TUGAS 3
FRAKSINASI EKSTRAK JAMBU BIJI (Psidium guajava L.)
DENGAN KROMATOGRAFI KOLOM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitokimia
KELOMPOK: 4
KELAS: D
Nur As-Syifa Azzahra (201810410311170)
Al Intan Widiyati (201810410311171)
Nadya Shabrina Arsyad (201810410311172)
Rendra Setiawan Djodi (201810410311174)
DOSENPEMBIMBING:
apt. Siti Rofida, M. Farm.
PENDAHULUAN
2
1.2 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jambu biji (Psidium guajava) adalah salah satu tanaman buah jenis perdu,
dalam bahasa Inggris disebut Lambo guava. Tanaman ini berasal dari Brazilia
Amerika Tengah, menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti
Indonesia. Jambu biji sering disebut juga Jambu Klutuk, Jambu Siki, atau Jambu
Batu (Kuntarsih, 2006). Di Indonesia tanaman jambu biji dapat tumbuh baik di
dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pohon jambu biji banyak ditanam orang di
halaman dan di ladang-ladang. Ketinggian tempat yang sesuai untuk tanaman ini
sekitar 1200 meter dari permukaan laut. Pohon jambu biji merupakan tanaman perdu
yang banyak bercabang, tingginya mencapai 12 meter. Buahnya berisi banyak biji
kecil-kecil dan ada juga yang tidak mempunyai biji yang biasa di sebut dengan
jambu sukun. Jambu biji yang banyak di gemari oleh masyarakat adalah yang
mempunyai sifat unggul antara lain berdaging lunak dan tebal, rasanya manis, tidak
mempunyai biji, dan buahnya berukuran besar. Terdapat beberapa jenis jambu biji
yang di unggulkan yaitu Jambu Pasar Minggu, Jambu Bangkok, Jambu Palembang,
Jambu Sukun, Jambu Apel, Jambu Sari, Jambu Merah, dan Jambu Merah Getas
(Wirakusumah, 2002)
Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium Gambar 2.1 Jambu Biji
(Psidium guajava L.)
Spesies : Psidium guajava L.
(Azizah,2008)
3
2.3 Morfologi
Tanaman jambu biji memiliki habitus berupa semak atau perdu, dengan tinggi
pohon dapat mencapai 9 meter). Tanaman jambu biji memiliki batang muda
berbentuk segiempat, sedangkan batang tua berkayu keras berbentuk gilig dengan
warna cokelat. Permukaan batang licin dengan lapisan kulit yang tipis dan mudah
terkelupas. Bila kulitnya dikelupas akan terlihat bagian dalambatang yang berwarna
hijau. Arah tumbuh batang tegak lurus dengan percabangan simpodial.
Berupa helaian daun tunggal, bertangkai pendek, helai daun berbentuk bulat
memanjang, pangkal daun bulat sampai rata, tepi rata, agak menggulung keatas,
ujung runcing sampai meruncing, permukaan atas agak licin, pertulangan daun
menyirip, ibu tulang daun dan tulang cabang menonjol pada permukaan bawah;
permukaan atas berwarna hijau kecokelatan, permukaan bawah berwarna hijau; bau
khas; mula-mula tidak berasa, lama-lama kelat dan pahit (Farmakope Herbal
Indonesia, Edisi II. 2017)
Daun pada tanaman jambu biji memiliki struktur daun tunggal dan
mengeluarkan aroma yang khas jika diremas. Kedudukan daunnya bersilangan
dengan letak daun berhadapan dan pertulangan daun menyirip. Terdapat beberapa
bentuk daun pada tanaman jambu biji, yaitu: bentuk daun lonjong, jorong, dan
bundar telur terbalik. Bentuk daun yang paling dominan adalah bentuk daun lonjong.
Perbedaan pada bentuk daun dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan (Tsukaya 2005).
Bunga jambu biji memiliki tipe benang sari polyandrous yang artinya benang
sari saling bebas tidak berlekatan. Benang sari berwarna putih dengan kepala sari
yang berwarna krem. Putik berwarna putih kehijauan dengan bentuk kepala putik
yang bercuping (lobed). Benang sari memiliki panjang antara 0,5–1,2 cm, sedangkan
jumlah benang sari antara 180–600. Tipe perlekatan kepala sari terhadap tangkai sari
bersifat basifix yang artinya perlekatan terdapat di bagian pangkal kepala sari.
