Anda di halaman 1dari 38

i

BAB I

PENDAHULUAN

Inflamasi berperan pada inisiasi, perkembangan dan penyembuhan pada

berbagai penyakit kardiovaskular.1 Inflamasi jantung dapat disebabkan oleh

berbagai kondisi seperti endokarditis, infark miokard akut, miokarditis, sarcoidosis,

dan amyloidosis.2

Miokarditis adalah suatu penyakit yang memiliki presentasi klinis yang

amat heterogen. Variabilitas tampilan klinis miokarditis mengakibatkan penegakan

diagnosa miokarditis amatlah sulit. Selain itu, insidensi aktual dari miokarditis juga

sulit untuk didokumentasikan, mengingat biopsi endomiokardial yang merupakan

baku emas jarang dilakukan.3

Miokarditis merupakan suatu sindroma klinis dengan bukti adanya inflamasi

miokardium sebagai karakteristik utamanya. Berbagai hal dapat menjadi etiologi

dari proses inflamasi ini, antara lain: agen infeksius, proses autoimun, toksin,

hingga reaksi hipersensitivitas terhadap agen tertentu. 4-6

Secara global, miokarditis adalah salah satu etiologi utama kardiomiopati

dilatasi. Infeksi virus kronis, destruksi miokard, dan proses remodelling dapat

mengakibatkan disfungsi ventrikel dan kardiomiopati dilatasi. Teknik molekular

modern telah memfasilitasi proses inflamasi autoimun pada miokardium yang

kemudian menjadi penyebab kardiomiopati dilatasi, baik akut maupun kronik.4-7

1
Manifestasi klinis pada miokarditis amatlah bervariasi, mulai dari gambaran

elektrokardiografi (EKG) yang asimptomatik atau abnormalitas ekokardiografi,

sindroma acute myocardial infarction-like, gagal jantung kongestif, hingga kondisi

fulminan, seperti: aritmia atrial dan ventrikular yang baru ataupun syok kardiogenik

hingga kematian.4-7

Miokarditis seringkali tidak dikenali dan menjadi penyebab dalam kejadian

sudden cardiac death (SDC). Beberapa otopsi melaporkan temuan kasus

miokarditis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kasus yang terlapor secara

klinis.4-7 Data post-mortem mengimplikasikan kejadian miokarditis sebagai

etiologi kematian mendadak pada populasi dewasa muda berkisar antara 8,6-

12%.3,4,6,8

Miokarditis adalah suatu penyakit pada otot jantung yang diakibatkan oleh

infiltrasi sel imunokompeten ke dalam miokard dan dapat berakibat pada kerusakan

jantung, gagal jantung akut, dan kemudian berkembang menjadi sindroma gagal

jantung kronik yang progresif.9 Pada sebagian besar kasus, miokarditis terjadi

setelah adanya infeksi virus pada saluran gastrointestinal maupun saluran

pernafasan.10

Metode baru dalam teknik pencitraan nuklir menggunakan proses inflamasi

untuk deteksi awal dari inflamasi otot jantung, kuantifikasi aktivitas penyakit,

mengarahkan intervensi terapi, dan memonitor keberhasilan terapi. Leukocyte

scinctigraphy memiliki spesifitas yang tinggi untuk infeksi karena granulosit akan

direkrut ke sisi infeksi. Pencitraan Single photon emission computed tomography

(SPECT) juga telah memiliki spesifitas yang tinggi.2

2
Peningkatan metabolisme glukosa merupakan sebuah tanda inflamasi. Pada

suatu inflamasi terjadi ekspresi berlebih dari transporter glukosa dan produksi

berlebih dari enzim glikolitik pada sel-sel inflamasi. Positron emission

tomography/ computed tomography (PET/CT) menggunakan (18F)-labeled

glucose analog 2-deoxy-2-fluoro-d-glucose (FDG) merupakan standar pencitraan

molecular dari inflamasi miokard. Indikasi untuk dilakukan PET/CT dengan FDG

salah satunya adalah miokarditis.2 Beberapa penelitian telah dilakukan untuk

menemukan alternatif dari FDG diantaranya adalah dengan reseptor somatostatin

yang diekspresikan berlebihan pada permukaan sek makrofag yang teraktivasi. C-

X-C yang merupakan reseptor kemokin CXCR4, yang juga dieskpresikan secara

berlebihan oleh leukosit, juga memiliki peran pada perjalanan sel punca, merupakan

target untuk pencitraan molecular. Hal ini memungkinkan untuk secara langsung

menilai aktivitas inflamasi, mengetahui sisi lokasi dari inflamasi , mengidentifikasi

target terapi, dan memonitor respon terapi.2 Pada pembahasan selanjutnya akan

diterangkan lebih lanjut mengenai tekhnik pencitraan nuklir untuk miokarditis serta

penemuan teknik baru yang disetujui dapat menjadi alternative teknik pencitraan

nuklir untuk miokarditis yang telah diketahui.2

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Miokarditis

2.1.1 Definisi

Secara luas, miokarditis merupakan setiap proses inflamasi dari miokardium.

Inflamasi tersebut dapat berupa berbagai jenis kerusakan pada jantung, termasuk:

ischemic damage, trauma mekanik, dan kardiomiopati genetik.5

Dalam terminologi yang lebih spesifik, miokarditis adalah suatu inflamasi

jaringan otot jantung yang timbul sebagai akibat dari paparan terhadap antigen

eksternal (virus, bakteri, parasit, toksin, dan obat) atau pemicu internal (aktivasi

automimun terhadap self antigens).5

World Health Organization (WHO)/International Society and Federation of

Cardiology (ISFC), pada tahun 1995, memberikan definisi miokarditis sebagai

suatu penyakit inflamasi pada otot jantung yang didasarkan pada kriteria histologis,

imunologis, dan imunohistokimia.3,5

2.1.2 Etiologi Miokarditis

Meskipun sebagian besar dari etiologi miokarditis tidak dapat ditentukan,

berbagai agen infeksius, penyakit sistemik, obat, dan toksin terbukti dapat

mengakibatkan penyakit ini. Di antara agen-agen tersebut, miokarditis seringkali

ditemukan berkaitan dengan infeksi viral dan respon post infeksi viral yang bersifat

immune mediated.3,6

Etiologi miokarditis dapat digambarkan dalam tabel berikut:

4
Tabel 2.1. Etiologi Miokarditis
Agen infeksi
Bakteri Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, Meningococcus,
Gonococcus, Salmonella, Corynebacterium diphteriae, Haemophillus
influenzae, Mycobacterium, Mycoplasma pneumoniae, Brucella
Spirochaeta Borrelia, Leptospira
Jamur Aspergillus, Actinomyces, Blastomyces, Candida, Coccidioides,
Cryptococcus, Histoplasma, Mucormycoses, Nocardia, Sporothrix
Protozoa Trypanosoma cruzi, Toxoplasma gondii, Entamoeba, Leishmania
Parasit Trichinella spiralis, Echinococcus granulosus, Taenia solium
Rickettsia Coxiella burnetii, Rickettsia ricketsii
Virus Virus RNA:
Coxsackie A dan B, Echovirus, Poliovirus, Influenza A dan B, measles,
mumps, Rubella, Dengue, Hepatitis C, Chikungunya, Human
Immunodeficiency Virus-1
Virus DNA:
Adenovirus, Parvovirus B19, Cytomegalovirus, Human Herpes Virus-6,
virus Epstein-Barr, virus Varicella-Zoster, virus Herpes simplex
Immune-mediated
Alergen Tetanus toxoid, vaksin, serum sickness
Obat:
Penicillin, Cefador, Kolkisin, Furosemid, Isoniazid, Lidokain, Tetrasiklin,
Sulfonamid, Fenitoin, Fenilbutazon, Metildopa, Thiazide, Amitriptilin
Alloantigen Reaksi rejeksi pada transplantasi jantung
Autoantigen Infection-negative lymphocytic, infection-negative giant cell
Penyakit autoimun:
Systemic Lupus Erythematosus, rheumatoid arthritis, Churg-Strauss
syndrome, penyakit Kawasaki, inflammatory bowel disease, skleroderma,
polimiositis, myasthenia gravis, diabetes mellitus insulin-dependent,
tirotoksikosis, sarkoidosis, Wageners granulomatosis, rheumatic fever
Agen toksik
Obat Amfetamin, Antrasiklin, Kokain, Siklofosfamid, Ethanol, Fluorourasil,
Lithium, Katekolamin, Transtuzumab, Klozapin
Logam berat Besi, tembaga, timbal
Lain-lain Sengatan kalajengking, ular, lebah, dan gigitan laba-laba, inhalasi karbon
monoksida, arsenik, fosfor
Hormon Phaeochromocytoma
Agen fisik Radiasi, sengatan listrik
Dikutip dari: Caforio dkk.3

