Anda di halaman 1dari 22

BAB I

Pendahuluan

Era globalisasi dimana saatini sedang terjadi menuntut seseorang untuk bekerja
dan hidup dengan praktis. Seseorang dengan kehidupan modern sering sekali memilih
untuk makan makanan cepat saji, kebiasaan olahraga yang kurang, aktifitas rekreasi
digantikan dengan aktifitas kerja, serta kegiatan sehari hario lain yang memicu
kejadian penyakit kardiovaskular.

Kejadian penyakit kardiovaskular saat ini menjadi salah satu bagian dari
penyakit yang dengan angka kematian yang tinggi. Selain itu resiko komplikasi
jangka panjang dari kondisi ini juga cukup tinggi, saat ini usia populasi dengan
penyakit kardiovaskular mengalami penurunan, artinya seseorang dengan usia muda
banyak yang mengalami kejadian penyakit kardiovaskulkar.

Dilain sisi, di negara seperti Indonesia penyakit non-comunicable disease


seperti penyakit jantung mengalami peningkatan dibalik kasus infeksius yang masih
tinggi. Sehingga menyebabkan Indonesia berada pada kondisi double-burden. Hal ini
bisa diatasi dari semua level pencegahan penyakit, baik promotif, preventif, early
diagnosis and prompt treatment hingga rehabilitasi. Untuk mencapai hal itu
dibutuhkan masyarakat yang proaktif, tenaga medis yang mumpuni dan dorongan dari
pemerintah yang menyokong dari sisi kebijakan. Pemahaman seorang tenaga medis
dalam hal ini dokter untuk memahami kasus-kasus kardiovaskular sangat penting
mengingat beberapahal yang sudah dijelaskan sebelumnya.
BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Definisi
Ventrikel Ekstra Systole (VES) atau premature ventricular contraction
(PVC) adalah depolarisasi pada ventrikel yang terjadi lebih awal. Gelombang
depolarisasi ini tidak mengikuti irama sinus, sehingga pada perkeman
elektrokardiografi (EKG) digambarkan sebagai gelombang QRS bizzare dan
tidak didahului oleh gelombang p dan p-R interval (Ahn, 2013).
B. Faktor Resiko
1. Usia
Usia tua merupakan salah satu faktor resiko terjadinya PVC. Hal ini
terkait dengan resiko kardiovakular dan ketahanan myokardium pada usia
tua. Selain itu, kondisi usia tua menyebabkan beberapa mekanisme
kelistrikan mengalami kerawanan, dan dapat memicu terjadinya
elektrofisiologi yang menyimpang seperti mekanisme reentrant pada kasus
PVC (Rotz, 2016).
2. Massa ventrikel
Hubungan peningkatan massa ventrikel dan ventrikel aritmia telah
dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh, analisis Framingham Heart Study
menunjukkan bahwa pria, tetapi tidak wanita, dengan hipertrofi ventrikel
kiri yang didefinisikan oleh kriteria ECG memiliki risiko lebih tinggi
untuk aritmia ventrikel. Studi kami menegaskan dan memperluas temuan
ini karena kami menemukan hubungan berkelanjutan dari massa ventrikel
kiri yang dinilai oleh SLI dan frekuensi PVC, terlepas dari jenis kelamin.
Dari catatan, hipertrofi ventrikel kiri meningkatkan kerentanan terhadap
rangsangan listrik, seperti itu bahwa massa ventrikel kiri dapat memainkan
peran penting dalam terjadinya PVC. Hubungan ini mungkin akan lebih
kuat jika pencitraan jantung telah tersedia dalam penelitian kami,
mengingat sensitivitas yang relatif rendah dari kriteria berbasis EKG ke
mengukur massa ventrikel kiri dan hipertrofi (Rotz, 2016).
3. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik menjadi faktor yang perlu dikaji ulang sebagai faktor
resiko PVC dan aritmia ventrikel lainya. Hal ini terkait beberapa
penelitian yang menunjukan aktifitas fisik sebagai faktor protektif kejadan
PVC dan kejadian kardiovaskular lain. Namun, pada beberapa penelitian
menunjukan efek aktivitas fisik yang dapat meningkatkan massa
myokardium menjadi faktor resiko terjadinya PVC (Rotz, 2016).
4. Tinggi badan
