PENDAHULUAN
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita,
kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai
indra penglihat. Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli
perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli
berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan
trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan
trauma kimia (bahan asam dan basa)1.
Trauma okuli juga merupakan penyebab kerusakan berat bahkan kebutaan unilateral
pada anak dan dewasa muda. Pada kelompok usia ini mengalami sebagian besar
cedera mata yang parah. Dewasa muda terutama pria merupakan kelompok yang
kemungkinan besar mengalami cedera tembus mata. Kecelakaan di rumah, kekerasan,
ledakan aki, cedera akibat olahraga, dan kecelakaan lalu lintas merupakan keadaankeadaan yang paling sering menyebabkan trauma mata. Dengan pertimbangan tersebut
penting bagi dokter dan semua tenaga medis untuk mengenali trauma okuli yang terjadi
dan segera melakukan sistem rujukan aktif ke rumah sakit yang nantinya akan dilakukan
penanganan lebih lanjut2.
Prevalensi kebutaaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui dengan
pasti, namun pada Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran pada tahun
1993-1996 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam penyebab kebutaan
lain-lain sebesar 0,15% dari jumlah total kebutaan nasional yang berkisar 1,5%. Trauma
okuli juga bukan merupakan 10 besar penyakit mata yang menyebabkan kebutaan.3
Sebagai seorang dokter harus memikirkan apakah kasus yang dihadapi merupakan
true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus ditangani dalam
hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus ditangani dalam hitungan jam
atau hari. Sehingga membutuhkan diagnosa dan pertolongan cepat dan tepat. Trauma
okuli merupakan kedaruratan mutlak di bidang ocular emergency. Sebagai contoh
apabila didapatkan trauma tumpul akan menimbulkan menifestasi perdarahan bawah
kulit atau hematoma, luka robek pada palpebra, konjungtiva, yang juga bisa diikuti erosi,
ekskoriasi kornea. Selain itu juga harus difikirkan mengenai efek lanjut atau komplikasi
akibat trauma tersebut. Hal ini dikarenakan trauma dapat mengenai jaringan seperti
kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita
secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan mata3.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi kornea,
erosi kornea rekuren, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa
anterior, luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, ruptur koroid
serta avulsi papil saraf optik. Jika komplikasi tersebut terjadi maka terapi yang diberikan
juga meliputi penanganan terhadap komplikasi yang timbul4.
Dalam makalah kasus panjang ini akan penulis laporkan sebuah laporan kasus
mengenai pasien berusia 56 tahun yang mengalami trauma okuli non perforans dengan
komplikasi laserasi palpebra, ruptur konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan hifema grade
IV akibat trauma mekanis (terbentur sudut meja) yang menjalani rawat inap di Rumah
Sakit Syaiful Anwar Malang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Trauma Tumpul Okuli
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita,
kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai
indra penglihat5.
Trauma tumpul okuli merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda yang
keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat
mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan
bola mata atau daerah sekitarnya3,5. Trauma tumpul biasanya terjadi karena kecelakaan
di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas 1. Trauma
tumpul dapat bersifat Counter Coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan
pada arah horisontal di sisi yang berseberangan sehingga jika tekanan benda mengenai
bola mata akan diteruskan sampai dengan makula3,5.
2.2 Klasifikasi Trauma Okuli
Menurut skema diatas, secara garis besar trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu
trauma okuli non perforans dan perforans, yang keduanya memiliki potensi menimbulkan
ruptur pada perlukaan kornea, iris dan pupil serta dapat menimbulkan komplikasi
sepanjang bagian mata yang terkena (bisa meliputi mulai dari bagian kornea hingga
retina).
Selain berdasarkan efek perforasi yang ditimbulkan trauma okuli juga juga bisa
diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu:
Trauma okuli non perforans akibat benda tumpul dimana benda tersebut dapat
mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat, mampu menimbulkan efek
atau komplikasi jaringan seperti pada kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa,
retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian
trauma jaringan mata.
Fotofobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama adanya
benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea, benda asing pada
segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang masuk ke dalam mata
menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau pada pasien. Penyebab lain fotofobia
pada pasien trauma mata adalah lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil
tidak dapat mengecil dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke
dalam mata.
2.3.2 Tanda (Signs)
Gambar diatas merupakan gambar ilustrasi mengenai benda yang dengan kecepatan
tertentu dapat menimbulkan perlukaan atau trauma pada mata. Beberapa manifestasi
klinis dapat muncul akibat trauma benda tumpul diantaranya:
1. Hematoma palpebra
Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah
kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hematoma kelopak
merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Bila perdarahan
terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata
hitam (raccon eye) yang sedang dipakai, terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang
merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri oftalmika maka darah
masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Penanganan pertama dapat
diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan. Selanjutnya untuk
memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak4,6.
2. Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada
setiap kelainan termasuk akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar
dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip maka keadaan ini
telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva. Edema konjungtiva yang berat
dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan
terhadap konjungtiva. Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk
mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva. Pada kemotik
konjungtiva berat dapat dilakukan disisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar
melalui insisi tersebut4,6.
3. Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat
dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya
pembuluh darah ini bisa akibat dari batuk rejan, trauma tumpul atau pada keadaan
pembuluh darah yang mudah pecah. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil
lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka
sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptut
bulbus oculi4,6.
4.
Edema kornea
Edema kornea dapat meberikan keluhan berupa penglihatan kabur dan terlihatnya
pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat
keruh dengan uji plasedo yang positif. Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan
Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera
pada membran basal. Dalam waktu singkat epitel sekitar dapat bermigrasi dengan
cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Erosi di kornea menyebabkan nyeri dan
iritasi yang dapat dirasakan sewatu mata dan kelopak mata digerakkan. Pola tanda
goresan vertikal di kornea mengisyaratkan adanya benda asing tertanam di
permukaan konjungtiva tarsalis di kelopak mata atas. Pemakaian berlebihan lensa
kontak menimbulkan edema kornea.Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat
erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair,
fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media yang keruh. Pada kornea akan
terlihat adanya defek epitel kornea yang bila diberi fuorosein akan berwarna hijau4,6.
Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal. Epitel
akan sukar menutup dikarenakan terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea
sebagai sebagai tempat duduknya sel basal epitel kornea. Umumnya membrane basal
yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu. Permukaan kornea perlu diberi
pelumas untuk membentuk membran basal kornea. Pemberian siklopegik bertujuan
untuk mengurangi rasa sakit ataupun untuk mengurangi gejala radang uvea yang
mungkn timbul. Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk
mempercepat pertumbuhan epitel baru dan mencegah infeksi skunder. Dapat
digunakan lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren pada kornea
dengan maksud untuk mempertahankan epitel berada ditempatnya1,4,6.
6. Iridoplegia
Kelumpuhan otot sfingter pupil yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul pada
uvea sehingga menyebabkan pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan sukar
melihat dekat karena gangguan akomodasi dan merasakan silau karena gangguan
pengaturan masuknya cahaya ke pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria
dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil biasanya tidak bereaksi terhadap sinar.
Penanganan pada pasien dengan iridoplegia post trauma sebaiknya diberikan istirahat
untuk mencegah terjadinnya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia3,4,6.
7. Iridodialisa
Iridodialisis adalah keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya sehingga bentuk
pupil tidak bulat dan pada pangkal iris terdapat lubang. Saat mata kita berkontak
dengan benda asing, maka mata akan bereaksi dengan menutup kelopak mata dan
mata memutar ke atas. Ini alasannya mengapa titik cedera yang paling sering terjadi
adalah pada temporal bawah pada mata. Pada daerah inilah iris sering terlihat seperti
peripheral iris tears (iridodialisis). Saat mata tertekan maka iris perifer akan robek
pada akarnya dan meninggalkan crescentic gap yang berwarna hitam tetapi reflek
fundus masih dapat diobservasi9. Hal ini mudah terjadi karena bagian iris yang
berdekatan dengan badan silier gampang robek. Lubang pupil pada pangkal iris
tersebut merupakan lubang permanen karena iris tidak mempunyai kemampuan
regenerasi1.
