Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita,
kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai
indra penglihat. Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli
perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli
berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan
trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan
trauma kimia (bahan asam dan basa)1.
Trauma okuli juga merupakan penyebab kerusakan berat bahkan kebutaan unilateral
pada anak dan dewasa muda. Pada kelompok usia ini mengalami sebagian besar
cedera mata yang parah. Dewasa muda terutama pria merupakan kelompok yang
kemungkinan besar mengalami cedera tembus mata. Kecelakaan di rumah, kekerasan,
ledakan aki, cedera akibat olahraga, dan kecelakaan lalu lintas merupakan keadaankeadaan yang paling sering menyebabkan trauma mata. Dengan pertimbangan tersebut
penting bagi dokter dan semua tenaga medis untuk mengenali trauma okuli yang terjadi
dan segera melakukan sistem rujukan aktif ke rumah sakit yang nantinya akan dilakukan
penanganan lebih lanjut2.
Prevalensi kebutaaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui dengan
pasti, namun pada Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran pada tahun
1993-1996 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam penyebab kebutaan
lain-lain sebesar 0,15% dari jumlah total kebutaan nasional yang berkisar 1,5%. Trauma
okuli juga bukan merupakan 10 besar penyakit mata yang menyebabkan kebutaan.3
Sebagai seorang dokter harus memikirkan apakah kasus yang dihadapi merupakan
true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus ditangani dalam
hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus ditangani dalam hitungan jam
atau hari. Sehingga membutuhkan diagnosa dan pertolongan cepat dan tepat. Trauma
okuli merupakan kedaruratan mutlak di bidang ocular emergency. Sebagai contoh
apabila didapatkan trauma tumpul akan menimbulkan menifestasi perdarahan bawah
kulit atau hematoma, luka robek pada palpebra, konjungtiva, yang juga bisa diikuti erosi,
ekskoriasi kornea. Selain itu juga harus difikirkan mengenai efek lanjut atau komplikasi
akibat trauma tersebut. Hal ini dikarenakan trauma dapat mengenai jaringan seperti
kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita
secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan mata3.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi kornea,
erosi kornea rekuren, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa
anterior, luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, ruptur koroid
serta avulsi papil saraf optik. Jika komplikasi tersebut terjadi maka terapi yang diberikan
juga meliputi penanganan terhadap komplikasi yang timbul4.
Dalam makalah kasus panjang ini akan penulis laporkan sebuah laporan kasus
mengenai pasien berusia 56 tahun yang mengalami trauma okuli non perforans dengan
komplikasi laserasi palpebra, ruptur konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan hifema grade
IV akibat trauma mekanis (terbentur sudut meja) yang menjalani rawat inap di Rumah
Sakit Syaiful Anwar Malang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Trauma Tumpul Okuli
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita,
kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai
indra penglihat5.
Trauma tumpul okuli merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda yang
keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat
mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan
bola mata atau daerah sekitarnya3,5. Trauma tumpul biasanya terjadi karena kecelakaan
di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas 1. Trauma
tumpul dapat bersifat Counter Coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan
pada arah horisontal di sisi yang berseberangan sehingga jika tekanan benda mengenai
bola mata akan diteruskan sampai dengan makula3,5.
2.2 Klasifikasi Trauma Okuli

Skema diagram alur mengenai trauma okuli

Menurut skema diatas, secara garis besar trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu
trauma okuli non perforans dan perforans, yang keduanya memiliki potensi menimbulkan
ruptur pada perlukaan kornea, iris dan pupil serta dapat menimbulkan komplikasi

sepanjang bagian mata yang terkena (bisa meliputi mulai dari bagian kornea hingga
retina).
Selain berdasarkan efek perforasi yang ditimbulkan trauma okuli juga juga bisa
diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu:

Trauma tumpul (contusio oculi) (non perforans)


Trauma tajam (perforans)
Trauma Radiasi
- Trauma radiasi sinar inframerah

- Trauma radiasi sinar ultraviolet


- Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi
Trauma Kimia
- Trauma asam
- Trauma basa

Trauma okuli non perforans akibat benda tumpul dimana benda tersebut dapat
mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat, mampu menimbulkan efek
atau komplikasi jaringan seperti pada kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa,
retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian
trauma jaringan mata.

