CAROLINA
NIM : 167103012
Menyetujui
Komisi Pembimbing
PERNYATAAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dijadikan
Carolina
ii
iii
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang merupakan salah satu tugas
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan
masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.
yang telah meluangkan waktu dan ilmunya untuk membimbing saya dalam
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan dr. Selvi Nafianti,
3. Dr. dr. Bintang Y.M. Sinaga, M.Ked(Paru), Sp. P(K), dr. Supriatmo, M.Ked(Ped),
Sp.A(K), dr. Karina Sugih Arto, M.Ked(Ped), Sp.A(K) yang telah menguji,
iv
memberikan koreksi, saran dan perbaikan pada penulis dalam penyelesaian tesis
ini.
4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara
dan Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara.
ini.
6. Teman-teman PPDS Ilmu Kesehatan Anak atas bantuan selama penelitian ini
7. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
Kepada yang sangat penulis cintai dan hormati, almarhum ayahanda Ede Utoyo,
ibunda Elvira Tjandra dan kakak Conny Utoyo, terima kasih tak terhingga penulis
ucapkan atas doa serta dukungannya yang tidak pernah putus. Demikian juga untuk
suami Andry, terima kasih atas doa serta dukungannya secara penuh dan ikhlas, ananda
Kezia Natalia dan Karen Margaretha yang saya cintai. dan yang telah berkorban
sehingga kehilangan waktu dan kebersamaan dalam fase tumbuh kembang kalian.
Carolina
vi
DAFTAR ISI
Lanjutan................................................................................................ 42
4.4. Hubungan antara Kadar Zinc Serum dengan Status Gizi Anak pada
Masa Terapi OAT Fase Intensif dan Lanjutan ..................................... 43
BAB 5. PEMBAHASAN ........................................................................................ 46
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 53
6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 54
6.2. Saran..................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 56
LAMPIRAN ............................................................................................................ 59
1. Personil Penelitian .................................................................................. 59
2. Biaya Penelitian ...................................................................................... 59
3. Jadwal Penelitian .................................................................................... 60
4. Penjelasan dan Persetujuan kepada Orang Tua ...................................... 61
5. Formulir Penelitian ................................................................................. 66
6. Persetujuan Komisi Etik ......................................................................... 70
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
MT : metallothionein
NK : sel natural killer
OAT : obat anti tuberkulosis
PB : panjang badan
PCR : polymerase chain reaction
PPD RT 23 : purified protein derivative RT 23
RIF (R) : rifampisin
RNA : ribonucleic acid
RS : rumah sakit
RSUP : rumah sakit umum pusat
SD : standar deviasi
SDGs : sustainable development goals
SPSS : statistical package for the social sciences
TB : tuberkulosis
TCD : sel T cluster of differentiation
Th : sel T helper
TNF : tumor necrosis factor
WHO : world health organization
Z : pirazinamid
ZIP : zinc transporter Xrt- and Irt-like protein
Background: Zinc deficiency (serum zinc levels of ≤65 µg/dl) leads to increase
susceptibility to infection and known to impair cellular mediated immunity which
plays an important role in tuberculosis.
Objective: To evaluate the serum zinc levels and nutritional status of the tuberculous
children on the intensive and continuation phase of tuberculosis treatment.
Results: The mean serum zinc levels in children with pulmonary tuberculosis (n=21)
was 59.2±15.0 µg/dl, lymphadenitis tuberculosis (n=3) was 59.0±10.4 µg/dl, and
meningitis tuberculosis (n=5) was 53.2±18.3 µg/dl on the intensive phase of
tuberculosis treatment. Serum zinc levels measured on the intensive and continuation
phase were 58.1±14.9 µg/dl and 68.9±16.4 µg/dl, respectively, and significant rise in
serum zinc levels was noted (mean increment of serum zinc levels=10.8 µg/dl;
P<0.001). Despite of significant rise in serum zinc levels, the proportion of
tuberculous children with zinc deficiency state remained high (51.7%). The
proportion of tuberculous children with malnutrition was decreased from 82.8% to
55.2%. There was no association between serum zinc levels and nutritional status in
the sample population.
Conclusion: Increase of serum zinc levels is demonstrated along the phase of anti-
tuberculosis treatment, nevertheless the proportion of tuberculous children with zinc
deficiency state remains high. Further studies regarding zinc supplementation in
childhood tuberculosis are warranted.
BAB 1. PENDAHULUAN
melalui Sustainable Development Goals (SDGs) yang mengacu pada tujuan ketiga,
yakni “Ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages”, dengan salah
Pada tahun 2015, sebanyak 710.000 orang meninggal akibat TB dan terdapat
10.4 juta kasus baru TB di seluruh dunia, di mana 10% kasus adalah populasi anak. 2
Proporsi kasus TB anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2015
mencapai 9%. Proporsi tersebut bervariasi antara 1,2% sampai 17,3% antar propinsi.
Variasi ini menunjukkan endemisitas yang berbeda antar propinsi, namun dapat juga
pada anak terjadi akibat kontak dengan penderita TB dewasa. Diagnosis TB pada
dewasa mudah ditegakkan, yakni dari pemeriksaan sputum basil tahan asam (BTA)
yang positif. Pada anak yang rentan, bila terpajan oleh penderita TB dewasa yang
infeksius akan menjadi terinfeksi TB dan setelah beberapa lama kemudian baru
Tata laksana medikamentosa pada TB anak terdiri atas terapi dan profilaksis.
Obat yang digunakan pada terapi TB anak adalah obat anti TB (OAT) dengan lama
diferensiasi dan pertumbuhan sel. Sistem organ yang sel-selnya aktif berproliferasi,
seperti sistem imunitas dan sistem pencernaan, sensitif terhadap keadaan defisiensi
zinc. Defisiensi zinc merupakan salah satu penyebab gangguan sistem imunitas,
terutama imunitas selular yang menjadi respons imunitas utama pada infeksi TB.5,6
Keadaan defisiensi zinc dalam darah pada pasien TB anak bersifat multifaktorial.
Pertama, pada infeksi TB juga terjadi redistribusi zinc masuk ke hati untuk sintesis
reaktan fase akut, sehingga kadar zinc dalam serum menurun. Kedua, zinc dapat
sering terjadi pada penderita TB anak, namun baru sedikit yang diketahui mengenai
status mikronutrien seperti zinc pada penderita TB anak. Kadar yang rendah dari
Beberapa penelitian menunjukkan kadar zinc serum yang lebih rendah pada
Penelitian mengenai kadar serum zinc pada populasi pasien TB dewasa telah
banyak dilakukan, namun penelitian serupa pada populasi TB anak masih sedikit.
