Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN

PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA
PENGARUH RUTE PEMBERIAN BIOAVAIBILITAS SUATU OBAT DENGAN
MENGGUNAKAN DATA DARAH

Disusun oleh :
Kelompok 1 FARMASI D
Ifa Shahnaz (201810410311154)
Asti Prenolin Rimadina (201810410311155)
IrdaAdhawanty (201810410311156)
Amelya Juniarty (201810410311159)
Nur As-Syifa Azzahra (201810410311170)
Ilham Rizaldy (201810410311179)

LABORATORIUM KIMIA SINTESIS


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020/2021
I. TUJUAN PRAKTIKUM
A. Tujuan Umum
Membandingkan bioavaibilitas suatu obat dari rute pemakaian yang berbeda.
B. Tujuan Khusus
• Melakukan uji bioavaibilitas suatu obat dari sediaan suspense (peroral) dan
larutan injeksi (intramuscular dan intravena) dengan menggunakan data
darah.
• Menghitung dan mengintepretasikan bioavaibilitas suatu obat.

II. DASAR TEORI


Bioavabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah bahan aktif atau
bagian aktif yang diabsorbsi dari suatu produk obat dan tersedia pada site aksi.
Untuk produk obat yang tidak ditunjukkan diabsorbsi kedalam aliran darah
bioavabilitas dapat ditetapkan dengan pengukuran yang tidak ditunjukkan untuk
mencerminkan laju dan jumlah bahan aktif atau bagian aktif tersedia pada site aksi.
(Shargel dkk. 2012)

Rute pemakaian oral merupakan rute yang paling lazim dan popular dari
pendosisan oabt. Bentuk sediaan oral harus dirancang untuk memperhitungkan
reentang pH yang estern, ada atau tidaknya makanan, degradasi enzim, perbedaan
permeabilitas obat dalam darah yang berbeda dalam usus dan motilitas saluran
cerna. (Shargel dkk. 2012)

Larutan obat intravena (IV) dapat diberikan baik sebagai dosis bolus
(diinjeksikan semua sekaligus) atau infus secara lambat melalui suatu vena ke
dalam plasma pada suatu laju yang konstan atau orde nol. Keuntungan utama
pemberian suatu obat dengan infus IV adalah memungkinkan pengendalian yang
tepat dari konsentrasi obat dalam plasma yang cocok dengan kebutuhan pasien
injeksi. Intramuscular dilakukan memiliki laju penyerapan obat yang lebih cepat
karena daerah ini memiliki jaringan pembuluh darah yang banyak. (Shargel dkk.
2012)

Bioavabilitas intramuscular cepat dari larutan aqueous dan lambat dari larutan
qionaquaous. Biovabilitas intravena 100% laju bioavabilitas obat peroral lebih
lambat disbanding IV atau IM namun merupakan rute pemberian paling aman.
(Shargel dkk 2012)

Avabilitas relative (apperent) adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk


obat dibandigkan terhadap suatu obat standar yang diketahui fraksi dosisnya yang
tersedia sistemik dari suatu produk oral sukar dipastikan. Avabilitas suatu obat
dalam suatu formula dibandingkan terhadap avabilitas obat dalam formula standar
yang biasanya berupa suatu larutan dari obat murni, dievaluasi dalam studi “Cross
over”. Avabilitas relative dari 2 produk obat yang diberikan pada dosis dan rute
pemakaian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut :

( AUC ) A
Avaibilitas : (Shargel dkk. 2012)
( AUC ) B

Avaibilitas absolut obat adalah avaibilitas sistemik suatu obat setelah


pemakaian ekstravaskuler (misal rektal, oral transdermal, subkutan) dibandingkan
terhadap dosis IV. Avaibilitas absolut suatu obat biasanya diukur dengan
membandingkan AUC produk yang bersangkutan setelah pemberian ekstravaskular
dan IV. Pengukuran dapat dilakukan sepanjang Vo dan A tidak bergantung pada
rute pemberian. Avaibilitas absolut setelah pemakaian oral dengan menggunakan
data plasma dapat ditentukan dengan sebagaimana berikut :
( AUC ) Ao
dosis po
Avaibilitas Absolut :> F : ❑ (Shargel dkk 2012)
( AUC ) IV
dosis IV
Konsentrasi Obat Dalam Plasma