Gambar 1. Gambar anatomi bola mata

2.3 Manifestasi Klinis Trauma Tumpul Okuli


2.3.1 Gejala (Symptoms)
Gejala klinis yang dapat terjadi pada trauma mata antara lain 4,6,7 :
1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya
Pada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya kelopak mata
atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma tembus caian humor
akueus dapat keluar dari mata.
2. Memar pada sekitar mata
Memar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra. Hematoma
pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur basis kranii.
3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadak
Penurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama
terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di segmen anterior maupun
segmen posterior bola mata, yang kedua akibat terlepasnya lensa atau retina dan
avulsi nervus optikus.
4. Penglihatan ganda
Penglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena robeknya
pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak bulat. Hal ini dapat
menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.
5. Mata bewarna merah
Pada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan pericorneal
injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah sentral. Hal ini dapat pula
ditemui pada trauma mata dengan perdarahan subkonjungtiva.
6. Nyeri dan rasa menyengat pada mata
Pada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada palpebra.
Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri pada mata.
7. Sakit kepala
Pada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga menimbulkan
nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat menyebabkan sakit
kepala.
8. Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mata
Pada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun segmen
anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan mengganjal. Jika terdapat
benda asing hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi air mata sebagai
salah satu mekanisme perlindungan pada mata.
9. Fotofobia

Fotofobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama adanya
benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea, benda asing pada
segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang masuk ke dalam mata
menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau pada pasien. Penyebab lain fotofobia
pada pasien trauma mata adalah lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil
tidak dapat mengecil dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke
dalam mata.
2.3.2 Tanda (Signs)

Gambar 2. Kerusakan yang dapat ditimbulkan akibat trauma tumpul

Gambar diatas merupakan gambar ilustrasi mengenai benda yang dengan kecepatan
tertentu dapat menimbulkan perlukaan atau trauma pada mata. Beberapa manifestasi
klinis dapat muncul akibat trauma benda tumpul diantaranya:
1. Hematoma palpebra
Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah
kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hematoma kelopak
merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Bila perdarahan
terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata
hitam (raccon eye) yang sedang dipakai, terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang
merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri oftalmika maka darah
masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Penanganan pertama dapat
diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan. Selanjutnya untuk
memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak4,6.
2. Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada
setiap kelainan termasuk akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar
dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip maka keadaan ini
telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva. Edema konjungtiva yang berat
dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan
terhadap konjungtiva. Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk
mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva. Pada kemotik
konjungtiva berat dapat dilakukan disisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar
melalui insisi tersebut4,6.
3. Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat
dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya
pembuluh darah ini bisa akibat dari batuk rejan, trauma tumpul atau pada keadaan
pembuluh darah yang mudah pecah. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil
lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka
sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptut
bulbus oculi4,6.
4.

Edema kornea
Edema kornea dapat meberikan keluhan berupa penglihatan kabur dan terlihatnya
pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat
keruh dengan uji plasedo yang positif. Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan

masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma


kornea. Pengobatan yang diberikan adalah larutan hiertonik seperti NaCL 5% atau
larutan garam hipertonik 2 8%, glukosa 40% dan larutan albumin. Bila terjadi
peninggian tekanan bola mata maka dapat diberikan asetozolamida. Dapat diberikan
lensa kontak lembek untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam
penglihatan4,6.
5.

Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera
pada membran basal. Dalam waktu singkat epitel sekitar dapat bermigrasi dengan
cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Erosi di kornea menyebabkan nyeri dan
iritasi yang dapat dirasakan sewatu mata dan kelopak mata digerakkan. Pola tanda
goresan vertikal di kornea mengisyaratkan adanya benda asing tertanam di
permukaan konjungtiva tarsalis di kelopak mata atas. Pemakaian berlebihan lensa
kontak menimbulkan edema kornea.Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat
erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair,
fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media yang keruh. Pada kornea akan
terlihat adanya defek epitel kornea yang bila diberi fuorosein akan berwarna hijau4,6.

Gambar 4. Erosi Kornea


Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan
menghilangkan rasa sakit yang sangat. Anestesi topikal diberikan dengan hati-hati
karena dapat menambah kerusakan epitel, yang lebih tepatnya jangan pernah
memberi larutan anestetik topikal kepada pasien untuk dipakai berulang setelah
cedera kornea, karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi
kerusakan lebih lanjut, dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea
permanen. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam1,3,8.

Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal. Epitel
akan sukar menutup dikarenakan terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea
sebagai sebagai tempat duduknya sel basal epitel kornea. Umumnya membrane basal
yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu. Permukaan kornea perlu diberi
pelumas untuk membentuk membran basal kornea. Pemberian siklopegik bertujuan
untuk mengurangi rasa sakit ataupun untuk mengurangi gejala radang uvea yang
mungkn timbul. Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk
mempercepat pertumbuhan epitel baru dan mencegah infeksi skunder. Dapat
digunakan lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren pada kornea
dengan maksud untuk mempertahankan epitel berada ditempatnya1,4,6.
6. Iridoplegia
Kelumpuhan otot sfingter pupil yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul pada
uvea sehingga menyebabkan pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan sukar
melihat dekat karena gangguan akomodasi dan merasakan silau karena gangguan
pengaturan masuknya cahaya ke pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria
dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil biasanya tidak bereaksi terhadap sinar.
Penanganan pada pasien dengan iridoplegia post trauma sebaiknya diberikan istirahat
untuk mencegah terjadinnya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia3,4,6.
7. Iridodialisa
Iridodialisis adalah keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya sehingga bentuk
pupil tidak bulat dan pada pangkal iris terdapat lubang. Saat mata kita berkontak
dengan benda asing, maka mata akan bereaksi dengan menutup kelopak mata dan
mata memutar ke atas. Ini alasannya mengapa titik cedera yang paling sering terjadi
adalah pada temporal bawah pada mata. Pada daerah inilah iris sering terlihat seperti
peripheral iris tears (iridodialisis). Saat mata tertekan maka iris perifer akan robek
pada akarnya dan meninggalkan crescentic gap yang berwarna hitam tetapi reflek
fundus masih dapat diobservasi9. Hal ini mudah terjadi karena bagian iris yang
berdekatan dengan badan silier gampang robek. Lubang pupil pada pangkal iris
tersebut merupakan lubang permanen karena iris tidak mempunyai kemampuan
regenerasi1.
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk
pupil menjadi berubah. Perubahan bentuk pupil maupun perubahan ukuran pupil
akibat trauma tumpul tidak banyak mengganggu tajam penglihatan penderita. Pasien
akan melihat ganda dengan satu matanya. Pada iridodialisis akan terlihat pupil
lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila

keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan pembedahan dengan


melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas1,3,5.
8.

Hifema
Hifema adalah darah di dalam bilik mata depan yang dapat terjadi akibat trauma
tumpul sehingga merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif
(trauma tumpul) sering merobek pembuluh-pembuluh darah iris atau badan siliar dan
merusak sudut kamera okuli anterior. Darah di dalam cairan dapat membentuk suatu
lapisan yang dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut terjadi apabila jaringan trabekular
tersumbat oleh fibrin dan sel atau apabila pembentukan bekuan darah menyebabkan
sumbatan pupil1,3,5.

Gambar 5. Hifema
Hifema dibagi dalam 4 grade berdasarkan tampilan klinisnya10:
1. grade I: menutupi < 1/3 COA (Camera Oculi Anterior)
2. grade II: menutupi 1/3-1/2 COA
3. grade III: menutupi 1/2-3/4 COA
4. grade IV: menutupi 3/4-seluruh COA
Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme.
Penglihatan pasien akan sangat menurun dan bila pasien duduk hifema akan terlihat
terkumpul dibagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik
mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Tanda-tanda klinis
lain berupa tekanan intraokuli (TIO) normal/meningkat/menurun, bentuk pupil
normal/midriasis/lonjong, pelebaran pembuluh darah perikornea, kadang diikuti erosi
kornea dengan tes fluoresein dapat (+) atau (-)4,6.
9.

Iridosiklitis
Yaitu radang pada uvea anterior yang terjadi akibat reaksi jaringan uvea pada post
trauma. Pada mata akan terlihat mata merah, akbat danya darah yang berada di

10

dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil mata yang mengecil yang
mengakibatkan visus menurun. Sebaiknya pada mata diukur tekanan bola mata untuk
persiapan memeriksa fundus dengan midriatika. Pada uveitis anterior diberikan tetes
midriatik dan steroid topikal, bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan
steroid sistemik. Penanganan aktif dengan cara bedah mata.
10.

Subluksasi Lensa
Subluksasi Lensa adalah lensa yang berpindah tempat akibat putusnya sebagian
zonula zinn ataupun dapat terjadi spontan karena trauma atau zonula zinn yang rapuh
(sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang.
Gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak
ada, maka lensa akan menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih miopi. Lensa
yang cembung akan membuat iris terdorong ke depan sehingga bisa mengakibatkan
terjadinya glaukoma sekunder. Penanganan pada subluksasi lensa adalah dengan
pembedahan. Bila tidak terjadi penyulit seperti glaukoma dan uveitis, maka dapat
diberi kaca mata koreksi yang sesuai.

11.

Luksasi Lensa Anterior


Yaitu bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa
masuk ke dalam bilik mata depan. Pasien akan mengeluh penglihatan menurun
mendadak. Muncul gejala-gejala glaukoma kongestif akut yang disebabkan karena
lensa terletak di bilik mata depan yang mengakibatkan terjadinya gangguan pengaliran
keluar cairan bilik mata. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di
dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar.
Sebaiknya pasien segera dilakukan pembedahan untuk mengambil lensa. Pemberian
asetazolamida dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan bola mata
12. Luksasi Lensa Posterior
Yaitu bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa
jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah fundus okuli. Pasien
akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya karena lensa mengganggu
kampus. Mata menunjukan gejala afakia, bilik mata depan dalam dan iris
tremulans.Penanganan yaitu dengan melakukan ekstraksi lensa. Bila terjadi penyulit
maka diatasi penyulitnya.

13.

Edema Retina dan Koroid


Terjadinya sembab pada daerah retina yang bisa diakibatkan oleh trauma tumpul.
Edema retina akan memberikan warna retina lebih abu-abu akibat sukarnya melihat
jaringan koroid melalui retina yang sembab. Pada edema retina akibat trauma tumpul
mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot. Penglihatan
pasien akan menurun. Penanganan yaitu dengan menyuruh pasien istirahat.

11

Penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga
penglihatan berkurang akibat tertimbunya daerah makula oleh sel pigmen epitel.
14.

Ablasi Retina
Yaitu terlepasnya retina dari koroid yang bisa disebabkan karena trauma. Biasanya
pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina. Pada pasien akan
terdapat keluhan ketajaman penglihatan menurun, terlihat adanya selaput yang seperti
tabir pada pandangannya. Pada pemeriksaan fundus kopi akan terlihat retina
berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terangkat dan berkelok-kelok. Ablasi
retina ditangani dengan melakukan pembedahan oleh dokter mata.

15.

Ruptur Koroid
Ruptur biasanya terletak pada polus posterior bola mata dan melingkar konsentris
di sekitar papil saraf optik, biasanya terjadi perdarahan subretina akibat dari ruptur
koroid. Bila ruptur koroid terletak atau mengenai daerah makula lutea maka akan
terjadi penurunan ketajaman penglihatan.
16. Avulsi papil saraf optik
Saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang bisa diakibatkan
karena trauma tumpul. Penderita akan mengalami penurunan tajam penglihatan yang
sangat drastis dan dapat terjadi kebutaan. Penderita perlu dirujuk untuk menilai
kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.
2.4 Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan pada penderita. Anamnesis harus mencakup perkiraan
ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah
gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau berawitan mendadak. Harus
dicurigai adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat memalu, mengasah,
atau ledakan1.
Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma,
benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang
mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang
mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan
lain.

Apabila

terjadi

penurunan

penglihatan,

ditanyakan

apakah

pengurangan

penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan
terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan
apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya11.

12

Pemeriksaan

fisik

dimulai

dengan

pengukuran

dan

pencatatan

ketajaman

penglihatan. Apabila didapatkan gangguan penglihatan parah, maka periksa proyeksi


cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil aferen. Periksa motilitas mata dan
sensasi kulit periorbita, dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang
orbita. Pada pemeriksaan bedside, adanya enoftalmos dapat ditentukan dengan melihat
profil kornea dari atas alis. Apabila tidak tersedia slit lamp, maka senter, kaca pembesar,
atau dapat digunakan untuk memeriksa adanya cedera di permukaan tarsal kelopak dan
segmen anterior2.
Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing, luka, dan abrasi.
Dilakukan inspeksi konjungtiva bulbaris untuk mencari adanya perdarahan, benda asing,
atau laserasi. Kedalaman dan kejernihan kamera anterior dicatat. Ukuran , bentuk, dan
reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain untuk
memastikan apakah terdapat defek pupil aferen di mata yang cedera. Apabila bola mata
tidak rusak, maka kelopak, konjungtiva palpebra, dan forniks, dapat diperiksa secara
lebih teliti, termasuk inspeksi setelah eversi kelopak mata atas. Oftalmoskop langsung
dan tidak langsung digunakan untuk mengamati lensa, korpus vitreous, discus optikus,
dan retina. Dokumentasi foto bermanfaat untuk tujuan-tujuan medikolegal pada semua
kasus trauma eksternal. Pada semua kasus trauma mata, mata yang tampak tidak
cedera juga harus diperiksa dengan teliti2,5.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain USG mata, CT scan,
hingga MRI. Pemeriksaan darah lengkap, status kardiologi, radiologi dapat ditambahkan
jika akan dilakukan tindakan tertentu yang membutuhkan pemeriksaan penunjang
tersebut.
2.5 Penatalaksanaan
Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari
sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan jangan diberi obat
sikloplegik atau antiobiotik topikal karena kemungkinan toksisitas pada jaringan
intraocular yang terpajan. Berikan antibiotik parenteral spektrum luas dan pakaikan
pelindung Fox (atau sepertiga bagian bawah corong kertas) pada mata. Analgetik,
antiemetik, dan antitoksin tetanus harus diberikan sesuai kebutuhan, dengan restriksi
makan dan minum. Induksi anestesi umum jangan menggunakan obat-obat penghambat
depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transient tekanan di
dalam bola mata sehingga mengingkatkan kecenderungan herniasi isi intraocular. Anak
juga lebih baik diperiksa awal dengan bantuan anestesi umum yang bekerja singkat2,6.
Pada cedera yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat kemungkinan
timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha

13

melakukan pemeriksaan mata lengkap. Perlu diperhatikan bahwa pemberian anestetik


topical, zat warna, dan obat lain yang diberikan ke mata yang cedera harus steril.
Tetrakain dan fluoresens tersedia dalam satuan-satuan dosis individual yang steril2,7.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan
menghilangkan rasa sakit yang sangat. Anestesi topikal diberikan dengan hati-hati
karena dapat menambah kerusakan epitel1, yang lebih tepatnya jangan pernah memberi
larutan anesteik topikal kepada pasien untuk dipakai berulang setelah cedera kornea,
karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi kerusakan lebih lanjut,
dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea permanen2.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah
terjadinya infeksi dapat diberikan antibiotika spektrum luas seperti neosporin,
kloramfenikol dan sufasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan
spasme siliar maka dapat diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida1.
Untuk mengurangi rangsangan cahaya dan membuat rasa nyaman serta lebih
tertutup pada pasien, maka bisa diberikan bebat tekan pada pasien selama 24 jam.
Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam2.