Tinggi badan orang dewasa merupakan salah satu faktor yang
mepengaruhi ukuran ruang jantung. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa tinggi badan diatas nilai median adalah prediktor
yang kuat dan independen untuk kejadian premature atrial contraction
dan insiden atrial fibrilasi. Penelitian (von Rotz M., etal, 2016)
menunjukkan bahwa tinggi badan merupakan faktor risiko utama aritmia
ventrikel. Terkait mekanisme yang mendasari pada kasus PVC masih
perlu diteliti lebih lanjut (Rotz, 2016).
5. Status sosial ekonomi dan pendidikan
Status sosial ekonomi rendah telah dibuktikan secara berulang terkait
faktor risiko kardiovaskular dan kejadian kardiovaskular. Orang dengan
status sosial ekonomi rendah cenderung memiliki gaya hidup yang kurang
sehat dan pada populasi tersebut didapatkan prevalensi obesitas lebih
tinggi. Banyak dari gaya hidup dan faktor-faktor metabolik yang
merugikan yang terkait dengan sosial ekonomi rendah adalah faktor risiko
independen dari kejadian PVC, yaitu merokok berat, kadar GLP-1 yang
rendah dan aktivitas fisik. Menariknya, status pendidikan yang rendah
tetap menjadi faktor risiko yang kuat untuk kejadian dan frekuensi PVC
bahkan setelah disesuaikan untuk faktor-faktor ini, menunjukkan bahwa
status sosial ekonomi yang rendah memiliki efek lain yang menjadi faktor
terjadinya PVC, misalnya, stres psikologis (Rotz, 2016).
6. Konsumsi buah
Konsumsi buah dan sayuran dalam jumlah banyak berkaitan dengan
kasus PVC yang lebih tinggi. Penjelasan yang mungkin untuk hal ini bisa
menjadi sebab-akibat terbalik. Subyek dengan faktor risiko kardiovaskular
yang tinggi atau simptomatik PVC mungkin lebih cenderung mencoba
memperbaiki kebiasaan hidup dengan kebiasaan makan yang sehat (Rotz,
2016).
C. Kriteria Diagnosis
Diagnosis premature ventricular contractions didasarkan pada sadapan
EKG. Dimana ada beberapa sarat yang harus dipenuhi pada kondisi ini. Sarat
gambaran sadapan EKG pada pasien yang dinyatakan mengalami premature
ventricular contraction adalah (Manolis, 2015):
a. Terdapat gelombang QRS yang lebar, yakni lebih dari 0,12ms
b. Morfologi bizzare dari gelombang QRS
Prosedur diagnostik pasien yang dicurigai mengalami premature
venticular contraction (PVC) menjadi tantangan tersendiri bagi dokter.
Keluhan yang kadang asimptomatis atau hanya muncul sebagai keluhan
ringan seperti palpitasi yang mirip dengan kondisi ansietas menjadikan
diagnosis PVC sering tersamarkan dan tidak dilakukan pemeriksaan prosedur
diagnostik yang tepat. Prosedur diagnostik pada kasus PVC secara prinsip
diawali dengan pemeriksaan elektrokardiografi, setelah didapatkan adanya
gelombang listrik jantung yang mengarah pada PVC maka dapat dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lain. Beberapa prosedur diagnostik yang
dapat dilakukan untuk menilai kondisi PVC adalah:
1. EKG
Elektrokardiogram (EKG) adalah pemeriksaan yang paling
banyak digunakan yang digunakan untuk mendeteksi beberapa
penyakit jantung. Impuls listrik dihasilkan oleh polarisasi dan
depolarisasi jaringan jantung dan diubah menjadi bentuk gelombang
pada EKG. Gambaran khas gelombang prematur yang muncul adalah
adanya gelombang QRS lebar dengan morfologi yang aneh atau biasa
disebut sebagai QRS bizzare.
Jenis gambaran EKG pada kasus PVC dapat diklasifikasikan atas
beberapa dasar. Berdasarkan jumlah fokus ektopiknya dibagi menjadi
dua yakni unifokal dan multifokal, berdasarkan pattern gelombang
PVC yang muncul pada suatu perekaman dapat dibagi menjadi
bigimeny, trigimeny, quadrigimeny.
a. Unifokal
Unifokal pada kasus PVC adalah kondisi PVC yang disebabkan
oleh satu fokus ektopik. Gambaran EKG pada kasus PVC unifokal
akan menunjukan suatu morfologi gelombang PVC yang seragam.