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk
pupil menjadi berubah. Perubahan bentuk pupil maupun perubahan ukuran pupil
akibat trauma tumpul tidak banyak mengganggu tajam penglihatan penderita. Pasien
akan melihat ganda dengan satu matanya. Pada iridodialisis akan terlihat pupil
lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila
Hifema
Hifema adalah darah di dalam bilik mata depan yang dapat terjadi akibat trauma
tumpul sehingga merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif
(trauma tumpul) sering merobek pembuluh-pembuluh darah iris atau badan siliar dan
merusak sudut kamera okuli anterior. Darah di dalam cairan dapat membentuk suatu
lapisan yang dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut terjadi apabila jaringan trabekular
tersumbat oleh fibrin dan sel atau apabila pembentukan bekuan darah menyebabkan
sumbatan pupil1,3,5.
Gambar 5. Hifema
Hifema dibagi dalam 4 grade berdasarkan tampilan klinisnya10:
1. grade I: menutupi < 1/3 COA (Camera Oculi Anterior)
2. grade II: menutupi 1/3-1/2 COA
3. grade III: menutupi 1/2-3/4 COA
4. grade IV: menutupi 3/4-seluruh COA
Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme.
Penglihatan pasien akan sangat menurun dan bila pasien duduk hifema akan terlihat
terkumpul dibagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik
mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Tanda-tanda klinis
lain berupa tekanan intraokuli (TIO) normal/meningkat/menurun, bentuk pupil
normal/midriasis/lonjong, pelebaran pembuluh darah perikornea, kadang diikuti erosi
kornea dengan tes fluoresein dapat (+) atau (-)4,6.
9.
Iridosiklitis
Yaitu radang pada uvea anterior yang terjadi akibat reaksi jaringan uvea pada post
trauma. Pada mata akan terlihat mata merah, akbat danya darah yang berada di
10
dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil mata yang mengecil yang
mengakibatkan visus menurun. Sebaiknya pada mata diukur tekanan bola mata untuk
persiapan memeriksa fundus dengan midriatika. Pada uveitis anterior diberikan tetes
midriatik dan steroid topikal, bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan
steroid sistemik. Penanganan aktif dengan cara bedah mata.
10.
Subluksasi Lensa
Subluksasi Lensa adalah lensa yang berpindah tempat akibat putusnya sebagian
zonula zinn ataupun dapat terjadi spontan karena trauma atau zonula zinn yang rapuh
(sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang.
Gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak
ada, maka lensa akan menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih miopi. Lensa
yang cembung akan membuat iris terdorong ke depan sehingga bisa mengakibatkan
terjadinya glaukoma sekunder. Penanganan pada subluksasi lensa adalah dengan
pembedahan. Bila tidak terjadi penyulit seperti glaukoma dan uveitis, maka dapat
diberi kaca mata koreksi yang sesuai.
11.
13.
11
Penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga
penglihatan berkurang akibat tertimbunya daerah makula oleh sel pigmen epitel.
14.
Ablasi Retina
Yaitu terlepasnya retina dari koroid yang bisa disebabkan karena trauma. Biasanya
pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina. Pada pasien akan
terdapat keluhan ketajaman penglihatan menurun, terlihat adanya selaput yang seperti
tabir pada pandangannya. Pada pemeriksaan fundus kopi akan terlihat retina
berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terangkat dan berkelok-kelok. Ablasi
retina ditangani dengan melakukan pembedahan oleh dokter mata.
15.
