Anda di halaman 1dari 44

USULAN PENELITIAN

PROFIL OTOMIKOSIS DAN EFEK ANTIOTOMIKOSIS JAHE


(ZINGIBER OFFICINALE) DAN VIRGIN COCONUT OIL SECARA IN
VITRO DI MAKASSAR

Oleh:

SULPIKAR HABIBIE

Pembimbing:

Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.B.K.L(K)


Dr. dr. Syahrijuita, M.Kes, Sp.T.H.T.B.K.L(K)
Dr. dr. Alfian Zainuddin, M.KM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN


MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

DAFTAR
ISI...................................................................................................................i

DAFTAR ISTILAH
........................................................................................................................
ii

DAFTAR GAMBAR
........................................................................................................................
iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................4

C. Tujuan Penelitian.........................................................................5

D. Hipotesis.......................................................................................5

E. Manfaat Penelitian.......................................................................5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Telinga Luar...........................................7

B. Otomikosis...................................................................................9

C. Uraian Bahan Alam....................................................................10

D. Uraian Hewan Coba....................................................................11

E. Kerangka Teori...........................................................................15

F. Kerangka Konsep........................................................................18
BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian...........................................................................20

B. Waktu dan Lokasi Penelitian.........................................................20

C. Materi Penelitian.........................................................................20

D. Prosedur kerja.............................................................................22

E. Analisis Data...............................................................................24

F. Definisi operasional....................................................................25
DAFTAR ISTILAH

FDA = Food and Drug Association


VCO = Virgin Coconut Oil
MCFA = Medium Chain Saturated Fatty Acid ME = Middle Ear
MAE = Meatus Akustikus Eksternus ANOVA = Analysis of Variance
RAL = Rancangan Acak Lengkap
LSD = Least Significant Difference
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Telinga bagian luar terdiri dari aurikel atau pinna, kanal akustik
eksternal, dan membrane timpani
Gambar 2. Pemeriksaan otoskop pada otomikosis
Gambar 3. Kerangka Teori
Gambar 4. Kerangka Konsep
Gambar 5. Skema kerja pembuatan ekstrak Rimpang Jahe (Zingiber
officinale)
Gambar 6. Skema kerja pembuatan Virgin Coconut Oil
Gambar 7. Mekanisme kombinasi ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan
Virgin Coconut Oil
Gambar 8. Alur Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi jamur pada saluran pendengaran eksternal, telinga tengah dan


rongga mastoid terbuka disebut dengan fungal otitis externa atau otomikosis.
Spora jamur yang ada di udara terbawa bersamaan dengan uap air (Itor, 2020).
Infeksi jamur pada canalis akustikus eksternus (Otomikosis) merupakan salah
satu penyakit infeksi telinga yang menyebabkan peradangan (Nipa, 2019;
Swain, 2018; Priti, 2017).
Meskipun otomikosis tidak mengancam jiwa, namun dapat
mengakibatkan adanya gejala berat seperti otore, otalgia yang hebat, tinnitus,
gatal-gatal dan secara signifikan mengurangi kualitas dan produktivitas hidup
apabila tidak segera diobati. Otomikosis juga merupakan suatu tantangan yang
serius bagi pasien dan juga dokter karena membutuhkan pengobatan jangka
panjang, tindak lanjut dan kendala tingkat kekambuhan yang tinggi. Setelah
infeksi mikotik menyebabkan membran timpani perforasi, sistem konduksi
suara di telinga tengah terganggu dan kemudian menyebabkan terjadinya
gangguan pendengaran. (Li,2019; Gharaghani, 2015; Koltsidopoulos, 2019)
Spesis penyebab otomikosis akan mempengaruhi gejala yang timbul.
Spesis yang menyebabkan infeksi jamur di telinga termasuk jamur berfilamen
saprofit, ragi, dan dermatofita. Mikosis ini menyebabkan adanya
pembengkakan, pengelupasan epithel superficial, adanya penumpukan debris
yang berbentuk hifa, disertai supurasi dan nyeri. Spesies jamur yang paling
umum pada otomikosis adalah Aspergillus sp. dan Candida sp. Spesies
Aspergillus niger adalah jamur tersering pada otomikosis. Hal ini ditandai
dengan gejala seperti pruritus, otalgia, telinga terasa penuh, gangguan
pendengaran dan tinnitus. (Aneja dkk, 2010; Kumar,2010)
Kasus otomikosis tersebar diseluruh belahan dunia. Sekitar 5-25% total
kasus otitis eksterna merupakan kasus otomikosis (Humaira, 2012). Prevalensi
otomikosis terkait dengan wilayah geografis dengan angka yang lebih tinggi di
daerah beriklim tropis dan subtropis (Barati, 2011).
Diperkirakan sebanyak 25% dari kasus infeksi telinga disebabkan oleh
jamur sedangkan di Inggris, diagnosis otitis eksterna yang disebabkan oleh
jamur ini sering ditegakkan pada saat berakhirnya musim panas didapatkan
jamur positif pada 91 kasus (6,54%). (Humaira, 2012; Itor, 2020)
Data prevalensi otomikosis yang didapatkan dari Poliklinik Otologi
THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung selama periode bulan Januari
2012 sampai dengan bulan Desember 2012 tercatat 7,45% dari seluruh total
pasien. Sedangkan angka kejadian otomikosis di Poliklinik THT RS Dustira
Cimahi Periode Desember 2017 - Januari 2018 yaitu sebanyak 24 orang dari 929
orang pasien yang menderita penyakit telinga (2,58%). (Tambora, 2018)
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati
yang dapat digunakan sebagai bahan untuk pengobatan tradisional. Salah satu
tanaman yang berdasarkan ethnomedicine telah terbukti berkhasiat sebagai
antijamur adalah Jahe (Zingiber officinale). Tanaman Jahe sendiri telah masuk
dalam daftar FDA (Food and Drug Association) dan secara umum
penggunaannya diakui aman. Jahe kaya akan kandungan aktif, seperti senyawa
fenolik dan terpen yang telah terbukti berkhasiat sebagai antijamur. (Supreetha,
2011; Ji, 2017; Schadich, 2016;
Prasad, 2015; Yeh, 2014)
Selain jahe (Zingiber officinale), Virgin Coconut Oil (VCO) juga
merupakan salah satu bahan alami yang telah terbukti khasiatnya dalam
mencegah pertumbuhan mikroorganisme khususnya jamur. Virgin Coconut Oil
atau yang dikenal sebagai minyak kelapa di Indonesia dan Malaysia, merupakan
salah satu minyak nabati diperoleh dari ekstraksi inti kelapa pada tahap matang
baik menggunakan mekanik atau pemrosesan termal (Narayanaankutty, 2018).
Dari hasil analisis kimia, sebanyak 60% dari kandungan VCO
merupakan asam lemak jenuh rantai menengah / medium chain saturated fatty
acid (MCFA). Pada beberapa penelitian melaporkan MCFA mempunyai efek
antimikroba terhadap bakteri, jamur (fungi), kapang (yeast), dan virus.
(Wibowo, 2005; Wang, 2006; Boddie, 2006; Berggson, 2006)
Sejumlah asam lemak yang ditemukan pada VCO seperti asam kaproat,
kaprilat, kaprat, mirustat, palmitat, stearate, olerat, linoleat, dan asam laurat
yang memiliki persentase kadar paling tinggi, sebesar 47%. Senyawa
monolaurin dari asam laurat tersebut menyebabkan VCO memiliki efek
antimikroba dengan cara merusak komponen lipid dari membran
selmikroorganisme (Marina et al., 2009).
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian tentang profil
otomikosis dan efek antiotomikosis dari ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan
Virgin Coconut Oil (VCO) dalam menekan pertumbuhan jamur khususnya
jenis jamur yang menyebabkan terjadinya otomikosis secara in-vitro di
Makassar serta diharapkan dapat meningkatkan aktivitas sebagai potensi
antiotomikosis dan terapeutik.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang timbul dari uraian di atas adalah :
a. Apa saja 3 profil jamur penyebab terbanyak otomikosis di Makassar ?
b. Apakah ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin Coconut Oil
(VCO) memiliki efektivitas terhadap pengobatan otomikosis di
Makassar ?
c. Apakah kombinasi ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin
Coconut Oil (VCO) memiliki efektivitas yang lebih baik
dibandingkan dengan pemberian ekstrak tunggal ?
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menilai profil otomikosis
dan efektivitas antiotomikosis dari pemberian ekstrak Jahe (Zingiber
officinale) dan Virgin Coconut Oil (VCO) dalam menekan
pertumbuhan jamur khususnya jenis jamur yang paling sering
menyebabkan terjadinya otomikosis secara in-vitro di Makassar.

