Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOANALISIS

Validasi Metode Bratton-Marshall


Disusun oleh :
Febrina Heni

068114125

Dewi Susanti

068114126

Nugraheni Dwi A. K.068114127


Fidela Antonisca Nitasari

068114131

Antonius Ade P.P.

068114132

Helen Tanujaya

068114133

Felix Manuel

068114136

Kelas FKK / Kelompok F1


Asisten

: Lina, Alfa, Tami

PJ Laporan

: Lina

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008

Validasi Metode Bratton Marshall


1. TUJUAN
Mahasiswa dapat melakukan validasi metode dan penetapan kadar
Sulfadiazin dengan metode Bratton Marshall.
2. DASAR TEORI
Parameter Validitas Metode Analisis
Validasi metode analisis adalah ukuran untuk membuktikan bahwa
metode yang digunakan dapat memberi hasil seperti yang diharapkan.
Parameter untuk menilai suatu metode valid atau tidak, antara lain :
1. Akurasi (Accuracy)
Akurasi metode analisis adalah kedekatan hasil analisis yang
diperoleh dengan menggunakan metode analisis tertentu, dengan nilai
yang sebenarnya. Penentuan akurasi metode analisis dapat dilakukan
dengan cara membandingkan kadar terukur dari sejumlah tertentu
senyawa standar yang sengaja ditambahkan ke dalam sampel pada
jumlah yang tertentu pula. Harga perbandingan tersebut dikenal
sebagai persen perolehan kembali (recovery) (Anonim, 1995). Akurasi
untuk bahan obat dengan kadar kecil biasanya disepakati 90 110 %,
untuk kadar obat yang lebih besar biasanya disepakati 95 105 %,
akurasi untuk bahan baku biasanya disepakati 98 102 %, sedangkan
untuk bioanalisis rentang akurasi 80 120 % masih bisa diterima
(Mulja dan Hanwar, 2003).
2. Presisi (Precision)
Presisi adalah simpangan baku atau simpangan relatif dari
beberapa kali penentuan kuantitatif terhadap sampel yang dianalisis
dengan metode terpilih yang dilaksanakan dengan normal. Makin kecil
simpangan relatif yang dihasilkan oleh suatu metode maka validitas
metode tersebut makin terjamin. Harga simpangan relatif ini

tergantung dari besar kecilnya kadar zat yang dianalisis, panjang


tahapan prosedur analisis, jenis zat yang dianalisis dan kecanggihan
alat yang digunakan untuk analisis (Mulja dan Suharman, 1995).
Presisi biasanya dinyatakan dalam CV (Coefficient of Variation), harga
CV yang baik adalah < 2 %, dapat dikatakan metode tersebut
memberikan presisi yang bagus, sedangkan untuk bioanalisis CV 15
20 % masih dapat diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).
Presisi dapat dibedakan menjadi 3 tipe yaitu :
a. Repeatibility
Repeatability merupakan presisi yang dihasilkan dari
pengujian suatu metode analisis yang dilakukan oleh individu yang
sama dengan menggunakan prosedur yang sama dan dikerjakan
dalam periode waktu yang relatif singkat (Anonim, 1995).
b. Intermediate precision
Intermediate precision merupakan presisi yang dihasilkan
dari pengujian suatu metode analisis tertentu yang dikerjakan oleh
individu yang berbeda dengan menggunakan prosedur dan
instrumen yang sama (Anonim, 1995).
c. Reproducibility
Reproducibility merupakan presisi yang dihasilkan dari
pengujian suatu metode analisis tertentu yang dikerjakan pada
beberapa laboratorium yang berbeda (Anonim, 1995). Idealnya,
suatu metode analisis akan memberikan hasil yang sama jika
diulang dengan menggunakan sampel yang sama walaupun
pengerjaannya mengalami perbedaan (Mulja dan Suharman, 1995).
3. Sensitivitas (Sensitivity)
Sensitivitas metode analisis merupakan kemampuan metode untuk
mengidentifikasi perbedaan yang kecil antar konsentrasi analit. Faktor
yang mempengaruhi sensitivitas ini adalah kemiringan dari kurva baku
dan presisi, misalkan terdapat dua metode analisis dengan tingkat
presisi yang sama akan tetapi kemiringan kurva baku keduanya