5
2.1.3 Klasifikasi Miokarditis

Selama dua dekade terakhir, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai

kriteria diagnostik, klasifikasi, dan pola penyakit infeksi yang bervariasi.

Kombinasi karakteristik histopatologi dan gambaran klinis diajukan sebagai suatu

alternatif dalam penegakan diagnosis miokarditis.4

Bukti histopatologi miokarditis ditemukan pada 35 orang dari 348 pasien yang

menjalani biopsi endomiokardial dalam 5 tahun. Analisis dalam penemuan

histologis dan gambaran klinis dari pasien-pasien ini menghasilkan sebuah

klasifikasi klinikopatologis dari miokarditis yang dibedakan menjadi empat

subgrup klinis, yaitu4:

1. Miokarditis fulminan

2. Miokarditis akut

3. Miokarditis kronik-aktif

4. Miokarditis kronik-persisten

2.1.3.1 Miokarditis Fulminan

Miokarditis fulminan adalah manifestasi klinis dari inflamasi kardiak dengan

onset cepat dan mengakibatkan gangguan hemodinamik yang berat.9 Subgrup ini

merupakan bentuk presentasi miokarditis yang lebih jarang ditemukan (sekitar

10%).4,11,12

Pada Marburg Myocarditis Regsitry, dari 1098 pasien dengan 14 sel infiltratif

pada biopsi, hanya 27 pasien (2,5%) yang datang dengan fenotipe klinis fulminan.

Tidak ada data mengenai insidensi miokarditis fulminan pada populasi umum. 11,13

6
Pasien datang dengan gagal jantung akut dan syok kardiogenik setelah

mengalami gejala prodormal virus pada 2 minggu sebelumnya. Pada pasien ini

seringkali membutuhkan bantuan sirkulasi. Miokarditis fulminan biasanya ditandai

dengan adanya fokus multipel dari miokarditis aktif. Penemuan histopatologis tidak

berkaitan dengan derajat keparahan fenotipe klinis. Disfungsi ventrikular seringkali

mengalami normalisasi apabila pasien bertahan hidup.4,13

2.1.3.2 Miokarditis Akut

Pasien dengan miokarditis akut datang dengan onset of illness yang tidak terlalu

jelas dan gejala non spesifik. Prodromal virus ditemukan pada 20-80% kasus dan

tidak dapat diandalkan untuk menegakkan diagnosis. Pada saat admisi, pasien

sudah dalam disfungsi ventrikular yang nyata. Kondisi ini dapat memberikan

respon terhadap terapi imunosupresif.4

Penentuan onset pada miokarditis akut lebih mudah. Hal ini menyebabkan

penggunaan parameter sirkulasi sebagai petanda diagnosis lebih mudah dalam

miokarditis akut, dibandingkan dengan kronis. Strategi terapi pun lebih mudah

untuk ditentukan pada subgrup ini.12

7
2.1.3.3 Miokarditis kronik

Konsep komprehensif mengenai miokarditis kronis belum terbentuk karena

pelaporan kasus ini tidak sering. Pada sebagian besar kasus, mekanisme

perkembangannya masih belum jelas. Panduan terapi praktis miokarditis kronik

hanya didapatkan di Jepang dan murni didasarkan pada riwayat terapi jangka

panjang pada pasien-pasien yang terlebih dahulu telah diketahui menderita

miokarditis.12

2.1.3.4 Miokarditis kronik-aktif

Pasien yang tergabung dalam subgrup miokarditis kronik-aktif

merepresentasikan sebagian besar populasi dewasa dengan miokarditis. Pada

populasi ini, onset of illness juga tidak jelas, namun seringkali dikeluhkan adanya

gejala yang berkaitan dengan disfungsi ventrikular ringan seperti: fatigue dan

dyspnea.4

Pasien miokarditis kronik-aktif pada mulanya memberikan respon terhadap

terapi imunosupresif, namun kemudian mengalami relaps baik secara klins maupun

histologis. Disfungsi ventrikular yang timbul berkaitan dengan perubahan yang

diakibatkan oleh proses inflamasi kronik yang bersifat ringan hinga sedang.4

2.1.3.5 Miokarditis kronik-persisten

Kelompok pasien dengan miokarditis kronik-persisten memiliki karakteristik

adanya infiltrat histologis yang persisten dengan fokal nekrosis miosit. Gejala

kardiovaskular yang sering ditemukan pada subgrup ini adalah nyeri dada ataupun

palpitasi yang tidak disertai adanya disfungsi ventrikel.4

8
2.1.4 Gambaran Klinis Miokarditis

Miokarditis memiliki presentasi klinis yang sangat bervariasi, mulai gejala

ringan hingga skenario klinis yang berat. Hal ini menyebabkan sulitnya penegakkan

diagnosis dan klasifikasi kelainan ini. Beberapa studi epidemiologi yang berbasis

populasi gagal untuk mengklasifikasi pasien-pasien dengan gejala miokarditis akut

karena absennya tes non-invasif yang aman dan sensitif serta dapat mengkonfirmasi

diagnosis tersebut. Frekuensi kasus miokarditis secara umum, yang bersifat klinis

maupun subklinis, sulit untuk ditentukan.4

Gambaran klinis miokarditis yang sering ditemukan sebagai berikut:

Tabel 2.2. Gambaran Klinis Miokarditis


Manifestasi Klinis
Presentasi subklinis Pada sebagian besar kasus viral myocarditis
Gejala non-spesifik Fatigue, athralgia, mialgia
Presentasi klinis Sesak nafas, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea
Bengkak tungkai
Nyeri dada (concomitant dengan perikarditis)
Palpitasi (aritmia)
Syncope atau presyncope (blok atrioventrikular)
Sudden cardiac death
Demam
Flu-like syndrome
Gejala tromboemboli (sistemik maupun pulmonal)
Pemeriksaan Fisik
Normal/Tanpa kelainan
Temuan klinis Takipneu
Takikardia
Sianosis
Jugular Venous Pressure yang meningkat
Gejala circulatory collapse atau syok kardiogenik
Kardiomegali
Intensitas bunyi jantung pertama menurun
Bunyi jantung tiga dan empat
Murmur akibat mitral atau trikuspid regurgitasi
Pericardial friction rub dan efusi perikard
Ronkhi bilateral
Hepatomegali dan asites
Edema tungkai
Dikutip dari: Al-Aqeedi dkk.4

9
2.1.5 Diagnosis Miokarditis

Diagnosis miokarditis, secara tradisional didasarkan pada kriteria Dallas,

sebagai berikut5:

