Anda di halaman 1dari 4

6. Jawablah pertanyaan di bawah ini!

6.a)Jelaskan mengapa data urin dapat digunakan untuk menentukan parameter


farmakokinetika suatu obat!
Jawab:
Alasan data urin dapat digunakan untuk menentukan parameter faramkokinetika suatu
obat adalah sebagai berikut:
a. Obat dapat diekskresikan dalam bentuk utuh atau berupa metabolit aktif melalui urin.
Oleh sebab itu kadar darah dalam urin dapat digunakan untuk menentukan dan
menghitung parameter farmakokinetik. Laju ekskresi obat melalui urin sebanding dengan
data penurunan kadar obat dalam plasma setiap waktu. Dengan kata lain kecepatan dan
tingkat obat diekskresikan melalui urin menggambarkan kecepatan dan tingkat absorpsi
obat dalam sirkulasi sistemik.
b. Data urin mengukur langsung jumlah obat yang berada di dalam tubuh
c. Kadar obat dalam urin lebih besar daripada kadar darah
d. Volume yang tersedia lebih besar
e. Keunggulan pengambilan sampel melalui urin tidak memerlukan alat khusus (seperti
jarum kupu-kupu), dan bersifat tidak menyakitkan (non-infasive).
6.b) Jelaskan persyaratan validitas data urin untuk penentuan parameter
farmakokinetika!
Jawab:
Persyaratan validitas data urin untuk penentuan parameter farmakokinetika sebagai
berikut:
a. Obat diekskresikan melalui urin dalam bentuk tak berubah secara bermakna
b. Cuplikan data urin hendaknya dikumpulkan secara berkala sampai hampir semua obat
diekskresi. Suatu grafik dari kumulatif obat yang dieksresi vs waktu akan menghasilkan
kurva yang mendekati asimtot pada “waktu tak terhingga”. Dalam praktek, diperlukan
kurang lebih 7 X t½ eliminasi untuk mengeliminasi 99% obat.
c. Teknik penentuan kadar harus spesifik untuk obat tidak berubah dan harus tidak
dipengaruhi oleh metabolit-metabolit obat obat yang mempunyai struktur kimia serupa
d. Perlu diperhatikan perbedaan pH urin dan volume yang dapat menyebabkan perbedaan
laju reaksi
e. Obat tidak memiliki waktu paruh yang pendek serta tidak mengalami metabolisme yang
ekstensif
6.c) Jelaskan prinsip perhitungan tetapan laju eliminasi dengan metode sigma minus dan
ekskresi urin komulatif (mid point time)!

Jawab :

 Pada metode rate perhitungan parameter farmakokinetika dilakukan berdasarkan


perkiraan data tengah (mid point time) tiap interval pengambilan sampel urin.
 Pada tetapan kecepatan eliminasi orde pertama (k) bisa juga dihitung dengan data urin
setelah obat diberika secara intravaskuler dosis tunggal yang farmakokinetikanya
diterangkan dengan model 1 kompartemen terbuka
 Sedangkan pada metode sigma minus perhitungan parameter farmakokinetika langsung
menggunakan data yang diperoleh tanpa mencari data tengah.
 Pada pengambilan sampel urin dengan metode sigma minus akan berpengaruh pada
jumlah kumulasi obat yang dieksresikan melalui urin, karena pada metode ini nilai
kumulasi obat pada waktu tak terhingga dianggap sama dengan nilai kumulasi obat pada
waktu pengambilan terakhir urin. Hal tersebut ayng menjadi dasar lamanya waktu
pengambilan urin pada metode sigma minus (Paradkar & Bakliwal, 2008; Hakim, 2013).
 Perbandingan antara Rate Method dan Sigma Minus adalah:
1. Pada Rate method, Du∞ tidak perlu diketahui dan hilangnya satu spesimen urin tidak
mempengaruhi analisis
2. Sigma minus methode, membutuhkan penentuan akurat Du∞ dari urin hingga ekskresi
obat selesai
3. Fluktuasi tingkat eliminasi obat dan kesalahan eksperimental (seperti pengosongan
lamnung kurang lengkap) menyebabkan peningkatan besar dari linearitas dalam rate
method
4. Sigma minus kurang dipengaruhi oleh fluktuasi nilai eliminasi obat
5. Rate method berlaku proses eliminasi obat orde 0, sedangkan sigma minus tidak
6. Tetapam laju eliminasi (K) dapat diperoleh dari Rate method, tetapi tidak pada Sigma
minus (Sweetman, 2007)
6.d) Jelaskan pengaruh perubahan pH urin terhadap kecepatan eliminasi suatu obat.
Jawab :
 Proses reabsorpsi obat-obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah, sangat
berpengaruh terhadap nilai pKa obat dan pH urin. Kedua faktor tersebut merupakan
faktor penentu proporsi obat terionisasi atau tidak terionisasi. pH urin dapat berubah pada
pola makan, keadaan fisiologis yang tidak normal, dan konsumsi obat. Obat yang tidak
terionisasi pada urin, akan lebih larut dalam lemak, sehingga dengan mudah direabsorpsi
kembali ke dalam tubuh, namun jika ionisasi obat meningkat pada urin, obat akan sedikit
larut dalam lemak dan reabsorpsinya akan berkurang. Proses reabsorpsi obat dapat
mempengaruhi banyaknya obat yang diekskresi sehingga berkaitan dengan waktu paruh
obat (Hollenberg, 2005; Setiawati, Suyatna, dan Gan, 2007; Shargel dan Yu. 1985).
 Maka dari itu peninggian jumlah obat yang tidak terionisasi akan mengakibatkan
peninggian reabsopsi melalui tubule, seterusnya dapat meningkatkan efek farmakologi.
Sebaliknya peninggian jumlah obat yang terionisasi akan mempercepat eliminasi obat,
kemudian akan menurunkan efek farmakologi.
 Pada pH urin yang bersifat basa, asam salisilat bebas dapat diekskresikan sampai dengan
30%. Terbatasnya glisin hepatik dan glukoronida yang tersedia untuk konjugasi
menyebabkan eliminasi salisilat terjadi dengan kinetika orde satu pada dosis rendah dan
kinetika orde nol pada dosis tinggi. Perhitungan ini digunakan untuk meningkatkan
waktu paruh dengan peningkatan dosis (Lacy, Armstrong, Goldman, dan Lance, 2005:
Holtzman dan Sung, 2005; Haretwing-Otto, 1983).
6.e) Mengapa pada penetapan kadar asetosal dalam sampel urin yang diamati pada
spektroskopi adalah kadar asam salisilatnya ?