berbeda, maka metode yang lebih sensitif adalah metode yang


mempunyai kemiringan kurva baku yang lebih curam, begitu pula
sebaliknya (Skoog, 1985).
4. Rentang kelurusan atau IDR (Instrumental Dynamic Range)
IDR yaitu rentang kadar yang terendah hingga terbesar yang
direlasikan dengan tanggap detektor dengan koefisien korelasi (r) >
0,999 dan sesuai hukum metode analisis yang dipakai (Mulja dan
Suharman, 1995).
5. LOD (Limit of Detection)
LOD merupakan konsentrasi analit terkecil dalam sampel yang
masih dapat dideteksi tetapi tidak secara kuantitatif. Penentuan LOD
pada metode instrumental dapat didasarkan signal to noise ratio
yaitu dengan cara membandingkan respon dari pengukuran analit
terhadap respon blanko. Konsentrasi analit yang mampu memberikan
respon 2 3 kali respon blanko inilah yang kemudian ditetapkan
sebagai LOD (Anonim, 1995).
6. LOQ (Limit of Quantitation)
LOQ merupakan konsentrasi analit terkecil dalam sampel yang
masih dapat dianalisis dengan hasil penentuan kuantitatif yang
menunjukkan akurasi dan presisi yang memadai. Penentuan LOQ pada
metode instrumental dapat didasarkan signal to noise ratio yaitu
dengan cara membandingkan respon dari pengukuran analit terhadap
respon blanko. Konsentrasi analit yang mampu memberikan respon 10
kali respon blangko inilah yang kemudian ditetapkan sebagai LOQ
(Anonim, 1995).
7. Spesifitas (Specificity)
Spesifitas dapat diartikan sebagai kemampuan dari suatu metode
analisis untuk mengukur keberadaan analit dalam sampel secara tepat
dan spesifik. Spesifitas memberikan gambaran tentang derajat
gangguan oleh matriks sampel terhadap hasil pengukuran analit.

Biasanya spesifitas dinyatakan sebagai degree of bias yang merupakan


intersep sumbu y pada kurva regresi (Anonim, 1995).
8. Range
Range suatu metode analisis adalah interval kadar terendah sampai
kadar tertinggi dari analit yang dapat diukur secara kuantitatif
menggunakan metode analisis tertentu dan menghasilkan akurasi serta
presisi yang memadai. Biasanya range mempunyai satuan yang sama
dengan satuan yang digunakan pada hasil analisis, misalnya : persen,
ppm (Anonim, 1995).
SULFADIAZIN
N
NH2

SO2

NH
N

N1-2-pirimidinilsulfanilamida [68-35-9]
C10H10N4O2S

BM

250,27
Sulfadiazin mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih
dari 102,0% C10H10N4O2S

dihitung dari zat yang telah dikeringkan

(Anonim, 1995).
Pemerian serbuk, putih sampai agak kuning, tidak berbau atau
hamper tidak berbau; stabil terhadap udara tetapi pada pemaparan terhadap
cahaya perlahan-lahan menjadi hitam. Kelarutan praktis tidak larut dalam
air; mudah larut dalam asam mineral encer, dalam larutan kalium
hidroksida, dalam larutan natrium hidroksida; agak sukar larut dalam
etanol dan dalam aseton,; sukar larut dalam serum manusia pada suhu
370C (Anonim, 1995).
Sulfadiazin masuk dalam golongan sulfonamida. Obat golongan
sulfonamida biasa digunakan sebagai obat antibakteri. Sulfonamida tidak
cocok untuk virus. Oleh karena itu pada penggunaan sulfonamida harus

diperhatikan apakah indikasinya tepat. Pada penggunaan lokal harus


dihindari karena bahaya sensibilitas (Mutschler,1991).
Sulfadiazin akan diabsorbsi dengan cepat dan sempurna dari usus
halus. Kadar maksimum dalam darah akan dicapai setelah 2-6 jam.
Dengan astilasi atau oksidasi pada N-4 sebagian sulfonilamid akan
dimetabolisme oleh tubuh. Ekskresi sulfadiazin hampir seluruhnya melalui
ginjal. Zat ini tidak hanya difiltrasi secara pasif, tapi juga disekresi oleh
tubulus secara aktif. Lama kerjanya bergantung pada apakah setelah
filtrasi atau sekresi aktif tersebut (Mutschler, 1991).
3. ALAT DAN BAHAN
Alat:

