Anda di halaman 1dari 45

BUKU PENUNTUN KERJA

KETERAMPILAN KLINIK

PEMERIKSAAN FISIS
TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN
KEPALA LEHER

Diberikan pada mahasiswa semester V


Fakultas Kedokteran Unhas

SISTEM INDERA KHUSUS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS
2022

1
Revisi manual Keterampilan Kilinik THT.BKL
 Belum revisi 10 tahun
 Perlu dilengkapi/ditambahkan pemeriksaan
klinik lain yang terbaru (ter-update)
 Lebih terinci penjelasan manual CSL yang
sudah ada
 Keseragaman struktur manual FK Unhas

STRUKTUR MANUAL CSL


- Sampul
- Daftar Isi
- Pendahuluan
- Dasar Teori
- Bahan dan Alat
- Deskripsi Kegiatan
- Langkah Keterampilan Klinik
- Daftar Tilik
- Referensi

Manual CSL THT. BKL yang ada (lama)


- Pemeriksaan Fisis Telinga, Hidung, Tenggorok
dan Kepala Leher
- Pemeriksaan Palpasi Kelenjar Limfe Leher

Saran untuk Revisi


1. Masing-masing Divisi membuat panduan
manual Keterampilan Klinik
 Kelompok Rhinologi & alergi
imunologi (Inspeksi, Palpasi,
Pemeriksaan rhinoskopi anterior,
rhinoskopi posterior, pemeriksaan
sinus paranasal, tes fungsi penghidu,
tambahan tes alergi)
 Onkologi ( Pemeriksaan inspeksi,
palpasi, Pemeriksaan palpasi
nasofaring, Pemeriksaan palpasi
Kelenjar Limfe Leher)
 Otologi, NO dan THT KOM
(Inspeksi, palpasi, Pemeriksaan
otoskopi, tes fungsi tuba
(otopneumatoskop), Irigasi/spooling
telinga, ekstraksi benda asing, TGT,
Whispered voice Test, Tes
Keseimbangan)
 LF/BE (Pem.Faringoskopi,
Laringoskopi Indirect, tes fungsi
pengecap)
2.

2
DAFTAR ISI

....
....

3
SKILL LAB SISTEM INDERA KHUSUS
PEMERIKSAAN FISIS TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK DAN
KEPALA LEHER

PENDAHULUAN
Pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorok adalah suatu pemeriksaan yang
bertujuan untuk mengetahui gambaran anatomi dan kelainan-kelainan pada telinga,
hidung,tenggorok dan kepala leher, tes fungsi pendengaran, tes fungsi keseimbangan, tes
fungsi penghidu dan pengecap. Pemeriksaan dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi,
pemeriksaan otoskopi, rhinoskopi anterior, rhinoskopi posterior, faringoskopi,
laringoskopi indirect, pemeriksaan leher dan melakukan pemeriksaan fungsi
pendengaran (tes penala dan tes bisik/whispered voice test) untuk melihat jenis dan
derajat gangguan pendengaran, tes keseimbangan, tes penghidu dan tes pengecap.

INDIKASI
Untuk mengetahui gambaran anatomi dan kelainan-kelainan pada telinga,
hidung, tenggorok dan kepala leher yang memberikan gangguan pendengaran,
keseimbangan, penghidu dan pengecap

4
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Umum:
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisis telinga, hidung, tenggorok dan kepala
leher serta mampu melakukan tes fungsi pendengaran sederhana, tes keseimbangan,
penghidu dan pengecap secara baik dan benar

Tujuan Khusus:
1. Mahasiswa mampu mengenal dan menjelaskan alat dan bahan yang akan
digunakan dalam pemeriksaan THT.KL
2. Mahasiswa mampu mempersiapkan penderita dalam rangka persiapan
pemeriksaan fisis telinga, hidung, tenggorok dan kepala leher.
3. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisis telinga, hidung tenggorok dan
kepala leher.
4. Mahasiswa mampu melakukan tes-tes fungsi pendengaran sederhana (tes penala
dan Whispered voice test), keseimbangan ( stepping test, Romberg, head thrust,
head shake nystagmus, dynamic visual aquity dan tes kalori sederhana),
penghidu dan pengecap.
5. Mahasiswa mampu mengenal struktur anatomi pada telinga, hidung, tenggorok
dan kepala leher pada pemeriksaan fisis THT.KL
6. Mahasiswa mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan fisis telinga, hidung,
tenggorok dan kepala leher serta hasil tes fungsi pendengaran, keseimbangan,
penghidu dan pengecap.
7. Mahasiswa mampu menentukan apakah kelainan-kelainan yang ditemukan
merupakan kelainan kongenital, keganasan, infeksi , trauma atau kelainan
degeneratif.

MEDIA DAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN


1. Buku panduan skill lab
2. Daftar panduan skill lab
3. Gambar / slide cara pemeriksaan fisis THT.KL dan tes-tes fungsi
pendengaran, keseimbangan, penghidu dan pengecap.
4. Alat tulis menulis / spidol
5. Pemutaran film pemeriksaan fisis THT.KL dan tes-tes fungsi pendengaran,
keseimbangan, penghidu dan pengecap.

