PERCOBAAN III
ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI
Disusun Oleh :
Rezky Bela Putri
(G1F014007)
Suci Ramadhani
(G1F014023)
Alim Wijaya
(G1F014039)
Katarina
(G1F014061)
Golongan / Kelompok
: II A / 4
Tanggal Praktikum
: 11 Mei 2016
Asisten
PERCOBAAN III
ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Efek terapi suatu obat biasanya baru terlihat sesudah zat aktifnya melalui
sistem pembuluh aorta lalu masuk ke hati dan kembali masuk ke peredaran
darah dan didistribusikan ke seluruh jaringan badan.
Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada keadaan pasien yang
bersangkutan (secara in vivo) dengan menentukan kadar dalam plasma
darah setelah mencapai keseimbangan antara serum cairan tubuh (keadaan
tunak). Ada korelasi yang baik antara kadar obat dalam plasma dengan efek
terapi.
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai
keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari bentuk sediaan dan
digambarkan dengan kurva kadar-waktu setelah obat diminum dan berada
pada jaringan biologis atau larutan seperti darah dan urine.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan :
1. Jumlah atau bagian obat yang diabsorbsi dari bentuk sediaan.
2. Kecepatan obat diabsorbsi.
3. Masa kerja obat berada di dalam cairan biologik atau jaringan, bila
dihubungkan dengan respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam
darah
dengan
efektivitas
terapi/efektoksik.
Penentuan ketersediaan hayati kebanyakan hanya untuk bentuk sediaan
obat seperti tablet dan kapsul yang digunakan per oral untuk memperoleh
efek sistematik. Hal ini bukan berarti ketersediaan hayati tidak ada dalam
bentuk sediaan obat yang lain selain bentuk padat / penggunaan bentuk obat
melalui rute lain selain melalui mulut (Anief, 1995).
Pengetahuan tentang konsentrasi obat dalam serum dapat menjelaskan
mengapa seorang penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat,
atau mengapa penderita mengalami suatu efek yang tidak diinginkan.
proses
penjendalan,
sedangkan
plasma
diperoleh
dengan
antikoagulan
terjadilah
penjendalandan
bila
contoh
seperti
metode
menggunakan data darah, data urin, dan data farmakologis atau klinis,
namun lazimnya dipergunakan data darah atau data urin untuk menilai
ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiatnya
telah diketahui cara dan validitasinya. Jika cara dan validitas sebelum
diketahui, dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek
farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif.
Parameter - parameter yang berguna dalam penentuan ketersediaan
hayati suatu obat meliputi data plasma, data urin, efek farmakologi akut,
respon klinik. Ketersediaan hayati dilakukan baik terhadap bahan aktif yang
telah disetujui maupun obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui
oleh FDA untuk dipasarkan. Setelah ketersediaan hayati dan parameter parameter farmakokinetika dari bahan aktif diketahui aturan dosis dapat
diajukan untuk mendukung pemberian label obat (Syukri, 2002).
B. Dasar Teori
Cuplikan darah sangat relevan, karena semua proses obat dalam tubuh
melibatkan darah sebagai media, suatu alat ukur dari organ satu ke organ
lain seperti absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Oleh karena itu,
agar nilai-nilai parameter obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar
harus memenuhi kriteria, yaitu:
1. Selektif atau spesifik
Selektifitas metode adalah kemampuan suatu metode untuk
membedakan suatu obat dari metabolitnya, obat lain, dan kandungan
endogen cuplikan hayati. Selektifitas metode menempati prioritas utama
karena bentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah
dalam bentuk tak berubah atau metabolitnya. Pemilihan metode yang
memiliki selektifitas tinggi perlu mendapatkan perhatian khusus karena
hal ini berkaitan erat dengan rumus matematik yang diterapkan dalam
menghitung parameter farmakokinetik. Rumus matematik yang
diturunkan berdasarkan data pengukuran kadar obat tak berubah dalam
cuplikan hayati tertentu, berbeda dengan yang diturunkan dari data
kadar metabolitnya (Smith, 1981).
2.
sampai tak terhingga. Karena itu, metode analisis yang dipilih harus
dapat meliput kadar obat tertinggi sampai terendah yang ada di dalam
3.
badan.
