Anda di halaman 1dari 102

1

PENGARUH EKSTRAK DAUN PIRSON (Mallotus subpeltatus Linn)


TERHADAP TINGKAT PARASITEMIA MENCIT (Mus musculus),
Swiss Webster YANG DIINFEKSI PARASIT MALARIA
(Plasmodium berghei) PADA FASE ERITROSIT

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

MERDALIS NURLIVIA
H1A010042

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2014

PENGARUH EKSTRAK DAUN PIRSON (Mallotus subpeltatus Linn)


TERHADAP TINGKAT PARASITEMIA MENCIT (Mus musculus),
Swiss Webster YANG DIINFEKSI PARASIT MALARIA
(Plasmodium berghei) PADA FASE ERITROSIT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Bengkulu

Oleh :
MERDALIS NURLIVIA
H1A010042

Pembimbing :
Drs. Syalfinaf Manaf, M.S
Dr. Morina Adfa, M.Si

BENGKULU
2014

iv

ABSTRAK

Merdalis Nurlivia, H1A010042, 2014, Pengaruh Ekstrak Daun Pirson


(Mallotus subpeltatus Linn) terhadap Tingkat Parasitemia Mencit
(Mus musculus), Swiss Webster yang Diinfeksi Parasit Malaria
(Plasmodium berghei) pada Fase Eritrosit. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Latar Belakang: Penggunaan obat tradisional menjadi salah satu cara untuk
mengatasi masalah resistansi terhadap obat-obat malaria, salah satunya adalah
daun Pirson (Mallotus subpeltatus Linn).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris. Penelitian
ini dilaksanakan di Laboratorium Basic Science FMIPA Universitas Bengkulu,
Laboratorium Kimia Farma dan Laboratorium Riset FKIK Universitas Bengkulu.
Sampel penelitian ini menggunakan 25 ekor mencit jantan, 7-12 minggu, 20-30
gram. Sampel diinjeksi Plasmodium berghei secara intraperitoneal hingga tingkat
parasitemia rata-rata >3%. Sampel dibagi menjadi kelompok kontrol positif,
kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan ekstrak daun Pirson
(Mallotus subpeltatus Linn) dengan dosis 50, 100 dan 150 mg/kgBB, diberikan
secara subkutan pada hari ke 3, 5 dan 7 perlakuan. Pengamatan dilakukan pada
hari ke 4, 6 dan 8. Hasil uji dianalisis menggunakan uji ANOVA dilanjutkan
dengan uji Duncan.
Hasil: Ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus Linn) berpengaruh sangat nyata
terhadap penurunan tingkat parasitemia yang diinfeksi Plasmodium berghei. Pada
hari ke-4 (Fhitung 1,57 < Ftabel 2,87 ; : 0,05), pada hari ke-6 (Fhitung 16,62 > Ftabel
4,43 ; : 0,01) dan pada hari ke-8 (Fhitung 93,73 > Ftabel 4,43 ; : 0,01). Pada uji
Duncan, pengamatan hari ke-4 semua perlakuan tidak berbeda nyata, sedangkan
pada hari ke-6 dan 8, terjadi perbedaan yang nyata antara kontrol negatif dan dosis
ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB dengan kontrol positif dan dosis ekstrak daun
Pirson 100 dan 150 mg/kgBB
Kesimpulan: Ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus Linn) dengan dosis 150
mg/kgBB menunjukkan aktivitas antimalaria paling tinggi terhadap mencit yang
diinduksi Plasmodim berghei.

Kata kunci: Daun Pirson (Mallotus subpeltatus Linn), tingkat parasitemia,


Plasmodium berghei, fase eritrosit.

ABSTRACT
Merdalis Nurlivia, H1A010042, 2014, Effect of Pirson (Mallotus subpeltatus
Linn) Leaf Extract on Parasitemia Level of Mice (Mus musculus) Swiss Webster
infected with Plamodium berghei on Erythrocytes Phase. Skripsi. Medical and
Health Faculty, University of Bengkulu, Bengkulu.
Background: Use of traditional medicine is one way to overcome the problem of
resistance to malaria drugs, Pirson leaf is one of them.
Method: This study is an experimental laboratory, was conducted at the Basic
Science Laboratory, FMIPA University of Bengkulu, Kimia Farma Laboratory
and Riset Laboratory, FKIK University of Bengkulu. Samples of study are 25
male, 7-12 weeks old, 20-30 grams. Samples are injected with Plasmodium
berghei intraperitoneally untill average of parasitaemia level > 3%. Samples are
divided into positive control group, negative control group and groups treated
with Pirson (Mallotus subpeltatus Linn) leaf extracts 50, 100 and 150 mg/kgBW,
subcutaneously on third, fifth and seventh days. Observation is done on fourth,
sixth and eigth days. The results were analyzed with ANOVA test and then
continued with Duncan's test.
Result: Pirson (Mallotus subpeltatus Linn) leaf extract highly significant affect on
the decrease of parasitemia level of mice infected with Plasmodium berghei. On
fourth day (Fvalue 1,57 < Ftable 2,87 ; 5%), on sixth day (Fvalue 16,62 > Ftable 4,43 ;
1%) and on eighth day (Fvalue 93,73 > Ftable 4,43 ; 1%). At Duncan test,
observation fourth day all treatments were not significantly different, while sixth
and eighth day, there was significant difference between negative control and dose
Pirson leaf extract 50 mg/kgBW with a positive control and dose leaf extract
Pirson 100 and 150 mg/kgBW
Conclusion: Pirson (Mallotus subpeltatus Linn) leaf extract with dose 150
mg/kgBW showed the highest antimalarial activity on mice infected with
Plasmodium berghei.

Keyword: Pirson(Mallotus subpeltatus Linn) leaf, Plasmodium berghei,


parasitemia level, erythrocytes phase

vi

PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi
yang berjudul Pengaruh Ekstrak Daun Pirson (Mallotus subpeltatus Linn)
terhadap Tingkat Parasitemia Mencit (Mus musculus), Swiss Webster yang
Diinfeksi Parasit Malaria (Plasmodium berghei) pada Fase Eritrosit.
Dalam pelaksanaan menyusun skripsi ini penulis tidak terlepas dari berbagai
hambatan dan kesulitan. Untuk itu penulis menyampaikan rasa berterima kasih
yang sebesar-besanya kepada:
1. Drs. Syalfinaf Manaf, M.S, selaku pembimbing utama yang dengan penuh
kesabaran meluangkan waktunya, memberikan bimbingan, saran, koreksi,
dan nasehat kepada penulis.
2. Dr. Morina Adfa, M.Si, selaku pembimbing pendamping yang telah
memberikan koreksi dan petunjuk kepada penulis.
3. Dr. Sal Prima Yudha, M.Si, selaku penguji utama yang telah berkenan
menguji sekaligus memberikan saran dan juga koreksi bagi penulis.
4. dr. Sylvia Rianissa Putri, selaku penguji pendamping yang telah berkenan
menguji dan memberikan saran yang berarti bagi penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Bengkulu yang telah memberikan pendidikan dan
pengetahuan selama mengikuti proses pendidikan.
6. Ayah, Ibu, Kakak dan Adikku tersayang berserta keluarga tercinta yang
skripsi ini.
7. Teknisi laboratorium Biologi FMIPA Universitas Bengkulu, Uda Deni,
Uni Ira, Uda Edwar, Mbak Lies dan Dang Agus yang telah banyak
membantu dalam kegiatan penelitian serta teman mahasiswa jurusan
Biologi FMIPA Universitas Bengkulu.
8. Teknisi Laboratorium Kimia Farma Bengkulu, Mbak Anggi yang telah
membantu dalam kegiatan penelitian.
9. Teman satu perjuangan skripsi, Anis, Luqman, dan Pandi yang telah
bersusah payah bersama dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman: Saarah, Selfianti, Tria, Tika, Tari, Ella, Mbak Widya,
Febri, Devi, Ryan, Eko, Adi serta teman-teman lainnya, baik secara
langsung
atau
tidak
langsung
membantu
menyelesaikan
pembuatan/penyusunan skripsi ini.
Akhirnya peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
Amin.
Bengkulu,
Peneliti

vii

2014

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI................................................

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGESAHAN....................................

iii

LEMBAR PERNYATAAN..................................................................

iv

ABSTRAK..............................................................................................

ABSTRACT...........................................................................................

vi

PRAKATA.............................................................................................

vii

DAFTAR ISI.

viii

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

DAFTAR SINGKATAN..

xiv

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................

A.

Latar Belakang...........................................................................

B.

Rumusan Masalah..........................................................................

C.

Tujuan Penelitian...........................................................................

D.

Manfaat Penelitian........................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................

A.

Malaria..........................................................................................

B.

Daur Hidup Plasmodium...............................................................

1. Daur Hidup Aseksual...............................................................

2. Daur Hidup Seksual.................................................................

C.

Plasmodium berghei......................................................................

10

D.

Pirson (Mallotus subpeltatus Linn)

13

1. Klasifikasi.

13

2. Penyebaran dan Habitat.

14

3. Deskripsi dan Habitat

14

E.

Artemisinin-based Combination Teraphy (ACT)..

15

F.

Mencit (Mus musculus)..

16

viii

10

G.

Ekstraksi.............

18

H.

Darah.

19

1. Eritrosit.

20

2. Leukosit

21

a. Monosit...

22

b. Limfosit..

23

Pemeriksaan Mikroskopis Darah...

24

1. Apusan Darah Tebal....

24

2. Apusan Darah Tipis..

25

I.

J.

Aspartat aminotranferase (AST) dan Alanin aminotransferase


(ALT) ...............................................................................

26

Kerangka Pemikiran......................................................................

29

1. Kerangka Teori.

29

2. Kerangka Konsep..

29

Hipotesis.........................................................................................

30

BAB III METODE PENELITIAN......................................................

31

K.

L.

A.

Jenis dan Rancangan Penelitian.....................................................

31

B.

Waktu dan Tempat Penelitian........................................................

31

C.

Sampel dan Besar Sampel..

31

D.

Kriteria Sampel..

32

1.

Kriteria Inklusi

32

2.

Kriteria Ekslusi...

32

E.

Variabel Penelitian

32

F.

Alat dan Bahan Penelitian..............................................................

33

1. Alat ..........................................................................................

33

2.

Bahan .....................................................................................

33

Prosedur Kerja ..............................................................................

34

1. Pembuatan Ekstrak Pirson (Mallotus subpeltatus Linn)

34

2. Percobaan

35

Etika Penelitian..

39

G.

H.

viii

11

I.

Pengamatan

40

1. Penilaian Parasitemia..

40

2. Hitung Jenis Leukosit..

40

3. Pengujian Kadar AST..

41

4. Pengujian Kadar ALT

41

Analisis Data.................................................................................

42

1. Tingkat Parasitemia.................................................................

42

2. Respon Imun Seluler..

42

3. Kadar AST dan ALT

42

BAB IV HASIL PENELITIAN............................................................

43

J.

A.

Hasil Ekstraksi Tanaman Mallotus subpeltatus.............................

43

B.

Rata-rata Tingkat Parasitemia........................................................

43

C.

Diferensial Leukosit...

47

D.

Hasil Pengujian Kadar ALT dan AST...

48

BAB V PEMBAHASAN.......................................................................

50

A.

Tingkat Parasitemia.......................................................................

50

B.

Analisis Hitung Jenis Leukosit

54

C.

Hasil Pengujian Kadar ALT dan AST..

56

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...............................................

60

A.

Kesimpulan...................

60

B.

Saran..

60

DAFTAR PUSTAKA............................................................................

61

LAMPIRAN

68

ix

12

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1Daur Hidup Parasit Malaria.......

10

Gambar 2.2 Daur Hidup Plasmodium berghei..

13

Gambar 2.3 Pirson (Mallotus subpeltatus Linn).

15

Gambar 2.4 Kerangka teori penelitian..

29

Gambar 2.5 Kerangka konsep penelitian..

29

Gambar 4.1 Diagram rata-rata deferensial leukosit pada mencit


yang diinfeksi P.berghei setelah diberi perlakuan

44

Gambar 4.2 Diagram pengujian kadar enzim ALT pada setiap


perlakuan..................................................................
Gambar 4.3 Rata-rata kadar enzim AST pada setiap perlakuan...

47
48

13

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Rata-rata derajat parasitemia mencit yang diinfeksi


Plasmodium berghei setelah diberi ekstrak daun Pirson
pada hari ke 4,6 dan 8..................................................

43

Tabel 4.2 Hasil analisa uji lanjut uji Duncan variasi dosis terhadap
tingkat parasitemia mencit yang diinfeksi Plasmodium
berghei ...................................................

45

Tabel 4.3 Hasil analisa uji lanjut uji Duncan waktu pengamatan
terhadap tingkat parasitemia mencit yang diinfeksi
Plasmodium berghei..................................

xi

46

14

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Penelitian.

68

Lampiran 2. Konversi Perhitungan Dosis

69

Lampiran 3. Rata-rata Tingkat Parasitemia (%) Mus musculus


Setelah diberi Perlakuan .

70

Lampiran 4. Perhitungan ANOVA Tingkat parasitemia (%)


Mus Musculusyang Diinfeksi Plasmodium berghei.

74

Lampiran 5. Uji Duncan waktu pengamatan terhadap tingkat


parasitemia mencit yang diinfeksi
Plasmodium berghei...

76

Lampiran 6. Hasil Perhitungan Diferensial Leukosit pada


M. musculus yang Diinfeksi P. berghei Setelah diberi
Perlakuan............................................................

78

Lampiran 7. Hasil Kadar Enzim ALT dan AST pada M. musculus


yang Diinfeksi P. berghei Setelah diberi Perlakuan

80

Lampiran 8. Alat dan Bahan Penelitian

81

Lampiran 9. Proses Pembuatan Ekstrak Daun Mallotus subpeltatus...

83

Lampiran 10. Proses Pembuatan Apusan Darah Tipis.

