Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKPERIMENTAL I ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

Dosen Jaga :

Nama Asisten : 1. Jason 2. Dian Disusun oleh : Kelompok 4 Nama 1. Abimantranahita 08599 2. Dian Savita 10 / 301878 / FA / 08605 10 / NIM / FA /

3. Nidya Laradyah Pangestika 10 / 301977 / FA / 08608

Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakutas Farmasi UGM 2011 PERCOBAAN II ANALISIS OBAT (SULFAMETOKSAZOL) DALAM CAIRAN HAYATI (DARAH)

I.

TUJUAN Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat di cairan hayati.

DASAR TEORI Parameter farmakokinetika suatu obat diperoleh dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin. Metode analisis penetapan kadar obat yang digunakan dalam penelitian farmakokinetika harus memenuhi beberapa prasyarat agar nilai nilai parameter kinetika obat dapat dipercaya, yaitu: 1. Selektif atau spesifik 2. Sensitif atau peka 3. Teliti dan tepat 4. Cepat 1.Selektif atau spesifik Selektivitas metode menempati prioritas pertama karena bentuk obat yang ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah bentuk tak berubah atau metabolitnya. Artinya metode analisis yang digunakan harus memiliki spesifitas yang tinggi terhadap salah satu bentuk obat yang akan ditetapkan tersebut.(Smith dan Stewart, 1981). Bahkan lebih memperluas lagi pengertian selektivitas metode ini, yakni kemampuan suatu metode penetapan kadar untuk membedakan suatu obat dari metabolitnya, obat lain, dan kandungan endogen cuplikan hayati.

Pemilihan metode yang memiliki selektifitas tinggi ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Karena hal ini erat sekali kaitannya dengan rumus matematik yang diterapkan dalam menghitung parameter farmakokinetik. Rumus matematik yang diturunkan berdasarkan data pengukuran kadar obat tak berubah dalam cuplikan hayati tertentu, bebeda dengan yang diturunkan dari data kadar metabolitnya. 2.Sensitif atau peka Sensitivitas metode analisis yang digunakan berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh metode analisis yang digunakan. Dalam penelitian farmakokinetika, pemilihan metode analisis juga tergantung pada tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan sederetan data kadar obat dari waktu ke waktu, atau data dari kadar tertinggi sampai kadar terendah dalam cuplikan hayati yang digunakan. Misalnya kita akan menghitung harga AUC maka kita memerlukan data kadar obat dari waktu nol sampai tak terhingga. Karena itu, metode analisis yang dipilih harus dapat meliput kadar obat tertinggi sampai terendah yang ada di dalam badan. 3.Teliti dan tepat Ketelitian (accuracy) dan ketepatan (precision) perlu pula dipetimbangkan dalam memilih metode analisis penetapan kadar. Ketelitian ditunjukan oleh kemampuan metode memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan nilai sesungguhnya (true value). Ini dapat diketahui dari harga perolehan kembali (recovery) yang dinyatakan sebagai % error (harga sesungguhnya dikurangi harga uji dibagi harga sesungguhnya, dikali 100%). Nilai perolehan kembali yang dipersyaratkan adalah 75-90%. Perolehan kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis . PK / Recovery = Kadar terukur Kadar diketahui x 100 %

Ketepatan menunjukan kedekatan hasil pengukuran berulang pada cuplikan hayati yang sama. Yang berarti dalam satu seri pengukuran, mempunyai selisih yang sangat kecil antara satu nilai dengan nilai yang lain . Ini dapat diketahui dari harga replikasinya yang dinyatakan sebagai koefisien variansi (CV) atau Standar Deviasi Relatif (RSD) . CV / RSD = Simpangan baku ( SD/ Standard Deviation) x 100 % Harga rata rata

4. Cepat Cepat juga merupakan syarat yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode analisis penetapan kadar. Hal ini berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis dalam satu macam penelitian farmakokinetika (180-600 penetapan kadar). Prasyarat prasyarat yang diuraikan di atas, sebaiknya benar-benar dipertimbangkan dalam pemilihan metode analisis penetapan kadar dalam penelitian farmakokinetika. Karena kesahihan hasil pengukuran parameter farmakokinetika sangat bergantung pada kesahihan hasil penetapan kadarnya dalam cuplikan hayati yang ditentukan. Dengan demikian, pemahaman terhadapnya, akan sangat membantu dalam mencapai kesahihan hasil pengukuran farmakokinetika seperti yang diharapkan. Dalam percobaan ini akan dilakukan langkah langkah yang perlu dikerjakan untuk optimasi analisis, yang meliputi: 1. 2. 3. Penentuan waktu jangka larutan obat yang memberi resapan tetap (khusus untuk reaksi warna) Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan maksimum atau penetapan eksitasi atau emisi Pembuatan kurva baku

4.

Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik.

Ada 3 macam kesalahan yang dapat dilakukan selama praktikum : 1. Kesalahan gamblang ( gross eror ) 2. Kesalahan acak ( random error ) 3. Kesalahan sistematis ( systematic error ) Kesalahan gamblang merupakan kesalahan yang sudah jelas karena melibatkan kesalahan yang besar, akibatnaya, kita harus memutuskan untuk mengabaikan percobaan yang telah kita lakukan dan memuainya dari awal lagi secara menyeluruh. (Gandjar, Rohman, 2010). Contoh kesalahan gamblang adalah sampel cuplikan hayati tumpah, pengambilan kadar obat salah, dan lain lain . Kesalahan acak atau disebut juga kesalahan yang tidak tergantung (indeterminate error) merupakan kesalahan yang nilainya tidak dapat diramalakan dan tidak ada aturan yang mengaturnya, serta nilainya berfluktuasi. Kesalahan acak merupakan jenis kesalahan yang selalu terjadi sebagai akibat adanaya sedikit variasi yang tidak dapat dikontrol dalam pelaksanaan prosedur. Kesalahan acak dapat digambarkan sebagai kurva normal ( Gaussian curve ) (Gandjar, Rohman, 2010) Dari kurva, dapat dikemukakan : 1. Kesalahan yang kecil lebih sering terjadi 2. Kesalahan yang besar dapat dikatakan jarang terjadi 3. Besarnya kesalahan positif dan negatif sama Sementara itu, kesalahan sistematik merupakan kesalahan yang mempunyai nilai definitif (nilai tertentu). Hasil percobaan dapat mengarah ke arah yang lebih kecil atau arah yang lebih besar dari rata-rata . Kesalahn sistematis bersifat konstan dan berhubungan dengan ketelitian (akurasi) . Kesalahan jenis ini mengakibatkan penyimpangan tertentu dari mean . Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesalahan sistematik, antara lain : 1. Kesalahan personil dan operasi 2. Kesalahan alat dan bahan 3. Kesalahan metode