METODE PEMBELAJARAN
1. Demonstrasi dan alih ketrampilan
2. Diskusi
3. Daftar tilik dengan sistem skor

5
DESKRIPSI KEGIATAN PEMERIKSAAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK DAN KEPALA LEHER

KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI


1. Pengantar 10 menit Pengantar skill lab
2. Persiapan dan presentasi 15 menit a.Mengatur posisi duduk mahasiswa
pendahuluan b.Mempersiapkan model, media dan
alat yang akan digunakan untuk
pemeriksaan THT.KL.
c.Dosen memberikan penjelasan
jalannya skill lab dan hal- hal lain yang
penting
d. interpretasi hasil melalui audio
visual
e. Memberikankesempatan mahasiswa
untuk bertanya

3. Persiapan Praktek 15 menit a.Mahasiswa dibagi dalam beberapa


kelompok yang terdiri dari pemeriksa
dan penderita
b. Diperlukan mentor untuk
mengamati setiap mahasiswa
d.Siapkan audio visual di ruangan
tertentu /terpisah
4. Pelaksanaan pemeriksaan 60 menit a. Persiapan penderita
fisis THT.KL, tes fungsi b. Persiapan posisi pemeriksa dan
pendengaran, penderita
keseimbangan, tes fungsi c. Melakukan pemeriksaan inspeksi
penghidu dan pengecap dan palpasi pada aurikula, pre-
aurikuler dan retro- aurikuler
d. Melakukan pemeriksaan inspeksi
dan palpasi pada hidung bagian luar
e. Melakukan pemeriksaan fisis
telinga (otoskopi)
f. Melakukan pemeriksaan fisis
hidung (rhinoskopi anterior dan
posterior)
g. Melakukan pemeriksaan
faringoskopi
h. Melakukan pemeriksaan fisis
laringoskopi inderect
i. Melakukan pemeriksaan fisis leher
j. Melakukan pemeriksaan tes penala
k. Melakukan pemeriksaan
whispered voice test (tes bisik)
f. Melakukan pemeriksaan tes fungsi
keseimbangan (stepping test,
Romberg, head thrust, head shake
nystagmus, dynamic visual aquity
dan tes kalori sederhana)
g. Melakukan pemeriksaan tes fungsi
penghidu
h. Melakukan pemeriksaan tes
pengecap
h. Pembacaan hasil
g. Interpretasi hasil
5. Diskusi / curah pendapat 20 menit a. Pemeriksaan apa yang dirasakan
mudah dan sulit?
b.Mahasiswa menyimpulkan hasil
pemeriksaan otoskopi, rhinoskopi
anterior dan posterior,
faringoskopi, laringoskopi indirect
pemeriksaan leher, tes penala, tes

6
keseimbangan, tes fungsi penghidu
dan tes pengecap yang telah
dilakukan.
c. Instruktur menjelaskan apa yang
kurang dipahami oleh mahasiswa
d. Instrukutur menjawab pertanyaan
e. Instruktur menyimpulkan semua hal
tentang pemeriksaan yang telah
dilakukan
Total Waktu 120 mnt

7
PENUNTUN BELAJAR PEMERIKSAAN FISIS TELINGA, HIDUNG
TENGGOROK DAN KEPALA LEHER

Sebelum melakukan pemeriksaan THT.KL ada beberapa hal yang harus dipersiapkan
antara lain :
1. Persiapan alat dan bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam pemeriksaan THT.KL antara lain :
- Lampu kepala (head lamp)
- Spekulum telinga dengan berbagai ukuran
- Aplikator kapas
- Pinset bayonet dan pinset anatomi
- Cerumen hook dan cerumen spoon
- Otopneumatoscope
- Spekulum hidung dengan berbagai ukuran
- Cermin laring dan nasofaring dengan berbagai ukuran
- Spatel lidah
- Set garpu tala
- Kapas dan kasa
- Larutan Efedrin 1% dan 2%
- Larutan lidokain
- Alkohol 70%
- Iodine povidon
- Spoit 10 cc untuk irigasi telinga dan tes kalori
- Air hangat yang disesuaikan dengan suhu tubuh
- Air dingin untuk tes kalori
- Bunsen