Neraca analitik

Tabung reaksi

Labu ukur : 100 ml, 10 ml

Corong

Pipet volum

Kertas saring

Pipet tetes

Spektrofotometer VIS

Glass vien

Alat vortex

Beker glass

Alat sentrifuge

Mikrometer

Alat degasing

Tabung sentrifuge

Bahan:

Sulfadiazin-Na p.a

NaOH

Ammonium sulfamat

HCl

NaNO2

N-(1-naphtyl)ethylenediamin

Aquadest

4. SKEMA KERJA
Prosedur penetapan kadar Bratton Marshall
a. Pembuatan larutan stok Sulfadiazin Na
Timbang 100 mg sulfadiazin dan larutkan dalam 20 ml NaOH 1 N

Encerkan dengan aquadest sampai 100,0 ml

Buat larutan intermediet dengan kadar 25, 50, 75, 100, 125 g/ml dalam
labu 10,0 ml
b. Pembuatan kurva baku internal
Pipet 250 l plasma dan tambahkan 250 l larutan stok sulfadiazin
sehingga kadarnya 12,5; 25; 37,5; 50; 62,5 mcg/ml

Tambahkan 2,0 ml TCA 5% dan vortex

Kemudian larutan disentrifuge selama 5 menit, 2500 rpm

Diambil beningan (1,5 ml) dan encerkan dengan aquadest 2,0 ml, dari tiaptiap tabung

Ke dalam setiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 0,1 % sebanyak 0,1


ml dan diamkan selama 3 menit

Tambahkan larutan Ammonium sulfamat 0,5 % sebanyak 0,2 ml dan


diamkan selama 2 menit

Degassing selama 10 menit

Tambahkan larutan N (1-naftil) etilendiamin 0,1 % sebanyak 0,2 ml,


campur baik baik, diamkan 5 menit di tempat gelap

Pindahkan larutan ke dalam kuvet, baca intensitas warna pada


spektrofotometer visibel (545 nm)
c. Penetapan operating time sulfadiazin Na
Gunakan larutan sulfadiazin dengan kadar 25 dan 50 mcg/ml, ukur
resapannya pada 545 nm setiap 5 menit selama maksimal 30 menit

Buat kurva resapan lawan waktu pada kertas grafik numerik dan tetapkan
waktu resapan tetap
d. Penetapan panjang gelombang maksimum larutan sulfadiazin Na yang
memberikan respon maksimum
Intensitas warna larutan obat (25 dan 50 mcg/ml) diukur resapannya pada
500 580 nm
d. Penentuan recovery, kesalahan acak, dan kesalahan sistematik
Buat stok baru sulfadiazin Na

Pipet 0,25; 0,75; dan 1,25 ml larutan stok sulfadiazin dan add larutan
plasma ing 10 ml sehingga kadarnya 12,5; 37,5; dan 62,5 mcg/ml

Tambahkan 2,0 ml TCA 5% dan vortex

Kemudian larutan disentrifuge selama 5 menit, 2500 rpm

Diambil beningan (1,5 ml) dan encerkan dengan aquadest 2,0 ml

Ke dalam setiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 0,1 % sebanyak 0,1


ml dan diamkan selama 3 menit

Tambahkan larutan Ammonium sulfamat 0,5 % sebanyak 0,2 ml dan


diamkan selama 2 menit

Tambahkan larutan N (1-naftil) etilendiamin 0,1 % sebanyak 0,2 ml,


campur baik baik, diamkan 5 menit di tempat gelap

Pindahkan larutan ke dalam kuvet, baca intensitas warna pada


spektrofotometer visibel (545 nm)

Tiap kadar dilakukan replikasi 3 kali


Perolehan Kembali
Hitung perolehan kembali (recovery) dan kesalahan sistematik untuk tiap
besaran kadar
kadar terukur

Perolehan kembali = kadar diketahui x 100 % = P %


Kesalahan sistemik = 100 P %
Catatan : perolehan kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis
sedangkan kesalahan sistematik merupakan tolok ukur inakurasi penetapan
kadar. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan konstan atau proporsional.
Kesalahan acak
Hitung kesalahan acak (random analytical error) untuk tiap besaran kadar.
simpangan baku

Kesalahan acak = harga rata rata x 100 %


Catatan : kesalahan acak merupakan tolok ukur inprecision suatu analisis
dan dapat bersifat positif atau negatif. Kesalahan acak identik dengan
variabilitas pengukuran dan dicerminkan oleh tetapan variasi.