Hifema
Penanganan awal pada pasien hifema yaitu dengan merawat pasien dengan tidur di
tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala (semi fowler), diberi koagulansia
(antifibrinolitik oral/injeksi) dan mata ditutup. Pada pasien yang gelisah dapat diberikan
obat penenang1,7. Pasien yang jelas memperlihatkan hifema yang mengisi lebih dari 5%
kamera anterior diharuskan bertirah baring dan harus diberikan tetes steroid dan
sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk
mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat
pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus dalam 2-3 hari. Penyulit ini
memiliki resiko tinggi menimbulkan glaukoma dan perwarnaan kornea. Beberapa
penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam aminokaproat oral untuk
menstabilkan pembentukan bekuan darah menurunkan resiko perdarahan ulang.
Dosisnya adalah 100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum 30 g/h selama 5 hari.
Apabila timbul glaukoma, maka penatalaksanaan mencakup pemberian timolol 0,25%
atau 0,5% dua kali sehari, asetazolamide 250 mg per oral empat kali sehari dan obat
hiperosmotik (manitol, gliserol, sorbitol)2. Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat
kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut di bilik mata sehingga terjadi gangguan
pengaliran cairan mata1.

14

Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan intraokular tetap tinggi (>35
mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan syaraf
optikus dan perwarnaan kornea. Apabila pasien mengidap hemoglobinopati, maka
besar kemungkinan cepat terjadi atrofi optikus glaukomatosa dan pengeluaran bekuan
darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal. Instrumen-instrumen vitrektomi
digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan lavase kamera anterior.
Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis di sebelah anterior limbus melalui
bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Tidak dilakukan
usaha untuk mengeluarkan bekuan dari sudut kamera anterior atau dari jaringan iris.
Kemudian dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan kamera anterior
adalah dengan evakuasi viskoelastik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk
menyuntikkan bahan viskoelasti, dan dan sebuah insisi yang lebih besar 180 derajat
berlawanan agar hifema dapat didorong keluar. Glaukoma dapat timbul belakangan
setelah beberapa bulan atau tahun akibat penyempitan sudut. Dengan sedikit
perkecualian, bercak darah di kornea akan hilang secara perlahan dalam periode
sampai setahun2.
Parasentesis atau pengeluaran darah dari bilik mata depan dilakukan pada pasien
dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma skunder, hifema
penuh dan berwarna hitam atau setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema
berkurang.Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat
terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya
akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang. Zat besi di dalam bola mata
dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis
bulbi dan kebutaan. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan
leukimia dan retinoblastoma1.
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau
nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea 2 mm
dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan
penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar. Bila darah tidak
keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologik. Biasanya luka
insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit1.
Kemosis & Ruptur Konjungtiva
Pada kemosis tidak ada terapi spesifik. Penyebab kemosis tersebut harus dicari.
Kortikosteroid dapat membantu mengurangi edema pada kemosis. Sedangkan untuk
rupture atau laserasi pada konjungtiva seringkali bisa sembuh dengan pemberian
antibiotic profilaksis. Bila ada jaringan yang nekrotik perlu dilakukan debridement. Pada

15

ruptur konjungtiva harus dicurigai adanya ruptur pada bola mata (eye globe) terutama
sklera12.

16

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama

: Tn. B

Register

: 110287xx

JenisKelamin

: Laki-laki

Usia

: 56 tahun

Alamat

: Malang

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

MRS

: 21 Februari 2012

3.2 Anamnesa (Autoanamnesis)


Keluhan utama

: mata kanan berdarah dan penglihatan turun mendadak

Riwayat penyakit

Pasien mengeluh mata kanan mengeluarkan darah dan penglihatannya langsung


turun mendadak setelah mata kanannya terbentur sudut meja akibat tersandung
kakinya sekitar setengah jam SMRS. Mata kanannya terasa nyeri, gelap, merah dan
berdarah. Pasien langsung dibawa ke UGD RSSA.
Riwayat penyakit dahulu :
-

Tidak didapatkan riwayat penyakit sistemik

Riwayat penggunaan kacamata sebelumnya (+)

Riwayat keluarga
-

Tidak ada keluarga yang mempunyai penyakit yang serupa

Riwayat pengobatan:
-

Belum mendapat terapi apapun

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Oftalmologi
Tanggal Pemeriksaan

: 21 Februari 2012

17

Oculi Dextra

Oculi Sinistra

(Orthophoria)