Kedudukan bakal buah pada jambu biji adalah inferior (tenggelam) dengan tipe
plasentasi bakal buah axile. Ada keterkaitan antara diameter bunga dengan jumlah
benang sari. Semakin besar diameter bunga, maka semakin banyak jumlah benang
sarinya. (Tsukaya 2005)
Buah jambu biji memiliki tipe buah tunggal dan termasuk buah berry (buni),
yaitu buah yang daging buahnya dapat dimakan. Buah jambu biji memiliki kulit buah
yang tipis dan permukaannya halus sampai kasar. Bentuk buah pada Varietas Sukun
Merah, Kristal dan Australia adalah bulat. Bentuk buah dapat digunakan sebagai
pembeda antar varietas. Menurut Cahyono (2010), buah jambu biji memiliki variasi
baik dalam bentuk buah, ukuran buah, warna daging buah maupun rasanya,
bergantung pada varietasnya. Buah jambu biji memiliki warna daging buah yang
bervariasi. (Cahyono 2010)
4
2.4 Kandungan kimia
Kandungan kimia pada daun jambu biji (Psidium guajava L.) menurut Taiz dan
Zeiger (2002) yaitu terpen, fenolik, dan senyawa mengandung nitrogen terutama
alkaloid. Kandungan kimia tersebut merupakan bagian dari sistem pertahanan diri
yang berperan sebagai pelindung dari serangan infeksi mikroba patogen dan
mencegah pemakanan oleh herbivora. Analisis fitokimia oleh Arya et al.(2012),
ekstrak daun jambu biji putih mengandung senyawa saponin, tanin, steroid,
flavonoid, alkaloid dan triterpenoid. Beberapa senyawa tersebut mempunyai aktivitas
antioksidan salah satunya adalah senyawa golongan flavonoid, karena
kemampuannya yang dapat mereduksi radikal bebas.
2.6 Fraksinasi
5
pembentukan kolom di mana fase gerak dibiarkan untuk mengalir (kromatografi
kolom) atau berupa pembentukan lapis tipis dimana fase gerak dibiarkan untuk naik
berdasarkan kapilaritas (kromatografi lapis tipis). Senyawa yang berinteraksi lemah
dengan fase diam akan bergerak lebih cepat melalui sistem kromatografi. Senyawa
dengan interaksi yang kuat dengan fase diam akan bergerak sangat lambat (Christian,
1994; Skoog, 1998).
2.8 Kromatografi Lapis Tipis
Pada metode pemisahan ada beberapa teknik yang bisa digunakan, yaitu ekstraksi,
destilasi, kristalisasi, dan kromatografi. Teknik kromatografi merupakan teknik
pemisahan campuran berdasarkan perbedaan distribusi dari komponen campuran dua
fase, yaitu fase diam dan fase cair. Dua fase ini menyebabkan terjadinya perbedaan
migrasi dari masing-masing komponen. Perbedaan tingkat afinititas inilah yang
menyebabkan adanya perbedaan migrasi. Afinitas ini ditentukan berdasarkan sifat
fisika kimia masing-masing senyawa (Wulandari, 2011).
6
Pada KLT, hasil akhirnya adalah berupa nilai Rf. Nilai Rf merupakan faktor retardasi
(Retardation faktor=Rf) sebagai parameter yang digunakan untuk menggambarkan
migrasi senyawa dalam KLT. Nilai Rfpada fase diam setelah dieluasikan. Penentuan
nilai Rf adalah dengan cara membandingkan jarak migrasi noda analit dengan jarak
migrasi fase gerak/eluen. Nilai Rf dapat dig-hitung dengan rumus sebagai berikut:
Jarak migrasi analit
Rf =
jarak migrasi eluen
Nilai Rf berkisar antara 0 dan 1. Nilai Rf yang baik berkisar antara 0,2-0,8 untuk
deteksi menggunakan sinar UV dan 0,2-0,9 dengan deteksi visible dan 20-80 untuk
Rf relatif pada deteksi UV. Jika nilai Rf kurang dari 0,2 maka belum terjadi
kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak, jika Rf diatas 0,8 noda analit
diganggu oleh pengotor pada lempeng fase diam. Pada deteksi visible nilai Rf dapat
lebih tinggi dari deteksi Uv, hal ini disebabkan karena tidak adanya reaski antara
pengotor fase diam dengan penampak noda sehingga noda yang berada pada nilai Rf
0,2-0,9 masih dapat diamati (Wulandari, 2011).