5. DATA DAN ANALISIS DATA

Stok 1000mcg/ml
Penimbangan sulfadiazine
Berat kertas
: 0,3937 g
Berat kertas+ zat
: 0,4937 g
Berat kertas+sisa
: 0,3937 g
Berat zat
: 0,1000 g
: 100 mg
Konsentrasi stok =

= 1000mcg/ml

Perhitungan intermediet
a) Intermediet 25mcg/ml
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 1000 mcg/ml = 10 ml . 25 mcg/ml
V1
= 0,25 ml
b) Intermediet 50mcg/ml
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 1000 mcg/ml = 10 ml . 50 mcg/ml
V1
= 0,50 ml
c) Intermediet 75mcg/ml
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 1000 mcg/ml = 10 ml . 75 mcg/ml
V1
= 0,75 ml
d) Intermediet 100mcg/ml
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 1000 mcg/ml = 10 ml . 100 mcg/ml
V1
= 1,00 ml
e) Intermediet 125mcg/ml
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 1000 mcg/ml = 10 ml . 125 mcg/ml
V1
= 1,25 ml

Perhitungan kurva baku internal


a) Internal 1
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 25 mcg/ml = 10 ml . 12,5 mcg/ml
V1
= 5 ml

b) Internal 2
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 50 mcg/ml = 10 ml . 25 mcg/ml
V1
= 5 ml
c) Internal 3
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 75 mcg/ml = 10 ml . 37,5 mcg/ml
V1
= 5 ml
d) Internal 4
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 100 mcg/ml = 10 ml . 50 mcg/ml
V1
= 5 ml
e) Internal 5
V1 .
C1
= V2
. C2
V1 . 125 mcg/ml = 10 ml . 62,5 mcg/ml
V1
= 5 ml

Seri kurva baku


Kadar terhitung
(mcg/ml)
12,5
25
37,5
50
62,5

Absorbansi
0,218
0,158
0,261
0,396
0,630

Operating Time (5 menit)

A= 0,014
B= 8,496.10-3
r = 0,8937
Y= Bx+A
Y = 8,496.10-3x + 0,014

T (menit)
5
10
15
20
25
30

Kadar 50
mcg/ml
absorbansi
0,480
0,475
0,469
0,474
0,474
0,473

Penentuan maks (545 nm)


Dipakai teoritis karena hasil dari percobaan jelek
(nm)
500
510
520
530
540
550
560
570
580
590
600

Kadar 25
mcg/ml
absorbansi
0,073
0,079
0,077
0,076
0,076
-

Kadar 25 mcg/ml
absorbansi
0,329
0,289
0,246
0,216
0,108
0,199
0,529
0,566
0,567
0,437
0,297

Perhitungan recovery
a) Perhitungan stok baru dengan kadar 500 mcg/ml
C = 500 mcg/ml
V = 100 ml
Konsentrasi stok =
b) Penimbangan sulfadiazine
Replikasi 1
Berat kertas
: 0,3930 g
Berat kertas+zat
: 0,4430 g
Berat kertas+sisa
: 0,3930 g
Berat zat
: 0,0500 g
: 50 mg
Replikasi 2
Berat kertas
: 0,3934 g

Berat kertas+zat
Berat kertas+sisa
Berat zat

: 0,4434 g
: 0,3934 g
: 0,0500 g
: 50 mg

Replikasi 3
Berat kertas
Berat kertas+zat
Berat kertas+sisa
Berat zat

: 0,3929 g
: 0,4429 g
: 0,3929 g
: 0,0500 g
: 50 mg

Seri kadar untuk 3 replikasi


a) Kadar 12,5 mcg/ml
V1 .
C1
= V2 . C2
V1 . 500 mcg/ml = 10 ml . 12,5 mcg/ml
V1
= 0,25 ml
b) Kadar 37,5 mcg/ml
V1 .
C1
= V2 . C2
V1 . 500 mcg/ml = 10 ml . 37,5 mcg/ml
V1
= 0,75 ml
c) Kadar 62,5 mcg/ml
V1 .
C1
= V2 . C2
V1 . 500 mcg/ml = 10 ml . 62,5 mcg/ml
V1
= 1,25 ml
Kadar terhitung
Mcg/ml
12,5
37,5
62,5

Absorbansi
replikasi 1
0,203
0,443
0,814

A= 0,014
B= 8,496.10-3
r = 0,8937
Y= Bx+A
Y = 8,496.10-3x + 0,014
i.