Posisi Bola Mata


Gerak Bola Mata

(Orthophoria)

LP (+) +
spasme (+), edema (+),

Visus
Palpebra

20/40 ph 20/25
spasme (), edema ()

laserasi (+)
Kemosis (+),

Conjungtiva

CI (), PCI ()

2mm, darah (+)


Keruh
Full hifema
sde
sde

Cornea
COA
Iris
Pupil

Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm

sde
sde

Lensa
TIO

Jernih, rata
5/5,5 (schiotz)

subconjunctival
hemorrhage (+), ruptur

3.4. Hasil Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium

Darah Lengkap :
- Leukosit : 7.700
- Hemoglobin : 12,2
- Hematokrit : 34,8
- Trombosit : 246.000
Kimia Darah :
- GDA : 107
- Ur/Cr : 23,8/1,01
- SGOT/SGPT : 46/15
Serum Elektrolit :
- Na : 141

18

- K : 4,3
- Cl : 106
- Ca : 9,2
- Ph : 3,69
Faal Hemostasis
- PPT : 9,7 (K: 11,4)
- APTT : 34,6 (K: 28,2)

3.5 Diagnosa
OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi :
-

Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV

3.6 RencanaTerapi
o

MRS pro eksplorasi dengan GA

Bed rest semifowler

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv

Inj. Tetagam 1 ampul im

Inj. Tranexamic acid 3x1ampul iv

Inj. Antrain 3x1ampul iv

Tobroson ed 8x1tetes OD

SA 1% ed 2x1tetes OD

3.7 Rencana Monitoring

Visus

Slit lamp

TIO

Tanda-tanda komplikasi lain serta menghindari terjadinya re-bleeding

Penanganan pada trauma okuli

Komplikasi yang bisa terjadi pada trauma okuli

3.8 KIE

3.9 Prognosis
baik

19

3.10 Follow-Up
Tanggal 21 Februari 2012
Laporan operasi eksplorasi dengan GA:
-

Pasien terlentang di meja operasi dibawah general anestesi (anestesi umum)


Dilakukan irigasi lapangan operasi dengan RL:gentamycin
Dilakukan desinfeksi lapangan operasi dengan betadine
Demarkasi lapangan operasi dengan doek steril
Pasang blefarospat kemudian dilakukan peritomi konjungtiva 360
Dilakukan eksplorasi sklera 360, sklera intak, tidak didapatkan ruptur
Dilakukan jahitan konjungtiva di superotemporal, 2 jahitan dengan benang vicryl

8.0
Diberikan salep antibiotik dan steroid
Injeksi PB dexamethasone, gentamycin
Tutup kasa steril
Operasi selesai

Tanggal 22 Februari 2012

Oculi Dextra
LP (+)
++ +
spasme (+), edema (+)
Kemosis (+),

Oculi Sinistra
Visus

20/40 ph 20/25

Palpebra
Conjungtiva

spasme(-), edema (-)


CI (-), PCI (-)

(+)
Keruh
Hifema <1/2
sde
sde

Cornea
COA
Iris
Pupil

Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm

sde
soft

Lensa
TIO

Jernih, rata
6/5,5 (schiotz)

subconjunctival hemorrhage

20

Dx: OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi :


-

Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV

Post eksplorasi hari ke-1


Tx :
-

Bed rest semifowler

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv

Inj. Tranexamic acid 3x1ampul iv

Inj. Antrain 3x1ampul iv

Tobroson ed 8x1tetes OD

SA 1% ed 3x1tetes OD

Tanggal 23 Februari 2012


Oculi Dextra
LP (+) good proyection
Spasme (+), edema (-)
Kemosis (+),

Oculi Sinistra
Visus
Palpebra
Conjungtiva

20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)

(+)
Jernih
Koagulum (+)
sde
sde

Cornea
COA
Iris
Pupil

Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm

sde
soft

Lensa
TIO

Jernih, rata
6/5,5

subconjunctival hemorrhage

Dx: OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi :


-

Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV

Post eksplorasi hari ke-2


Tx :
-

Bed rest semifowler

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv

Inj. Tranexamic acid 3x1ampul iv

21

Inj. Antrain 3x1ampul iv

Tobroson ed 8x1tetes OD

SA 1% ed 3x1tetes OD

Tanggal 24 Februari 2012


Oculi Dextra
LP (+) good proyection
Spasme (+), edema (-)
Kemosis (+) minimal,

Oculi Sinistra
Visus
Palpebra
Conjungtiva

20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)

(+)
Jernih
Koagulum (+)
sde
sde

Cornea
COA
Iris
Pupil

Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm

sde
soft

Lensa
TIO

Jernih, rata
6/5,5

subconjunctival hemorrhage

Dx: OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi :


-

Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV

Post eksplorasi hari ke-3


Tx :
-

Bed rest semifowler

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv

Inj. Tranexamic acid 3x1ampul iv

Inj. Antrain 3x1ampul iv

Tobroson ed 8x1tetes OD

SA 1% ed 3x1tetes OD

Tanggal 25 Februari 2012


Oculi Dextra

Oculi Sinistra

LP (+) good proyection


Spasme (-), edema (-)
Kemosis (-), subconjunctival

Visus
Palpebra
Conjungtiva

20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)

hemorrhage (+)
Jernih
Koagulum (+)

Cornea
COA

Jernih
Dalam

22

sde
sde

Iris
Pupil

rad. line (+)


round, RP (+), 3mm

sde
soft

Lensa
TIO

Jernih, rata
8/5,5

Dx: OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi :


-

Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV

Post eksplorasi hari ke-4


Tx :
-

Bed rest semifowler

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv stop

Inj. Tranexamic acid 3x1ampul iv

Inj. Antrain 3x1ampul iv stop

Asam mefenamat 3x500mg p.o (k/p)

Tobroson ed 8x1tetes OD

SA 1% ed 3x1tetes OD

Tanggal 26 Februari 2012


Oculi Dextra

Oculi Sinistra

1/300
Spasme (-), edema (-)
Kemosis (-), subconjunctival

Visus
Palpebra
Conjungtiva

20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)

hemorrhage (+)
Jernih
Koagulum (+)
sde
sde

Cornea
COA
Iris
Pupil

Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm

sde
soft

Lensa
TIO

Jernih, rata
7/5,5

Dx: OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi :


-

Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV

Post eksplorasi hari ke-5


Tx :

23

Bed rest semifowler

Inj. Tranexamic acid 3x1ampul iv

Asam mefenamat 3x500mg p.o (k/p)

Tobroson ed 8x1tetes OD

SA 1% ed 3x1tetes OD

Tanggal 27 Februari 2012


Oculi Dextra

Oculi Sinistra

1/300
Spasme (-), edema (-)
subconjunctival hemorrhage

Visus
Palpebra
Conjungtiva

20/40 ph 20/25
spasme(-), edema (-)
CI (-), PCI (-)

(+)
Jernih
Koagulum (+), dalam
sde
sde

Cornea
COA
Iris
Pupil

Jernih
Dalam
rad. line (+)
round, RP (+), 3mm

sde
soft

Lensa
TIO

Jernih, rata
7/5,5

Dx: OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi :


-

Laserasi palpebra
Ruptur konjungtiva
Kemosis konjungtiva
Hifema grade IV

Post eksplorasi hari ke-6


Tx :
-

Bed rest semifowler

Inj. Tranexamic acid 3x1ampul iv

Asam mefenamat 3x500mg p.o (k/p)

Tobroson ed 8x1tetes OD

SA 1% ed 3x1tetes OD

24

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki berusia 56 tahun datang ke UGD RSSA dengan keluhan mata kanan
mengeluarkan darah dan penglihatannya langsung turun mendadak setelah mata kanannya
terbentur sudut meja akibat tersndung kakinya sekitar setengah jam SMRS. Mata kanannya
terasa nyeri, gelap, merah dan berdarah. Belum mendapat terapi apapun sebelum dibawa
ke rumah sakit, tidak didapatkan riwayat penyakit sistemik.
Gejala-gejala tersebut yang dialami pasien merupakan gejala trauma okuli
dikarenakan benturan sudut meja, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan
kencang sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.
Trauma pada mata dapat mengenai jaringan seperti kelopak mata, konjungtiva, kornea,
uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu
kejadian trauma jaringan mata. Seketika terkena benda tumpul maka penderita bisa
mengeluh matanya merah, kemeng, perih, nrocoh (keluar air mata terus menerus), berdarah
bila ada laserasi atau ruptur, bahkan sebagian akan mengeluhkan pandangan kabur. Hal ini
juga menyesuaikan pada tingkat mana kerusakan terjadi, dan ada tidaknya penyulit atau
komplikasi pasca trauma okuli diakibatkan trauma mekanis.
Dari status oftalmologis pasien didapatkan spasme dan edema kelopak mata kanan
serta laserasi palpebra temporal kanan. Pada konjungtiva didapatkan darah, kemosis
konjungtiva dan subconjunctival hemorrhage. Pemeriksaan kornea didapatkan kornea
keruh, camera oculi anterior didapatkan full hifema. Sedangkan iris, pupil, dan lensa sulit
dievaluasi karena tertutup oleh full hifema.
Tanda klinis yang ditemukan pada pasien sesuai dengan tanda klinis yang
diakibatkan oleh trauma okuli mekanis. Sehingga dari anamnesa dan pemeriksaan fisik
dapat ditegakkan diagnosa OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi laserasi
palpebra, ruptur konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan hifema grade IV.
Komplikasi trauma okuli pada pasien ini berupa laserasi palpebra, ruptur konjungtiva,
kemosis konjungtiva, dan hifema grade IV. Laserasi palpebra dan ruptur konjungtiva terjadi
akibat benturan langsung yang keras sehingga kulit palpebra robek dan dibawahnya terjadi
ruptur pembuluh darah konjungtiva, sehingga terjadi perdarahan. Pada pasien ini juga
didapatkan kemosis konjungtiva yang terjadi akibat adanya reaktif edema pada konjungtiva,
karena proses trauma yang menyebabkan luka akan menginduksi terjadinya inflamasi.
Sedangkan hifema merupakan akibat dari adanya robekan pembuluh darah iris atau
badan siliar yang dapat merusak sudut kamera okuli anterior akibat trauma mekanik. Pada
pasien ini diapatkan hifema yang menutupi seluruh kamera okuli anterior sehingga