Adanya kesalahan sistematik, kadang kadang menyebabkan ratarata yang didapat menyimpang agak besar dari nilai sebenarnya. Walaupun kesalahan ini tidak mungkin dihindari secara mutlak, tetapi dengan cara tertentu dapat diperkecil sehingga hasil yang diperoleh tidak terlalu menyimpang dari nilai sebenarnya . (Gandjar, Rohman, 2010) Cuplikan hayati yang sering diambil dalam uji farmakologi, farmakokinetika, dan toksikologi, meliputi darah, urin dan berbagai organ tubuh seperti lambung, usus, hati, limfa, pankreas, ginjal, usus, uterus, ovarium, testis, jantung, paru, tiroid, dan otak . (Nurrochmad, dkk, 2011) Cuplikan hayati yang paling sering dipergunakan di dalam penelitian farmakokinetika adalah darah atau urin. Jika mungkin, penetapan kadar obat tak berubah pada cuplikan darahlah yang menjadi pilihan pertama. Pertama, karena darah merupakan tempat yang paling cepat dicapai obat dan paling logis bagi penetapan kadar obat didalam badan. Paling logis karena darahlah yang mengambil obat dari tempat absorpsi, mendistribusikan ke jaringan sasaran, serta menghantarkan ke organ eliminasi. Kedua, bagi kebanyakan obat, bentuk obat tak berubah merupakan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologik. Karenanya, penetapan kadar pada cuplikan darah akan memberikan suatu indikasi langsung berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi. Jika tidak ada metode penetapan kadar obat dalam darah yang tersedia, atau jika level darah pada pemberian dosis normal, sangat rendah untuk dapat ditetapkan dengan tepat, maka penetapan kadar obat pada cuplikan urin merupakan alternatifnya. Sebenarnya penggunaan cuplikan urin dapat lebih baik dari pada darah, terutama jika obat diekskresikan kedalam urin secara sempurna dalam bentuk tak berubah. Karena selain data urin mengukur langsung jumlah obat yang berada di dalam badan, juga karena variabilitas clearance renal dapat diabaikan. Keterbatasan penggunaan cuplikan urin di antaranya karena sulitnya pengosongan kandung kencing, kemungkinan terjadinya dekomposisi obat selama penyimpanan, dan kemungkinan terhidrolisnya konyugat metabolit yang tidak stabil di dalam urin, sehingga dapat mempengaruhi jumlah total obat dalam bentuk tak berubah yang dieksresikan pada waktu tak terhingga.

Akibatnya dapat terjadi kesalahan penafsiran terhadap harga ketersediaan hayati obat yang diteliti . (Donatus, 2000) Pengambilan darah dilakukan dengan cara sebagai berikut : Pegang tikus sesuai cara pengambilan darah yang benar Ambil pipa kapiler dan siapkan tabung penampung darah berheparin atau non heparin Tusukkan kapiler perlahan-lahan pada vena optalmikus yang terdapat di sudut mata Putar kapiler perlahan lahan sampai darah keluar Tampung darah yang keluar pada tabung Setelah volume darah dianggap cukup, cabut pipa kapiler dan bersihkan sisa darah yang terdapat di mata dengan kapas steril Preparasi sampel darah dengan pemusingan dalam bentuk serum atau plasma di almari es -20oC, sampai penetapan dikerjakan Pengambilan darah tikus juga dapat diambil melalui vena lateralis ekor tikus. Pengambilan darah kelinci dengan cara sebagai berikut : Kerok telinga kelinci bagian luar sisi dalam yang terlihat pembuluh vena Lukai bagian vena dengan skalpel sejajar dengan arah vena Tampung darah menggunakan penampung yang sebelumnya telah diberi heparin 3-5 tetes, jangan diisi hinga penuh, karena akan menggumpal, isi kira-kira 1/2 - 2/3 bagian penampung Apabila darah sulit mengalir, usap dengan tisu bersih dan tekan sedikit Tutup tabung dan gojog Setelah volume darah dianggap cukup, cabut pipa kapiler dan bersihkan sisa darah yang terdapat di mata dengan kapas steril

II.