Apakah terdapat perbedaan kadar zinc serum dan status gizi pada terapi fase
1.3. Hipotesis
Terdapat perbedaan kadar zinc serum dan status gizi pada terapi fase intensif
1.4.1. Tujuan umum : mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar zinc serum dan
3. Membandingkan hasil kadar zinc serum pada terapi fase intensif dan lanjutan
TB anak.
6. Mengetahui hubungan antara kadar zinc serum dengan status gizi anak dengan
respirologi, khususnya hubungan antara kadar zinc serum dengan fase terapi
TB pada anak dan hubungan antara kadar zinc serum dengan status gizi (gizi
dalam menilai korelasi antara kadar zinc serum dengan fase terapi TB anak
yang dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya mengenai peran
mikronutrien pada umumnya dan zinc pada khususnya dalam infeksi TB.
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Imunopatogenesis
tuberculosis. Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman
TB dalam percik renik yang ukurannya sangat kecil (<5µm) akan terhirup, mencapai
sakit, namun menjadi infeksi TB laten (latent tuberculosis infection, LTBI). Anak
dengan infeksi laten TB memiliki uji tuberkulin positif namun tidak terdapat bukti
klinis dan radiografi dari penyakit TB. Diduga bahwa anak tersebut terinfeksi dengan
sejumlah kecil kuman TB yang dorman dan tidak menyebabkan manifestasi klinis
beberapa hari pertama paska infeksi, diawali dengan pelepasan radikal oksigen dan
imunitas non spesifik akan mampu memberantas kuman, namun pada sebagian besar
berkembang biak dalam makrofag. Makrofag yang teraktivasi oleh kuman TB akan
melepaskan kemokin (CCL-2, CCL-3, dan CCL-5) dan sitokin (IL-1, IL-6, IL-10, IL-
12, IL-15, IL-18, dan TNF-α). Tugas dari kemokin dan TNF-α merekruit sel T, di
mana kuman yang telah difagositosis dipresentasikan sebagai antigen kepada sel T. 4,6
Selanjutnya sel T akan teraktivasi membentuk sel TCD4+ dan sel TCD8+ yang
menginisiasi respons imun adaptif. Sel TCD4+ kemudian teraktivasi menjadi sel Th1,
yang bersama sitokin IL-2 dan IL-18 membantu makrofag membunuh kuman TB. Sel
TCD8+ berperan sebagai sel efektor sitotoksik yang akhirnya menyebabkan apoptosis
kuman TB juga terjadi pada anak yang terinfeksi kuman TB. Namun perannya pada
Terkait lesi di paru-paru, makrofag yang telah terinfeksi kuman TB akan lisis
dan membentuk lesi, dinamakan fokus primer Ghon. Selanjutnya kuman TB akan
masa inkubasi.4
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi atau nekrosis perkijuan dan membentuk fibrosis serta kalsifikasi. Selama
masa inkubasi, sebelum respons imun yang optimal dihasilkan, dapat terjadi
menyebar ke organ tubuh lain.4,15 Secara singkat, patogenesis TB dapat dilihat pada
Gambar 2.1.4
Transmisi dari kuman TB terjadi secara air-borne melalui inhalasi dari droplet
mukus, ketika individu dengan TB paru atau TB laring batuk, bersin, berbicara,
dibagi menjadi faktor risiko infeksi TB dan faktor risiko progresi infeksi menjadi
daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat, dan tempat penampungan
umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien
TB dewasa. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Transmisi paling sering
terjadi antara penderita TB dewasa dengan anak yang berada dalam satu rumah. 4,15
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
endobronkial pasien anak. Terdapat beberapa hal yang dapat menjelaskan keadaan
tersebut. Pertama, jumlah kuman pada pasien TB anak pada umumnya sedikit
(pausibasiler), namun karena imunitas anak masih lemah, jumlah kuman yang sedikit
tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang
yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Beberapa faktor risiko sakit TB adalah usia, di mana anak berusia <5 tahun
mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena
progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun pertama setelah infeksi,
terutama selama 6 bulan pertama. Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang
ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin menjadi positif dalam satu tahun
imunosupresi). Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah status
2.1.3. Diagnosis
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, pejamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman,
sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi imun serta
kerentanan pejamu pada awal terjadi infeksi. Manifestasi klinis umum pada TB anak
adalah demam lama (≥2 minggu) tanpa sebab yang jelas, nafsu makan tidak ada
dengan gagal tumbuh, berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam
1 bulan dengan penanganan gizi yang adekuat, batuk lama >3 minggu, malaise, diare
persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare. Manifestasi klinis
spesifik lokal bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan
Pemeriksaan penunjang pada TB anak antara lain uji tuberkulin, uji interferon
terutama dengan pasien TB dewasa aktif, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji
tuberkulin, dan gambaran sugestif TB pada foto toraks. Diagnosis pasti ditegakkan
polymerase chain reaction (PCR). Analisis kritis perlu dilakukan terhadap sebanyak
Tata laksana TB pada anak merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara
Selain itu, penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan
Terapi obat anti TB (OAT) diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis
diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB (profilaksis primer) atau
terjadinya transmisi dan resistensi obat, mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan
toksisitas seminimal mungkin, mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan
datang. Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah OAT diberikan
dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, pengobatan diberikan
setiap hari, pemberian gizi yang adekuat, mencari penyakit penyerta, jika ada
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya sebagai fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler), sehingga
rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada
anak dengan BTA positif, TB berat, dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak
pirazinamid pada fase intensif, diikuti INH dan rifampisin pada fase lanjutan. Dosis
OAT untuk anak dan panduan lama pengobatan OAT dapat dilihat pada Tabel 2.1
2.2. Zinc
Zinc merupakan mineral penting yang terdapat pada setiap sel tubuh, berperan dalam
pembelahan, diferensiasi dan pertumbuhan sel. Sistem organ yang sel-selnya terus
berproliferasi, seperti sistem imun dan sistem pencernaan, sensitif terhadap defisiensi
zinc.5 Zinc berperan sebagai komponen dari 200-300 enzim,16 replikasi DNA,
transkripsi RNA, transduksi sinyal, katalisis enzimatik, regulasi reduksi dan oksidasi,
proliferasi sel, diferensiasi sel, dan apoptosis.17 Absorpsi zinc terjadi di sepanjang
usus halus, kemudian difasilitasi oleh transporter zinc, dan selanjutnya disimpan
Asam fitat menurunkan solubilitas zinc pada usus dan mengganggu absorpsi.