Gambar 1. Unifokal PVC


b. Multifokal
Kasus PVC multifokal adalah kondisi PVC yang terjadi karena
fokus ektopik yang lebih dari satu atau multipel. Sehingga
gambaran EKG akan menunjukan morfologi gelombang PVC yang
berbeda-beda.
Gambar 2. Multifokal PVC

c. Bigeminy
Gambaran PVC bigimeny adalah gambaran satu gelombang
sinus diikuti oleh satu gelombang PVC.

Gambar 3. PVC bigimeny


d. Trigeminy
Gambaran PVC trigeminy adalah pattern PVC yang muncul
setelah dua QRS dari irama sinus.

Gambar 4. PVC Trigeminy


e. Couplet PVC
Gelombang couplet pada PVC adalah bila terdapat dua
gelombang PVC yang terjadi berurutan.

Gambar 5. Couplet PVC


f. R-on-T phenomenone
Variasi gambaran EKG pada kasus PVC dapat berupa gelombang R
sebagai awal dari gelombang PVC hampir menyatu dengan puncak
gelombang t. Kondisi ini merupakan kondisi pre-ventrikular
takikardi maupun pre-ventrikular fibrilasi. Apabila terjadi coupling
pada fenomena R-on-T ini maka hal tersebut adalah awal dari
kondisi VT dan VF.

Gambar 6. R-on-T Phenomenone


Gambar 7. R-on-T Phenomenone sebagai awal VT

Berdasarkan frekuensi gelombang PVC pada perekaman EKG


maka PVC dibagi menjadi dua yakni, frekuen premature ventricular
contraction dannon-frekuen premature ventricular contraction. Frekuen
premature ventrikular contraction didefinisikan sebagai jumlah
kemunculan gelombang PVC lebih dari 20% dari seluruh gelombang
pada satu menit. Berdasarkan ada atau tidaknya keluhan, PVC
diklasifikasikan sebagai simptomatik bila terdapat keluhan yang
menyertai dan asimptomatik bila tidak terdapat keluhan yang
menyertainya.
2. Holter monitor
Holter monitor adalah salah satu metode diagnosis yang
digunakan dalam menegakan diagnosis PVC. Holter monitor
memungkinkan perekaman gelombang elektrokardiografi hingga 72
jam. Keuntungan yang didapatkan menggunakan holter monitor adalah
kondisi diurnal yang dapat mempengaruhi munculnya gelombang
PVC. Selain itu terdapat sebuah tombol yang digunakan oleh pasien
saat merasakan suatu gejala tertentu misalkan adanya angina atau
palpitasi. Hal ini dapat memperlihatkan kaitan antara gejala dan
gelombang jantung yang terekam apakah karena PVC atau bentuk
gelombang dan etiologi lain (Pagana, 2018).
3. Echocardiografi
Echocardiografi dapat digunakan juga dalam pemeriksaan pasien
dengan PVC. Kepentingan pemeriksaan echocardiografi adalah
penilaian struktur dan fungsi dari jantung. Pasien dengan PVC
memiliki resiko terjadinya penurunan fungsi ventrikel yang akan
menjadi cardiomyopathy. Munculnya PVC atas beberapa mekanisme
dan dasar etiologi juga dapat ditapis menggunakan pemeriksaan
echocardiografi. Dasar etiologi dari PVC oleh karena kerusakan katup
jantung, atau hypertrofi ventrikel dapat dilihat dengan baik dengan
pemeriksaan echocardiografi (Manolis, 2015).
4. EKG stress-test
Perekaman EKG dengan aktivitas tertentu seperti tread-mill atau
biasa disebut sebagai stress-test dapat menunjukan hasil apakah
abnormalitas gelombang listrik jantung dikarenakan oleh aktivitas
fisik atau tidak (Manolis, 2015).
D. Patogenesis
Mekanisme patogenesitas dari PVC secara pasti belum diketahui. Akan tetapi
ada beberapa mekanisme yang dimungkinkan menjadi dasar patogenesis dari
kondisi PVC ini. Mekanisme yang mendasari serupa dengan mekanisme dasar
dari aritmia yakni (Martin, 2016):
1. Mekanisme Re-entrant
Mekanisme dari PVC disinyalir sebagian besar melalui proses reentrant
ini. Proses reentrant adalah proses yang dikarenakan oleh adalanya aliran
listrik yang berputar pada suatu fokus dan menjadikanya sebagai fokus
ektopik yang tidak mengikuti irama sinus. Adanya kerusakan otot jantung,
penyakit katup jantung, dan terbentuknya jaringan fibrosa post-infark
merupakan proses awal dari mekanisme reentrant ini.
Kerusakan struktur jantung secara selular pada sebuah penelitian oleh
Wang, etal. pada tahun 2014 menunjukan sel myocardium yang rusak
akan mengalami peningkatan diseprsi dari potensial aksi. Hal ini akan
menjadi suatu fokus ektopik dimana dapat menimbulkan suatu sirkuit baru
yang keluar dan masuk kembali pada fokus tersebut. Perubahan dispersi
potensial aksi myosit tersebut disebabkan oleh pengaturan kanal ion
calsium myocardium mengalami kebocoran sehingga merubah potensial
aksi dari otot jantung tersebut.
2. Automatisasi
Kondisi perubahan elektrolit dalam tubuh dapat mempengaruhi proses
automatisasi myocardium. Salah satu fungsi otot jantung adalah fungsi
automatisasi dalam hal ini, untuk membentuk suatu irama sinus maka
perlu adanya automatisasi yang diawali oleh nodus sinoatrial. Akan tetapi
pada kondisi hiperkalemia, maka akan terjadi proses automatisasi
abnormal oleh karena perubahan regulasi kanal NaK-ATPase. Perubahan
yang terjadi adalah subtreshold untuk terjadinya proses depolarisasi,
sehingga akan muncul potensial aksi di luar proses normal kelistrikan
myocardium.
3. Trigerred activity
Perubahan sel myocardium setelah proses infark, perubahan kondisi
elektrolit seperti hipokalemia atau hipercalcemia akan mengakibatkan
proses repolarisasi memanjang. Apabila terjadi proses repolarisasi yang
memanjang maka akan terjadi suatu feedback atas kondisi ini dimana
myocardium akan mencapai treshold untuk melakukan proses
depolarisasi, dan ini akan memulai proses depolarisasi baru.
E. Patofisiologi
Pasien dengan PVC mengalami beberapa keluhan dan beberapa resiko
komplikasi. Komplikasi yang mungkin muncul pada pasien dengan PVC
adalah kejadian kardiomyopati. Proses terjadinya kardiomyopati pada pasien
dengan PVC terjadi karena beberapa proses mekanisme yang berbeda.
Beberapa ahli menyatakan suatu hipotesis dimana frekuensi PVC, coupling,
lebar morfologi PVC, dan adanya komorbid kelainan struktur jantung akan
mempercepat proses terjadinya kardiomyopati. Pada saat terjadi PVC maka
akan terjadi disinkronasi pada kontraksi antara atrium dan ventrikel. Sehingga
proses ejeksi dari ventrikel PVC akan menghasilkan stroke volume yang
minimal. Kondisi ini akan menyebabkan respon selular berupa perubahan
aktifitas ion calcium yang tidak mencukupi untuk melakukan kontraksi
normal namun dipaksa untuk kontraksi oleh sebuah fokusektopik. Hal ini
yang akan menyebabkan suatu disinkronasi kronis dan terjadilah ketidak
efektifan kerja jantung dan berakhir pada kondisi kardiomyopati (Laplante,
2018).
Gejala yang muncul pada pasien dengan PVC dimungkinkan berasal dari
mekanisme serupa pada berkembangnya proses kardiomyopati. Efek dari
disinkronasi dan produksi stroke volume yang tidak adekuat mengakibatkan
organ target mengalami kekurangan suplai darah. Keluhan seperti pusing,
sinkop, nyeri dada, didasarkan pada mekanisme ini. Suatu penelitian
menunjukan adanya tekanan intraaortik yang lemah pada kontraksi PVC.
Pembentukan stroke volume yang tidak adekuat, dan tekanan intraaortik yang
lemah ini menjadikan seseorang dengan PVC mengalami kondisi seperti pada
pasien bradikardia (Laplante, 2018).
F. Gejala Klinis
Gejala klinis pada pasien dengan PVC sangat bervariasi. Sebagian tidak
mengalami keluhan dan sebagian mengalami keluhan seperti pusing yang
dirasakan oleh pasien sebagai kondisi menuju pingsan. Gejala lain yang dapat
muncul adalah palpitasi yang sering dirasakan sebagai dada berdebar.
Penelitian oleh Wang etal, tahun 2018 menunjukan tidak ada perbedaan
signifikan terkait keluhan pasien dengan komplikasi pada PVC.
Tabel. Keluhan pasien