Recovery
a) Kadar 12,5 mcg/ml
Y = 8,496.10-3x + 0,014
Replikasi I
0,203 = 8,496.10-3x + 0,014
x
= 22,246 mcg/ml

Absorbansi
replikasi 2
0,028
0,305
0,450

Absorbansi
replikasi 3
0,187
0,201
0,280

Replikasi II
0,028 = 8,496.10-3x + 0,014
x
= 1,648 mcg/ml
Replikasi III
0,187 = 8,496.10-3x + 0,014
x
= 20,363 mcg/ml
rata-rata =
= 14,752 mcg/ml
Recovery =
= 118,016 %
b) Kadar 37,5 mcg/ml
Y = 8,496.10-3x + 0,014
Replikasi I
0,443 = 8,496.10-3x + 0,014
x
= 50,494 mcg/ml
Replikasi II
0,305 = 8,496.10-3x + 0,014
x
= 34,251 mcg/ml
Replikasi III
0,201 = 8,496.10-3x + 0,014
x
= 22,010 mcg/ml
rata-rata =
= 35,585 mcg/ml
Recovery =
= 94,893 %
c) Kadar 62,5 mcg/ml
Y = 8,496.10-3x + 0,014
Replikasi I

0,814 = 8,496.10-3x + 0,014


x
= 94,162 mcg/ml
Replikasi II
0,450 = 8,496.10-3x + 0,014
x
= 51,318 mcg/ml
Replikasi III
0,280 = 8,496.10-3x + 0,014
x
= 31,309 mcg/ml

rata-rata =
= 58,929 mcg/ml
Recovery =

x 100%

= 94,286%
ii. Kesalahan sistematik
a) Kadar 12,5 mcg/ml
Kesalahan sistematik
b) Kadar 37,5 mcg/ml
Kesalahan sistematik
c) Kadar 62,5 mcg/ml
Kesalahan sistematik

iii.

= 100%-%recovery
= 100%-118,016%
= -18,016 %
= 100%-%recovery
= 100%-94,893%
= 5,107 %
= 100%-%recovery
= 100%-94,286%
= 5,714 %

Kesalahan acak
a) Kadar 12,5 mcg/ml
Kesalahan acak

=
=
= 77,196 %

b) Kadar 37,5 mcg/ml

Kesalahan acak

=
=
= 40,155 %

c) Kadar 62,5 mcg/ml


Kesalahan acak

=
=
= 54,489 %

5. PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan untuk memvalidasi metode analisis Bratton
Marshall dengan cara menetapkan kadar obat dalam cairan hayati yaitu
darah sehingga dapat diketahui apakah metode ini cukup valid digunakan
dalam pengukuran kadar suatu zat dalam percobaan laboratorium. Validasi
metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter
tertentu berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa
parameter tersebut memenuhi persyaratan penggunaannya. Prinsip
penetapan kadar Sulfadiazine dengan metode Bratton-Marshall adalah
dengan kolorimetri, yaitu reaksi pembentukan warna pada sulfadiazine
dengan pemanjangan gugus kromofor.
Material hayati yang digunakan adalah darah dari tikus yang diambil
dari sampel mata. Obat yang digunakan adalah sulfadiazin. Sulfadiazin
berupa serbuk berwarna putih agak kekuningan.
Pada percobaan ini didasarkan pada reaksi antara senyawa aromatik
primer dengan asam nitrit dalam suasana asam membentuk garam
diazonium. Reaksi ini disebut reaksi diazotasi. Asam nitrit terbentuk dari
reaksi antara natrium nitrit dan asam klorida.
Reaksi ini bersifat kualitatif sehingga dapat digunakan sebagai dasar
penetapan kadar senyawa yang mempunyai gugus amin aromatik primer
atau yang dapat menghasilkan gugus tersebut. Pada sulfadiazin struktur
kimianya mempunyai amin aromatik primer sehingga dapat langsung
bereaksi dengan asam nitrit tanpa harus hidrolisis.
Struktur sulfadiazin:
NH2

O
N

S
NH

sulfadiazine

Amin aromatik primer

Dalam penetapan kadar sulfadiazin yang pertama kali dilakukan


adalah dengan cara menimbang 100 mg sulfadiazin lalu ditambahkan
dengan 20 ml NaOH 1 N dan diencerkan dengan aquadest sampai volume
akhirnya menjadi 100 ml. NaOH disini berperan sebagai pelarut bagi
sulfadiazin karena sulfadiazin sukar larut dalam air. Dari larutan stok
dibuat seri larutan stok dengan kadar 25, 50, 75, 100, 125 g/ml. Untuk
kurva baku dibuat dengan memipet 250 l plasma dan 250 l sulfadiazin
sehingga kadarnya menjadi 12,5; 25; 37,5; 50; 62,5 mcg/ml.