Asam fitat terdapat pada leguminosa dan sereal, makanan yang sering dikonsumsi
pada negara berkembang. Sebaliknya, bahan makanan produk hewani yang kaya akan
zinc (kerang, daging, unggas, telur, ikan), mengandung asam amino yang dapat
(Tabel 2.4).18
Tabel 2.4. Rekomendasi masukan zinc harian (mg) pada berbagai kelompok usia18
anak, dan remaja). Zinc diekskresikan di feses dan urin. Sejumlah besar zinc hilang
pada diare.5,16
Kadar zinc serum merupakan penanda biologis terbaik risiko defisiensi zinc pada
populasi. Kadar zinc serum merefleksikan masukan diet zinc.5,16 Kadar zinc serum
normal untuk populasi anak adalah 70-150 µg/dL (10.7-22.9 µmol/L).16 International
Zinc Nutrition Consultative Group (IZiNCG) menganalisis data kadar zinc serum dari
National Health and Nutrition Examination Survey II pada tahun 2007, melibatkan
populasi anak usia 2-10 tahun dengan merekomendasikan nilai cut-off untuk
defisiensi zinc sebesar 65 µg/dL (9.9 µmol/L). Risiko dari defisiensi zinc menjadi
populasi.19
zinc serum merefleksikan tingkat keparahan dari infeksi dan dapat diobservasi awal
masa sakit, bahkan sebelum tanda dari infeksi, seperti demam muncul. 5
Pengaruh defisiensi zinc terhadap sistem imun non spesifik adalah penurunan
fungsi makrofag, dapat terjadi ledakan oksidatif (oxidative burst) dari granulosit
Zinc merupakan kofaktor esensial bagi hormon thymulin yang dihasilkan oleh
kelenjar timus, berfungsi untuk maturasi sel pre-T dan pre-B. Zinc berperan penting
pada proses diferensiasi dan fungsi optimal dari sel T (Gambar 2.2)17,18
Gambar 2.2. Pengaruh zinc terhadap generasi dan fungsi sel T17
Defisiensi zinc mengakselerasi apoptosis dari sel pre T dan B pada timus dan
sum-sum tulang. Selanjutnya akan terjadi reduksi limfosit perifer yang menurunkan
ketahanan pejamu. Defisiensi zinc juga dapat menginduksi apoptosis (Gambar 2.3),
memicu terjadinya autofagi (bentuk baru dari apoptosis yang terinduksi oleh
kelaparan dan imbalans nutrien atau metabolik yang menginisiasi formasi dari
autofagosom yang mencerna bagian dari organel dan protein dari sel).20
Sel Th1 pada hakikatnya memproduksi IL-2 dan IFN-γ. IFN-γ akan memicu
destruksi intrasel pada kuman TB yang telah mengalami fagositosis. IL-2 berfungsi
memicu proliferasi dan diferensiasi sel TCD8+ sitotoksik. Pada anak dengan
defisiensi zinc, terdapat penurunan fungsi Th1 yang menyebabkan penurunan IL-2
dan IFN-γ.18 Zinc juga berperan menstimulasi autofosforilasi dari enzim tirosin
kinase melalui interaksi ekor sitoplasmik CD4+ dan CD8+, sehingga terjadi aktivasi
akibat defisiensi zinc. Namun secara umum peran zinc terhadap proliferasi sel B tidak
Secara umum dinyatakan bahwa zinc berperan penting pada sistem imunitas
non spesifik dan spesifik, terutama sistem imunitas selular, serta berfungsi sebagai
anti inflamasi pada infeksi TB. Defisiensi zinc meningkatkan kepekaan terhadap
penyakit TB.6
zinc. Pada respons inflamasi, monosit (M) menghasilkan sitokin pro-inflamasi, yaitu
IL-6, yang selanjutnya memodulasi ekspresi dari transporter zinc (Xrt- dan Irt-like
meregulasi metallothionein (MT), yaitu protein pengikat zinc, sehingga kadar zinc
selular di hepatosit meningkat. Dengan demikian, selama respons fase akut, dapat
terjadi penurunan kadar zinc serum (hipozinsemia) yang disebabkan oleh translokasi
zinc ke hati yang dimediasi oleh ZIP dan kemudian terikat ke MT (Gambar 2.4).17,21
Zinc juga dapat diutilisasi oleh kuman TB untuk pertumbuhan dan multiplikasi.7
Defisiensi zinc umum terjadi pada negara berkembang, biasanya diikuti oleh tingkat
mortalitas anak usia bawah lima tahun (balita) yang tinggi karena penyakit diare,
pneumonia, dan malaria. Penyebab defisiensi zinc pada anak antara lain defisiensi
karena penurunan fisiologis kandungan zinc pada ASI. Air susu ibu semata-mata
tidak menyediakan zinc yang cukup setelah usia 6 bulan, sejalan dengan
makanan pendamping ASI (MPASI), bubur beras atau sereal tidak memiliki
kandungan zinc yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, oleh karenanya penting
untuk memperkenalkan daging sebagai unsur dari MPASI. Penyebab lain defisiensi
zinc adalah diet tinggi fitat, di mana diketahui bahwa fitat menghambat absorpsi
zinc.16
penyakit Crohn’s, dan short bowel syndrome), penyakit hati kronis, penyakit ginjal
kronis, sickle cell disease, diabetes, penggunaan diuretik yang lama, dan anak dengan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. 16,17
Penelitian di Indonesia pada populasi usia 15-55 tahun pada tahun 1998, menyatakan
bahwa status nutrisi pasien dengan TB paru aktif lebih buruk daripada populasi sehat
sebagai kontrol, di mana pasien tersebut secara signifikan memiliki kadar zinc serum
lebih rendah.8
Penelitian di Côte d’lvoire, Afrika Barat pada populasi dewasa pasien multi
drugs resistant (MDR)-TB pada tahun 2015, menyatakan bahwa terdapat penurunan
signifikan dari kadar zinc serum dibandingkan populasi kontrol. Selanjutnya pada
penderita MDR-TB tersebut, kadar zinc serum meningkat secara signifikan pada
bulan ke 3 dan 6 setelah pengobatan, namun masih tetap di bawah nilai normal. 9
Penelitian potong lintang di India pada tahun 2007 pada populasi 20 orang
HIV positif TB, 20 orang HIV negatif TB dan 20 orang sehat anggota keluarga
sebagai kontrol dengan rentang umur 29-52 tahun, menyatakan bahwa dibandingkan
dengan kontrol, kadar zinc serum lebih rendah secara signifikan pada kelompok
pasien TB. Pada kelompok pasien TB, kadar zinc serum secara signifikan lebih
rendah pada pasien dengan koinfeksi HIV daripada yang tidak. Terkait status nutrisi,
melibatkan 208 orang pasien TB paru dengan rentang 18-55 tahun, bertujuan untuk
menentukan hubungan antara kadar zinc dengan vitamin A serum. Pada penelitian
tersebut, dinyatakan bahwa defisiensi zinc dapat secara tidak langsung mempengaruhi
TB dengan 10 anak malnutrisi tanpa TB dan 10 anak sehat sebagai kontrol pada tahun
1998 menunjukkan bahwa anak dengan TB memiliki kadar zinc serum yang secara
kadar zinc serum terendah), tanpa memandang status gizinya. Selanjutnya, terdapat
peningkatan kadar zinc serum yang signifikan pada akhir bulan ke 6 dari masa terapi
OAT. Disimpulkan bahwa kadar zinc serum dapat digunakan sebagai penanda tingkat
paru, 15 anak malnutrisi) dan 15 anak sehat pada tahun 2003 menyatakan bahwa
kadar rerata zinc serum tidak berbeda secara bermakna antar ketiga kelompok.