b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui 3 profil jamur penyebab terbanyak otomikosis di daerah
Makassar.
2. Menguji efektivitas dari ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan
Virgin Coconut Oil (VCO) dalam menekan pertumbuhan jamur
pada kasus otomikosis di Makassar.
3. Menguji efektivitas dari pemberian kombinasi ekstrak Jahe
(Zingiber officinale) dan Virgin Coconut Oil (VCO) dibandingkan
pemberian ekstrak tunggal pada kasus otomikosis di Makassar.

D. Hipotesis
a. Ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin Coconut Oil (VCO)
terbukti efektif dapat menghambat pertumbuhan jamur secara in-vitro.
b. Kombinasi ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin Coconut
Oil (VCO) memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan
pemberian ekstrak tunggal.

E. Manfaat Penelitian
a. Pengembangan Ilmu
Sumber data ilmiah dan informasi mengenai profil jamur penyebab
otomikosis dan efektivitas dari ekstrak Jahe (Zingiber
officinale) dan Virgin Coconut Oil (VCO) dalam mengobati infeksi
jamur pada kasus otomikosis di Makassar.

b. Aplikasi
Rujukan untuk penelitian selanjutnya dan sumber informasi bagi
masyarakat tentang khasiat kombinasi ekstrak Jahe (Zingiber
officinale) dan Virgin Coconut Oil (VCO) dalam menghambat
pertumbuhan infeksi jamur pada telinga serta sebagai dasar bagi tenaga
kesehatan dalam pemanfaatan ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan
Virgin Coconut Oil (VCO) sebagai pengobatan alternatif pada
penderita otomikosis dengan menggunakan tanaman herbal.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Telinga Bagian Luar


Anatomi telinga dibagi menjadi tiga wilayah utama: telinga luar, yang
mengumpulkan gelombang suara dan mengalirkannya ke dalam; telinga tengah,
yang menyampaikan getaran suara ke jendela oval; dan telinga bagian dalam,
yang menampung reseptor untuk pendengaran dan keseimbangan. Telinga
dipersarafi oleh saraf kranial kedelapan atau nervus auditorius. (Dhingra,
2018)

Gambar 1: Anatomi Telinga. Telinga bagian luar terdiri dari aurikel atau pinna,
kanal akustik eksternal, dan membrane timpani. (Dhingra, 2018)

1. Aurikel atau Pinna


Seluruh pinna kecuali lobulusnya dan bagian luar saluran akustik
eksternal terdiri dari satu bagian tulang rawan elastis kuning yang dilapisi
dengan kulit. Bagian ujungnya melekat erat pada perikondrium di permukaan
lateral sementara sedikit longgar di permukaan medial (tengkorak). (Dhingra,
2018)
Tidak ada tulang rawan antara tragus dan crus helix, dan area ini disebut
incisura terminalis. Sayatan yang dibuat pada area ini tidak akan memotong
tulang rawan dan digunakan untuk pendekatan endaural dalam pembedahan kanal
auditorius ekserternal atau mastoid. Pinna juga merupakan sumber beberapa
bahan cangkok untuk ahli bedah. Tulang rawan dari tragus, perikondrium dari
tragus atau concha dan lemak dari lobulus sering digunakan untuk operasi
rekonstruksi telinga tengah. Tulang rawan conchal juga telah digunakan untuk
memperbaiki nasal bridge yang tertekan sementara cangkok komposit tulang
rawan kulit dari pinna kadang-kadang digunakan untuk memperbaiki cacat pada
hidung. (Dhingra, 2018)

2. Kanalis Akustikus Eksternus

Kanal akustik eksternal memanjang dari bagian bawah concha ke


membran timpani dan berukuran sekitar 24 mm di sepanjang dinding
posteriornya. Kanal ini tidak berbentuk lurus: bagian luarnya diarahkan ke atas,
ke belakang, ke depan dan ke tengah. Oleh karena itu, untuk melihat membran
timpani, pinna harus ditarik ke atas, ke belakang dan ke samping sehingga
kedua bagian tersebut sejajar. (Dhingra, 2018)
Menurut Dhingra yang ditulis dalam bukunya berjudul Diesease of
Ear, Nose and Throat;Head and Neck Surgey kanal akustik terdiri dari dua
bagian, yaitu:
a) Bagian Tulang Rawan
Bagian ini membentuk sepertiga bagian luar (8mm) dari kanal.
Tulang rawan merupakan kelanjutan dari tulang rawan yang membentuk
kerangka pinna. Bagian ini memiliki dua celah bernama "fissures of
Santorini" dan melalui fisura tersebut infeksi mastoid parotid atau
superfisial dapat muncul di kanal atau sebaliknya. Kulit yang menutupi
saluran tulang rawan tebal dan mengandung kelenjar ceruminous dan
pilosebasea yang mengeluarkan lilin (wax). Rambut hanya terbatas pada
saluran luar dan oleh karena itu furunkel (infeksi
stafilokokus pada folikel rambut) hanya terlihat di sepertiga bagian luar saluran.
b) Bagian Tulang

Bagian ini membentuk dua pertiga bagian dalam (16 mm). Lapisan
kulit yang membungkus bagian ini tipis dan berlanjut hingga membran
timpani. Bagian ini tidak mmiliki rambut dan kelenjar ceruminous. Sekitar
6 mm di lateral membran timpani, tulang tulang menyempit dan bagian
tersebut disebut isthmus. Benda asing, bersarang di menyangkut di bagian
medial hingga isthmus, terkena benturan, dan sulit dikeluarkan. Bagian
anteroinferior dari meatus profunda, di luar isthmus, terdapat anterior
recess, yang bertindak sebagai tangki septik untuk keluarnya cairan dan
debris pada kasus infeksi telinga luar dan tengah. Bagian anteroinferior dari
kanal tulang dapat menunjukkan defisiensi (foramen dari huschke) pada anak-
anak sampai usia empat tahun atau kadang-kadang bahkan pada orang
dewasa, yang memungkinkan terjadinya infeksi ke parotid dan dari parotid.

