Anda di halaman 1dari 22

1.

Trauma Tumpul Kelopak Mata

Hematoma palpebra
Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di
bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hematoma palpebra
merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul okuli. Bila perdarahan
terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata
hitam (racoon eye) yang sedang dipakai, terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika
yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri oftalmika maka
darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Penanganan pertama
dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan. Selanjutnya untuk
memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada palpebra. 2,6,7

Gambar 2.3 Edema palpebra


2. Trauma tumpul Konjungtiva
Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik (edema)
pada setiap kelainan termasuk akibat trauma tumpul. Bila palpebra terbuka dan
konjungtiva secara langsung terekspose dengan dunia luar tanpa dapat mengedip
maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva. Edema
konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga
bertambah rangsangan terhadap konjungtiva. 2,6,7

1
Gambar 2.4 Edema konjungtiva

Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
terdapat dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera.
Pecahnya pembuluh darah ini bisa akibat dari batuk rejan, trauma tumpul atau pada
keadaan pembuluh darah yang mudah pecah. Bila tekanan bola mata rendah dengan
pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva
maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya
ruptur bulbus okuli. 2,6,7

Gambar 2.5 Hematoma subkonjungtiva

3. Trauma Tumpul pada Kornea


Edema kornea
Trauma tumpul dapat mengenai membran descement yang mengakibatkan
edema kornea. Edema kornea dapat meberikan keluhan berupa penglihatan kabur dan
terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea dapat

2
terlihat keruh. Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel
radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea. 2,6,7
Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan
oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran
basal. Dalam waktu singkat epitel sekitar dapat bermigrasi dengan cepat dan
menutupi defek epitel tersebut. Erosi di kornea menyebabkan nyeri dan iritasi yang
dapat dirasakan sewatu mata dan kelopak mata digerakkan. Pola tanda goresan
vertikal di kornea mengisyaratkan adanya benda asing tertanam di permukaan
konjungtiva tarsalis di kelopak mata atas. Pemakaian berlebihan lensa kontak
menimbulkan edema kornea.Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi
merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, fotofobia
dan penglihatan akan terganggu oleh media yang keruh. Pada kornea akan terlihat
adanya defek epitel kornea yang bila diberi fuorosein akan berwarna hijau . 2,3,6,7
4. Trauma Tumpul pada Uvea
Iridoplegia
Kelumpuhan otot sfingter pupil yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul
pada uvea sehingga menyebabkan pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan
sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi dan merasakan silau karena
gangguan pengaturan masuknya cahaya ke pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau
anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil biasanya tidak bereaksi
terhadap sinar. 3,6,7
Iridodialisis
Iridodialisis adalah keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya sehingga
bentuk pupil tidak bulat dan pada pangkal iris terdapat lubang. Saat mata kita
berkontak dengan benda asing, maka mata akan bereaksi dengan menutup kelopak
mata dan mata memutar ke atas. Ini alasannya mengapa titik cedera yang paling
sering terjadi adalah pada temporal bawah pada mata. Pada daerah inilah iris sering
terlihat seperti peripheral iris tears (iridodialisis). Saat mata tertekan maka iris perifer
akan robek pada akarnya dan meninggalkan crescentic gap yang berwarna hitam
10
tetapi reflek fundus masih dapat diobservasi. Hal ini mudah terjadi karena bagian

3
iris yang berdekatan dengan badan silier gampang robek. Lubang pupil pada pangkal
iris tersebut merupakan lubang permanen karena iris tidak mempunyai kemampuan
regenerasi. 1
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga
bentuk pupil menjadi berubah. Perubahan bentuk pupil maupun perubahan ukuran
pupil akibat trauma tumpul tidak banyak mengganggu tajam penglihatan penderita.
Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya. Pada iridodialisis akan terlihat pupil
lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema.
Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan pembedahan dengan
melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas. 1,3,4
Hifema
Hifema adalah darah di dalam bilik mata depan (camera okuli anterior/COA)
yang dapat terjadi akibat trauma tumpul sehingga merobek pembuluh darah iris atau
badan siliar. Trauma tumpul sering merobek pembuluh-pembuluh darah iris atau
badan siliar dan merusak sudut kamera okuli anterior. Darah di dalam cairan dapat
membentuk suatu lapisan yang dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut terjadi apabila
jaringan trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau apabila pembentukan bekuan
darah menyebabkan sumbatan pupil. 1,3,4
Hifema dibagi dalam 4 grade berdasarkan tampilan klinisnya 11 :
1. grade I: menutupi < 1/3 COA (Camera Okuli Anterior)
2. grade II: menutupi 1/3-1/2 COA
3. grade III: menutupi 1/2-3/4 COA
4. grade IV: menutupi 3/4-seluruh COA
Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme.
Penglihatan pasien akan sangat menurun dan bila pasien duduk hifema akan terlihat
terkumpul dibagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik
mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Tanda-tanda klinis
lain berupa tekanan intraokuli (TIO) normal/meningkat/menurun, bentuk pupil
normal/midriasis/lonjong, pelebaran pembuluh darah perikornea, kadang diikuti erosi
kornea. 6,7,11
Iridosiklitis

4
Yaitu radang pada uvea anterior yang terjadi akibat reaksi jaringan uvea pada
post trauma. Pada mata akan terlihat mata merah, akbat adanya darah yang berada di
dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil mata yang mengecil yang
mengakibatkan visus menurun. Sebaiknya pada mata diukur tekanan bola mata untuk
persiapan memeriksa fundus dengan midriatika. 3
5. Trauma tumpul pada Lensa
Subluksasi Lensa
Subluksasi Lensa adalah lensa yang berpindah tempat akibat putusnya sebagian
zonula zinii ataupun dapat terjadi spontan karena trauma atau zonula zinii yang rapuh
(sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang.
Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada, maka lensa akan menjadi cembung dan
mata akan menjadi lebih miopi. Lensa yang cembung akan membuat iris terdorong ke
depan sehingga bisa mengakibatkan terjadinya glaukoma sekunder. 3
Luksasi Lensa Anterior
Yaitu bila seluruh zonula zinii di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga
lensa masuk ke dalam bilik mata depan. Pasien akan mengeluh penglihatan menurun
mendadak. Muncul gejala-gejala glaukoma kongestif akut yang disebabkan karena
lensa terletak di bilik mata depan yang mengakibatkan terjadinya gangguan
pengaliran keluar cairan bilik mata. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea,
lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar.
1,3

Luksasi Lensa Posterior


Yaitu bila seluruh zonula zinii di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga
lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah fundus okuli.
Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya karena lensa
mengganggu kampus. Mata menunjukan gejala afakia, bilik mata depan dalam dan
iris tremulans.1,4

6. Trauma tumpul Retina dan Koroid


Edema Retina

5
Terjadinya sembab pada daerah retina yang bisa diakibatkan oleh trauma
tumpul. Edema retina akan memberikan warna retina lebih abu-abu akibat sukarnya
melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Pada edema retina akibat trauma
tumpul mengakibatkan edema makula (edema berlin) sehingga tidak terdapat cherry
red spot. Penglihatan pasien akan menurun. Penanganan yaitu dengan menyuruh
pasien istirahat. Penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi
dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunya daerah makula oleh sel pigmen
epitel.3,4
Edema makular
Edema makular (edema berlin) adalah suatu kondisi dimana terjadi
pembengkakan atau penebalan dari pusat retina yaitu makula dan biasanya
berhubungan dengan penglihatan sentral yang kabur atau distorsi.3,7 Edema makula
terjadi ketika deposit cairan dan protein terkumpul didalam makula, menyebabkan
penebalan dan pembengkakan sehingga mengakibatkan distorsi penglihatan sentral.
Makula adalah bagian retina yang bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan
sentral karena kaya akan sel fotoreseptor kerucut. Akumulasi cairan makula
mengubah fungsi sel di retina serta memprovokasi respon inflamasi.4,6
Ablasi Retina
Yaitu terlepasnya retina dari koroid yang bisa disebabkan karena trauma.
Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina. Pada pasien
akan terdapat keluhan ketajaman penglihatan menurun, terlihat adanya selaput yang
seperti tabir pada pandangannya. Pada pemeriksaan fundus kopi akan terlihat retina
berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terangkat dan berkelok-kelok.
Ruptur Koroid
Ruptur biasanya terletak pada polus posterior bola mata dan melingkar
konsentris di sekitar papil saraf optik, biasanya terjadi perdarahan subretina akibat
dari ruptur koroid.Bila ruptur koroid terletak atau mengenai daerah makula lutea
maka akan terjadi penurunan ketajaman penglihatan.
Avulsi papil saraf optik
Saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang bisa diakibatkan
karena trauma tumpul. Penderita akan mengalami penurunan tajam penglihatan yang

6
sangat drastis dan dapat terjadi kebutaan. Penderita perlu dirujuk untuk menilai
kelainan fungsi retina dan saraf optiknya (Ilyas, 2003; Jack J, 2005).

2.1.3 Diagnosis Trauma Okuli


Untuk menegakkan diagnosis trauma okuli sama dengan penegakan diagnosis
pada umumnya, yaitu dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan
segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif
lambat atau timbul mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokular apabila
terdapat riwayat memalu, mengasah, atau ledakan. 1
Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma,
benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang
mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang
mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan
lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah penurunan
penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan
terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan
apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya. 12
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum terlebih dahulu diperiksa, karena 1/3
hingga ½ kejadian trauma mata bersamaan dengan cedera lain selain mata. Untuk itu
perlu pemeriksaan neurologis dan sistemik mencakup tanda-tanda vital, status mental,
fungsi, jantung dan paru serta ekstremitas. Selanjutnya pemeriksaan mata dapat
dimulai dengan12:
1. Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi
dua titik dan defek pupil aferen.
2. Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi untuk
mencari defek pada tepi tulang orbita.
3. Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi
4. Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak

7
5. Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan
6. Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan mata
yang lain)
7. Oftalmoskop: menilai lensa, korpus vitreus, diskus optikus dan retina.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain USG mata, CT scan,
hingga MRI. Pemeriksaan darah lengkap, status kardiologi, radiologi dapat
ditambahkan jika akan dilakukan tindakan tertentu yang membutuhkan pemeriksaan
penunjang tersebut.1

2.1.4 Penatalaksanaan Trauma Okuli


Penatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma
ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama dalam
mengatasi kasus trauma okular adalah :
- Memperbaiki penglihatan.
- Mencegah terjadinya infeksi.
- Mempertahankan arsitektur mata.
- Mencegah sekuele jangka panjang.
Penanganan Trauma Oculus Non Perforans :
Setiap pasien trauma mata seharusnya mendapatkan pengobatan antitetanus
toksoid untuk mencegah terjadinya infeksi tetanus dikemudian hari terutama trauma
yang menyebabkan luka penetrasi. Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka
manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anastesi umum.
Sebelum pembedahan jangan diberi obat siklopegik ataupun antibiotic topical karena
kemungkinan toksisitas pada jaringan intraocular yang terpajan.
Berikan antibiotik sistemik spectrum luas dan upayakan memakai pelindung
mata(bebat mata). Analgetik dan antiemetik diberikan sesuai kebutuhan, dengan
retriksi makanan dan minum. Induksi anastesi umum dengan menggunakan obat-obat
penghambat depolarisasi neuron muscular, karena dapat meningkatkan secara
transient tekanan di dalam bola mata sehingga meningkatkan kecendrungan herniasi
isi intraocular. Anak juga lebih baik diperiksa awal dengan bantuan anstetik umum
yang bersifat singkat untuk memudahkan pemeriksaan. Pada trauma yang berat,

8
seorang dokter harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih
lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan
bola mata lengkap. Yang tak kalah pentingnya yaitu kesterilan bahan atau zat seperti
anastetik topical, zat warna, dan obat lain maupun alat pemeriksaan yang diberikan ke
mata.1
Benda berbentuk partikel kecil harus dikeluarkan dari abrasi kelopak untuk
mengurangi resiko pembentukan tato kulit. Laserasi palpebra yang superfisial hanya
memerlukan jahitan pada kulit saja. Untuk mengelakkan terjadinya jaringan parut
yang tidak diinginkan, perlu dilakukan debridement konservatif, menggunakan
jahitan eversi yang berkaliber kecil dan membuka jahitan dengan cepat.9,10
Sebagian dari trauma perforans sangat minimal sehingga ia sembuh dengan
sendirinya tanpa ada kerusakan intraokuler, maupan prolaps. Kasus-kasus ini hanya
memerlukan terapi antibiotik sistemik ataupun topikal dengan observasi yang ketat.

2.2 Trauma Maksilofasial


2.2.1 Definisi Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan
lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah
jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud
dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala.13
2.2.2. Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak
biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu
lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.14
Trauma Jaringan lunak
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato. Stensen. 


 4. Cedera kelopak mata. 

2. Cedera saraf, cabang saraf fasial. 
 5. Cedera telinga. 

3. Cedera kelenjar parotid atau duktus 6. Cedera hidung. 


9
Trauma Jaringan keras
1. Fraktur sepertiga atas muka.
2. Fraktur sepertiga tengah muka.
a. Fraktur hidung (os nasale).

b. Fraktur maksila (os maxilla).

c. Fraktur zigomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus).
d. Fraktur orbital (os orbita).
3. Fraktur sepertiga bawah muka.
a. fraktur mandibula (os mandibula).
b. Gigi (dens).

c. Tulang alveolus (os alveolaris).
2.2.3 Fraktur orbital (os orbita)
Orbita terbagi dalam empat bagian: atap, dinding medial, dinding lateral dan
lantai (dinding inferior). Atap orbita hampir seluruhnya terdiri dari dataran orbital
dari tulang frontal, dan pada posteriornya terdiri dari greater wing of sphenoid.
Dinding medial, yaitu dinding yang paling tipis terbentuk dari prosesus frontal
maksila dan tulang lakrimal yang sama-sama membentuk lekuk lakrimal. Di belakang
crest lakrimal posterior adalah lamina papyracea tulang ethmoid yang sangat tipis dan
lesser wing of sphenoid dan foramen optik. Dinding inferior yang berbentuk segitiga
terdiri dari tulang zigomatik, prosesus orbita dari tulang palatinal dan sebagian besar
dari dataran orbita maksila yang terletak di anterior pada fisur orbita inferior. 15
Bagian dari maksila ini merupakan bagian yang paling sering terlibat di
fraktur blow-out pada dinding inferior orbita. Dinding lateral orbita pula terdiri dari
prosesus frontal dari zigoma dan tulang frontal pada anterior, serta greater wing of
sphenoid pada posterior.

10
Gambar 6. Atap dari orbita (Robert,1984)

Gambar 7. Dinding Medial Orbita (Robert, 1984)

Gambar 8. Dinding Inferior dari Orbita (Robert, 1984)

Gambar 9. Dinding Lateral Orbita (Robert, 1984)

11
Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan terjadinya fraktur dinding inferior
orbita, atau fraktur blow-out. Teori yang predominan mengatakan bahwa fraktur ini
disebabkan kenaikan tekanan intraorbita yang terjadi secara mendadak apabila suatu
objek yang lebih besar dari diameter orbita rim memukul. Teori yang kedua
menyatakan bahwa suatu objek yang mengenai orbita dengan keras akan
mengakibatkan daya yang menekan pada inferior orbita rim dan seterusnya akan
merusak dinding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana fraktur blow-
in terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya bahwa penyebab
utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya yang mengenai orbita rim. Derajat
peningkatan tekanan orbital kemudiannya yang menentukan jaringan orbital didorong
ke dalam orbita atau ke sinus maksila. 15

Gambar 10A Fraktur Blow Out, 10B Fraktur Blow In (Robert 1984)

2.3 TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY


2.3.1 Defenisi
Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan suatu bentuk neuropati
optikus oleh adanya kerusakan pada saraf optik yang menyebabkan kerusakan pada
fungsi visual diikuti dengan defek pupil aferen relative (Marcus-Gunn pupil). 16
(TON) merupakan suatu cedera akut pada saraf optik oleh karena trauma.
Akson-akson saraf optik dapat rusak secara langsung maupun tidak langsung dan
kehilangan penglihatan dapat parsial hingga komplit. Cedera tidak langsung pada
saraf optik terjadi akibat adanya transmisi tekanan ke kanal optik pada saat trauma

12
tumpul. Sebaliknya, cedera langsung yang mengakibatkan kerusakan anatomis saraf
optik terjadi pada luka tusuk orbital, adanya fragmen tulang dalam kanal optik, atau
hematoma pada pembungkus saraf. 16
2.3.2 Etiologi
TON dikaitkan dengan kecelakaan dengan momentum tinggi dan trauma
wajah. Kecelakaan sepeda motor, kekerasan, luka tumpul, luka tusuk, luka tembak,
dan pembedahan endoskopi sinus merupakan penyebab TON.Luka tumpul umumnya
terjadi akibat deselerasi cedera pada region antefrontal kepala. Keparahan trauma
tidak selalu terkait dengan derajat penurunan penglihatan. 17
2.3.3 Klasifikasi
Cedera saraf optik dapat diklasifikasikan menjadi cedera langsung dan tidak
langsung berdasarkan jenis cedera.17
a. Cedera Tidak Langsung Saraf Optik
Cedera tidak langsung terjadi pada trauma tertutup pada kepala, menyebabkan
timbulnya tekanan yang kemudian menekan saraf optik. Pada pemeriksaan, tidak
terdapat perubahan cepat pada pemeriksaan fundus. Diskus optik dapat normal
hingga 3-5 minggu setelahnya dan berubah pucat seiring atrofi diskus terjadi.

b. Cedera Langsung Saraf Optik


Cedera langsung saraf optik terjadi akibat dari avulsi saraf atau akibat adanya
penetrasi pada orbita, penetrasi fragmen tulang dan mengenai saraf optik
menyebabkan neuropati optikus parsial atau komplit pada pembungkus saraf
optikus. Perdarahan didalam dan sekitar saraf optik juga dapat terjadi. 17,18

Tidak seperti cedera tidak langsung, cedera langsung menyebabkan perubahan


segera pada fundus yang merangsang oklusi arteri retina sentralis, oklusi vena retina
sentralis atau iskemia anterior neuropati optik.18
2.3.4 Patofisiologi
TON terjadi secara multifaktorial, beberapa penelitian menyimpulkan adanya
mekanisme primer dan sekunder dari cedera yang terjadi. Cedera langsung terjadi
pada trauma tajam, fraktur orbita dengan fraktur midfasial. Cedera tidak langsung

13
umumnya disebabkan oleh adanya gaya tekanan pada cedera kepala yang
ditransmisikan hingga ke saraf optik.
Baik cedera langsung maupun tidak langsung menyebabkan kerusakan mekanis
ataupun iskemia pada saraf optik. Terkadang cedera okuli sangat kecil hingga tidak
terlihat adanya penyebab eksternal. Edema pada rongga tertutup, nekrosis akibat
kontusio, robekan serabut saraf, dan infark oleh karena thrombus dan spasme
berpotensial menyebabkan cedera saraf optik.17
a. Primer
Mekanisme primer menyebabkan kerusakan permanen pada akson saraf optik
pada saat terjadinya cedera. Kontusio pada akson saraf optik menyebabkan iskemia
dan edema lokal saraf optik, selanjutnya menyebabkan kompresi neural dalam rongga
kanal optik. Abnormalitas axon fokal terangsang, dengan karakteristik gangguan
transpor aksonal, hingga terjadi apoptosis sel. Robekan pada mikrovaskular dan
cedera akson menyebabkan terjadinya perdarahan dalam saraf optik dan
pembungkusnya.1,Error! Bookmark not defined.
b. Sekunder
Mekanisme sekunder menyebabkan pembengkakan saraf optik setelah terjadi
cedera akut. Gangguan homeostasis selular disekitar area kerusakan saraf optik yang
ireversibel, melalui mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan yang
menyebabkan kerusakan akson. Meskipun nantinya pembengkakan atau kontusio
pada saraf dapat membaik, kerusakan pada akson merupakan kerusakan permanen.17
Mekanisme ini antara lain :
1. Iskemia dan cedera reperfusi - iskemia parsial oleh karena berkurangnya
aliran darah. Tetapi reperfusi pada area iskemik transien menyebabkan
peroksidasi lipid membran sel dan pelepasan radikal bebas yang menyebabkan
kerusakan jaringan.
2. Bradikinin : diaktivasi setelah terjadinya trauma, dan menyebabkan pelepasan
asam arakhidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan dari
metabolisme asam arakhidonat, radikal bebas dan lipid peroksidase
menyebabkan edema pada kanal optik.

14
3. Ion kalsium : setelah terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium masuk ke
intraselular. Meningkatnya konsentrasi kalsium intrasel berperan menjadi
toksin metabolik dan menyebabkan kematian sel.
4. Proses inflamasi : sel polimorfonuklear (PMN) banyak pada 2 hari pertama
setelah trauma, kemudian digantikan oleh makrofag dalam 5-7 hari. PMN
menyebabkan kerusakan yang cepat, sementara makrofag menunda kerusakan
jaringan, demielinasi dan gliosis.17

2.3.5 Gambaran Klinis


TON posterior terkadang sulit dinilai terutama pada pasien dengan cedera
multipel, terutama pada pasien tidak sadarkan diri. Pemeriksaan teliti harus dilakukan
secepat mungkin, kemungkinan hanya diperoleh defek aferen pupil pada pemeriksaan.
Defisit penglihatan bervariasi dari penglihatan normal dengan defek lapangan
pandang hingga kehilangan total terhadap persepsi cahaya.18
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis TON berdasarkan klinis, dengan adanya trauma kepala dan wajah
yang menyebabkan gangguan penglihatan. Pasien mengalami kehilangan penglihatan
yang mendadak, berat, dan unilateral. Kondisi ini dapat bermanifestasi segera atau
dalam hitungan jam hingga hari setelah trauma. Riwayat penyakit perlu ditanyakan
apakah adanya defisit penglihatan sebelum trauma, riwayat penyakit sebelumnya,
obat-obatan dan alergi obat.
Pemeriksaan Klinis
Pada situasi akut, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan penilaian
ketajaman penglihatan tidak dapat dilakukan, penegakan diagnosis TON dapat
terhambat. Pada pasien sadar, dapat dilakukan berbagai tes untuk membantu
penegakan diagnosis , antara lain: 16
1. Ketajaman penglihatan. Diperiksa dengan menggunakan Snellen's chart atau
kartu baca jarak dekat. Angka kejadian tidak respon cahaya bervariasi
tergantung pada kejadian trauma. Harus diingat bahwa kurang dari 10% kasus
terjadi penurunan penglihatan akibat cedera saraf optik sekunder.
Bagaimanapun tajam penglihatan harus dinilai kembali setelah 24 jam.

15
2. Relative afferent pupillary defect (RAPD) : dinilai dengan swinging flashlight
test. Cahaya yang masuk ke mata normal akan merangsang pupil konstriksi
dan juga merangsang pupil mata lain ikut berkonstriksi. Terjadi penurunan
stimulasi pupilomotor yang mencapai batang otak ketika cahaya masuk ke
mata pada cedera saraf optik dibandingkan pada bagian yang tidak cedera,
sehingga respon pupil menurun. RAPD tidak ada pada TON bilateral.

3. Penglihatan warna. Pasien diminta untuk melihat objek berwarna merah


dengan sebelah mata. Objek akan dipersepsikan berwarna hitam, coklat, atau
merah buram pada mata yang cedera.

4. Lapangan pandang. Meskipun tidak ada tanda patognomonic defek lapangan


pandang dalam mendiagnosa trauma saraf optik, lapangan pandang harus
dinilai pada pasien sadar dan kooperatif sebagai informasi kemungkinan
lokasi kerusakan saraf optik.

5. Optalmoskopi. Optalmoskopi dilakukan dengan bantuan agen midriatik kerja


pendek pada semua pasien stabil. Evaluasi sirkulasi retinal dan koroidal,
morfologi saraf optik. Adanya perdarahan berbentuk cincin didekat kepala
saraf optik menunjukkan adanya avulsi parsial atau komplit saraf optik.
Neuropati optik anterior menyebabkan gangguan sirkulasi berakibat obstruksi
arteri dan vena dan pembengkakan diskus optikus. Atrofi optik pada trauma
kepala akut dengan neuropati optikus menunjukkan gangguan saraf optik
sudah ada sebelum trauma. Kerusakan pada saraf optik distal pada orbita,
kanal optik, atau rongga intrakranial tidak menunjukkan perubahan tampilan
selama 3-5 minggu.

16
Gambar 2.3. Disc pallor from trauma

Gambar 2.4 Left optic nerve has a pinkish rim surrounding a white center. The right
optic nerve looks much paler in comparison

Gambar 2.5 Atrofi Papil

17
6. Adneksa okuli. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur tepi atau dinding
orbita, edema orbita, proptosis atau enopthalmus, atau disfungsi otot ekstra
okuli.
7. Tekanan intraokuli. Tonometri harus dilakukan pada orbita yang intak.
Peningkatan tekanan intraokuli dapat bersamaan pada hematom orbital,
perdarahan orbital, emfisema orbital, atau edema jaringan lunak.16,17

Pemeriksaan Penunjang
1. Visual evoked potential (VEP)
Karena sulitnya penilaian neuro-oftalmologi pada fungsi jaras visual
pada pasien cedera berat atau selama rekonstruksi kraniomaksilofasial, VEP
dan elektroretinogram (ERG) diyakini sebagai metode elektrofisiologis untuk
mengumpulkan informasi apakah fungsi penglihatan intak ataupun patologis.
VEP juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien yang diduga cedera
saraf optik bilateral. 17
Evaluasi elektrofisiologi dengan multiplanar CT penting pada
identifikasi segera pada trauma saraf optik. Hasil evaluasi memberikan
informasi apakah dibutuhkan intervensi bedah dan/atau terapi konservatif
untuk mencegah kerusakan sekunder saraf optik.17
2. Imaging
Pada pasien politrauma dengan penurunan kesadaran, CT-scan dengan
eksplorasi klinis merupakan metode penting untuk menilai TON pada keadaan
darurat yang akut. Hasil pemeriksaan dapat menunjukkan tanda patologi saraf
optik, berupa hematoma pembungkus saraf optik, fraktur pada greater atau
lesser wing sphenoid, hematoma superiosteal, perdarahan hingga apeks
orbital, sinus ethmoid dam sphenoid, dan pneumoencep halus.16,17
2.3.7 Penatalaksanaan
Sebagian besar penanganan pada TON meliputi observasi, steroid dan
dekompresi bedah.16,17