Analisis data selanjutnya menunjukkan terdapat penurunan kadar zinc setelah 1 bulan
pertama terapi pada kelompok TB paru. Kemudian kadar zinc meningkat secara
signifikan pada bulan ke 4. Pada penelitian ini, kadar zinc serum pada semua anak,
termasuk kelompok kontrol, rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak anak
di Iran yang menderita defisiensi zinc. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa kadar
zinc selama terapi anti TB dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai respons
mengunakan metode potong lintang dengan 30 orang pasien TB anak. Dua puluh
lima dari tiga puluh pasien memiliki kadar zinc serum di bawah nilai normal dengan
rerata 9,0±1,8 µmol/L. Sebelum OAT dimulai, kadar zinc serum lebih rendah
(fagositosis oleh makrofag dan neutrofil serta aktivitas sel NK), respons antibodi dan
Penelitian di India pada tahun 2010 pada populasi dewasa, membagi populasi
yang telah selesai terapi TB, dan kelompok 3 individu sehat) . Kelompok 1
menunjukkan penurunan rerata kadar zinc serum yang signifikan dibanding dengan
kontrol. Rerata kadar zinc serum tidak berbeda signifikan antara kelompok 2 dan 3.
pendekatan baru untuk pemulihan yang lebih cepat pada pasien TB.7
terdiagnosis TB dengan usia 15-54 tahun pada tahun 2012, bertujuan untuk meneliti
respons imun selular (kadar total TCD4+ dan IFN-γ) pada pasien TB dengan
suplementasi zinc, lisin dan vitamin A. Kadar total TCD4+ dan IFN-γ diukur sebelum
dan setelah 2 bulan terapi. Hasilnya, pemberian suplementasi zinc, lisin dan vitamin
A setiap hari selama 2 bulan meningkatkan kadar total TCD4+ dan IFN-γ.23
menentukan proporsi berat badan (BB) menurut panjang badan (PB)/tinggi badan
(TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan adalah grafik World Health
Organization (WHO) tahun 2006 untuk anak berusia <60 bulan dan grafik Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2000 untuk anak berusia ≥60
2.4. Hubungan Status Gizi dengan Kadar Zinc Serum dan TB Anak
Salah satu penyakit infeksi yang sering dikaitkan dengan malnutrisi adalah TB. Salah
satu faktor risiko sakit TB adalah malnutrisi. Pada sistem penilaian (scoring system)
yang disusun oleh Kelompok Kerja TB Anak yang mencakup gejala dan pemeriksaan
badan/keadaan gizi BB/TB <90% atau BB/U<80% memiliki skor 1, sementara klinis
gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U <60% memiliki skor 2.4
Terdapat hubungan yang erat antara status gizi, fungsi imun dan infeksi.
sistem imun. Namun pada pasien TB, sangat sulit untuk menentukan status gizi
menyatakan bahwa pasien dengan TB paru memiliki kadar mikronutrien (zinc, besi
dan vitamin A) yang lebih rendah daripada kontrol. Namun memang belum banyak
yang diketahui mengenai kaitan antara status gizi dan status mikronutrien seperti zinc,
Tuberkulosis
Terapi OAT
Kadar zinc serum
fase intensif
BAB 3. METODOLOGI
Desain penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort prospektif yang menilai
perbedaan kadar zinc serum pada anak dengan TB dalam terapi OAT fase intensif dan
lanjutan.
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik dan RS Universitas Sumatera
Populasi target adalah anak berusia 6 bulan sampai <18 tahun dengan TB dalam
terapi OAT fase intensif. Populasi terjangkau adalah populasi target yang berobat di
RSUP Haji Adam Malik dan RS Universitas Sumatera Utara. Sampel adalah populasi
terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
sampel direkrut berurutan, adapun yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang
dibutuhkan terpenuhi.
Besar sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap
rerata dua populasi berpasangan :26
( )
[ ]
dimana:
n = besar sampel
Sd = simpang baku dari rerata selisih = 20,4 µg/dL – 11,3 µg/dL = 9,1 µg/dL13
( )
[ ]
dengan menggunakan rumus di atas, maka jumlah minimal sampel yang dibutuhkan
kemungkinan adanya drop out sebesar 10%, jumlah sampel minimal tersebut
( )
dimana :
( )
dengan menggunakan rumus di atas, maka jumlah akhir minimal sampel yang
2. Kasus baru (newly diagnosed) TB dalam masa terapi OAT fase intensif yang
Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan
penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan dari penelitian ini. Formulir penjelasan
Penelitian ini dilakukan setelah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas
1. Menelusuri pasien TB anak dalam terapi OAT fase intensif yang berobat di RS
H. Adam Malik dan RS Universitas Sumatera Utara. Anak tersebut kemudian
diikutsertakan dalam penelitian berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
2. Orang tua dan anak diberikan penjelasan dan informed consent yang menyatakan
setuju mengikuti penelitian.
3. Melakukan pencatatan data anak sesuai kuesioner terhadap subjek yang diteliti.
4. Melakukan pemeriksaan antropometri untuk menentukan status gizi dan
melakukan pengambilan darah pertama untuk pemeriksaan kadar zinc serum
yang dilakukan di laboratorium klinik Prodia.
5. Minimal dua bulan dari pengambilan darah yang pertama, melakukan kembali
pemeriksaan antropometri yang kedua untuk menentukan status gizi dan
melakukan pengambilan darah kedua untuk pemeriksaan kembali kadar zinc
serum yang dilakukan di laboratorium klinik Prodia.