3. Membran Timpani
Bagian ini membentuk sekat antara saluran akustik eksternal dan telinga
tengah. Sekat ini terletak miring dan mengakibatkan bagian posterosuperiornya
lebih lateral daripada bagian anteroinferiornya. Tingginya 9-10 mm, lebar 8-9
mm, dan tebal 0,1 mm. Membran timpani dapat dibagi menjadi dua bagian :
(Dhingra, 2018)
a) Pars Tensa
Bagian ini membentuk sebagian besar membran timpani.
Pinggirannya menebal untuk membentuk cincin fibrocartilaginous yang
disebut annulus tympanicus, yang cocok dengan sulkus timpani. Bagian
tengah pars tensa melengung ke dalam setinggi ujung maleus dan disebut
umbo.
b) Pars Flaccida (Membran Shrapnell)

Bagian ini terletak di atas proses lateral malleus antara takik


Rivinus dan lipatan mallea anterior dan posterior (sebelumnya disebut
lipatan malleolar). Ini tidak terlalu kencang dan mungkin tampak agak
merah muda.

Membran timpani terdiri dari tiga lapisan:


1. Lapisan luar epitel yang bersambung dengan lapisan kulit meatus.
2. Lapisan mukosa bagian dalam, yang bersambung dengan mukosa
telinga tengah.
3. Lapisan fibrosa tengah, yang membungkus gagang maleus dan memiliki
tiga jenis serat; radial, sirkuler, dan parabola. Lapisan berserat pada pars
flaccida tipis dan tidak tersusun menjadi berbagai serabut seperti pada
pars tensa.

B. Otomikosis
1. Definisi
Otomikosis adalah infeksi jamur pada saluran pendengaran eksternal
dan komplikasinya terkadang melibatkan telinga tengah. Jamur
menyebabkan 10% dari semua kasus otitis eksterna. Ini terjadi karena lipid /
asam asam pelindung telinga hilang. Dalam beberapa tahun terakhir, infeksi
jamur oppurtunistik telah bertambah besar pentingnya dalam pengobatan
manusia, mungkin karena meningkatnya jumlah pasien yang mengalami
gangguan sistem imun. Namun, jamur tersebut juga dapat menghasilkan
infeksi pada inang imunokompeten. Pada pasien immunocompromised,
pengobatan otomikosis harus kuat untuk mencegah komplikasi seperti
gangguan pendengaran dan infeksi tulang temporal. Andrall dan Gaverret
adalah orang pertama yang menggambarkan infeksi jamur pada telinga;
meskipun spektrum jamur luas terlibat, Aspergillus dan Candida adalah
spesies yang paling umum ditemui. (Satish, 2013)
2. Etiologi dan Faktor Resiko
Beberapa jamur dapat menyebabkan reaksi radang liang telinga. Dua
jenis jamur yang yang sering ditemukan adalah Pityrosporum dan
Aspergillus A. Niger, A.Flavus) (Humaira,2012). Spesies yang paling
sering adalah Aspergillus flavus (42,4%), A. niger (35,9%), A. fumigatus
(12,5%), A. candidus (7,1%), A. terreus (1,6%),
dan Paecilomyces variotii (0,5%). (Mahmoudabadi, 2010)
Otomikosis dapat dijumpai diberbagai wilayah di dunia, umumnya
prevalensi otomikosis terkait dengan wilayah demografis dengan tingkat
kelembaban yang tinggi di daerah tropis dan subtropis. Negara tropis dan
subtropis mempunyai derajat kelembaban yang tinggi sekitar 70-80%
dengan suhu udara sekitar 15-300C. (Barati, 2011)
Faktor resiko penyakit ini disebabkan oleh perubahan kelembaban,
suhu yang tinggi,maserasi kulit liang telinga yag terpapar lama oleh
kelembaban, trauma lokal serta masuknya bakteri sebagai keadaan yang
sering berkaitan dengan penyakit ini. Menurunya sistem imun
(immunocompromised), penggunaan steroid, penyakit dermatologi,
ketiadaan serumen, penggunaan alat bantu dengar dan pengguaan antibiotik
spektrum luas juga merupakan faktor resiko timbulnya otomikosis.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Satish (2013), 60%
dari pasien memberikan riwayat manipulasi / trauma pada Kanalis
Akustikus Eksternus (KAE) dengan tongkat, bulu, pemetik logam, pin,
cotton bud dll, 48% dari pasien memiliki riwayat penggunaan obat tetes
telinga antibiotik atau penggunaan minyak nonsteril ke telinga. Juga, 30%
dari pasien memiliki penyakit sistemik terkait, 27% terkait OMSK (Otitis
Media Supuratif Kronis) dan OE (Otitis Eksterna), 8% di antaranya memiliki
rongga mastoid dan 15% tidak memiliki faktor predisposisi.
Pada dasar nya, telinga bisa membersihkan dirinya sendiri
dengan membuang sel-sl kulit mati dari gendang telinga melalui saluran
telinga. Mekanisme ini bisa terganggu karena kebiasaan membersihkan
saluran telinga dengan cotton bud. Serumen dan sel- selkulit mati
terdorong ke garah gendang telinga sehingga kotoran menumpuk disana
dan akan menyebabkan penimbuan air yang masuk ke dalam saluran telinga
ketika mandi atau berenang. Kulit yag basah dan lembab ini dapat
memudahkan tumbuhnya jamur (Humaira, 2012). Kulit yang normal
mengandung lapisan lemak yang tipis pada permukaannya yang
mempunyai kerja antibakteri dan fungistatik. Trauma oleh benda asing
pada saluran telinga dapat menyebabkan lapisan lemak dari tulang rawan
liang telinga terbuang. Pada umunya, lapisan ini berganti dengan sendiri,
namun apabila dicuci berkali-kali maka lapisan lemak tersebut akan
menghilang dan organisme pathogenyag tertanam dapat berkembang (Dhingra,
2012). Olahraga air misalnya berenang danberselancar sering
dihubungkan dengan otomikosis oleh arena paparan ulang dengan air
sehingga kanal menjadi lembab dandapat mempermudah
pertumbuhan jamur (Humaira, 2012).

3. Manifestasi Klinis
Otomikosis hadir dengan gejala nonspesifik seperti pruritis,
kemampuan mendengar menurun, diikuti dengan otalgia, otore dantinnitus.
Penampakan lokal dalam otomikosis adalah penumpukan fibrosa yang tebal
dari puing-puing kulit yang mati terlihat seperti kapas atau kertas basah,
area kecil berbatas tegas dari jaringan granulasi didalam saluran
pendengaran eksternal atau disekitar membrane timpani diserti keluarnya
cairan encer (Manjunath, 2020).
Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan umum pada tahap
awal dan sering mengawali terjadinya rasa nyeri. Rasa sakit pada telinga
bisa bervariasi mulai dari hanya berupa perasaan tidak
enak pada telinga, perasaan penuh dalam telinga, perasaan seperti terbakar
hingga berdenyut diikuti nyeri yang hebat (Humaira, 2012).