Tabel 2.3. Kriteria Dallas: Diagnosis Biopsi Endomiokardial pada Miokarditis


Definisi Miokarditis idiopatik: infiltrasi inflamasi pada sel miokardium
dengan nekrosis dan/atau degenerasi sekumpulan miosit yang bukan
diakibatkan oleh kerusakan iskemik akibat penyakit jantung koroner.
Klasifikasi
Biopsi pertama Miokarditis dengan/tanpa fibrosis
Miokarditis borderline (merupakan indikasi pengulangan biopsi)
Tidak ada miokarditis
Biopsi selanjutnya Ongoing (persistent) myocarditis dengan atau tanpa fibrosis
Resolving (healing) myocarditis dengan atau tanpa fibrosis
Resolved (healed) myocarditis dengan atau tanpa fibrosis
Deksriptor
Infiltrat Inflamasi Fibrosis
Distribusi Focal, confluent, diffuse Endokardial, interstitial
Ringan, sedang, berat Ringan, sedang, berat
Tipe Lymphocytic, eosinophilic, Perivaskular, replacement
granulomatous, giant cell,
neutrophilic, mixed
Dikutip dari: Cooper dkk.5

Kriteria ini telah digunakan selama dua dekade terakhir. Namun demikian,

karena sensitivitas yang rendah akibat gambaran infiltrat inflamasi pada

miokardium yang kurang jelas serta keengganan klinisi untuk melakukan prosedur

diagnostik yang invasif, maka miokarditis cenderung underdiagnosed. Selain itu,

sampling error, interpretasi yang amat bervariasi, adanya penanda infeksi viral dan

aktivasi imun yang lain, serta outcome yang berbeda-beda mengakibatkan kriteria

Dallas tidak lagi adekuat. 5,14

Insidensi miokarditis diasumsikan lebih tinggi dari yang telah terdiagnosis.

Maka dari itu, dilakukan penentuan kriteria baru yang didasarkan pada gabungan

kriteria klinis dan laboratoris serta didukung oleh modalitas pencitraan dengan

10
tujuan dapat menegakkan diagnosis miokarditis tanpa biopsi. Klasifikasi tersebut

terangkum dalam tabel berikut:

. Tabel 2.4. Klasifikasi Klinis Miokarditis


Penunjang
Kategori Konfirmasi yang Kebutuhan
Kriteria
Diagnostik Histologis menyokong Terapi
miokarditis
Possible Adanya kerusakan miokard tanpa gejala Tidak ada Diperlukan Belum
subclinical kardiovaskular yang disertai dengan diketahui
acute setidaknya satu dari berikut:
myocarditis 1. Peningkatan biomarker cardiac
injury
2. EKG yang menunjang cardiac
injury
3. Fungsi kardiak yang abnormal pada
ekokardiogram atau Cardiac
Magnetic Resonance (CMR)
Probable Adanya kerusakan miokard dengan Ada Diperlukan Per
acute gejala kardiovaskular yang disertai sindroma
myocarditis dengan setidaknya satu dari berikut: klinik
1. Peningkatan biomarker cardiac
injury
2. EKG yang menunjang cardiac
injury
3. Fungsi kardiak yang abnormal pada
ekokardiogram atau Cardiac
Magnetic Resonance (CMR)
Definite Bukti miokarditis secara histologi Ada Tidak Tatalaksana
myocarditis maupun imunohistologi diperlukan penyebab
utama
Dikutip dari: Cooper dkk.5

2.1.6 Patofisiologi

Miokarditis adalah suatu penyakit dengan presentasi klinis dan progresi yang

bervariasi. Miokarditis dianggap sebagai suatu proses kronologis yang terdiri atas

tiga fase patologis, yaitu5,11,15-17:

- Fase pertama (fase infeksi virus akut)

Pada fase ini terjadi destruksi langsung kardiomiosit melalui mekanisme

virus mediated lysis sebagai bagian dari proses replikasi viral. Hal ini

mengakibatkan degradasi dari struktur sel yang dapat memfasilitasi entry virus

11
ke dalam sel yang lebih lanjut akan mengakibatkan kerusakan miosit dan

dilatasi kardiak.

Pada kasus fulminan, proses litik ini akan menyebabkan nekrosis miosit

yang kemuidan akan berakibat pada hilangnya kontraktilitas jaringan secara

signifikan dan berujung pada terjadinya gagal jantung dan kematian.

- Fase kedua (fase infiltrasi sel inflamasi)

Fase ini terjadi akibat disregulasi imun yang dipacu oleh kerusakan

kardiomiosit. Respon selular dan humoral inisial dapat memperbaiki outcome

dari fase pertama justru mengakibatkan efek merusak pada fase kedua.

Respon imun inisial memiliki peranan penting dalam pertahanan tubuh pada

infeksi awal. Akibat infeksi viral, sel natural killer (NK) dan makrofag akan

memproduksi berbagai sitokin dan terjadi infiltrasi sel inflamasi pada

miokardium

12
- Fase ketiga (fase remodelling miokard)

Fase ketiga terdiri dari reparasi fibrotik dan dilatasi kardiak dengan/tanpa

adanya genom viral yang perisiten. Kerusakan kardiomiosit terutama

disebabkan oleh CD4+ dan sel T.

Pada fase awal, kerusakan sel jantung diakibatkan oleh aktivasi imun innate

sebagai akibat langsung dari inifeksi virus. Pada tahap lanjut, virus akan

memproduksi enzim (protease A2) yang dapat merusak sitoskeleton dan

menginisiasi proses destruksi dan remodelling miosit

Virus juga dapat mengaktivasi receptor associated kinase dan mengubah

sitoskeleton miosit serta memfasilitasi penetrasi virus lain. Pembuatan matriks

metalloproteinase akan berakibat pada degradasi kolagen dan elastin.

Mekanisme molecular mimicry mengakibatkan sel T-killer tidak hanya

menyerang virus dan viral antigen namun juga miosin. Aktivasi dari sel B

kemudian akan merangsang produksi antibodi spesifik yang berakibat pada

proses nekrosis lebih lanjut, fibrosis, cardiac remodelling, dilatasi, dan gagal

jantung kronik.

Pada fase ini dapat ditemukan gambaran kardiomiopati dilatasi sebagai

akibat kerusakan miokardial yang luas. Reaksi silang antibodi dengan

autoantigen yang ditemukan pada pasien merupakan indikasi progresivitas

miokarditis menjadi kardiomiopati dilatasi.

13
Fase-fase ini lebih lanjut dijabarkan dalam gambar berikut:

Gambar 3.1. Patomekanisme Miokarditis


Disadur dari:Caforio dkk.3

2.1.7 Diagnosis

Evaluasi awal pada miokarditis termasuk anamnesa lengkap dan pemeriksaan

fisik yang menyeluruh untuk mendapatkan informasi yang adekuat terutama

mengenai etiologinya. Pemeriksaan penunjang tambahan termasuk di antaranya:

thoraks foto, EKG, pemeriksaan cardiac injury marker, teknik pencitraan non-

invasif, dan endomyocardial biopsy (EMB).3,5

14
2.1.7.1 Elektrokardiogram

Elektrokardiogram dapat menunjukkan gambaran yang abnormal pada

miokarditis. Namun demikian kelainan dalam EKG ini tidak bersifat sensitif

maupun spesifik.3

Kelainan gambaran EKG pada miokarditis dapat berupa3,17:

- Perubahan ST-T segmen (elevasi maupun depresi)

