Anda di halaman 1dari 14

BaB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis
neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku
(rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari korban manusia yang terkena tetanus dan juga
melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu
tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia
menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis
pernapasan. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk
ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).
Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani
yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah begitu juga di
Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah
dengan pemberian imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal tersebut tentu saja patut
disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan
untuk mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi komplikasi dan perawatan suportif
yang tepat. Dengan penatalaksanaan yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih
optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : Ny. MR
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Simas Kandang Kp Melayu Kota Bengkulu
Agama : Islam
Nomor RM : 753969
Masuk RS : 05 Oktober 2017

2.2 DATA SUBJEKTIF


2.2.1 Keluhan Utama
Kaku pada tubuh sejak 1 minggu yang lalu.
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kaku pada badan sejak 5 hari yang lalu. Pasien awalnya kesulitan untuk membuka
mulut, kemudian leher menjadi kaku dan sulit digerakkan. Kaku dan nyeri juga dirasakan pada punggung, kedua tangan dan
kaki, pasien tidak bisa berjalan, sulit menggerakkan kaki dan tangannya. Pasien juga mengeluhkan kesulitan untuk berbicara
dan menelan, Pasien merasakan seluruh badannya terasa panas dan tegang, napas terasa sesak dan berkeringat dingin.
Demam (+), mual (+), muntah (-). Beberapa hari sebelumnya pasien mengalami kejang, lamanya 3 menit. Kejang berupa
kaku diseluruh tubuh, kejang dialami tiba-tiba tanpa adanya rangsangan. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pasien mengaku 2 minggu sebelumnya mengalami luka pada telapak kaki kanannya akibat terkena duri dari pohon
salak yang dipetiknya. Pasien membersihkan sendiri lukanya dan tidak berobat kemanapun. Sebelumnya pasien tidak pernah
mendapat imunisasi tetanus.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium (05 Oktober 2017)
Hemoglobin : 11,3 g/dL
Hematokrit : 34 %
Leukosit : 12.800 sel/mm3
Trombosit : 368.000 sel/mm3
Ureum : 24 mg/dL

1
Kreatinin : 1,2 mg/dL
Natrium : 144 mmol/L
Kalium : 4,3 mmol/L
Clorida : 100 mmol/L
Gula darah sewaktu: 145 g/dL

2.5 RESUME
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa seorang wanita, 45 tahun, datang dengan kaku pada badan sejak 5 hari yang lalu.
Pasien kesulitan untuk membuka mulut, leher kaku dan sulit digerakkan. Kaku dan nyeri juga dirasakan pada punggung, kedua
tangan dan kaki, sulit menelan (+), napas terasa sesak dan berkeringat dingin. Demam (+), mual (+), muntah (-). Beberapa hari
sebelumnya pasien mengalami kejang, lamanya 3 menit. Kejang dialami tiba-tiba berupa kaku diseluruh tubuh. Pasien mengaku 2
minggu sebelumnya mengalami luka pada telapak kaki kanannya akibat terkena duri dari pohon salak yang dipetiknya. Pasien
membersihkan sendiri lukanya. Sebelumnya pasien tidak pernah mendapat imunisasi tetanus.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital yaitu kesadaran Compos mentis, TD 130/80 mmHg, nadi 92 kali/menit,
frekuensi napas 22 kali/menit, temperatur 37,5C. Didapatkan adanya kaku pada leher, trismus (+), spasme otot abdomen,
ekstremitas spastik dan tonus otot meningkat. Terdapat vulnus laseratum a/r plantar pedis dextra, ukuran 1,5 x 0,3 cm. Pada
pemeriksaan refleks dijumpai refleks fisiologis dalam batas normal serta tidak dijumpai refleks patologis. Pemeriksaan laboratorium
didapatkan adanya peningkatan leukosit 12.800 sel/mm3.