Keluhan Terbebas dari Dengan komplikasi


komplikasi
Palpitasi 65% 52%
Pusing 12% 12%
Synkope 2% 0%
Nafas pendek 9% 21%
Nyeri dada 42% 55%
Lama keluhan >1 tahun 72% 70%
G. Terapi
Pasien yang PVC simptomatik atau memiliki beban kardiovaskular yang
tinggi dan fraksi ejeksi yang berkurang harus menerima pengobatan, baik
dengan radiofrekuensi ablasi (RFA) atau obat antiaritmia (AAD). Pasien
simptomatik ini lebih mendapat efikasai dari pengobatan (Laplante, 2018).
Pasien tanpa gejala dengan LVEF (lef ventrikel ejection fraction) normal
harus dipertimbangkan secara individual untuk pengobatan. Pasien-pasien ini
memiliki tingkat BNP yang meningkat, yang biasanya akan kembali normal
setelah RFA, tetapi implikasi klinis temuan laboratorium ini tidak diketahui.
Evaluasi lebih lanjut dari pasien-pasien ini mungkin mengungkapkan bukti
dilatasi atau regangan miokard yang abnormal pada pelacakan speckle, yang
dapat menjadi indikasi untuk pengobatan (Laplante, 2018).
Pengobatan pasien bertujuan untuk menekan frekuensi PVC, baik oleh
AAD atau RFA. Pengobatan telah terbukti bermanfaat dalam banyak hal, baik
pada pasien simtomatik maupun asimptomatik yang memiliki kardiomiopati
terkait-PVC. Kebanyakan ahli lebih memilih menggunakan AAD sebelum
merujuk untuk RFA. Banyak AAD yang dapat digunakan tentunya dengan
berbagai efektivitas dan efek samping. AAD yang umum digunakan termasuk
propafenone, flainainide, βblockers, calcium channel blockers, amiodarone,
sotalol (Laplante, 2018).
Jika pengobatan dengan AAD gagal atau mengalami efek samping obat
yang teralalu tinggi, maka pasien harus dirujuk untuk dilakukan ablasi.
Prosedur ini telah digunakan selama bertahun-tahun dan aman: tingkat
komplikasi yang dilaporkan bervariasi dari 0% hingga 8% terkait dengan
lokasi tusukan (fistula arteriovenosa femoralis, hematoma), tamponade,
stroke, dan diseksi aorta. Tingkat keberhasilan untuk prosedur pertama sekitar
80-90% ((Laplante, 2018).
1. Terapi Medikamentosa
Menurut Ahn, 2013 penggunaan obat antiaritmik sepertei flecanide,
dan amiodarone tidak secara spesifik dan mudah dalam mengontrol PVC.
Pengobatan medikamentosa diawali dengan penggunaan beta-bloker
sebagai terapi utama. Pemberian beta-bloker berfungsiuntuk mengontrol
gejala yang muncul pada pasien yang dikarenakan oleh beberapa PVC,
mengontrol progresi terjadinya LVEFD, gagal jantung dan kardiomyopati
(Ahn, 2013).
Terapi medikamentosa yang digunakan dalam kasus PVC adalah
beta-bloker (AHA, 2017). Penggunaan antara propanolol dan sotalol tidak
menunjukan perbedaan efek yang signifikan secara statistik. Pasien
dengan frekuen PVC dapat diberikan amiodarone, CCB
nondihidropiridine, dan obat supportif lain yang difungsikan untuk
mengatur rate jantung, menurunkan resiko iskemia, dan menurunkan
resiko terjadinya kardiomyopati.
Pemberian bisoprolol sebagai antiaritmia daoat diawali dosis 2,5mg
perhari. Pada sebuah penelitian di jepan menunjukan pemberian bisoprolol
2,5mg perhari menunjukan efikasi dalam menurunkan frekuensi PVC.
2. Terapi Abalasi
Terapi ablasi dengan radiofrekuensi dilakukan pada pasien dengan
disfungsi LV dan frequent PVC. Hasil penelitian Wang, 2018
menunjukkan bahwa ablasi terbukti efektif untuk kondisi PVC dengan
tingkat keberhasilan yang tinggi. Hasil tersebut mirip dengan penelitian
lain yang menunjukkan keberhasilan ablasi untuk PVC dicapai pada angka
84% dan studi tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan ablasi lebih
tinggi pada pasien dengan PVC yang berasal dari RVOT dibandingkan
dengan kondisi lain (Wang etal., 2018).
BAB III