6. Data dicatat, dikumpulkan, dan dianalisis secara statistik.
7. Dilakukan penyusunan dan penggandaan laporan hasil penelitian.
Informed consent
Analisis data
tabung trace element serum clot activator adalah 2 hari pada suhu 15-
MS).
c. Alat ukur : alat ukur yang digunakan adalah Agilent 7700 yang telah
terkalibrasi.
2. Berat badan
b. Cara ukur :
keluarga/pasien.
d. Menyalakan timbangan.
timbangan.
keluarga/pasien.
d. Menyalakan timbangan.
timbangan.
c. Alat ukur :
b. Cara ukur :
keluarga/pasien.
keluarga/pasien.
minimal.
c. Alat ukur :
Medical
4. Status gizi
badan.
b. Cara ukur :
c. Alat ukur :
a. Definisi : fase intensif terapi OAT adalah masa 2 bulan pertama terapi
a. Definisi : fase lanjutan terapi OAT adalah masa setelah fase intensif,
Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat
lunak komputer SPSS versi 20.0. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan
karakteristik sampel. Data kategorik disajikan dalam bentuk frekuensi dan persentase.
Data numerik disajikan dalam rerata±standar deviasi jika data terdistribusi normal
atau median (rentang) jika data tidak terdistribusi normal. Analisis bivariat digunakan
untuk menggambarkan perbedaan kadar zinc serum dan status gizi pada anak dalam
masa terapi fase intensif dan lanjutan. Analisis bivariat uji T berpasangan digunakan
apabila data terdistribusi normal dan uji Wilcoxon bila data tidak terdistribusi normal.
Uji T independen digunakan untuk menilai hubungan kadar zinc serum dengan status
gizi anak. Chi square digunakan untuk menilai hubungan perubahan kadar zinc serum
dengan perubahan status gizi anak. Tingkat kemaknaan dan interval kepercayaan
BAB 4. HASIL
Medan sejak bulan April sampai September 2018. Selama kurun waktu penelitian,
antropometri dan kadar zinc serum dilakukan pada masa terapi fase intensif dan
lanjutan. Dua anak drop-out karena anak menolak pengukuran kadar zinc serum yang
kedua dan anak mengalami sakit diare dalam masa penelitian sehingga mendapat
terapi zinc sebagai tatalaksana gastroenteritis akut. Jumlah pasien TB anak yang
2 anak drop-out :
-1 anak menolak pengukuran kedua
-1 anak mendapat terapi zinc
Tertera pada Tabel 4.1, terdapat 29 anak dengan TB pada penelitian ini yang berusia
antara 1 tahun sampai 16 tahun dengan rerata usia 112.2±53.3 bulan, di mana
kelompok usia terbanyak (12 anak) adalah pada kelompok dengan usia >10 tahun.
Jenis kelamin terdiri dari 12 laki-laki (41.4%) dan 17 perempuan (58.6%). Sebagian
besar anak memiliki status gizi kurang, yakni 24 anak (82.7%). Kontak anak dengan
adalah penurunan berat badan (93.1%), demam >2 minggu (86.2%), malaise (73.9%),
dan batuk >2 minggu (72.4%). Gambaran radiologis dada yang dilakukan pada saat
kelenjar getah bening hilus, yang dijumpai pada 16 anak (55.1%). Pemeriksaan
GeneXpert MTB/RIF dilakukan pada 8 anak (27.5%), dengan hasil seluruhnya adalah
terhadap uji tuberkulin tidak diikutsertakan sebagai bagian dari penegakkan diagnosis
4.2. Kadar Zinc Serum pada Masa Terapi OAT Fase Intensif dan Lanjutan
pada TB Anak
Bedasarkan pemeriksaan kadar zinc serum terkait parameter diagnosis TB, rerata
kadar zinc serum paling rendah pada fase intensif adalah anak dengan diagnosis TB
paru (59.2±15.0 µg/dL). Pada fase lanjutan, rerata kadar zinc serum paling rendah
juga dijumpai pada anak dengan TB meningitis (65.0±14.9 µg/dL), diikuti dengan TB
paru (69.4±18.0 µg/dL), dan TB limfadenitis (71.6±6.5 µg/dL) (Tabel 4.2). Anak
dengan OAT fase intensif >1 bulan memiliki rerata kadar zinc serum pada fase
intensif yang lebih rendah daripada anak dengan durasi fase intensif ≤1 bulan
fase lanjutan, seluruh rerata kadar zinc serum meningkat (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Rerata kadar zinc serum menurut diagnosis TB dan durasi pengobatan fase
intensif
Diagnosis TB
TB paru 59.2±15.0 69.4±18.0
TB limfadenitis 59.0±10.4 71.6±6.5
TB meningitis 53.2±18.3 65.0±14.9
Durasi pengobatan
fase intensif
≤1 bulan 58.6±15.3 68.7±14.3
> 1 bulan 57.2±14.8 69.1±20.7
Berdasarkan pemeriksaan kadar zinc serum pertama pada masa terapi fase
intensif, rerata kadar zinc serum seluruh populasi penelitian adalah 58.1±14.9 µg/dL
dengan kisaran antara 21-92 µg/dL (nilai terendah pada anak terdiagnosis TB
meningitis dengan status gizi kurang, sementara nilai tertinggi pada anak terdiagnosis
TB paru dengan status gizi kurang). Selanjutnya pada pemeriksaan kadar zinc serum
kedua pada masa terapi fase lanjutan, rerata kadar zinc serum adalah 68.9±16.4 µg/dL
dengan kisaran antara 42-120 µg/dL (nilai terendah pada anak terdiagnosis TB
meningitis dengan status gizi kurang, sementara nilai tertinggi pada anak terdiagnosis
TB paru dengan status gizi kurang). Apabila dibandingkan dengan pemeriksaan kadar
zinc serum pertama, maka terdapat rerata peningkatan sebesar 10.8 µg/dL pada kadar
zinc serum kedua. Secara statistik menggunakan uji Wilcoxon non-parametrik, rerata
perbedaan ini bermakna dengan nilai P<0.0001 (Tabel 4.3). Adapun seluruh anak
mengalami peningkatan kadar zinc serum pada masa terapi OAT (Gambar 4.2).