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Trimus, kaku pada leher, perut, punggung dan ekstremitas e.c tetanus
Diagnosis topis : Neuromuscular junction
Diagnosis etiologis : Clostridium Tetanii
Diagnosis banding : Meningitis, ensefalitis, epilepsy

2.7 TATALAKSANA
1. Medikamentosa :
- Oksigen 3 Lpm
- Infus RL 20 tpm
- Tetagam 1x3000 IU (im)
- Inj. metronidazol 3x500mg (iv)
- Inj. ceftriaxon 2x1 gram (iv)
- Inj. Ranitidin 2x1ampul
- Paracetamol tab 3x500mg (po)
2. Non-Medikamentosa :
- Rawat diruang Isolasi
- Debridement luka
- Pasang DC dan NGT
2.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Tetanus
3.1.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai
dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang- kejang otot rangka.1
3.1.2 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani adalah organisme bersifat obligat anaerob dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick, gram positif, bergerak, yang berhabitat ditanah, debu, dan saluran pencernaan
berbagai binatang, kadang feces manusia.2
Spora yang dibentuk oleh Clostridium tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Ia dapat tahan walaupun
telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Ketika bakteri tersebut berada
di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian
sistem saraf). Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya. Clostridium tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu
tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari

2
sel-sel darah merah, hal ini mengakibatkan tetanolysin tidak secara langsung menimbulkan tetanus, dengan menambah
optimal kondisi local untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim
proteolitik, bersifat toksik terhadap sel saraf.2

3.1.3. Patogenesis
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus;
pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren,
luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika
organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan
menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab
terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.
Tetanus disebabkan oleh neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan
mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi).
Pada keadaan lingkungan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah
dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak,
sebelum mencapai otak penderita umumnya meninggal akibat gagal nafas. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin
pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu
anterior sumsum tulang belakang. Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat
tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi
terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan
gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin,
menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat
masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke medulla spinalis terjadi kekakuan yang berat,
pada ektremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Apabila toksin mencapai korteks serebri, maka pasien
akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum
kejang otot agonis dan antagonis. neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari sistem saraf
kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher. Tetanospasmin pada sistem saraf
otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan
penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang jarang terjadi karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat,
dengan cara :
Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan GABA dari terminal nerve di otot.
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari reflex synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang
mempersarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap
toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya
kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas. Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin,
yaitu: (1) Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke kornu anterior medulla
spinalis, (2) Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam medulla
spinalis.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang
geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah.
Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan angka kematian sangatlah tinggi.3,4

3.1.4. Manifestasi Klinis


Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa
timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal

3
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi
kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah
kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.
Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah
menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan
yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali
pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus,
kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan
respirasi.
a. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan
b. Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan
peningkatan aktivitas sistem otonomi
c. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi
atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis,
hipovolemia atau penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
.
3.1.5. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian besar penderita mempunyai
riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang tidak diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
a. Anamnesis
- Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat
menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi.
- Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL.
b. Pemeriksaan fisik
- Adanya kekakuan lokal atau trismus.
- Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.
- Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit
c. Pemeriksaan Penunjang
- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani
sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml).

4
3.1.6. Diagnosis banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus, risus sardonikus.
Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang
pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan abses
peritonsilar. Biasanya asimetris.5,6,7
3.1.7. Penatalaksanaan
a. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan
memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.7
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi
jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H2O2, dalam hal ini penatalaksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila
ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

a. Obat-obatan
1. Antibiotika :
- Metronidazole 500 mg/ 8 jam drips i.v
- Ampisilin dengan dosis 1 gr/8jam i.v (tes kulit sebelumnya).
Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan:
Eritromisin 500 mg/6 jam/oral atau
Tetrasiklin 500mg/6 jam/oral.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila
dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.

2. Antitoksin
- Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000 IU/hari/i.m selama 3-5 hari (tes kulit sebelumnya).
- Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) dengan dosis 500-3000 IU/i.m tergantung beratnya penyakit. Diberikan
single dose secara intramuscular, tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti
complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.