ALAT DAN BAHAN ALAT Labu takar 100 ml Mikropipet Tabung reaksi Pipet ukur 2ml Spektrofotometer dan kuvet Skalpel / silet Sentrifuge Stopwatch BAHAN Sulfametoksazol Asam Trikloroasetat ( TCA ) Natrium nitrit 0,1 % N ( 1-naftil ) etilebdiamin Antikoagulan ( heparin ) Darah kelinci dan tikus

III. a.

CARA KERJA

Pembuatan kurva baku sulfametoksazol

Mengencerkan stok sulfametoksazol (1 mg/ml) dengan aquades sehingga diperoleh kadar sulfametoksazol: 25, 50, 100, 200, 400 g/ml Menambahkan 250 l darah yang mengandung antikoagulan + 250 l aquadest, campur homogen, + 2,0 ml TCA 5% kemudian vortexing

Untuk pembuatan blanko kurva baku, 250 l darah yang mengandung antikoagulan + 250 l aquades (tidak ditambah sulfametoksazol), campur homogen + 2,0 ml TCA 5% kemudian vortexing Blanko kurva baku dan sampel yang telah divortex disentrifugasi (5 menit; 2500 rpm) Mengambil 1,0 ml beningan (supernatan) dan diencerkan dengan aquades 2,0 ml Menambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) ke dalam tiap tabung diamkan selama 3 menit kemudian vortexing Menambahkan larutan ammonium sulfamat (0,2 ml; 0,5%) ke dalam tiap tabung diamkan selama 2 menit kemudian vortexing Menambahkan larutan N(1-naftil)etilendiamin (0,2 ml; 0,1%) diamkan 5 menit di tempat gelap kemudian vortexing Larutan dipindahkan ke dalam kuvet, baca intensitas warna pada spektrofotometer (545 nm) terhadap blanko darah (sebagai kontrol) yang telah diproses dengan cara yang sama Buat persamaan garis menggunakan persamaan y = ax + b

b. Validasi ( Penentuan perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik ) Mengencerkan stok sulfametoksazol (1 mg/ml) dengan aquades sehingga diperoleh kadar sulfametoksazol: 50, 100, 300 g/ml Tiap kadar dibuat 3 replikasi

Menambahkan 250 l darah yang mengandung antikoagulan + 250 l aquadest, campur homogen, + 2,0 ml TCA 5% kemudian vortexing Untuk pembuatan blanko kurva baku, 250 l darah yang mengandung antikoagulan + 250 l aquades (tidak ditambah sulfametoksazol), campur homogen + 2,0 ml TCA 5% kemudian vortexing Blanko kurva baku dan sampel yang telah divortex disentrifugasi (5 menit; 2500 rpm) Mengambil 1,0 ml beningan (supernatan) dan diencerkan dengan aquades 2,0 ml Menambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) ke dalam tiap tabung diamkan selama 3 menit kemudian vortexing Menambahkan larutan ammonium sulfamat (0,2 ml; 0,5%) ke dalam tiap tabung diamkan selama 2 menit kemudian vortexing Menambahkan larutan N(1-naftil)etilendiamin (0,2 ml; 0,1%) diamkan 5 menit di tempat gelap kemudian vortexing Larutan dipindahkan ke dalam kuvet, baca intensitas warna pada spektrofotometer (545 nm) terhadap blanko darah (sebagai kontrol) yang telah diproses dengan cara yang sama Berdasarkan persamaan garis ( kurva baku sulfametoksazol ) menentukan kadar masing masing , menghitung kadar rata rata dan simpangan bakunya IV. ANALISIS DATA

Menghitung perolehan kembali ( recovery ) dan kesalahan sistematik untuk tiap besaran kadar :

Perolehan kembali =

Kadar terukur Kadar diketahui

x 100 % = PK %

Menghitung kesalahan acak ( random analytical error ) untuk tiap besaran kadar : Kesalahan acak = Simpangan baku Harga rata - rata x 100 % = KA %

V.

HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN

a. Data Kurva Baku DATA SAMPEL KADAR OBAT (g/ml) 25 50 Darah Tikus 100 200 400 25 50 Darah Kelinci 100 200 400 ABSORBANSI 0,014 0,064 0,133 0,360 0,764 0,394 0,724 0,951 1,021 (reject) 1,111 (reject) KURVA BAKU A = -0,0455 B = 2,0164x10-3 r = 0,999 y = 2,0164x10-3x 0,0455 A = 0,2805 B = 7,0143x10-3 r = 0,9553 y = 7,0143x10-3x + 0,2805

b. Data Sampel Data absorbansi tikus Kadar Replikasi I 50 g/ml II III I 100 g/ml II III I 300 g/ml II III Absorbansi 0,101 0,137 0,167 0,125 0,174 0,015 0,052 0,131 0,004

Data absorbansi kelinci Kadar Replikasi I Absorbansi 0,189 0,176 0,192 0,108 0,108 0,102 0,105 0,078 0,084

50 g/ml

II III I

100 g/ml

II III I

300 g/ml

II III

Perhitungan Larutan Stok Kadar stok sulfometoksazol = 1 mg/ml V1.M1 = V2.M2 Keterangan : V1 = volume obat yang diambil (ml) V2 = volume labu takar (ml) M1 = konsentrasi obat yang tersedia (g/ml) M2 = konsentrasi yang diinginkan (g/ml) 1. Kadar 25 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 25 g/ml V1 = 125l 2. Kadar 50 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 50 g/ml V1 = 250l 3. Kadar 100 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 100 g/ml V1 = 500l 4. Kadar 200 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 200 g/ml V1 = 1000l 5. Kadar 300 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 300 g/ml V1 = 1500l 6. Kadar 400 g/ml

V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 400 g/ml V1 = 2000l

Perhitungan kadar sampel darah tikus Kurva baku y = 2,0164x10-3x 0,0455

Kadar obat 50 g/ml Replikasi I y = 0,101 0,101 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 72,654 g/ml Replikasi II y = 0,137 0,137 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 90,508 g/ml y = 0,167 0,167 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 105,386 g/ml = 89,516 g/ml

Replikasi III

Kadar rata-rata = SD = 16,388 Recovery rata - rata = = = 179,032 % x 100%

Kesalahan sistemik rata-rata = 100% - 179,032% = -79,032% CV = = 18,307 %

Kadar obat 100 g/ml Replikasi I y = 0,125 0,125 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 84,557 g/ml Replikasi II y = 0,174 0,174 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 108,857 g/ml y = 0,015 0,015 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 30,004 g/ml = 74,472 g/ml

