Anda di halaman 1dari 48

DIFTERI

GRUP TUTORIAL A-12


TM1 – PEMICU 1
JADWAL
IMUNISASI
R I F D A H AY U N I T R I N A N D A N A S U T I O N
170100241
IMUNISASI
Upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
DEFINISI penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau
hanya mengalami sakit ringan
IMUNISASI
Upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
DEFINISI penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau
hanya mengalami sakit ringan

Mencegah Penyakit yang Dapat Dicegah dengan


TUJUAN Imunisasi (PD3I)
IMUNISASI
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 12 Tahun 2017 Tentang
PENYELENGGARAAN IMUNISASI

PROGRA
PILIHAN
M
JENIS RUTIN Dapat diberikan kepadaa anak sesuai dengan
kebutuhannya u/ melindungi diri dari
penyakit menular tertentu

TAMBAHA
N

KHUSUS
• Untuk melengkapi imunisasi
dasar bayi, mempertahankan
tingkat kekebalan, atau
memperpanjang masa
UMUR JENIS perlindungan
• Diberikan kepada : BATITA,
0 Bulan Hepatitis B0 WUS, BIAS
1 Bulan BCG, Polio 1
BIAS BATITA
2 Bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
UMUR JENIS
IMUNISASI
3 Bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
18 Bulan DPT-HB-Hib
4 Bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
24 Bulan Campak
9 Bulan Campak
JADWAL
IMUNISAS
I
VAKSIN DTP
• Vaksin DTP pertama kali (yang ke-1) diberikan paling cepat  usia 6 minggu
• Interval DPT 1, 2, & 3  min. 4 minggu, optimal 8 minggu
• Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa, atau kombinasi dengan vaksin lain
• Bila dikasihnya DTPa  interval ikuti rekomendasi vaksin DTPa yaitu usia 2, 4,
dan 6 bulan
• Bila usia > 7 tahun  vaksin Td atau Tdap
• DTP booster diberikan pada usia 18 bulan – 24 bulan (DTP ke-4) & usia 5 tahun
(DTP ke-5)
• Umur 10-12 tahun  dikasih booster lagi (tapi berupa vaksin Td/Tdap, yang
perlu booster tiap 10 tahun)
JADWAL IMUNISASI YANG
TERLAMBAT/TIDAK TERATUR
 Segera lanjutkan imunisasi yang tertunda sesuai jadwal
 Bila status imunisasi diragukan  anggap belum pernah  diberikan
vaksin
 Interval vaksin tetap/tidak berubah
 Jika >1 vaksin  dapat beberapa vaksin sekaligus atau vaksin kombo
JADWAL IMUNISASI YANG
TERLAMBAT/TIDAK TERATUR
BILA BELUM PERNAH MENDAPAT IMUNISASI

 Imunisasi harus diberikan kapan saja pada umur berapa saja


 u/ vaksin yg diberikan beberapa kali (DPT, Polio, Hep. B)  jumlah pemberian
harus sama dengan jumlah yang seharusnya diberikan
 Tapi tetapi perhatikan beberapa vaksin yang penggunaannya dibatasi oleh umur
DEFINISI, ETIOLOGI,
& FAKTOR RESIKO
DIFTERI

W I L S O N L E O W I J AYA
170100101
EPIDEMIOLOGI

• Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217
kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR).
Jumlah kasus Difteri di Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus
SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR).
• Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun
2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota
yang terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/
Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100
Kabupaten/ Kota.
 DEFINISI DAN ETIOLOGI

• Difteria merupakan infeksi bakteri yang menyerang


mukosa saluran pernafasan atas (hidung dan
tenggorokan) dan kulit.
• Yang penyebaran melalui : droplet yang terinhalasi
melalui udara ataupun terkontaminasi benda-benda
penderita yang telah terinfeksi.
“Corynebacterium diphtheria”
Memproduksi toksin sehingga dapat
mengakibatkan kesulitan untuk
bernafas, gangguan fungsi jantung,
paralisis hingga berujung pada
kematian.
 MORFOLOGI

Corynebacterium diphtheriae :
• Batang(bacillus) tipis, gram (+)
• Peptidoglikan tebal berwarna ungu pada
pewarnaan gram
• Non motile
• Non capsulated
• Salah satu ujung batang yang melebar, “club-
shaped appearance”.
• Pada Albert’s Stain, C.diphtheria cenderung
terlihat paralel (palisade-like), atau berbentuk
huruf V dan L. Menyerupai aksara cina.
• Terdapat granul metakromatik ”beaded
appearance”.
 MORFOLOGI
Properties Gravis Intermedius Mitis
– Short Rods – Long-barred
– Long Rods
– Uniform forms,
– curved
Staining clubbed end
  shaped
– Few or no – Poor
Morphology – pleomorphic
granules Granulation
– Prominent
– May be – Very
granules
pleomorphic pleomorphic
≥ 2mm, dull ≥ 2mm, gray,
greyish black, < 0.5 mm, opaque glossy,
opaque gray colony, smooth
Colony on
colonies, dark center surface,
Tellurite
daisy head, shining poached egg
Blood Agar
brittle, like surface, frog’s colonies, soft
cold egg colonies buttery, easily
margarine. emulsifiable
Fatality Rate High High Low
Berkembang di media yang kaya akan nutrisi
“Cystein-Tellurite blood Agar”
 FAKTOR RESIKO