Menurut Sastrohamidjojo (1991) ada beberapa factor yang mempengaruhi nilai Rf
yaitu
1. Struktur kimia
2. Polaritas fase diam
3. Tebal dan kerataan permukaan dari fase diam
4. Polaritas fase gerak
5. Kejenuhan bejana KLT
6. Suhu
7. Kesetimbangan
8. Dan jumlah cuplikan yang digunakan
7
BAB III
PROSEDUR KERJA
Dilakukan optimasi eluen dengan cara uji KLT terhadap ekstrak dengan mengganti-
ganti eluen untuk mendapatkan pemisahan yang baik. Eluen tersebut akan digunakan
untuk fraksinasi.
diaduk mengguna
kan gelas pengaduk
Timbang ekstrak Tambahkan Campur dengan ad homogen dan
1% dari jumlah sedikit pelarut silica gel sama kering
silica gel yang (etanol/methan banyak
digunakan ol) ad larut
8
Bila pada uji KLT Bila pada uji KLT menghasilkan noda yang
menghasilkan noda yang berbeda, maka dilakukan uji KLT pada vial
sama, maka fraksinasinya diantaranya (bila vial no 10 dan 20 beda,
dapat digabung maka dilakukan uji KLT pada vial no 15)
9
3.2 Deskripsi Prosedur Kerja
1. Dilakukan optimasi eluen dengan cara uji KLT terhadap ekstrak dengan
mengganti-ganti eluen untuk mendapatkan pemisahan yang baik. Eluen tersebut
akan digunakan untuk fraksinasi
2. Disiapkan silica gel 50-70 gram (sesuai dengan diameter yang akan digunakan)
3. Disiapkan sebanyak 300 eluen yang terpilih dari poin (1)
4. Dimasukkam silica gel ke dalam labu Erlenmeyer, kemudian ditambahkan seikit
eluen, kocok selama 15 menit
5. Masukkan campuran pada poin (4) ke dalam kolom sampai tingginya 10 cm dari
atas
6. Tuangkan eluen sampai penuh kedalam kolom, tutup dengan aluminium foil
biarkan semalaman
7. Ditimbang ekstrak sebanyak 1% dari jumlah silica gel yang digunakan,
kemudian tambahkan pelarut (etanol/methanol) ad larut kemudian dicampur
dengan silica gel sama banyak, diaduk mengguankan gelas pengaduk ad
homogen dan kering
8. Dialirkan eluen hingga permukaannya 0,5 cm diatas permukaan silica gel
9. DImasukkan ke dalam kolom (diatas permukaan silica gel) ektrak yang sudah
dikeringkan dengan silica gel, lalu ditambahkan eluen kira-kira setinggi 3 cm.
Eluen dialirkan/diteteskan sambal dituangi eluen baru sampai kolom terisi penuh
dengan eluen, sementara penetesan tetap dilakukan. Atur kecepatan
penetesannya.
10. Eluen ditampung dalam vial sebanyak 5 ml
11. Dilakukan uji KLT setiap kelipatan 10 vial (vial no. 1, 10, 20, 30, dst). Fase
gerak pada uji KLT yang digunakan sama dengan fase gerak pada kromatografi
kolom
12. Bila pada uji KLT menghasilkan noda yang sama, maka fraksinasinya dapat
digabung
13. Bila pada uji KLT menghasilkan noda yang berbeda, maka dilakukan uji KLT
pada vial diantaranya (bila vial no 10 dan 20 beda, maka vial dilakukan uji KLT
pada vial no 15)
10
14. Penetesan dihentikan jika pada vial terakhir sudah tidak memberi noda pada
analisis KLT
15. Hasil penggabungan berdasarkan kemiripan profil kromatogram dianalisis
dengan teknik KLT dan dihitung nilai Rf pada masing-masing noda
16. Lakukan uji KLT dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm, 365 nm,
dan secara visual
17. Plat KLT (no. 15) di derivatisasi dengan pereaksi dragendroff, uap amonua,
anisaldehid-asam sulfat, FeCl₃, dan KOH 10%.