2. Posisi duduk antara pemeriksa dengan pasien


Pemeriksa dan pasien masing-masing duduk berhadapan dengan sedikit
menyerong, kedua lutut pemeriksa dirapatkan dan ditempatkan berdampingan
dengan kaki penderita. Bila diperlukan posisi-posisi tertentu penderita dapat
diarahkan ke kiri atau kanan. Kepala penderita difiksasi dengan bantuan seorang
perawat. Pada anak kecil yang belum koperatif selain diperlukan fiksasi kepala,
sebaiknya anak dipangku oleh orang tuanya pada saat dilakukan pemeriksaan.
Kedua tangan dipeluk oleh orang tua dan kaki anak difiksasi diantara kedua paha
orang tua.
3. Pemasangan lampu kepala (head lamp)
Sebelum dipasang di kepala, lingkar bandana lampu kepala dilonggarkan
( memutar baut pengunci kearah kiri untuk lampu kepala yang memiliki baut
pengunci). Posisi lampu diletakkan tepat pada daerah glabella atau sedikit miring
kearah mata yang lebih dominant. Bila lampu kepala sudah berada pada posisi
yang benar, dan bandana lampu sudah sesuai dengan ukuran lingkar kepala maka
pengunci dieratkan (memutar baut pengunci kearah kanan).
Fokus cahaya lampu diatur dengan memfokuskan cahaya kearah telapak tangan
yang diletakkan kurang lebih 30 cm dari lampu kepala. Besar kecilnya fokus
cahaya diatur dengan memutar pengatur fokus yang terdapat pada lampu kepala
sampai diperoleh fokus cahaya lampu yang kecil, bulat dengan tingkat
pencahayaan yang maksimal. Diusahakan agar sudut yang dibentuk oleh
jatuhnya sumber cahaya kearah obyek yang berjarak kurang lebih 30 cm dengan
aksis bola mata, sebesar 15 derajat

PEMERIKSAAN TELINGA
Mula-mula dilakukan inspeksi telinga luar, perhatikan apakah ada kelainan bentuk
telinga, tanda-tanda peradangan, tumor dan secret yang keluar dari liang telinga.
Pengamatan dilakukan pada telinga bagian depan (pre-aurikuler) dan belakang (retro-
aurikuler).
Setelah mengamati bagian-bagian telinga, lakukan palpasi, apakah ada nyeri tekan, nyeri
tarik atau tanda-tanda pembesaran kelenjar pre dan retro- aurikuler.
Pemeriksaan auskultasi pada telinga dengan menggunakan stetoskop dapat dilakukan
pada kasus-kasus tertentu misalnya pada penderita dengan keluhan tinnitus objektif.

Pemeriksaan liang telinga (otoskopi) dan membran timpani dilakukan dengan cara
menjepit daun telinga dengan menggunakan ibu jari dan jari tengah dan menariknya
8
kearah superior-dorso-lateral dan mendorong tragus ke anterior dengan menggunakan
jari telunjuk. Cara ini dilakukan dengan tangan kanan bila akan memeriksa telinga kiri
dan sebaliknya digunakan tangan kiri bila akan memeriksa telinga kanan. Pada kasus-
kasus dimana kartilago daun telinga agak kaku, kemiringan liang telinga terlalu ekstrim
atau rambut-rambut pada meatus lebat dapat digunakan bantuan speculum telinga yang
disesuaikan dengan besarnya diameter liang telinga. Spekulum telinga dipegang dengan
menggunakan tangan yang bebas untuk memposisikan liang telinga sedemikian rupa
agar diperoleh aksis liang telinga yang sejajar dengan arah pandang mata sehingga
keseluruhan liang telinga sampai permukaan membrane timpani tervisualisasi dengan
bai dapat terlihat.
Amati liang telinga dengan seksama apakah adekuat, terdapat stenosis atau atresia
meatal/canal, obstruksi yang disebabkan oleh sekret, massa, benda asing, serumen
obsturan, polip, jaringan granulasi, edema atau furunkel. Adanya obstruksi (sumbatan)
pada liang telinga akan menyebabkan tertutupnya pandangan pada membran timpani.
sumbatan yang dapat dibersihkan sebaiknya disingkirkan agar membrane timpani dapat
terlihat jelas. Diamati pula kulit liang telinga apakah ada atau tidak hiperemis, laserasi,
atau erosi pada kulit dan tulang.
Pembersihan liang telinga dapat dilakukan dengan beberapa metode, tergantung pada
jenis sumbatan yang ditemukan.
Pembersihan sumbatan oleh sekret dapat menggunakan aplikator kapas, irigasi telinga
atau dengan suction.
Cara membuat aplikator kapas yaitu dengan mengambil kapas secukupnya kemudian
aplikator diletakkan ditengah-tengah kapas aturlah letak aplikator sedemikian rupa
sehingga ujung aplikator terletak kira-kira pada pertengahan kapas, kapas kemudian
dilipat dua sehingga menyelimuti ujung aplikator dan dijepit dengan ibu jari dan jari
telunjuk tangan kiri. Selanjutnya pangkal aplikator diputar searah dengan putaran jarum
jam dengan menggunakan tangan kanan. Setelah ujung aplikator diselimuti gulungan
kapas lakukan pengecekan apakah ujung aplikator yang tajam tidak melampaui ujung
kapas. Selanjutnya kapas aplikator dilewatkan diatas api Bunsen. Bila sekret terlalu
kental dapat dilakukan irigasi air hangat yang disesuikan dengan suhu tubuh. Bilasan
telinga dilakukan dengan menyemprotkan air dari spoit langsung ke dalam telinga.
Ujung spoit diarahkan ke dinding atas kanalis sehingga diharapkan sekret akan
dikeluarkan oleh air bilasan yang balik kembali.
Irigasi ini dapat juga dilakukan pada pembersihan kotoran telinga (serumen) atau benda
asing yang permukaannya licin (manik-manik, batu atau biji-bijian), hindari irigasi pada
pengeluaran benda asing yang bersifat erosif atau korosif.
Pada sumbatan yang diakibatkan oleh benda asing berbahan kertas, kain, gabus,
pengangkatannya menggunakan instrumen penjepit seperti pingset atau forcep. Pada
benda asing serangga yang masih hidup perlu dimatikan terlebih dahulu menggunakan
minyak esensial (minyak kelapa atau baby oil) sebelum dikeluarkan menggunakan
instrumen penjepit.
Pengamatan terhadap membran timpani dilakukan dengan memperhatikan permukaan
membrane timpani, posisi membrane (retraksi atau bombans), warna (putih trasparan,
hiperemis atau gelap), ada tidaknya perforasi (posisi sentral atau attik serta ukuran
perforasi), pantulan cahaya (cone of light), struktur telinga tengah yang terlihat pada
permukaan membrane seperti manubrium mallei, umbo, prosesus lateralis, plika
maleolaris anterior dan posterior, ada tidaknya gambaran cairan pada telinga tengah (air
fluid level atatu bubble).

