yang
harganya bergantung pada parameter primer. Contoh dari parameter sekunder
adalah waktu paruh eliminasi (t eliminasi) dan kecepatan eliminasi (kel). Waktu
paruh eliminasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di
dalam tubuh menjadi selama eliminasi (atau selama infus yang konstan). Besar
kecilnya waktu paruh eliminasi sangat menentukan lama kerja obat dan menjadi
acuan untuk menentukan dosis pada pemakaian berulang dalam terapi jangka
panjang. Parameter turunan adalah parameter farmakokinetika yang dipengaruhi
oleh parameter primer, parameter sekunder, maupun besaran lainnya. Contoh dari
parameter turunan adaah waktu mencapai kadar puncak (tmaks), kadar puncak
(cmaks), dan area under curve (AUC). Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang
terukur dalam darah atau serum/plasma. AUC adalah permukaan di bawah kurva
yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi waktu. AUC
dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila
penentuan kecepatan eliminasi tidak mengalami perubahan (Iersa, 2012).
Model farmakokinetika adalah suatu hubungan matematik yang
menggambarkan perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem yang
diperiksa. Dari model farmakokinetika dapat diperkirakan kadar obat dalam
plasma, jaringan,dan urin pada berbagai pengaturan dosis serta pengaturan dosisi
optimum untuk setiap penderita secara individual, memperkirakan kemungkinan
akumulasi obat dan metabolit-metabolitnya, menghubungkan konsentrasi obat
engan aktivitas farmakolgi dan toksikologi serta menjelaskan interaksi obat
(Mirnawaty, 2011).
Model kompartemen didasarkan atas anggapan linear, yang menggunakan
persamaan diferensial linear. Model kompartemen adlaah gambaran kinetik yang
mengkarakterisasi laju absorpsi, distribusi, dan eliminasi dari suatu obat dalam
tubuh. Model Mammilary merupakan model kompartemen yang paling umum
digunakan dalam farmakokinetika yang terdiri dari satu atau lebih
kompartemen perifer yang dihubungkan ke suatu kompartemen sentral
yaitu mewakili plasma dan jaringan-jaringan yang perpusinya tinggi.
Menurut Mammilary, model kompartemen dibagi menjadi 4, yaitu :
a. Kompartemen Satu Terbuka Intravaskular; model ini menganggap bahwa
peubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan erubahan yang sebanding
dengan kadar obat dalam jaringan. Pada model ini, obat hanya dapat
memasuki daerah dan mempunyai volume distribusi kecil, atau juga dapat
memasuki cairan ekstra sel atau bahkan menembussehingga menghasilkan
volume distribusi yang besar.
b. Kompartemen Satu Terbuka Ekstravaskular; sebelum memasuki
kompartemen sentral, obar harus mengalami absorpsi. Pada model 1
kompartemen, obat menganggap tubuh sebagai ruang yang sama, dimana obat
secara cepat terdistribusi ke semua jaringan.

c. Kompartemen Dua Terbuka Intravaskular; pada model iniobat menganggap


tubuh menjadi 2 bagian yaitu kompartemen sentral: organ-organ dimana
perfusi darahnya cepat, misalnya hati dan ginjal, serta kompartemen perifer:
organ-organ yang perfusi darahnya lambat, misalnya otot dan lemak.
d. Kompartemen Dua Terbuka Ekstravaskular; pada model ini, obat mengalami
absorpsi, distribusi dan eliminasi.

(Mirnawaty, 2011)

Dalam praktikum ini diperoleh hasil bahwa parasetamol secara peroral


termasuk ke dalam model kompartemen dua terbuka ekstravaskular. Setelah
menentukan model kompartemen kemudian diperoleh untuk meja 1 (dosis III)
hasil persamaan eliminasi: LnCp = -0,033t + 10,26 dari 4 titik pada fase eliminasi.
Dari fase eliminasi dihitung Cp lalu diperoleh CpR untuk 4 waktu yang
mengalami fase distribusi sehingga diperoleh persamaan distribusi: LnCp = -
0,056t + 10,09 dari 4 titik pada fase distribusi. Dari fase distribusi dihitung Cp
lalu diperoleh Residu untuk 5 waktu yang mengalami fase absorpsi sehingga
diperoleh persamaan absorpsi: LnCp = -0,052t + 9,167 dari 3 titik pada fase
absorpsi.
Pada praktikum ini dapat diperoleh hasil perhitungan untuk parameter
farmakokinetika pada masing-masing fase. Hasil yang diperoleh sebagai berikut :
Fase absorpsi
- Kecepatan absorpsi dapat dilihat dari kecepatan absoprsi (Ka) yang
diperoleh dari persamaan absorpsi obat
Ka = 0,052/menit

- AUC (Area Under Curve) menggambarkan kuantitas obat di dalam tubuh


ada sirkulasi sistemik.