84

Lampiran 11. Pengambilan Sampel Pemeriksaan AST dan ALT

85

Lampiran 12. Hasil Pengamatan Deferensial Leukosit

87

xii

15

DAFTAR SINGKATAN

ACT

: Artemisinin-based Combination Therapy

ALT

: Alanin aminotransferase

ANOVA

: Analisis of Variant

APC

: Antigen Presenting Cell

API

: Annual Parasite Incidence

AL

: Artemether-Lumefantrine

AST

: Aspartat aminotransferase

AS+AQ

: Artesunate + Amodiaquine

CDC

:Center for Disease Control and Prevention

DHP

: Dihydroartemisinin-Piperaquine

EDTA

: Ethylenediaminetetaacetic acid

FKIK

: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

GMAP

: Global Malaria Action Plan

IgG

: Imunoglobulin G

IgM

: Imunoglobulin M

IL-1

: Interleukin-1

LDH

: Laktat dehidrogenase

LPS

: Lipopolisakarida

MDGs

: Millenium Development Goals

MIPA

: Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

NADH

: Nikotinamida adenosin dinukleotida hidrogen

NCBI

: National Center for Biotechnologi Information

RAL

: Rancangan Acak Lengkap

Riskesdas

: Riset Kesehatan Dasar

SPSS

: Statistical Package of Social Science

Th1

: T helper 1

Th2

: T helper 2

TNF

: Tumor Necrosis Factor

WHO

: World Health Organization

xiii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Malaria merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat.
Malaria dapat menyebabkan anemia dan penurunan tingkat produktivitas serta
salah satu pembunuh terbesar terutama pada kelompok dengan faktor risiko
tinggi misalnya bayi, balita dan ibu hamil (Harijanto, 2011). Malaria adalah
penyakit infeksi parasit yang disebabkan protozoa golongan Plasmodium serta
dapat menular melalui gigitan nyamuk Anopheles spp (Riskesdas, 2010).
Pada tahun 2010, terdapat 216 juta kejadian demam di dunia yang
disebabkan oleh malaria, dan mengakibatkan 655.000 kematian. Di Asia
Tenggara didapatkan 28 juta kasus infeksi malaria dan 38.000 diantaranya
meninggal pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, terdapat 229.819 kasus
infeksi malaria pada tahun 2010 yang menyebabkan 2.400 kematian pada anak
di bawah 5 tahun (WHO, 2012).

Berdasarkan Annual Parasite Incidence

(API), stratifikasi wilayah Indonesia bagian Timur masuk dalam stratifikasi


malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi
dan Sumatera,

sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah,

meskipun masih terdapat fokus malaria tinggi di beberapa desa (Riskesdas,


2010).
Berdasarkan luasnya dampak yang diakibatkan oleh penyakit ini maka
negara-negara

di

dunia

sepakat

untuk

menjalankan

suatu

program

pemberantasan malaria yang disebut Global Malaria Action Plan (GMAP).


World Health Organization (WHO) menetapkan pemberantasan penyakit
malaria hingga prevalensi minimal sebagai salah satu target Millenium
Development Goals (MDGs). Dengan adanya target MDGs tersebut, upaya
pengendalian penyakit malaria di Indonesia semakin membaik (Riskesdas,
2010).
Salah satu dampak dari program pengobatan untuk memberantas malaria
adalah semakin meningkatnya angka resistensi terhadap obat-obat malaria
(Laihad, 2011).

Apabila hal ini terus meluas, maka dapat menyebabkan

peningkatan angka kesakitan dan kematian terutama pada bayi dan anak di
bawah 5 tahun sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya resistensi
dengan memberikan pengobatan yang tepat dan efektif (Arsin, 2012).
Obat-abat tradisional banyak digunakan masyarakat Indonesia untuk
mengatasi malaria. Pengetahuan tentang obat tersebut didapat secara turun
temurun dan dipercaya dapat mengatasi malaria secara efektif (Zein, 2005).
Selain itu, obat-obat tradisional tersebut mudah didapat, murah dan dapat
diramu sendiri. Hal ini mungkin dapat mengatasi masalah resistensi terhadap
obat malaria (Tjahyani dan Khiong, 2010).
Parasitemia sering digunakan sebagai indikator dalam penelitian
mengenai parasit malaria yaitu dengan menggunakan apusan darah tipis.
Dengan apusan darah ini dapat diketahui tingkat parasitemia mencit yang
menderita malaria. Jika tingkat parasitemia mencit 3% pada apusan darah,

maka dapat diindikasikan bahwa mencit tersebut telah terinfeksi malaria (Dewi
et al., 1996).
Setelah parasit malaria masuk ke dalam tubuh, tubuh akan berusaha
melindungi diri dengan membentuk respon imun seluler yang ditunjukkan
dengan adanya perubahan jenis leukosit.

Leukosit terdiri dari neutrofil,

eosinofil, basofil, monosit dan limfosit.

Monosit dan makrofag adalah

imunitas didapat non-spesifik utama yang melawan malaria.

Sedangkan

limfosit adalah imunitas didapat spesifik utama yang melawan malaria


(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Parasit malaria yang masuk ke dalam tubuh akan masuk ke dalam sel
hati untuk hidup dan memperbanyak diri sebelum dilepaskan ke sirkulasi. Di
dalam sel hati terdapat enzim Aspartate Aminotransferase (AST) dan Alanin
Aminotransferase (ALT).

Kedua enzim tersebut adalah enzim yang akan

dilepaskan hati ke sirkulasi jika terjadi kerusakan pada sel hati. Perubahan
kadarnya di dalam darah dapat digunakan sebagai indikator terjadinya
kerusakan pada hati. Perbandingan kadar AST dan ALT juga digunakan untuk
tujuan diagnosis terhadap serangan malaria pada tubuh manusia (Kee, 2008).
Pirson (Mallotus subpeltatus) merupakan tanaman yang sering
digunakan masyarakat khususnya di Papua untuk mengobati malaria.
Penggunaan

Pirson (Mallotus subpeltatus) sebagai obat malaria telah

dilakukan secara turun temurun dengan meminum air rebusan daunnya. Pirson
(Mallotus subpeltatus) mudah didapatkan oleh masyarakat karena banyak
terdapat di lingkungan sekitar rumahnya.

Pirson (Mallotus subpeltatus) diduga mengandung senyawa antimalaria,


namun belum ada penelitian yang dapat membuktikannya sehingga peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak
daun Pirson (Mallotus subpeltatus) terhadap tingkat parasitemia mencit
(Mus musculus) yang diinfeksi Plasmodium berghei pada fase eritrosit.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah pada penelitian ini, yaitu :
Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus)
terhadap tingkat parasitemia mencit

(Mus musculus) yang diinfeksi

Plasmodium berghei pada fase eritrosit?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian
ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) terhadap tingkat parasitemia,
respon imun seluler, dan enzim AST dan ALT mencit (Mus musculus)
yang diinfeksi Plasmodium berghei pada fase eritrosit.

2. Tujuan Khusus Penelitian


a. Menilai perbandingan efektivitas penurunan tingkat parasitemia mencit
(Mus musculus) yang diberikan ekstrak daun Pirson dan ACT.

b. Menilai respon imun seluler melalui perubahan jenis leukosit pada


mencit (Mus musculus) yang diinfeksi Plasmodium berghei.
c. Menilai kerusakan sel hati mencit (Mus musculus) yang diinfeksi
Plasmodium berghei melalui perubahan kadar AST dan ALT di dalam
darah.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Peneliti
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan pengetahuan
mengenai pengaruh ekstrak daun Pirson terhadap tingkat parasitemia
mencit (Mus musculus) yang diinfeksi Plasmodium berghei pada fase
eritrosit.

2. Manfaat bagi Perguruan Tinggi


a. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi mahasiswa Universitas
Bengkulu.
b. Menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.

3. Manfaat bagi Masyarakat


a. Memberikan pengetahuan mengenai pemanfaatan dan efektivitas
ekstrak

daun

Pirson

terhadap

tingkat

parasitemia

mencit

(Mus musculus) yang diinfeksi Plasmodium berghei pada fase eritrosit.


b. Memberikan alternatif obat untuk penyakit malaria.
c. Meningkatkan kesadaran terhadap pengobatan malaria yang efektif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh
plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual di dalam darah. Pada manusia, malaria dapat disebabkan oleh
empat spesies plasmodium, yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,
Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Keempat jenis plasmodium
tersebut menimbulkan gejala klinis yang berbeda-beda.

Penderita malaria

dapat diinfeksi lebih dari jenis plasmodium (mixed infection) (Harijanto, 2011;
Riskesdas, 2010).
Bentuk sporozoit malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina, yang spesiesnya sesuai dengan daerah geografisnya. Bentuk trofozoit
malaria yang menimbulkan trophozoit-induced malaria dapat ditularkan
melalui jarum suntik, transfusi darah (transfision malaria) atau melalui
plasenta dari ibu ke janin yang dikandungnya (congenital malaria) (Soedarto,
2011).
Sebelum menunjukkan gejala klinis yang khas, setiap jenis parasit
malaria

mempunyai

masa

inkubasi

yang

berbeda-beda,

Plasmodium falciparum berlangsung selama 8-12 hari, Plasmodium vivax dan


Plasmodium ovale selama 10-17 hari, dan Plasmodium malariae selama 21-40
hari.

Gejala klinis malaria bergantung pada imunitas penderita, tingginya

transmisi infeksi malaria, jenis plasmodium, daerah asal infeksi, umur, genetik,
dan pengobatan sebelumnya (Riskesdas, 2010; Soedarto, 2011).
Malaria menunjukkan gejala klinis yang khas yaitu demam periodik,
splenomegali (pembesaran limpa) dan anemia. Demam pada malaria terdiri
dari 3 stadium, yaitu stadium rigor (kedinginan) yang berlangsung selama 1560 menit, stadium panas badan 1-4 jam dan stadium berkeringat banyak yang
berlangsung selama 2-3 jam. Anemia yang terjadi pada malaria umumnya
disertai dengan keluhan malaise penderita (Sudoyo et al., 2009).

B. Daur Hidup Plasmodium


1. Daur Hidup Aseksual
Daur hidup aseksual plasmodium berlangsung di dalam hospes
perantara, salah satunya adalah manusia.

Di dalam tubuh manusia,

berlangsung empat tahapan, yaitu tahap skizogoni preeritrositik, tahap


skizogoni eksoeritrositik, tahap skizogoni eritrositik dan tahap gametogoni
(Soedarto, 2011).
Skozogoni preeritrositik dimulai setelah sporozoit plasmodium
masuk melalui gigitan nyamuk Anopheles sp yang telah terinfeksi.
Sporozoit mula-mula memasuki sel-sel parenkim hati dan berkembang biak
disana.

Tahap skizogoni preeritrositik berlangsung selama 6 hari pada

Plasmodium falciparum, 8 hari pada Plasmodium vivax, 9 hari pada


Plasmodium ovale, sedangkan pada Plasmodium malariae sukar ditentukan
(Soedarto, 2011; Arsin, 2012).

Skizogoni eksoeritrositik (local liver cycle) merupakan sumber


pembentukan stadium aseksual parasit yang menjadi penyebab terjadinya
kekambuhan pada malaria vivax, malaria ovale dan malaria malariae
(Soedarto, 2011).
Skizogoni eritrositik terjadi di dalam sel darah merah (eritrosit)
selama 48 jam pada Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, dan
Plasmodium ovale, sedangkan pada Plasmodium malariae berlangsung
selama 72 jam. Pada tahap ini terbentuk trofozoit, skizon dan merozoit yang
mulai ditemukan pada hari ke 9 setelah terinfeksi Plasmodium falciparum
dan 12 hari setelah terinfeksi Plasmodium vivax.

Peningkatan jumlah

parasit malaria akibat terjadinya multiplikasi menyebabkan pecahnya


eritrosit sehingga terjadi demam yang khas pada gejala klinisnya (Soedarto,
2011).
Pada tahap gametogoni, sebagian besar merozoit yang terbentuk pada
tahap

skizogoni

eritrositik

akan

berkembang

menjadi

gametosit.

Pembentukan gametosit terjadi di eritrosit yang terdapat di kapiler-kapiler


sumsum tulang dan limpa. Hanya gametosit yang matang yang dapat
ditemukan di darah tepi.

Gametosit tidak menimbulkan gejala klinis

sehingga penderita dapat bertindak sebagai karier malaria (Soedarto, 2011).

2. Daur Hidup Seksual


Daur hidup seksual plasmodium terjadi di dalam hospes definitifnya,
yaitu nyamuk Anopheles sp. Plasmodium masuk ke dalam tubuh nyamuk

muda pada saat nyamuk menghisap darah manusia yang telah terinfeksi.
Untuk dapat menginfeksi nyamuk Anopheles sp, dibutuhkan sedikitnya 12
gametosit per liter darah.

Gametosit, baik mikrogametosit maupun

makrogametosit, yang telah masuk kedalam tubuh nyamuk akan


berkembang menjadi gamet di dalam lambung (midgut).

Setelah

mikrogamet dan makrogamet berfusi menjadi zigot, dalam 24 jam zigot


berubah menjadi ookinet. Ookinet menembus dinding lambung memasuki
jaringan di antara lapisan epitel dan membran basal dinding lambung dan
berubah menjadi ookista.

Di dalam ookista, akan terbentuk ribuan

sporozoit. Ookista yang matang akan pecah dindingnya sehingga sporozoit


yang ada didalamnya keluar dan kemudian menyebar ke seluruh organ
nyamuk.

Sebagian besar sporozoit memasuki kelenjar liur nyamuk

sehingga nyamuk dapat menularkan malaria ketika menggigit manusia


(Arsin, 2012)

10

Gambar 2.1 Daur Hidup Parasit Malaria (CDC, 2010)

C. Plasmodium berghei
Plasmodium berghei adalah salah satu hemoprotozoa penyebab penyakit
malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil. Parasit ini dapat ditemukan
pada rodensia murni, tupai terbang, landak dan dengan mudah dapat ditularkan
kepada bermacam-macam hewan laboratorium. Plasmodium berghei pertama
kalinya ditemukan oleh Vincke pada tahun 1946 dari apusan darah lambung
nyamuk Anopheles duremi. Tahun 1948, ditemukan juga dalam apusan darah
dari Grammomys surdaster yang dikumpulkan di Kisanga, Katanga, Zaire atau
Republik Demokrasi Congo (Darlina, 2011).
Plasmodium berghei banyak digunakan dalam penelitian malaria karena
sudah tersedianya teknologi pembiakan secara in vitro dan pemurnian pada

11

tahapan siklus hidup

serta pengetahuan

pada susunan genom

dan

pengaturannya. Selain itu, secara analisis molekuler Plasmodium berghei


sama seperti golongan Plasmodium yang menginfeksi manusia sehingga dapat
dilakukan manipulasi pada hospes dan dapat dipelajari perubahan imunologis
yang terjadi selama infeksi malaria (Darlina, 2011; Nugroho, 2000).
Menurut Levine (1990), klasifikasi Plasmodium berghei adalah sebagai
berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Protozoa

Subfilum

: Apicomplexa

Kelas

: Sporozoasida

Subkelas

: Coccidiasina

Ordo

: Eucoccidiorida

Subordo

: Haemospororina

Famili

: Plasmodiidae

Genus

: Plasmodium

Spesies

: Plasmodium berghei

Plasmodium berghei memiliki dua tahapan daur hidup, yaitu tahap daur
hidup seksual yang berlangsung di dalam tubuh nyamuk dan tahapan aseksual
dalam tubuh hospes vertebrata. Daur hidup seksual Plasmodium berghei sama
seperti Plasmodium lainnya.