Replikasi III

Kadar rata-rata = SD = 40,382 Recovery rata - rata = = = 74,472 %

Kesalahan sistemik rata-rata = 100% - 74,472 % = 25,528% CV = = 54,224 %

Kadar obat 300 g/ml Replikasi I y = 0,052 0,052 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 48,353 g/ml Replikasi II y = 0,131 0,131 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 87,532 g/ml y = 0,004 0,004 = 2,0164x10-3x 0,0455 x = 24,549g/ml

Replikasi III

Kadar rata-rata = SD = 31,802 Recovery rata - rata = = =17,826 %

= 53,478 g/ml

Kesalahan sistemik rata-rata = 100% - 17,826 % = 82,174 % CV = = 59,467 %

Perhitungan kadar sampel darah kelinci Kurva baku y = 7,0143x10-3x + 0,2805 Kadar obat 50 g/ml Replikasi I y = 0,189 0,189 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -2,709 g/ml Replikasi II y = 0,176 0,176 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -4,562 g/ml Replikasi III y = 0,192 0,192 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -12,617 g/ml Kadar rata-rata = = -6,629 g/ml

Karena kadar rata-rata yang diperoleh negatif, maka kadar rata-rata dianggap 0.

SD = 0 Recovery rata - rata = = 0

Kesalahan sistemik rata-rata = 100% - 0 % = 100 % CV = = 0%

Kadar obat 100 g/ml Replikasi I y = 0,108 0,108 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -24,592 g/ml Replikasi II y = 0,108 0,108 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -24,592 g/ml Replikasi III y = 0,102 0,102 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -25,448 g/ml

Kadar rata-rata = = -24,877g/ml Karena kadar rata-rata yang diperoleh negatif, maka kadar rata-rata dianggap 0 SD = 0 Recovery rata - rata = = 0%

Kesalahan sistemik rata-rata = 100% - 0 % = 100 % CV = = 0%

Kadar obat 300 g/ml Replikasi I y = 0,105

0,105 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -25,020 g/ml Replikasi II y = 0,078 0,078 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -28,869 g/ml Replikasi III y = 0,084 0,084 = 7,0143x10-3x + 0,2805 x = -28,014g/ml

Kadar rata-rata = = -27,301 g/ml Karena kadar rata-rata yang diperoleh negatif, maka kadar rata-rata dianggap 0. SD = 0 Recovery rata - rata = = 0%

Kesalahan sistemik rata-rata = 100% - 0 % = 100 % CV = = 0%

Grafik kurva baku sulfametoksazol dalam darah tikus

Grafik kurva baku sulfametoksazol dalam darah kelinci

VI.

PEMBAHASAN

Percobaan ini bertujuan untuk menganalisis kadar obat dalam cairan hayati. Obat yang digunakan adalah Sulfametoxazol. Sulfametoxazol merupakan suatu derivat dari sulfisoxazol yang memiliki daya absorpsi dan ekskresi yang lebih lambat. Sulfametoxazol mempunyai waktu paruh selama 8,6 jam. Dapat diabsorpsi dengan hampir sempurna, yaitu sebesar 95%. Konsentrasi maksimal dalam plasma akan tercapai 4 jam setelah pemberian. Pada waktu 24 jam setalah pemberian, 2550% berada dalam dan setelah 78 jam, 85% akan diekskresikan melalui dalam bentuk utuh/aktif (Doller Y, 1991). Sulfametoxazol bersifat tidak larut dalam air, tetapi dapat larut dalam NaOH encer. Berdasarkan sifat kelarutannya, maka larutan obat ini dibuat dengan cara melarutkan terlebih dahulu sulfametoxazol dalam NaOH dan kemudian diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki. Obat ini biasa digunakan dalam bentuk sediaan tablet, injeksi, suspensi, tetes mata, dan salep mata. Struktur sulfametoxazol (N-(5-metil-3isoxazolil) sulfanilamide) :

Sulfametoxazol memiliki struktur dasar amina aromatik primer sehingga dapat bereaksi diazotasi, di mana amina aromatik primer akan bereaksi dengan gugus nitro dan membentuk ion diazonium. Ion diazonium ini kemudian dapat direaksikan lebih lanjut dengan dengan N-1-naftil etilen diamin membentuk senyawa kopling berwarna ungu (lembayung) yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer visible. Sehingga hal tersebut dapat dijadikan dasar tentang metode apa yang akan digunakan dalam percobaan ini. Metode analisis yang digunakan pada percobaan ini adalah metode Bratton-Marshal yang telah dimodifikasi. Dalam percobaan analisis ini dilakukan dengan cara membuat seri kadar obat dalam darah yang kemudian akan diproses sehingga dapat dibaca absorbansinya dan dibuat kurva baku. Darah yang digunakan adalah darah kelinci dan darah tikus. Kelompok kami hanya mengerjakan analisis darah kelinci

sedangkan analisis pada darah tikus dilakukan oleh kelompok lain yang kemudian data hasil percobaan akan digunakan bersama-sama Mula-mula dilakukan pengambilan darah hewan uji yaitu kelinci. Darah yang diambil adalah darah pada vena lateral yang terletak di bagian telinga kelinci. Pengambilan dilakukan dengan cara menyayat vena pada kanan atau kiri telinga kelinci yang sebelumnya telah dicukur bulunya terlebih dahulu untuk memudahkan pengambilan darah. Alasan dari pengambilan pada daerah tersebut adalah karena di tempat tersebut banyak terdapat pembuluh darah vena sehingga darah yang keluar lebih banyak walaupun sayatan yang dibuat tidak terlalu besar. Apabila sayatan terlalu besar maka akan meninggalkan luka yang sukar sembuh dan tidak efisien. Darah yang keluar kemudian ditampung dalam efendorf yang sebelumnya telah ditambahkan 5 tetes anti koagulan. Tujuan dari penambahan anti koagulan ini adalah untuk untuk mencegah darah agar tidak menggumpal. Jika sampel darah yang diambil mengalami koagulasi/menggumpal maka yang akan keluar adalah serumnya, sedangkan yang digunakan untuk pemeriksaan adalah plasma darah karena obat akan berinteraksi dengan protein plasma untuk membentuk suatu kompleks obat-makromolekul yang sering disebut ikatan obat-protein, dengan kata lain maka percobaan tidak dapat dilakukan bila darah mengalami penggumpalan. Anti koagulan yang digunakan dalam percobaan adalah heparin. Heparin merupakan suatu mukopolisakarida dengan berat molekul 6000-20.000. Heparin juga disebut asam heparinat karena sifat keasamannya. Secara kimia, senyawa ini mirip asam hialuronat, kondroitin, dan kondroitin sulfat A dan B.