Ketelitian (accuracy) dan ketepatan (precision)
Ketelitian (accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode
untuk memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true
value (nilai sesungguhnya). Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari
perbedaan antara harga penetapan kadar rata-rata dengan harga
sebenarnya atau konsentrasi yang diketahui. Jika tidak ada data nilai
sebenarnya atau nilai yang dianggap benar tersebut maka tidak mungkin
untuk menentukan berapa akurasi pengukuran tersebut.
ketepatan
berulang.
menunjukkan
Ketepatan
kedekatan
pengukuran
hasil-hasil
hendaknya
pengukuran
diperoleh
melalui
5.
yaitu
terbentuknya
senyawa-senyawa
berwarna
yang
III.
CARA KERJA
1. Penentuan kadar sulfadizain
A. Prosedur penetapan kadar bratton-marshall
1) Pembentukan larutan stok sulfadiazin
Sulfadiazin
Ditimbang secukupnya
Dilarutkan dalam NaOH 1 N
Diencerkan dengan aquadestad 100 ml
Larutan stok sulfadizain (25, 50, 100, 200, 400 g/mL)
2) Pembuatan kurva baku internal
Darah blangko (250 L) mengandung antikoagulan
Ditambah 250L larutan stok sulfadiazin pada kadar
Hasil
3) Pemrosesan sampel darah invivo
250L
mengandung
antikoagulan
darah
Ditambah
250L aquadest
Dicampur homogen
Ditambah 2 mL TCA 5% dengan vortexing
Hasil
poin 2 dan
3 15 menit, 2500 rpm
Campuran
Disentrifugasi
selama
Diambil supernatan 1,5mL dan diencerkan dengan
aquadest 2 mL
Ditambahkan 0,1mL NaNO 0,1% ke dalam tiap
tabung
Didiamkan selama 3 menit
Ditambahkan 0,2mL amonium sulfamat 0,5%
Didiamkan selama 2 menit
Ditambahkan 0,2mL larutan N(1-naftil) etilendiamin
0,1%
Dicampur babik-baik, didiamkan 5 menit di tempat
yang gelap
Dipindahkan larutan ke dalam kuvet
Dibaca intensitas warna pada spektrofotometer (545
nm) terhadap blangko darah sebagai kontrol yang
telah diproses dengan perlakuan yang sama
Hasil
Hasil
Hasil
IV.
=
= 2,5 ml ad 50 ml aquadest
=
= 0,05 ml ad 10 ml aquadest
=
= 0,01 ml ad 10 ml aquadest
= 0,05 ml ad 50 ml aquadest
Klp
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
Data Pengamatan
Pengukuran Absorbansi Larutan Standar
a = 0,311
Konsentrasi
Absorbansi
5
10
0,282
25
0.374
50
0.368
Absorbansi
Kadar
75 Kadar
0.356
Diketahui
Terukur
0,490
213,095
0,118
-229,760
10 ppm
0,178
-158,3
0,056
-303,57
0,085
-26,90
0,101
-250
25 ppm
0,150
-191,66
0,066
-291,66
0,081
-273,80
0,162
-177,38
50 ppm
0,120
-227,3
0,077
-278,57
b = 0,00084
r = 0,56
y = 0,311 + 0,00084x
Recovery
(%)
2130,95
-2297,6
-1583,3
-3035,7
-107,6
-1000
-766,66
-1166,64
-547,6
-354,76
-454,7
-557,14
xx
-119,633
Kesalahan Acak
(KA)
SD=229,611
KA=-191,929 %
-190,055
SD=116,246
KA=-61,164 %
-239,26
SD=47,295
KA=-19,767%
=
= -191,929 %
=
= -61,164 %
=
= -19,767 %
10
V.
PEMBAHASAN
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberikan gambaran mengenai
keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari bentuk sediaan dan digambarkan
dengan kurva kadar waktu setelah obat diminum dan berada pada jaringan
biologik atau larutan seperti darah dan urin. Cairan hayati yang digunakan
sebagai media obat adalah darah. Digunakan darah karena darah merupakan
tempat yang paling cepat dicapai dalam proses absorpsi dan distribusi, baik ke
jaringan target maupun ke organ eliminasi sehingga kadar obat di dalam
sirkulasi sitemik ini paling mencerminkan kadar obat sebenarnya di dalam
tubuh. Selain itu, bentuk obat pada umumnya tidak berubah, merupakan
senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi. Karena itu, penetapan kadar obat
pada cuplikan darah akan memberikan suatu indikasi langsung berapa kadarnya
yang mencapai sirkulasi.