Daur hidup aseksual Plasmudium berghei

dimulai setelah sporozoit yang berada dalam air liur nyamuk masuk melalui
gigitan nyamuk. Sporozoit segera masuk dalam peredaran darah dan setelah

12

setengah jam sampai satu jam masuk ke dalam sel hati dan berkembang biak
disana sehingga terbentuk beribu-ribu merizoit berinti satu dengan ukuran 11,8 m. Pada akhir fase preeritrosit, skizon pecah sehingga merozoit keluar
dan masuk ke peredaran darah.

Sebagian besar menyerang eritrosit yang

berada di sinusoid hati tetapi beberapa difagositosis. Sisi anterior merozoit


melekat pada membran eritrosit kemudian membran merozoit menebal dan
bergabung dengan membran plasma eritrosit lalu melakukan invaginasi
membentuk vakuol dengan parasit di dalamnya. Stadium termuda dalam darah
berbentuk bulat dan kecil, beberapa diantaranya mengandung vakuol sehingga
sitoplasma terdorong ke tepi dan inti berada di kutubnya, oleh karena
sitoplasma mempunyai bentuk lingkaran maka parasit muda disebut bentuk
cincin. Selama pertumbuhan bentuknya berubah-ubah menjadi tidak teratur
yang disebut trofozoit. Parasit ini mencerna hemoglobin dalam eritrosit dan
sisa metabolismenya berupa pigmen malaria (hemozoin dan hematin). Setelah
masa pertumbuhan, parasit berkembang biak secara aseksual melalui proses
skizogoni. Inti parasit membelah menjadi sebuah inti yang lebih kecil yang
diikuti dengan pembelahan sitoplasma (skizon).

Skizon mengalami proses

pematangan membentuk merozoit. Setelah proses skizogoni selesai, eritrosit


pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah (sporulasi). Kemudian,
merozoit memasuki eritrosit baru dan generasi lain dibentuk dengan cara yang
sama.

Sebagian merozoit tumbuh menjadi bentuk seksual (gametogensis)

(Nugroho, 2000).

13

Gambar 2.2 Daur Hidup Plasmodium berghei (CDC, 2010)

D. Pirson (Mallotus subpeltatus)


1. Klasifikasi
Menurut National Center for Biotechnologi Information (NCBI) (2013)
klasifikasi tanaman ini adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Filum

: Streptophyta

Ordo

: Malpighiales

Famili

: Euphorbiaceae

Subfamili

: Acalyphoideae

Genus

: Mallotus

Spesies

: Mallotus subpeltatus

14

2. Penyebaran dan Habitat


Pirson (Mallotus subpeltatus) tersebar di selatan Thailand, Indonesia
dan Myanmar. Tanaman ini tumbuh liar di hutan primer, hutan sekunder,
daerah savana, hutan rawa dan daerah pinggir sungai yang memiliki
ketinggian < 2000 m dari permukaan laut (Suherman, 2011).

3. Deskripsi Botani Pirson


Pirson memiliki pohon berukuran sedang dengan tinggi dapat
mencapai 25 m, diameter mencapai 50 cm serta kulit batang berwarna hitam
keabu-abuan. Daun Pirson berbentuk bundar telur memanjang berukuran 625cm x 3-10cm, tangkai daun panjangnya 2-8,5cm, pangkal daun mendekati
perisai dan ujungnya meruncing. Permukaan daun bagian atas tanpa bintik
dan licin sedangkan bagian bawah berambut terutama pada tulang daun
serta tangkai daun pendek berambut. Perbungaan pendek berambut lunak
yang panjangnya 0,5 cm dengan 2-5 bunga.

Buahnya berbentuk bulat,

permukaan berduri pendek jarang dan lunak, bakal buah menonjol terdapat
3 ruang (Suherman, 2011).

15

(a)

(b)

Gambar 2.3 Daun Pirson (Mallotus subpeltatus) a) Tampak depan; b)


Tampak belakang (Dokumentasi Pribadi)

E. Artemisinin-based Combination Teraphy (ACT)


Artemisinin, senyawa seskuiterpen lakton hasil isolasi dari tanaman
Artemisia annua, adalah senyawa aktif yang berkhasiat antimalaria dan efektif
terhadap parasit Plasmodium yang resisten terhadap klorokuin. Berdasarkan
uji aktivitas secara in vitro dan in vivo, terbukti bahwa artemisinin mampu
bereaksi cepat dengan daya bunuh yang tinggi dalam melawan Plasmodium
baik yang peka maupun yang resisten klorokuin (Katzung, 2007).
Artemisinin pertama kali ditemukan dan digunakan di Cina, kemudian
penggunaannya meluas di beberapa negara. Beberapa derivat artemisinin telah
digunakan sebagai terapi untuk jenis malaria yang berbeda sejak tahun 1980.
Artesunat merupakan salah satu derivat artemisinin yang telah digunakan
secara luas baik di Asia Tenggara maupun Afrika dalam mengeradikasi
Plasmodium falciparum (Sudoyo et al., 2009).
Derivat artemisinin sebagai antimalaria yang dibuat secara semisintetik,
yaitu: artesunat, artemeter, dihidroartemisinin, artheeter dan asam artelinik.

16

Derivat artemisinin tersebut adalah obat antimalaria dengan kerja sangat cepat.
Obat ini bekerja dengan waktu paruh kira-kira 2 jam dan bekerja sebagai obat
skizontisida darah (Sudoyo et al., 2009). Efek samping yang paling sering
dilaporkan adalah mual, muntah dan diare. Artemisinin juga tidak dianjurkan
untuk ibu hamil karena dapat meningkatkan produksi asam lambung dan
merangsang menstruasi (Gunawan, 2009).
Menurut Harijanto (2011) ACT yang tersedia di Indonesia ialah :
1. Kombinasi Dihydroartemisinin-Piperaquine (DHP )
2. Kombinasi Artesunate + Amodiakuin ( AS+AQ)
3. Kombinasi Artemether-Lumefantrine (AL)
Word Health Organization (2001) telah menyarankan Artemisininebased Combination Therapy (ACT) sebagai obat pada terapi penyakit malaria.
Kombinasi antimalaria dengan artemisinin dan turunannya memberikan
efektivitas terapi hingga 100% selama 3 hari pengobatan.

Selain itu,

pengobatan

falsiparum

dengan

kombinasi

artemisinin

untuk

malaria

memberikan hasil yang cepat, aman, dapat mencegah terjadinya resistensi, dan
mengurangi penularan (Sudoyo et al., 2009)

F. Mencit (Mus musculus)


Hewan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah mencit
(Mus musculus). Menurut Malole (1989), mencit laboratoriuin diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

17

Filum

: Chordata

Kelas

: Mamalia

Ordo

: Rodentia

Family

: Muridae

Genus

: Mus

Spesies

: Mus musculus

Mencit sering digunakan sebagai hewan model dalam berbagai kegiatan


penelitan karena hewan ini mudah didapat, mudah dikembang biakkan,
harganya relatif murah, ukurannya kecil sehingga mudah ditangani serta
jumlah anak perperanakannya banyak. Semua galur mencit laboratorium yang
ada pada saat ini merupakan turunan dari mencit liar yang sudah melalui
peternakan selektif.

Mencit dikelompokkan dalam ordo rodentia karena

memiliki sepasang gigi insisivus yang berbentuk seperti pahat dan dapat
menajam dengan sendirinya (Malole dan Pramono, 1989).
Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut
cahaya dan aktif pada malam hari. Mencit yang dipelihara sendiri-sendiri
makannya lebih sedikit dan bobotnya lebih ringan dibanding yang dipelihara
bersama-sama dalam satu kandang (Yuwono et al., 2004)).
Mencit memiliki lama hidup sekitar satu hingga dua tahun, dan beberapa
bisa mencapai usia tiga tahun dengan lama produksi ekonomisnya adalah
sembilan bulan. Mencit mencapai usia dewasa pada 35 hari dimana setelah
usia delapan minggu sudah dapat dikawinkan. Lama kehamilan mencit adalah
19-21 hari dengan jumlah anak rata-rata enam ekor. Bobot mencit jantan

18

dewasa adalah 20-40 gram dan mencit betina adalah 18-35 gram. Mencit
laboratorium dapat dikandangkan pada kotak sebesar kotak sepatu yang dapat
terbuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik (polipropilen atau
polikarbonat), aluminium, atau baja tahan karat (Smith dan Mangkoewidjojo,
1988).

G. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan
menggunakan pelarut yang tidak saling campur.

Berdasarkan fase yang

terlibat, terdapat dua jenis ekstraksi, yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi
padat-cair.

Pemindahan komponen dari padatan ke pelarut pada ekstraksi

padat-cair melalui tiga tahapan, yaitu difusi pelarut ke pori-pori padatan atau
ke dinding sel, di dalam dinding sel terjadi pelarutan padatan oleh pelarut, dan
tahapan terakhir adalah pemindahan larutan dari pori-pori menjadi larutan
ekstrak (Sudjadi, 1986).
Metode ekstraksi antara lain perendaman (maserasi), perkolasi, digesti,
infusi dan dekoksi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses ekstraksi
adalah jumlah simplisia, penambahan pelarut ekstrak, derajat kehalusan, cara
pemanasan, cara penyaringan dan perhitungan dosis pemakaian (Sudjadi,
1986).
Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Metode maserasi
digunakan untuk mengekstrak jaringan tanaman yang belum diketahui
kandungan senyawanya yang kemungkinan bersifat tidak tahan panas sehingga

19

kerusakan komponen tersebut dapat dihindari. Kekurangan dari metode ini


adalah waktu yang relatif lama dan membutuhkan banyak pelarut. Bahan yang
dihaluskan di satukan dengan bahan ekstraksi kemudian disimpan agar
terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya
ataupun perubahan warna) dan dikocok kembali selama 4-10 hari (Santosa,
2004).

H. Darah
Darah adalah suatu cairan tubuh yang terdapat di dalam pembuluh darah
yang warnanya merah.

Darah berfungsi sebagai alat pengangkut yaitu

mengambil oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh,


mengangkut karbondioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru,
mengambil zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan dibagikan ke
seluruh jaringan tubuh, mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh
untuk dikeluarkan melalui kulit dan ginjal, sebagai pertahanan tubuh terhadap
serangan penyakit, menyebarkan panas ke seluruh tubuh, menyuplai air yang
diperlukan sel dan transportasi hormon (Guyton et al., 2006).
Plasma darah mengandung zat-zat yang penting dalam proses digesti
(asam amino, glukosa, gliserol, dan asam lemak bebas), produk buangan
nitrogen (urea, asain urat, kreatinin) dari metabolisme, hormon, antibodi,
karbondioksida, garam anorganik, dan protein plasma seperti albumin,
globulin, dan fibrinogen. Sel-sel darah terdiri dari tiga macan yaitu sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (trombosit). Leukosit

20

terdiri dari neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan limfosit (Guyton et al.,
2006).

1. Eritrosit
Eritrosit merupakan sel yang tidak berinti dan bersifat nonmotil.
Eritrosit yang matang sangat mudah dikenali karena morfologinya yang
unik. Pada keadaan normal, berbentuk bikonkaf (dwicekung) bulat dengan
bagian tengah yang pucat, dengan diameter rata-rata 8 m, ketebalan 2 m
dan volumenya sekitar 90 fL.

Komposisi eritrosit pada hewan dewasa

terdiri dari 62-72% air, sisanya hampir 35% adalah padatan, 95% dari
padatan adalah hemoglobin dan sisanya 5% adalah protein yang terdapat
pada stroma dan membran sel, lipid, vitamin, glukosa, enzim dan lainlainnya. Sel ini mempunyai masa hidup yang singkat yaitu selama 100-120
hari (Ganong, 2008).
Fungsi utama dari eritrosit adalah mengangkut hemoglobin, dan
seterusnya mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan.

Selain itu

eritrosit juga mengandung banyak sekali karbonik anhidrase yang berfungsi


mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air sehingga membuat air
dalam darah bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan
mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion
bikarbonat (HCO3-). Hemoglobin di dalam eritrosit juga berperan dalam
menjaga tingkat keasaman darah (Guyton et al., 2006).

21

2. Leukosit
Leukosit merupakan bagian sistem pertahanan tubuh (imun) yang
dapat bergerak bebas ke jaringan. Leukosit terdiri dari neutrofil, eosinofil,
basofil, monosit dan limfosit. Sel-sel ini bekerja sama untuk mencegah
penyakit dengan cara fagositosis, membentuk antibodi dan sensitisasi
limfosit (Guyton et al., 2006).
Neutrofil, eosinofil dan basofil termasuk dalam polimorfonuklear
granulosit karena mempunyai gambaran granular dan intinya yang terlihat
banyak. Sedangkan monosit dan limfosit termasuk dalam mononuklear
agranulosit karena sitoplasmanya tidak memiliki granul dan berinti satu
(Sriwahyuni et al., 2009).
Neutrofil berdiameter 1215 m memilliki inti yang khas padat
terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak
teratur dan mengandung banyak granula merah. Eosinofil mirip dengan
neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih
merah gelap (karena mengandung protein basa) dan jarang terdapat lebih
dari tiga lobus inti. Basofil berdiameter lebih kecil dari neutrofil yaitu
sekitar 9-10 m.

Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang

menutupi inti dan mengandung hatiin dan histamin (Sriwahyuni et al.,


2009).
Monosit

berukuran paling besar, yaitu diameter 16-20 m dan

memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin


mengelompok. Sedangkan limfosit merupakan sel kecil yang berdiameter

22

<10 m.

Intinya berbentuk bulat yang kadang agak berlekuk dengan

kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas (Sriwahyuni et al., 2009).

a. Monosit
Monosit adalah sel utama yang berperan dalam imunitas nonspesifik selain granulosit. Monosit merupakan sel mononuklear yang
berperan sebagai sel yang mengenal dan menangkap antigen, mengolah
dan selanjutnya mempresentasikannya ke sel T. Selain itu, monosit juga
menghasilkan sitokin dan komplemen sebagai respon terhadap infeksi
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Selama pembentukan darah (hematopoeisis) di sumsum tulang, sel
progenitor monosit berdiferensiasi menjadi sel premonosit yang
meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam sirkulasi untuk
selanjutnya berdiferensiasi menjadi monosit matang. Monosit berada di
sirkulasi selama 1 hari, selanjutnya bermigrasi ke berbagai jaringan untuk
berdiferensiasi menjadi makrofag (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Monosit dan makrofag adalah imunitas didapat non-spesifik utama
yang melawan malaria. Parasit malaria yang masuk ke dalam darah
segera dihadapi oleh respon imun non-spesifik terutama monosit dan
makrofag dengan menghasilkan TNF dan IL-1 yang secara langsung
menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik) dan membunuh parasit
(sitotoksik) (Sudoyo et al., 2009; Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

23

b. Limfosit
Limfosit adalah sel di dalam tubuh yang mampu mengenal benda
yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing/antigen yang pertama
kali terpajan denga tubuh segera dikenali oleh limfosit. Pajanan tersebut
menimbulkan sensitasi sehingga jika antigen tersebut masuk untuk yang
kedua kali makan akan dikenanal lebih cepat dan kemudian dihancurkan
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Sistem imun spesifik terdiri atas sistem imun humoral dan selular.
Pada sistem imun humoral, limfosit B melepas antibodi untuk
menyingkirkan mikroba ekstraseluler.