AUC = AUC trapezoid =


AUC = 11180,443 g.menit/mL Luas total 3810,8

- Fraksi obat (Fa) menunjukkan jumlah obat yang diabsorpsi dan


jumlah hilangnya obat akibat first past effect di hepar. Fa Paracetamol
menurut Clask adalah 70-90% sehingga pada percobaan ini ditetapkan Fa
yang digunakan adalah 80% (0,8).
- Tmax

t max =
t max = 18,527 menit
- Ln Cp max
Ln Cp max = Ln Cpd Ln Cpe Ln Cpa
Cp max = 20985,9096 g/mL
- t
t = 13,327 menit

Fase distribusi
- Volume distribusi (Vd) digunakan untuk memperkirakan sejuah mana
proses distribusi yang terjadi

Vd =

Vd = 23,9734 mL
- Vd area
Vd area =
Vd area = 19,2724 mL
- t
t = 13,327 menit

Fase eliminasi
- t (waktu paruh) eliminasi menggambarkan waku yang diperlukan supaya
obat tereliminasi separuhnya di dalam tubuh.
t = 21 menit
- Kecepatan eliminasi dapat dilihat dari tetapan kecepatan eliminasi (K)
yang diperoleh dari persamaan eliminasi obat.
K = 0,033/menit

Untuk meja 2 (dosis II) hasil persamaan eliminasi: LnCp = -0,029t + Ln


3104,4 dari 4 titik pada fase eliminasi. Dari fase eliminasi dihitung Cp lalu
diperoleh CpR untuk 3 waktu yang mengalami fase distribusi sehingga diperoleh
persamaan distribusi: LnCp = -0,049t + Ln 4084,69 dari 3 titik pada fase
distribusi. Dari fase distribusi dihitung Cp lalu diperoleh Residu untuk 3 waktu
yang mengalami fase absorpsi sehingga diperoleh persamaan absorpsi: LnCp = Ln
residu dari 3 titik pada fase absorpsi.
Pada praktikum ini dapat diperoleh hasil perhitungan untuk parameter
farmakokinetika pada masing-masing fase. Hasil yang diperoleh sebagai berikut :
Fase absorpsi
- Kecepatan absorpsi (Ka)
Ka = 0,0574/menit
- AUC (Under Curve Area)

AUC = AUC trapezoid =


AUC=120730,2733 g.menit/mL Luas total 1781,675

- Fraksi obat (Fa) menunjukkan jumlah obat yang diabsorpsi dan jumlah
hilangnya obat akibat first past effect di hepar. Fa Paracetamol menurut
Clask adalah 70-90% sehingga pada percobaan ini ditetapkan Fa yang
digunakan adalah 80% (0,8).
- Tmax
t max =
t max = 21,83 menit
- Ln Cp max
Ln Cp max = Ln Cpd Ln Cpe Ln Cpa
Cp max = 7,4511 g/mL
- t
t = 12,07 menit

Fase distribusi
- Volume distribusi (Vd)

Vd =

Vd = 108,8325 mL
- Vd area

Vd area =
Vd area = 184,5778 mL
- t
t = 19,30 menit
Fase eliminasi
- t (waktu paruh) eliminasi
t = 31,07 menit
- Kecepatan eliminasi (K)
K = 0,023/menit
Untuk meja 3 (dosis I) hasil persamaan eliminasi: LnCp = -0,0223t +
8,0323 dari 4 titik pada fase eliminasi. Dari fase eliminasi dihitung Cp lalu
diperoleh CpR untuk 4 waktu yang mengalami fase distribusi sehingga diperoleh
persamaan distribusi: LnCp = -0,0359t + 8,8387 dari 4 titik pada fase distribusi.
Dari fase distribusi dihitung Cp lalu diperoleh Residu untuk 5 waktu yang
mengalami fase absorpsi sehingga diperoleh persamaan absorpsi: LnCp = -0,0574t
+ 9,3944 dari 3 titik pada fase absorpsi.
Pada praktikum ini dapat diperoleh hasil perhitungan untuk parameter
farmakokinetika pada masing-masing fase. Hasil yang diperoleh sebagai berikut :
Fase absorpsi
- Kecepatan absorpsi (Ka)
Ka = 0,027/menit
- AUC (Area Under Curve)