Pengukuran konsentrasi obat dalam darah, plasma atau serum setelah


pemakaian obat merupakan cara langsung dan paling objektif untuk menentukan
bioavaibilitas obat sistemik melalui pengambilan sampel darah yang tepat adalah
penggunaan penetapan kadar obat yang shahih dapat diperoleh gambaran yang
akurat dari profil konsentrasi obat dalam plasma- waktu. (Shargel dkk. 2012)
- Tmaks waktu konsentrasi plasma mencapai puncak. T maks dapat
disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat
maksimum setelah pemberian obat. Pada Tmaks absorbsi tepat adalah
terbesar dan laju absobsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absobsi
masih berjalan setelah T maks dapat digunakan tercapai. Tetapi pada laju
yang lebih lambat, jika membandingkan produk obat, T maks dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk memperkirakan laju absorbs. Harga
Tmaks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk
mencapai konsentrasi plasma puncak). Bila laju absorbsi obat menjadi lebih
cepat satuan tmaks adalah satuan waktu (misal : jam, menit). (Shargel, dkk.
2012)
- Cmaks konsentrasi plasma puncak. Cmaks menunjukkan konsentrasi obat
maksimum dalam plasma setelah pemakaian obat secara oral. Untuk
beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologis suatu
obat dengan konsentrasi obat dalam plasma. Cmaks memberi suatu
petunjuk bahwa obat cukup diabsorbsi secara sistemik untuk memberi suatu
respon terapeutik. Selain itu Cmaks juga dapat memberi petunjuk dari
kemungkinan adanya kadar toksik obat. Satuan Cmaks adalah satuan
konsentrasi (misal: mg/ml, g/ml) walau bahan satuan untuk laju Cmaks
yang digunakan dalam studi bioekivalensi sebagai pengganti ukuran laju
bioavaibilitas obat. (Shargel, dkk. 2012)
- AUC ( Area Under Curve). Area dibawah kurva kadar obat dalam plasma
waktu, AUC adalah suatu ukuran dari jumlah bioavaibilitas suatu obat.
AUC mencerminkan jumlah total obat aktif mencapai sirkulasi sistemik.
AUC adalah area dibawah kurva kadar obat dalam plasma waktu dari t=0
sampai t= ~ dan sama dengan jumlah obat tidak berubah yang mencapai
sirkulasi umum dibagi klirens. (Shargel, dkk. 2012)

[AUC]˜ : S ˜o. cp. Dt


FDB FDo
[AUC]o˜ : =
klirens KVo

AUC dapat ditentukan dengan suatu prosedur integrasi numerika, metode


rumus trapezium suatu AUC adalah konsentrasi waktu ( misal mg jam/ml).
(Shargel, dkk. 2012)

Sulfonamida merupakan kelompok zat antibakteri dengan rumus dasar yang


sama yaitu H2N, C3H4, SO2, NH2 dan R adalah berbagai macam substituent
sulfonamide memiliki kerja bakteriostatik yang luas terhadap banyak bakteri gram
positif. Sulfonamide obat derivate sulfametoksazole dengan absorbsi dan eskresi
yang lebih lambat. Dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi saluran kemih
dan injeksi sistemik. Sulfametoksazol umumnya digunakan dalam bentuk
kombinasi tetap dengan trimethoprim. (Shargel, dkk 2012)

Asam trikoloasetat adalah analog dari asam asetat dengan ketiga atom hydrogen
dari gugus metil digantikan oleh atom-atom klorin. Senyawa ini merupakan asam
yang cukup kuat (pKa = 0,77 lebih kuat dari disosiasi kedua asam sulfat)
penambahan fas A berfungsi untuk memberikan suasana asam bagi reaksi diazobasi
dan sebagai donor protein untuk memberikan reaksi selanjutnya obat akan
menyebabkan denaturasi protein plasma. TCA akan meningkatkan protein
mengendapkannya pada saat disentrifuge sehingga keberadaanya protein tidak
mengganggu pembacaan absorbansi ini. ( Lethe dan Syatridoun, 2006)