Struktur heparin:

Sifat anti koagulan dari Heparin yang dapat mencegah darah agar tidak menggumpal ini terjadi akibat penghambatan pengubahan protombin menjadi trombin dalam proses penggumpalan darah. Mekanisme anti koagulan : Heparin + Anti trombin III + Faktor penggumpalan Kompleks terner

Protrombin

Trombin

Heparin beraksi dengan mengikat anti trombin III dan kemudian akan membentuk kompleks yang memiliki afinitas lebih besar daripada anti trombin III itu sendiri terhadap beberapa faktor pembekuan darah aktif (trombin dan faktor Xa/faktor stuart power). Heparin juga dapat meng-inaktivasi faktor VIIIa/AHG dan mencegah terbentuknya fibrin yang stabil. Oleh karena itu heparin akan mempercepat terjadinya inaktivasi faktor pembekuan darah (Ian Tahu, 1995). Tahap pertama adalah membuat 3 seri larutan sulfametoxazol dalam darah kelinci: 50, 100, dan 300 g/ml tiap kadar dibuat 3 replikasi. Masing-masing diambil 0,1ml dan masukkan ke dalam tabung reaksi berisi 3,9,ml air suling. Lalu ditambahkan TCA sebanyak 2 ml. TCA (Tri Kloro Asetat) merupakan suatu asam organik yang cukup kuat. Dalam percobaan ini TCA berfungsi untuk memberikan suasana asam bagi reaksi diazotasi; sebagai donor proton untuk reaksi selanjutnya, serta merupakan senyawa yang dapat menghentikan kerja enzim yang

dapat me-metabolisme obat sekaligus akan menyebabkan denaturasi protein plasma. TCA akan mengikat protein dan mengendapkannya saat sentrifugasi sehingga keberadaan protein tidak mengganggu pembacaan absorbansi nantinya. Pada reaksi diazotasi yang biasa, digunakan HCl (suatu asam mineral kuat) sebagai pemberi suasana asam. Tetapi pada percobaan ini tidak digunakan HCl karena HCl dapat memecah protein menjadi asam amino asam amino-nya sehingga pada saat sentrifugasi asam amino asam amino tersebut tidak dapat memisah dari plasmanya. Hal tersebut disebabkan karena terlalu kecilnya molekul untuk bisa diendapkan. Selain itu, terdapat asam amino tertentu yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi yang dapat memberikan serapan pada UV-Vis sehingga akan mengganggu pada pembacaan absorbansi. Sedangkan bila yang digunakan adalah TCA; TCA akan mengikat protein sehingga protein dapat terdenaturasi dalam suasana asam tanpa terpecah menjadi fragmen-fragmennya (asam amino). Setelah pemberian TCA, kemudian dilakukan vortex selama 10 detik untuk meng-homogenkan campuran dan disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm untuk menyempurnakan pengendapan. Endapan akan terpisah pada bagian bawah dan pada supernatan terdapat cairan bening yaitu plasma darah. Kemudian supernatannya diambil 1,5 ml tanpa endapannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengambil obat yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat pada protein plasma tidak akan aktif secara farmakologik sehingga tidak memiliki efek terapeutik atau dengan kata lain akan dapat menyebabkan data hasil pengamatan tidak valid. Setelah pengambilan supernatan. kemudian supernatan ditambah NaNO2 0,1% 0,1 ml untuk reaksi diazotasi, yaitu pembentukan garam diazonium yang sangat reaktif. Agar reaksi berlangsung sempurna dan cepat maka didiamkan selama 3menit. Reaksi akan lebih sempurna jika medianya dingin. Tapi dalam percobaan ini tidak dilakukan. Pada percobaan ini digunakan NaNO2 bukan HNO2 langsung karena HNO2 merupakan suatu asam hipotetik yang secara teori, asam tersebut ada tetapi tidak dapat diisolasi karena pada suhu kamar akan terurai menjadi gas NO. NaNO2 akan membentuk NaOH dan HNO2 dengan adanya H2O dalam darah. Lalu HNO2 terbentuk akan membentuk ion nitronium dengan adanya

keasaman dari TCA. Ion nitronium ini yang akan menyebabkan reaksi diazotasi. Sehingga penggunaan HNO2 secara langsung harus dihindari. HNO2 bersifat oksidator, dapat mengoksidasi senyawa kopling hasil reaksi antara garam diazonium dengan N-1-naftil etilen diamin. Sehingga kelebihan HNO2 harus dihilangkan dengan cara menambahkan 0,2 ml ammonium sulfamat 0,5%. Ammoium sulfamat merupakan suatu reduktor sehingga dapat bereaksi redoks dengan HNO2. Hilangnya kelebihan HNO2 akan ditandai dengan tidak adanya gas N2 yang terbentuk lagi. Setelah itu lalu ditambahkan N-1-naftil etilen diamin (NED) 0,1% sebanyak 0,2ml sehingga terbentuk senyawa kopling yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi yang lebih panjang sehingga bisa dibaca serapannya pada : 545nm. Agar pembentukan warna lebih sempurna dibiarkan di tempat gelap selama 5 menit karena dengan adanya cahaya dapat memutus ikatan konjugasinya sehingga ikatannya menjadi lebih pendek dan tidak dapat dideteksi dengan UV-Vis. 5 menit merupakan operating time yang ditandai dengan absorbansi sampel sudah konstan. Reaksi kopling ini ditandai dengan terbentuknya larutan yang berwana ungu (lembayung). Mekanisme reaksi diazotasi dan pembentukan senyawa kopling :