25

dikategorikan sebagai hifema grade IV. Secara teori klinis penderita akan mengeluh sakit
disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan akan sangat menurun, hifema akan
terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik
mata depan. Kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Tanda klinis lain berupa tekanan
intraokuli normal/meningkat/menurun, bentuk pupil normal/midriasis/lonjong, pelebaran
pembuluh darah perikornea serta bisa diikuti tes flouresin (+) atau (-). Pada pasien ini
didapatkan iris, pupil dan lensanya tidak dapat dievaluasi karena tertutup oleh hifema yang
memenuhi seluruh camera oculi anterior. Full hifema pada pasien ini menyebabkan pasien
mengalami penurunan visus yang drastis dan mendadak.
Penanganan trauma okuli non perforans yang disertai komplikasi laserasi palpebra,
ruptur konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan hifema grade IV lebih ditekankan pada
simtomatis dan mencegah komplikasi seperti perdarahan ulang (rebleeding) dan infeksi,
selain itu juga diperlukan evaluasi segmen posterior yang tidak terlihat karena tertutup oleh
hifema grade IV dengan eksplorasi okuli menggunakan general anestesi, karena
dikhawatirkan ada cedera dan kebocoran dari segmen posterior meskipun tekanan intra
okuli (TIO) pasien pada pemeriksaan pertama tidak menunjukkan penurunan (sulit
dievaluasi). Dengan adanya komplikasi tersebut, maka mutlak pasien memiliki indikasi untuk
masuk rumah sakit. Terapi selama pasien rawat inap berupa eksplorasi denga GA, posisi
bed rest semifowler, pemberian obat-obatan berupa injeksi Ceftriaxone 2x1 gr iv, Tetagam 1
ampul im, Tranexamic acid 3x1ampul iv, Antrain 3x1ampul iv, Tobroson ed 8x1tetes OD, dan
SA 1% ed 2x1tetes OD. Dengan rencana monitoring visus, TIO dan slit lamp serta
komplikasi perdarahan ulang yang mungkin bisa terjadi 3-5 hari setelah trauma okuli. Posisi
bed rest semifowler dengan kepala ditinggikan 30derajat bertujuan untuk mencegah
rebleeding.
Pada kasus ini, terapi injeksi ceftriaxone dan tobramycin topikal bertujuan menangani
komplikasi infeksi akibat masuknya benda asing ke mata. Injeksi tetagam diberikan untuk
profilaksis pada individu yang mengalami luka atau ruptur bola mata yang dikhawatirkan
menjadi tempat potensial untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Injeksi antrain ditujukan
sebagai analgesik akibat trauma dan juga digunakan sebagai analgesik pasca operasi
eksplorasi. Sedangkan untuk penatalaksanaan terhadap kejadian hifema diberikan SA 1 %,
tranexamic acid serta methylprednisolon. SA 1 % berperan sebagai sikloplegik yang
merelaksasi iris, karena adanya darah dalam bilik mata depan dapat merangsang kontraksi
iris yang selanjutnya dapat meningkatkan TIO. Tranexamic acid merupakan antifibrinolitik
yang menghambat pengubahan plasminogen menjadi plasmin. Perlunya antifibrinolitik pada
kasus ini adalah untuk mencegah berlanjutnya perdarahan pada hifema.

26

BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 56 tahun dengan kasus OD trauma okuli non
perforans dengan komplikasi laserasi palpebra, ruptur konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan
hifema grade IV akibat trauma mekanik (terbentur sudut meja). Dari anamnesis dan
pemeriksaan status oftalmologis pada pasien didapatkan

hasil yang mendukung suatu

diagnosa OD trauma okuli non perforans dengan komplikasi laserasi palpebra, ruptur
konjungtiva, kemosis konjungtiva, dan hifema grade IV.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah operasi eksplorasi, bedrest semifowler,
pemberian obat-obatan berupa injeksi ceftriaxone 2x1gr iv, injeksi tetagam 1ampul im,
injeksi tranexamic acid 3x1ampul iv, injeksi antrain 3x1ampul iv, tobramycin ed 8x1 OD, dan
SA 1% OD. Pertimbangan adanya kecurigaan cedera dan kebocoran pada segmen
posterior, komplikasi rebleeding dan infeksi merupakan indikasi pasien untuk rawat inap.

27

Anda mungkin juga menyukai