AUC = AUC trapezoid =


AUC= -243,05 g.menit/mL Luas total = 892.575

- Fraksi obat (Fa) menunjukkan jumlah obat yang diabsorpsi dan jumlah
hilangnya obat akibat first past effect di hepar. Fa Paracetamol menurut
Clask adalah 70-90% sehingga pada percobaan ini ditetapkan Fa yang
digunakan adalah 80% (0,8).
- Tmax

t max =
t max = 42,375 menit
- Ln Cp max
Ln Cp max = Ln Cpd Ln Cpe Ln Cpa
Cp max = -0,387 g/mL
- t
t = 77 menit

Fase distribusi
- Volume distribusi (Vd)

Vd =

Vd = -2,18x20-6 mL
- Vd area

Vd area =
Vd area = 4,36x10-4 mL
- t
t = 1,41 menit

Fase eliminasi
- t (waktu paruh) eliminasi
t = 23,90 menit
- Kecepatan eliminasi (K)
K = 0,029/menit
Setelah parameter farmakokinetik dihitung, maka dibandingkan dari masing-
masing dosis yang berbeda untuk melihat pengaruh perbedaan dosis. Data yang
diperoleh antara lain:
- Ka = III: 0,052/menit, I: 0,027/menit, II:0,0574/menit sehingga II>III>I
- AUC = III:1111880,442 g.menit/mL, I:-243,05 g.menit/mL,
II:120730,2733 g.menit/mL sehingga III>II>I
- Fa = 0,8
- Tmax= III:18,527 menit, I:42,375 menit, II:21,83 menit sehingga I>II>III
- Cpmax=III:20385,9096 g/mL, I:-0,387 g/mL, II:7,4511 g/mL sehingga
III>II>I
- tabsorpsi = III:13,327menit, I:77 menit, II: 21,83 menit sehingga I>II>III
- Vd area= III:19,2724 mL, I:4,36x10-4 mL, II: 184,5778 mL sehingga II>III>I
- Vd = III:23,9734 mL, I:-2,18x10-6 mL, II:108,8325 mL sehingga II>III>I
- t distribusi = III: 12,375 menit,I: 1,41 menit, II:11,30 menit sehingga I>III>I
- k eliminasi = III: 0,033, I:0,029, II: 0,023 sehingga III>I>II
- t eliminasi = III:21 menit, I: 23,90 menit,II:31,07 menit sehingga III>II>I
Dari data di atas dapat dilihat bahwa nilai Ka dan K meja I, II, dan III
menunjukkan kecepatan absorpsi Paracetamol lebih cepat daripada kecepatan
eliminasi. Tmax dan Cmax Parasetamol adalah 19,8 menit dan 86,33 g/mL
(Iersa, 2012). Hasil dari percobaan ini tmax yang mendekati tmax teori adalah
dosis III (tmax=18,527 menit) dan cmax yang mendekati cmax teori adalah pada
dosis II (cmax=7,4511g/mL), dimana Cmax sangat dipengaruhi oleh dosis yang
diberikan. AUC yang didapat berbeda-beda karena dosis yang diberikan berbeda-
beda. Dari percobaan kali ini terlihat peningkatan nilai AUC dengan
bertambahnya dosis. Semakin besar dosis yang diberikan maka semakin banyak
juga jumlah obat yang mencapai sirkulasi darah. Data Vd untuk ketiga dosis juga
memperlihatkan hasil yan berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi/fungsi
fisiologi hewan uji, dosis, dan konsentrasi. Volume distribusi menunjukkan
seberapa banyak obat terdistribusi. Dari praktikum ini t eliminasi dari ketiga
dosis di antara 13,327-77 menit. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
peningkatan dosis tidak mempengaruhi K. Data yang digunakan oleh praktikan
merupakan data simulasi karena data praktikan tidak lengkap dari absorbansi yang
kacau.
H. KESIMPULAN
1. Berdasarkan kurva semilogaritmik kadar obat dalam plasma darah lawan
waktu, parasetamol mengikuti model kompartemen dua
ekstravaskuler.
2. Waktu pencuplikan sampel darah kelinci yaitu pada menit ke-
0,5,10,20,30,40,50,60,75,90,120,150, dan 180. Waktu tersebut ditentukan
dari t1/2 eliminasi dengan t1/2 eliminasi parasetamol teoritis yaitu 60
menit. Dengan pertimbangan pencuplikan dilakukan minimal 3 titik pada
masing-masing fase dan waktu-waktu awal disarankan 4-6 titik
pencuplikan.
3. Besaran dosis yang sesuai degan subjek uji :
Dosis I : 500 mg/kgBB dengan kelinci dengan keinci dengan berat badan
1,45 kg, volume pemberiannya 3,312 ml.
Dosis II : 1000 mg/kgBB dengan kelinci dengan berat badan 1,53 kg,
volume pemberiannya 6,990 ml.
Dosis III : 1500 mg/kgBB dengan kelinci dengan berat 1,75 kg, volume
pemberian 12 ml.
4. Pengakomodasian dosis yang tepat untuk objek uji adalah dengan
mamasukkan kelinci ke dalam tabung penaban, lalu injeksi ekoteter 1
dipotong pada syringe berisi suspensi parasetamol dengan konsentrasi :
500 mg/kgBB sebanyak 3,312 ml.
1000 mg/kgBB sebanyak 6,990 ml.
1500 mg/kgBB sebanyak 12 ml.
Digunakan untuk memberikan suspensi parasetamol secara peroral. Alat
pemberian oral kelinci dimasukkan dan dicek apakah benar gelembungnya sedikit,
jika tidak bergelembung maka benar masuk saluran pencernaan, kemudian spet di
injek ke selang oral dan ditambahkan beberapa ml aquadest agar semua obat
masuk.
Daftar Pustaka