NaNO2 berfungsi sebagai reaksi diazotasi, yaitu pembentukan garam


diazorzkin yang sangat rektif, NaNO2 membentuk NaOH dan HNO2 dengan
adanya H2Odalam darah. Laju NO2 akan membentuk ion natrium dengan adanya
bersamaan dari TCA, HNO2 bersifat oksidator, dapat mengoksidasi senyawa
kopling hasil reaksi antara garam diazotum dengan n-1-naftil etilen diamina
sehingga kelebihan HNO2 harus dihilangkan dengan penambahan 0,5ml
ammonium sulfamat 0,5%. (Hanz, 2003)

Ammonium sulfamat 0,5% merupakan suatu reduktor sehingga dapat bereaksi


redoks dengan HNO2 sehingga ketika kelebihan HNO2 harus dihilangkan dengan
menambahkan ammonium sulfamat.

N (Naftil) etilen diamina dihidriklorida adalah membentuk senyawa keeping


yang membentuk warna ungu pada larutan. N (Naftil) etilen diamina dihidriklorida
membentuk senyawa O2O yang berwarna merah muda. Senyawa O2O yang
berbentuk ekivalen dengan banyaknya senyawa diazonium yang ekivalen dengan
banyaknya nitri.

Obat yang cukup larut dalam lemak dapat diabsorbsi secara oral dengan cepat
berdistribusi keseluruhan kompartemen jaringan tubuh. Obat yang terikat pada
protein plasma hanya terdapat pada system vaskuler dan tidak menimbulkan aksi
farmakologis. Jika obat diberikan secara suntikan intravena , maka obat akan
masuk kedalam secara cepat akan terdistribusi ke jaringan. Penurunan konsentarsi
obat dalam plasma dari waktu ke waktu yaitu kecepatan eliminasi obat dapat diukur
dengan mengambil sampel darah secara berulang. Pada awalnya seringkali
konsentrasi menurun dengan cepat, namun kemudian kecepatan menurun
berkurang secara progresif. ( at a glance, 2016:12)

Jalur pemberian obat diberikan secara oral atau parental ( yaitu melalui jalur
non gastrointestinal). Pemberian oral sebagian obat diabsorbsi melalui jalur ini dan
cara ini paling banyak digunakan karena kenyamanannya. Akan tetapi beberapa
obat (misal : benzilpenisilin, insulin) dirusak oleh asam atau enzim dalam usus dan
harus diberikan secara parental suntikan intravena, obat akan langsung masuk ke
sirkulasi tidak melalui jalur absirbsi. Suntikan intramuscular atau subkutan, obat-
obat dalam larutan (aqueous) biasanya cukup cepat diabsorbsi tetapi absorbsi dapat
diperlambat dengan rute yang lazim dan popular dari pendosisan obat. Bentuk
sedian oral harus dirancang dengan menghitung rentang pH yang ekstrem atau ada
tidaknya makanan. Degradasi enzim, perbedaam permeabilitas obat dalam darah
berbeda dalam usus dan motilitas saluran cerna. ( Shargel, dkk. 2012). Larutan obat
intravena (IV) dapat diberikan baik sebagai dosis bolus diinjeksikan atau infus
secara lambat melalui suatu vena ke dalam plasma pada suatu laju yang konstan
atau order nol. (Shargel, dkk. 2012)

Heparin adalah salah satu jenis obat anti koagulan yang mencegah pembekuan
darah dengan jumlah atau jalan menghambat fungsi beberapa factor pembentukan
darah, meningkatkan efek antitrombin III dan menginaktifasi thrombin dan
mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin, heparin, heparin juga menstimulasi
pembebasan lipase protein. Berdasarkan struktur kimia dan betar molekulnya,
heparin dikelompokkan sebagai berikut:
a. Unfractioned heparin (NHF)
b. Low molekul weight (LMWH)
III. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
1. Sprektofotometer
2. Alat Pemusing/Sentrifuge
3. Disposable syringe 1 cc
4. Timbangan untuk binatang percobaan
5. Cage (kotak kelinci)
6. Vortex mixture
7. Alat pencukur
8. Alat gelas
9. Mounth block
10. Feeding Tube