Limfosit B berasal dari sel

multipoten di sumsum tulang. Limfosit B dirangsang oleh benda asing


untuk berploriferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma
yang memproduksi antibodi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Pada sistem imun spesifik seluler, limfosit T mengaktifkan
makrofag sebagai efektor atau mengaktifkan sel CTL/Tc sebagai efektor
yang menghancurkan sel yang terinfeksi. Pada orang dewasa, limfosit T
dibentuk di dalam sumsum tulang, namun proliferasi dan diferensiasinya
terjadi di dalam kelenjar timus, hanya 5-10% yang matang dan masuk ke
sirkulasi. Limfosit T terdiri atas beberapa subset dengan fungsi berbeda,
yaitu sel CD4+ (Th1,Th2), CD8+ atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr
atau Th3 (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Imunitas didapat spesifik pada infeksi malaria memiliki sifat
spesies spesifik, strain spesifik dan stage spesifik. Imunitas pada tahap

24

skizogoni eritrositik diperankan oleh limfosit, subset Th1 dan Th2. Sel
Th1 memproduksi sitokin proinflamasi yang memacu aktivasi makrofag
dan destruksi eritrosit yang terinfeksi.

Selain itu, sel Th2 memacu

produksi antibodi spesifik yang menghambat reinvasi eritrosit lebih


banyak (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010; Sudoyo et al, 2009).

I. Pemeriksaan Mikroskopis Darah


Pemeriksaan mikroskopis darah tepi sangat penting untuk menegakkan
diagnosis. Diagnosis malaria baru dapat dikesampingkan jika didapatkan hasil
negatif sebanyak 3 kali pemeriksaan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan saat
demam oleh tenaga laboratorik yang berpengalaman (Sudoyo et al, 2009).
1. Apusan Darah Tebal
Apusan darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit
malaria karena menggunakan darah lebih banyak dibandingkan apusan
darah tipis. Preparat dinyatakan negatif bila dalam 200 lapang pandang
dengan pembesaran kuat (700-1000 kali) tidak ditemukan adanya parasit.
Hitung parasit dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per 200
leukosit. Bila leukosit 10.000/L maka jumlah parasit per mikroliter adalah
jumlah parasit yang ditemukan dikalikan 50 (Sudoyo et al, 2009).
Cara pembuatan sediaan (Soedarto, 2011) :
Darah segar yang diambil dari tusukan jari diteteskan dan dilebarkan
pada slide yang bersih kemudian dikeringkan tanpa difiksasi.

25

Warnai dengan larutan 1/50 Giemsa di dalam larutan penyangga


(Na2HPO4 atau NaH2PO4.H2O) selama 45-50 menit.
Rendam selama 3 menit dalam larutan penyangga lalu keringkan dalam
posisi vertikal.

2. Apusan Darah Tipis


Pemeriksaan

dengan

apusan

darah

tipis

dilakukan

mendiagnosis malaria dan mengidentifikasi jenis plasmodium.

untuk
Hitung

parasit dilakukan berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung parasit per


1000 eritrosit. Bila parasit > 100.000/L darah menanadakan infeksi yang
berat (Sudoyo et al, 2009).
Cara pembuatan sediaan (Soedarto, 2011) :
Darah segar yang diambil dari tusukan jari diteteskan pada ujung kaca
yang sudah bersih dan bebas lemak (kaca benda I). Pada tepi tetesan
darah tersebut diletakkan tepi kaca benda lainnya (kaca benda II) dengan
membentuk sudut 30-40 oC, sehingga darah akan menyebar disepanjang
tepi kaca benda II. Bila darah telah menyebar rata, maka kaca benda II
didorong sepanjang kaca benda I, sehingga terbentuk apusan darah tipis
dan rata dengan ujungnya berbentuk lidah.
Apusan darah dikeringkan, kemudian difiksasi dengan alkohol absolute
selama 5 menit.
Setelah dikeringkan, warnai dengan larutan
larutan penyangga selama 30-45 menit.

1/20 Giemsa di dalam

26

Bilas dengan akuades lalu keringkan dalam posisi vertikal.


Selain untuk menegakkan diagnosis malaria, pemeriksaan apusan
darah tipis juga digunakan untuk melakukan hitung jenis leukosit. Dalam
keadaan normal neutrofil berjumlah 50-70% atau 2.500-7.000/L, eosinofil
berjumlah 1-3% atau 50-300/L, basofil berjumlah 0,4-1% atau 50-100/L,
monosit berjumlah 4-6% dari sel darah putih atau 200-600/L darah dan
limfosit berjumlah 25-35% atau 1.700-3.500/L (Kee, 2008)

J. Aspartat Aminotransferase (AST) dan Alanin Aminotransferase (ALT)


Hati merupakan suatu organ yang peka terhadap zat toksik dan memiliki
peranan yang penting dalam metabolisme bahan toksik yang berfungsi sebagai
detoksifikasi. Tubuh manusia memiliki mekanisme detoksifikasi yang
mengeluarkan racun-racun dari dalam tubuh. Hati sebagai pusat detoksifikasi
alamiah yang mampu menetralisasikan racun didalam tubuh (Hayes, 2007).
Pada proses detoksifikasi zat-zat yang diabsorpsi melalui saluran cerna akan
dibawa melalui peredaran darah menuju hati untuk proses detoksifikasi
sehingga menjadi nontoksik dan kemudikan dieksresikan (Widman, 1995).
Ketika terjadi kerusakan atau nekrosis pada sel-sel hati, sel-sel hati akan
melepaskan enzim-enzim di dalam sel ke dalam darah.

Perubahan kadar

enzim-enzim tersebut dalam darah dapat digunakan sebagai parameter


terjadinya gangguan hati.

Enzim yang paling sering berkaitan dengan

kerusakan sel hati adalah AST dan ALT. Kedua enzim tersebut mengkatalisis

27

pemindahan reversible satu gugus amino antara sebuah asam amino dan sebuah
alfa-keto (Kee, 2008).
Aspartat Aminotransferase mengkatalisis pemindahan gugus asam
amino pada aspartat ke gugus keto dari -ketoglutarat membentuk glutamate
dan oksaloasetat.

Selanjutnya oksaloasetat diubah menjadi malat.

Reaksi

tersebut dikatalis oleh enzim malat dehidrogenase (MDH) yang membutuhkan


NADH dalam reaksi ini. (Murray et al., 2009). Aspartat Aminotransferase
merupakan enzim yang sebagian besar ditemukan di dalam otot jantung dan
hati, dapat juga ditemukan pada otot rangka, ginjal dan pankreas dalam jumlah
sedang. Enzim ini juga terdapat di darah dalam kosentrasi rendah, namun
dapat meningkat jika terjadi cedera seluler (Kee, 2008).
Alanin Aminotransferase mengkatalisis pemindahan gugus asam amino
pada alanin ke gugus keto dari -ketoglutarat membentuk glutamat dan
piruvat. Selanjutnya piruvat dirubah menjadi laktat. Reaksi tersebut dikatalisis
oleh laktat dehidrogenase (LDH) yang membuthkan NADH dalam reaksi yang
dikatalisnya (Murray, 2009). Alanin Aminotransferase merupakan enzim yang
utama banyak ditemukan di sel hati serta efektif dalam

mendiagnosis

kerusakan sel hati. Enzim ini juga ditemukan dalam jumlah sedikit di otot
jantung, gijal, serta otot rangka (Kee, 2008).
Di dalam sel hati, AST terdapat di sitoplasma (30%) dan di mitokondria
(70%). Sedangkan ALT hanya terdapat di sitoplasma.

Sehingga pada

peradangan atau kerusakan sel hati pada tahap awal yang menyebabkan
kebocoran membran sel maka peningkatan kadar ALT dalam darah akan

28

melebihi AST (rasio AST/ALT <0,7). Namun, jika kerusakan sel hati terus
berlangsung dan mengakibatkan kerusakan mitokondria maka peningkatan
kadar dalam darah AST akan melebihi ALT (rasio AST/ALT >0,7). Jika rasio
AST/ALT >2 menunjukkan penyakit hati yang berat terutama nekrosis sel hati.
Jika terjadi kerusakan di hati, maka kadar ALT lebih lambat kembali normal
dibandingkan dengan AST (Sudoyo et al., 2009)

29

K. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teori
Plasmodium berghei

Menginfeksi mencit

Respon imun spesifik


dan non-spesifik

Hepatosit mencit terinfeksi

Hitung jenis
leukosit

Schizont Rupture

Parasite Red Blood


Cell (P-RBC)

Indeks Parasitemia

Ekstrak Pirson
Parasitemia

AST dan ALT

ACT (kontrol +)

Efektif

Tidak efektif

2. Kerangka Konsep

Obat malaria :
ACT dan
ekstrak Pirson

Tingkat parasitemia
mencit yang
diinfeksi
Plasmodium berghei

Efektif

Tidak efektif

30

L. Hipotesis
H0 : Pemberian ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) tidak berpengaruh
terhadap tingkat parasitemia mencit (Mus musculus) yang diinfeksi
Plasmodium berghei pada fase eritrosit.
H1 :

Pemberian ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) berpengaruh

terhadap
tingkat

parasitemia

mencit

(Mus

Plasmodium berghei pada fase eritrosit.

musculus)

yang

diinfeksi

31

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Peneliti mengadakan

perlakuan terhadap sampel yang telah ditentukan yaitu berupa hewan coba di
laboratorium.

Terdapat lima kelompok penelitian yaitu kelompok tiga

ekperimental, kelompok kontrol positif, dan kelompok kontrol negatif.


Dimana kelompok eksperimental diberikan perlakuan berupa pemberian
ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) dengan tiga konsentrasi yang
bebeda,

kelompok kontrol positif diberikan perlakukan berupa pemberian

ACT, sedangkan kelompok kontrol negatif tidak diberikan perlakuan. Setelah


waktu yang ditentukan, semua kelompok diobservasi atau dilakukan
pengukuran terhadap variabel efek yang diteliti.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013-Februari 2014 di
Laboratorium Basic Science Fakultas MIPA Universitas Bengkulu.

C. Sampel dan Besar Sampel


Sampel dari penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) galur Swiss
webster yang dipilih secara acak yang terdiri dari mencit jantan dengan berat

32

badan berkisar 20-30 g.

Besar sampel ditentukan dengan rumus sebagai

berikut (Supranto, 2000) :


(t-1)(r-1) 15
Di mana : t = jumlah kelompok hewan coba
r = jumlah hewan coba tiap kelompok
(5-1)(r-1) 15
(r-1) 15/4
r 4,75
Berdasarkan perhitungan tersebut sampel minimal yang diperlukan
adalah 5 (lima) ekor mencit untuk setiap kelompok perlakuan.

Sehingga

jumlah minimal seluruh sampel yang digunakan adalah 25 ekor mencit.

D. Kriteria Sampel
1. Kriteria Inklusi
a. Mencit (Mus musculus) jantan galur Swiss webster
b. Berat badan 20-30 g
c. Usia 7-12 minggu
2. Kriteria Ekslusi
a. Terdapat penyakit penyerta pada sampel
b. Mencit mati sebelum dilakukan percobaan

E. Variabel Penelitian
Variabel Bebas

: - Ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus)

33

ACT

Variabel Terikat : - Tingkat parasitemia mencit yang terinfeksi


Plasmodium berghei
-

Kadar AST dan ALT di dalam darah

Perubahan jenis leukosit

F. Alat dan Bahan


1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1) gunting; 2)
pinset; 3) erlenmeyer 2000 mL; 4) gelas ukur; 5) lumping dan mortar; 6)
corong kaca; 7) labu ukur 100 mL; 8) pipet volume 1 mL; 9) spuit 1 mL;
10) handscoon; 11) mikroskop binokuler; 12) spuit 3 mL; 13) minor set; 14)
gelas objek; 15) kaca penutup; 16) rotary evaporator; 17) kandang mencit;
18) timbangan; 19) tabung reaksi; 20) neraca analitik; 21) water bath; 22)
pisau; 23) kertas saring; 24) gunting; 25) alumunium foil; 26) plastic wrap;
27) sentrifugasi; 28) erlenmeyer 25 mL; 29) microtube 500 L; 30)
microtube 2mL; 31) cawan petri; 32) botol film; 33) batang pengaduk; 34)
termometer; 35) masker; 36) baju laboratorium; 37) kamera; 38) tissue.

2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah 1) mencit (Mus musculus) jantan; 2) Pirson
(Mallotus subpeltatus); 3) etanol 95%; 4) pelet (pakan standar tikus); 5)

34

artemisinin; 6) minyak emersi; 7) antikoagulan (EDTA); 8) larutan Giemsa;


9) alkohol 70%; 10) minyak zaitun.

G. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Ekstrak Daun Pirson (Mallotus subpeltatus)
a. Penyediaan Sampel
Sampel yang digunakan adalah daun Pirson (Mallotus subpeltatus)
yang didapatkan dari daerah Papua. Sampel dibersihkan dari kotoran dan
dicincang menggunakan pisau sampai diperoleh cacahan daun Pirson
(Mallotus subpeltatus) kemudian di keringkan di udara terbuka, setelah
kering sampel ditimbang sebanyak 1 kg.

b. Pembuatan Ekstrak
Cacahan Pirson (Mallotus subpeltatus) yang telah kering
dimaserasi dengan cara dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1000 mL dan
ditambahkan etanol 95% hingga terendam. Lalu, dibiarkan selama 4-10
hari kemudian disaring. Selanjutnya filtrat yang diperoleh dipisahkan
dari pelarutnya, pelarut diuapkan dengan bantuan rotary evaporator dan
water bath agar diperoleh ekstrak yang kental, tanpa pelarut (Santoso,
2004).