Gambar 2. Pemeriksaan otoskop pada otomikosis (Manjunath, 2020)

Menurut Bansal pada tahun 2013, gejala pada penderita otomikosis adalah:
1. Gatal-gatal hebat, rasa tidak nyaman, atau sakit telinga.
2. Discharge dengan bau apek dan penyumbatan telinga.
3. Kulit yang sodden (lembap), merah, dan edematosa.
4. Sedangkan menurut penelitan Itor, et al dari 250 pasien didapatkan
100 orang (40%) mengalami gatal-gatal, 50 orang (20%) mengalami
otalgia, 30 orang (12%) mengalami otorrhea, 1 orang (6.8%)
mengalami tinnitus, 20 orang (8%) mengalami inflamasi, dan 33 orang
(13.2%) mengalami kesulitan mendengar.

4. Patofisiologi
Otomikosis terhubung dengan histologi dan fisiologi saluran
pendengaran eksternal. Kanal silinder dengan panjang 2,5 cm dan lebar 7-9
mm ini dilapisi dengan epitel skuamosa berkeratin bertingkat yang berlanjut di
sepanjang sisi luar membran timpani. Pada reses timpani interior, medial ke
isthmus cenderung menumpuk sisa-sisa
keratin dan serumen dan daerah itu sulit dibersihkan (Edward dan Irfandy,
2012).
Serumen memiliki sifat antimikotik dan bakteriostatik serta merupakan
pengusir serangga. Serumen terdiri dari lipid (46 hingga 73%), protein, asam
amino bebas dan ion mineral, ia juga mengandung lisozim, imunoglobulin, dan
asam lemak tak jenuh ganda. Asam lemak rantai panjang yang ada di kulit
tidak rusak mungkin menghambat pertumbuhan bakteri. Karena komposisinya
yang bersifat hidrofobik, serumen mampu menahan air, membuat permukaan
saluran menjadi kedap air dan menghindari maserasi dan kerusakan epitel
(Edward dan Irfandy, 2012). Serumen berfungsi sebagai pelindung dan
menjaga pHdi dalam liang telinga agar tetap asam yang menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur (Wipperman, 2014). Respon inflamasi pada
otitis eksterna diyakini disebabkan oleh gangguan pada pH normal dan faktor
pelindung di dalam saluran pendengaran (Hajioff, 2015).
Mekanisme alami pembersihan telinga berupa migrasi ephitelial dari
umbo membrane timpani kearah lateral mengeluarkan serumen dari dalam
telinga. Selain itu, gerakan mengunyah juga dapat membantu proses
pengeluaran serumen tersebut (Olausun, 2014). Penggunaan cotton bud dapat
mengganggu mekanisme self claning dan dapat mendorong sel-sel kulit mati
beserta serumen kearah gendang telinga sehingga kotoran menumpuk disana.
Masalah ini juga diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa lekukan
pada liang telinga (Oghalai, 2013).
Kadar keasaman pada serumen berkisar antara 4-5 yang
berfungsi menekan pertumbuhan bakteri dan jamur (Marlinda et al, 2016).
Perubahan kadar keasaman KAE yang bisa disebabkan kadar kelembaban
yang tinggi, sering membersihkan telinga atau berenang dapat memungkinkan
risiko terjadinya otomikosis (Sudarajad et al, 2018).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satish, Vishwantha dan
Manjuladevi 60% dari pasien memberikan riwayat trauma pada KAE
dengan tongkat/batang, bulu, alat pembersih telinga logam, peniti, cotton bud,
dll. 48% pasien memiliki riwayat penggunaan obat tetes telinga antibiotik,
steroid antibiotik telinga tetes, atau menggunakan minyak nonsteril ke telinga.
Juga, 30% dari pasien kami memiliki penyakit sistemik terkait, 27% terkait
OMSK, 8% di antaranya memiliki rongga mastoid dan 15% tidak memiliki
faktor predisposisi.
Mikroorganisme normal yang ditemukan di saluran pendengaran
eksternal seperti Staphylococcus epidermidis, Corrynebacterium sp,
Bacillus sp, Gram-positive cocci (Staphylococcus aureus,
Sterptococcus sp, non-pathogenic micrococci), Gram-negative bacilli
(Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Haemophilella influenza,
dll) dan jamur miselia dari Genus Aspergillus dan Candida sp.
Mikroorganisme komensal ini bukanlah patogen kecuali masih ada
keseimbangan antara bakteri dan jamur (Edward dan Irfandy, 2012).

5. Penatalaksanaan

Perawatan terdiri dari ear toilet menyeluruh untuk menghilangkan


semua kotoran dan puing-puing epitel yang konduktif untuk pertumbuhan
jamur. Antijamur khusus dapat diterapkan. Nystatin (100.000 unit/mL profililen
glikol) efektif melawan Candida. Agen antijamur spektrum luas lainnya
termasuk klotrimazol dan povidon Iodin. Asam salisilat dua persen dalam
alkohol juga efektif. Ini adalah agen keratokitik yang menghilangkan lapisan
superfisial epidermis, dan bersama dengan topi, miselium jamur tumbuh ke
dalamnya. Perawatan antijamur harus dilanjutkan selama seminggu bahkan
setelah penyembuhan nyata untuk menghindari kekambuhan. Telinga harus tetap
kering. Infeksi bakteri sering dikaitkan dengan sediaan antibiotik / steroid
membantu mengurangi peradangan dan edema dan dengan demikian persiapan awal
yang lebih baik dari agen antijamur (Dhingra, 2018).
Sediaan antijamur dapat dibedakan menjadi jenis non spesifik dan spesifik.
Anti jamur non spesifik termasuk larutan asam dan dehidrasi seperti:
a. Asam borat merupakan asam sedang dan sering digunakan sebagai
antiseptik dan insektisida. Asam borat dapat digunakan untuk mengobati
jamur dan infeksi jamur penyebab Candida albicans.
b. Gentian violet dibuat sebagai larutan konsentrat rendah (mis. 1%) dalam air.
Telah digunakan untuk mengobati otomikosis karena merupakan pewarna
anilin dengan aktivitas antiseptik, antiinflamasi, antibakteri dan antijamur. Ini
masih digunakan di beberapa negara dan disetujui FDA. Studi melaporkan
kemanjuran hingga 80%.
c. Cat Castellani (aseton, alkohol, fenol, fuchsin, resocinol).
d. Cresylate (merthiolate, M-cresyl acetate, propylene glycol, asam borat dan
alkohol) .
e. Merchurochrome, antiseptik topikal yang terkenal, antijamur.
Dengan merthiolate (thimerosal), merchurochrome tidak lagi disetujui
oleh FDA karena mengandung merkuri. Tisner (1995) melaporkan kemanjuran
93,4% dalam menggunakan thimerosal untuk otomycosis. Merchurochrome telah
digunakan secara khusus untuk kasus di lingkungan lembab dengan efektivitas
antara 95,8% dan 100%.
Terapi antijamur spesifik terdiri dari:

a. Nistatin adalah antibiotik makrolida poliena yang menghambat sintesis


sterol dalam membran sitoplasma. Banyak jamur dan ragi yang sensitif
terhadap nistatin termasuk spesies Candida. Keuntungan utama dari
nistatinadalah tidak terserap di kulit utuh. Nistatin tidak tersedia sebagai
larutan ottic untuk pengobatan otomycosis. Nistatin bisa diresepkan sebagai
krim, salep atau bedak. Dengan tingkat efektivitas hingga 50-80% .

b. Azoles adalah agen sintetik yang menurunkan konsentrasi ergosterol dan


sterol esensial dalam membran sitoplasma normal.