Ruptur Koroid
Ruptur biasanya terletak pada polus posterior bola mata dan melingkar konsentris
di sekitar papil saraf optik, biasanya terjadi perdarahan subretina akibat dari ruptur
koroid. Bila ruptur koroid terletak atau mengenai daerah makula lutea maka akan
terjadi penurunan ketajaman penglihatan.
16. Avulsi papil saraf optik
Saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang bisa diakibatkan
karena trauma tumpul. Penderita akan mengalami penurunan tajam penglihatan yang
sangat drastis dan dapat terjadi kebutaan. Penderita perlu dirujuk untuk menilai
kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.
2.4 Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan pada penderita. Anamnesis harus mencakup perkiraan
ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah
gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau berawitan mendadak. Harus
dicurigai adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat memalu, mengasah,
atau ledakan1.
Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma,
benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang
mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang
mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan
lain.
Apabila
terjadi
penurunan
penglihatan,
ditanyakan
apakah
pengurangan
penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan
terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan
apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya11.
12
Pemeriksaan
fisik
dimulai
dengan
pengukuran
dan
pencatatan
ketajaman
13
Hifema
Penanganan awal pada pasien hifema yaitu dengan merawat pasien dengan tidur di
tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala (semi fowler), diberi koagulansia
(antifibrinolitik oral/injeksi) dan mata ditutup. Pada pasien yang gelisah dapat diberikan
obat penenang1,7. Pasien yang jelas memperlihatkan hifema yang mengisi lebih dari 5%
kamera anterior diharuskan bertirah baring dan harus diberikan tetes steroid dan
sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk
mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat
pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus dalam 2-3 hari. Penyulit ini
memiliki resiko tinggi menimbulkan glaukoma dan perwarnaan kornea. Beberapa
penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam aminokaproat oral untuk
menstabilkan pembentukan bekuan darah menurunkan resiko perdarahan ulang.
Dosisnya adalah 100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum 30 g/h selama 5 hari.
Apabila timbul glaukoma, maka penatalaksanaan mencakup pemberian timolol 0,25%
atau 0,5% dua kali sehari, asetazolamide 250 mg per oral empat kali sehari dan obat
hiperosmotik (manitol, gliserol, sorbitol)2. Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat
kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut di bilik mata sehingga terjadi gangguan
pengaliran cairan mata1.
14
Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan intraokular tetap tinggi (>35
mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan syaraf
optikus dan perwarnaan kornea. Apabila pasien mengidap hemoglobinopati, maka
besar kemungkinan cepat terjadi atrofi optikus glaukomatosa dan pengeluaran bekuan
darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal. Instrumen-instrumen vitrektomi
digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan lavase kamera anterior.
Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis di sebelah anterior limbus melalui
bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Tidak dilakukan
usaha untuk mengeluarkan bekuan dari sudut kamera anterior atau dari jaringan iris.
Kemudian dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan kamera anterior
adalah dengan evakuasi viskoelastik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk
menyuntikkan bahan viskoelasti, dan dan sebuah insisi yang lebih besar 180 derajat
berlawanan agar hifema dapat didorong keluar. Glaukoma dapat timbul belakangan
setelah beberapa bulan atau tahun akibat penyempitan sudut. Dengan sedikit
perkecualian, bercak darah di kornea akan hilang secara perlahan dalam periode
sampai setahun2.
Parasentesis atau pengeluaran darah dari bilik mata depan dilakukan pada pasien
dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma skunder, hifema
penuh dan berwarna hitam atau setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema
berkurang.Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat
terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya
akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang. Zat besi di dalam bola mata
dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis
bulbi dan kebutaan. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan
leukimia dan retinoblastoma1.
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau
nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea 2 mm
dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan
penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar. Bila darah tidak
keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologik. Biasanya luka
insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit1.
Kemosis & Ruptur Konjungtiva
Pada kemosis tidak ada terapi spesifik. Penyebab kemosis tersebut harus dicari.