Lalu

ditambahkan dengan 2 ml TCA 5% dan divortex.


Penambahan TCA 5% 2 ml berfungsi merusak struktur sekunder dan
tersier protein melalui perusakan ikatan sulfida yang merupakan
pembentuk kedua struktur tersebut sehingga bagian non polar protein akan
keluar akibatnya protein akan mengendap dan tidak larut lagi. TCA
merupakan asam lemah yang juga memberikan suasana asam yang
membantu reaksi diazotasi. Dengan pemusingan pada kecepatan 2500 rpm
selama 5 menit terhadap larutan plasma yang telah mengandung TCA akan
menyebabkan protein plasma terendapkan dan semua sulfadiazin akan
terlepas ke dalam fase air (bagian beningnya). Fase air yang telah terpisah
diperlakukan dengan metode Bratton Marshall untuk memperoleh larutan
yang berwarna.
Prosedur Bratton Marshall diawali dengan penambahan NaNO2,
sehingga akan menyebabkan terbentuknya asam nitrit yang dengan adanya
kelebihan asam akan menyebabkan asam nitrit menjadi ion nitrosonium.
Penambahan NaNO2 dilakukan perlahan karena reaksi yang terjadi adalah
reaksi molekuler lambat. Bila terlalu cepat akan terbentuk gas N2 yang
bersifat mudah menguap dan bukan HNO2. Diamkan selama 3 menit.
Reaksi :
HCl + NaNO2 HNO2 + NaCl
HNO2 + H+

NO+

ion nitrosonium

+ H2O

Reaksi Diazotasi pada suasana Asam


O

N
N
H
N

NH2

NaNO2

2HCl

N
H
N

Cl
O

Sulfadiazin
2H2O

NaCl

Reaksi Diazotasi pada suasana Basa


O

N
N
H
N

NH2

NaNO2

NaOH

N
H
N

OH
O

Sulfadiazin
2H2O

Na2O

Reaksi diazotasi merupakan reaksi antara amin aromatik primer


dengan asam nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium
karena asam nitrit tidak stabil maka diganti NaNO2. Garam diazonium
yang terbentuk bersifat termolabil sehingga selama percobaan temperatur
percobaan harus dijaga agar pembentukan garam diazonium dapat
terbentuk maksimal.
Untuk menghilangkan kelebihan asam nitrit maka dilakukan
penambahan amonium sulfamat 0,5 % karena asam nitrit yang berlebih
dapat mengganggu kestabilan serapan sulfadiazine. Penambahan amonium
sulfamat harus dilakukan dengan hati-hati dan perlahan (lewat dinding
tabung) karena reaksinya bersifat eksotermis (melepas panas). Selain itu,
jika penambahan amonium sulfamat yang dilakukan terlalu cepat dapat
menyebabkan larutan tumpah akibat dorongan gas nitrogen yang
dihasilkan.
NaNO2 + NH4SO3NH2 N2 + NH4NaSO4 + H2O
Amonium Sulfat
Tahap akhir dari reaksi sulfadiazine menjadi senyawa berwarna dengan
menggunakan metode Bratton Marshall adalah pembentukan suasana basa,

dengan menambahkan larutan N-(1-naftil)etilendiamin 0,1%. NED


berfungsi untuk membentuk kompleks warna dengan garam diazonium
dengan cara memperpanjang gugus kromofor sehingga menghasilkan
larutan yang berwarna. Serapan dari Larutan yang berwarna dapat diukur
dengan spektrofotometri visible.
Reaksi Pembentukan Kompleks Ungu :
N
N
H
N