35

2. Percobaan
a. Persiapan Hewan Coba
Penelitian

ini

menggunakan

hewan

coba

berupa

mencit

(Mus musculus) jantan galur Swiss webster, dengan berat 20-30 g, yang
berumur 7-10 minggu. Hewan tersebut diperoleh dari Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Jakarta Pusat. Mencit dipelihara dalam
kandang yang cukup untuk 1-2 mencit. Kandang yang digunakan terbuat
dari bak plastik yang diberi sekam padi sebagai alas dan ditutup dengan
ram kawat. Mencit dipelihara di dalam kandang dan diberi penerangan
12 jam (jam 06.00-18.00 WIB), selama peme liharaan mencit rata-rata
suhu ruangan minimum 23,6o C dan maksimum 26o C, serta kelembaban
80,6%.

Hewan uji tersebut diadaptasikan terlebih dahulu dengan

lingkungan penelitian selama 1 minggu.


Pakan yang diberikan untuk mencit secara tanpa batasan (ad
libitum).

Air minum diberikan dengan menggunakan botol minum

mencit. Pakan yang digunakan untuk hewan coba ini yaitu berupa pelet
yang sudah diatur komposisinya sehingga memenuhi nilai nutrisi.

b. Inokulasi Plasmodium berghei pada mencit


Plasmodium berghei yang digunakan diperoleh dari dari Badan
Penelitian

dan

Pengembangan

Kesehatan

Jakarta

Pusat.

Plasmodium berghei ditransfer dari mencit (Mus musculus) yang telah


terinfeksi dengan cara mengambil darah dari jantung dengan spuit injeksi

36

3 mL yang sebelumnya telah diisi dengan anti koagulan yaitu EDTA


sebanyak 0,5 mL. Kemudian darah mencit (Mus musculus) diperiksa
tingkat parasitemianya.

Setelah parasitemia mencapai 3%, maka

mencit (Mus musculus) tersebut dapat digunakan sebagai sumber


inokulum untuk menginfeksi hewan coba. Darah diinjeksikan ke mencit
(Mus musculus) sehat dengan volume 0,1 mL secara intraperitoneal
(Dewi, 1996).

c. Perlakuan Hewan Uji


Mus musculus yang telah mengalami adaptasi selama 1 minggu
diinokulasi Plasmodium berghei secara intraperitoneal dan diinkubasi
selama 3 hari.

Untuk memastikan bahwa hewan uji sudah positif

malaria maka diuji dengan menggunakan sediaan apus darah tipis. Jika
tingkat parasitemia sudah mencapai >3% maka mulai dilakukan
pemberian ekstrak dan ACT selama 3 hari dengan cara injeksi subkutan
sesuai perlakuan berikut :
1) Perlakuan 0 (P0) adalah mencit yang terinfeksi Plasmudium berghei
tanpa diberikan ekstrak Pirson (Mallotus subpeltatus) maupun ACT
(kontrol negatif).
2) Perlakuan 1 (P1) adalah mencit yang terinfeksi Plasmuduim berghei
yang di beri ACT (kontrol positif).

37

Dosis dihydroartemisin-piperaquin = 4-24 mg/kgBB dan 160-320


mg/kgBB. Konversi dosis pada manusia 70 kg ke mencit 20 g adalah
0,0026. Berat mencit rata-rata 30 g.
Dosis dihydroartemisin-piperakuin untuk mencit 20 g.
Dihydroartemisinin : 4 mg x 0,0026 = 0,0104 mg
Piperaquin : 320 mg x 0,0026 = 0,823 mg
Dosis untuk mencit 30 g
Dihydroartemisinin : 30/20 x 0,0104 = 0,0156 mg/kgBB
Piperaquib : 30/20 x 0,823 = 1,248 mg/kgBB
Berat dihydroartemisinin-piperaquin fosfat yang mengandung 40 mg
dihydroartemisinin dan 320 mg piperaquin adalah 6 g. Jadi, dosis
dihydroartemisin-piperakuin fosfat untuk mencit 30 g : 1,248/320 x 6
= 0,023 mg.
3) Perlakuan 2 (P2) adalah mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei
yang diberi ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) dengan dosis
50 mg/kg BB
4) Perlakuan 3 (P3) adalah mencit yang terinfeksi Plasmudium berghei
yang diberi ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) dengan dosis
100 mg/kg BB
5) Perlakuan 4 (P4) adalah mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei
yang diberi ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) dengan dosis
150 mg/kg BB

38

Pemberian ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) yang


dilakukan secara injeksi subkutan pada mencit membutuhkan pelarut
yang dapat melarutkan zat ekstrak, pada penelitian ini menggunakan
minyak zaitun.

Selain dapat melarutkan sampel yang ingin diuji,

minyak zaitun juga tidak mempunyai efek bagi hewan uji.


Kontrol negatif pada penelitian ini tidak diberi ekstrak daun
Pirson ataupun ACT tetapi hanya diberikan minyak zaitun, hal ini
dilakukan untuk melihat tingkat parasitemia apabila tidak diberikan
parlakuan dan menghindari adanya bias akibat penggunaan minyak
zaitun sebagai bahan pelarut. Sedangkan kontrol positif diberi ACT
(Artemisinin-based Combination Therapy), yaitu dihydroartemisininpiperaquine. Hal ini bertujuan sebagai pembanding dengan sampel
yang diteliti.
Pada hari ke-4, 6 dan 8 dilakukan pengamatan sel darah merah
yang terinfeksi Plasmodium berghei untuk melihat aktivitas ekstrak
daun Pirson (Mallotus subpeltatus) ini terhadap tingkat parasitemia.

d. Dosis Ekstrak Daun Pirson (Mallotus subpeltatus)


Pada penelitian ini dilakukan variasi dosis untuk melihat
efektivitas ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) (Okokon, 2005) :
P2 = 50 mg/kgBB = 0,05 g/kgBB
Dosis yang akan diberikan ke mencit yaitu:

39

0,05

g/kgBB

0,0015

ekstrak

daun

Pirson

ekstrak

daun

Pirson

(Mallotus subpeltatus)
P3 = 100 mg/kgBB = 0,1 g/kgBB
Dosis yang akan diberikan ke mencit yaitu:

0,1

g/kgBB

0,003

(Mallotus subpeltatus)
P4 = 150 mg/kgBB = 0,15 g/kgBB
Dosis yang akan diberikan ke mencit yaitu:
0,15 g/kgBB = 0,0045 g/kgBB ekstrak daun Pirson
(Mallotus subpeltatus)

H. Etika Penelitian
Implikasi etik percobaan pada hewan :
1. Hewan coba dipelihara dalam animal house yang memenuhi syarat.
2. Hewan coba diletakan dalam kandang yang nyaman dan diberikan
makanan yang sesuai.
3. Pemberian perilaku dilakukan dengan cepat dan tidak menyakiti hewan
coba.
4. Hewan coba yang hendak dimatikan dilakukan dengan dislokasi servikal.

40

I. Pengamatan
1. Penilaian Parasitemia
Yang diamati pada pada penelitian ini adalah tingkat parasitemia
mencit (Mus musculus) yang telah diinfeksi secara mikroskopis.
Pemeriksaan parasitemia dilakukan dengan cara mengambil darah darah
dari ekor mencit kemudian dibuat apusan darah tipis, sediaan difiksasi
dengan metanol absolut selama 5 menit kemudian digenangi larutan Giemsa
80% selama 30-45 menit, setelah dicuci diperiksa di bawah mikroskop
cahaya dengan pembesaran 1000 dengan diberi minyak emersi. Untuk
melihat persentase parasitemia, seluruhnya diperiksa 1000 eritrosit, baik
yang mengandung parasit maupun tidak.

Perhitungan persentase

parasitemia dilakukan dengan menggunakan rumus (Sudoyo et al,. 2009):


Persentase parasitemia =

100%

Keterangan:
n

: jumlah eritrosit yang terinfeksi

: jumlah eritrosit yang dihitung (1000)

2. Hitung Jenis Leukosit


Pemeriksaan hitung jenis leukosit untuk menilai respon imun spesifik
dan non-spesifik melalui perubahan jenis leukosit dilakukan dengan cara
mengambil darah darah dari ekor mencit kemudian dibuat apusan darah tipis
dengan pembesaran lensa objektif 1000x dengan diberi minyak emersi yang
dilihat setiap 48 jam sekali setelah diinfeksi Plasmodium berghei hingga

41

hari ke-8 pemberian perlakuan. Tiap jenis leukosit dihitung dalam 100 sel
leukosit dan dikalikan 100% sehingga didapatkan persentase tiap jenis
leukosit.

3. Pengujian Kadar AST


Pengujian kadar ALT dilakukan dengan cara mengambil darah pada
bagian jantung mencit masing-masing perlakuan pada hari ke-4, 6 dan 8
perlakuan. Sampel kemudian disentrifugasi untuk dipisahkan antara plasma
dengan serum. Setelah itu, sampel serum darah diambil sebanyak 50 L
dan ditambahkan reagen 1 (reagen enzim) sebanyak 400 L yang berisi Tris
Buffer pH 7,5 100 mmol/L, L-Alanin 500 mmol/L, LDH 1200 U/L dan
reagen 2 (R2/reagen pemulai) sebanyak 100 L yang berisi 2oksoketoglutarat 15 mmol/L, NADH 0,18 mmol/L, didiamkan selama 5
menit agar tercampur.

Selanjutnya, absorbansinya dibaca dengan

menggunakan spektofotometer filter dengan panjang gelombang 340 nm


(Rafika et al., 2005).

4. Pengujian Kadar ALT


Pengujian kadar ALT dilakukan dengan cara mengambil darah pada
bagian jantung mencit masing-masing perlakuan pada hari ke-4, 6 dan 8
perlakuan. Sampel kemudian disentrifugasi untuk dipisahkan antara plasma
dengan serum. Setelah itu, sampel serum darah diambil sebanyak 50 L
dan ditambahkan reagen 1 (reagen enzim) sebanyak 400 L yang berisi Tris

42

Buffer pH 7,5 100 mmol/L, L-Aspartat 500 mmol/L, LDH 1200 U/L dan
reagen 2 (R2/reagen pemulai) sebanyak 100 L yang berisi 2oksoketoglutarat 15 mmol/L, NADH 0,18 mmol/L, didiamkan selama 5
menit

agar

tercampur.

Selanjutnya,

absorbansinya

dibaca

dengan

menggunakan spektofotometer filter dengan panjang gelombang 340 nm


(Rafika et al., 2005).

J. Analisis Data
1. Tingkat parasitemia
Analisis yang digunakan adalah kuantitatif yaitu tingkat parasitemia. Data
angka parasitemia dianalisis dengan menggunakan Analisis Varian
(ANOVA) pola satu arah dan dilanjutkan dengan uji Duncan jika Fhitung >
Ftabel.

2. Respon Imun Seluler


Hasil hitung jenis leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei
dianalisis secara derkriptif.

3. Kadar AST dan ALT


Hasil pengujian kadar dan ALT mencit yang diinfeksi Plasmodium
berghei dianalisis secara derkriptif.

43

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Hasil Ekstraksi Tanaman Mallotus subpeltatus


Setelah melakukan proses maserasi menggunakan rotary evaporator
untuk memisahkan ekstrak dengan pelarut (etanol 96%) dan dikentalkan
dengan water bath didapatkan pasta kental ekstrak daun Pirson berwarna hijau
kecoklatan sebanyak 10 g dari daun Pirson yang sudah dikering anginkan pada
suhu kamar sebanyak 1 kg.

B. Rata-rata Tingkat parasitemia Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei


Setelah Diberi Perlakuan
Dari uji ANOVA didapatkan Fhitung (43,92) > Ftabel (2,87) : 0.05 yang
menunjukan bahwa pemberian pemberian ekstrak daun Pirson berpengaruh
nyata pada tingkat parasitemia mecit yang diinfeksi Plasmodium berghei
(Lampiran 4).

Rata-rata tingkat parasitemia mencit yang diinfeksi

Plasmodium berghei setelah diberi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

44

Tabel 4.1. Rata-rata tingkat parasitemia mencit yang diinfeksi Plasmodium


berghei setelah diberi ekstrak daun Pirson pada hari ke 4,6 dan 8.
No

Perlakuan

Rata-rata tingkat parasitemia (%)


Hari ke-4

Hari ke-6

Hari ke-8

P0

4,26 0,81

10,16 1,90

21,80 3,33

P1

5,44 1,92

4, 19 1,61

2,06 0,67

P2

5,84 1,94

7,32 2,04

8,35 2,58

P3

5,84 0,75

4,72 0,53

3,66 0,39

P4

3,90 1,31

3,38 0,98

2,30 0,62

Keterangan :
P0 : kontrol () minyak zaitun
P1 : kontrol (+) ACT (Artemisinin-based Combination Therapy)
P2 : Ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB
P3 : Ekstrak daun Pirson 100 mg/kgBB
P4 : Ekstrak daun Pirson 150 mg/kgBB
Dari tabel 4.1 dapat dilihat rata-rata tingkat parasitemia untuk kelompok
perlakuan terapi ekstrak daun Mallotus subpeltatus dengan dosis 100
mg/kgBB, 150 mg/kgBB dan kontrol positif (pada hari ke-4, 6 dan 8)
mengalami penurunan. Diketahui pula bahwa pada hari ke-6 dan ke-8 pasca
terapi seiring dengan bertambahnya dosis ekstrak daun Mallotus subpeltatus
penurunan rata-rata tingkat parasitemia semakin tinggi. Dapat dilihat pula
peningkatan rata-rata tingkat parasitemia pada kelompok perlakuan terapi

45

ekstrak daun Mallotus subpeltatus dengan dosis 50 mg/kgBB dan kontrol


negatif yang hanya diberi minyak zaitun.
Selanjutnya dilakukan uji lanjut jarak Duncan dengan 5 perlakuan
sebanyak 5 kali pengulangan didapatkan hasil pada table 4.2.

Tabel 4.2. Hasil analisa uji lanjut uji Duncan variasi dosis terhadap tingkat
parasitemia mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei
No

Perlakuan

Perlakuan
P0

P1

P2

P3

P4

Hari ke-4

Hari ke-6

Hari ke-8

Keterangan :
P0 : Kontrol () minyak zaitun
P1 : Kontrol (+) ACT (Artemisinin-based Combination Therapy)
P2 : Ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB
P3 : Ekstrak daun Pirson 100 mg/kgBB
P4 : Ekstrak daun Pirson 150 mg/kgBB
Signifikan : 0.05
Dari data tabel 4.2. dapat dilihat tingkat parasitemia mencit yang
diinfeksi Plasmodium berghei setiap perlakuan tidak berbeda nyata pada
pengamatan hari ke-4. Sedangkan pada hari ke-6 dan 8, terjadi perbedaan

46

yang nyata antara kontrol (-) dengan dosis ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB
dengan kontrol (+), dosis ekstrak daun Pirson 100 dan 150 mg/kgBB.