Untuk mengetahui mobilitas membrane timpani dapat digunakan otopneumatoskop. Bila


akan dilakukan pemeriksaan telinga kanan, speculum otopneumoskop difiksasi dengan
ibu jari dan jari telunjuk, daun telinga dijepit dengan menggunakan jari tengah dan jari
manis tangan kiri, sebaliknya dilakukan bila akan memeriksa telinga kiri. Selanjutnya
balon pneumoskop dikembang kempiskan dengan menggunakan tangan kanan. Pada
saat balon pneumoskop dikembang kempiskan, pergerakan membrane timpani dapat
diamati melalui spekulum yang terdapat pada otopneumatoskop. Pergerakan membrane
timpani dapat pula diamati dengan menyuruh pasien melakukan manuver Valsalva yaitu
dengan menyuruh pasien mengambil napas dalam, kemudian meniupkan melalui hidung
dan mulut yang tertutup oleh tangan atau manuver Toynbee yaitu menyuruh pasien
menutup hidung (pencet dengan jari telunjuk dan jempol) dan mulut sambil menelan.
Diharapkan dengan menutup hidung dan mulut, udara tidak dapat keluar melalui hidung
dan mulut sehingga terjadi peninggian tekanan udara di dalam nasofaring. Selanjutnya
akibat penekanan udara, ostium tuba yang terdapat dalam rongga nasofaring akan
terbuka dan udara akan masuk ke dalam kavum timpani melalui tuba auditiva
9
PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS
Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan inspeksi dan palpasi hidung bagian luar
dan daerah sekitarnya. Inspeksi dilakukan dengan mengamati ada tidaknya kelainan
bentuk hidung, tanda-tanda infeksi dan sekret yang keluar dari rongga hidung. Palpasi
dilakukan dengan penekanan jari-jari telunjuk mulai dari pangkal hidung sampai apeks
untuk mengetahui ada tidaknya nyeri, massa tumor atau tanda-tanda krepitasi.

Pemeriksaan rongga hidung dilakukan melalui lubang hidung yang disebut dengan
rhinoskopi anterior dan yang melalui rongga mulut dengan menggunakan cermin
nasofaring yang disebut dengan rhinoskopi posterior.

Rhinoskopi anterior (RA)


RA dilakukan dengan menggunakan spekulum hidung yang ukurannya disesuaikan
dengan besarnya lubang hidung. Spekulum hidung dipegang menggunakan tangan yang
dominant. Spekulum digenggam sedemikian rupa sehingga tangkai bawah dapat
digerakkan bebas dengan menggunakan jari tengah, jari manis dan jari kelingking. Jari
telunjuk digunakan sebagai fiksasi disekitar hidung. Lidah spekulum dimasukkan
dengan hati-hati dan dalam keadaan tertutup ke dalam rongga hidung. Di dalam rongga
hidung lidah spekulum dibuka. Jangan memasukkan lidah spekulum terlalu dalam atau
membuka lidah spekulum terlalu lebar. Pada saat mengeluarkan lidah speculum dari
rongga hidung lidah spekulum dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat untuk menghindari
terjepitnya bulu- bulu hidung.

Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar rongga hidung,
konka-konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan permukaan mukosa rongga
hidung, ada tidaknya massa , benda asing atau sekret. Struktur yang terlihat pertama kali
adalah konka inferior. Bila ingin melihat konka medius dan superior pasien diminta
untuk tengadahkan kepala.

Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle yaitu pergerakan
palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf “ i “. Pada waktu
melakukan penilaian fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar
dengan dasar rongga hidung bagian belakang (posterior). Pandangan mata tertuju pada
daerah nasofaring sambil mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien
mengucapkan huruf “ i ” . Fenomena Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di
dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat
kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini.

Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon
kapas efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung
untuk mengurangi edema mukosa.