N
NHC2H4NH2

Garam Diazonium

N-(1-naftil)etilendiamin

N
N
H
N

NHC2H4NH2

senyawa berwarna ungu

Pada praktikum ini, larutan berwarna yang telah terbentuk dengan


metode Bratton Marshall masih mengandung partikel-partikel yang berasal
dari protein yang terendapkan serta gelembung. Oleh karena itu, untuk
menghilangkan partikel dan gelembung yang terdapat pada larutan
sebaiknya dilakukan penyaringan dan degassing. Partikel dan gelembung
harus dihilangkan supaya diperoleh larutan yang jernih sehingga
memenuhi persyaratan analisis kuantitatif secara spektrofotometri (hukum
Lambert Beer). Adanya partikel dan gelembung dapat mengganggu
lewatnya sinar karena tidak semua sinar masuk akan diteruskan/melainkan
dibiaskan dan dipantulkan. Akibatnya, serapan yang terbaca oleh detektor
pada spektrofotometri menjadi lebih besar.

Dalam praktikum pada cara kerja harus dilakukan secara bertahap.


Dari pengukuran operating time, kemudian penentuan panjang gelombang
maksimal dan pengukuran kurva baku serta menentukan recovery. Dalam
percobaan penambahan NaNO2 dilakukan apabila pengukuran akan segera
dilakukan agar garam diazonium yang terbentuk tidak terhidrolisis
menjadi N2 dan fenol. Hal ini karena garam diazonium tersebut tidak
stabil, sehingga akibatnya dapat menambah atau mengurangi absorbansi.
Pada praktikum setelah ditambah dengan N-(1-naftil)etilendiamin
0,1% larutan ditutup dengan aluminium foil. Seharusnya dengan kertas
karbon karena aluminium foil merupakan penghantar panas yang baik
akibatnya dapat menghantarkan O2 menjadi radikal oksigen yang dapat
memutus ikatan rangkap N (N=N) pada kompleks warna yang terbentuk.
Akibatnya intensitas warna turun dan absobbansi yang diukur bukan
absorbansi sebenarnya. Karena yang tersedia adalah aluminium foil, maka
diatasi dengan tidak memegang bagian aluminium foilnya karena dapat
menghantarkan panas tubuh.
Penentuan Operating Time
Tujuan penentuan operating time adalah untuk menentukan waktu
kerja yaitu waktu dimana pembentukan warna dari reaksi kompleks antara
garam diazonium dan NED telah berlangsung optimal. Hal ini karena
reaksi yang terbentuk bersifat reversible atau dapat balik kembali menjadi
senyawa yang tidak berwarna.
Pertama-tama dilakukan penentuan operating time. Penentuan
operating time merupakan langkah awal dalam optimasi metode
kolorimetri. Penentuan operating time penting untuk mengetahui waktu
pengukuran hasil reaksi pembentukan warna yang relatif stabil atau jangka
waktu serapan stabil. Pada percobaan ini penentuan operating time
dilakukan pada panjang gelombang 545 nm dan diukur tiap 5 menit
selama 30 menit.

Dari penentuan operating time didapat operating time adalah 5


menit. Dipilih 5 menit karena absorbansi kadar 50 mcg/ml sudah stabil
pada 5 menit.
Penetapan Panjang Gelombang Maksimum.
Penentuan panjang gelombang maksimum bertujuan untuk melihat
pada panjang gelombang berapa sulfadiazin memiliki serapan yang
maksimum. Alasan digunakannya panjang gelombang maksimum pada
pengukuran serapan sulfadiazin adalah pada panjang gelombang tersebut
perubahan kadar yang sangat kecil akan mengakibatkan perubahan yang
besar pada absorbansi. Dengan kata lain panjang gelombang maksimum
memiliki kepekaan yang sangat besar. Selain itu daerah didekat panjang
gelombang maksimum datar hal ini akan mengurangi kesalahan pada
pengukuran berulang.
Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan sebanyak 2 kali
dengan 2 seri konsentrasi yang berbeda untuk melihat apakah pada
konsentrasi

yang

berbeda

terjadi

perubahan

panjang

gelombang

maksimum. Konsentrasi yang digunakan adalah 25 dan 50 mcg/ml.