11
BAB IV
HASIL
2. Identifikasi fraksinasi 1
Dengan vial no. 1, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80 pada UV 254nm
3. Identifikasi fraksinasi 2
12
pengamatan secara
visual
Pengamatan pada
sinar UV 254
Pengamatan pada
sinar UV 365
4. Identifikasi fraksinasi 3
13
pengamatan secara
visual
Pengamatan pada
sinar UV 254
Pengamatan pada
sinar UV 365
5. Identifikasi fraksinasi 4
14
Pengamatan pada
sinar UV 254
Pengamatan pada
sinar UV 365
6. Identifikasi fraksinasi 5
pengamatan secara
visual
Pengamatan pada
sinar UV 254
15
Pengamatan pada
sinar UV 365
16
10. Pengamatan setelah diberi penampak noda KOH 10%
17
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini ditujukan untuk melakukan fraksinasi ekstrak daun
jambu biji dengan menggunakan kromatografi kolom. Dipilih bagian daun sebagai
ekstrak dikarenakan daunnya diketahui mengandung senyawa tanin 9-12%, minyak
atsiri, minyak lemak dan asam malat (Depkes, 1989). Sebelum melakukan fraksinasi,
ada bebrapa hal yang harus dilakukan yakni preparasi sampel dan pemilihan eluen.
Selama preparasi, sampel ditambahkan metanol dan HCL 57%. Metanol digunakan
sebagai pelarut pengekstrasi sedangkan penambahan HCL digunakan dalam proses
hidrolisis, yakni untuk memotong ikatan glikosida pada ekstrak daun jambu biji
sehingga akan didapat quersetin yang terkandung di dalamnya. Dimana quersetin
merupakan senyawa golongan flavonoid jenis flavonol dan flavon.Menurut Seshadri
dan Vasishta dalam Depkes (1989) telah diteliti bahwa ekstrak etanol dari daun
jambu biji mengandung quersetin, 3-arabinosapiranosida, guayaverin dan leukosin
dengan kadar quersetin sampai 0,02% yang berkhasiat mengobati kerapuhan
pembuluh kapiler pada manusia.
Selain memilih fase diam, pemilihan eluen juga merupakan faktor yang
berpengaruh besar. Eluen dipilih apabila ekstrak yang ditotolkan menghasilkan noda
yang terpisah dengan baik dan memiliki nilai Rf yang sama dengan noda standar.
Selain itu, dalam pengujian menggunakan KLT sebaiknya menggunakan eluen yang
selalu baru sehingga nilai Rf senyawa terpisah akan selalu tetap.
18
dilakukan pada percobaan kali ini adalah cara basah. Dalam menuang eluen tidak
boleh ada gelembung di dalam kolom agar kolom tidak pecah. Selain itu bagian
bawah yang telah disumbat juga tidak boleh bocor agar silika tidak jatuh. Pengaliran
eluen pertama kali dapat dibuang karena eluen tersebut belum membawa zat aktif
ekstrak. Untuk selanjutnya diatur penetesannya, yakni satu tetes/detik.
Selanjutnya adalah melakukan fraksinasi dengan cara fase diam yang telah
dibuat di diamkan selama 24 jam. Kemudian preparasi sampel, disiapkan ekstrak 1%
dari total silika gel yang digunakan pada fase diam. Ekstrak tersebut dilarutkan
dengan emberoan etanol. Setelah dirasa cukup larut ditambahkan silika gel 1% sama
banyak dengan ekstrak. Silika gel dicampur sampai terbasahi oleh ekstrak dengan
tidak ada yang berwarna putih. Campuran sampel dengan silika gel kemudian
dimasukkan kedalam kolom secara perlahan melewati dinding tabung.penambahan
campuran tersebut digarapkan sama tinggi dengan fase diam dan rata. Setelah itu,
ditambahkan eluen dengan ujung kolom dibuka secara perlahan.Tetesan yang keluar
dipastikan 1-2 tetes per detik agar senyawa dapat memisah dengan baik. Jika terlalu
cepat maka akan menyebabkan senyawa tidak akan tercampur pada golongannya
sedangkan jika terlalu lambat akan memakan waktu yang cukup lama. Setelah itu
disiapkan vial 80 buah. Lalu vial di kalibrasi 5 ml setelah itu ditutup dengan
aluminium foil dan diberi lubang atasnya fungsinya untuk pemekatan sampel.
Setelah memenuhi 80 vial disiapkan semua bahan dan alat untuk melakukan
fraksinasi pada setiap sampel vial. Lalu disiapkan vial 1, 10 dan kelipatan sepuluh
sampai vial 80. Jika pada sampel terlihat kering maka dapat dilarutkan dengan
pelarut yang sesuai. Kemudian sampel ditotolkan pada plat dengan noda yang hitam,
kecil, pekat, dan bulat. Jika sudah ditotolkan maka dilakukan eluasi pada plat. Plat
dilihat dibawah sinar UV 254 dan 365. Noda yang dihasilkan pada plat tersebut jika
dihasilkan noda yang sama maka akan digolongkan dalam fraksi awal. Setelah itu
bagi fraksi yang digolongkan sama maka dicampur menjadi satu vial. Diamati fraksi
yang berada di antara fraksi penggolongan. Dilakukan hal yang sama seperti cara
pengggolongan fraksi yaitu penotolan pada plat, kemudian dieluasi dan diamati
secara visual, UV 254 dan UV 365. Penggolongan fraksi harus dilakukan dengan
melewati tiga tahap tersebut. Tahap penggolongan dilakukan sampai semua vial
diamati mendapatkan penggolongan akhir dan pada fraksinasi ini didapatkan 9
penggolongan.