Pada sampel darah dibuat blanko. Pada blanko tidak dilakukan penambahan larutan sulfametoxazol sehingga untuk menyamakan volume ditambahkan aquadest

sebanyak volume larutan sulfametoxazol yang ditambahkan. Blanko tersebut digunakan sebagai faktor koreksi terhadap hasil pembacaan absorbansi larutan yang mengandung larutan obat, sehingga nantinya hasil pembacaan absorbansi terhadap supernatan yang mengandung larutan obat harus dikurangi terlebih dahulu dengan nilai absorbansi blanko-nya. Pembacaan absorbansi harus dilakukan pada max yaitu di mana terjadi eksitasi elektron yang memberikan absorbansi max. Karena pada max didapatkan tingkat sensitivitas yang tinggi artinya perubahan kadar yang sangat kecil akan menyebabkan perubahan absorbansi yang cukup besar, pita serapan di sekitar max relatif datar, dan pengukuran ulang pada max memberikan kesalahan paling kecil. Sebelum dilakukan pembacaan absorbansi, perlu dilakukan terlebih dahulu penentuan operating time, yang merupakan waktu yang menunjukkan nilai absorbansi yang konstan terhadap larutan yang dianalisis. Hal ini perlu dilakukan, karena pada percobaan ini terjadi suatu reaksi kopling dengan penambahan NED pada suatu senyawa yang berupa garam diazonium sebagai hasil reaksi diazotasi suatu senyawa aromatik primer dalam suasana asam. Reaksi tersebut memerlukan waktu hingga terbentuk seyawa kopling yang stabil, yang ditunjukkan dengan diperolehnya nilai / angka yang konstan pada beberapa kali pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer. Akan tetapi, pada percobaan ini tidak dilakukan penentuan nilai max dan operating time-nya, namun sebelum pembacaan absorbansi dilakukan pendiaman terhadap campuran yang telah ditambahkan NED selama + 5 menit. Dengan waktu 5 menit, diperkirakan merupakan operating time untuk campuran tersebut dan kemungkinan dalam waktu 5 menit tersebut reaksi kopling sudah berjalan dengan sempurna. Data yang diperoleh, baik sampel darah kelici maupun darah tikus berupa data absorbansi. Sebelumnya sudah dibuat persamaan kurva baku darah kelinci dan darah tikus dengan cara membuat seri kadar baku sulfametoxazol, yaitu 25, 50, 100, 200, 400 g/ml. Pembuatan kurva baku dilakukan dengan cara memberikan berbagai perlakuan yang sama dengan perlakuan yang diberikan kepada sampel darah kelinci dan darah tikus. Dari berbagai seri kadar sulfametoxazol, akan didapatkan hasil berupa nilai absorbansi untuk masing-masing kadar..

Dari berbagai seri kadar sulfametoksazol, didapatkan hasil berupa nilai absorbansi untuk masing-masing kadar. Data yang diperoleh kemudian dilakukan regresi linier, dimana kadar sulfametoksazol sebagai nilai x dan absorbansi yang diperoleh sebagai nilai y, sehingga didapatkan persamaan kurva baku untuk darah tikus dan kelinci. Dari persamaan kurva baku yang diperoleh, akan dapat diketahui berapa kadar terukur sulfametoksazol dalam sampel darah tikus dan kelinci. Data absorbansi sampel diplot-kan ke dalam persamaan kurva baku sehingga akan didapatkan nilai kadar obat kadar terukur. Dari hasil yang diperoleh, dapat dihitung pula nilai recovery (perolehan kembali), kesalahan acak, dan kesalahan sistematiknya. Parameter-parameter ini digunakan untuk mengetahui validitas metode yang digunakan untuk penetapan kadar obat dalam cairan hayati, dalam hal ini kadar sulfametoxazol dalam darah. Recovery (perolehan kembali) merupakan parameter efisiensi dari suatu metode analisis, yang dalam hal ini dapat menunjukkan ketelitian atau akurasi metode analisis tersebut. Nilai recovery yang dipersyaratkan adalah 7590%. Kesalahan sistemik merupakan parameter accuracy dari suatu penetapan kadar. Harga ini menunjukkan kemampuan metode analisis untuk memberikan hasil pengukuran yang sesuai dengan nilai aslinya. Nilai kesalahan sistemik yang dipersyaratkan adalah kurang dari 10%. Sedangkan kesalahan acak yang ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien variansi (CV) merupakan suatu parameter presisi atau ketepatan pengukuran, yang menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran secara berulang pada cuplikan hayati yang sama. Dari perhitungsn regresi linier, didapatkan persaman kurva baku darah tikus adalah y = 2,0164x10-3x 0,0455 dan kurva baku darah kelinci adalah y = 7,0143x10-3x + 0,2805. Hasil yang diperoleh berdasarkan analisis data yang telah ada menunjukkan bahwa harga rata-rata kadar larutan sulfametoksazol terukur yang diperoleh pada sampel darah tikus dan kelinci yang telah diberikan perlakuan dengan larutan sulfametoksazol berbagai kadar adalah sebagai berikut : Kadar obat yang diberikan (g/ml) 50 g/ml 100 g/ml Kadar rata-rata obat dalam sampel (g/ml) 89,516 74,472 Simpangan baku (SD) 16,388 40,382