3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada
sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan
sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
tabel 1. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka.
Imunisasi sebelumnya Luka bersih Luka Kotor
Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada / tidak pasti Ya* Tidak Ya* Ya
1x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
2x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
3x DT atau DTP Tidak+ Tidak Tidak++ Tidak

Keterangan :
* = seri imunisasinya harus dilengkapi
+ = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu
++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalui intramuscular (ATS 1500 U/ immunoglobulin 250U)

5
4. Antikonvulsan
Pemberian antikonvulsan bertujuan untuk mengontol spasme dan rigiditas. Adapun jenis obat yang dapat digunakan
tertera dalam tabel.
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM) Stupor, Koma
Meprobamat 300 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan

Obat yang lazim digunakan ialah :


Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan
dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde
lambung) dengan dosis 0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali. Diazepam diberikan karena memiliki margin of safety yang
cukup baik, onset ketja obat ini cukup cepat, kumulasi cukup tinggi dalam 72 jam. Dosis maksimal diazepam
240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis
diazepam dapat ditingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Dapat
pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, bila ada gangguan saraf otonom.
Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi
dalam 3 dosis. Fenotiazin bekerja dengan cara meningkatkan aktivitas neurotransmitter GABA begitu juga dengan
phenotiazine dan klopromazine.
Largactil. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.

3.1.8. Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga
10-30% dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus.
Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa
inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka
dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi
prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis
buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka
kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus

BAB V
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini didapatkan diagnosis Tetanus. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa seorang wanita, 45 tahun, datang
dengan kaku pada badan sejak 5 hari yang lalu. Pasien kesulitan untuk membuka mulut, leher kaku dan sulit digerakkan. Kaku dan
nyeri juga dirasakan pada punggung, kedua tangan dan kaki, sulit menelan (+), napas terasa sesak dan berkeringat dingin. (-).
Beberapa hari sebelumnya pasien mengalami kejang dialami tiba-tiba berupa kaku diseluruh tubuh. Pasien mengaku 2 minggu
sebelumnya mengalami luka pada telapak kaki kanannya akibat terkena duri dari pohon salak yang dipetiknya. Pasien
membersihkan sendiri lukanya. Sebelumnya pasien tidak pernah mendapat imunisasi tetanus.
Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf
autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke
dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap
susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang
tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron,
yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap
tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris.
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan
memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Pada pasien ini terapi medikamentosa yang diberikan berupa terapi cairan, anti toxin,
dan antibiotik berfungsi untuk mencegah kekakuan lebih lanjut dan penyebaran infeksi yang luas.

6
Langkah Diagnosis
Anamnesis
Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat
menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi.
Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.

Pemeriksaan fisik
Adanya kekakuan lokal atau trismus.
Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.
Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani
dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien
tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang
positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan
dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa system scoring tetanus
dapat digunakan, diantaranya adalah skor Philips, Dakar, Ablett, dan Udwada. System scoring tetanus juga sekaligus
bertindak sebagai penentu prognosis.
Tabel 1. Skor Phillips untuk menentukan derajat Tetanus
Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
>14 hari 1
Internal dan umbilical 5
Leher, kepala dan dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1
Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonates) 8
Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Factor Pemberat Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1
Sumber : Farrar, el al, 2000
System scoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada empat parameter, yaitu masa
inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan factor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan
interpretasikan sebagai berikut:
1. Skor < 9 : tetanus ringan

7
2. Skor 9-16 : tetanus sedang
3. Skor > 16 : tetanus berat
Table 2. Sistem scoring Tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga
sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia
ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit.
Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat
yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan
takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia,
salah satunya dapat menjadi persisten.
Sumber: Cottle, 2011
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut beberapa literatur merupakan sistem
skoring yang paling sering digunakan Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan
dikenal sebagai skor Udwadia.
Table 3. Sistem scoring Tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga
sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia
ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit, keringat
berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat
yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (>
160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90
mmHg), atau hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.
Sumber: Udwadia 1992
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal
sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama.
Table 4. Sistem scoring Dakar untuk Tetanus
Factor prognostic Skor 1 Skor 0
Masa inkubasi < 7 hari 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari 2 hari
Tempat masuk Umbilicus, luka bakar, uterus, Penyebab lain dan penyebab
fraktur terbuka, luka operasi, yang tidak diketahui
injeksi intramuscular.
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38, 4 C < 38,4 C
Takikardi Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit
Neonates > 150 kali/menit Neonates < 150 kali/menit
Sumber: Ogunrin 2003
Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:
Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%