Jawab :

 Yang diamati pada penetapan kadar asetosal atau asam asetil salisilat karena pada
prinsipnya metode kolorimetri pada penetapan kadar asam asetil salisilat merupakan
pembentukan kompleks antara besi nitrat dengan gugus fenolik asam salisilat pada asam
asetil salisilat menjadi kompleks besi salisilat yang berwarna ungu (Higuchi et al., 1961).
 Asetosal sendiri merupakan ester fenolik dari asam salisilat sehingga tidak dapat bereaksi
dengan Fe3+. Gugus ester tersebut harus dipecah melalui hidrolisis terlebih dahulu
dengan NaOH sehingga terbentuk Na salisilat dan Na asetat. Setelah diasamkan dengan
HCl, asam salisilat hasil hidrolisis asetosal dapat membentuk kompleks dengan pereaksi
Fe3+ yang berwarna ungu yang dapat diukur serapannya pada panjang gelombang sinar
tampak (525 nm) (Higuchi et al., 1961).
 Pada prosesnya, kadar asetosal ditetapkan melalui pembacaan kadar asam salisilat yang
tereksresi pada urine menggunakan bantuan larutan Thrinder sebagai reagen. Larutan
Thrinder akan bereaksi dengan asam salisilat membentuk kompleks besi (III) salisilat
berwarna ungu yang dapat terdeteksi pada pembacaan menggunakan spetrofotometri Vis.
DAFTAR PUSTAKA

XHakim, L. (2013). Farmakokinetik Klinis. Yogyakarta: Bursa Ilmu – Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada.
Haretwing-Otto, H. (1983). Pharmacokinetic Consideration Of Common Analgesic And Antipyretics.
Analytical Journal Medicine, 75: 30-37.
Hollenberg, P. F. (2005). Absorption, Distribution, Metabolism, And Elimination. Dalam K. P.
Minneman, Dan L. Wecker, Brody's Human Pharmacology : Molecular To Clinical (Ed. Ke-4)
(Hal. 27-29, 36). China: Elsevier Mosby.
Holtzman, S. G., Dan Sung, Y.-F. (2005). Drugs To Control Pain. Dalam K. P. Minneman, Dan L.
Wecker, Brody's Human Pharmacology: Molecular To Clinical (Ed. Ke-4) (Hal. 377-380, 387-
390). China: Elsevier Mosby.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., Dan Lance, L. L. (2005). Drug Information Handbook.
Usa: Lexi-Comp Inc: 102, 164, 147-153, 1375- 1376, 1447-1448.
Paradkar, A. & Bakliwal, S., 2008, Biopharmaceutics And Pharmacokinetics, Nirali Prakashan, New
Delhi.

Ritschel, Wa. 2004. Handbook Of Basic Pharmacokinetics. 6 Th Ed. Drug Intelligence Publication Inc:
Hamilton, Illinois.
Sihabuddin, M, Dkk. 2011. Pharmacokinetic Parameters Determination Of Gendarusin A In Men Subject
Urine After Administration Of Ethanol Extract Of Justicia Gendarussa Burm. F. Leaf (Ethno
Medicine Research). J. Med. Planta 1, 245922. Universitas Airlangga: Fakultas Farmasi
Setiawati, A., Suyatna, F. D., Dan Gan, S. (2007). Pengantar Farmakologi. Dalam Departemen
Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Farmakologi Dan Terapi
(Ed. Ke-5) (Hal. 11). Jakarta: Gaya Baru.
Shargel, L., Dan Yu, A. B. (1985). Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan (Ed. Ke-2). Terjemahan
Dari Applied Biopharmaceutics And Pharmacokinetics, 1985 Oleh Fasich, Siti Sjamsiah.
Surabaya: Airlangga University Press: 53, 57, 201-220
Sweetman, S. C., 2007, Martindale The Complete Drug Reference, 35th Edition. Pharmaceutical Press,
London.

Anda mungkin juga menyukai