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. A
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Kertek, Kertek, Wonosobo
Pekerjaan : Pelajar SMA
Agama : Islam
Tgl. Masuk RS : 18 Oktober 2018

Tgl. Periksa : 18 Oktober 2018


B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
1. Keluhan utama :
Pusing sejak 1 hari yang lalu
2. Keluhan tambahan :
Dada berdebar, cepat lelah, badan lemas, nyeri dada.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan pusing sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pusing dirasakan mendadak dan tidak hilang dengan istirahat. Pasien merasakan
pusing seperti akan pingsan. Sebelumnya pasien beberapa kali merasakan
keluhan serupa namun kembali dapat melakukan aktivitas seperti biasa.
Keluhan nyeri kepala disangkal, keluhan disertai dengan nyeri dada sebelah kiri,
dada terasa berdebar, dan pasien mengatakan sering merasa cepat lelah.
Keluhan pusing berputar disangkal, keluhan demam, nyeri pada tenggorokan
dan luka-luka disangkal.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit hepar : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat mondok : disangkal
i. Riwayat operasi : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluhan serupa di keluarga : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit hepar : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat social dan exposure
a. Community
Pasien adalah anak kedua dari keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan
seorang adik laki-laki.
b. Home
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan keluarganya. Rumah terdiri dari 3
kamar dan dihuni oleh 4 orang. Kamar mandi dan jamban di dalam rumah.
Atapnya memakai seng dan lantai keramik.
c. Occupational
Pasien adalah seorang pelajar SMA.
d. Personal habit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol. Pasien jarang
berolahraga.
e. Drugs and diet
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan. Menu makan pasien
terdiri dari nasi dan sayur-mayur, dan lauk-pauk. Pasien makan 3 kali
sehari.
C. OBYEKTIF
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis dengan GCS 15 (E=4,
V=5, M=6).
c. Tanda Vital
1) Tekanan Darah : 150/100 mmHg
2) Nadi : 88 x/menit
3) Pernapasan : 20 x/menit, SaO2 : 99%
4) Suhu (Peraksiler) : 36,7 °C
D. PEMERIKSAAN FISIK
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala : Simetris, normocephal
2) Rambut : Distribusi merata
b. Pemeriksaan mata
1) Konjungtiva : Anemis (-/-)
2) Sklera : Ikterik (-/-)
3) Palpebra : Oedem (-/-)
4) Reflek cahaya langsung/ tidak langsung : (+/+) / (+/+)
c. Pemeriksaan telinga
1) Simetris
2) Kelainan bentuk : (-)
3) Discharge : (-)
d. Pemeriksaan Hidung
1) Discharge : (-)
2) Nafas Cuping Hidung : (-)