8
Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

Komplikasi
Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya
asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga
sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal
emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer
dan rangsangan miokardium.

Pada tulang dan otot


Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.Pada tulang dapat terjadi
fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa
peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
Komplikasi yang lain :
Laserasi lidah akibat kejang
Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
.Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas
Dan mengganggu pusat pengatur suhu.Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi yaitu :
bronkopneumonia,cardiac arrest, septicemia dan pneumothoraks. (14)
Pencegahan

Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih tingginya angka kematian (30 60%),
tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus.
Ada dua pencegahan tetanus, yaitu perawatan luka dan imunisasi aktif serta pasif.Imunisasi aktif didapat dari
penyuntikan toksoid tetanus untuk merangsang tubuh membentuk antibody. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak
dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau
antitoksin homolog (immunoglobulin antitetanus). Berdasarkan riwayat imunisasi dan jenis luka, baru ditentukan
pemberian antitetanus serum atau toksoid. Ada keraguan dalam memberikan serum antitetanus bersamaan dengan
toksoid karena ditakutkan terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini dapat dihindari dengan memberikannya secara
terpisah pada tempat penyuntikan yang berjauhan, misalnya lengan kanan dan paha kiri. (4

Prognosis

Prognostic scoring systems in tetanus: Dakar score


Dakar score
Prognostic factor Score 1 Score 0
Incubation 7 days or
period <7 days unknown
Period of
onset <2 days 2 days
Umbilicus, burn, uterine, open
fracture, surgical wound, All others plus
Entry site intramuscular injection unknown
Spasms Present Absent

9
Dakar score
Prognostic factor Score 1 Score 0
Fever >38.4C <38.4C
Adult>120 Adult<120
beats/min beats/min
Neonate>150 Neonate<150
Tachycardia beats/min beats/min
Total score

Table 2
Prognostic scoring systems in tetanus: Phillips score
Factor Score
Incubation time:
<48 hours 5
25 days 4
510 days 3
1014 days 2
>14 days 1
Site of infection:
Internal and umbilical 5
Head, neck, and body wall 4
Peripheral proximal 3
Peripheral distal 2
Unknown 1
State of protection:
None 10
Possibly some or maternal immunisation in neonatal patients 8
Protected >10 years ago 4
Protected <10 years ago 2
Complete protection 0
Complicating factors:
Injury or life threatening illness 10
Severe injury or illness not immediately life threatening 8
Injury or non-life threatening illness 4
Minor injury or illness 2
ASA Grade 1 0
Total score

10
Prognosis pasien berdasarkan kriteria philip :
KRITERIA SCORE
Pasien mengaku terkena paku sejak 2 2
minggu yang lalu
Letak luka pada kaki kiri 2
Kemungkinan mendapat imunisasi saat 8
lahir

Apabila score < 9 = Rawat Jalan atau rawat inap


Apabila score 10 - 16 = Rawat Inap
Apabila score > 17 = ICU
Berdasarkan skor diatas, pasien memang seharusnya dirawat di rumah sakit. Pada dasarnya, prognosis pada tetanus
didasarkan pada masa inkubasi, letak infeksi, dan ada atau tidaknya komplikasi yang diakibatkan oelh infeksi tetanus itu
sendiri.