c. Klotrimazol paling banyak digunakan sebagai azol topikal. Tampaknya


menjadi salah satu agen yang paling efektif untuk manajemen otomikosis
dengan tingkat efektif 95-100%. Klotrimazol memiliki efek bakteri dan ini
adalah keuntungan ketika dokter mengobati infeksi jamur dan bakteri
campuran. Klotrimazol tidak
memiliki efek ototoksik dan tersedia dalam bentuk bubuk, losion, dan
larutan.

d. Ketokonazol dan flukonazol memiliki aktivitas spektrum yang luas. Khasiat


ketokonazole dilaporkan 95-100% terhadap spesies Aspergillus dan
Candida albicans. Dapat ditemukan dalam bentuk krim 2%. Flukonazol
topikal telah dilaporkan efektif pada 90% kasus.

e. Krim mikonazol 2% juga telah ditunjukkan pada tingkat kemanjuran hingga


90% .

f. Bifonazole adalah agen antijamur dan umum digunakan di tahun 80- an.
Potensi larutan 1% mirip dengan klotrimazol dan mikonazol. Bifonazol dan
turunannya menghambat pertumbuhan jamur hingga 100% .

g. Itrakonazol juga memiliki efek in vitro dan in vivo terhadap spesies


Aspergillus.

C. Uraian Bahan Alam

1. Jahe
Kedudukan tanaman jahe dalam taksonomi tumbuhan adalah
sebagai berikut(USDA, 2021) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Subfamili : Zingiberoidae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale
Komposisi jahe adalah 84,09% air, 13,38% bahan organik dan 1,53%
bahan anorganik. Jahe segar mengandung 80,9% kelembaban, 2,3% protein,
0,9% lemak, 1,2% mineral, 2,4% serat, dan 12,3%
karbohidrat. Mineral yang ada pada jahe adalah zat besi, kalsium dan fosfat.
Jahe juga mengandung vitamin seperti tiamin, ribaflovin, niasin dan vitamin C.
Komposisinya bervariasi menurut jenis, varietas, kondisi agronomis, metode
pengawetan, pengeringan dan kondisi penyimpanan (Moatesano, 2019).
Jahe merupakan komoditas pertanian yang memiliki peluang dan
prospek yang cukup baik untuk dikembangkan di Indonesia. Jahe tidak hanya
digunakan sebagai bahan rempah dan obat, tetapi juga sebagai bahan makanan,
minuman dan juga kosmetika. Bahan aktif pada jahe terutama minyak atsiri,
gingerol, shogal dan zingeron dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal terstandar
maupun fitofarmaka (BTTP, 2012).
Peluang pengembangan jahe di Indonesia masih cukup cerah, hal ini
dapat dilihat dari permintaan pasar dalam negeri untuk keperluan berbagai
industri belum bisa dipenuhi sehingga Indonesia masih mendatangkan jahe dari
China. Permintaan pasar akan ekspor jahe cukup tinggi di Indonesia seperti untuk
negara Belanda membutuhkan 40 ton setiap bulannya (BPTP, 2012).
Pembudidayaan jahe hampir dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan data Dirjenbun (2010-2019) pada tahun 2013, produktivitas jahe
tertinggi di Indonesia berada di wilayah Sumatera dengan produktivitas
mencapai 27.4 ton. Di Sumatera Utara, tanaman jahe hampir dibudidayakan di
seluruh kabupaten dan kota. Sentra penanaman jahe terbesar pada tahun 2012
berdasarkan data Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara terdapat di
Kabupaten Simalungun yaitu dengan luas areal penanaman 135 Ha dengan
produksi mencapai 3.909 ton per tahun dengan produktivitas rata-rata sekitar 29
ton/ha (BPTP, 2012).

2. Virgin Coconut Oil (VCO)


Kedudukan Kelapa dalam taksonomi tumbuhan adalah sebagai
berikut (USDA,2021) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathopyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Cocos
Spesies : Cocos Nucifera Linn
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman yang sangat
berguna dalam kehidupan ekonomi masyarakat karena semua bagian dari pohon
kelapa dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Salah satu
bagian kelapa yang mempunyai banyak manfaat adalah daging buah kelapa
yang di ambil santannya untuk dijadikan minyak kelapa murni (Sardi, 2017).
Virgin Coconut Oil atau yang dikenal sebagai minyak kelapa di
Indonesia dan Malaysia merupakan salah satu minyak nabati diperoleh dari
ekstraksi inti kelapa pada tahap matang baik menggunakan mekanik atau
pemrosesan termal. Oleh karena kandungan asam lemak jenuh dan lemak yang
tinggi, minyak kelapa tahan terhadap modifikasi oksidatif yang membuatnya
dapat awet dan terhindar dari paparan jamur (Narayaanankutty, 2018).
VCO diperoleh dengan mengekstraksi inti kelapa segar menggunakan
cara alami dan tidak menjalani perawatan kimia apa pun seperti pemurnian,
pemutihan, dan penghilang bau yaitu untuk menghasilkan minyak yang
dimurnikan- dikelantang-deodorisasi (RBD). Dengan kata lain, VCO yang
dihasilkan melalui cara basah, yaitu melalui santan. Standar Nasional Filipina
bersama dengan Biro Standar Produk Pertanian dan Perikanan dan Srivastava
dkk mendefinisikan VCO sebagai minyak yang diperoleh dari inti kelapa yang
segar dan matang secara mekanis atau secara alami dengan atau tanpa
menggunakan panas, tetapi secara khusus tanpa bahan kimia RBD yang tidak
menyebabkan perubahan kandungan alami minyak. Karena VCO dihasilkan
berbeda dari minyak kelapa RBD, minyak yang diperoleh sedikit berbeda dari
segi dari karakteristik sensoriknya. VCO hampir tidak
berwarna, dengan aroma asam yang sedikit terdeteksi, rasa manis dan asin, dan
aroma dan rasa kacang yang jelas. Di sisi lain, RBD minyak kelapa berwarna
kuning, sedikit asin, dan tidak memiliki aroma yang mencolok dan rasa.
(Srivastava, 2018)
VCO dianggap sebagai lemak jenuh karena kandungan asam lemak
jenuhnya lebih dari 90%. Dari studi epidemiologi, konsumsi dalam jumlah
tinggi kolesterol dan lemak jenuh berkontribusi terhadap kolesterol darah tinggi,
sebagai akibatnya persepsi tentang minyak kelapa itu buruk. Dalam beberapa
tahun terakhir, bagaimanapun pra-klinis dan uji klinis telah dilakukan pada
kelapa yang berasal dari minyak dan hasil yang dilaporkan menunjukkan bahwa
VCO menunjukkan hasil positif bagi kesehatan manusia yang mungkin
melawan argumen tersebut. Asam lemak utama yang menyusun TG dianggap
sebagai rantai sedang trigliserida (MCT) yang lebih mudah terhidrolisis dan
lebih mudah diserap daripada rantai TG oleh beberapa lipase di saluran
pencernaan manusia. VCO kayaakan asam lauric, oleh karena itu hidrolisis
MCT menghasilkan mono-lauril gliserol seperti monolaurin yang dianggap
sebagai senyawa aktif secara farmakologis. (Mc Carty, 2016)
D. Kerangka Teori

Telinga Sehat

Infeksi Jamur

Etiologi : Telinga yang lembab, higienitas, infeksi pada


Otomikosis bagian telinga luar.

Kandungan Fenolik, terpen, gingerol, shogaol,


Efeknya: zingeron, eugenol, seskuiterpene dan
Pemberian Ekstrak monoterpene yang ada pada Jahe serta
-Merusak epitel squamosa
Jahe (Zingober kandungan asam kaproat, kaprilat, kaprat,
-Rasa gatal
officinale) & Virgin mirustat, palmitat, stearate, olerat, linoleat,
Coconut Oil dan asam laurat yang ada pada VCO.

infeksi

Gingerol, shogaol, dan zingeron termasuk Senyawa Monolaurin dari asam laurat
dalam senyawa fenol terdapat pada jahe dapat dari VCO memiliki efek antimikroba
mendenaturasi ikatan protein membran sel, dengan cara merusak komponen lipid
Kerusakan sehingga membran sel menjadi lisis dan fenol dari membran sel mikroorganisme.
jaringan dapat menembus ke dalam inti sel sehingga
jamur tidak dapat berkembang

Gangguan
pendengaran

Penyembuhan
otomikosis

Gambar 3. Kerangka Teori


E. Kerangka Konsep

Diameter Zona
F Hambatan
Imidazole .
Kecepatan Pertumbuhan Jamur penyebab Otomikosis
H

Diameter Zona Hambatan


Ekstrak Jahe
Kecepatan Pertumbuhan Jamur penyebab Otomikosis

Diameter Zona Hambatan


Ekstrak VCO 2%
Kecepatan Pertumbuhan Jamur penyebab Otomikosis

Diameter Zona Hambatan


Ekstrak Jahe dan Ekstrak VCO 2%
Kecepatan Pertumbuhan Jamur penyebab Otomikosis

: Variabel bebas
: Variabel terikat

Gambar 4. Kerangka Konsep


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penilitian true experimental design.


Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk
mengidentifikasi adanya koloni jamur pada apusan eksudat penderita otore serta
melihat efektivitas antiotomikosis dari ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan
Virgin Coconut Oil (VCO) terhadap penyembuhan telinga yang terinfeksi
jamur.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian


Pengambilan sampel dilaksanakan di poliklinik THT-BKL RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo, RS Pendidikan Universitas Hasanuddin serta rumah
sakit jejaring lainnya yang ada di kota Makassar. Pemeriksaan biakan koloni
jamur akan dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Makassar. Periode
penelitian direncanakan pada bulan September hingga Desember 2022.

C. Materi Penelitian
a. Alat yang digunakan dalam penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu spekulum telinga,
neraca analitik, cawan petridish, tabung reaksi, rak tabung, beaker glass,
tangkai pengaduk, lidi kapas steril merek Wipar, pipet tetes, alumunium
foil, batang pengaduk, mikroskop lampu spiritus autoclave, lampu
Erlenmeyer, skapel, objek glass, deck glass dan media Sabouraud
Dextrose Agar (SDA).
b. Bahan yang digunakan dalam penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu apusan eksudat
yang diambil dari telinga luar setiap telinga penderita yang datang berobat
di poliklinik THT-BKL, aquades, KOH 10%, ekstrak
Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin Coconut Oil (VCO) konsentrasi 2%.

c. Populasi dan sampel


Populasi pada penelitian ini adalah 50 apusan eksudat penderita
dengan otore yang datang berobat di poliklinik THT-BKL RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo, RS Pendidikan UNHAS dan rumah sakit jejaring
lainnya. Jumlah sampel pada penelitian ini diperoleh dari tiap kelompok
berdasarkan alokasi sampel menggunakan metode Simple Random
Sampling. Penentuan besaran sampel sesuai dengan desain one way
ANOVA menggunakan rumus berikut berikut (Arifin dan Zahiruddin,
2017):

i. Jumlah sampel minimal n = DF/k + 1 n


= 25/5 + 1
n=6

ii. Jumlah sampel maksimal n = DF/k + 1 n


= 50/5 + 1
n = 11
Keterangan:
n : jumlah sampel tiap kelompok perlakuan DF :
degrees of freedom (derajat kebebasan) DF
minimum = 25

DF maximum = 50
k : jumlah kelompok perlakuan

D. Kriteria inklusi dan eksklusi


1. Kriteri inklusi
 Apusan eksudat yang diambil dari telinga luar penderita dengan otore
dan penampakan hifa.
2. Kriteri eksklusi
 Sampel yang rusak sehingga tidak dapat diteliti.
E. Prosedur Penelitian
1. Penyiapan dan pengolahan sampel
Proses pengambilan sampel dilakukan dengan membersihkan liang telinga
luar, lima menit kemudian pasang spekulum telinga yang sudah steril
kemudian dengan lidi kapas steril merek Wipar dilakukan usapan pada
liang telinga secara perlahan dan dengan sedikit tekanan masukkan
kembali ke dalam tabung steril dan sediaan tersebut segera dibawa ke
Laboratorium Kesehatan Daerah Makassar untuk pemeriksaan langsung
dan biakan.
Untuk pemeriksaan langsung ujung lidi kapas dioleskan di atas gelas
objek kemudian ditetesi dengan KOH 10% ditutup dengan kaca penutup
dan diperiksa dengan mikroskop, jamur terlihat sebagai hifa dan spora.
Untuk pemeriksaan biakan, bahan apusan liang telinga diinokulasikan
pada Agar Dekstrose Sabouraud. Biakan disimpan dalam inkubator suhu
25C sampai 30C dan sesudah satu minggu diperiksa tumbuhnya koloni
yang khas untuk masing-masing jamur kemudian diikuti dengan
pemeriksaan sediaan biakan berdasarkan morfologis mikroskopik dan
makroskopik.

2. Pembuatan sediaan Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin Coconut Oil


Pengambilan sampel Jahe (Zingiber officinale) dilakukan pada pagi hari
dan dikumpulkan dalam wadah yang bersih. Sampel yang telah terkumpul,
kemudian dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir. Setelah itu
dirajang dan kemudian dikeringkan dengan cara di angin-anginkan.
Sampel Jahe (Zingiber officinale) yang telah dikeringkan kemudian
diserbukkan dengan cara diblender. Sampel yang telah diserbukkan
kemudian diekstraksi dengan metode maserasi yaitu serbuk Jahe
(Zingiber officinale) sebanyak 500 gram dimasukkan ke dalam wadah
maserasi kemudian ditambahkan pelarut etanol
96% hingga serbuk simplisia terendam. Simplisia direndam selama
3 hari sambil diaduk sekali-kali kemudian dibiarkan pada suhu kamar
dan terlindungi dari sinar matahari. Dipisahkan maserat dari residu
dengan cara filtrasi atau penyaringan. Ekstrak cair yang diperoleh
kemudian dipekatkan dan diuapkan menggunakan rotary evaporator
hingga diperoleh ekstrak pekat.

3. Pembuatan sediaan kombinasi Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin


Coconut Oil
Virgin Coconut Oil dimasukkan kedalam gelas ukur, kemudian
ditimbang ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan dimasukkan ke dalam
gelas ukur yang telah berisi Virgin Coconut Oil kemudian diaduk
hingga benar- benar larut. Sediaan kombinasi Jahe (Zingiber officinale)
dan Virgin Coconut Oil dibuat dalam konsentrasi 2%.

4. Pengujian aktivitas antiotomikosis


Sebelum pemberian perlakuan, kita membagi menjadi 5 kelompok.
Kelompok 1 sebagai kelompok kontrol positif diberi salep (imidazole),
kelompok 2 diberi ekstrak jahe, kelompok 3 diberi ekstrak VCO
konsentrasi 2%, kelompok 4 diberi kombinasi ekstrak jahe dan VCO
konsentrasi 2% sedangkan kelompok 5 sebagai kelompok kontrol
negatif yang tidak diberi perlakuan apapun. Setelah itu, dilakukan
pembagian kelompok uji menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) terhadap pemberian antimikosis di cawan petri.
Kemudian pemberian ekstrak dilakukan setiap hari selama 2 minggu
secara topikal dengan cara meneteskan langsung ke media tanam apusan
eksudat yang terinfeksi jamur.
5. Pengamatan yang dilakukan
Dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop untuk melihat
perkembangan pertumbuhan jamur setelah pemberian perlakuan. Setiap
2 hari selama 2 minggu, semua media tanam dilakukan pengamatan
dengan mikroskop untuk melihat efektivitas dari ekstrak jahe dan VCO
konsentrasi 2% serta kombinasi antara ekstra jahe dan VCO konsentrasi
2%.

F. Analisis Data
Dari hasil penelitian diperoleh data penelitian yang dikumpulkan
kemudian dilakukan analisis statistik menggunakan metode uji ANOVA
(Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji post hoc menggunakan uji
LSD (Least Significant Difference) untuk melihat perbedaan antar kelompok.

G. Definisi Operasional
1. Otomikosis adalah infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur pada kanalis
akustikus eksternus yang ditandai dengan adanya debris warna putih,
abu-abu atau hitam.
2. Pengujian yang dilakukan yaitu dengan menggunakan mikroskop untuk
menilai ada tidaknya perubahan infeksi (jamur) pre dan post pemberian
ekstrak jahe dan VCO konsentrasi 2%.
3. Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin Coconut Oil (VCO) adalah salah
satu bahan alami yang telah terbukti khasiatnya dalam mencegah
pertumbuhan mikroorganisme khususnya jamur. Jahe dibuat ekstrak
kental dengan cara dicuci, dirajang, dikeringkan, dihaluskan, kemudian
bubuk jahe yang telah halus direndam menggunakan pelarut etanol 96%
selama 5 hari lalu disaring menggunakan corong Buchner dan diuapkan
menggunakan Rotary Evaporator merk Heidolph hingga didapatkan
ekstrak kental.
4. Pertumbuhan jamur : untuk pemeriksaan langsung ujung lidi kapas
dioleskan di atas gelas objek kemudian ditetesi dengan KOH 10%
ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa dengan mikroskop, jamur
terlihat sebagai hifa dan spora.
Untuk pemeriksaan biakan, bahan apusan liang telinga diinokulasikan
pada Agar Dekstrose Sabouraud. Biakan disimpan dalam inkubator suhu
25C sampai 30C dan sesudah satu minggu diperiksa tumbuhnya koloni
yang khas untuk masing-masing jamur kemudian diikuti dengan
pemeriksaan sediaan biakan berdasarkan morfologis mikroskopik dan
makroskopik.

5. Perlakuan yang diberikan pada apusan eksudat dari telinga luar


penderita yang mengalami otore sebanyak 50 sampel. Setelah
mengetahui jenis koloni jamur, pemberian perlakuan ekstrak diberikan
dengan membagi : 10 media tanam ditetesi ekstrak jahe,
10 media tanam ditetesi ekstrak VCO konsentrasi 2% dan 10 media
tanam ditetesi kombinasi ekstrak jahe dan VCO konsentrasi 2%.

6. Pengamatan setiap 2 hari selama 2 minggu dilakukan dengan


menggunakan mikroskop untuk melihat pertumbuhan jamur setelah
pemberian ekstrak jahe, ekstrak VCO konsentrasi 2% serta kombinasi
ekstrak jahe dan VCO konsentrasi 2%.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin. & Zahiruddin. Sample Size Calculation in Animal Studies Using


Resource Equation Approach. The Malaysian journal of medical
sciences. 2017. Vol 24(5): 101–105.

Barati B, Okhovvat SAR, Goljanian A, Omrani MR. Otomycosis in Central


Iran: a clinical and mycological study.Iranian Red Crescent Med J.
2011;13(12):873- 76.

Beers SL, Abramo TJ. Otitis externa review. Pediatr Emerg Care.
2014;20:250-6.

Bergsson G, Arnfinnsson J, Steingrı ́msson Ó , Thormar. In Vitro Killing of


Candida albicans by Fatty Acids and Monoglycerides. Antimicrob.
Agents Chemother. 2006; 45: 3209-12.

Boddie, RL and Nickerson, SC. Evaluation of postmilking teat germicides


containing Lauricidin, saturated fatty acids and lactic acid. J. Diary. Sci.
2006; 45: 1725- 30.

BPTP. 2012. Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Jahe. Balai Pengkajian


Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, Medan.

Chin K, Kurian R, Sanders JC. 1997. Maturation of tympanic membrane layers


and collagen in the embryonic and post-hatch chick (Gallus domesticus). J
Morphol, 1997 Sep; 233(3): 257-66.

Montesano D, et al., 2019. Untargeted Metabolomics to Evaluate the Stability


of Extra-Virgin Olive Oil with Added Lycium barbarum Corotenoids
during Storage. Foods. 8: 179.

Gharaghani M, Seifi Z, Zarei MA. Otomycosis in Iran: a review.


Mycopathologia. 2015;179(5-6):415-424.
Gutierrez, P.H, dkk. Presumed Diagnosis: Otomycosis. A Study of 451
Patients. Acta Otorrino laringol Esp 2005; 56: 181-186.

Ji, K.; Fang, L.; Zhao, H.; Li, Q.; Shi, Y.; Xu, C.; Wang, Y.; Du, L.; Wang, J.;
Liu, Q. Ginger oleoresin alleviated gamma-ray irradiation-induced
reactive oxygen species via the Nrf2 protective response in human
mesenchymal stem cells. Oxid. Med. Cell. Longev. 2017, 1480294.

Kumar, Ashish. Fungal Spectrum in otomycosis Patients. JK Science. Vol.


7 No. 3, July-September 2005.

Koltsidopoulos P, Skoulakis C. Otomycosis with tympanic membrane


perforation: a review of the literature [published online May 29, 2019].
Ear Nose Throat J. doi:10.1177/0145561319851499.

Kuhne R, and Lewis B. External and Middle Ears. In: King, A.S., and
McLelland, J., Eds. Form and Function in Birds. Vol. 3. Academic Press,
NY. 1985, pp227- 271.

Larsen ON, Christensen-Dalsgaard J, Jensen KK. 2016 Role of intracranial


cavities in avian directional hearing. Biol. Cybern.110, 319–331.
(doi:10.1007/ s00422- 016-0688-4).

Li Y, He L. Diagnosis and treatment of otomycosis in southern China.


Mycoses. 2019;62(11):1064-1068

Mahmoudabadi AZ, Masoomi SA, Mohammadi H. Clinical and mycological


studies of otomycosis.Pak J Med Sci. 2010;26(1):187-190.

Malole M.B.M. & Pramono C.S.U. (1989). Penggunaan Hewan-hewan


Percobaan di Laboratorium. Bogor, IPB.

