Anda di halaman 1dari 5

VII.

Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan farmakokinetika sediaan oral.
Tujuan penentuan farmakokinetika sediaan oral yaitu untuk memahami prinsip
dan cara menentukan profil farmakokinetika sediaan oral pada tikus. Sediaan oral
merupakan rute yang paling banyak digunakan karena memberikan kemudahan
dalam penggunaanya. Sediaan oral yang diberikan pada tikus adalah sediaan
eliksir paracetamol, eliksir paracetamol 120mg/5ml yang diberikan mengalami
proses farmakokinetika yaitu difusi, partisi, absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
eliminasi.
Alasan digunakan parasetamol dalam bentuk eliksir karena tidak
mengalami proses disolusi terlebih dahulu sehingga langsung terjadi proses difusi
sedangkan jika dalam bentuk suspensi harus melewati proses disolusi terlebih
dahulu sehingga tidak digunakan. Selanjutnya proses distribusi, pada tahap
distribusi zat aktif parasetamol akan disebarkan ke seluruh bagian tubuh dan
kemudian disalurkan ke tempat kerjanya. Setelah itu proses metabolisme. Proses
metabolisme biasanya terjadi di hati sehingga obat menjadi aktif dan dapat
dieksresikan melalui saluran ekskresi. Kemudian terjadi proses eksresi dimana
obat dikeluarkan. Ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan
konsentrasi parasetamol yang berkhasiat dalam tubuh.
Pada pembuatan kurva baku parasetamol diawali dengan pembuatan
larutan induk parasetamol dengan melarutkan 10 mg dari setiap bahan dalam 10
mL NaOH 0,1 N 10%. Tujuan penambahan NaOH yaitu karena parasetamol
bersifat asam dan NaOH bersifat basa dapat membentuk garam sehingga terjadi
reaksi netralisasi, dimana garam larut dalam air. Setelah itu, dibuat serangkaian
larutan parasetamol dengan konsentrasi 3, 5, 7, 9, dan 11 µg/ mL. Setelah itu,
diukur absorbansi masing-masing konsentrasi. Absorbansi yang baik berada
antara 0,2-0,8 dan panjang gelombang maksimum parasetamol adalah 258 nm.
Dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena pada panjang gelombang
maksimum memiliki sensitivitas tinggi dan absorbansi yang dihasilkan tertinggi.
Kemudian dilakukan pemberian obat pada tikus, sebelum diberikan
sediaan oral eliksir parasetamol tikus terlebih dahulu dipuasakan kurang lebih 5
jam sebelum pemberian obat, agar pengaruh makanan terhadap proses
farmakokinetiknya dapat dihindari. Kemudian tikus ditimbang bobot badannya.
Bobot tikus yang diperoleh adalah 245 gram. Kemudian, dilakukan perhitungan
kesetaraan dosis untuk tikus dan volume pemberian berdasarkan bobot badan
tikus. Setelah dikonversi dosis diperoleh dosis parasetamol adalah 11,025 mg dan
volume pemberian sediaan eliksir paracetamol 0,459 mL.
Pengambilan darah pada tikus dilakukan pada bagian ekor tikus sebanyak
1 mL pada 15; 60; 90; 120 menit setelah pemberian obat. Tujuan pengambilan
darah melalui ekor karena pada ekor terdapat pembuluh darah vena (Alexander,
2008). Kemudian, sampel darah disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama
15 menit pada suhu 4oC. Tujuan pemisahan dilakukan pada suhu 4oC adalah
untuk memnggumpalkan terlebih dahulu sampel darah, disentrifugasi adalah
untuk mendapatkan supernatan sehinngga didapatkan serum yang tanpa
mengandung factor pembeku darah. Selanjutnya, dipipet dan diencerkan dengan
campuran metanol dan asam asetat 1 % yang bertujuan untuk melepaskan ikatan
obat dengan protein sehingga obat tidak berikatan dengan protein plasma supaya
hasil yang diperoleh parasetamol. Kemudian, disentrifugasi kembali dan
ditambahkan NaOH yang berfungsi sebagai pelarut.
Selanjutnya, kadar parasetamol dianalisis menggunakan spektrofotometri
ultra violet. Parasetamol dianalisis kadarnya dengan spektrofotometer karena
secara struktur diketahui bahwa parasetamol mempunyai gugus kromofor dan
gugus aromatik sehingga memenuhi syarat senyawa yang dapat dianalisis
menggunakan spektrofotometri. Pengukuran pertama dilakukan terhadap blanko,