Menurut teori sulfadiazin memberikan serapan maksimum pada
panjang gelombang 545 nm. Berdasarkan farmakope indonesia edisi 4
perbedaan panjang gelombang maksimum yang diperbolehkan adalah 2
nm. Karena pada penentuan panjang gelombang maksimal didapatkan
hasil yang jelek maka digunakan panjang gelombang teoritis. Hasil yang
didapat

kurang

baik

dapat

disebabkan

karena

aluminium

foil

menghantarkan panas tubuh karena tabung reaksi yang ditutup dengan


aluminium foil dipegang.
Pembuatan Kurva Baku.
Tujuan pembuatan kurva baku adalah untuk menghitung kadar
sulfadiazin dalam sampel. Kurva baku merupakan hubungan antara
konsentrasi dan serapan. Jika nilai serapan diketahui maka nilai

konsentrasi dapat dihitung dengan memasukkan nilai serapan kedalam


persamaan kurva baku yang diperoleh.
Kurva baku pada percobaan ini memiliki 5 seri konsentrasi sulfadiazin
yaitu 12,5; 25; 37,5; 50; 62,5 mcg/ml. Kelima seri konsentrasi tersebut
diukur pada panjang gelombang maksimum yaitu 545 nm setelah
mencapai operating time.
Dari pengukuran seri larutan kurva baku dengan menggunakan
spektrofotometri

UV

Vis

didapat

absorbansinya

beserta

kadar

terhitungnya:
Kadar terhitung
(mcg/ml)
12,5
25
37,5
50
62,5

Absorbansi
0,218
0,158
0,261
0,396
0,630

Dengan metode regresi linier didapat nilai A=0,014; B= 8,496.10-3 dan r =


0,8937. Maka persamaan kurva bakunya adalah Y = 8,496.10-3x + 0,014
Menentukan Perolehan Kembali, Kesalahan Acak, dan Kesalahan Sistemik
Penetapan kadar recovery sulfadiazin dilakukan pada konsentrasi 12,5;
37,5; dan 62,5 mcg/ml dengan 3 kali replikasi.
Didapatkan absorbansi:
Kadar terhitung
Absorbansi
Absorbansi
Mcg/ml
replikasi 1
replikasi 2
12,5
0,203
0,028
37,5
0,443
0,305
62,5
0,814
0,450
-3
Dan persamaan regresi liniernya Y = 8,496.10 x + 0,014
Recovery :
Kadar 12,5 mcg/ml =118,016 %
Kadar 37,5 mcg/ml = 94,893 %
Kadar 62,5 mcg/ml = 94,286%
Kesalahan sistematik:
Kadar 12,5 mcg/ml =-18,016 %
Kadar 37,5 mcg/ml = 5,107 %

Absorbansi
replikasi 3
0,187
0,201
0,280

Kadar 62,5 mcg/ml = 5,714 %


Kesalahan acak:
Kadar 12,5 mcg/ml = 77,196 %
Kadar 37,5 mcg/ml = 40,155 %
Kadar 62,5 mcg/ml = 54,489 %
Nilai %recovery baik jika 95-105%. Sedangkan nilai recovery yang
diperoleh dari percobaan ini tidak terdapat dalam rentang tersebut maka
dapat diambil kesimpulan bahwa metode ini tidak memiliki akurasi yang
baik karena parameter dari akurasi adalah % recovery.

6. KESIMPULAN

Prinsip penetapan kadar Sulfadiazine dengan metode Bratton-Marshall


adalah kolorimetri.

Data yang diperoleh pada percobaan ini belum dapat digunakan untuk
menentukan validitas metode analisis penetapan kadar sulfadiazine
dengan metode Bratton-Marshall.

Dari % recovery yang didapat: Kadar 12,5 mcg/ml =118,016 %; Kadar


37,5 mcg/ml = 94,893 %; Kadar 62,5 mcg/ml = 94,286% diketahui
bahwa belum ada yang memenuhi nilai recovery yang baik yaitu 95105%. Sehingga akurasi pengukuran ini belum baik.

7. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, 765, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1995, The United States Pharmacopeia, ed 23, hal 1982 1984,
US Pharmacopeial Convention, Rockville.
Mulja, Muhammad, H., Soeharman, 1995, Analisis Instrumental, hal 6
11, 26 33, Airlangga University Press, Surabaya.
Mulja, M., Hanwar, D., 2003, Prinsip prinsip Cara Berlaboratorium
yang Baik (Good Laboratory Practice), hal 3, 71 76, Majalah
Farmasi Airlangga, Surabaya.

Mutschler, Ernest, 1991, Dinamika Obat, edisi ke V, 626-627, ITB press,


Bandung.
Skoog, D.A., 1985, Principles of Instrumental Analysis, ed III, Saunders
College Publishing, Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai