Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Cedera medura spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan
salah satu cedera hebat yang memberikan siknifikansi besar dalam kehidupan
manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas
sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, dan
masyarakat.1 Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru
per 1 juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per
tahun.2 Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis umumnya
terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien
yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. Pasien dengan
cedera medulla spinalis memerlukan penyesuaian terhadap berbagai aspek, antara lain
masalah mobilitas yang terbatas, psikologis, urologis, pernafasan, kulit, disfungsi
seksual, dan ketidakmampuan untuk bekerja. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk
pasien dengan cedera tersebut diestimasikan mencapai 4 milliar dolar Amerika
Serikat per tahunnya untuk pelayanan kesehatan (akut dan kronis) dan harga yang
harus dibayar oleh pasien dan keluarganya tidak terhitung karena masalah yang
ditimbulkan sifatnya seumur hidup.1

BAB 2
ANATOMI TULANG BELAKANG DAN MEDULLA SPINALIS

Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang menjadi jalur
informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan struktur
neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar yang diperlukan untuk
mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh cedera medulla
spinalis. Selain itu, pada bagian ini akan dibahas pula mengenai anatomi tulang
belakang dan sekitarnya dan perfusi dari medulla spinalis karena cedera pada medulla
spinalis umumnya terasosiasi dengan struktur-struktur yang ada di sekitarnya.

2.1 Anatomi kolumna vertebralis

Kolumna vertebra merupakan struktur tulang penyokong utama tubuh.3,4 Vertebra


tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga toraks, ekstremitas atas, pelvis,
dan menyalurkan berat tubuh ke ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini
memberikan perlindungan yang bermakna bagi struktur-struktur yang ada
didalamnya, antara lain medulla spinalis, nervus spinalis, dan meninges.4 Kolumna
vertebralis terdiri dari 33 vertebrae (Gambar 1), antara lain 7 servikal, 12 torakal, 5
lumbar, 5 sakral (bergabung menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan
bantalan fibrocartilage diantara tiap segmen yang disebut diskus
intervertebralis.3 Walaupun terdapat perbedaan secara regional pada segmen-segmen
tersebut, namun secara umum terdapat pola anatomi yang mirip (Gambar 2). Vertebra
umumnya terdiri dari korpus di bagian anterior dan arkus vertebra di posterior, dan
diantaranya terdapat lubang yang disebut sebagai foramen vertebralis yang berisikan
medulla spinalis dan lapisan meninges. Arkus vertebra terdiri dari sepasang pedikel
dan laminae. Arkus vertebralis membentuk 7 prosesus, antara lain satu prosesus
spinosus, dua prosesus tranversus, dan 4 prosesus artikularis. Prosesus spinosus
merupakan sambungan dari kedua laminae, sedangkan prosesus transversus terletak
diantara laminae dan pedikel. Kedua prosesus tersebut berfungsi sebagai tuas
pengungkit dan menjadi tempat perlekatan otot dan ligamen. Prosesus artikularis
terbagi menjadi dua prosesus superior dan dua prosesus inferior, kedua prosesus
tersebut membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari inferior notch dan superior
notch yang membentuk foramen intervertebralis (dari dua vertebra). Sendi dari
kolumna vertebralis terbagi menjadi 2, antara lain sendi antara dua korpus vertebra
yaitu fibrocartilaginous joint dari diskus intervertebralis dan sendi antara dua arkus
vertebralis yaitu sendi sinovial antara prosesus artikularis.4 Terdapat 6 ligamen di
sekitar kolumna vertebralis (Gambar 3), antara lain ligamen anterior longitudinal dan
posterior longitudinal (ligamen di sekitar korpus) dan ligamen supraspinatus,
interspinatus, intertraversum, dan flavum (ligamen diantara arkus vertebralis). Pada
daerah servikal, ligamen supraspinatus dan interspinatus bergabung membentuk
ligamentum nuchae.

Gambar 2. A. Gambaran kolumna vertebralis dari lateral. B. Fitur umum dari


tiap vertebra

Gambar 3. Ligamen pada kolumna vertebralis


2.2 Anatomi Medulla Spinalis

Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari foramen
magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang kanal
vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan dengan
medulla oblongata di otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas
bawah vertebra lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbar
ketiga pada anak-anak.4 Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara
lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Selain itu, likuor cerebrospinalis
(LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan perlindungan
tambahan bagi medulla spinalis.

Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal (Gambar
4).4 Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah 31
pasang nervus spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots (radiks) dan sensory
atau posterior root.4,5Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah
munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1 sampai C7
muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8 diantara kolumna
vertebralis C7-T1.5 Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah kolumna vertebralis
yang bersangkutan.

Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-otot
leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma, C5-T1
mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot
torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah.5 Beberapa
dermatom penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus
spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah
areola mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6
(ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial
antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas
bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femoralis), L2 (bagian anterior dari
femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari 1-3), S1 (jari
4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).5

Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak secara
eksternal.4,5 Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi
menjadi 10 lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang tersusun
dari nukleus-nukleus yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron (Gambar 4 dan
5).5

Gambar 5. Gambar penampang melintang dari medulla


Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai menuju ke pusat
sensorik di korteks serebral dapat dilihat pada Gambar 6. Traktus sensorik (ascending
tracts) dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus spinotalamik lateral yang
membawa sensorik untuk nyeri dan temperatur (Gambar 7), anterior spinotalamik
untuk perabaan (kasar/ crude touch) dan tekanan (Gambar 8), traktus kolumna
dorsalis (posterior white column) untuk raba halus (two-point discrimination), fungsi
proprioseptif dan getaran (Gambar 9), dan traktus-traktus lainnya
seperti, spinocerebellar (posterior dan anterior), cuneocerebellar, spinotectal,
spinoreticular, spinotectal, dan spino-olivary.4

Gambar 6. Gambaran umum perjalanan rangsang motorik

Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui traktus motorik (descending


tract) dari pusat motor di girus presentral ke efektor (otot) dapat dilihat pada Gambar
10. Traktus motorik dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus kortikospinal
(anterior dan lateral) untuk gerakan otot volunter dan yang membutuhkan ketepatan
(Gambar 11), rubrospinal untuk fasilitasi aktivitas otot-otot fleksor dan menghambat
otot ekstensor (atau otot antigravitasi), vestibulospinal untuk fasilitasi otot-otot
ekstensor dan menghambat otot fleksor terutama untuk tujuan menjaga postur dan
keseimbangan, dan olivospinal.

Pengetahuan akan perjalanan traktus-traktus (terutama mengenai pada level mana


terjadi decusatio) yang ada dalam substansia alba medulla spinalis akan memberikan
pengertian yang komprehensif mengenai manifestasi klinis pasien-pasien dengan
trauma medulla spinalis. Persepsi raba halus, proprioseptif, dan getaran (dari traktus
kolumna dorsalis) tidak mengalami penyilangan (decusatio) sebelum rangsang
tersebut mencapai medulla oblongata, sedangkan traktus spinotalamik lateral dan
anterior menyilang dalam 3 level segmen tempat rangsang tersebut masuk.6 Di sisi
lain, traktus motorik utama (kortikospinal) mengalami decusatio pada level medulla
oblongata. Hal ini menyebabkan adanya lesi pada traktus kortikospinal atau kolumna
dorsalis menyebabkan paralisis motor ipsilateral (untuk kortikospinal) dan hilangnya
persepsi raba halus, proprioseptif, dan getaran pada ipsilateral dari lesi tersebut.
Sebaliknya, lesi pada traktus yang membawa persepsi nyeri, suhu, tekanan, dan raba
kasar menyebabkan hilangnya persepsi tersebut pada daerah kontralateral dari lesi.6

Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla spinalis juga berperan
dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh saraf kranialis T1-L3
(torakolumbal), sedangkan fungsi saraf parasimpatis pada S2-S4.6 Lesi medulla
spinalis pada daerah yang bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf otonom
sesuai dengan tingkat lesinya. Salah satu korelasi klinis dari fungsi saraf simpatis
yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6 adalah neurogenic shock akibat
hilangnya tonus simpatis pada pembuluh darah arteri,7 sedangkan gangguan miksi
dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis.5
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis
posterior.6 Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian anterior dari
medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan disfungsi
dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur otonom (paraplegia,
hilangnya persepsi nyeri dan temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri spinalis
posterior secara utama memberikan suplai darah untuk kolumna dorsalis dan
substansia kelabu bagian posterior.8 Kedua arteri tersebut muncul dari arteri
vertebralis.6,8 Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan abdominalis
memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis.6

BAB 3
CEDERA MEDULA SPINALIS

3.1 Definisi

Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai cedera
atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik
secara sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau
otonom.6,9 Beberapa literatur membedakan SCI sebagai traumatic spinal cord injury
(TSCI) dan nontraumatic, sedangkan pada literatur lainnya menggunakan istilah SCI
sebagai TSCI.

3.2 Epidemiologi

Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta
penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per
tahun.2 Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan
cedera medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Amerika Serikat.10

Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28
tahun (terutama antara 16-30 tahun).2,10 Hampir seluruh pasien cedera medulla
spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1) karena resiko
yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang
berhubungan dengan rekreasi (seperti diving).2,10 Tingkat mortalitas yang tinggi
(50%) pada cedera medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan
awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan hidup dan
dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.1 Tingkat harapan hidup pada pasien dengan
cedera medulla spinalis menurun secara drastis apabila dibandingkan pada populasi
normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila dibandingkan
di tahun-tahun berikutnya.2

Gambar . Lokasi Tersering Spinal Cord Injury

3.3 Etiologi

Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS (Gambar 14), antara lain kecelakaan lalu lintas
(39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga (terutama diving,
8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%.2 Beberapa literatur mendokumentasikan
etiologi yang serupa, namun dengan sedikit variasi pada proporsinya.6,10,11 Etiologi
nontraumatik, antara lain gangguan vaskular, autoimun, degeneratif, infeksi,
iatrogenik, dan lesi onkogenik.6,7,11

Gambar . Etiologi Spinal Cord Injury

3.4. Patofisiologi

3.4.1 Mekanisme Cedera

Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level
C5-C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis.11Mekanisme cedera
umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera medulla
spinalis,11 contohnya motor vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas
umumnya melibatkan cedera daerah servikal (akibat hiperekstensi dan hiperfleksi),
jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian yang terjatuh menumpu
ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki menumpu melibatkan daerah
thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh di tangga dimana
leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal), jatuh
dengan bokong menumpu tanah melibatkan daerah lumbar).7

Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun seringkali tulang
belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena trauma yang
dialami.12 Hal penting yang perlu diketahui adalah walaupun derajat kerusakan
kolumna vertebralis yang parah umumnya menyebabkan cedera medulla spinalis
yang serius, namun hubungan tersebut tidak selalu terjadi. Kerusakan minor dari
kolumna vertebralis umumnya tidak menyebabkan defisit neurologis, namun tetap
mungkin menyebabkan defisit neurologis yang serius.13Seperti telah disinggung pada
paragraf sebelumnya, mekanisme cedera selain dapat menentukan tingkat cedera
medulla spinalis, juga menentukan jenis cedera pada kolumna vertebralis. Trauma
dapat menyebabkan cedera pada medulla spinalis melalui kompresi langsung dari
tulang, ligamen atau diskus, hematoma, gangguan perfusi dan atau traksi.13

Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat diklasifikasikan menjadi
fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relatif
3:1:1).12 Ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa,
antara lain kompresi vertikal dengan anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan
retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera fleksi, kepala tertunduk secara tajam
ketika gaya diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan akan mengalami
stres maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada diatas akan
terdorong kebawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen posterior dari korpus
vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang dan memberikan
kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini
merupakan jenis yang paling sering pada daerah servikal dan umumnya melibatkan
daerah C5/C6 (terjadi subluksasi/dislokasi).13 Seringkali, terdapat robekan
dari interspinous dan posterior longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera
ini tidak stabil.12,13 Cedera yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya
menyebabkan dislokasi.12 Cedera medulla spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi
dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular.13

Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala ekstensi
(retrofleksi).12 Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel) dari
vertebra servikalis bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi fraktur unilateral,
bilateral, dan robekan dari ligamen anterior.12 Cedera hiperekstensi dari medulla
spinalis umumnya terjadi tanpa terlihat adanya kerusakan vertebra
atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis yang
terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat
penonjolan ligamentum flavum atau dislokasi vertebra yang sementara karena
robekan ligamen (ketika di-xray atau CT-scan alignment sudah kembali normal).
Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray tulang belakang lateral dapat digunakan
untuk melihat cedera tulang belakang (perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari leher),
adanya robekan dan penonjolan ligamen dari dislokasi vertebra dapat dilihat dengan
menggunakan MRI.12 Selain itu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat
diakibatkan oleh central cervical cord syndrome. Cedera dengan mekanisme ini
umumnya melibatkan orang tua dan pasien dengan spinal canal stenosis.

Gambar 17. Mekanisme cedera hiperekstensi


.

Gambar 15. Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan pada
interspinous dan posterior longitudinal ligaments, kapsul facet, dan diskus intervertebralis
posterior.

Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi.13 Pada cedera dengan mekanisme
ini, korpus vertebra mengalami pemendekkan dan mungkin terjadi wedge
compression fracture atau burst fracture dengan aspek posterior dari korpus masuk
ke dalam kanal spinalis.1,7,13Wedge fracture umumnya stabil karena ligamentum
intak, namun apabila terdapat fragmen yang masuk kedalam kanal spinalis dan
biasanya terdapat kerusakan ligamen sehingga tergolong tidak stabil. Apabila terjadi
kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear drop fracture (digolongkan tidak stabil).
3.4.2 Patofisiologi molekuler

Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya gejala dan tanda
klinis akibat dari cedera primer dan sekunder.6,7,9,10 Terdapat 4 jenis mekanisme
cedera primer pada medulla spinalis, antara lain benturan dengan kompresi persisten,
benturan dengan kompresi sementara, distraksi, dan laserasi/transection.9 Mekanisme
cedera primer yang paling umum adalah benturan disertai kompresi persisten, yang
terutama terjadi pada burst fracture dengan retropulsi dari fragmen tulang yang
memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture), fraktur-dislokasi,
dan ruptur diskus akut. Mekanisme kedua yaitu benturan dengan kompresi sementara
yang contohnya terjadi pada cedera hiperekstensi di individu dengan penyakit
degenerasi servikal. Distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis
akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi atau dislokasi yang menyebabkan (dapat
menyebabkan gangguan perfusi) merupakan mekanisme ketiga. Cedera distraksi ini
merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera medulla spinalis tanpa ditemukan
adanya kelainan pada pencitraan radiologi. Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi
dapat disebabkan oleh cedera karena roket, luka karena senapan api, dislokasi dari
fragmen tulang yang tajam, dan distraksi hebat. Laserasi dapat
menyebabkan transection total sampai cedera minor. Seluruh mekanisme cedera
primer menyebabkan kerusakan pada substansia kelabu bagian sentral, tanpa
kerusakan substansia alba (bagian perifer). Adanya kecenderungan cedera pada
bagian substansia kelabu dispekulasikan merupakan akibat konsistensi yang lebih
lunak dan adanya pembuluh darah yang lebih banyak.9 Cedera tersebut menyebabkan
kerusakan pembuluh darah (microhemorrhage) dalam hitungan menit awal
pascatrauma sampai beberapa jam kedepan yang berlanjut mengakibatkan iskemia
dan hipoksia medulla spinalis.9,10 Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan
metabolisme yang tinggi dari medulla spinalis.9 Selain pembuluh darah, neuron juga
mengalami kerusakan (ruptur akson dan membran sel neuron) dan transmisinya
terganggu akibat adanya edema pada daerah cedera.9,10 Edema hebat medulla spinalis
terjadi dalam hitungan menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan iskemia
cedera sekunder.10 Substansia kelabu mengalami kerusakan ireversibel dalam 1 jam
pertama setelah cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah cedera.9

Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera medulla
spinalis. Mekanisme cedera sekunder (Gambar 19), meliputi shok neurogenik,
gangguan vaskular berupa perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas,
kerusakan sekunder akibat kalsium, gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis,
apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya.9

Gambar 19. Cedera primer dan sekunder dari Spinal Cord Injury
Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok neurogenik (Gambar 20).
Terdapat beberapa interpretasi dari definisi shok ini, namun dalam literatur umumnya
didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese serius pada
vasomotor (yang berakibat gangguan keseimbangan dari vasodilasi dan vasokontriksi
pada arteriole dan venules). Neurogenik shok merupakan akibat dari shok spinal yang
merupakan manifestasi dari cedera medulla spinalis. Cedera primer menyebabkan
peningkatan ion potassium pada rongga ekstraselular sehingga mengakibatkan
hilangnya aktivitas somatik, refleks, dan autonomik dibawah level kerusakan
tersebut. Shok neurogenik disebabkan karena hilangnya tonus simpatis yang
berakibat munculnya bradikardia, hipotensi dengan penurunan resistensi perifer
dan cardiac output.7 Shok ini umumnya bermanifestasi antara 4-6 jam setelah cedera
diatas level T6 terjadi. Shok spinal dan neurogenik merupakan kondisi sementara
yang dapat bertahan antara 48 jam sampai 6 minggu pascacedera (sangat bervariasi).

Gambar 20. Patofisiologi dari shok neurogenik.


3.4.3 Defisit neurologis pada cedera medulla spinalis

Seperti yang telah disinggung pada sub-bab sebelumnya, shok spinal atau fase tidak
adanya aktivitas medulla spinalis (penurunan fungsi motorik, sensorik, refleks dan
otonom) terjadi pasca-cedera hebat pada medulla spinalis.12,13 Durasi shok spinal
bervariasi dari periode 48 jam sampai 6-8 minggu.13 Pada fase shok spinal, tidak
mungkin seorang tenaga kesehatan dapat menilai status neurologis sesungguhnya
(akibat cedera) dari pasien tersebut. Status neurologis hanya dapat dinilai setelah fase
tersebut selesai dimana diagnosis dari cedera komplit atau inkomplit dari medulla
spinalis dapat ditegakkan.7

Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), cedera medulla spinalis komplit
didefinisikan sebagai cedera yang melibatkan seluruh segmen sakral dari medulla
spinalis yaitu S4 dan S5 (fungsi sensorik dan motorik tidak ada sama sekali),
sedangkan cedera inkomplit tidak melibatkan dua segmen sakral tersebut (fungsi S4-
S5 masih ada antara fungsi motorik dan atau sensorik) dan dapat masuk dalam salah
satu dari 4 sindrom klasik medulla spinalis (Anterior cord syndrome, posterior cord
syndrome, central cord syndrome, dan Brown-Sequard syndrome) ataupun gabungan
dari sindrom-sindrom tersebut.7,11

Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari traktus sensorik
(termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral), motorik (kortikospinal anterior
dan lateral), dan fungsi otonom dari level lesi kebawah. Pada complete cord
transection, terdapat dua fase, meliputi fase arefleksia (fase shok spinal) dan fase
hyperrefleksia.12 Presentasi klinis pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi
komplit adalah tetraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik
pada segmen servikal dari medulla spinalis karena adanya kerusakan elemen saraf
dalam kanal spinalis yang melibatkan kelemahan pada keempat ekstremitas, dan
organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau
sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sakral (tetapi tidak servikal) akibat dari
kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis (sebagaimana didefinisikan oleh
International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi
2011 yang dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia pada level dibawah lesi,
shok neurogenik (hipotensi dan hipotermia tanpa takikardia kompensasi), gangguan
nafas (pada lesi servikal atas), hilangnya tonus rektum dan buli-buli, retensio urin dan
usus menyebabkan ileus, dan priapism.12,14 Pada fase hiperrefleksia, seluruh aktifitas
refleks kembali dan meningkat tonusnya. Babinski sign (dorsifleksi dari ibu jari),
refleks achilles, patellar, bulbocavernous, dan refleks lainnya akan kembali dan
meningkat. Refleks miksi dan defekasi akan meningkat dan tidak dapat
dikendalikan.12

Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan salah satu
sindrom lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling umum dan terjadi akibat
cedera hiperekstensi pada daerah servikal dengan kompresi medulla spinalis oleh
osteophyte secara anterior dan ligamentum flavum secara posterior.12,13,15,16 Sindrom
ini merupakan akibat dari proses patologi yang terjadi di dalam dan sekitar kanal
sentralis sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus spinotalamik yang
mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat (Gambar 22). Seiring
dengan meluasnya lesi ke lateral,15 traktus kortikospinal akan terlibat dan
menyebabkan kelemahan motorik yang lebih bermakna di ekstremitas atas
dibandingkan ekstremitas bawah (tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat pada
traktus yang lebih medial yaitu traktus kortikospinal untuk ekstremitas
atas).7 Penurunan fungsi sensorik umumnya minimal, berbentuk shawl-like (seperti
syal) atau nonspesifik dan terjadi dibawah lesi.13,15,16 Disfungsi buli-buli yang
menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.

Anterior Cord Syndrome atau Anterior Spinal Artery Syndrome merupakan sindroma
klinis pada cedera medulla spinalis akibat retropulsi dari tulang atau diskus yang
mengakibatkan kompresi dan mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior
(anterior spinal artery).11,13Hal ini menyebabkan kerusakan pada traktus
kortikospinal dan spinotalamik, tetapi tidak pada traktus kolumna dorsalis (perfusi
utama berasal dari posterior spinal artery).13 Sindrom ini umumnya terjadi setelah
cedera fleksi atau kompresi (axial loading). Adanya kelemahan motorik, dan sensorik
pada beberapa level dibawah level motorik tanpa adanya gangguan bermakna pada
fungsi proprioseptif, raba halus, dan getaran sugestif mengarahkan diagnosis
pada anterior cord syndrome.

Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior medulla spinalis
yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point
discrimination.15,16Sindrom ini jarang terjadi pada TSCI, dan seringnya terasosiasi
dengan multiple sclerosis. Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik
(atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari
sindrom ini.15

Brown-Squards syndrome (BSS) terjadi karena hemisection dari medulla spinalis


akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka tembak) atau fraktur tulang
belakang.7,13,15Kondisi ini jarang terjadi, dan umumnya datang dengan presentasi
berupa parase motorik ipsilateral dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk nyeri,
temperatur, dan raba pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi proprioseptif
ipsilateral dari lesi. 11,13

Conus medullaris syndrome melibatkan level T11-L1. Sindrom ini terjadi akibat
cedera pada thorakolumbal yang menyebabkan fragmen tulang atau diskus
mengkompresi daerah medulla spinalis. Adanya disfungsi miksi dini dan saddle-type
anesthesia, kelemahan flaccid ekstremitas bawah yang simetris, nyeri minimal (bila
dibandingkan dengan nyeri hebat pada cauda equina syndrome) membedakan
sindrom ini dengan cauda equina syndrome.
Spinal cord concussion mengakibatkan adanya hilangnya atau penurunan fungsi
medulla spinalis secara sementara.13 Patofisiologi terjadinya masih belum jelas,
namun dianggap menyerupai cerebral concussion. Penyembuhan terjadi dalam 6 jam
sampai 48 jam.13

3.5 Diagnosis

3.5.1 Evaluasi klinis

Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status neurologis
lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan
observasi primer. Pada observasi primer, ABC (Airway, Breathing,
Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka
penilaian status neurologis baru dilaksanakan (Disability).

Dugaan terhadap adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh baik
mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada
daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau sensorik.6 Selain itu,
CMS akut harus diduga apabila ditemukan adanya gejala otonom (retensio urin,
konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia), defisit motorik (hemiplegia,
tetraplegia, paraplegia), dan sensorik (hemianestesia, hemihipestesia).5,6 Penggunaan
Kriteria NEXUS (the National Emergency X-Radiography Utilization Study) Low-
Risk Criteria atau CCR (The Canadian C-Spine Rule) digunakan untuk
mengidentifikasikan resiko rendah kemungkinan terjadinya cedera servikal pada
pasien trauma.17 NEXUS Low-Risk Criteria meliputi, tidak adanya nyeri tekan pada
daerah garis tengah posterior (posterior midline cervical-spine tenderness), tidak
adanya tanda-tanda intoksikasi (alkohol), kesadaran normal (GCS 14 kebawah
dianggap tidak normal), tidak ada defisit neurologis fokal (setelah pemeriksaan
neurologis lengkap), dan tidak ada cedera yang nyeri dan mendistraksi (fraktur, nyeri
visceral, crush injury, luka bakar, dan nyeri lainnya), sedangkan kriteria CCR dapat
dilihat pada Gambar 23.17

Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan fungsi
sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik klinik yang
umum dilakukan adalah mendefinisikan CMS sesuai dengan International standards
for neurological classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh ASIA
(Gambar 24).12,14 Langkah-langkah dalam penilaian status neurologis berturut-turut,
antara lain menentukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensory
points, menentukan level motorik dengan key motor muscles, menentukan single
neurological level, menentukan apakah cedera komplit atau inkomplit berdasarkan
ada-tidaknya sacral sparing, dan terakhir menentukan ASIA impairment
scale.14 Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling kaudal
untuk fungsi nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi sensorik
pada level dibawahnya tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan kiri
mungkin memiliki perbedaan, sehingga nilai keduanya harus ditentukan. Level
motorik ditentukan dengan mengevaluasi key muscle paling rendah dengan kekuatan
minimal 3 (dalam posisi telentang), dengan fungsi motorik pada segmen diatas level
tersebut memiliki kekuatan 5. Single Neurological Level ditentukan dengan level
neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4 level yang ditemukan (level sensorik
dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).

Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex merupakan


pemeriksaan refleks yang penting untuk menentukan muncul dan selesainya periode
dari shok spinal. Reflex ini melibatkan level S2-S4 medulla spinalis. Tidak adanya
BCR tanpa adanya CMS pada bagian sakral mengindikasikan adanya shok spinal, dan
umumnya refleks ini akan kembali pertama kali setelah periode shok spinal berakhir.
Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan bahwa cedera
komplit dari CMS. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak
terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus medullaris
atau cauda equina.

3.5.2 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam
mendiagnosis cedera spinal.18 Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior
merupakan pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal,
sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior dibandingkan plain x-ray karena dapat
melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai dengan
keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan
gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi. Pemeriksaan MRI yang
normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi dini, hal ini
dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah servikal
dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera pada ligamen
dan jaringan lunak.1,18

Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari
servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak teridentifikasinya
cedera pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian
cervico-thoracic junction (CTJ) dapat digunakan swimmers view atau traksi
lengan. 18 Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray servikal dapat dilakukan dengan
ABCs, alignment, bones, cartilages, dan soft tissues.18 Alignment ditelusuri
menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar 25 (perbedaan >3,5 mm antara
vertebra satu dengan yang lainnya dianggap abnormal, dibawah <5mm unilateral
facet dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau
tidak (tipe fraktur), cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan
pelebaran diskus intervertebralis, dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior
dari tulang belakang (nilai normal untuk lebar jaringan prevertebral C4 keatas adalah
? 1/3 lebar korpus vertebra tersebut, dan C4 kebawah ?100% lebarnya).

3.6 Tatalaksana

Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat
diperbaiki sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya kerusakan
lebih lanjut yang belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi dari cedera
tersebut.13 Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah kerusakan
sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan ligamen),
mencegah dan menangani komplikasi dari CMS, dan rehabilitasi.13 Berdasarkan
waktu penanganannya tatalaksana CMS dibagi menjadi dua fase, antara lain fase pra-
rumah sakit dan fase di rumah sakit.

3.6.1 Penanganan pra-rumah sakit

Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit maupun di
rumah sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan survei
primer ABCD (Airway, Breathing, Circulation, dan Disability) untuk merestorasi
tanda-tanda vital dan survei sekunder.13,19,20 Survei sekunder pada fase ini umumnya
hanya fokus terhadap gejala dan tanda klinis CMS (nyeri di leher atau punggung,
nyeri tekan pada tulang belakang, paraplegia/tetraplegia, paraesthesia, inkontinensia,
priapism, peningkatan temperatur dari kulit atau eritema).19 Titik utama yang
membedakan penanganan pra-rumah sakit dengan di rumah sakit adalah tindakan
imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan pasien ke unit gawat darurat
(UGD) rumah sakit.19,20

Diperkirakan sampai 25% dari CMS mengalami perburukan setelah trauma terjadi,
baik ketika dalam perjalanan ke rumah sakit atau dalam penanganan awal (4%
diakibatkan karena tidak adanya tindakan imobilisasi yang adekuat).19,20 Mobilisasi
dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu sangat krusial pada pasien
CMS karena dapat memperburuk cedera yang dialami pasien. Posisi netral
(anatomis), stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan karung pasir
(sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan wajah, spinal board, penggunaan
metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan pasien dengan minimum 4
penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi tulang belakang agar tidak
mengalami cedera lebih lanjut.20 Tindakan imobilisasi terus dipertahankan sampai
pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur, umumnya apabila MRI sudah
menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang belakang maka penggunaan collar
sudah dapat dilepas.1,18

Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital yang
ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali menemukan pasien
trauma, kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat untuk melihat gejala
dan tanda klinis untuk CMS. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien dengan
CMS dapat mengalami respiratory insufficiency akibat dari lesi CMS yang tinggi
(parese nervus phrenikus) dan syok neurogenik yang menyebabkan hipotensi
sehingga tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan sekunder akibat hipoksia dan
hipotensi tersebut harus dideteksi dan ditangani secara cepat dan adekuat. Intubasi
harus dilakukan bila memang dibutuhkan, tidak hanya untuk memberikan oksigenasi
yang adekuat, tetapi juga untuk mempertahankan patensi jalan napas. Pada pasien
CMS yang tidak stabil membutuhkan dokter atau paramedis yang berpengalaman
dalam teknik intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi dari leher
karena tindakan tersebut dapat memperparah CMS dan menyebabkan
kematian.19 Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah 90 mmHg dan
bradikardia (nadi dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya syok neurogenik
(hipovolemik bila takikardia). Syok neurogenik diatasi dengan pemasangan dua IV
line large bore (16-18 G), pemberian cairan isotonis, penggunaan vasopressor
(norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan nadi.19
3.6.2 Penanganan di rumah sakit

Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang mungkin mengalami


komplikasi dari CMS, yaitu mulai dari sistem respiratorik, kardiovaskular, urologi,
gastrointestinal, kulit, sampai tindakan reduksi baik non-operatif maupun operatif.