Berbagai faktor risiko difteri, antara lain:


• Anak-anak di bawah usia 5 tahun dan orang tua di atas usia 60 tahun
• Belum mendapatkan vaksinasi difteri
• Berkunjung ke daerah dengan cakupan imunisasi difteri yang rendah;
• Sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV/AIDS
• Gaya hidup yang tidak sehat; dan
• Lingkungan dengan kebersihan dan sanitasi yang buruk.
PATOFISIOLOGI
DIFTERI
S I T I S H E A G U S TA R I
170100121
PATOFISIOLOGI
DIFTERI
A R I Q AT H A L L A H R I D WA N 1 7 0 1 0 0 1 9 1
S I T I S H E A G U S TA R I 1 7 0 1 0 0 1 2 1
PATOFISIOLOGI DIFTERI
• C. diphteriae  eksotoksin  inflamasi lokal (edema, hiperemia, kongesti vaskular) & inhibisi sintesis
protein (EF-2)  kematian sel  kerusakan jaringan & nekrosis  patchy exudate (fibrin, sel darah
putih)

• Toksin meningkat  daerah nekrosis makin luas dan dalam  eksudat fibrosa (membran
palsu/pseudomembran) yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel eritrosit

• Pseudomembran dapat berubah menjadi abu-abu/hitam tergantung kepada tingkat keparahan


nekrosisnya.

• Pseudomembran dapat menyebar ke bronkial menyebabkan obstruksi saluran pernafasan & dispnea

• Edema sekitar faring dan jaringan lunak  bull-neck


PATOFISIOLOGI DIFTERI
Toxin difteri terabsorpsi ke mucous membran

Destruksi epitel & memicu respon Menyebar ke kelenjar getah bening


inflamasi superfisial di sekitar leher

Epitel nekrosis meluas disertai Limfadenitis servikalis + edema


fibrin, leukosit, eritrosit jar. lunak yg luas

Pseudomembran Bull Neck

Distorsi jalan
napas
Sesak napas
PATOGENESIS
DIFTERI
Toksigenitas

Toksin Difteri
Patogenesis Corynebacterium diphteriae
C. Difteri masuk Inkubasi (2-4
Toksin
ke hidung/mulut hari)

Menghambat
sintesis protein sel Diserap membran
endositosis
dan terjadi sel
sitolisis

Nekrosis di
Respon inflamasi Eksudat
tempat kolonisasi
lokal pseudomembran
bakteri

Toksin dari
Abu2 gelap
pseudomembran Terbentuk
merupakan area
dialirkan ke komponen fibrin
nekrosis
seluruh tubuh
KLASIFIKASI
DIFTERI
J I L A N FA C H I R A H
170100033
Non
Berdasarkan Tingkat Keganasan (toksigenitas) Toksigenik
Toksigenik

Berdasarkan Tingkat Keparahan Early Severe Late

Berdasarkan Kriteria Diagnosis Suspected Probable Confirmed Carrier


Berdasarkan Tingkat Keganasan (toksigenitas)

1. Toksigenik  menghasilkan toksin | membentuk Pseudomembran

2. Non-Toksigenik  tidak bersifat patogenik | dapat berubah menjadi toksigenik jika terinduksi
dengan bakteriofag
Berdasarkan Tingkat Keparahan

1. Early
- terdapat pseudomembran
- sakit tenggorokan
- Hoarseness (suara serak)
- Stridor
- Blood-stained nasal discharge
- Swollen tender cervical lymph nodes

2. Severe
- swelling dan edema pada leher (bull neck)
- kolaps toksik sirkulasi
- insufisiensi renal akut
- petechie hemorrhage pada kulit

3. Late
- miokarditis
- blurred vision
- paralisis (bibir, diafragma, palatum lunak)
Berdasarkan Kriteria Diagnosis

1. Suspected
- tidak demam atau subfebris
- terdapat pseudomembran pada salahsatu atau kedua tonsil
- mengalami tonsilitis, faringitis, laringitis, dan trakeitis

2. Probable
- memiliki gejala pada kriteria suspected
- bull neck - stridor - perdarahan submukosa (petechie)
- riwayat imunisasi tidak lengkap (termasuk imunisasi booster)
- pernah kontak dengan kasus (< 2 minggu)
- miokarditis

3. Confirmed
- memiliki gejala pada kriteria probable
- dikonfirmasi dengan pemeriksaan lab (biakan dan PCR)
- Ele’s test untuk uji toksisitas