Tabel 4.3. Hasil analisa uji lanjut uji Duncan waktu pengamatan terhadap
tingkat parasitemia mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei
No

Perlakuan

Rata-rata tingkat parasitemia (%)


Hari ke-4

Hari ke-6

Hari ke-8

P0

P1

P2

Ab

P3

P4

Ab

Keterangan :
P0 : Kontrol () minyak zaitun
P1 : Kontrol (+) ACT (Artemisinin-based Combination Therapy)
P2 : Ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB
P3 : Ekstrak daun Pirson 100 mg/kgBB
P4 : Ekstrak daun Pirson 150 mg/kgBB
Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa hasil dari uji Duncan terlihat
perbedaan nyata peningkatan tingkat parasitemia kontrol (-) dan ekstrak daun
Pirson 100 mg/kgBB pada pengamatan hari ke-4, 6, dan 8. Pada kontrol
positif terlihat perbedaan yang nyata pada hari ke-4 dan 6 dengan hari ke-8.

47

Sedangkan pada perlakuan dengan ekstrak daun Pirson 50 dan 150 mg/kgBB
terlihat perbedaan yang nyata pada hari ke-4 dengan hari ke-8, namun pada
hari ke-6 tidak berbeda nyata dengan pengamatan pada hari ke-4 dan 8. Hal ini
memperlihatkan bahwa ada pengaruh dari senyawa-senyawa yang terkandung
di dalam ekstrak daun Pirson dan besar dosis yang diberikan terhadap tingkat
parasitemia mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei.

C. Diferensial Leukosit pada Mus Musculus Setelah diberi Perlakuan


Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit

80
70
60
50
40

Ket :
P0 : kontrol () minyak zaitun
P1 : kontrol (+) ACT
P2 : Ekstrak daun Pirson 25 mg/kgBB
P3 : Ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB
P4: Ekstrak daun Pirson 100 mg/kgBB

30
20
10
0
P0

P1

P2

P3

P4

Gambar 4.1. Diagaram rata-rata deferensial leukosit pada mencit

yang

diinfeksi Plasmodium berghei setelah diberi perlakuan.


Dari gambar 4.1. dapat dilihat bahwa dari semua kelompok perlakuan
menunjukkan jumlah limfosit lebih tinggi, diikuti dengan jumlah neutrofil,
monosit, eosinofil dan basofil (lampiran 5.1 dan 5.2).

48

D. Hasil Pengujian Kadar ALT dan AST pada Mus Musculus Setelah diberi
Perlakuan
Untuk melihat tingkat keamanan penggunaan ekstrak daun Mallotus
subpeltatus maka dilakukan pemeriksaan fungsi hati mencit yang diinfeksikan
dengan Plasmodium berghei.

Pemeriksaan AST dan ALT merupakan

indikator fungsi hati, bila terjadi kerusakan fungsi hati, maka terjadi
peningkatan AST dan ALT di dalam darah. Hasil pemeriksaan enzim ALT
pada mencit yang diinfeksikan Plasmodium berghei setelah diberi perlakuan

Kadar ALT U/I

disajikan pada gambar 4.2.


500

Hari ke-4

400

Hari ke-6
Hari ke-8

300
200
100
0
P0

P1

P2

P3

P4

Ket :
P0 : kontrol () minyak zaitun
P1 : kontrol (+) ACT
P2 : Ekstrak daun Pirson 25 mg/kgBB
P3 : Ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB
P4: Ekstrak daun Pirson 100 mg/kgBB

Gambar 4.2. Diagram pengujian kadar enzim ALT pada setiap perlakuan.
Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa pada hari ke-4 kadar enzim ALT
mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei pada P0, P1, P2, P3, dan P4 masih
dalam keadaan normal. Pada hari ke-6 terjadi kenaikan enzim ALT hampir
semua perlakuan. Pada hari ke-8 kelompok perlakuan terapi ekstrak daun
Mallotus subpeltatus dengan dosis 50 mg/kgBB dan kelompok kontrol negatif
(P0) yang menunjukkan kadar ALT diatas keadaan normal.

49

Hasil pemeriksaan enzim AST pada mencit yang diinfeksikan


Plasmodium berghei setelah diberikan perlakuan disajikan pada gambar 4.3.
Dari gambar 4.3. menunjukkan bahwa pada hari ke-4 kontrol negatif
(P0) dan P1 telah terjadi peningkatan kadar AST diatas keadaan normal. Pada
hari ke-6 dan ke-8 untuk perlakuan P1, P2, P3, dan P4 terjadi penurunan kadar
AST. Namun pada P2 dan P0 terjadi peningkatan kadar AST kembali.
Hari ke4

600

Hari ke6

Kadar AST U/I

500
400
300
200
100
0
P0

P1

P2

P3

P4

ket :
P0 : kontrol
P1 : ACT
P2 : 50 mg/kgbb M. subpeltatus
P3 : 100 mg/kgbb M.
subpeltatus
P4 : 150 mg/kgbb M.
subpeltatus

Gambar 4.3. Rata-rata kadar enzim AST pada setiap perlakuan

50

BAB V
PEMBAHASAN

A. Tingkat parasitemia Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei Setelah


Diberi Perlakuan
Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa kelompok kontrol negatif (minyak
zaitun) tidak tampak adanya penurunan angka parasitemia melainkan terjadi
peningkatan angka parasitemia seiring bertambahnya hari perlakuan yaitu
pada hari ke-4 (4,26), hari ke-6 (10,16) dan hari ke-8 (21,86). Hal ini terjadi
karena kontrol negatif hanya diberi minyak zaitun yang tidak mampu
menghambat pertumbuhan Plasmodium berghei. Menurut Sadikin M dalam
Nugroho (2011), mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei tanpa
pengobatan dan dipelihara pada suhu kamar mengalami peningkatan angka
parasitemia dengan cepat.
Pada perlakuan P1 (kontrol positif) diberi ACT (dihydroartemisinin 4
mg/kgBB-piperaquine 32 mg/kgBB) memperlihatkan penurunan tingkat
parasitemia yaitu pada hari ke-4 (5,44), hari ke-6 (3,19) dan hari ke-8 (2,06).
Hal ini menunjukkan bahwa senyawa-senyawa yang terkandung dalam ACT
dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium berghei.
Mekanisme kerja artemisin yang baru membuktikan bahwa artemisin
bekerja melalui penghambatan enzim ATPase bergantung kalsium (PfATP6)
(Cook dan Zumla dalam Mutiah et al., 2010). Radikal bebas yang dihasilkan
artemisinin mengikat dan menghambat PfATP6 secara ireversibel dan

51

spesifik. Fungsi ATPase pada sistem kompleks pompa ion Na+/K+ adalah
mengatur kadar ion di dalam sel.

Ridley menyebutkan bahwa kegagalan

fungsi PfATP6 mengakibatkan penurunan drastis ion kalium dalam sel yang
sangat mematikan parasit (Mutiah et al., 2011).
Pemberian ekstrak daun Mallotus subpeltatus dengan berbagai dosis
yaitu 100 dan 150 mg/kgBB mampu menurunkan tingkat parasitemia. Pada
perlakuan P3 yang diberi ekstrak daun Mallotus subpeltatus 100 mg/kgBB
memperlihatkan penurunan tingkat parasitemia pada setiap hari pengamatan
yaitu pada hari ke-4 (5,84), hari ke-6 (4,72) dan hari ke-8 (3,66).

Pada

perlakuan P4 yang diberi ekstrak daun Mallotus subpeltatus 150 mg/kgBB


menunjukkan penurunan tingkat parasitemia terbesar yaitu hari ke-4 (3,9), hari
ke-6 (3,38) dan hari ke-8 (2,3). Ekstrak daun Mallotus subpeltatus yang
diberikan pada kelompok perlakuan selama 3 hari dapat menurunkan tingkat
parasitemia secara bermakna.
Namun, pada perlakuan 50 mg/kgBB terjadi peningkatan tingkat
parasitemia pada setiap hari pengamatan yaitu pada hari ke-4 (5,84), hari ke-6
(7,32) dan hari ke-8 (8,35). Hal ini menunjukkan bahwa dosis yang kecil
tidak mampu menurunkan tingkat parasitemia namun masih menunjukkan
pengaruh dalam menghambat peningkatan tingkat parasitemia yang terlihat
dari peningkatan tingkat parasitemia yang tidak setinggi pada perlakuan
kontrol negatif P0.
Ekstrak dosis 150 mg/kgBB menunjukkan aktivitas antiplasmodium
yang lebih baik dibandingkan dosis 100 mg/kgBB dan 50 mg/kgBB dan

52

bahkan lebih baik daripada ACT, namun tidak berbeda nyata. Penurunan
tingkat parasitemia pada P2 dan P3 yang masih dibawah perlakuan P1 dan P4
diperkirakan karena jumlah pemberian dosis eksrak daun Mallotus subpeltatus
yang terlalu kecil sehingga kurang cepat dalam menurunkan tingkat
parasitemia.
Pada tabel 4.2 terlihat pada uji Duncan bahwa ekstrak daun Mallotus
subpeltatus pada satu hari setelah pemberian perlakuan yang pertama (hari
ke-4) belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tingkat parasitemia
mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Pada hari ke-6 dan 8, tingkat
parasitemia yang menurun pada P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan tingkat
parasitemia pada P0 dan P2.

Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun

Mallotus subpeltatus mengandung senyawa-senyawa yang berperan aktif


dalam menurunkan tingkat parasitemia mencit yang diinfeksi Plasmodium
berghei. Terlihat bahwa perlakuan dengan dosis 50 mg/kgBB ekstrak daun
Mallotus subpeltatus (P2) berbeda nyata dengan semua perlakuan, hal ini
menunjukkan bahwa dosis ekstrak P2 terlalu kecil sehingga tidak dapat
menurunkan tingkat parasitemia, namun masih memiliki pengaruh dalam
melawan

infeksi

malaria

dengan

menghambat

peningkatan

tingkat

parasitemia. Sedangkan pada dosis 100 dan 150 mg/kgBB ekstrak daun
Mallotus subpeltatus tidak berbeda nyata dengan pemberian ACT dengan
dosis dihydroartemisinin 4 mg/kgBB-piperaquine 32 mg/kgBB dalam
menurunkan tingkat parasitemia.

53

Pada tabel 4.3 terlihat pada uji Duncan bahwa pada P0 terjadi
peningkatan tingkat parasitemia yang berbeda nyata. Pada P1, tidak tampak
perbedaan yang nyata pada hari ke-4 dan 6 namun mengalami penurunan
tingkat parasitemia pada hari ke-8. Pada P2, terjadi peningkatan parasitemia
yang tidak berbeda nyata pada hari ke-6, tingkat parasitemia meningkat secara
nyata setelah hari ke-8. Pada P3, penurunan tingkat parasitemia berbeda nyata
pada setiap hari pengamatan. Sedangkan pada P4, terjadi penurunan yang
berbeda nyata pada hari ke-8. Hal ini terjadi karena minyak zaitun tidak
memiliki efek antimalaria. Pemberian ACT dan ekstrak pirson 100 dan 150
mg/kgBB memiliki efek antimalaria dengan penurunan tingkat parasitemia
yang berbeda nyata.

Pemberian ekstrak pirson 50 mg/kgBB tidak dapat

menurunkan tingkat parasitemia, namun masih memiliki efek antimalaria


dengan menghambat peningkatan tingkat parasitemia.
Identifikasi kandungan kimia ekstrak daun Mallotus subpeltatus
dilakukan dengan uji fitokimia. Dari hasil uji fitokimia, didapatkan komposisi
senyawa-senyawa yang terkandung di dalam ekstrak yaitu flavonoid, saponin,
tanin, steroid, glukosa dan terpenoid (Arunachalam, et al., 2009).

Pada

penelitian ini belum dapat dijelaskan golongan senyawa mana dari flavonoid,
saponin dan tanin yang beraktivitas sebagai antimalaria/antiplasmodium,
karena belum dilakukan isolasi dan uji aktivitas dari isolat.
Menurut de Monbrison, et al., (2006) derivat flavonoid (dehidrosilybin
dan 8-(1;1)-DMA-kaempferide) mempunyai aktivitas sebagai antiplasmodium
secara in vitro. Tanin juga telah terbukti menghambat perkembangan parasit

54

malaria pada spesies Microcebus murimus (Iaconelli, et al., 2002). Golongan


saponin dari ekstrak akar Vangueria infausta (Rubiaceae) dapat menghambat
uptake (G3H)-hypoxantine yang merupakan suplemen dalam perkembangan
Plasmodium falciparum secara in vitro dan mempunyai aktivitas sebagai
antimalaria pada Plasmodium berghei (Abosl, et al., (2006).

Senyawa

triterpenoid juga dilaporkan dapat menghambat sintesis protein pada


Plasmodium berghei.
Mencit Swiss webster yang diinfeksi Plasmodium berghei juga berusaha
mengeliminasi parasit Plasmodium dalam tubuhnya.

Plasmodium berghei

yang menginfeksi mencit Swiss, akan mengeluarkan endotoksin berupa


lipopolisakarida (LPS).

LPS ini akan mengaktifkan sistem imun untuk

mengeliminasi parasit dengan cara mengaktifkan makrofag dan monosit untuk


memfagositosis parasit Plasmodium (Nugroho et al., 2000).

B. Analisa Diferensial Leukosit pada Mus Musculus Setelah diberi


Perlakuan
Pada pengamatan diferensial leukosit didapatkan rata-rata leukosit yang
paling besar pada semua perlakuan adalah jenis limfosit (lampiran 6.2).
Persentase limfosit dalam darah yang meningkat menunjukkan terjadinya
mekanisme pertahanan tubuh mencit terhadap Plasmodium berghei. Hal ini
terjadi karena leukosit yang berperan penting terhadap kekebalan tubuh ada 2,
yaitu sel limfosit dan fagosit (Darlina et al., 2011).

Limfosit bertugas

mengingat dan mengenali benda yang masuk ke dalam tubuh serta membantu

55

tubuh menghancurkan benda asing.

Pada malaria, secara khusus peran

limfosit dalam eliminasi parasit malaria stadium darah diperankan oleh subset
Th1 dan Th2. Sel Th1 memproduksi sitokin proinflamasi yang memacu
aktivasi makrofag dan destruksi eritrosit yang terinfeksi. Selain itu, sel Th2
memacu produksi antibodi spesifik yang menghambat reinvasi eritrosit lebih
banyak. Sedangkan fagosit akan menghancurkan antigen yang disebut
fagositosis. Sel utama yang berperan sebagai fagosit pada malaria yaitu
monosit dan makrofag (Baratawidjaja, 2010).
Sel limfosit merupakan jenis sel darah putih yang agranulosit. Didalam
apusan darah sel limfosit memiliki inti bulat yang kadang-kadang sedikit
bertakik. Limfosit dilepaskan dari sumsum tulang dan apabila sudah masak
mampu berperan dalam respon imunologik, disebut sel imunokompeten. Sel
limfosit imunokompeten dibagi menjadi limfosit B dan limfosit T (Darlina et
al., 2011). Hasil pengamatan jumlah sel limfosit pada semua perlakuan di
sajikan pada gambar 4.2.
Monosit merupakan sel yang terbesar diantara leukosit.