B. Bahan
1. Sulfametoksazol
2. Asam trichloro asetat 15%
3. Natrium nitrit 0,1%
4. Ammonium sulfamat 0,5%
5. N (naftil) etilen diamina dihidroklorida 0,1%

C. Subyek Uji/ Hewan Uji


Hewan coba kelinci

IV. CARA / PROSEDUR KERJA


(dalam bentuk bagan alir dan skema)

1. Pembuatan larutan baku kerja sulfametaksazol


Buatlah larutan baku induk 100 ͫ ᵍ/ml dari 100 mg sulfametaksazol dalam NaoH 0,1 N
dan H2So4 4N (1:5)

Tambahkan air suling ad 100 ml

Buatlah larutan kerja dengan mengencerkan larutan BI 5 ml, lalu tambahkan
aquadest ad tanda 50,0ml dilabu ukur (BK5)

Dipipet dari BK 5 sebanyak 5,0ml; 3,0ml; 2,0ml; 1,0ml, masukkan dalam masing-
masing labu ukur 10,0ml,tambahkan aquadest ad garis tanda beri label (BK 4,BK 3,BK 2,BK
1)
2. Pembuatan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva baku
Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan larutan BK 1 dan BK
5

Reaksikan larutan BK 1 dan BK 5 menggunakan metode azotasi di brattan marshal

Diambil 0,5 ml BK 1 dan Bk 5, tambahkan aquadest 7,5ml di campur homogen,
diamkan 15 menit

Ditambahkan 2 ml TCA 15%, lalu dikocok dan pusingkan

Ditambahkan 0,5ml NaNo2 0,1%,diamkan selama 3 menit

Ditambahkan 0,5ml ammonium sulfamate 0,5% lalu vortex 2 menit ad gelembung
hilang

Ditambahkan 2,5ml N(naftil) etilen diamkan dihidroklorida 0,1%

Amati nilai serapan pada panjang gelombang 520-560nm sebelum 10 menit
penambahan N(naftil) etilen diamine dihidroklorida 0,1%

Buat kurva serapan terhadap panjang gelombang dari larutan BK 1 dan BK 5. Tentukan ʎ
maksimum.

3. Penetapan kembali kadar silfametoksazol yang ditambahkan dalam darah ( Recovery )

Dipipet 0,5ml daerah (blanko) dan 0,5ml larutan BK 1 sampai BK 5



Masing-masing ditambahkan aquadest 7,0ml,diamkan selama 15 menit

Ditambahkan 2ml TCA 15%,lalu di vortex dan disentrifuge

Diambil 5ml supernata tambahkan 0,5ml NaNo2 0,1% diamkan 3 menit

Ditambahkan 0,5ml ammonium sulfamate 0,5% divortex dan reaksikan 2 menit

Setelah bebas dari gelembung,tambhkan 2,5ml N(naftil) etilen diamine dihidroklorida 0,1%

Diamati serapan pada panjang gelombang maksimum & Buat kurva baku dan hitung %
recovery.

4. Pengumpulan sampel darah


Prosedur percobaan sampling
Puasakan kelinci sejak malam hari sebelum percobaan

Ditimbang berat kelinci

Hitung dosis dan volume pemberian obat (sulfametoksazol)

Berikan bahan obat sulfametoksazol sesuai rute pemakaian yang ditentukan

Ambil sampel darah sesuai dengan waktu yang ditentukan
Pemberian obat
A. Per oral
Ditimbang berat badan kelinci

Hitung dosis dan volume pemberian obat, dimana dosis sulfametoksazol per oral untuk
kelinci adalah 50mg/kg BB. ( 1ml suspensi=40mg sulfametoksazol )

Berikan obat secara per oral.

B. Intramuscular
Ditimbang berat badan kelinci

Hitung dosis dan volume pemberian obat, dimana dosis sulfametoksazol intramuscular
untuk kelinci adalah 50mg/kg BB. ( 1ml larutan =250mg sulfametoksazol )

Injeksikan secara intramuscular pada paha atas kelinci.