- Blok sinoatrial ataupun atrioventrikular

- Gangguan irama jantung

- Adanya gambaran gelombang Q

- Pemanjangan durasi QRS kompleks

Ukena dkk menunjukkan bahwa pemanjangan durasi QRS (>120 ms) dapat

menjadi prediktor utama kematian jantung ataupun kebutuhan transplantasi jantung

pada pasien dengan kecurigaan terhadap miokarditis tanpa adanya bukti gagal

jantung sebelumnya. Pemanjangan QT >0,44 ms, aksis QRS abnormal, dan

ventricular ectopic beat juga berkaitan dengan outcome pasien. Namun kelainan

tersebut bukan merupakan prediktor independen. 3,6,17,18

2.1.7.2 Biomarker dan Serologi Virus

Pemeriksaan biomarker (troponin atau creatinin kinase) bersifat kurang

spesifik, namun dapat mengkonfirmasi diagnosis miokarditis. Pada pasien dengan

miokarditis akut peningkatan troponin juga terbukti memiliki nilai prognostik.4

Peningkatan marker inflamasi seperti C-reactive protein dapat terjadi pada

kasus miokarditis. Namun demikian, nilai normal tidak mengeksklusi proses

15
inflamasi pada miokarditis akut. Peningkatan troponin dan creatinin phosphokinase

isoenzyme myocardial band (CK-MB) dapat mengindikasikan nekrosis miokard

meskipun hal ini tidak disokong oleh studi-studi yang ada.4,6,18

Sensitivitas CK-MB untuk miokarditis adalah sebesar 8%. Nilai troponin T lebih

dari 0,1 ng/mL memiliki sensitivitas yang berkisar antara 34% hingga 53%. Petanda

lain seperti: sitokin, antibodi anti-viral, komplemen, belum dapat digunakan untuk

konfirmasi diagnostik miokarditis.16

Studi yang dilakukan oleh Mahfoud dkk. menunjukkan bahwa serologi virus

(deteksi IgM, IgA, ataupun IgG) tidak memiliki relevansi untuk penegakan

diagnosis pada pasien dengan dugaan miokarditis.6,17 Nilai serologi yang positif

tidak mengindikasikan adanya infeksi dari suatu virus tertentu, namun hanya

menandakan adanya indikasi antara sistem imun host dengan agen infeksi. Tes

serologis masih dapat digunakan pada infeksi HCV, Lyme disease, dan pasien

dengan dugaan HIV.3

2.1.7.3 Ekokardiografi

Tidak terdapat gambaran spesifik miokarditis pada ekokardiografi. Namun

demikian, ekokardiografi dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi ukuran

ruang-ruang jantung dan ketebalan dinding jantung pada pasien dengan miokarditis.

Ekokardiografi juga dapat digunakan untuk mengeksklusi penyebab lain dari gagal

jantung pada pasien.3,6

Ekokardiografi juga memiliki manfaat untuk mengeksklusi efusi perikardial dan

trombus intrakavitas sebelum prosedur EMB dilakukan mengingat kondisi tersebut

16
dapat ditemukan pada 25% pasien dengan miokarditis. Penilaian melalui

ekokardiografi juga memiliki relevansi prognostik. Pasien dengan miokarditis

fulminan memberikan gambaran ruang-ruang jantung yang normal dengan septum

yang menebal. Sementara pada pasien dengan miokarditis akut, ditemukan dilatasi

ventrikel kiri yang bermakna dengan ketebalan dinding yang normal. 6,17

Disfungsi ventrikel kanan jarang ditemukan pada kasus miokarditis, namun hal

ini merupakan prediktor penting akan kebutuhan transplantasi jantung ataupun

kematian. Teknik pencitraan terkini, termasuk strain echocardiography, dapat

memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dalam mendiagnosa

miokarditis.17

2.1.7.4 Cardiac Magnetic Resonance (CMR)

Pencitraan dengan CMR dapat memberikan visualisasi anatomi yang jelas,

memiliki konsistensi interobserver, dan akurasi kuantitatif. Lebih lanjutnya,

pemeriksaan ini memiliki spektrum target diagnostik yang luas dan komprehensif,

mengingat kemampuan CMR untuk memodifikasi kontras jaringan.18,19

Cardiac Magnetic Resonance memiliki keunggulan dalam memvisualisasikan

perubahan jaringan. Pada miokarditis aktif, terdapat beberapa gambaran patologis

pada jaringan di antaranya: edema intraselular dan interstitial, kebocoran kapiler,

hiperemia, serta nekrosis selular dan fibrosis pada kasus yang berat. Gambaran

patologis ini dapat ditangkap dengan menggunakan CMR.20

Keunggulan lain dari CMR adalah bersifat non-invasif dan memiliki sensitivitas

dan spesifitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode lainnya. Selain

17
itu, CMR juga memiliki nilai diagnostik yang hampir mendekati EMB yang

merupakan baku emas diagnostik miokarditis.6,17

Kegunaan CMR lainnya adalah sebagai alat monitoring efek terapi. Pada studi

biopsi dengan menggunakan CMR, didapatkan positive predictive value sebesar

71% dan negative predictive value sebesar 100%.17 Cardiac Magnetic Resonance

juga terbukti berguna untuk menilai adanya transplant rejection.19

2.1.7.5 Endomyocardial Biopsy (EMB)

Endomyocardial biopsy masih merupakan alat diagnostik yang penting dan

merupakan baku emas dalam kasus miokarditis. Mengingat miokarditis dapat hanya

melibatkan regio pada satu ventrikel, beberapa pusat pelayanan jantung secara rutin

melakukan biopsi pada ventrikel kanan dan kiri. 5,21

Endomyocardial biopsy memilik komplikasi mayor yang rendah bila dilakukan

oleh operator yang berpengalaman. Endomyocardial biopsy akan amat berguna bila

dilakukan pada kasus Giant cell myocarditis (GCM) ataupun lymphocytic

myocarditis yang fulminan.5,17,21,22

Prosedur diagnosis standar saat ini menganjurkan teknik pewarnaan histologis

sehingga analisa perubahan histomorfologi dapat dilakukan dan proses miositolisis

pada miokarditis aktif dapat dideteksi. Teknik ini tidak hanya memberikan

kontribusi terhadap pemahaman mekanisme patologis dari viral myocarditis, tapi

juga bisa digunakan untuk menentukan terapi imunomodulator yang spesifik.10

18
Kontribusi diagnostik EMB menjadi lebih luas dengan analisis molekular

ekstraksi DNA-RNA dan amplifikasi RT-PCR genom viral atau dengan

menggunakan teknik hibridisasi in-situ.3,17

2.1.7.6 Pencitraan Nuklir

Nekrosis miosit merupakan sebuah komponen dari miokarditis (infiltrat selular,


111
dominansi oleh limfosit dan makrofag, dikelilingi oleh miosit nekrotik). In-

labeled antimyosisn antibody, yang secara spesifik menargetkan rantai berat

miosin, telah digunakan untuk mendeteksi nekrosis yang berhubungan dengan

miokarditis dan penolakan transplantasi jantung. Pada pasien dnegan hasil biopsi

positif untuk miokarditis, sensitivitas dari pindaian antimiosin diperikirakan

mencapai 95%, dengan nilai prediktif negatif diperkirakan 95%. Spesifitas dan nilai

prediktif positif dari pencitraan antimiosisn adalah dikisaran 50%.5

2.1.8 Terapi

2.1.8.1 Terapi Suportif

Terapi lini pertama pada pasien miokarditis bersifat suportif. Mengingat

tingginya insidensi disfungsi ventrikel kiri pada kasus miokarditis, maka

manajemen optimal terhadap gagal jantung harus dilakukan. Penggunaan alat bantu

sirkulasi mekanik dapat bermanfaat pada pasien-pasien dengan hemodinamik tidak

stabil.3,5

19
2.1.8.2 Terapi Spesifik

Terapi berbasis mekanisme belum bisa dibuktikan dalam kasus miokarditis.