19
warna merah adalah kesembilan fraksinasi yang menandakan bahwa semua fraksi
terdapat senyawa terpenoid steroid. Dalam pengamatan senyawa terpenoid steroid
didapatkan Rf untuk F1 adalah 0,81, 0,85, 0,89. Untuk Rf F2 adalah 0,01, 0,71, 0,81,
0,89. Untuk Rf F3 adalah 0,59, 0,61, 0,89. Untuk Rf F4 adalah 0,5, 0,61, 0,89. Untuk
Rf F5 sama dengan Rf F4. Untuk Rf F6 adalah 0,47, 0,5, 0,89. Untuk Rf F7 dan F8
adalah 0,42, 0,89. Dan untuk Rf F9 adalah 0,27, 0,89.
Pada plat yang ketiga akan diamati secara visual setelah eluasi. Penampakkan
visual sebagai tanda positif flavonoid adalah dengan terbentuknya warna kuning.
Karena struktur inti antara flavonoid, polifenol tannin sedikit sama yaitu banyak
tersusun benzene dengan paling sedikit tiga cincin maka, untuk pengamatan tannin
polifenol diberikan penampak noda FeCl₃ dengan warna positif yang diberikan
adalah warna hitam. Terdapat perubahan warna yaitu kehitaman pada beberapa fraksi
yaitu fraksi 1 dengan Rf 0,91, fraksi 6 dengan Rf 0,46, 0,39, fraksi 7 dengan Rf 0,19,
0,37, dan pada fraksi 8 dengan Rf 0,44.
Pada plat keempat diberikan penampak noda KOH 10% dalam etanol untuk
mengidentifikasi senyawa antrakinon untuk kemudian plat dilihat dengan cara visual.
Warna positif yang muncul pada praktikum ini adalah kuning. . Fraksi yang
mengalami perubahan warna adalah F1 dengan Rf 0,86, 0,90, F6 dengan Rf 0,39,
0,51, 0,57, F7 dengan Rf 0,39, 0,44, dan F8 dengan Rf 0,41 dan 0,46.
20
BAB VI
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, Netty Nur, 2008, ‘21. Isolasi dan Identifikasi Jamur Endofit dari Daun
Jambu Biji (Psidium guajava L.) Penghasil Antibakteri Terhadap Bakteri
Escherichia Coli dan Staphylococcus Aureus', Skripsi, pp. 1–98.
Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Tanaman Buah-Buahan di Indonesia Tahun
2015. D
Cahyono, B. 2010. Mengenal Guava. Edisi Pertama. Yogyakarta: Lily Publisher
Christian, Gary D. 1994. Analytical Chemistry. Fifth Edition. University of
Washington. John Wiley & Sons, USA.
Hawkins, D. W & D. W. Rahn. (1997). Pharmacoteraphy A Phatophysiologic
Approach, 3 th Ed. Stampfor: Appleton and Lange.
Nakasone HY, Paull RE. 1998. Tropical Fruits. Wallingford (GB): CAB
International.
Kuntarsih. 2006. Jambu Biji (Psidium guajava). Surabaya: Trubus Agrisarana.
Tsukaya, H. 2005. Leaf Shape: Genetic Controls And Environmental Factors. Int J
Dev Biol. 49 (1). 547-555
Sudarsono, Gunawan, D., Wahyuono, S., dan Donatus, I.A. , 2002, Tumbuhan Obat
II : Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan, Pusat Studi Obat
Tradisional UGM, Yogyakarta, 156-161.
Widjaja, E., A., Rahayuningsih, Y., Rahajoe, J., S., Ubaidillah, R., Maryanto,
I.,Walujo, E., B & Semiadi, G. (2014). Kekinian Keanekaragaman Hayati
Indonesia. (Edisi I). Jakarta: LIPI Press.
Wirakusumah, Ema, S. 2002. Buah dan Sayur untuk Terapi. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Wulandari, Lstyo. 2011.Kromatografi Lapis Tipis. Jember: PT Taman Kampus
Presindo
22