Data sampel Darah tikus

Darah kelinci

300 g/ml 50 g/ml 100 g/ml 300 g/ml

53,478 0 0 0

31,802 -

Dari hasil perhitungan pada sampel darah kelinci, diperoleh nilai negatif pada kadar rata-rata. Maka, nilai kadar rata-rata pada semua sampel darah kelinci bernilai nol. Begitu pula dengan nilai simpangan baku, recovery, dan kesalahan acak. Dari hasil perhitungan, didapatkan nilai recovery (perolehan kembali) ratarata pada sampel darah tikus 179,032 % (untuk sampel dengan perlakuan sulfametoksazol 50 g/ml), 74,472 % (untuk sampel dengan perlakuan SMZ 100 g/ml), dan 17,826 % (untuk sampel dengan perlakuan sulfametoksazol 300 g/ml), dimana nilai tersebut tidak memenuhi nilai recovery yang dipersyaratkan yaitu 75-90%. Dan recovery rata-rata pada sampel darah kelinci adalah 0% pada semua sampel darah kelinci yang diberi perlakuan sulfametoksazol 50 g/ml, 100 g/ml, maupun 300 g/ml. Nilai recovery merupakan parameter efisiensi suatu metode analisis, sehingga dari hasil recovery yang diperoleh dapat dikatakan bahwa efisiensi metode analisis tersebut kurang baik. Kesalahan sistemik yang didapatkan tidak sesuai dengan teori, yang mana nilai tersebut jauh menyimpang dari nilai yang dipersyaratkan yaitu <10%. Harga kesalahan sistemik menunjukkan kemampuan metode untuk memberikan hasil pengukuran yang sedekat mungkin dengan nilai aslinya. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat disebabkan oleh : senyawa endogen atau metabolit yang ikut terukur. Kemungkinan disebabkan karena terdapat molekul-molekul pengganggu atau protein dalam darah yang dapat meningkatkan nilai absorbansi Pengambilan supernatan yang tidak tepat perbedaan dalam penentuan operating time sehingga pembacaan absorbansi pada pembuatan kurva baku dan pembacaan pada percobaan tidak sama selang waktunya. Kesalahan alat dan pereaksi, dapat disebabkan oleh pereaksi yang kurang valid atau telah terkontaminasi atau pemakaian alat yang kurang tepat walaupun alatnya baik. ketidaktelitian praktikan dalam penambahan analit ataupun larutan pereaksi

Selektivitas suatu metode analisis secara kasar dapat dilihat dari harga CVnya. CV yang dipersyaratkan adalah <10%. Nilai kesalahan acak (CV) yang diperoleh pada sampel darah tikus adalah sebesar 18,307 % (pada sampel darah dengan perlakuan sulfametoksazol 50 g/ml); 54,224 % (untuk sampel dengan perlakuan SMZ 100 g/ml); dan 59,467 % (untuk sampel dengan perlakuan sulfametoksazol 300 g/ml). Sedangkan semua nilai kesalahan acak yang diperoleh pada sampel darah kelinci yang diberi perlakuan sulfametoksazol dengan kadar 50 g/ml, 100 g/ml, dan 300 g/ml adalah tidak terdefinisikan, karena diperoleh nilai kadar rata-rata dan nilai simpangan baku adalah 0. Nilai ini tidak memenuhi nilai yang dipersyaratkan yaitu <10%. Nilai CV yang besar menunjukkan bahwa suatu metode analisis kurang selektif. Namun, nilai CV yang tidak memenuhi persyaratan ini bukan semata-mata dikarenakan oleh kurang selektifnya alat yang digunakan,namun dapat disebabkan karena berbagai faktor yang ada pada saat percobaan seperti alat yang digunakan serta kerja praktikan juga dapat menjadi faktor yang kritis yang menentukan hasil analisis. Berdasarkan hasil percobaan, tidak dapat ditentukan apakah metode Bratton Marshall merupakan metode yang tepat untuk analisis penetapan kadar sulfametoksazol atau tidak, karena dalam praktikum ini terdapat beberapa faktor seperti alat yang digunakan, kerja praktikan, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil analisis yang didapatkan.

PROFIL OBAT Sulfametoksazol (Sulfamethoxazolum) (Farmakope Indonesia IV)

N1-(metil-3-isoksazolil)sulfanilamida C10H11N3O3S BM 253,28

Sulfametoksazol mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C10H11N3O3S, dihitung terhadap zat yang etlah dikeringkan. Pemerian: Serbuk hablur, putih sampai hampir putih; praktis tidak berbau Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air, dalam eter, dan dalam kloroform; mudah larut dalam aseton dan dalam natrium hidroksida encer; agak sukar larut dalam etanol. Sulfametoksazol merupakan derivat dari Sulfisoxasol yang mempunyai absorbsi dan ekskresi yang lebih lambat. Bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam NaOH encer. Dari sifat-sifat itu, larutan obat ini dibuat dengan melarutkan terlebih dahulu SMZ dalam NaOH kemudian diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki. Obat ini biasa digunakan dalam bentuk sediaan tablet, injeksi, suspensi, tetes mata, dan salep mata. Waktu paruh plasma Sulfametoksazol adalah 11 jam. Sulfametoksazol: absorbsi dalam saluran cerna cepat dan sempurna dan 20 G terikat oleh protein plasma. Dalam darah, 10-20 obat terdapat dalam bentuk terasetilasi. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 4 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paro 10-12 jam. Dosis oral awal 2 g diikuti lagi 2-3 dd sampai infeksi terjadi. Fungsi: untuk infeksi sistemik, untuk infeksi saluran seni.