Di dalam

apusan darah, sel monosit inti dapat berbentuk oval, sebagai tapal kuda atau
tampak seakan-akan berlipat-lipat. Butir-butir kromatinnya lebih halus dan
tersebar rata dari butir kromatin limfosit.. Rata-rata jumlah monosit yang
ditemukan pada penelitian ini adalah 9,05% (lampiran 6.2). Monosit berperan
sebagai APC (Antigen Presenting Cell), mengenal, menyerang mikroba dan
sel kanker dan juga memproduksi sitokin, mengerahkan pertahanan sebagai
respon terhadap infeksi. Monosit mampu mengadakan gerakan dengan jalan

56

membentuk pseudopodia sehingga dapat bermigrasi menembus kapiler untuk


masuk ke dalam jaringan pengikat. Selain berfungsi fagositosis makrofag
dapat berperan menyampaikan antigen kepada limfosit (Darlina et al., 2011).
Pada malaria, monosit menghasilkan TNF dan IL-1 yang secara langsung
menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik) dan membunuh parasit
(sitotoksik) (Sudoyo et al., 2009). Hasil pengamatan sel monosit dalam aliran
darah tepi mencit disajikan pada gambar 5.2
Granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil dan monosit. Rata-rata jumlah
granulosit yang ditemukan pada penelitian ini adalah (neutrofil 34,76%,
eosinofil 2,67%, monosit dan basofil 0,03% ) (lampiran 5.2).

Di antara

granulosit, neutrofil merupakan jenis sel yang terbanyak.


Persentase neutrofil pada penelitian ini tidak mengalami peningkatan
bahkan terjadi penurunan dari jumlah normal. Dari hasil ini terlihat neutrofil
kurang berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap Plasmodium berghei.
Hal ini kemungkinan karena neutrofil lebih berperan dalam melawan bakteri.
Persentase eosinofill dan basofil pada penelitian ini tidak mengalami
peningkatan ataupun penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa eosinofil dan
basofil kurang berperan dalam mekaniisme pertahanan tubuh terhadap
malaria. Eosinofil dan basofil lebih berperan dalam reaksi alergi.

57

C. Hasil pengujian kadar ALT dan AST pada Mus Musculus setelah diberi
perlakuan
Berdasarkan gambar 4.3 pengujian kadar ALT pada P0, P1, P2, P3 dan
P4 menunjukan kadar ALT pada hari ke-4 masih dalam keadaan normal, yaitu
85-107 U/l. Hal ini selaras dengan ungkapan Saratikov, et al., (2001) dimana
nilai kadar normal ALT yaitu antara 76-208 U/l.
Pada hari ke-6 terjadi kenaikan pada P0, P1, P2, P3 dan P4. Hal ini
disebabkan sel-sel hati telah mengalami kerusakan karena Plasmodium
berghei yang menyerang sel-sel hati telah mencapai fase merozoit dan keluar
dari sel-sel hati untuk menyerang sel-sel eritrosit. Kadar enzim ALT yang
terdapat di dalam sel hati keluar bersamaan dengan Plasmodium berghei dan
masuk kedalam pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan kadar ALT pada
pembuluh darah.
Pada hari ke-8 hanya pada kelompok P0 dan P2 yang menunjukan kadar
ALT dalam keadaan diatas normal yaitu 424 U/l dan 254 U/I.

Hal ini

disebabkan karena pertumbuhan parasit Plasmodium berghei yang tidak


terkendali. Pada kelompok kontrol negatif hanya diberi minyak zaitun yang
tidak dapat dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium berghei. Kelompok
P2 juga tidak dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium berghei karena
dosis yang terlalu kecil. Sedangkan pada P1, P3 dan P4 terjadi penurunan
kadar ALT yang masih dalam keadaan normal. Hal ini dipengaruhi adanya
penghambatan pertumbuhan Plasmodium berghei oleh ACT dan perlakuan
ekstrak daun Mallotus subpeltatus.

58

Pada pengujian kadar AST didapatkan pada hari ke-4 telah terjadi
peningkatan kadar AST diatas keadaan normal pada kelompok P0, P1, dan P2
(Gambar 7).

Seperti ungkapan Saratikov dkk. (2001) dimana nilai kadar

normal AST pada Mus Musculus, Swiss webster jantan yaitu berkisar 30-314
U/l.

Hal ini menandakan bahwa sel-sel parenkim hati yang terinfeksi

Plasmodium berghei telah mengalami kerusakan yang parah.


Pada hari ke-6 dan 8, pada perlakuan P0 dan P2 terjadi peningkatan
kadar AST (Gambar 7). Hal ini terjadi karena tidak terjadi penghambatan
pertumbuhan Plasmodium berghei pada sel-sel parenkim hati.

Sehingga

semakin banyak sel-sel yang mengalami lisis karena skizon pecah


mengeluarkan merozoit.

Hal itu yang menyebabkan kadar AST pada

pembuluh darah meningkat.


Pada P1, P3 dan P4 terjadi penurunan kadar AST. Hal ini menunjukan
adanya proses penghambatan pertumbuhan Plasmodium berghei pada
perlakuan ini. Terhambatnya pertumbuhan Plasmodium berghei pada sel-sel
parenkim hati membuat berhentinya kerusakan sel-sel hati dan kadar AST
yang masuk ke pembuluh darah mengalami penurunan.
Peningkatan ALT dan AST ini terlihat menurun setelah pemberian
ekstrak daun Mallotus subpeltatus dan ACT. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa pemberian ekstrak daun Mallotus subpeltatus menurunkan kadar ALT
dan AST pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Namun demikian,
masih perlu banyak uji yang harus dilakukan untuk memastikan kemampuan

59

ekstrak daun Mallotus subpeltatus melindungi fungsi hati akibat infeksi


Plasmodium berghei.
Peningkatan kadar AST dan ALT dalam darah dapat terjadi apabila ada
pelepasan enzim secara intraseluler ke dalam darah yang disebabkan oleh
nekrosis sel-sel hati atau adanya kerusakan hati secara akut, misalnya nekrosis
hepatoselular (Elya, 2010).

Peningkatan AST dan ALT bisa terjadi pada

gangguan fungsi hati tetapi bisa juga terjadi karena penyebab lain di luar hati,
dan bisa juga dianggap normal.

Enzim AST dan ALT sebagian besar

dihasilkan oleh hati, tetapi sebagian kecil diproduksi oleh sel otot, jantung,
pankreas dan ginjal (Lisyani, 2009).

60

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Pemberian ekstrak daun Pirson berpengaruh nyata terhadap tingkat
parasitemia mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei pada fase eritrosit.
Ekstrak daun Pirson (Mallotus subpeltatus) dengan dosis 150 mg/kgBB
menunjukkan aktivitas antimalaria paling tinggi terhadap mencit yang
diinduksi Plasmodim berghei.
2. Jenis sel leukosit yang berperan dalam respon imun pada mencit yang
diinfeksi dengan Plasmodium berghei adalah limfosit dan monosit.
3. Ekstrak daun Mallotus subpeltatus dapat melindungi fungsi hati.

B. Saran
Untuk menganalisis lebih lanjut aktivitas antiplasmodium ekstrak daun
Mallotus subpeltatus, maka dipandang perlu dilakukan penelitian lanjutan
dengan rentang dosis yang lebih beragam, uji toksisitas akut, menganalisis
senyawa aktif, mencari farmakokinetik dan hubungan dosis-efek. Selain itu,
perlu dilakukan penelitian organ lain untuk mendapatkan gambaran tingkat
keamanan ekstrak daun Mallotus subpeltatus.

61

DAFTAR PUSTAKA

Abosl AO, et al., (2006). Vangueria infausta root bark: in vivo and in vitro
antiplasmodial activity. Br J biomed scri, 63(3): 33-129

Amelya MPS. (2006). Pengaruh pemberian minyak Pandanus conoideus terhadap


tingkat parasitemia mencit Swiss webster yang diinfeksi Plasmodium
berghei ANKA. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Thesis.

Arsin AA (2012). Malaria di Indonesia tinjauan aspek epidemiologi. Makassar:


Masagena Press, 37-100.

Arunachalam G, et al., (2009). Phytochemical and phytotherapeutic evaluation of


Mallotus peltatus (Geist.) Muell. Arg. var acuminatus and Alstonia
macrophylla wall ex A. DC: Two ethnomedicine of Andaman Islands,
India. Journal of Pharmacognosy and Phytotherapy Vol. 1 (1) pp. 001013

Baratawidjaja KG, Rengganis I (2010). Imunologi dasar. Edisi ke 9. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI, p: 29-344.

62

CDC (2010). The Plasmodium life cycle.. http://dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/


imageLibrary/Malariail.htm Diakses November 2013.

Darlina (2011). Parasit malaria rodensia sebagai model penelitian vaksin dengan
teknik nuklir. Buletin Alara, 13 (2): 53-60.
Darlina, Rahardjo T, Nurhayati S (2011). Perubahan jenis leukosit pada mencit
yang diimunisasi dengan Plasmodium berghei yang diradiasi. Seminar
nasional SDM teknologi nuklir VII, pp: 434-439

De monbrison F, et al., (2006). In vitro antimalarial activity of flavonoid


derivatives dehydrosilibin and 8-(1;1)-DMA-kaempferide. Acta trop,
97(1): 8-102.

Dewi RM, Jekti RP, Harijani A(1996). Keadaan hematologis mencit yang
diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokteran, 106:
34-36.

Elya, B., A. Juheini dan Emiyanah. 2010. Toksisitas Akut Daun Justicia
gendarussa Burm. Makara Sains. 14 (2) : 129-134

Ganong WF (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 22. Jakarta : EGC.

Gunawan SG (2009). Farmakologi dan terapi. Edisi ke 5. Jakarta : Balai Penerbit


FKUI, p: 567-570.

63

Guyton AC & Hall JE (2006). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 11.
Jakarta: EGC, p: 439-449.

Harijanto PN (2011). Eliminasi malaria pada era desentralisasi: Buletin jendela


data dan informasi kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Iaconelli S, Simmen B (2002). Taste thresholds and suprathreshold responses to


tanin-rich plant extracts and quinine in a primate species (Microcebus
marinus). J chern ecol, 28(11).

Katzung BG (2007). Farmokologi dasar dan klinik. Edisi ke 10. Jakarta : EGC, p:
884-885.

Kee JL (2008). Pedoman pemeriksaan laboratorium & diagnostik. Jakarta : EGC,


p: 15-482.

Laihad F (2011). Eliminasi malaria pada era desentralisasi. Jurnal data dan
informasi kesehatan. Jakarta.

Levine, N.D. 1990. Protozoologi Veteriner. Ed ke-1. USA: IOWA State


University PR

Lisyani, B.S. dan Indranila K.S., 2009. Diktat Pegangan Kuliah Patologi Klinik
II. Semarang: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro

64

Malole MBM. dan Pramono CSU (1989). Penggunaan hewan-hewan percobaan di


laboratorium. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institur Pertanian
Bogor.
Mutiah R, Enggar L, Winarsih S, Soemarko, Simamora D (2010). Kombinasi
batang talikung dan artemisin sebagai obat antimalaria terhadap
Plasmodium berghei. Jurnal kedokteran Brawijaya, 26(1): 8-13.

NCBI (2013). Taxonomy: Mallotus subpeltatus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/


Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?name=Mallotus%20subpeltatus&lvl=0.
Dikases November 2013.

Murray RK, Daryl KG, Victor WR (2009). Biokimia harper. Edisi ke 27. Jakarta :
EGC.

Nugroho A dan MT Wagey (2000). Siklus hidup Plasmodium Malaria. Jakarta:


EGC, pp: 38-53

Nugroho, YA (2011). Aktivitas antimalaria (in vivo) kombinasi buah sirih (Piper
betle L), daun miyana (Plectranthus scutellarioides (L.). R. BR.) madu
dan kuning telur pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei.
Buletin penelitian kesehatan, 39(3): 129-137.

65

Okokon JE, et al (2005). Pharmacological screening and evaluation of


antiplasmodial activity of Croton zambesicus against Plasmodium
berghei infection in mice. Indian Journal of Pharmacology, 37: 243-246
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2010). Epidemiologi malaria di Indonesia:
buletin jendela data dan informasi kesehatan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI, 1(1): 15-16

Santosa H (2004). Operasi teknik kimia ekstraksi. Semarang: Universitas


Diponegoro.

Saratikov AS, YA, LitvinenkoVN, Burkova AL, Negerovskii TK, Mozhelina VS,
Chuchalin (2001). Antioxidant and Pharm Chem Journal.

Smith JB dan Mangkoewidjojo (1988). Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan


hewan percobaan di daerah tropis. Jakarta : Universitas Indonesia.

Soedarto (2011). Buku ajar parsitologi kedokteran. Jakarta : Sagung Seto, p: 8099.

Sriwahyuni E, Ratnawati R, Soemardini, Budiman, Indra TR, Nugroho S, Heri D,


Adi IP, Susianti H (2009). Hematopoeitic and myeloproliferative system.
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

66

Sudjadi (1986). Metode pemisahan. Yogyakarta : UGM Press.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (2009). Buku ajar


ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke V. Jakarta : Interna Publishing, p:
2813-2825.

Suherman E (2011). Informasi singkat benih Ketapen (Mallotus subpeltatus Linn).


Jakarta : BPTH Jawa dan Madura.

Supranto J (2000). Teknik sampling untuk survey dan eksperimen. Jakarta : PT


Rineka Cipta.

Tjahjani S, Khiong K (2010). Potensi buah merah sebagai antioksidan dalam


mengatasi malaria berghei pada mencit strain Balb/C. Majalah
Kedokteran Indonesia 60(12): 571-575.

Widman FK (1995). Tinjauan klinis atas hasil pemeriksaan laboratorium edisi 9.


Jakarta : EGC

WHO (2012). Global Malaria Programme. World Malaria Report 2012. Fact
Sheet.

67

Yuwono SS, Sulaksono E, Yekti PR (2004). Keadaan nilai normal baku mencit
strain CBR Swiss derived di pusat penelitian penyakit menular : Cermin
kedokteran Volume 94. Jakarta : Grup PT Kalbe Farma.
Zein U (2005). Pemanfaatan tumbuhan obat dalam upaya pemeliharaan kesehatan.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3384.pdf - Diakses Oktober
2013.