Tabel 4.3. Peningkatan kadar zinc serum pada masa terapi OAT anak
anak) memiliki peningkatan kadar zinc serum di bawah titik potong rerata
limfadenitis, 2 anak dan 1 anak di antaranya memiliki peningkatan kadar zinc serum
di bawah titik potong rerata peningkatan kadar zinc serum seluruh populasi penelitian
140
120
100
80
Fase Intensif
Kadar zinc serum (µg/dL)
60 Fase Lanjutan
40
20
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Anak
Gambar 4.2. Kadar zinc serum pada masa terapi OAT fase intensif dan
lanjutan pada TB anak
Pada masa terapi fase intensif, terdapat 23 anak (79.3%) yang menunjukkan
keadaan defisiensi zinc (kadar zinc serum ≤65 µg/dL) (Gambar 4.3.A), sementara
keadaan defisiensi zinc pada masa terapi fase lanjutan meliputi 15 anak (51.7%)
A B
20.7% 48.3%
≤65 µg/dL ≤65 µg/dL
4.3. Status Gizi Anak pada Masa Terapi OAT Fase Intensif dan Lanjutan pada
TB Anak
memiliki status gizi kurang (82.8%). Pada masa terapi fase lanjutan, proporsi anak
dengan status gizi kurang menurun menjadi 16 anak (55.2%) (Gambar 4.4). Seluruh
anak mengalami pertambahan berat badan dan tinggi badan, meskipun tidak
seluruhnya berubah status gizinya dari gizi kurang menjadi gizi baik.
35
30
25
20 55.2%
Gizi kurang
Jumlah anak (n) 82.8%
15 Gizi baik
10
44.8%
5
17.2%
0
Fase intensif Fase lanjutan
Gambar 4.4. Proporsi gizi baik dan kurang pada masa terapi OAT fase intensif dan
lanjutan pada TB anak
4.4. Hubungan antara Kadar Zinc Serum dengan Status Gizi pada Masa Terapi
Pada fase intensif, rerata kadar zinc serum pada anak dengan status gizi baik dan
kurang adalah 55.2±12.2 µg/dL dan 58.7±15.5 µg/dL, sementara pada fase lanjutan,
rerata kadar zinc serum pada anak dengan status gizi baik dan kurang adalah 70.8±
23.3 µg/dL dan 67.3±7.8 µg/dL, di mana secara statistik menggunakan uji T
independen, didapati masing-masing nilai P=0.633 dan P=0.610 (Tabel 4.5). Dengan
demikian, tidak terdapat hubungan antara kadar zinc serum dengan status gizi anak
pada masa terapi OAT fase intensif dan lanjutan pada TB anak.
Tabel 4.5. Hubungan kadar zinc serum dengan status gizi pada masa terapi OAT fase
intensif dan lanjutan pada TB anak
hubungan (P=1.000) antara peningkatan status kadar zinc serum, dari defisiensi
menjadi normal, dengan peningkatan status gizi, dari gizi kurang menjadi gizi baik,
pada pengukuran pertama dan kedua pada masa terapi OAT fase intensif dan lanjutan
Tabel 4.6. Hubungan antara peningkatan kadar zinc serum dengan peningkatan status
gizi pada masa terapi OAT fase intensif dan lanjutan TB anak
Jumlah 8 21 29
Tabel 4.7. Peningkatan kadar zinc serum berdasarkan status gizi pada fase intensif
Gizi kurang 14 10 24
Gizi baik 2 3 5
Jumlah 16 13 29
Sebagian besar anak dengan status gizi kurang (14 dari 24 anak) dan sebagian
anak dengan status gizi baik (2 dari 5 anak) memiliki peningkatan kadar zinc serum di
bawah titik potong rerata peningkatan kadar zinc serum seluruh populasi penelitian
anak dengan peningkatan kadar zinc serum ≤10.8 µg/dL lebih besar dari pada jumlah
adalah sebesar 2 µg/dL, yakni pada 2 anak terdiagnosis TB paru dan gizi kurang.
Peningkatan kadar zinc serum tertinggi adalah sebesar 33 µg/dL, yakni pada 1 anak
BAB 5. PEMBAHASAN
Zinc berperan penting pada sistem imunitas, baik non spesifik maupun
spesifik/adaptif, terutama sistem imunitas selular. Kadar zinc serum normal untuk
populasi anak adalah 70-150 µg/dl, dengan nilai cut-off untuk defisiensi zinc sebesar
≤65 µg/dl.19 Keadaan defisiensi zinc dalam darah pada pasien TB anak bersifat
multifaktorial. Pertama, pada infeksi TB terjadi redistribusi zinc masuk ke hati untuk
sintesis reaktan fase akut, sehingga kadar zinc dalam serum menurun. Kedua, zinc
sering terjadi pada penderita TB, dan hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap
defisiensi zinc ditemukan pada pasien TB seperti yang telah dikemukakan pada
beberapa studi.8-14
memeriksa kadar zinc serum pada pasien TB anak pada terapi OAT fase intensif dan
lanjutan. Luaran penelitian menggambarkan rerata kadar zinc serum dan proporsi
defisiensi zinc pasien TB anak pada kedua fase tersebut. Pasien TB pada awal
penelitian ini berjumlah 31 anak, namun 2 anak drop-out sehingga 29 anak yang
kelompok usia terbesar (41.4%) adalah anak dengan usia >10 tahun. Hal tersebut
tidak sesuai dengan usia faktor risiko sakit TB, di mana anak berusia <5 tahun
dinyatakan mempunyai risiko lebih besar menjadi sakit TB. 4 Hal ini dimungkinkan
karena tidak seluruh populasi pasien TB diikutsertakan dalam penelitian ini, di mana
pasien TB dengan status gizi buruk tidak diikutsertakan, sehingga tidak tergambar
Pada masa awal penelitian ini, yakni masa terapi OAT fase intensif, 24 dari 29
anak berstatus gizi kurang. Malnutrisi merupakan salah faktor risiko sakit TB karena
imunitas utama pada infeksi TB.4,25 Sejalan dengan bertambahnya masa terapi, saat
fase lanjutan, dijumpai penurunan proporsi gizi kurang menjadi 16 dari 29 anak.
Adapun pada penelitian ini, seluruh anak mengalami pertambahan berat badan.