C. Intravena
Ditimbang berat badan kelinci

Hitung dosis dan volume pemberian obat, dimana dosis sulfametoksazol intavena untuk
kelinci adalah 50mg/kg BB. ( 1 ml larutan= 80 mg sulfametoksazol )

Injeksikan secara intravena pada pembuluh darah vena telinga marginal kelinci.

5. Penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah


Tetapkan kadar sulfametoksazol dalam cuplikan darah dengan reaksi azotasi dari bratta marshal

Amati serapan pada panjang gelombang maksimum

Masukkan data serapan ke persamaan recovery untuk mendapatkan kadar sulfametoksazol dalam
darah dari setiap waktu pengambilan.

Pengambilan sampel darah dengan diposable syringe


Ambil disposable syringe steril dan bilas dengan larutan heparin secukupnya

Hilangkan bulu-bulu pada daerah telingan kelinci sekitar vena marginal dengan menggunakan
scapel (perhatikan ketajaman scapel)

Olesi xylol pada daerah sekitar vena marginal yang sudah dibersihkan dari bulu

Ambil darah kurang dari 1 ml,kocok syringe untuk mencegah koagulasi

Lakukan pengambilan darah sebelum pemberian obat sebagai blanko,ambil sampel
pada waktu:
Iv : 0;5;10;15;20;30;45;60;90 dan 120 menit setelah pemberian obat
Im : 0;10;15;20;30;45;60;90 dan 120 menit setelah pemberian obat
P.O : 0;10;15;20;30;45;60;90 dan 120 menit setelah pemberian obat

Metode azotasi di bratton marshal


0,5ml larutan yang akan dianalisis (larutan baku kerja/cuplikan darah)

Tambahkan 7,5ml air suling,campur ad homogen dan diamkan 15 menit

Tambahkan 2ml TCA 15 % kocok (vortex) dan sentrifuge,sampel trpisah antara endapan
dan supernatanya (sampel surfrtnatan benar-benar jernih)

Ambil 5ml supernatant yang telah jernih,lalu ditambahkan 0,5ml NaNo2 0,1% diamkan
selama 3 menit