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :

Grade I: ringan Grade II: sedang Grade III: berat

Masa inkubasi lebih dari 14 Masa inkubasi 10-14 hari Masa inkubasi < 10 hari
hari. Period of onset 3 hari atau Period of onset < 3 hari
Period of onset > 6 hari kurang Trismus dan disfagia berat
Trismus positif tapi tidak Trismus dan disfagi ada Kekakuan umum dan
berat Kekakuan umum terjadi gangguan pernapasan
Sukar makan dan minum dalam beberapa hari tetapi asfiksia, ketakutan, keringat
tetapi disfagi tidak ada dispnoe dan sianosis tidak banyak dan takikardia.
Lokalisasi kekakuan dekat ada
dengan luka berupa spasme
disekitar luka dan kekakuan
umum terjadi beberapa jam
atau hari.

Mekanisme Impuls Saraf


Impuls dapat dihantarkan melalui beberapa cara, di antaranya melalui sel saraf dan sinapsis. Berikut ini akan dibahas secara rinci kedua
cara tersebut.
1. Penghantaran Impuls Melalui Sel Saraf
Penghantaran impuls baik yang berupa rangsangan ataupun tanggapan melalui
serabut saraf (akson) dapat terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik antara
bagian luar dan bagian dalam sel. Pada waktu sel saraf beristirahat, kutub positif
terdapat di bagian luar dan kutub negatif terdapat di bagian dalam sel saraf.
Diperkirakan bahwa rangsangan (stimulus) pada indra menyebabkan terjadinya
pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat. Perubahan potensial ini (depolarisasi) terjadi berurutan sepanjang serabut saraf.
Kecepatan perjalanan gelombang perbedaan potensial bervariasi antara 1 sampai dengan 120 m per detik, tergantung pada diameter
akson dan ada atau tidaknya selubung mielin.
Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut saraf tidak dapat dilalui
oleh impuls, karena terjadi perubahan potensial kembali seperti semula (potensial
istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali diperlukan waktu 1/500 sampai 1/1000 detik. Energi yang digunakan berasal dari hasil
pernapasan sel yang dilakukan oleh mitokondria dalam sel saraf.
Stimulasi yang kurang kuat atau di bawah ambang (threshold) tidak akan menghasilkan impuls yang dapat merubah potensial
listrik. Tetapi bila kekuatannya di atas ambang maka impuls akan dihantarkan sampai ke ujung akson. Stimulasi yang kuat dapat
menimbulkan jumlah impuls yang lebih besar pada periode waktu tertentu daripada impuls yang lemah.

11
2. Penghantaran Impuls Melalui Sinapsis

Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain
dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan sinapsis.
Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan membran kecil berisi neurotransmitter; yang disebut vesikula
sinapsis. Neuron yang berakhir pada tonjolan sinapsis disebut neuron pra-sinapsis. Membran ujung dendrit dari sel berikutnya yang
membentuk sinapsis disebut post-sinapsis. Bila impuls sampai pada ujung neuron, maka vesikula bergerak dan melebur dengan membran
pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan melepaskan neurotransmitter berupa asetilkolin.
Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan impuls dari neuron pra-sinapsis ke post-sinapsis.
Neurontransmitter ada bermacam-macam misalnya dopamin, norepinefrin, serotonin, asam gama-aminobutirat (GABA), glisin dan
asetilkolin yang terdapat di seluruh tubuh, noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin serta serotonin yang terdapat di
otak.
Asetilkolin kemudian berdifusi melewati celah sinapsis dan menempel pada reseptor yang terdapat pada membran post-sinapsis.
Penempelan asetilkolin pada reseptor menimbulkan impuls pada sel saraf berikutnya. Bila asetilkolin sudah melaksanakan
tugasnya maka akan diuraikan oleh enzim asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh membran post-sinapsis.