(demam menghilang dan batuk berkurang), selera makan meningkat dan berat badan
meningkat.3
29 anak. Hal ini sejalan dengan faktor risiko infeksi TB yakni adanya kontak antara
anak dengan penderita TB dewasa. Transmisi paling sering terjadi adalah antara
penderita TB dewasa dengan anak yang berada dalam satu rumah. Risiko transmisi
infeksius.15
Manifestasi klinis TB anak sangat beragam dan kerap tidak spesifik. Pada
sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi respiratorik yang
menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, tetapi pada
anak bukan merupakan gejala utama, karena lokasi infeksi primer pada TB anak
sering terjadi di daerah parenkim paru yang tidak terdapat reseptor batuk.4 Penelitian
kami mendapatakan bahwa gejala klinis yang terbanyak adalah penurunan berat
badan (93.1%), diikuti demam (86.2%), malaise (73.9%), dan batuk (72.4%); di mana
dan tuberkuloma.3 Pada penelitian ini, gambaran radiologis dada yang terbanyak
adalah infiltrat disertai pembesaran kelenjar getah bening hilus (55.1%). Adapun
hasil MTB positif RIF sensitif. Tidak seluruh populasi penelitian dilakukan
dan patologi anatomi. Peneliti sendiri menjumpai pasien sebagai populasi peneltian
saat telah terdiagnosis TB, sehingga tidak terlibat langsung dalam proses penegakkan
diagnosis. Pada penelitian ini, adanya TB yang resisten rifampisin tidak dapat
peningkatan berat badan sebagai respons yang baik dari terapi, maka diduga pasien
populasi penelitian ini bukan kelompok populasi MDR TB. Anak dengan TB yang
tidak menunjukkan respons yang baik dari terapi TB (salah satu indikatornya adalah
naiknya berat badan) harus dirujuk untuk penilaian dan tata-laksana lanjutan dengan
dugaan MDR TB.2 Secara umum, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai kadar zinc
serum pada populasi MDR TB. Penelitian Bahi dkk (Afrika Barat) pada populasi
dewasa dengan MDR TB menemukan bahwa terdapat penurunan kadar zinc serum
Sejalan dengan pengobatan lini kedua, kadar zinc serum yang diukur pada bulan ke 3
ini sejalan dengan Mandalakas AM, dkk yang menyatakan bahwa jenis TB ekstra
pulmonal yang tersering pada anak adalah TB dari kelenjar limfe superfisial dan
Anak dengan TB berat (TB meningitis) memiliki rerata kadar zinc serum yang
lebih lanjut karena dalam penelitian ini, anak yang menderita TB meningitis sangat
sedikit (5 anak). Penelitian oleh Ray, dkk (India) menunjukkan kadar zinc serum yang
paling rendah pada TB berat (disseminated TB) yakni 59.0±2.7 µg/dL dan TB
meningitis yakni 64.2±3.8 µg/dL, sementara pada TB paru kadar zinc serum sebesar
68.6±2.5 µg/dL. Ray dkk menyimpulkan bahwa penurunan kadar zinc serum
Anak yang menjalani pengobatan dengan OAT pada fase intensif dengan
durasi >1 bulan saat pengukuran pertama, memiliki kadar zinc serum yang lebih
rendah daripada anak dengan durasi fase intensif ≤1 bulan. Menarik bahwa
penelitian oleh Boloorsaz, dkk (Iran) menemukan bahwa kadar zinc serum akan terus
menurun pada bulan pertama terapi, dan kemudian akan meningkat dan mencapai
normal setelah bulan keempat. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya perubahan
TB anak secara bermakna pada fase lanjutan. Terkait proporsi keadaan defisiensi zinc
pada kedua fase terapi, dijumpai penurunan proporsi keadaan defisiensi zinc sejalan
dengan bertambahnya masa terapi OAT (dari 23 menjadi 15 orang anak pada fase
terapi intensif dan lanjutan). Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian kohort
prospektif sebelumnya pada anak dengan TB, yang menyatakan bahwa terdapat
dinyatakan bahwa kadar zinc serum selama terapi dengan OAT pada anak dengan TB
dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai respons terapi. 12,13 Peningkatan
kadar zinc serum terjadi karena efek dari obat anti tuberkulosis pada fase intensif
yang bertujuan untuk mengeradikasi kuman yang aktif bereplikasi berhasil, sehingga
jumlah kuman secara signifikan menurun selanjutnya utilisasi zinc oleh kuman
menyatakan bahwa kadar leptin dan berat badan meningkat pada populasi anak TB
setelah mendapatkan terapi TB. Leptin diketahui meregulasi selera makan dan
meningkatnya asupan zinc sehingga dapat terjadi peningkatan kadar zinc serum,
khususnya pada populasi penelitian ini. Pada fase intensif, populasi anak pada
penelitian ini banyak yang memiliki kadar zinc serum sangat rendah (terendah 21
µg/dl), sehingga meskipun kadar zinc serum pada fase lanjutan meningkat, namun
sebagian besar anak pada penelitian ini (16 anak) memiliki peningkatan kadar zinc
serum di bawah rerata peningkatan kadar zinc serum pada seluruh populasi (≤10.8
µg/dL), dan proporsi keadaan defisiensi zinc masih cukup tinggi pada fase lanjutan
(51.7%). Hal ini menjadi pertimbangan untuk pengkajian lebih lanjut mengenai peran
suplementasi zinc pada anak dengan TB. Penelitian pada populasi dewasa
konversi sputum lebih awal dan resolusi dari lesi radiologis,22 serta meningkatkan
kadar total TCD4+ dan IFN-γ.23 Pada populasi anak, penelitian eksperimental di
minyak ikan (350 mg Ω-3), vitamin A (1.500 IU), dan zinc (10 mg) selama 1 bulan
pada kelompok anak dengan TB selama pengobatan dengan OAT secara signifikan
Javed dkk (India) menjumpai bahwa rerata kadar zinc serum populasi anak
sehat lebih tinggi daripada anak dengan malnutrisi. Semakin berat kondisi
malnutrisinya, maka kadar zinc serum yang dijumpai semakin rendah.29 Adamu dkk
(Nigeria) juga menjumpai rerata kadar zinc serum pada populasi anak dengan
malnutrisi lebih rendah daripada anak sehat.30 Penelitian ini menunjukkan tidak
adanya hubungan antara kadar zinc serum dengan status gizi anak dan peningkatan
status gizi anak tidak berhubungan dengan perbaikan kadar zinc serum pada masa
terapi OAT. Hal ini masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut karena dalam
penelitian ini, pasien dengan status gizi buruk dieksklusikan, serta diperlukan suatu
(food recall) sehingga mungkin terdapat variasi diet dengan kandungan zinc yang
tinggi, atau diet yang menghambat penyerapan dari zinc sehingga mempengaruhi
kadar zinc dalam serum. Selain itu, analisis diet juga diperlukan dalam penentuan
status gizi. Sungguh disayangkan saat periode penelitian ini berlangsung, tuberkulin
diagnosis anak kehilangan satu instrumen yang penting. Adapun Bertha dkk dalam
tuberkulin negatif memiliki kadar zinc serum yang lebih rendah dibandingkan pasien
dengan uji tuberkulin positif. Temuan tersebut sejalan dengan peran zinc dalam
proliferasi dan aktivitas limfosit T dalam respons imunitas tubuh terhadap kuman TB,
termasuk respons terhadap uji tuberkulin.13 Kelemahan penelitian ini juga tidak
memantau secara utuh perbedaan kadar zinc serum dari mulai saat terdiagnosis, masa
peralihan fase terapi, dan masa akhir terapi serta tidak terdapat data pengukuran kadar
6.1.Kesimpulan
Pada penelitian ini terdapat 23/29 anak (79,3%) dan 15/29 anak (51,7%) dengan
keadaan defisiensi zinc pada masa terapi OAT fase intensif dan lanjutan pada TB
anak. Terdapat peningkatan bermakna antara kadar zinc serum fase intensif
peningkatan kadar zinc serumnya masih di bawah nilai rerata dan proporsi anak
dengan keadaan defisiensi zinc pada fase lanjutan masih cukup besar (51,7%).