Tambahkan 0,5ml ammonium sulfamate 0,5% lalu divortex dan direaksikan 2 menit

Setelah bebas gelembung,tambahkan 2,5ml N(naftil)etilen diamine dihidroklorida
0,1%, amati serapannya pada ʎ maks sebelum 10 menit setelah
penambahan N (naftil) etilen diamine dihidroklorida 0,1%.
Skema Kerja
VI. PEMBAHASAN
Tujuan praktikum ini membandingkan uji bioavaibilitas suatu obat dari rute
pemakaian berbeda menggunakan data darah. Obat yang digunakan yaitu
sulfametoksazol. Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan
kecepatan obat berada dalam sirkulasi sistemik (bioavailabilitas), dapat diperkirakan
tercapai tidaknya efek terapi yang dikehendaki.
Subjek yang digunakan adalah kelinci, supaya ketika subjek diambil darahnya
tidak menyebabkan kematian karena hewan ini memiliki pembuluh darah yang
banyak di telinga. Pemilihan kelinci yang baik untuk subjek dapat dilihat dari telinga
yang tebal dan rupa pembuluh darahnya terlihat jelas berwarna pink. Memiliki siklus
vital yang pendek (gestasi, laktasi, dan pubertas)
Obat yang digunakan adalah Sulfametoksazol yang mana memiliki daya absorpsi
dan ekskresi yang cepat. Tmaxnya (atau waktu untuk mencapai konsentrasi obat
maksimum dalam plasma) terjadi 1 sampai 4 jam setelah pemberian oral. Waktu
paruh eliminasi rata-rata sulfametoksazol adalah 10 jam.
Penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah mengacu pada Metode Bratton-
Marshal. Metode ini merupakan metode yang sederhana yang sudah dianggap
sebagai standar dalam penetapan golongan sulfonamid dalam darah (Benedetti, 1987)
dan telah diuji selektvitas metodanya (Klimowicz, 1988).
Reagen yang digunakan dalam metode di atas di antaranya:
TCA (asam trikloroetanoat) yang berfungsi memberikan suasana asam dan
mengendapkan protein. Penambahan TCA ke protein dalam larutan air mengganggu
molekul air yang terikat hidrogen (bola hidrasi) yang mengelilingi protein. NaNO 2
berfungsi membentuk garam diazonium. Ammonium sulfamat berfungsi
menghilangkan kelebihan HNO2 yang terbentuk selama di-sentrifuge setelah
penambahan TCA. N-(1-Naftil) etilendiamin (NED) berfungsi untuk membentuk
senyawa kopling bersama garam diazonium.
Praktikum ini menggunakan konsep reaksi azotasi yakni reaksi antara amina
primer dan asam nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium. Langkah
awal yang dilakukan yaitu membuat larutan baku induk sulfametoksazol dengan
menimbang 100mg sulfametoksazol dan dilarutkan dengan NaOH 1N beberapa tetes
hingga homogen setelah itu diencerkan setelah itu diencerkan dengan aquadest hingga
100 ml. Penambahan NaOH dilakukan untuk melarutkan sulfametoksazol yang tidak
larut dalam air. Kelarutan sulfametoksazol praktis tidak larut dalam air, mudah larut
dalam asam mineral encer, dalam larutan kalium hidroksida, dalam larutan natrium
hidroksida dan larutan amonium hidroksida, agak sukar larut dalam etanol dan aseton,
sukar larut dalam serum manusia pada suhu 37℃. (Depkes RI, 1995)
Langkah selanjutnya adalah pemrosesan sampel darah yang diambil setiap menit
ke 10,20,30,45,60,90,120 ditambahkan dengan 7,5ml aquadest dan 2 ml TCA 5%.
Penambahan TCA berfungsi untuk memberikan suasana asam bagi reaksi diazotasi;
sebagai donor proton untuk reaksi selanjutnya, serta merupakan senyawa yang dapat
menghentikan kerja enzim yang dapat memetabolisme obat sekaligus akan
menyebabkan denaturasi protein plasma. TCA akan mengikat protein dan
mengendapkannya saat sentrifugasi sehingga keberadaan protein tidak mengganggu
pembacaan absorbansi (Lethe dan Syahruddin, 2006).
Kemudian larutan divortex selama 3 menit untuk mempercepat proses
homogenisasi dan di sentrifugasi selama 10 menit, hal ini dilakukan untuk
menyempurnakan pengendapan. Setelah disentrifus akan didapatkan supernatan
cairan bening. Cairan bening yang diambil harus tanpa endapan. Hal ini bertujuan
untuk mengambil obat yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat pada
protein plasma tidak akan aktif secara farmakologik sehingga tidak memiliki efek
terapeutik atau dengan kata lain akan dapat menyebabkan data hasil pengamatan tidak
valid valid (Anggraeni, 2010)
Supernatan yang didapat sebanyak 5 ml kemudian ditambahkan 0,5 ml NaNO 2