Marina, A. M., Cheman, Y.B., Nazimah, S.A.H. & Amin, I. 2009. Chemical
Properties of Virgin Coconut Oil. Journal of the American Oil Chemists’
Society. 86(4). 301–307.
McCarty, M. F.; DiNicolantonio, J. J. Lauric Acid-rich Medium-chain
Triglycerides Can Substitute for Other Oils in Cooking Applications and
May Have Limited Pathogenicity. Open Heart. 2016, 3, e000467. DOI:
10.1136/openhrt-2016- 000467.

McLelland J. 1991. A Color Atlas of Avian Anatomy. W.B. Saunders


Company. Metwally A , Ahmed G , Hanan M , Nessma E. Epidemiology,
causative agents, and risk factors affecting human otomycosis infections.
Turkish Journal of Medical Sciences. 2015; 45: 820-826.

Narayanankutty, A.; Illam, S. P.; Raghavamenon, A. C. Health Impacts of


Different Edible Oils Prepared from Coconut (Cocos nucifera): A
Comprehensive Review. Trends Food Sci. Technol. 2018, 80, 1–7

Nipa K, Kamal A, Imtiaz A. Prevalence and Clinicomycological studies of


Otomycosis: A review. Journal of Bioscience, 2019; 28: 121-135. 2.

Prasad, S.; Tyagi, A.K. Ginger and its constituents: role in prevention and
treatment of gastrointestinal cancer. Gastroent. Res. Pract. 2015, 142979.
Priti A , Leimapokpam SD. Journal of Clinical and Diagnostic Research.
2017 Jun, Vol-11(6): 14-18.

Rasyaf, M. 2002. Beternak Ayam Pedaging. Edisi Revisi. Penebar Swadaya,


Jakarta.

Sardi H.D, Nur A, Dastar S. Karakteristik Virgin Coconut Oil (Vco) Yang Di
Panen Pada Berbagai Ketinggian Tempat Tumbuh. e-J. Agrotekbis 2017;
5 (4) : 431 – 440.

Santoso, H.D., Budiarti, L.Y, Carabelly, A.N., 2014. Perbandingan Aktivitas


Antijamur Ekstrak Etanol Jahe Putih (Zingiber officinale) 30% dengan
Chlorhexidine glukonat 0,2% Terhadap Candida albicans In Vitro.
Sudarmono AS. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam petelur. Kanisius.
Jakarta

Syahrijuita. 2017. Karakteristik Biocelulosa Nata De Coco untuk Patch


Miringoplasti.

Schadich, E.; Hlavac, J.; Volna, T.; Varanasi, L.; Hajduch, M.; Dzubak, P.
Effects of ginger phenylpropanoids and quercetin on Nrf2-ARE pathway
in human BJ fibroblasts and HaCaT keratinocytes. Biomed Res. Int. 2016,
2173275.

Srivastava, Y.; Semwal, A. D.; Sharma, G. K. Virgin Coconut Oil as Functional


Oil; Academic Press: Amsterdam, Nederland, 2018.

Supreetha S, Sharadadevi M , Sequeira P.S , Jithesh J , Shreyas T , Amit


M. “Antifungal Activity of Ginger Extract on Candida Albicans: An In- vitro
Study” 2011;2(2):1-5.

Suthama, N. 2005. Respon Produksi Ayam Kampung Petelur Terhadap Ransum


Memakai Dedak Padi Fermentasi dengan Suplementasi Sumber Mineral.
Jurnal Indonesia Tropica Animal Agriculture. Hal: 116 -121.

Swain SK, Behera IC, Sahu MC, Das A. Povidoneiodine soaked gelfoam for the
treatment of recalcitrant otomycosis-Our experiences at a tertiary care
teaching hospital of eastern India. Journal de mycologie medicale, 2018;
28(1), 122- 127.

USDA (United States Departement of Agricultur). 2021. Zingiber oficinalle.


https://plants.usda.gov/home/plantProfile?symbol=ZIOF

Wang LL, Johnson EA. Inhibition of Listeria monocytogenes by fatty acids and
monoglycerides. App. and Environ. Microbiol. 2006; 58: 624-9.
Wibowo Susilo. VCO dan Pencegahan komplikasi diabetes. Jakarta: Pawon
publishing, 2005 : 27-29.

Yeh, H.; Chuang, C.; Chen, H.; Wan, C.; Chen, T.; Lin, L. Bioactive
components analysis of two various gingers (Zingiber officinale Roscoe)
and antioxidant effect of ginger extracts. LWT-Food Sci. Technol. 2014,
55, 329–334.
LAMPIRAN

Lampiran 1 (Skema Kerja)

Rimpang Jahe (Zingiber officinale)

- Dibersihkan
- Dicuci dengan air mengalir
- Dirajang
- Dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan
Rimpang kering

- Diblender dan ditimbang


- Dimaserasi dengan etanol 70%
- Disaring
- Ampasnya direndam kembali
dengan cairan penyari yang baru
- Disaring kembali

Ekstrak pekat Rimpang Jahe


(Zingiber officinale)

- Diuapkan menggunakan Rotary Evaporator (rotavapor)

Ekstrak etanol kental Rimpang Jahe


(Zingiber officinale)

Gambar 5. Skema kerja pembuatan ekstrak Rimpang Jahe (Zingiber


officinale)
Kelapa tua

- Dibersihkan
- Dicuci dengan air mengalir
- Dirajang
- Diparut/diblender hingga halus

Parutan kelapa

- Direndam dengan air bersih


- Kemudian diremas untuk
mendapatkan santan kelapa
- Air hasil remasan kemudian disaring

Santan Kelapa

- Diamkan selama beberapa jam


hingga larutan santan kelapa
membentuk dua lapisan.
- Ambil lapisan yang diatas yang
merupakan santan kental

Santan kental

- Diamkan lagi selama 24 jam hingga


minyak terpisah dari blondo kelapa.
- Diambil lapisan minyak yang di
bagian atas lapisan.

Virgin Coconut Oil

Gambar 6. Skema kerja pembuatan Virgin Coconut Oil


Ekstrak Jahe (Zingiber officinale)
dan Virgin Coconut Oil

Ditimbang 2% konsentrasi ekstrak Jahe


dan VCO dengan perbandingan 1:1

Dimasukkan kedalam wadah bersih

Ditambahkan bahan pengemulsi


berupa Polisorat 80 (Tween 80)

Diaduk hingga ekstrak Jahe dan VCO


tercampur secara sempurna.

Gambar 7. Mekanisme kombinasi ekstrak Jahe (Zingiber officinale) dan Virgin Coconut Oil
50 apusan eksudat
penderita otore

Apusan eksudat dibiakkan pada


Agar Dektrose Sabourd

Ditumbuhkan selama 7 hari

Kel 1 Kel 2 Ekstrak Kel 3 VCO 2% Kel 4 Kel 5 Kontrol


Kontrol positif (salep Jahe 2% Kombinasi ekstrak Jahe negatif
Imidazole 2%) & VCO 2%

Diberikan setiap hari selama 2 minggu


Evaluasi perbaikan dari pemberian ekstrak setiap 2 hari dengan mikroskop

Data dan Analisis

Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 8. Alur Penelitian


Lampiran 2

(Perhitungan Konsentrasi) Perhitungan konsentrasi ekstrak Jahe & VCO

kstrak konsentrasi 2%
E
2% = 2 gram = 0,01 gram

100 ml 0,5 ml
Lampiran 3 (Gambar)

1. Gambar Jahe

2. Gambar VCO (Virgin Coconut Oil)

Anda mungkin juga menyukai