3.6.2.1 Penanganan awal

Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan sekunder.
Apabila pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan imobilisasi
tulang belakang, maka tindakan awal yang harus dilakukan adalah tindakan
imobilisasi. Hal yang berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit adalah pada
pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara lengkap (apabila tanda-tanda vital
ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dilakukan
sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord
Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan neurologis
awal dapat ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau inkomplit, dan ada-
tidaknya fase shok spinal.11,13,14 Pemeriksaan radiologi kemudian dilakukan untuk
melihat atau menyingkirkan kemungkinan terjadinya CMS.

3.6.2.2 Penanganan spesifik untuk komplikasi-komplikasi CMS

3.6.2.2.1 Sistem respiratorik

Komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas dan mortailitas


utama pada pasien CMS.21 Lesi yang berkatian langsung dengan fungsi pernapasan
adalah lesi setingkat C5 keatas, sedangkan lesi pada tingkat torakal hanya
mengganggu fungsi batuk dan lesi di lumbal tidak mempengaruhi sama sekali. Pasien
dengan lesi diatas C5 sebaiknya diintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik
karena penurunan fungsi respirasi secara gradual dapat terjadi. Fungsi respirasi harus
dimonitor secara ketat dengan memeriksa saturasi oksigen, kapasitas vital (vital
capacity/VC) paru, dan analisa gas darah berkala.20Retensi sputum umumnya terjadi
dalam beberapa hari setelah cedera diakibatkan gangguan pada fungsi batuk yang
efektif, hal ini akan menyebabkan atelectasis dan pneumonia.20,21Chest
physiotherapy, assisted cough dan latihan nafas secara reguler dapat mencegah
atelektasis dan infeksi paru.20

3.6.2.2.2 Sistem kardiovaskuler

Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS adalah syok
neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi pada lesi
diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut
menyebabkan vasodilasi dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok.
Syok pada CMS harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena apabila
pada syok neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi edema
paru.20,22 Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian cairan
IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti norepinefrin,
epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatkan nadi, dan hindari hipotermia
akibat vasodilasi.22 Mean Arterial Pressure (MAP) harus ditargetkan diatas 70
mmHg, waaupun beberapa studi menunjukan MAP > 85 mmHg memberikan
prognosis yang lebih baik.

Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat CMS.20 Insiden emboli paru paling tinggi terjadi
pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien CMS yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak ada
kontraindikasi seperti trauma kapitis atau toraks, stocking antiembolism digunakan
selama 2 minggu pertama setelah trauma dan penggunaan antikoagulan dimulai
dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low molecular weight
heparin lebih baik daripada warfarin).20,21,22
3.6.2.2.3 Sistem urologi

Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin secara
spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio urin
yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal.20,21 Segera setibanya pasien di RS
harus dilakukan pemasangan kateter Foley. Waktu pulihnya refleks berkemih
bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa sampai 1 tahun (ada literatur yang
mengatakan bisa tidak kembali).11

Program kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut,


ketika intake dan output cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya infeksi saluran kemih. Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat
terjadi kerusakan otot detrusor dan refluks karena tekanan pengisian buli-buli yang
tinggi.

Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK).21 ISK simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai
dengan antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik
tidak perlu diterapi secara rutin. Penerapan metode steril penting dilakukan untuk
pencegahan ISK.

3.6.2.2.4 Sistem gastrointestinal

Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena selama 48
jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat.20 Pada kondisi
tersebut, nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan sampai
bising usus kembali normal. Total parenteral nutrition sebaiknya
diberikan.11 Apabila ileus paralitik terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat
menyebabkan gangguan pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut dapat terjadi
dengan perdarahan atau perforasi, walaupun tidak umum terjadi, namun komplikasi
ini berbahaya. Oleh karena itu, pemberian antagonis reseptor H2 atau proton pump
inhibitor (PPI) harus dimulai secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah
trauma.20,21

Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai
secara agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal. Ketinggian
lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12 menyebabkan
hiperrefleksia dan spastic dari sfingter ani, sedangkan lesi dibawahnya menyebabkan
arrefleksia dan flaccid dari sfingter tersebut.11 Metode pengosongan usus dengan
kombinasi supositoria dan stimulasi anorektal, merangsang pola evakuasi pada kolon
distal.21

3.6.2.2.5 Kulit

Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan
perlu dilakukan sejak dini.21 Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring
kanan setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa
membantu mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus tetap
diubah tiap 2 jam.

3.6.2.2.6 Penggunaan kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi) sekarang ini


mengalami kontroversi.11 Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2 (National Acute
Spinal Cord Injury Study) menunjukan pemberian metilprednisolon dosis tinggi
(bolus 30 mg/kgBB dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23
jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah CMS tertutup meningkatkan prognosis
neurologis pasien.11,20 Studi NASCIS 3 kemudian menambahkan bahwa terapi
metilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma harus dilanjutkan selama
24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus dilanjutkan
selama 48 jam.11,20 Consortium for Spinal Cord Medicine tidak merekomendasikan
penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside GM-1, gacyclidine,
tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis peningkatan prognosis akhir belum
didapatkan secara definit.22