Dirjen POM RI, 2014, Farmakope Indonesia, Edisi 5, Departemen Kesehatan


RepublikIndonesia, Jakarta, hal. 984-985.
Ganiswarna, S.G. , 2007, Farmakologi dan Terapi , edisi IV, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 214,811-812.
Iersa, M., et al., 2012, Comperative Single Inerperitional Dose Pharmakokinetics
of Aspirin and Asetaminophen, Inchicks Vetirinary Medicine, Vol. 5763, pp.
121-124.
Kar, A., 2010, Essentials of Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, Elsivier,
India, p. 329.
Katzung, B.G., 2008, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 4, Alih Bahasa:Staf
Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, EGC,
Jakarta, hal 69-70.
Mulja, M. dan Suharman, 2013, Analisis Instrumental, Airlangga University
Press, Surabaya, hal. 230-248.
Pakarti, A.M., 2009, Pengaruh Perasan Buah Mangga Terhadap Farmakokinetika
Parasetamol yang Diberikan Bersama Secaea Oral pada Kelinci Jantan,
Skripsi, Fakultasa Farmasi UMS, Surakarta, hal. 1-23.
Raharjo, R., 2008, Kumpulan Kuliah Farmakologi, edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, hal 39-45.
Rischel,W.A., 2007, Handbook of Basic Pharmacokinetics, 2nd Edition, Drug
Inteligence Publications, Inc:Hamilton, pp.143-151.
Rowland, M. dan Toler, T. N., 2010, Clinical Pharmacokinetics, Concepts, and
Applicating, 4th ed., Leaf Febiger Inc., Philadelphia, pp. 181-190.
Shargel, L., Wu, S.P., and Yu, A.B.C., 2015, Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics, 5th Edition, Mc.Graw-Hill Companies Inc, New York, pp.
166-168, 457-458.
Simaremare, P., Andrie, M., dan Wijianto, B., 2013, Pengaruh Jus Buah Durian
terhadap Profil Farmakokinetika Parasetamol pada Tikus Putih Jantan Galur
Wistar, Traditional Medicine Journal, 18 (3), 178-184
Sugano, K., 2012, Biopharmaceutics Modeling and Simulations : Theory,
Practice, Methods, and Applications, John Wilon & Sons Inc., Kanada,
pp.234, 241.
Suryawati, S. dan Donatus, I. A., 2008, Ketersediaan Hayati Obat Pada Manusia,
Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, hal. 1-6. .
WHO, 2007, Pemastian Mutu Obat : Kompendium Pedoman dan Bahan Bahan
Terkait, EGC, Jakarta, hal. 94.

Anda mungkin juga menyukai