Obat yang digunakan adalah sulfadiazin yang dianalisis dalam darah
tikus. Sulfadiazin diabsorbsi secara cepat dengan pemberian secara oral. Obat ini
terdistribusi melalui jaringan-jaringan tubuh dan cairan tubuh termasuk pleural,
11
peritoneal, sinovial dan cairan okular. Metabolisme yang dialaminya adalah Nasetilasi. Lebih dari 15% sulfadiazin yang diberikan berada dalam bentuk tidak
aktif dalam darah, yaitu turunan N-asetil. Waktu paruh eliminasinya sekitar 6-17
jam. Ekskresinya berkisar antara 43% hingga 60% dalam bentuk utuh dan 15%
hingga 40% dalam bentuk metabolitnya (Galichet, 2005; Lacy et al., 2005).
Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengambil darah melalui mata
tikus. Tikus dipegang dan dijepit bagian tengkuk dengan jari tangan. Setelah itu
tikus dikondisikan senyaman mungkin. Kemudian, mikrohematokrit digoreskan
pada medial canthus mata dibawah bola mata ke arah foramen opticus.
Kemudian mikrohematokrit diputar sampai melukai plexus, jika diputar 5x maka
harus dikembalikan 5x. Darah ditampung pada eppendorf yang telah diberi
EDTA untuk tujuan pengambilan plasma darah dan tanpa EDTA untuk tujuan
pengambilan serumnya, bisa juga dengan penambahan heparin sebagai
antikoagulan (Yokozawa, 2002).
Analisis ini diawali dengan membuat larutan standar sulfadiazin dalam
beberapa seri konsentrasi yaitu 5, 10, 25, 50, dan 75 g/ml. Pembuatan larutan
standar dilakukan dengan cara sulfadiazin yang telah ditimbang sesuai
perhitungan dilarutkan dalam NaOH 1N. Hal ini dilakukan karena sulfadiazin
bersifat tidak larut dalam air, tetapi mudah larut dalam NaOH 1N (Depkes RI,
1995). Berdasarkan sifat kelarutannya, maka larutan obat ini dibuat dengan cara
melarutkan terlebih dahulu sulfadiazin dalam NaOH dan kemudian diencerkan
dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki.
Darah (blanko) ditambahkan larutan standar sulfadiazin dan ditambahkan
TCA 5%. Setelah homogen, ditambahkan dengan 2,0 ml TCA 5% dengan
vortexing. TCA ialah senyawa yang mampu memprespitasi makromolekul
seperti protein, RNA, dan DNA. Penambahan TCA berfungsi untuk memberikan
suasana asam bagi reaksi diazotasi, sebagai donor proton untuk reaksi
selanjutnya, serta merupakan senyawa yang dapat menghentikan kerja enzim
yang dapat memetabolisme obat sekaligus akan menyebabkan denaturasi protein
plasma. TCA akan mengikat protein dan mengendapkannya saat sentrifugasi
sehingga keberadaan protein tidak mengganggu pembacaan absorbansi (Elisa,
2013).
Setelah larutan darah ditambahkan dengan larutan sulfadiazin dan TCA
5%, kemudian di vortex selama 2 menit untuk mempercepat proses
12
mengambil obat yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat pada
protein plasma tidak akan aktif secara farmakologik sehingga tidak memiliki
efek terapeutik atau dengan kata lain akan dapat menyebabkan data hasil
pengamatan tidak valid (Anggraeni, 2010).
Supernatan yang didapat ditambah dengan akuades 2 mL kemudian
ditambahkan 0,1 ml NaNO 0,1% dan didiamkan selama 3 menit. Penambahan
NaNO ini bertujuan untuk menginisiasi reaksi diazotasi. Reaksi diazotasi yaitu
pembentukan garam diazonium yang sangat reaktif. NaNO akan membentuk
NaOH dan HNO2 dengan adanya H2O dalam darah. Lalu HNO2 terbentuk akan
membentuk ion nitronium dengan adanya keasaman dari TCA. HNO 2 bersifat
oksidator, dapat mengoksidasi senyawa kopling hasil reaksi antara garam
diazonium dengan N-1-naftil etilen diamin. Sehingga kelebihan HNO 2 harus
dihilangkan dengan cara menambahkan 0,2 ml ammonium sulfamat 0,5%.
Ammoium sulfamat merupakan suatu reduktor sehingga dapat bereaksi redoks
dengan HNO2 (Hart, 2003).
Setelah itu ditambahkan 0,2 ml N-(1-naftil) etilen diamin 0,1% sehingga
terbentuk senyawa kopling yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi yang
lebih panjang. Lalu ditempatkan ditempat gelap agar pembentukan warna lebih
sempurna. Adanya cahaya dapat memutus ikatan konjugasinya sehingga
ikatannya menjadi lebih pendek dan tidak dapat dideteksi dengan UV-Vis.