blanko dibuat supaya absorbansi dari yang terbaca hanya sampel dan absorbansi
pelarut tidak terbaca.
Pada saat absorbsi obat tidak sepenuhnya sampai di saluran sistemik.
Parameter yang digunakan untuk menunjukkan fraksi obat yang sampai di saluran
sistemik yaitu bioavaibilitas (F). Selain itu ada pula Ka atau tetapan laju absorbsi
obat di saluran gastrointestinal (saluran cerna) (Shargel, 2012). Nilai konstanta
absorbsi adalah 0,0508 sedangkan untuk eliminasi faktor yang berpengaruh adalah
tetapan laju eliminasi (K), pada data yang didapat nilai konstanta eliminasinya
adalah 0,00523. Metode yang digunakan adalah metode residual. Metode residual
menganggap Ka > K, harga eksponensial kedua akan menjadi kecil yang tidak
bermakna terhadap waktu, oleh karena itu dapat dihilangkan. Pada keadaan
tersebut, laju absorbsi obat cepat dan absorbsi obat dianggap sempurna (Shargel,
2012).
Pada individu tertentu proses absorbsi obat setelah dosis oral tunggal tidak
terjadi dengan segera, sehubungan dengan faktor-faktor fisiologik seperti waktu
pengosongan lambung dan pergerakan usus. Penundaan waktu absorbsi sebelum
permulaan absorbsi obat orde 1 terjadi terkenal sebagai lag time. Lag time suatu
obat ini dapat diamati jika dua garis residual yang diperoleh dengan cara residual
kurva kadar plasma absorbsi obat waktu berpotongan pada suatu titik setlah t=0
pad sumbu x. Waktu pada titik perpotongan pada sumbu x merupakan lag time.
Lag time t=0 menyatakan permulaan absorbsi obat yang menyatakan waktu yang
diperlukan obat untuk mencapai konsentrasi efektif minimum (Shargel, 2012).
Parameter farmakokinetika lainnya adalah t1/2, tmax, Cpmax. t1/2 eliminasi
adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang
menjadi separuhnya. Nilai t1/2 eliminasi yang didapat adalah 132,5048 menit
sedangkan t1/2 absorbsi adalah waktu yang diperlukan obat diabsorbsi separuhnya,
nilai t1/2 absorbsi adalah 13,6417 menit. Nilai tmax adalah nilai yang menunjukkan
waktu kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak, nilai tmax yang
didapat adalah 49,8575 menit. Cp max adalah kadar tertinggi yang terukur dalam
plasma setelah pemberian obat secara oral, cp max yang didapat adalah 5,523
ppm. Sedangkan volume distribusinya adalah volume dimana obat tersebut
terlarut dalam tubuh, volume distribusi juga dapat menggambarkan luasnya obat
terdistribusi dalam tubuh, volume distribusi dari hasil perhitungan adalah 3,903
mL.
Dari hasil pengamatan, grafik menunjukkan bahwa sediaan eliksir
parasetamol yang diberikan secara oral mengikuti orde 1 karena grafik
menunjukkan bahwa adanya proses absorbsi dan eliminasi. Dimana pada t=0 obat
mulai sedikit demi sedikit meningkat kadar obat dalam plasmanya yaitu fase
absorbsi, sehingga mencapai Cmax lalu semakin lamanya waktu kadar obat dalam
plasma menurun sedikit demi sedikit yaitu fase eliminasi.

VIII. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan kali ini, dapat disimpulkan bahwa, prinsip
farmakokinetika oral berdasarkan parameter farmakokinetik tetapan eliminasi (k),
waktu paruh (t1/2), volume distribusi (Vd), tetapan laju absorpsi (ka), Cpmax,
tmax, onset, durasi, dan area kurva AUC dengan menggunakan obat parasetamol
secara oral pada hewan tikus.
Menentukan profil farmakokinetika sediaan oral pada tikus yaitu dengan
cara diberikannya obat secara oral pada tikus kemudian dihitung kadar obatnya
dalam darah tikus pada waktu tertentu sehingga didapatkan nilai parameter-
parameter farmakokinetiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, D. J. dan Jones, R.C. (2008). Paramyxoviridae. Dalam: Jordan, F (ed).


Poultry Disease. Edisi ke-8. Jordan, F. (Ed). Saunders Elsevier,
Philadelphia.
Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope
Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Shargel, Leon. Andrew BC dan Yu. (2012). “Biofarmaseutika dan Farmakokinetik
Terapan (edisi kelima)”. Airlangga University Press: Surabaya

Anda mungkin juga menyukai