Lebih dari 20 studi telah dilakukan dengan menggunakan agen imunosupresif,

imunomodulator, agen antiinflamasi, dan terapi imunoadsorpsi. Namun semua

studi tersebut belum dapat dijadikan suatu standar terapi.4,24

Myocarditis Treatment Trial, sebuah studi yang cukup besar, gagal untuk

menunjukkan kegunaan terapi imunosupresif sebagai tambahan terapi gagal

jantung. Tidak pula terdapat perbedaan baik pada fungsi ventrikel kiri maupun

tingkat mortalitas pada terapi dengan menggunakan Prednison dengan

Azatioprine/Siklosporin bila dibandingkan dengan placebo.4

20
BAB III

PERAN PENCITRAAN NUKLIR PADA MIOKARDITIS

Luka inflamasi pada miokardium oleh agen penginfeksi, proses imun setelah

infeksi, hipersinsitivitas, dan kondisi autoimun dapat menyebabkan disfungsi

miokardium. Manifestasi klinis dari proses inflamasi di atas salah satunya adalah

miokarditis akut.5 Positron emission tomography/ computed tomography (PET/CT)

menggunakan (18F)-labeled glucose analog 2-deoxy-2-fluoro-d-glucose (FDG)

merupakan standar pencitraan molecular dari inflamasi miokardium. Indikasi untuk

dilakukan PET/CT dengan FDG salah satunya adalah miokarditis.2 Spesifitas FDG

dibatasi oleh pengambilan glukosa secara fisiologis oleh miokardium. Hal ini

menyebabkan pasien memerlukan persiapan sebelum dilakukan pemeriksaan.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menemukan alternative dari FDG Hal

ini memungkinkan untuk secara langsung menilai aktivitas inflamasi, mengetahui

sisi lokasi dari inflamasi , mengidentifikasi target terapi, dan memonitor respon

terapi.2

Pendekatan non-invasif yang baru terhadap sasaran inflamasi memiliki potensi

yang baik untuk deteksi awal inflamasi miokardium, memungkinkan kuantifikasi

dari aktivitas penyakit, mengarahkan terapi intervensi dan memonitor keberhasilan

terapi.2 Menifestasi klinis dari miokarditis beragam menggambarkan keberagaman

pada histologi keparahan penyakit, etiologi, dan tahapan penyakit. Inflamasi

miokardium dapat fokal atau pun menyeluruh, melibatkan beberapa atau semua

ruang jantung. Berbagai pemeriksaan nuklir dapat memperlihatkan inflamasi

21
jantung pada miokarditis. FDG-PET/CT dapat memvisualisasikan inflamasi

miokardium akut untuk menunjukan miokarditis yang aktif. Pencitraan PET

membantu untuk membedakan penyakit aktif dan kronis. CMR dan FDG-PET/CT

saling melengkapi dan memiliki peningkatan nilai untuk PET/MRI dalam

mendiagnosis miokarditis. Unruk melebihi spesifitas yang terbatas pada FDG,

novel PET tracers untuk pencitraan miokarditis dalam penelititan. Berikut

dijelaskan berbagai pemeriksaan nuklir untuk miokarditis.2

3.1 Gallium-67

Sejak awal tahun 1980-an, skintigrafi telah digunakan untuk mengevaluasi

miokarditis. OConnell dkk meneliti pemakaian gallium-67 dalam pencitraan

miokardium sebagai penunjang biopsi endomiokardial untuk diagnosis miokarditis

pada 68 pasien dengan dilated cardiomyopathy. Miokarditis histologis hanya

teridentifikasi pada 8% dari spesimen biopsi. Lima dari enam sampel biopsi (87%)

dengan miokarditis menunjukkan ambilan gallium-67 yang padat, dimana hanya 9

dari 65 sampel biopsi yang negatif (14%) berpasangan dengan hasil pemindaian

galium-67 positif yang ekivalen (P=0,001). Pengenalan computed tomography

emisi foton tunggal (single photon emission computed tomography, SPECT)

membantu diferensiasi lokalisasi perikardial dengan miokardial yang sulit

dilakukan dengan pencitraan planar saja. Penggunaan pencitraan galium telah

berkurang semakin lama karena spesifisitasnya yang buruk.23

3.2 Indium-111

Pada tahun 1976, Khaw dkk melaporkan lokalisasi spesifik antibodi terhadap

22
miosin jantung yang terpurifikasi. Antimiosin yang telah dilabel radioiodin

diberikan secara intravena dan dilokasikan secara selektif pada miokardium tujuh

ekor anjing yang mengalami infark pada 24 jam setelah oklusi arteri koroner.

Yasuda dkk adalah yang pertama kali melaporkan penggunaan pencitraan antibodi

antimiosin monoklonal indium-111 dalam diagnosis miokarditis akut. Karena

pencitraan antibodi antimiosin monoklonal indium-111 dapat digunakan untuk

mendeteksi neksrosis miokardium, Yasuda dkk melakukan percobaan terhadap

prosedur tersebut pada 28 pasien yang secara klinis dicurigai miokarditis. Hasilnya

kemudian dibandingkan dengan biopsi ventrikel yang dilakukan dalam 48 jam

setelah pemindaian. Hasil pemindaian antimiosin positif pada 17 pasien dan negatif

pada 11 pasien. Hasil biopsi positif pada sembilan pasien dan negatif pada enam

pasien, sisanya tidak menunjukkan perubahan yang spesifik. Seluruh pasien yang

terbukti miokarditis secara biopsi memiliki hasil pemindaian yang positif.

Berdasarkan standar biopsi ventrikel kanan, sensitivitas metode ini 100%

sedangkan spesifisitasnya 58%. Kuhl dkk membandingkan hasil skintigrafi

antimiosin pada pasien yang secara klinis dicurigai miokarditis dengan hasil temuan

histologi dan imunohistologi dari biopsi endomiokardium. Mereka mendapati

bahwa menurut analisis imunohistologi sebagai metode referensi, skintigrafi

antimiosin memiliki spesifisitas tinggi namun sensitivitas yang rendah untuk

deteksi miokarditis. Selama tahun-tahun setelahnya, hasil tersebut dikonfirmasi

oleh peneliti-peneliti lainnya. Selama lebih dari 20 tahun, pemindaian antimiosin

tetap merupakan hal penting dalam diagnosis miokarditis.23

23
3.3 18F-FDG PET

Positron-Emission Tomography (PET) merupakan pemeriksaan pencitraan

nuklir yang bersifat noninvasive. Perkembangan PET saat ini sangat menarik untuk

diikuti karena penggunaan klinis PET berkembang dengan sangat luar biasa

terutama di bidang onkologi.24 Perkembangan ini tidak lepas dari fungsi PET itu

sendiri. PET memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode imaging lainnya

seperti CT atau MRI, dimana CT dan MRI hanya memberikan gambaran anatomis

saja, sedangkan PET mampu memberikan gambaran fungsional dan anatomis

walaupun gambarannya tidak sebaik MRI ataupun CT. Namun hal ini dapat diatasi

dengan penggabungan PET dengan CT dalam satu alat scanner yang dinamakan

PET/CT, dengan demikian dihasilkan gambaran anatomis dan fungsional yang jauh

lebih baik sehingga informasi yang didapat lebih baik dan pada akhirnya tercapai

penatalaksanaan penyakit yang lebih baik. Pada dasarnya PET bekerja

menggunakan positron dengan karakteristik fisik tertentu sebagai basis untuk

deteksi resolusi tinggi dan gambaran rekontruksi yang lebih baik. Gambaran yang

dihasilkan dari PET dihasilkan melalui berbagai reaksi radionuklir.24

Selama proses PET dilakukan dua macam scanning yaitu, emission scan yang

merefleksikan emisi photon dari dalam tubuh setelah injeksi tracer dan ancillary

transmission atau attenuation scan, yang terlihat seperti CT scan resolusi rendah

yang digunakan untuk mencocokkan absorpsi photon oleh organ. PET tomography

saat ini memiliki resolusi spatial teoritis 3 - 4 mm. Di praktek klinis resolusinya

kira-kira antara 5- 10mm, jadi lesi yang berukuran dibawah ini tidak dapat

digambarkan secara jelas. Setiap jenis PET tracer menggambarkan proses fisiologis