18
1. Medikamentosa.
Pada kasus TON dimana tidak terdapat kontraindikasi pemberian
kortikosteroid, dosis awal metilprednisolone diberikan sebanyak 30mg/kg/IV,
dilanjutkan 15mg/kgBB pada 2 jam kemudian, dan 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Jika
terdapat perbaikan visual, dosis steroid dilanjutkan hingga hari ke-5, kemudian
diturunkan secara cepat. Jika tidak terdapat perbaikan dalam 48-72 jam, pemberian
steroid langsung dihentikan tanpa penurunan dosis sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid mega dosis dalam 8 jam pertama setelah cedera
kemungkinan dapat memperbaiki pembengkakan saraf optik. Namun,
Metilprednisolon belum terbukti efektif dibandingkan observasi pada terapi TON,
dan keterlambatan penanganan terapi dan derajat kehilangan penglihatan belum jelas
terbukti mempengaruhi prognosis.16,17
2. Pembedahan
Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik digunakan
sebagai terapi TON indirek. Tetapi tidak terdapat konsensus waktu optimum untuk
intervensi optimum. Peningkatan tekanan intrakanalikuli dapat menyebabkan
gangguan vaskular dengan iskemia hingga kebutaan, dan dekompresi saraf optik
secara teori membebaskan strangulasi dan mengembalikan fungsi saraf. Prosedur ini
ditambah dengan pemberian steroid untuk mengurangi inflamasi dan edema.
Berbagai metode bedah yang digunakan berupa kraniotomi trans nasalis, extra-nasal
trans-ethmoidalis, trans-nasal trans-ethmoidalis, lateral fasial, sublabial, dan
endoskopi.18
Pada hematoma pembungkus saraf optik dapat dievakuasi dengan orbiotomi
medial atau lateral tergantung pada letak hematoma. Kriteria intervensi bedah pada
pasien dengan TON antara lain :
1. Kontraindikasi absolut pembedahan
a. Adanya avulsi saraf optik pada pemeriksaan CT.
2. Kontraindikasi relative pembedahan
a. Pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri.
b. Hilang total fungsi penglihatan dan respon pupil.
3. Indikasi relative pembedahan

19
a. Jika penurunan fungsi penglihatan meskipun dengan terapi steroid.
b. Jika terjadi penurunan fungsi penglihatan pada pengurangan dosis
steroid.
c. Jika terdapat fraktur kanal optik disertai dengan adanya penekanan
oleh fragmen tulang.
d. Jika terdapat hematoma pada pembungkus saraf.
e. Jika respon visual evoked potential (VEP) memburuk seiring waktu.
Pada dasarnya, pencapaian penanganan TON dapat diurutkan sebagai berikut :
1. Pada keadaan tidak terdapat kontraindikasi, pasien dapat diberikan
kortikosteroid sistemik, metilprednisolone 30mg/kg sebagai loading dose,
5,4mg/kg/jam sebagai maintanance selama 48 jam.
2. Kegagalan perbaikan keadaan.
3. Pasien yang membaik dapat dilakukan pengurangan dosis yang bertahap.
4. Jika keadaan pasien relaps ketika kortiosteroid dihentikan, pertimbangkan
bedah dekompresi.
5. Pada umunya, pasien dengan ketajaman penglihatan 20/40 atau lebih buruk
membutuhkan dekompresi bedah.
6. Pasien tidak sadar tidak seharusnya dilakukan bedah dekompresi kecuali
bersangkutan dengan prosedur operasi lain.
7. Kombinasi steroid intervensi awal bedah dapat dipertimbangkan pada anak-
anak. Error! Bookmark not defined.,16
Perbaikan fungsi visual setelah TON dapat dinilai dengan penilaian
berkesinambungan fungsi visual. Follow up harian harus dilakukan selama fase akut
setelah trauma, segera setelah terapi bedahm dan selama periode pemberian terapi
kortikosteroid mega-dosis. Observasi jangka panjang dilakukan 3 bulan atau lebih
sejak terjadinya cedera untuk menilai keadaan final fungsi visual.

2.3.8 Prognosis
Secara umum cedera langsung memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan dengan cedera tidak langsung saraf optik. Berdasarkan studi, ada 4

20
variabel yang dianggap sebagai faktor prognosis yang buruk untuk perbaikan fungsi
visual, antara lain :
1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior
2. Usia diatas 40 tahun
3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON
4. Tidak adanya perbaikan setelah 48 jam pemberian terapi steroid.,19
Selain itu, fraktur orbita posterior menyebabkan penglihatan yang lebih buruk
dibandingkan dengan fraktur anterior. Pasien dengan tidak adanya persepsi terhadap
cahaya kemungkinan besar tidak akan terjadi perbaikan dalam kemampuan melihat.
Hingga saat ini, terdapat berbagai konsensus menyatakan pilihan terapi terbaik TON
adalah cukup observasi tanpa terapi saja. Perbaikan penglihatan dapat terjadi
meskipun dengan perbaikan yang minimal, dan rata-rata perbaikan secara spontan
berkisar antara 20-57% pada berbagai studi.17,19

21
1

Anda mungkin juga menyukai