Kortikosteroid dapat membantu mengurangi edema pada kemosis. Sedangkan untuk
rupture atau laserasi pada konjungtiva seringkali bisa sembuh dengan pemberian
antibiotic profilaksis. Bila ada jaringan yang nekrotik perlu dilakukan debridement. Pada
15
ruptur konjungtiva harus dicurigai adanya ruptur pada bola mata (eye globe) terutama
sklera12.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama
: Tn. B
Register
: 110287xx
JenisKelamin
: Laki-laki
Usia
: 56 tahun
Alamat
: Malang
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
MRS
: 21 Februari 2012
Riwayat penyakit
Riwayat keluarga
-
Riwayat pengobatan:
-
: 21 Februari 2012
17
Oculi Dextra
Oculi Sinistra
(Orthophoria)
(Orthophoria)
LP (+) +
spasme (+), edema (+),
Visus
Palpebra
20/40 ph 20/25
spasme (), edema ()
laserasi (+)
Kemosis (+),
Conjungtiva
CI (), PCI ()
Cornea
COA
Iris
Pupil
Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm
sde
sde
Lensa
TIO
Jernih, rata
5/5,5 (schiotz)
subconjunctival
hemorrhage (+), ruptur
Darah Lengkap :
- Leukosit : 7.700
- Hemoglobin : 12,2
- Hematokrit : 34,8
- Trombosit : 246.000
Kimia Darah :
- GDA : 107
- Ur/Cr : 23,8/1,01
- SGOT/SGPT : 46/15
Serum Elektrolit :
- Na : 141
18
- K : 4,3
- Cl : 106
- Ca : 9,2
- Ph : 3,69
Faal Hemostasis
- PPT : 9,7 (K: 11,4)
- APTT : 34,6 (K: 28,2)
3.5 Diagnosa
OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi :
-
Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV
3.6 RencanaTerapi
o
Tobroson ed 8x1tetes OD
SA 1% ed 2x1tetes OD
Visus
Slit lamp
TIO
3.8 KIE
3.9 Prognosis
baik
19
3.10 Follow-Up
Tanggal 21 Februari 2012
Laporan operasi eksplorasi dengan GA:
-
8.0
Diberikan salep antibiotik dan steroid
Injeksi PB dexamethasone, gentamycin
Tutup kasa steril
Operasi selesai
Oculi Dextra
LP (+)
++ +
spasme (+), edema (+)
Kemosis (+),
Oculi Sinistra
Visus
20/40 ph 20/25
Palpebra
Conjungtiva
(+)
Keruh
Hifema <1/2
sde
sde
Cornea
COA
Iris
Pupil
Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm
sde
soft
Lensa
TIO
Jernih, rata
6/5,5 (schiotz)
subconjunctival hemorrhage
20
Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV
Tobroson ed 8x1tetes OD
SA 1% ed 3x1tetes OD
Oculi Sinistra
Visus
Palpebra
Conjungtiva
20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)
(+)
Jernih
Koagulum (+)
sde
sde
Cornea
COA
Iris
Pupil
Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm
sde
soft
Lensa
TIO
Jernih, rata
6/5,5
subconjunctival hemorrhage
Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV
21
Tobroson ed 8x1tetes OD
SA 1% ed 3x1tetes OD
Oculi Sinistra
Visus
Palpebra
Conjungtiva
20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)
(+)
Jernih
Koagulum (+)
sde
sde
Cornea
COA
Iris
Pupil
Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm
sde
soft
Lensa
TIO
Jernih, rata
6/5,5
subconjunctival hemorrhage
Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV
Tobroson ed 8x1tetes OD
SA 1% ed 3x1tetes OD
Oculi Sinistra
Visus
Palpebra
Conjungtiva
20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)
hemorrhage (+)
Jernih
Koagulum (+)
Cornea
COA
Jernih
Dalam
22
sde
sde
Iris
Pupil
sde
soft
Lensa
TIO
Jernih, rata
8/5,5
Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV
Tobroson ed 8x1tetes OD
SA 1% ed 3x1tetes OD
Oculi Sinistra
1/300
Spasme (-), edema (-)
Kemosis (-), subconjunctival
Visus
Palpebra
Conjungtiva
20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)
hemorrhage (+)
Jernih
Koagulum (+)
sde
sde
Cornea
COA
Iris
Pupil
Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm
sde
soft
Lensa
TIO
Jernih, rata
7/5,5
Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV
23
Tobroson ed 8x1tetes OD
SA 1% ed 3x1tetes OD
Oculi Sinistra
1/300
Spasme (-), edema (-)
subconjunctival hemorrhage
Visus
Palpebra
Conjungtiva