24
tertentu, sehingga pemilihan tracer disesuaikan dengan informasi klinis yang

diperlukan. Saat ini agen yang paling sering digunakan adalah 18F-labeled 2-

flouro-deoxy--glukose (18F-FDG). 18F-FDG secara aktif di transport ke dalam

sel oleh transport glukosa dan kemudian difosforilasi, namun tidak dimetabolisme,

dan menjadi terperangkap di dalam sel. 18F-FDG tidak hanya diserap oleh jaringan

kanker saja, namun juga diserap oleh seluruh jaringan tubuh yang aktif secara

metabolik. Berbagai proses dalam tubuh yang dapat meningkatkan uptake 18F-

FDG antara lain proses infeksi, proses inflamasi, inflamasi akibat pembedahan atau

radiasi lain sebagainya.24

Fludeoxyglucose (18F), biasa disingkat 18F-FDG atau FDG, adalah

radiofarmaka yang digunakan dalam modalitas pencitraan positron emission

tomography (PET). Secara kimia, fluoro-D-glukosa 2-deoksi-2- (18F),

menggantikan atau mensubstitusi kelompok hidroksil normal pada posisi C-2

dalam molekul glukosa. 18F-FDG merupakan analog dari glukosa yang nantinya

akan diserap oleh sel-sel tubuh yang memerlukan metabolism glukosa tinggi

(seperti jantung, otak, paru-paru, keganasan, infeksi) sebagai metabolisme

jaringannya. 18F-FDG akan diserap oleh sel-sel yang kemudian akan difosforilasi

oleh heksokinase yang ada di dalam hampir semua sel dan ditahan oleh jaringan

dengan aktivitas metabolik tinggi seperti pada tumor ganas. Biasanya sekitar 1 jam

setelah injeksi 18F-FDG, radiofarmaka ini secara aktif akan bergabung dengan

transporter glukosa, terutama GLUT 1 dan GLUT3, yang sensitif terhadap insulin

yang bergabung dan dipertahankan di dalam sel dengan aktivitas metabolik tinggi,

seperti sel inflamasi di dalam sel. 18F-FDG terfosforilasi dan menetap di dalam

25
intrasel tanpa transformasi lebih lanjut dalam beberapa jam.6 Gugus 2-hidroksil (-

OH) dalam glukosa normal diperlukan dalam proses glikolisis lebih lanjut namun

18F-FDG kehilangan gugus 2-hidroksil ini sehingga FDG tidak dapat

dimetabolisme lebih lanjut dalam sel tubuh seperti glukosa biasa. 18F-FDG-6 fosfat

akan terbentuk saat 18F-FDG memasuki sel dan tidak dapat keluar dari sel sebelum

radioaktif meluruh. Akibatnya, distribusi 18F-FDG merupakan cerminan yang baik

untuk mendeteksi sel dengan metabolisme glukosa yang tinggi dan proses

fosforilasi yang terjadi di dalam tubuh. Setelah 18F-FDG meluruh secara radioaktif,

fluorin 2 diubah menjadi 18O- dan akan bergabung dengan sebuah proton H + dari

ion hidronium membentuk glukosa-6-fosfat yang merupakan zat nonradioaktif

yang tidak berbahaya pada posisi C-2. Dengan kehadiran gugus 2-hidroksil maka

metabolisme glukosa biasa akan terjadi dan menghasilkan produk akhir yang

bersifat non-radioaktif.25

Secara teori 18F-FDG dimetabolisme dengan paruh selama 110 menit, namun

penelitian klinis telah menunjukkan bahwa partisi radioaktivitas 18F-FDG terbagi

menjadi dua fraksi utama. Sekitar 75%-80% aktivitas fluor-18 tetap berada dalam

jaringan dan dieliminasi dengan waktu paruh 110 menit, dimana zat ini akan

membentuk 18O-glukosa-6-fosfat, yang bersifat non-radioaktif. Sisanya, sekitar

20% 18F-FDG akan dieliminasi dua jam setelah pemberian dosis 18F-FDG melalui

ginjal. Maka semua radioaktivitas 18F-FDG akan meluruh dalam waktu kurang dari

2 jam baik pada 20% fraksi yang akan diekskresikan oleh urin pada 2 jam pertama

setelah zat radiofarmaka ini dimasukan maupun 80% lain nya yang tersisa dalam

pasien akan meluruh dalam waktu paruh 110 menit.25

26
Pemeriksaan nuklir menawarkan teknik pencitraan non-invasif untuk

memvisualisasi infeksi dan peradangan pada seluruh tubuh, sehingga lokasi dan

fokus infeksi dapar terlihat. Radiofarmaka 18F-2'-deoxy-2-fluoro-d-glucose (18F-

FDG) dapat digunakan dalam menilai tingkat penyakit serta aktivitas penyakit pada

pasien dengan infeksi, peradangan, maupun evaluasi respons terhadap pengobatan.

18F-FDG diserap oleh sel hidup melalui membran transporter glukosa yang

kemudian difosforilasi oleh hexokinase di dalam sel untuk mengidentifikasi area

infeksi dan peradangan vaskular yang memperlihatkan aktivitas metabolik yang

tinggi pada sel seperti leukosit yang teraktivasi, monosit-makrofag, limfosit.

Jaringan yang menangkap radioaktivitas yang tinggi setelah pemberian 18F-FDG

sesuai merupakan area dengan sumber energi utama untuk fagositosis dan

kemotaksis dimana konsumsi glukosa yang meningkat serta peningkatan

penyerapan 18F-FDG melalui rangkaian heksose monofosfat merupakan suatu

tanda reaksi stress dari sel yang terinfeksi sebagai respon kerusakan sel. Serapan

18F-FDG yang tinggi dideteksi pada neutrofil selama fase akut dari suatu

peradangan, sedangkan makrofag dan leukosit polimorfonuklear menyerap 18F-

FDG pada peradangan fase kronis. Sel inflamasi mengalami peningkatan ekspresi

transporter glukosa dan growth factor, yang mempengaruhi afinitas transporter

untuk deoxyglucose. Banyaknya 2-deoxyglucose 18F-FDG yang diserap pada

tempat infeksi tergantung pada kecepatan glikolisis. 18F-FDG dibawa ke dalam sel

oleh transporter glukosa. Dalam kasus infeksi dan peradangan, terjadi aktivasi

leukosit dan glukosa digunakan sebagai sumber energi. Reseptor transporter

glukosa distimulasi oleh pengambilan glukosa serta analognya.24

27
18F-FDG PET merupakan pendekatan baru dalam diagnosis miokarditis akut

dengan cara mendeteksi miokardium ventrikel kiri yang sedang mengalami

inflamasi. Kami memperkirakan bahwa semakin awal prosedur 18F-FDG PET

dilakukan, semakin baik akurasi diagnostiknya dalam mendeteksi miokardium

ventrikel kiri yang sedang mengalami inflamasi, seperti yang telah dikonfirmasi

oleh EMB pada subyek dengan akut miokarditis. Dalam definisi sementara kami

terhadap 18F-FDG PET untuk deteksi miokardium yang sedang mengalami

inflamasi, sensitivitas, spesifisitas, negative predictive value 18F-FDG-PET dalam

mendeteksi dinding posterior ventrikel kiri yang sedang mengalami inflamasi

adalah 100% saat 18F-FDG-Pet dilakukan dalam 14 hari setelah onset miokarditis

akut dicurigai. Menurut penelitian in vitro, 18F-FDG terakumulasi dalam sel-sel

inflamasi seperti limfosit, neutrofil, dan makrofag.26

Namun, 18F-FDG PET memiliki keterbatasan yang harus dipertimbangkan

seperti paparan radiasi (0,019 mSv/MBq) [12], harga yang mahal, ketersediaannya

yang terbatas pada institusi, dan sulit untuk dilakukan pada saat fase akut. Dalam

definisi kami terhadap 18F-FDG PET untuk deteksi miokardium yang sedang

mengalami inflamasi, sensitivitas, spesifisitas, negative predictive value 18F-FDG-