Heparin

(Farmakope Indonesia III)

Heparin adalah sediaan steril mengandung polosakarida sulfat seperti yang terdapat dalam jaringan hewan yang menyusui, mempunyai sifat khas menghambat pembekuan darah. Potensi tiap mg tidak kurang dari 110 IU dan tidak lebih dari 13 Iu dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan dan tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera dalam etiket. Pemerian: Serbuk, putih atau putih daging agak higroskopis Kelarutan: Larut dalam 2,5 bagian air

Heparin merupakan anti-koagulansia langsung, yang mengandung gugus karboksil dan sisa sulfat, sehingga heparin merupakan salah satu asam terkuat dalam tubuh. Heparin bekerja dengan menghambat pembekuan darah yang kerjanya bergantung adanya Anti-trombin III (suatu 2-globulin dan kofaktor dari heparin dan memperkuat kerja heparin) sehingga membentuk kompleks heparin-antitrombin yang ammpu mengaktifkan faktor-faktor Ixa, Xa, XIa, XIIa sehingga menghambat pembentukan trombin. Pqdq konsentrasi tinggi, heparin menghambat juga agregasi trombosit. Heparin juga mempunyai kerja menjernihkan plasma yang berlipid (membebaskan lipoproteinlipase dari endotelium pembuluh yang mampu melarutkan khilomikron). Heparin mempercepat penguraian histamin dengan membebaskan diaminoksidase yang mengoksidasi histamin dan mereduksi pembentukan aldosteron. Kerja heparin ditentukan oleh banyaknya muatan negatif dalam molekul (yang akan meningkat jika sisa asam sulfat tinggi), dan kerja heparin dapat dihentikan spontan oleh polikation, contih: protamin sulfat Keuntungan utama heparin adalah karena bekerja langsung setelah pemakaian. TCA (Asam Triklora Asetat) C2HCl3O2 BM 163,39 (Farmakope Indonesia III)

Asam Trikloro Asetat mangandung tidak kurang dari 98,0% C2HCl3O2. Pemerian: Hablur atau masssa hablur, sangat rapuh, tidak berwarna, rasa lemah atau getir dan khas Kelarutan: Sangat mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P dan dalam eter P. N-(1-Naftil)etilen diamine ethane Pemerian: Kekuning-kuningan, cairan kental Kelarutan: Larut dlam air, yaitu 0,2 gram dalam 100 ml pada 250, lebih larut dalam air panas, pH larutan encer jenuh adalah 10,5 dengan mudah larut dalam solvent organik umum kecuali petroleum eter. Ammonium sulfamate (Merck Index vol. 10) (Merck Index vol. 10) Nama lain: N-1-Naphthalenyl-1-2-ethanediamine; 1-amino-2(alpha-naphtylamino)-

Nama lain: Sulfamic acid monoamonium salt; AMS; Amcide; Ammate Terbuat dari ammonia dan asam sulfamat Pemerian: Kristal higroskopis Kelarutan: luar biasa larut dalam air, cairan ammonia; sedikit larut dalam ethanol. Cukup larut dalam glycerol, glycol, formamide, pH dari larutan 0,2M dalam air adalah 4,9, larutan encer stabil saat mendidih. Natrium nitrit (Merck Index vol. 10)

Nama lain: Sodium nitrit, nitrous acid sodium salt, eritnitrit, NaNO2. Pemerian: Putih atau sedkit kuning, granul higroskopis, batang atau serbuk, sangat lambat teroksidasi menjadi nitrat di udara. Kelarutan: Larut dalam 1,5 bagian air dingin, 0,6 bagian air mendidih, sedikit dalam alkohol. Membusuk oleh asam lemah dengan evolusi dari uap coklat N2O3, larutan encer adalah alkalin, pH sekitar 9.

VII. KESIMPULAN Metode yang digunakan pada analisis Sukfametoksazol dalam cairan hayati adalah metode Bratton-Marshal yang telah dimodifikasi. Cairan hayati yang digunakan pada percobaan ini adalah darah kelinci dan tikus . Hasil yang diperoleh: Recovery: Sampel darah tikus kadar 50 g/ml = 179,032 %

kadar 100 g/ml = 74,472 % kadar 300 g/ml = 17,826 % Sampel darah kelinci kadar 50 g/ml = 0 % kadar 100 g/ml = 0 % kadar 300 g/ml = 0 % Kesalahan sistemik: Sampel darah tikus kadar 50 g/ml = -79,032% kadar 100 g/ml = 25,528% kadar 300 g/ml = 82,174 % Sampel darah kelinci kadar 50 g/ml = 100% kadar 100 g/ml = 100% kadar 300 g/ml = 100% Kesalahan acak (CV): Sampel darah tikus kadar 50 g/ml = 18,307 % kadar 100 g/ml = 54,224 % kadar 300 g/ml = 59,467 % Sampel darah kelinci kadar 50 g/ml = 0% kadar 100 g/ml = 0% kadar 300 g/ml = 0% Berdasar percobaan, metode Bratton-Marshal yang telah dimodifikasi, secara keseluruhan belum memenuhi persyaratan accuracy, presition dan efficiency, serta alat yang digunakan kurang memenuhi syarat sensitifitas. Kesalahan yang terjadi pada percobaan dapat disebabkan karena kesalahan metodik, kesalahan operatif, maupun kesalahan instrumental

VIII. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Anonim. 1996. The Merck Index, Vol. X. Merck Research Laboratories: Division of Merck & Co, INC. Imuno Argo, Donatus, Drs., Apt. 1989. Analisis Farmakokinetika, Bagian I. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM. Mutschler Ernst. 1999. Dinamika Obat, edisi ke lima. Bandung: Penerbit ITB. Siswandono, Bambang Sukarjo. 2000. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press.

Yogyakarta, 20 Oktober 2011 Praktikan: Abimantranahita Dian Savita ( 08599 ) ( 08605 )

Nidya Larasdyah Pangestika ( 08608 )

Anda mungkin juga menyukai