20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)
(+)
Jernih
Koagulum (+), dalam
sde
sde
Cornea
COA
Iris
Pupil
Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm
sde
soft
Lensa
TIO
Jernih, rata
7/5,5
Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV
Tobroson ed 8x1tetes OD
SA 1% ed 3x1tetes OD
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berusia 56 tahun datang ke UGD RSSA dengan keluhan mata kanan
mengeluarkan darah dan penglihatannya langsung turun mendadak setelah mata kanannya
terbentur sudut meja akibat tersndung kakinya sekitar setengah jam SMRS. Mata kanannya
terasa nyeri, gelap, merah dan berdarah. Belum mendapat terapi apapun sebelum dibawa
ke rumah sakit, tidak didapatkan riwayat penyakit sistemik.
Gejala-gejala tersebut yang dialami pasien merupakan gejala trauma okuli
dikarenakan benturan sudut meja, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan
kencang sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.
Trauma pada mata dapat mengenai jaringan seperti kelopak mata, konjungtiva, kornea,
uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu
kejadian trauma jaringan mata. Seketika terkena benda tumpul maka penderita bisa
mengeluh matanya merah, kemeng, perih, nrocoh (keluar air mata terus menerus), berdarah
bila ada laserasi atau ruptur, bahkan sebagian akan mengeluhkan pandangan kabur. Hal ini
juga menyesuaikan pada tingkat mana kerusakan terjadi, dan ada tidaknya penyulit atau
komplikasi pasca trauma okuli diakibatkan trauma mekanis.
Dari status oftalmologis pasien didapatkan spasme dan edema kelopak mata kanan
serta laserasi palpebra temporal kanan. Pada konjungtiva didapatkan darah, kemosis
konjungtiva dan subconjunctival hemorrhage. Pemeriksaan kornea didapatkan kornea
keruh, camera oculi anterior didapatkan full hifema. Sedangkan iris, pupil, dan lensa sulit
dievaluasi karena tertutup oleh full hifema.
Tanda klinis yang ditemukan pada pasien sesuai dengan tanda klinis yang
diakibatkan oleh trauma okuli mekanis. Sehingga dari anamnesa dan pemeriksaan fisik
dapat ditegakkan diagnosa OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi laserasi
palpebra, ruptur konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan hifema grade IV.
Komplikasi trauma okuli pada pasien ini berupa laserasi palpebra, ruptur konjungtiva,
kemosis konjungtiva, dan hifema grade IV. Laserasi palpebra dan ruptur konjungtiva terjadi
akibat benturan langsung yang keras sehingga kulit palpebra robek dan dibawahnya terjadi
ruptur pembuluh darah konjungtiva, sehingga terjadi perdarahan. Pada pasien ini juga
didapatkan kemosis konjungtiva yang terjadi akibat adanya reaktif edema pada konjungtiva,
karena proses trauma yang menyebabkan luka akan menginduksi terjadinya inflamasi.
Sedangkan hifema merupakan akibat dari adanya robekan pembuluh darah iris atau
badan siliar yang dapat merusak sudut kamera okuli anterior akibat trauma mekanik. Pada
pasien ini diapatkan hifema yang menutupi seluruh kamera okuli anterior sehingga
25
dikategorikan sebagai hifema grade IV. Secara teori klinis penderita akan mengeluh sakit
disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan akan sangat menurun, hifema akan
terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik
mata depan. Kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Tanda klinis lain berupa tekanan
intraokuli normal/meningkat/menurun, bentuk pupil normal/midriasis/lonjong, pelebaran
pembuluh darah perikornea serta bisa diikuti tes flouresin (+) atau (-). Pada pasien ini
didapatkan iris, pupil dan lensanya tidak dapat dievaluasi karena tertutup oleh hifema yang
memenuhi seluruh camera oculi anterior. Full hifema pada pasien ini menyebabkan pasien
mengalami penurunan visus yang drastis dan mendadak.