3.6.2.3 Terapi reduksi non-operatif dan operatif

Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi
dan alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis.13 Setiap CMS yang tidak
stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat
pergerakan dan juga melepaskan kompresi medulla spinalis.23 Pasien dengan CMS
daerah servikal dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk
mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada medulla spinalis pada burst
fracture, dan splint tulang belakang.23 Skeletal traction untuk mengembalikan atau
mempertahankan alignment yang normal merupakan metode yang cepat dan
efektif.13 Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded
tongs (Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia. Beban yang digunakan
tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa dislokasi, beban yang
digunakan umumnya 3-5 kg, sedangkan pada dislokasi digunakan peningkatan berat
4 kg setiap 30 menit (sampai total 25 kg) dalam posisi leher dalam keadaan
fleksi.23Pasien harus diperiksa status neurologis nya setiap peningkatan beban, dan
beban traksi harus dikurangi secepatnya bila terjadi perburukan status neurologis.
Selain itu, halo traction dapat digunakan sebagai alat alternatif dari skeletal traction.

Cedera Medulla spinalis pada daerah torakolumbal terjadi umumnya karena gaya
fleksi-rotasi.23 Penanganan konservatif dapat dilakukan pada daerah tersebut yaitu
dengan postural reduction di ranjang.13,23 Pada kondisi tertentu dibutuhkan fiksasi
internal pada fraktur-dislokasi yang tidak stabil untuk mencegah kerusakan medulla
spinalis dan radiksnya.

Banyak kontroversi mengenai penanganan secara operatif pada pasien


CMS.13Kerusakan pada medulla spinalis umumnya terjadi sewaktu terjadinya trauma
sehingga tidak mengherankan bahwa tidak banyak bukti perubahan fungsi neurologis
yang bermakna terjadi setelah penanganan operatif dekompresi akut dari tulang
belakang. Indikasi umum dilakukan intervensi operatif, antara lain perburukan dari
defisit neurologis (indikasi absolut) yang ditunjukan dari adanya lesi kompresi
dengan menggunakan CT-Scan atau MRI, pasien dengan CMS inkomplit yang tidak
mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan adanya lesi kompresi
(dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau tusuk untuk mengeluarkan
benda asing, dan untuk kepentingan stabilisasi (terutama karena instabilitas hebat
dengan lesi inkomplit, tidak bisa dilakukannya closed reduction, dan agar tirah baring
tidak terlalu lama).13

BAB 4
RINGKASAN

Cedera medura spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan
salah satu cedera hebat yang memberikan siknifikansi besar dalam kehidupan
manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas
sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, dan masyarakat.
Pengetahuan akan struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan
mendasar yang diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat
ditimbulkan oleh cedera medulla spinalis. Cedera ini umumnya melibatkan pria
dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun)
dengan perbandingan rasio pria : wanita yaitu 4:1. Etiologi CMS antara lain
kecelakaan lalu lintas (39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah
raga (terutama diving, 8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%. Lokasi SCI
berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level C5-
C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis. Mekanisme cedera, antara lain
cedera fleksi, hiperekstensi, dan kompresi. Diagnosis dari CMS dilakukan secara
pemeriksaan klinis dan evaluasi radiologis. Penanganan CMS sesuai dengan prinsip
ATLS dan meliputi penanganan pra-rumah sakit dan di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

1.Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In:
Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 nd edition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71

2. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and
Figures at a Glance. Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded
from: https://www.nsisc.uab.edu

3. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine and
Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ,
Cydulka RK, Meckler GD, eds.Tintinallis Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6389092. Accessed
September 30, 2013

4. Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and Descending
Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

5. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal
Cord. Emedicine Medscape 2013. http://emedicine.medscape/article/1148570-
overview#showall

6. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape


2013. http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall
7. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg
Nurse 2005; 12(9):29-38

8. Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other Structures


Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed.Clinical Neuroanatomy.
26th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198. Accessed
October 1, 2013.

9. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic


Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

10. Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine
Medscape 2013. http://emedicine.medscape.com/article/1149070-
overview#a0199

11. Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related
Diseases. In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New
Jersey. Humana Press. 2004. p.417-32

12. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In:
Ropper AH, Samuels MA, eds.Adams and Victors Principles of Neurology.
9th ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625. Accessed
October 3, 2013.

13. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery.
3rdEdition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33

14. Kirshblum et al. International standards for neurological classification of


spinal cord injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46
15. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of
Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11

16. Bill II CH, Harkins VL. Chapter 29. Spinal Cord Injuries. In:Shah SM, Kelly
KM. Principles and Practice of Emergency Neurology. Cambridge University
Press, New York. 2003 p.286-303

17. Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the NEXUS Low-Risk Criteria
in Patients with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8

18. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In:


Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing
Group, London. 2002. p. 11-6

19. Castellano JM. Prehospital Management of Spinal Cord


Injuries. Emergencias 2007; 19:25-31

20. Swain A, Grundy D. Chapter 4. Early Management and Complications I In:


Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing
Group, London. 2002. p. 17-20

21. Wahjoepramono EJ. Medula Spinalis dan Tulang Belakang. Fakultas


Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci. 2007. p. 131-56

22. Consortium for Spinal Cord Medicine. Early Acute Management in Adults
with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care
Providers. J Spinal Cord Med 2008;31(4):408-79

23. Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and Complications II.


In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 21-4

Anda mungkin juga menyukai