Rhinoskopi posterior
Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, 1/3 dorsal lidah ditekan dengan
menggunakan spatel lidah. Jangan melakukan penekan yang terlalu keras pada lidah atau memasukkan
spatel terlalu jauh hingga mengenai dinding faring oleh karena hal ini dapat merangsang refleks muntah.
Cermin nasofaring (ukuran no 1 atau no 2) yang sebelumnya telah dilidah apikan, setelah itu dilakukan
pengetesan untuk mengukur derajat panas cermin dengan menyentuhkan pada kulit punggung tangan
pemeriksa, apabila dirasakan derajat panas cermin sudah bisa ditoleransi maka cermin dimasukkan ke
belakang rongga mulut dengan permukaan cermin menghadap ke atas. Diusahakan agar cermin tidak
menyentung dinding dorsal faring.. Perhatikan struktur rongga nasofaring yang terlihat pada cermin.
Amati septum nasi bagian belakang, ujung belakang konka inferior, medius dan superior, adenoid (pada
anak), ada tidak secret yang mengalir melalui meatus. Perhatikan pula struktur lateral rongga nasofaring :
ostium tuba, torus tubarius, fossa Rossenmulleri.
Selama melakukan pemeriksaan pasien diminta tenang dan tetap bernapas biasa melalui hidung. Pada
penderita yang sangat sensitif, dapat disemprotkan anestesi lokal dengan lidokain spray ke daerah faring
sebelum dilakukan pemeriksaan.

10
PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS
Inspeksi dilakukan dengan melihat ada tidaknya pembengkakan pada wajah.
Pembengkakan dan kemerahan pada pipi, kelopak mata bawah menunjukkan
kemungkinan adanya sinusitis maksilaris akut. Pembengkakan pada kelopak mata atas
kemungkinan sinusitis frontalis akut. Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk pada gigi
bagian atas menunjukkan adanya Sinusitis maksilaris. Nyeri tekan pada medial atap
orbita menunjukkan adanya sinusitis frontalis. Nyeri tekan di daerah kantus medius
menunjukkan adanya kemungkinan sinusitis etmoidalis.

PEMERIKSAAN FARING (FARINGOSKOPI)


Penderita diinstruksikan membuka mulut, perhatikan struktur di dalam cavum oris mulai
dari gigi geligi, palatum, lidah, buccal. Lihat ada tidaknya kelainan berupa,
pembengkakan, hiperemis, massa, atau kelainan kongenital.
Lakukan penekanan pada lidah secara lembut dengan spatel lidah. Perhatikan struktur
arkus anterior dan posterior, tonsil, dinding dorsal faring. Deskripsikan kelainan-
kelainan yang tampak. Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada
daerah mukosa buccal, dasar lidah dan daerah palatum untuk menilai adanya kelainan-
kelainan dalam rongga mulut

PEMERIKSAAN LARINGOSKOPI INDIRECT


Instruksikan penderita untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah sejauh mungkin ke
depan. Balut lidah dengan kasa steril kemudian fiksasi diantara ibu jari dan jari tengah.
Pasien diinstruksikan untuk bernafas secara normal, sebelum cermin dimasukkan ke dalam
orofaring dilidah apikan terlebih dahulu, setelah itu dilakukan pengetesan untuk mengukur
derajat panas cermin dengan menyentuhkan pada kulit punggung tangan pemeriksa, apabila
dirasakan derajat panas cermin sudah bisa ditoleransi masukkan cermin laring ke dalam
orofaring. Arahkan cermin laring ke daerah hipofaring sedemikian rupa hingga tampak
struktur di daerah hipofaring yaitu : epiglottis, valekula, fossa piriformis, plika ariepiglotik,
aritaenoid, plika ventrikularis dan plika vocalis. Penilaian mobilitas plika vokalis dengan
menyuruh penderita mengucapkan huruf ‘i’ berulang kali.

TES FUNGSI PENDENGARAN


Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi pendengaran. Salah satu tes fungsi
pendengaran sederhana adalah Tes Bisik ( Whispered Voice Test) dan Tes Penala (tes Garpu Tala). Tes ini
selain mudah dilakukan, cepat dan alat yang dibutuhkan sederhana juga memberikan informasi yang
terpercaya mengenai kualitas dan kuantitas ketulian.

Test Suara Bisik


Test ini amat penting bagi dokter umum terutama yang bertugas di puskesmas- puskesmas, dimana
peralatan masih sangat terbatas untuk keperluan test pendengaran. Persyaratan yang perlu diingat dalam
melakukan test ini ialah :
a. Ruangan Test. Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan harus ada jarak sebesar 6 meter.
Ruangan harus bebas dari kebisingan. Untuk menghindari gema diruangan dapat ditaruh kayu di
dalamnya.
b. Pemeriksa. Sebagai sumber bunyi harus mengucapkan kata-kata dengan menggunakan ucapan
kata-kata sesudah expirasi normal.
Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic) yang terdiri dari kata- kata sehari-hari.
Setiap suku kata diucapkan dengan tekanan yang sama dan antara dua suku kata bisyllabic “Gajah Mada
P.B.List” karena telah ditera keseimbangan phonemnya untuk bahasa Indonesia.
c. Penderita. Telinga yang akan di test dihadapkan kepada pemeriksa dan telinga yang tidak sedang
ditest harus ditutup dengan kapas atau oleh tangan si penderita sendiri. Penderita tidak boleh
melihat gerakan mulut pemeriksa.

Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang jelas misalnya anda akan dibisiki
kata-kata dan setiap kata yang didengar harus diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan test
sebagai berikut :

a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic. Bila tidak menyahut
pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih belum
menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya sampai penderita dapat mengulangi
8 kata-kata dari 10 kata-kata yang dibisikkan. Jarak dimana penderita dapat menyahut 8 dari 10
kata diucapkan di sebut jarak pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai ditemukan satu jarak
pendengaran.
11
Evaluasi test.
a. 6 meter - normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang- tuli berat

Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara kasar derajat ketulian (kuantitas).
Bila sudah berpengalaman test suara bisik dapat pula secara kasar memeriksa type ketulian misalnya :
a. Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja dikatakan becak, gajah
dikatakan kaca dan lain-lain).
b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnya berfrekwensi tinggi seperti s, sy,
c dan lain-lain (cicak dikatakan tidak, kaca dikatakan gajah dan lain- lain).

Test Penala (Tes Garpu Tala)


Test ini menggunakan set garpu tala yang terdiri dari 5 garpu tala dari nada C dengan frekwensi 2048
Hz,1024 Hz, 512Hz,256 Hz dan 128 Hz. Keuntungan test garpu tala adalah dapat diperoleh gambaran
pendengaran dengan cepat.Kekurangannya adalah tidak dapat menentukan besarnya intensitas bunyi.
Sentuhan garpu tala harus lunak tetapi masih dapat didengar oleh telinga normal. Terdapat empat jenis
pemeriksaan garpu tala yaitu :
a. Test garis pendengaran
b. Tets Weber
c. Tets Rinne
d. Test Schwabach

Tes garis pendengaran.


Tujuan test ini adalah untuk mengetahui batas bawah dan batas atas ambang pendengaran. Telinga kanan
dan kiri diperiksa secara terpisah.

Cara pemeriksaan.
Semua garpu tala satu demi satu disentuh secara lunak dan diletakkan kira-kira 2,5 cm di depan telinga
penderita dengan kedua kakinya berada di depan meatus akusticus eksternus kanan dan kiri. Penderita
diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila mendengarkan bunyi. Bila penderita mendengar, diberi tanda
(+) pada frekwensi yang bersangkutan dan bila tidak mendengar diberi tanda (-) pada frekwensi yang
bersangkutan.
Contoh hasil pemeriksaan garis pendengaran :
Ka Frekwensi Ki
- 2.048 +
- 1.024 +
- 512 +
- 256 -
+ 128 -
telinga kanan tidak mendengar frekwensi 2. 048 Hz dan 1. 024Hz sedang frekwensi- frekwensi lain dapat
didengar, telinga kiri tidak mendengar frekwensi 128 Hz dan 256 Hz, sedangkan frekwensi-frekwensi lain
dapat didengar. Pada contoh di atas telinga kanan batas atasnya menurun berarti telinga kanan menderita
tuli sensorineural. Pada telinga kiri batas bawahnya meningkat berarti telinga kiri menderita tuli konduktif.

Test Weber.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Telinga normal hantaran
tulang kiri dan kanan akan sama.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh diletakkan pangkalnya
pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah mendengar atau tidak. Bila mendengar
langsung ditanyakan di telinga mana didengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di kanan
disebut lateralisasi ke kanan.

b. Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapa kemungkinan
1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural
4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5. Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak dapat menegakkan diagnosa

12
secara pasti.

Test Rinne.
Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga.
- Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang.
- Pada gangguan pendengaran dan ketulian sensorineural hantaran udara lebih panjang daripada
hantaran tulang.
- Pada tuli konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara

Tata cara pemeriksaan:

- Pemeriksa menggetarkan garpu tala frekuensi 512 Hz dengan cara dipetik atau diketukkan
pada tulang siku pemeriksa
- Pangkal garpu tala lalu diletakkan pada prosessus mastoid (belakang telinga) bila pasien
tidak mendengar bunyi garpu tala lagi pasien diminta untuk mengangkat tangan kemudian
garpu tala dipindahkan ke depan liang telinga (jarak ± 5 cm). Bila penderita mendengar
bunyi garpu tala di depan liang telinga berarti Rinne (+). Bila tidak mendengar bunyi ketika
dipindahkan ke depan telinga berarti Rinne (-).

a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak pada tangan dan
pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari telinga yang akan diperiksa. Kepada
penderita ditanyakan apakah mendengar dan sekaligus di instruksikan agar mengangkat tangan
bila sudah tidak mendengar. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala dipindahkan hingga
ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus akustikus eksternus dari telinga yang
diperiksa. Bila penderita masih mendengar dikatakan Rinne (+). Bila tidak mendengar dikatakan
Rinne (-)
b. Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli sensorineural. Rinne negatif berarti tuli
konduktif.
c. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-hati dengan apa yang
dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi pada tuli sensorineural yang unilateral dan berat.
Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum getarannya di tangkap oleh telinga yang baik
dan tidak di test (cross hearing). Kemudian setelah garpu tala diletakkan di depan meatus acusticus
externus getaran tidak terdengar lagi sehingga dikatakan Rinne negatif