PET dalam mendeteksi dinding posterior ventrikel kiri yang sedang mengalami

inflamasi pada EMB adalah 100% saat 1-14 hari setelah onset miokarditis akut

dicurigai. Penelitian prospektif lanjutan diperlukan pada populasi yang lebih besar,

dimana definisi karakteristik 18F-FDG PET yang merepresentasikan adanya

miokardium ventrikel kiri yang sedang mengalami inflamasi dapat ditentukan

secara lebih akurat. Jika memungkinkan, perbandingan hasil temuan 18F-FDG PET

28
dengan pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) T2 weighted dapat

dilakukan dalam jeda waktu yang singkat, sehingga dapat mendeteksi miokardium

ventrikel kiri yang sedang mengalami inflamasi pada pasien yang sedang dicurigai

memiliki miokarditis akut namun terdapat keterbatasan aplikasi klinis 18F-FDG

PET dan MRI jantung. Prosedur tersebut mungkin cukup memungkinan untuk

hampir seluruh dokter. 18-FDG PET menunjukkan kecocokan yang signifikan

dengan EMB dalam mendeteksi dinding posterior ventrikel kiri dengan inflamasi

aktif pada subyek yang secara klinis dicurigai miokarditis akut. Jika

memungkinkan, 18F-FDG PET sebaiknya dilakukan dalam 14 hari setelah onset

miokarditis akut dicurigai untuk menciptakan akurasi diagnostik yang tinggi

dibandingkan EMB.26

3.4 11-C methionine PET

Miokarditis merupakan penyakit inflamasi pada otot jantung yang secara

patologi dicirikan dengan infiltrasi sel-sel imun ke dalam miokardium, seperti sel

T dan makrofag. Miokarditis merupakan penyebab utama dari dilated

cardiomyopathy dan henti jantung tiba-tiba pada orang dewasa muda. Presentasi

klinis miokarditis sangat beragam dan berkaitan dengan luasnya spekterum gejala

yang muncul, seperti sesak napas, nyeri dada, serta aritmia jantung. Diagnosisnya

yang hanya didasarkan pada presentasi klinis merupakan suatu tantangan tersendiri.

Biopsi endomiokardium diyakini merupakan standar baku emas untuk diagnosis

miokarditis, namun pendekatan yang sangat invasif menyebabkan adanya

kesalahan dalam pengambilan sampel, sehingga membatasi sensitivitasnya. Oleh

sebab itu, pada pasien yang dicurigai miokarditis, pencitraan non-invasif

29
memainkan peranan penting dalam diagnosis dini yang cepat, sebagai panduan

biopsi untuk meningkatkan sensitivitas, dan untuk memantau teapi dan adaptasi/

optimasi strategi terapi. Diantara modalitas yang tersedia, MRI jantung telah

terbuki bermanfaat dalam diagnosis inflamasi miokardium karena memungkinkan

pemeriksaan resolusi tinggi terhadap morfologi, fungsi, dan karakter jaringan

miokardium ventrikel. Sebagai tambahan, jejas miokardium yang irreversible

seperti nekrosis dan fibrosis dapat tervisualisasi pada late gadolinium enhancement.

Namun, MRI standar kemungkinan tidak sensitif terhadap deteksi aktivitas

inflamasi, yang penting untuk memantau respons terapi dalam mencegah perubahan

jaringan sekunder. Di sisi lain, PET merupakan pemeriksaan non-invasif yang

sangat sensitif, yang dapat diterapkan untuk memvisualisasikan molekul target

spesifik menggunakan pelacak positron pemancar radioaktif tertentu. Teknologi

tersebut memungkinkan deteksi kuantitatif terhadap perubahan miokardium seperti

infiltrasi sel-sel imun, bahkan pada stadium awal miokarditis sebelum perubahan

struktural dapat terlihat pada modalitas pencitraan morfologis.27

L-[methyl-11C] methionine (11C-methionine) telah secara luas digunakan untuk

diagnosis berbagai kanker, seperti tumor otak dan multiple myeloma. Baru-baru ini,

beberapa penelitian eksperimental menunjukkan potensi 11c-methionine PET

untuk mendeteksi lesi inflamasi. Kubota dkk melaporkan bahwa ambilan metionin

meningkat pada makrofag yang menginvasi lesi tumor. Dengan melakukan

percobaan in vitro menggunakan sel inflamasi yang terisolasi, Oka dkk memastikan

bahwa L-[methyl-11C] methionine (11C-methionine) terakumulasi pada sel-sel

inflamasi, termasuk makrofag, sel T, dan sel B. 18F-FDG merupakan pelacak PET

30
yang paling sering digunakan untuk mendeteksi inflamasi, seperti sarkoidosis,

infark postmiokardium, dan kondisi inflamasi akut dan kronis lainnya. Kemudian,

Maya dkk melakukan perbandingan antara 11C/14C-methionine dan 18F-FDG

pada percobaan eks vivo dan in vivo. Hasil analisis autoradiografi pelacak ganda

kami mengindikasikan bahwa terdapat korelasi positif antara akumulasi 14C-

methionine dan ambilan 18F-FDG pada lesi miokardium inflamasi yang

terkonfirmasi secara imunohistologi; penemuan tersebut sejalan dengan hasil

percobaan PET in vivo kami.27

Oleh sebab itu, 18F-FDG dan 11C-methionine cocok untuk diagnosis proses

inflamasi pada jantung. Di sisi lain, 18F-FDG PET menghasilkan kontras yang

lebih baik antara area miokardium yang inflamasi dan non-inflamasi serta ambilan

fisiologis yang rendah pada hepar dan timus. Namun, aktivitas miokardium

fisiologis dasar terkadang sulit disupresi, khususnya pada pasien dengan gagal

jantung, sehingga persiapan khusus seperti berpuasa dalam waktu yang cukup lama,

mengonsumsi makanan berlemak tinggi, serta pemberian heparin perlu dilakukan

sebelum melakukan prosedur 18F-FDG PET (40,41). Pada percobaan pada mencit

yang kami lakukan, kami meminimalisasi ambilan pelacak jantung fisiologis

dengan mewajibkan berpuasa sebelum pemindaian dilakukan dan menghindari

anestesi selama 18F-FDG diinjeksi secara intraperitoneal. 11C-methionine PET

memiliki keunggulan dibanding 18F-FDG karena ambilan 11C-methionine yang

rendah pada miokardium sehat, seperti yang terpapar dalam analisis kami. Evaluasi

lanjutan diperlukan untuk menilai pelacak manakah yang lebih sesuai pada berbagai

kondisi klinis tertentu.27

31
3.5 Tracers lainnya

Pencitraan perfusi miokardium dengan methoxyisobutyl isonitrile SPECT yang

dilabel Technetium-89 (99mTc-MIBI SPECT) telah terbukti sebagai prosedur

penting dalam menilai tingkat keparahan iskemia miokardium. Ambilan dan

pembuangan 99mTc-MIBI oleh miokardium dipengaruhi oleh viabilitas sel dan

integritas membran. Oleh sebab itu, penyakit infeksi seperti miokarditis mungkin

juga mempengaruhi perfusi miokardium dengan menginduksi inflamasi lokal dan

nekrosis. Sun dkk membandingkan 99mTc-MIBI SPECT dengan metode

pemantauan jantung lainnya untuk menilai kepentingannya dalam diagnosis

miokarditis viral coxsackie. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya

ambilan 99mTc-MIBI kemungkinan merupakan penanda inflamasi miokardium

dan nekrosis. Defek perfusi miokardium dari Thallium -201 yang bersifat sugestif

fibrosis akibat miokarditis didapatkan pada atlet olahraga orienteering dan atlet

lainnya, namun tidak terdapat perbedaan yang ditemukan. Pelacak-pelacak tersebut

dan pelacak-pelacak lainnya tidak sering digunakan dalam praktik klinis. Sebagai

kesimpulan, pencitraan antibodi antimiosin Indium-111 sudah secara luas

digunakan selama lebih dari dua dekade diagnosis miokarditis. Keterbatasan teknik

tersebut meliputi ketersediaannya di Amerika Serikat, paparan radiasi, khususnya

untuk pasien usia muda dan penundaan selama 48 jam setelah injeksi untuk

mencegah efek blood pool. Oleh sebab itu, aplikasi prosedur ini terus berkurang

seiring dengan berjalannya waktu.27

32
BAB IV

KESIMPULAN

Miokarditis merupakan suatu inflamasi pada otot jantung yang didasarkan pada

gambaran klinis, imunohistologis, dan patologis. Miokarditis dapat memiliki

gambaran klinis yang amat luas dari mulai tidak bergejala, sesak nafas yang bersifat

ringan dan nyeri dada, hingga terjadinya syok kardiogenik dan kematian.