0,1% dan didiamkan selama 3 menit. Penambahan NaNO 2 ini berfungsi sebagai
reaksi diazotasi. Reaksi diazotasi yaitu pembentukan garam diazonium yang sangat
reaktif. NaNO2 akan membentuk NaOH dan HNO2 dengan adanya H2O dalam darah.
Lalu HNO2 terbentuk akan membentuk ionnitronium dengan adanya keasaman dari
TCA. HNO2 bersifat oksidator, dapat mengoksidasi senyawa kopling hasil reaksi
antara garam diazonium dengan N-1-naftil etilen diamin. Sehingga kelebihan HNO 2
harus dihilangkan dengan cara menambahkan 0,5 ml asam sulfat 0,5%. Asam sulfat
merupakan suatu reduktor sehingga dapat bereaksi redoks dengan HNO2 (Hart,
2003).
Setelah itu ditambahkan N-1-naftil etilen diamin 0,1% sebanyak 2,5 ml sehingga
terbentuk senyawa kopling yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi yang lebih
panjang. Lalu ditempatkan ditempat gelap selama 5 menit agar pembentukan warna
lebih sempurna. Adanya cahaya dapat memutus ikatan konjugasinya sehingga
ikatannya menjadi lebih pendek dan tidak dapat dideteksi dengan UV-Vis. Kemudian
akan terbentuk warna ungu yang menandai adanya reaksi kopling.
Pada praktikum ini menggunakan Amonium Sulfamat (NH4S) 0,5% yang
berfungsi untuk mengikat HNO3 agar tidak teroksidator, menghilangkan kelebihan
asam dan membentuk Na2, karena zat yang terkosidasi tidak bisa direaksikan dengan
reagen asli. Dengan adanya N2 akan timbul gelembung gas N2, maka harus
dihilangkan, dan apabila gelembung tidak dihilangkan maka tidak dapat bereaksi
dengan NED.
Penggunaan NED bertujuan saat bereaksi dengan senyawa diazonium membentuk
senyawa azo yang berwarna merah muda. Senyawa azo yang terbentuk ekivalen
dengan banyak senyawa diazonum ekivalen dengan nitrit banya. Sehingga
penambahan NED mempermudah agar dibaca oleh spektrofotometri UV-Vis, karena
NED membuat larutan menjadi ungu kemerahan yang dapat di ukur oleh sinar
tampak. Jika penambahan NED tidak mengubah warna hal tersebut diebabkan
ketidakstabilan reaksi didalam.
Pada praktikum ini menggunakan alat vortex dan sentrifuge. Tujuan di vortex
adalah saat penambahan TCA (untuk menghomogenkan), saat penambahan NH4S
lalu divortex, berfungsi untuk menghilangkan gelembung sehingga saat bertemu
dengan NED akan bereaksi membentuk pewarnaan azo. Penggunaan sentrifuge
adalah untuk memisahkan protein yang telah didenaturasi dengan supernatantnya,
sehingga supernatant dapat diambil tidak bersama dengan protein agar bisa diukur di
spektrofotometri.
Pemberikan obat secara intramuskular pada hewan coba. Pertama ditimbang
terlebih dahulu hewan coba. Hitung dosis dan volume larutan yang akan diberikan
secara peroral. Cairan diambil dengan menggunakan catheter memakai pengunci
mulut. Pasang pengunci mulut pada saat hewan dalam posisi duduk. Pengunci mulut
berupa silinder kayu (p = 12 cm, Ø = 3 cm) dengan sebuah lubang (Ø = 7 mm) tegak
lurus terhadap sumbu panjang. Tekan rahang kelinci dengan ibu jari dan telunjuk
pada saat memasang pengunci mulut. Celupkan catheter ke dalam minyak mineral,
kemudian kenakan sampai ke lubang pada pengunci mulut. Catheter harus
dimasukkan kurang lebih 20 – 25 cm. Untuk membuktikan bahwa catheter sampai di
esophagus dan tidak di trachea, celupkan ujung cathter ke beker yang berisi air.
Adanya gelembung udara menunjukkan bahwa posisi salah. Sediaan obat diberikan
ke hewan pada posisi duduk dengan menggunakan tabung plastik dengan sebuah
batang pengaduk. Tabung tersebut ditekan ke arah pharynx. Pengaduk mendorong
tablet/kapsul ke arah esophagus.

VII. KESIMPULAN

VIII. PERTANYAAN
1. Bagaimana cara pengambilan sampel darah pada kelinci?
2. Jelaskan prinsip dan bagaimanakah reaksi penetapan kadar sulfametoksazol dalam
darah!
3. Mengapa pada percobaan ini dilakukan recovery dan apa tujuannya?
4. Jelaskan secara ringkas pentingnya pKa suatu obat, pH tempat pemakaian dan
koefisien partisi lipid/air untuk absorpsi obat melalui difusi pasif!
5. Alasan apa untuk fakta bahwa beberapa obat tersedia untuk rute pemakaian yang
berbeda?
IX. DAFTAR PUSTAKA
Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi
kedua, Airlangga University Press, Surabaya. 167 – 187.
Hanz, 2003
At a glance, 2006 :12
Lethe dan syatridoun, 2006

Anda mungkin juga menyukai