+R -

Test Schwabach.
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita dengan hantaran tulang pemeriksa
dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh secara lunak diletakkan
pangkalnya pada planum mastoiedum penderita. Kemudian kepada penderita ditanyakan apakah
mendengar, sesudah itu sekaligus diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidak
mendengar dengungan. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala segera dipindahkan ke
planum mastoideum pemeriksa.
Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan schwabach memendek atau pemeriksa sudah
tidak mendengar lagi. Bila pemeriksa tidak mendengar harus dilakukan cross yaitu garpu tala mula-mula
diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa kemudian bila sudah tidak mendengar lagi garpu tala
segera dipindahkan ke planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan.
Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal dan bila masih mendengar dikatakan
schwabach memanjang.
b. Evaluasi test schwabach
1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan dan keadaan ini
ditemukan pada tuli sensory neural
2. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan dan keadaan ini
ditemukan pada tuli konduktif
3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak mendengar dengungan.
Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga penderita normal juga.

S
PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN (VESTIBULER)
Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi keseimbangan.

TES HEADSHAKE NYSTAGMUS (HSN)

13
Pasien diminta untuk menundukkan kepala 30 derajat. Goyangkan kepala pasien ke kanan dan ke
kiri secepat mungkin selama 30 detik (mata pasien terbuka)
Hasil :
Nistagmus horizontal arah ke sisi sehat pada beberapa detik pertama Nistagmus horizontal arah ke
sisi lesi terjadi 20 detik setelah headshake HSN berkorelasi baik dengan kelainan vestibuler perifer

TES DYNAMIC VISUAL ACUITY (DVA)


Pasien diminta untuk membaca huruf pada Snellen eye chart (seperti

14
memeriksa visus mata), tandai pada garis kemampuan membaca maksimal Goyangkan kepala ke
kanan dan ke kiri pada kecepatan 2 Hz (seperti tes headshake) sambil pasien diminta membaca
chart tadi
Kehilangan kemampuan membaca lebih dari 2 garis menandakan adanya hipofungsi vestibuler
bilateral

TES HEAD THRUST (HEAD IMPULSE)


Pasien diminta menundukkan kepala 30 derajat, Kemudian pasien diminta untuk menoleh ke
lateral 15-30 derajat, tetapi mata tetap fokus ke target pusat (mis. Ke hidung pemeriksa).
Dengan cepat kepala pasien digerakkan kembali ke pusat, mata tetap fokus ke target pusat
Perhatikan apakah ada gerakan sakadik pada mata pasien akibat kurangnya fiksasi visual pada
saat tes
Berkurangnya fiksasi visual behubungan dengan menurunnya fungsi kanalis semisirkularis
ipsilateral (sisi lesi)

TES ROMBERG
Tes screening untuk keseimbangan berdiri
Pasien diminta untuk berdiri dengan kaki sejajar, kedua tangan menyilang di dada
Bandingkan pada saat mata terbuka dan mata tertutup masing-masing selama 30 detik

TES STEPPING
Pasien diminta untuk berdiri jalan ditempat dengan kedua tangan dijulur kedepan dada sambil
menutup mata.

Tes Kalori Sederhana


Salah satu tes yang biasa digunakan di Klinik adalah Tes Kalori Sederhana. Tes ini selain mudah
dilakukan, tidak rumit , cepat, alat yang dibutuhkan sederhana juga memberikan informasi yang terpercaya
mengenai jenis gangguan keseimbangan. Sebelum dilakukan tes, sebaiknya penderita tidak
mengkonsumsikan obat-obatan minimal 4 hari.
Alat yang dibutuhkan
- Air masak, Es batu, Termometer, Spoit 50 cc, Stopwatch

Pasien dalam posisi baring dengan kepala dielevasi 30 derajat di atas bidang horizontal. Air steril
sebanyak 20 cc dengan suhu 20 derajat dimasukkan ke dalam liang telinga selama 5 detik. Setelah itu
penderita menghadap ke atas dan diinstruksikan untuk tetap membuka mata selama tes dilakukan.
Nistagmus yang terjadi diamati. Catat jumlah, lama, arah dan keluhan yang menyertai nistagmus (mis:
vertigo, mual, muntah dll). Normal akan didapatkan nistagmus selama lebih dari 2 menit dan selisih waktu
nistagmus pada kedua labirin tidak lebih dari 20 detik. Tes ini bermakna bila diidapatkan nistagmus
kurang dari 90 detik. Hal ini didapatkan pada moderat hipoexcitability (canal paresis) labirin. Bila dengan
suhu 20 derajat tidak didapatkan respon maka tes ini dilanjutkan dengan air suhu 10 derajat atau 0 derajat.
Bila pada suhu ini tidak didapatkan respon, ini menandakan adanya komplit kanal paresis atau kanal
paresis berat.

TES FUNGSI PENGHIDU DAN PENGECAPAN


Tes Fungsi Pengecapan
Sensibilitas lidah sebagai fungsi pengecapan secara sederhana dapat diperiksa dengan meletakkan
substansi bahan tes yang dilarutkan dalam air pada tempat-tempat tertentu di lidah. Bahan tes yang
dianjurkan adalah gula pasir untuk rasa manis, garam untuk rasa asin, jeruk untuk rasa asam dan kina
untuk rasa pahit. Penderita diinstruksikan menjulurkan lidah sementara hidung ditutup.