Infeksi virus merupakan etiologi tersering dari miokarditis. Proses inflamasi

memiliki peranan penting dalam patofisiologi myocarditis. Secara garis besar,

myocarditis terjadi dalam 3 fase: infeksi virus akut, infiltrasi sel inflamasi, dan

remodelling miokardial.

Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan miokarditis haruslah meliputi

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang adekuat serta melibatkan modalitas

diagnostik invasif dan non-invasif yang tepat. Endomyocardial biopsy masih

merupakan baku emas diagnostik miokarditis. Namun demikian, CMR dapat

dipertimbangkan sebagai alat diagnostik non-invasif dengan nilai kegunaan yang

cukup tinggi. Pemeriksaan nuklir juga memiliki peran penting dalam diagnosis

miokarditis.

FDG-PET/CT dan skintigrafi merupakan teknik yang paling umum digunakan

dalam pencitraan nuklir untuk miokarditis. Pencitraan nuklir merupakan alat yang

cukup terkualifikasi untuk mendiagnosis, stratifikasi risiko dan monitoring terapi.

Beberapa tracer baru termasuk 11- C methionine PET membantu untuk melewati

33
batasan dari teknik pemeriksaan standar dari pencitraan yang biasa dilakukan dan

pada beberapa studi menunjukan hasil yang cukup menjanjikan.

Terapi pada myocarditis dibedakan menjadi terapi suportif dan spesifik.

Pemberian imunoterapi dan antiviral spesifik, masih belum menunjukkan efikasi

klinis yang cukup baik.

34
1. Ross R. Atherosclerosis--an inflammatory disease. The New England
journal of medicine 1999;340:11526.

2. Kircher M, Lapa C. Novel Noninvasive Nuclear Medicine Imaging


Techniques for Cardiac Inflammation. Current Cardiovascular Imaging
Reports 2017;10:115.

3. Caforio ALP, Pankuweit S, Arbustini E, Basso C, Gimeno-Blanes J, Felix


SB, et al. Current state of knowledge on aetiology, diagnosis, management,
and therapy of myocarditis: a position statement of the European Society of
Cardiology Working Group on Myocardial and Pericardial Diseases. 2013.
pages 2636482648a2648d.

4. Al-aqeedi RF, Kamha A, Al-aani FK, Al-ani AA. Salmonella myocarditis


in a young adult patient presenting with acute pulmonary edema,
rhabdomyolysis, and multi-organ failure. Journal of Cardiology
2009;54:4759.

5. Mann DL, Zipes DP, Bonow RO, Braunwald E. Braunwalds Heart


Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 10 ed. Philadelphia:
Elsevier Science;

6. Kindermann I, Barth C, Mahfoud F, Ukena C, Lenski M, Yilmaz A, et al.


Update on myocarditis. J Am Coll Cardiol 2012;59:77992.

7. Friman G. The incidence and epidemiology of myocarditis. Eur Heart J


1999;20:10636.

8. Magnani JW. Myocarditis: Current Trends in Diagnosis and Treatment.


Circulation 2006;113:87690.

9. Kearney MT, Cotton JM, Richardson PJ, Shah AM. Viral myocarditis and
dilated cardiomyopathy: mechanisms, manifestations, and management.
Postgrad Med J 2001;77:410.

10. Khl U. Diagnosis and treatment of patients with virus induced


inflammatory cardiomyopathy. European Heart Journal Supplements
2002;4:I73I80.

11. Maisch B, Ruppert V, Pankuweit S. Management of fulminant myocarditis:


a diagnosis in search of its etiology but with therapeutic options. Curr Heart
Fail Rep 2014;11:16677.

12. Ikegami Y, Tase C. Acute Myocarditis in Emergency Medicine. In:


Myocarditis. InTech; 2011.

13. Hare JM, Baughman KL. Fulminant and acute lymphocytic myocarditis:
the prognostic value of clinicopathological classification. Eur Heart J

35
2001;22:26970.

14. Baughman KL. Diagnosis of myocarditis: death of Dallas criteria.


Circulation 2006;113:5935.

15. Dennert R, Crijns HJ, Heymans S. Acute viral myocarditis. Eur Heart J
2008;29:207382.

16. Andreoletti L. Viral Myocarditis: Physiopathology and Diagnosis. In:


Myocarditis. InTech; 2011.

17. Simonovi D, Ili M. Viral Myocarditis-Diagnostic and Therapeutic


Challenge for Physicians. Acta Facultatis Medicae Naissensis
2012;29:1775.

18. Ukena C, Mahfoud F, Kindermann I, Kandolf R, Kindermann M, Bhm M.


Prognostic electrocardiographic parameters in patients with suspected
myocarditis. Eur J Heart Fail 2011;13:398405.

19. Pennell DJ. Cardiovascular Magnetic Resonance. Circulation


2010;121:692705.

20. Childs H, Friedrich MG. Cardiovascular Magnetic Resonance Imaging in


Myocarditis. Prog Cardiovasc Dis 2011;54:26675.

21. Cooper LT, Baughman KL, Feldman AM, Frustaci A, Jessup M, Khl U, et
al. The Role of Endomyocardial Biopsy in the Management of
Cardiovascular Disease: A Scientific Statement From the American Heart
Association, the American College of Cardiology, and the European
Society of Cardiology. Circulation 2007;116:221633.

22. Shauer A, Gotsman I, Keren A, Zwas DR, Hellman Y, Durst R, et al. Acute
viral myocarditis: current concepts in diagnosis and treatment. Isr Med
Assoc J 2013;15:1805.

23. Jeserich M, Konstantinides S, Pavlik G, Bode C, Geibel A. Non-invasive


imaging in the diagnosis of acute viral myocarditis. Clin Res Cardiol
2009;98:75363.

24. Ertay T, Sencan Eren M, Karaman M, Oktay G, Durak H. 18F-FDG-


PET/CT in Initiation and Progression of Inflammation and Infection.
Malecular Imaging and Radionuclide Therapy 2017;26:4752.

25. Lancellotti P, Habib G, Oury C, Nchimi A. Positron Emission


Tomography/Computed Tomography Imaging in Device Infective
Endocarditis. Circulation 2015;132:107680.

26. Ozawa K, Funabashi N, Daimon M, Takaoka H, Takano H, Uehara M, et

36
al. Determination of optimum periods between onset of suspected acute
myocarditis and F-fluorodeoxyglucose positron emission tomography in
the diagnosis of inflammatory left ventricular myocardium. Int J Cardiol
2013;169:196200.

27. Maya Y, Werner RA, Schtz C, Wakabayashi H, Samnick S, Lapa C, et al.


11C-Methionine PET of Myocardial Inflammation in a Rat Model of
Experimental Autoimmune Myocarditis. J Nucl Med 2016;57:198590.

37

Anda mungkin juga menyukai