Zein U (2009) Perbandingan efikasi antimalaria ekstrak herbal Sambiloto


(Andrographis paniculata) tunggal dan kombinasi masing-masing
dengan artesunat dan klorokuin pada pasien malaria falciparum tanpa
komplikasi. Medan: Repository USU.

68

69

Lampiran 1. Alur Penelitian

Mencit donor
(positif malaria)

Mencit sehat di
adaptasi (1-7 hari)

Inokulasi PLASMODIUM
berghei 0,2cc
secara intraperitoneal

25 ekor mencit jantan, BB 20-30 g

Randomisasi

P1
Akuades

P2
ACT

P3
25 mg/kgBB

P4
50 mg/kgBB

P5
100mg/kgBB

Diinkubasi selama 24 jam (positif)


Cek sediaan apus
darah tipis
Pemberian perlakuan ketika parasitemia 3%
Secara subkutan

P1
-

ALT dan AST

P2
ACT

P3
50 mg/kgBB

P4
100 mg/kgBB

Pemeriksaan parasitemia hari ke-4,6


dan 8

Ket : * ACT = Artemisinin-based Combination Therapy

P5
150mg/kgBB

Respon imunitas
seluler

70

Lampiran 2. Konversi Perhitungan Dosis


Tabel 2.1. Konversi perhitungan dosis hewan coba
Mencit Tikus Marmot Kelinci kucing Kera Anjing Manusia
20 g

200 g

400 g

1,5 kg

2 kg

4 kg

12 kg

70 kg

1,0

7,0

12,25

27,8

29,7

64,1

124,2

387,9

0,14

1,0

1,74

3,9

4,2

9,2

17,8

56,0

0,08

0,57

1,0

2,25

2,4

5,2

10,2

31,5

0,04

0,25

0,44

1,0

1,08

2,4

2,5

14,2

0,03

0,23

0,41

0,92

1,0

2,2

4,1

13,0

0,016

0,11

0,19

0,42

0,45

1,0

1,9

6,1

0,008

0,06

0,1

0,22

0,24

0,52

1,0

3,1

Manusia 0,0026

0,018

0,031

0,07

0,076

0,16

0,32

1,0

Mencit
20 g
Tikus
200 g
Marmot
400 g
Kelinci
1,5 kg
kucing
2 kg
Kera 4
kg
Anjing
12 kg

70 kg

71

Lampiran 3. Rata-rata Tingkat parasitemia (%) Mus Musculus Setelah


diberi Perlakuan
Tabel 3.1. Rata-rata tingkat parasitemia (%) Mus Musculus setelah perlakuan
Perlakuan

Waktu Pengamatan
H4

H6

H8

P0 1

4,30

8,10

17,90

P0 2

5,20

11,90

24,20

P0 3

4,80

10,70

23,30

P0 4

3,10

11,90

25,20

P0 5

3,90

8,20

18,70

Rata-rata

4,26

10,16

21,86

Perlakuan

Waktu Pengamatan
H4

H6

H8

P1 1

4,20

3,10

2,60

P1 2

4,80

3,20

2,10

P1 3

8,10

6,70

2,80

P1 4

3,40

3,03

1,60

P1 5

6,70

4,90

1,20

Rata-rata

5,44

4,19

2,06

72

Perlakuan

Waktu Pengamatan
H4

H6

H8

P2 1

7,30

8,40

9,70

P2 2

4,70

6,40

8,10

P2 3

8,40

10,30

13,8

P2 4

5,10

6,40

8,20

P2 5

3,70

5,10

7,40

Rata-rata

5,84

7,32

8,35

Perlakuan

Waktu Pengamatan
H4

H6

H8

P3 1

6,70

5,20

3,80

P3 2

6,60

5,30

4,20

P3 3

5,10

4,70

3,70

P3 4

5,40

4,30

3,20

P3 5

5,40

4,10

3,40

Rata-rata

5,84

4,72

3,66

73

Perlakuan

Waktu Pengamatan
H4

H6

H8

P4 1

3,90

3,20

2,70

p4 2

4,10

3,00

2,60

P4 3

6,5

5,10

2,80

P4 4

3,70

2,90

2,10

P4 5

3,1

2,70

1,30

Rata-rata

3,90

3,38

2,30

74

Lampiran 4. Perhitungan ANOVA Tingkat parasitemia (%) Mus Musculus


yang Diinfeksi Plasmodium berghei
Tabel 4.1. Deskripsi tingkat Parasitemia Mus musculus yang diinfeksi
Plasmodium berghei

Ekstrak Daun Pengamatan

Mean

SD

Hari ke-4

4.2600

.81425

Hari ke-6

10.1600

1.89947

Hari ke-8

21.8600

3.33062

Total

12.0933

7.85534

15

Hari ke-4

5.4400

1.92172

Hari ke-6

4.1860

1.60608

Hari ke-8

2.0600

.66933

Total

3.8953

2.00137

15

Hari ke-4

5.8400

1.94371

Hari ke-6

7.3200

2.04132

Hari ke-8

9.4400

2.57740

Total

7.5333

2.55082

15

Hari ke-4

5.8400

.75033

Hari ke-6

4.7200

.53104

Hari ke-8

3.6600

.38471

Total

4.7400

1.06422

15

Hari ke-4

4.2600

1.30690

Hari ke-6

3.3800

.97826

Hari ke-8

2.3000

.62048

Total

3.3133

1.24892

15

Hari ke-4

5.1280

1.50983

25

Hari ke-6

5.9532

2.89055

25

Hari ke-8

7.8640

7.84835

25

Total

6.3151

4.97566

75

Pirson
P0

P1

P2

P3

P4

Total

75

Tabel 4.2. Uji ANNOVA tingkat parasitemia Mus musculus yang diinfeksi
Plasmodium berghei

Source

Type III Sum of

df

Squares
Corrected Model

1669.174

Intercept

Mean

Sig.

Square
a

Partial Eta
Squared

14

119.227

43.924

.000

.911

2991.005

2991.005

1.102E3

.000

.948

Faktor_A

783.283

195.821

72.142

.000

.828

Faktor_B

98.482

49.241

18.141

.000

.377

Faktor_A * Faktor_B

787.409

98.426

36.261

.000

.829

Error

162.862

60

2.714

Total

4823.041

75

Corrected Total

1832.036

74

Keterangan :
Faktor A : Perlakuan
Faktor B : Pengamatan

76

Lampiran 5. Uji Duncan waktu pengamatan terhadap tingkat parasitemia


mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei
Tabel 5.1. Uji Duncan waktu pengamatan terhadap tingkat parasitemia mencit
yang diinfeksi Plasmodium berghei untuk P0
Pengamatan

Subset

N
1

Duncan

Hari ke-4

Hari ke-6

Hari ke-8

4.2600
10.1600
21.8600

Sig.

1.000

1.000

1.000

Tabel 5.2. Uji Duncan waktu pengamatan terhadap tingkat parasitemia mencit
yang diinfeksi Plasmodium berghei untuk P1
Pengamatan

Subset

N
1

Duncan

Hari ke-8

Hari ke-6

4.1860

Hari ke-4

5.4400

Sig.

2.0600

1.000

.210

Tabel 5.3. Uji Duncan waktu pengamatan terhadap tingkat parasitemia mencit
yang diinfeksi Plasmodium berghei untuk P2
Pengamatan

Subset

N
1

Duncan

Hari ke-4

5.8400

Hari ke-6

7.3200

Hari ke-8

Sig.

7.3200
9.4400

.309

.154

77

Tabel 5.4. Uji Duncan waktu pengamatan terhadap tingkat parasitemia mencit
yang diinfeksi Plasmodium berghei untuk P3
Subset
Pengamatan
a

Duncan

Hari ke-8

Hari ke-6

Hari ke-4

3.6600
4.7200
5.8400

Sig.

1.000

1.000

1.000

Tabel 5.5. Uji Duncan waktu pengamatan terhadap tingkat parasitemia mencit
yang diinfeksi Plasmodium berghei untuk P4
Pengamatan

Subset

N
1

Duncan

Hari ke-8

2.3000

Hari ke-6

3.3800

Hari ke-4

Sig.

3.3800
4.2600

.116

.193

78

Lampiran 6. Uji Duncan Variasi Dosis terhadap Tingkat Parasitemia Mencit


yang Diinfeksi Plasmodium berghei
Tabel 6.1. Uji Duncan Variasi Dosis terhadap Tingkat Parasitemia Mencit yang
Diinfeksi Plasmodium berghei pada hari ke-4
Ekstrak Daun

Subset

Pirson
a

Duncan

P0

4.2600

P4

4.2600

P1

5.4400

P2

5.8400

P3

5.8400

Sig.

.134

Tabel 6.2. Uji Duncan Variasi Dosis terhadap Tingkat Parasitemia Mencit yang
Diinfeksi Plasmodium berghei pada hari ke-6
Ekstrak

Subset

Daun Pirson
a

Duncan

P4

3.3800

P1

4.1860

P3

4.7200

P2

P0

Sig.

7.3200
10.1600
.203

1.000

1.000

79

Tabel 6.1. Uji Duncan Variasi Dosis terhadap Tingkat Parasitemia Mencit yang
Diinfeksi Plasmodium berghei pada hari ke-4

Subset

Ekstrak
Daun Pirson
a

Duncan

P1

2.0600

P4

2.3000

P3

3.6600

P2

P0

Sig.

9.4400
21.8600
.230

1.000

1.000

80

Lampiran 7. Hasil Perhitungan Diferensial Leukosit pada Mus Musculus yang Diinfeksi Plasmodium berghei Setelah diberi
Perlakuan
Tabel 7.1. Rata-rata deferensial leukosit pada hari ke-4, 6 dan 8 pada MusMusculus yang diinfeksi Plasmodium berghei

No
1
2
3
4
5

Perlakuan

P0
P1
P2
P3
P4
Rata-rata
Keterangan :,

B
0,5
0
0
0
0
0,1

E
3,7
2,1
3,2
2,2
2,1
2,7

Hari ke-4
N
L
34,2 53,3
34,8 48,3
35,2 57,0
36,7 51,6
38,1 51,4
35,8 52,3

Rata-rata Deferensial Leukosit


Hari ke-6
M
B
E
N
L
M
8,3
0 2,4
22,8
67,7 7,1
14,8 0 2,3
33,5
54,6 9,6
4,6
0 2,5
35,9
51,3 10,3
9,5
0 2,6
37,4
47,3 12,7
8,4
0 1,5
36,3
55,9 6,3
9,1
0 2,3
33,2
55,4 9,2

P0 : kontrol () minyak zaitun

B : Basofil

P1 : kontrol (+) ACT (Artemisinin-based Combination Therapy)

E : Eosinofil

P2 : Ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB

N : Neutrofil

P3 : Ekstrak daun Pirson 100 mg/kgBB

L : Limfosit

P4 : Ekstrak daun Pirson 150 mg/kgBB

M : Monosit

B
0
0
0
0
0
0

E
3,2
2,0
2,5
2,7
5,0
3,1

Hari ke-8
N
L
31,3 61,3
31,9 56,8
36,8 52,5
37,7 48,7
38,8 44,7
35,3 52,8

M
4,2
9,3
8,2
10,9
11,5
8,8

81

Tabel 7.2. Rata-rata deferensial leukosit pada Mus Musculus yang diinfeksi
Plasmodium berghei setelah diberi perlakuan

No
1
2
3
4
5

Perlakuan
P0
P1
P2
P3
P4
Rata-rata

Presentase Deferensial Leukosit


E
N
L
M

0,17
0,00
0,00
0,00
0,00

3,10
2,13
2,73
2,50
2,87

29,43
33,40
35,97
37,27
37,73

60,77
53,23
53,60
49,20
50,67

6,53
11,23
7,70
11,03
8,73

0,03

2,67

34,76

53,49

9,05

Keterangan :
P0 : kontrol () minyak zaitun
P1 : kontrol (+) ACT (Artemisinin-based Combination Therapy)
P2 : Ekstrak daun Pirson 50 mg/kgBB
P3 : Ekstrak daun Pirson 100 mg/kgBB
P4 : Ekstrak daun Pirson 150 mg/kgBB
B : Basofil
E : Eosinofil
N : Neutrofil
L : Limfosit
M : Monosit

82

Lampiran 8. Hasil Kadar Enzim ALT dan AST pada Mus Musculus yang
Diinfeksi Plasmodium berghei Setelah diberi Perlakuan
Tabel 8. 1. Kadar enzim ALT pada Mus Musculus yang diinfeksi Plasmodium
berghei setelah diberi perlakuan
NO

Perlakuan

Hari ke-4

Hari ke-6

Hari ke-8

P0

101

234

424

P1

97

168

110

P2

107

157

254

P3

90

108

81

P4

85

93

77

Tabel 8.2. Kadar enzim AST pada Mus Musculus yang diinfeksi Plasmodium
berghei setelah diberi perlakuan
NO

Perlakuan

Hari ke-4

Hari ke-6

Hari ke-8

P0

547

550

580

P1

460

353

107

P2

482

485

490

P3

252

174

153

P4

194

96

52

83

Lampiran 9. Alat dan Bahan Penelitian

Gambar 9.1. Spuit 1cc

Gambar 9.2. Pipa hematokrit

Gambar 9.3. Giemsa, alkohol, preparat Gambar 9.4. Ekstrak, ACT dan minyak
zaitun

Gambar 9.5. EDTA

Gambar 9.6. Microtube

84

Lampiran 10. Proses Pembuatan Ekstrak Daun Mallotus subpeltatus

Gambar 10.1. Penyaringan rendaman

Gambar 10.3. Penimbangan ekstrak

Gambar 10.2. rotary evaporator

85

Lampiran 11. Proses Pembuatan Apusan Darah Tipis

Gambar 11.1. Menyiapkan preparat

Gambar 11.3. Mengambil darah

Gambar 11.2. Memasukkan mencit

Gambar 11.4. Darah dari ekor

mencit

Gambar 11.5. Pembuatan apusan

Gambar 11.6. Apusan darah tipis

86

Gambar 11.7. Fiksasi dengan alkohol

Gambar 11.9. Pewarnaan dengan giemsa

Gambar 11.8. Pencucian apusan

87

Lampiran 12. Pengambilan sampel pemeriksaan AST dan ALT

Gambar 12.1. Mencit donor

Gambar

12.2.

Cedera

servikal

mencit

Gambar 12.3. Pengambilan darah orbita

Gambar 12.5. Darah jantung

Gambar 12.4. Pembedahan mencit

Gambar 12.7. Sampel AST ALT

Anda mungkin juga menyukai