Penanganan trauma okuli non perforans yang disertai komplikasi laserasi palpebra,
ruptur konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan hifema grade IV lebih ditekankan pada
simtomatis dan mencegah komplikasi seperti perdarahan ulang (rebleeding) dan infeksi,
selain itu juga diperlukan evaluasi segmen posterior yang tidak terlihat karena tertutup oleh
hifema grade IV dengan eksplorasi okuli menggunakan general anestesi, karena
dikhawatirkan ada cedera dan kebocoran dari segmen posterior meskipun tekanan intra
okuli (TIO) pasien pada pemeriksaan pertama tidak menunjukkan penurunan (sulit
dievaluasi). Dengan adanya komplikasi tersebut, maka mutlak pasien memiliki indikasi untuk
masuk rumah sakit. Terapi selama pasien rawat inap berupa eksplorasi denga GA, posisi
bed rest semifowler, pemberian obat-obatan berupa injeksi Ceftriaxone 2x1 gr iv, Tetagam 1
ampul im, Tranexamic acid 3x1ampul iv, Antrain 3x1ampul iv, Tobroson ed 8x1tetes OD, dan
SA 1% ed 2x1tetes OD. Dengan rencana monitoring visus, TIO dan slit lamp serta
komplikasi perdarahan ulang yang mungkin bisa terjadi 3-5 hari setelah trauma okuli. Posisi
bed rest semifowler dengan kepala ditinggikan 30derajat bertujuan untuk mencegah
rebleeding.
Pada kasus ini, terapi injeksi ceftriaxone dan tobramycin topikal bertujuan menangani
komplikasi infeksi akibat masuknya benda asing ke mata. Injeksi tetagam diberikan untuk
profilaksis pada individu yang mengalami luka atau ruptur bola mata yang dikhawatirkan
menjadi tempat potensial untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Injeksi antrain ditujukan
sebagai analgesik akibat trauma dan juga digunakan sebagai analgesik pasca operasi
eksplorasi. Sedangkan untuk penatalaksanaan terhadap kejadian hifema diberikan SA 1 %,
tranexamic acid serta methylprednisolon. SA 1 % berperan sebagai sikloplegik yang
merelaksasi iris, karena adanya darah dalam bilik mata depan dapat merangsang kontraksi
iris yang selanjutnya dapat meningkatkan TIO. Tranexamic acid merupakan antifibrinolitik
yang menghambat pengubahan plasminogen menjadi plasmin. Perlunya antifibrinolitik pada
kasus ini adalah untuk mencegah berlanjutnya perdarahan pada hifema.
26
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 56 tahun dengan kasus OD trauma okuli non
perforans dengan komplikasi laserasi palpebra, ruptur konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan
hifema grade IV akibat trauma mekanik (terbentur sudut meja). Dari anamnesis dan
pemeriksaan status oftalmologis pada pasien didapatkan
diagnosa OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi laserasi palpebra, ruptur
konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan hifema grade IV.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah operasi eksplorasi, bedrest semifowler,
pemberian obat-obatan berupa injeksi ceftriaxone 2x1gr iv, injeksi tetagam 1ampul im,
injeksi tranexamic acid 3x1ampul iv, injeksi antrain 3x1ampul iv, tobramycin ed 8x1 OD, dan
SA 1% OD. Pertimbangan adanya kecurigaan cedera dan kebocoran pada segmen
posterior, komplikasi rebleeding dan infeksi merupakan indikasi pasien untuk rawat inap.
27