3. Carrier
- terdapat bakteri C. diphtheriae pada tenggorokan, namun asimptomatik
- masa penularan berlangsung higga 6 bulan
DIAGNOSIS
BANDING
AY U B E T T Y H U TA G A O L
170100069
DIFTERI
1. Tonsilofaringitis
(Demam tinggi, nyeri menelan lebih hebat,pembesaran tonsil, membran mudah lepas namun
tidak berdarah)
2. Mononukleosis infeksiosa
(Ditemukan limfadenopati generalisata, splenomegali)
3. Kandidiasis mulut
(Terlihat keputihan pada mulut)
4. Streptococcus
5. Herpes zoster pada palatum
Oral streptococcus

Tonsilofaringitis

Candidiasis oral
PENEGAKAN
DIAGNOSIS
DIFTERI

J O N AT H A N S U R YA D A R M A
170100079
ANAMNESIS

• Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi, adanya
stridor, “ngences”, dan tanda lain dari obstruksi napas atas, dengan riwayat
imunisasi tidak lengkap, serta kontak erat dengan kasus difteri.
• Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman bermain; kontak
dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat pelindung diri); individu
seruang dengan penderita dalam waktu >4 jam selama 5 hari berturut-turut
atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman sekelas, teman seruang tidur, teman
mengaji, les).
PEMERIKSAAN FISIK

• Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan pseudomembran/selaput pada
tempat infeksi berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat.
• Pada keadaan berat dapat ditemukan pembesaran leher (bull neck), tampak toksik dan sakit berat,
padahal demam tidak terlalu tinggi, muka pucat bahkan sampai sianosis, tanda-tanda syok, serta
kesulitan menelan.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

• Periksa spesimen klinis dengan kultur primer pada medium telurit darah diikuti dengan kultur
selektif pada medium cystinase (Tinsdale). lakukan screening dan uji biokimia untuk
mengidentifikasi spesies. Tes konfirmasi untuk difteri didasarkan pada deteksi fenotipik toksin
(uji Elek).
• Konfirmasi Corynebacterium tidak boleh berdasarkan mikroskop langsung dari apusan dari lesi
yang dicurigai menggunakan metode pewarnaan tradisional seperti pewarnaan Gram, Albert,
Neisser atau Loeffler.
• Spesimen bisa negatif jika pasien diobati dengan antibiotik sebelum pengambilan spesimen, jika
spesimen berkualitas buruk atau jika ada penundaan pengujian karena keterlambatan
transportasi.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

• Identifikasi spesies lebih lanjut dapat dikonfirmasi dengan tes mikrobiologi seperti API Coryne
atau sistem VITEK. Uji biokimia penting untuk identifikasi C. diphtheriae adalah uji katalase
(+); pengurangan nitrat (+); produksi asam dari glukosa, maltosa dan glikogen / pati; dan
hidrolisis urea (urease -).
• PCR dapat dilakukan langsung pada bahan usap untuk mendeteksi keberadaan subunit A dan B
dari gen toksin difteri (toks). Namun, dalam beberapa kasus keberadaan toksin tidak
mengkonfirmasi produksi toksin; Hasil PCR positif karenanya harus selalu dikonfirmasi
dengan uji Elek jika terdapat isolate.
CARA MELAKUKAN SWAB

• Bahan dan alat yang diperlukan antara lain lidi kapas steril (Swab Tenggorok/pharynx/swab hidung);
Objek glass; Lampu speritus dan spatula, jika perlu untuk kultur siapkan media Amies.
• Waktu pengambilan :
Setiap saat boleh diambil asal belum diberi antibiotic
• Teknik Pengambilan :
- Penderita disuruh menghadap sumber cahaya
- Kemudian penderita disuruh membuka mulut tanpa menjulurkan lidah dan disuruh berkata “Ahh….”
- Sambil pasien berkata “ ahhh…” 2/3 lidah pasien ditekan dengan spatula sehingga terlihat tonsil.
- Hapuskan kapas steril pada daerah tonsil yg terinfektir (ada lapisan pseudomembran) yang biasanya
berwarna putih abu-abu , lidi kapas jangan menyentuh lidah.
- Ambil 2 lidi kapas (yang digunakan untuk hapusan langsung & utk kultur).
- Untuk kultur swab masukkan padamedia Amies .
TATALAKSANA
DIFTERI
KOMPLIKASI &
SKDI DIFTERI
KENI YOLANI MD
170100229
KOMPLIKASI DIFTERI

• Obstruksi jalan nafas


- Diawali dengan nafas berbunyi dan sesak nafas
- Sianosis akibat hipoksia
- Kadang perlu dilakukan trakheostomi
• Miokarditis
- Diawali dengan takikardi
- Perubahan denyut jantung: aritmia, iregular
- Heart block (A-V block), heart failure
• Kelumpuhan syaraf ( peripheral neuritis)
- Kelumpuhan otot larings: suara sengau, mudah tersedak
- kelemahan anggota badan
SKDI DIFTERI

• SKDI Difteria (THT) : 3B ( Gawat darurat)


• Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan
PENCEGAHAN
DIFTERI
L O U I S E G AV I N E L L A B A R U S
170100047

Anda mungkin juga menyukai