e. Pemeriksaan mulut
1) Bibir sianosis : (-)
2) Lidah kotor : (-)
3) Faring : hiperemis (-)
f. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+/- 2 cm
g. PemeriksaanThorax
Pulmo
1) Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak
(-)
2) Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan sama dengan
kiri.
Vokal fremitus lobus inferior kanan sama dengan
kiri.
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru, batas paru hepar
di SIC V linea midclavikula dekstra.
4) Auskultasi : Suara dasar : vesikuler (+/+)
Suara tambahan : wheezing (-/-), RBH (-/-),
RBK(-/-)
Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS,
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra dan tidak
kuat angkat
3) Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V, 2 jari medial LMCS
4) Auskultasi : S1>S2, Ireguler, drop beat (+) murmur (-), gallop (-).

h. Pemeriksaan Abdomen
1) Inspeksi : Datar
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal.
3) Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
4) Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : teraba 2 jari BACD
Lien : tidak teraba
i. Pemeriksaan Ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium 18 Oktober 2018 IGD
Hemoglobin : 12,9 g/dL
Leukosit : 9.070 U/L
Hematorkit : 48,6 %
Eritrosit : 4,86x106 /uL
Trombosit : 262.000 /uL
MCV : 81,9 fL
MCH : 26,5 pg
MCHC : 32.4 %
RDW : 15,9 %
MPV : 9.3fl
GDS : 105 mg/dL
K :-
Cl :-
Na :-
b. Pemeriksaan EKG
c. Pemeriksaan Rontgen Thorak

E. DIAGNOSIS KERJA
Frequent Premature Ventricular Contraction symptomatic
Angina Pectoris
F. TERAPI
a. Non Farmakologis
1) Rawat inap
2) Diet TKTP
3) Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,
prognosis penyakit
b. Farmakologi
1) IVFD RL 20 tpm
2) O2 Nasal Kanul 4 LPM
3) Inj Omeprazol 2x40 mg IV
4) PO. Concor 2x1,25 mg
5) PO. Diltiazem 2x30mg
6) PO. Ibuprofen 2x400mg

G. PROGNOSIS
a. Ad vitam : dubia ad bonam
b. Ad functionam : dubia ad bonam
c. Ad sanationam : dubia ad malam
DAFTAR PUSTAKA

Pagana, KD. 2018. Mosby's Canadian Manual Of Diagnostic And Laboratory Tests.
USA: Elsevier

Min-Soo Ahn. 2013. Current Concepts Of Premature Ventricular Contractions.


Journal Of Lifestyle Medicine.

Martin, CA. 2016. Pathophysiology, Diagnosis And Treatment


Of Tachycardiomyopathy. Heart Journal: 103

Antzelevitch, Charles. 2011. Overview Of Basic Mechanisms Of Cardiac


Arrhythmia. Cardio Electrophysiologi Clinic Journal 3.

Wang, Y., Etal. 2014. CELLULAR MECHANISM OF PREMATURE


VENTRICULAR CONTRACTION-INDUCED CARDIOMYOPATHY. Heart
Rhythm. 2014 November ; 11(11): 2064–2072

LAPLANTE, LAURENCE. 2018. A Review Of The Potential Pathogenicity And


Management Of Frequent Premature Ventricular Contractions. PACE Journal.

Wang, Jin-Sheng. 2018. The Safety Of Catheter Ablation For Premature Ventricular
Contractions In Patients Without Structural Heart Disease. BMC Cardiovascular
Disorders (2018) 18:177

AHA. 2017. Guideline For Management Of Patients With VA And Prevention Of


SCD. American Heart Ascociation

Manolis, AS. 2015. Ventriucular Premature Beatas: Literature Review. Wolter


Kluwer Editorial.

Rotz, Mv. 2016. Risk Factors For Premature Ventricular Contractions Young And
Healthy Adults. Heart Online Fisrt

Ofoma, U. 2012. Premature Cardiac Contractions And Risk Of Incident Ischemic


Stroke. J Am Heart Assoc. 2012;1

Anda mungkin juga menyukai