Kadar zinc serum paling rendah ditemukan pada diagnosis TB meningitis. Terkait
status gizi, terdapat 24 anak (82,7%) dan 16 anak (55,1%) dengan gizi kurang
pada masa terapi OAT fase intensif dan lanjutan pada TB anak. Tidak terdapat
hubungan antara kadar zinc serum dengan status gizi dan tidak terdapat hubungan
antara peningkatan kadar zinc serum dengan peningkatan status gizi pada masa
6.2.Saran
mikronutrien yang penting dalam sistem imunitas, terutama imunitas selular yang
berperan penting dalam perjalanan alamiah infeksi TB. Selain itu, edukasi
evaluasi, terutama pada pasien dengan gizi kurang yang merupakan mayoritas
pasien penelitian.
analisis diet (food recall) sebagai bagian dari penentuan status gizi pada anak,
pemantauan kohort prospektif secara utuh perbedaan kadar zinc serum dari mulai
saat terdiagnosis, masa peralihan fase terapi, dan masa akhir terapi; serta
DAFTAR PUSTAKA
15. Kendig EL. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. 7 th ed.
Philadelphia (USA): Elsevier Inc; 2006.
16. Willoughby JL, Bowen CN. Zinc deficiency and toxicity in pediatric practice.
Curr Opin Pediatr. 2014;26:579-584.
17. Overbeck S, Rink L, Haase H. Modulating the immune response by oral zinc
supplementation: a single approach for multiple diseases. Arch Immunol Ther
Exp. 2008;56:15-30.
18. Newton B, Sekar K, Dhas BB, Bhat V. Zinc supplementation in pediatric
practice. J of Pediatr Sci. 2015;7:e240.
19. Benoist B, Hill ID, Davidsson L, Fontaine O, Hotz C. Conclusions of the joint
WHO/UNICEF/IAEA/IZiNCG interagency meeting on zinc status indicators.
Food and Nutr Bull. 2007;28:3.
20. Fraker PJ. Roles for cell death in zinc deficiency. J Nutr. 2005;135:359-362.
21. Djoko KY, Ong CY, Walker MJ, McEwan AG. The role of copper and zinc
toxicity in innate immune defense against bacterial pathogens. J of Biol
Chem. 2015;290:5.
22. Karyadi E, West CE, Schultink W, Nelwan RHH, Gross R, Amin Z, et al. A
double-blind, placebo-controlled study of vitamin A and zinc supplementation
in persons with tuberculosis in Indonesia: effects on clinical response and
nutritional status. Am J Clin Nutr. 2002;75:720-727.
23. Ismawati R, Wirdjatmadi B, Priyatna Y, Mertaniasih NM. The effect of zinc,
lysine, and vitamin A supplementation to increase cellular immune response
of pulmonary tuberculosis patients. Biochem Physiol. 2015;5:006.
24. Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS, penyunting. Buku ajar nutrisi
pediatrik dan penyakit metabolik. Edisi ke-2 dengan revisi. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2014.
25. Cegielski JP, McMurray DN. The relationship between malnutrition and
tuberculosis: evidence from studies in humans and experimental animals. Int J
Tuberc Lung Dis. 2004;8:286-298.
26. Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian
klinis. Edisi ke-5. Jakarta: Sagung Seto; 2014.
27. Mexitalia M, Dewi YO, Pramono A, Anam MS. Effect of tuberculosis
treatment on leptin levels, weight gain and percentage body fat in Indonesian
children. Korean J Pediatr. 2017;60(4):118-123.
28. Nenni V, Nataprawira HM, Yuniati T. Role of combined zinc, vitamin A, and
fish oil supplementation in childhood tuberculosis. Southeast Asian J Trop
Med Public Health. 2013;5:854-861.
29. Javed F, Ashgar A, Sheikh S, Butt MA, Hashmat N, Malik BA. Comparison
of serum zinc levels between healthy and malnourished children. Annals of
Punjab Med College. 2009;2:139-143.
30. Asma’u A, Jiya MN, Hamidu A, Ibitoye PK, Ugege MO, Sani UM, et.al.
Estimation of zinc levels among children with malnutrition at Usmanu
LAMPIRAN
1. Personil Penelitian
1. Ketua Penelitian
2. Anggota Penelitian :
2. Biaya Penelitian
3. Jadwal Penelitian
Waktu
Persiapan
Pelaksanaan
Penyusunan
Laporan
Pengiriman
Laporan
13 Insentif bagi subjek Seperangkat alat tulis dan buku tulis untuk
putra/i bapak/ibu, serta makan siang untuk
putra/i bapak ibu dan keluarga pendamping
14 Nama dan alamat dr. Carolina
peneliti serta nomor Divisi Respirologi RSUP H. Adam Malik
telepon yang dapat Jl. Bunga Lau no 17, Medan Tuntungan
dihubungi Telp: 081297807150
_________________________
Tanda Tangan Wali Tanggal
_________________________
Nama Wali
Saya telah menjelaskan kepada subjek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, serta risiko dan ketidaknyamanan
potensial yang mungkin timbul (penjelasan terperinci sesuai dengan hal yang saya
tandai diatas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian
dengan sebaik-baiknya.
______________________________ ______________
Tanda Tangan Peneliti Tanggal
dr. Carolina
5. Formulir Penelitian
No. Sampel Inisial
ANAMNESIS
Keluhan anak :
Suhu : ______ 0C
Status gizi :
Sensorium :
Kepala :
Leher :
Dada :
Perut :
Anggota gerak :
Lain-lain :
STATUS GIZI
Tanggal Berat badan Panjang/tinggi Status gizi
(kg) badan
(cm)
Pengukuran I
___/___/___
Pengukuran II
___/___/___