Mekanisme Timbulnya Kontraksi Otot

Timbulnya kontraksi pada otot rangka dimulai dengan potensial aksi dalam serabut-
serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam
serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion-ion kalsium dari retikulum endoplasma.
Selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa-peristiwa kimia proses kontraksi.
Dalam fungsi tubuh normal, serabut-serabut otot rangka dirangsang oleh serabut serabut saraf besar bermielin. Serabut-serabut saraf
ini melekat pada serabut-serabut otot rangka dalam hubungan saraf otot (neuromuscular junction) yang terletak di pertengahan otot.
Ketika potensial aksi sampai pada neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf, menyebabkan dilepaskan
Acethylcholin, kemudian akan terikat pada motor end plate membran menyebabkan terjadinya pelepasan ion kalsium yang
menyebabkan terjadinya ikatan Actin-Miosin yang akhirnya menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari
tengah serabut ke arah kedua ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh sarkomer otot.
Gerak dapat dilakukan secara sadar (gerak biasa) dan secara tidak sadar (gerak
reflek). Perbedaan dari kedua macam gerak tersebut adalah berkaitan dengan jalannya
impuls saraf yang melewati sistem saraf pusat, yaitu jika impuls melewati otak maka gerak yang dilakukan sebagai hasil respon dari
otak dinamakan gerak sadar, sedangkan jika impuls tidak melewati otak tetapi sumsum tulang belakang, maka gerak yang
dihasilkan sebagai respon dari sumsum tulang belakang dinamakan gerak reflek.

Mekanisme gerak biasa (gerak sadar)


Rangsangan saraf sensorik otak saraf motorik gerak otot
Mekanisme gerak reflek (gerak tidak sadar)
Rangsangan saraf sensorik pusat integrasi di sumsum tulang

12
Belakang saraf motorik gerak otot

Langkah langkah penggabungan eksitasi, kontraksi dan relaksasi

1. Asetil kolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali potensial aksi di
sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran aktivitas listrik permukaan
2. Aktivitas listrik permukaan dibawa ke bagian tengah (sentral) serat otot oleh tubulus T
3. Penyebaran potensial aksi ke tubulus T mencetuskan pelepasan simpanan Ca dari kantung
kantung lateral retikulum sarkoplasma di dekat tubulus
4. Ca yang dilepaskan berikatan dengan troponin dan mengubah bentuknya sehingga kompleks
troponin tropomiosin secara fisik tergeser ke samping, membuka tempat pengikatan jemabatan silang aktin.
5. Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang myosin, yang
sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi ADP + P + energy oleh ATP ase di jembatan silang.
6. Pengikatan aktin dan myosin di jembatan silang menyebabkan jembatan silang menekuk, menghasilkan suatu gerakan mengayun
kuat yang menarik filament tipis ke arah dalam. Pergeseran kea rah dalam dari semua filamen tipis yang mengelilingi filament
tebal memperpendek sarkomer (kontraksi otot)
1. Selama gerakan mengayun yang kuat tersebut, ADP dan P dibebaskan di jembatan silang.
2. Perlekatan sebuah molekul ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang, yang mengembalikan bentuknya ke konfirmasi
semula.
7. Penguraian molekul ATP yang baru oleh ATP ase myosin kembali memberikan energy sebagai jembatan silang
8. Apabila Ca masih ada sehingga kompleks troponin tropomiosin tetap bergeser ke samping, jembatan silang kembali menjalani
siklus pengikatan dan penekukan, menarik filament tipis selanjutnya.
9. Apabila tidak lagi terdapat potensial aksi local dan Ca secara aktif telah kembali ke tempat penyimpanannya di kantung lateral
reticulum sarkoplasma, kompleks troponin tropomiosin bergeser kembali ke posisinya menutupi tempat pengikatan jembatan
silang aktin, sehingga aktin dan myosin tidak lagi berikatan di jembatan silang, dan filament tipis bergeser kembali ke posisi
istirahat seiring dengan terjadinya proses relaksasi. (8,9)

1.6 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:

1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua
jenis toksoid tetanus yang tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular
sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.

Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat
imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT (tetanus
toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi
terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. [10]Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali
hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis:

- Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu


- Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama.
- Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan seperti 35, 45 dan seterusnya.

2. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan
spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda
asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan
yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting
diperhatikan hal-hal berikut ini :

13
- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat
Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat
lembab

14

Anda mungkin juga menyukai