Kemudian akan terbentuk warna ungu yang menandai adanya reaksi kopling.
Mekanisme reaksi diazotasi dan pembentukan senyawa kopling :
13
(Hart, 2003).
Setelah 5 menit, dilakukan pengukuran absorbansi panjang gelombang
545 nm. Panjang gelombang 545 nm dipilih karena memiliki sensitivitas tinggi,
dimana dengan perubahan sedikit kadar dapat menyebabkan perubahan
absorbansi yang besar (Whitehouse & Paul, 1979; Annino, 1964).
Berdasarkan pengukuran agar nilai-nilai parameter kinetik obat dapat
dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria, yaitu
selektif atau spesifik, sensitif atau peka, teliti dan cepat. Data yang didapat
kemudian dihitung nilai kadar terukur, kesalahan acak, dan perolehan kembali.
Nilai perolehan kembali (recovery) merupakan parameter atau tolak ukur
efisiensi analisis yang menggambarkan akurasi (ketelitian) metode yang
digunakan. Ketelitian ditunjukan oleh kemampuan metode memberikan hasil
pengukuran sedekat mungkin dengan nilai sesungguhnya (true value). Ini dapat
diketahui dari harga perolehan kembali (recovery) yang dinyatakan sebagai %
error (harga sesungguhnya dikurangi harga uji dibagi harga sesungguhnya,
dikali 100%). Perolehan kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis
(Hakim, 2014; Pashladkk, 1986).
Setelah semua campuran dibaca absorbansinya, dibuat persamaan kurva
baku menggunakan regresi linier. Berdasarkan data yang diperoleh, maka
persamaan kurva bakunya adalah:
y = 0,311 + 0,00084x
Kemudian, dihitung nilai kadar terukur maing-masing larutan standar
dengan cara memasukkan nilai absorbansi ke dalam persamaan regresi linier
sehingga diperoleh nilai x yang menunjukkan kadar terukur. Hasil dari setiap
kelompok rata-rata bernilai negatif. Ini disebabkan karena absorbansi yang
14
Recovery
Recovery
Recovery
Recovery
diketahui
kelompok 1
kelompok 2
kelompok 3
kelompok 4
(g/ml)
10
25
50
2130,95%
-107,6%
-547,6%
-2297,6%
-1000%
-354,76%
-1583,3%
-766,66%
-454,7%
-3035,7%
-1166,64%
-557,14%
untuk ketepatan analisis yaitu presisi. Kesalahan acak atau disebut juga
kesalahan yang tidak tergantung (indeterminate error) merupakan kesalahan
yang nilainya tidak dapat diramalakan dan tidak ada aturan yang mengaturnya,
serta nilainya berfluktuasi. Kesalahan acak merupakan jenis kesalahan yang
selalu terjadi sebagai akibat adanaya sedikit variasi yang tidak dapat dikontrol
dalam pelaksanaan prosedur. Kesalahan acak dapat digambarkan sebagai kurva
normal ( Gaussian curve ) (Gandjar, 2007).
16
17
VI.
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
Metode yang digunakan pada analisis obat dalam cairan hayati adalah
metode Bratton-Marshall.
Parameter yang digunakan dalam percobaan ini adalah recovery, kesalahan
-19,767%.
Analisis obat dalam darah belum dapat dikatakan baik karena belum
memenuhi parameter seperti
18
VII.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 1995. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. UGM. Yogyakarta
Annino, J. S. 1964. An Observation Concerning the Bratton-Marshall Diazo
Reaction in Sulfonamide-Free Urine. Massachussetts Memorial Hospital:
370-371.
Galichet, L. Y. 2005. Clarke's Analysis of Drugs and Poisons 3rd Edition. USA:
Pharmaceuutical Press.
Hidayati, Ervina Nur, Mohammad Alauhdin dan Agung Tri Prasetya. 2014.
Perbandingan Metode Destruksi Pada Analisis Pb dalam Rambut dengan
AAS. Indonesian Journal of Chemical Science, 3(1): 1-6.
Lacy, C. F., L. L. Armstrong, M. P. Goldman dan L. L. Lance. 2005. Drug
Information Handbook Edisi 13. USA: Lexi Comp Inc.
Munson James, W. 1991. Analisis Farmasi. Airlangga University Press.
Surabaya
Ritschel, W. A. 1976. Handbook of Basic Pharmacokinetics, 1st Edition. USA:
Drug Inteligence Publication Inc.
Shargel.
1985.
BiofarmasetikadanFarmakokinetikaTerapan.
Airlangga
19