Untuk rasa manis letakkan pada ujung lidah, rasa asam pada kedua tepi lidah, rasa asin pada ujung dan
tepi lidah, rasa pahit pada belakang lidah. Tes dilakukan satu persatu kemudian di catat berapa waktu yang
dibutuhkan pada saat meletakkan bahan tes sampai terjadi sensasi, catat sensasi yang dirasakan oleh
penderita. Sebaiknya penderita disuruh berkumur-kumur setiap selesai satu tes sebelum dilanjutkan ke tes
berikutnya.
Nilai normal diperoleh bila penderita dapat merasakan sensasi rasa manis 50 detik

setelah diletakkan dan mencapai puncaknya dalam waktu 2 menit. Untuk sensasi rasa asin sensasi
dirasakan pada saat substansi diletakkan dan menurun dalam waktu 2 menit. Untuk sensasi asam dan pahit
nilai normal didapatkan bila penderita merasakan sensasi tersebut dalam 2 menit. Dikatakan Hipogeusia
bila sensasi dirasakan setelah 2 menit dan Ageusia bila penderita tidak merasakan apa-apa.

Tes Fungsi Penghidu


Alkohol Sniff Test (AST)
- Sangat baik utk skrining
- Penderita diinstruksikan untuk mengendus bau isopropil alkohol dengan mata tertutup.
- Kapas yang telah diberi alkohol didekatkan perlahan-lahan ke hidung penderita. Dimulai kira-
kira 20 – 30 cm dari mid sternum.
- Normosmik : dapat menghidu dari jarak > 10 cm

15
- Hiposmik : 0 – 10 cm ( 1, 2, 3 an 4 cmm : berat )
- Anosmik : tdk dpt mencium sama sekali

16
17
18
19
20
PENUNTUN BELAJAR PEMERIKSAAN FISIS THT

LANGKAH KLINIK KASUS


A. PENGANTAR
1. Ucapkan salam
2. Persilahkan penderita untuk duduk
3. Dengan sopan, tanyakan identitas penderita (nama,umur,pekerjaan,
pendidikan, alamat)
B. ANAMNESIS
1. Tanyakan tentang :
 Keluhan utama yang mendorong penderita berobat
 Keluhan lain yang menyertai keluhan utama
 Riwayat penyakit terdahulu dan sekarang, riwayat berobat,
riwayat penyakit dalam keluarga,dll
C. PEMERIKSAAN
1. UMUM
 Keadaan umum
 Tanda vital (Tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh)
2. FISIS THT
a. Jelaskan tentang prosedur pemeriksaan kepada penderita, juga bahwa
pemeriksaan ini kadang – kadang menimbulkan perasaan khawatir
atau tidak enak tetapi tidak akan membahyakan penderita.

b. Atur posisi duduk penderita


c. Pasang lampu kepala
d. Atur fokus lampu kepala
PEMERIKSAAN TELINGA
e. Inspeksi telinga luar.
f. Palpasi telinga luar
 Tampak menekan dengan jari telunjuk tangan kanan pada daerah
depan dan belakang telinga untuk menilai adanya kelainan-
kelainan pada telinga
 Menarik aurikula untuk menilai ada tidaknya nyeri
g. Otoskopi:
 Melakukan pemilihan spekulum telinga yang tepat
 Memegang dan memposisikan daun telinga yang akan diperiksa
 Mengarahkan sorotan lampu kepala ke dalam liang telinga
 Menilai keadaan liang telinga
 Memasukan spekulum telinga ke dalam liang telinga
 Menilai keadaan gendang telinga
 Mengeluarkan spekulum teling dari dalam liang telinga
 Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
PEMERIKSAAN HIDUNG
h. Inspeksi hidung luar dan sekitarnya
i. Palpasi
 Tampak menekan dengan jari telunjuk tangan kanan pada daerah
pangkal hidung, pipi, supra orbitalis dan daerah interkantus untuk
menilai adanya kelainan-kelainan pada hidung dan sinus
paranasalis
j. Rinoskopi anterior
 Melakukan pemilihan spekulum hidung yang tepat
 Memegang dan memasukkan spekulum hidung ke dalam rongga
hidung
 Mengarahkan sorotan lampu kepala ke dalam rongga hidung
 Menilai struktur di dalam rongga hidung
 Melihat fenomena “palatum molle”
 Mengeluarkan spekulum hidung dari rongga hidung

k. Rinoskopi posterior:
 Melakukan pemilihan cermin nasofaring yang tepat

21
 Menyuruh penderita membuka mulut
 Melakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
 Melidah apikan cermin nasofaring sebelum dimasukkan ke dalam
orofaring
 Memposisikan cermin nasofaring di dalam orofaring
 Menilai struktur di dalam nasofaring
 Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
l. Faringoskopi
 Penderita diinstruksikan membuka mulut
 Lakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
 Tampak memperhatikan keadaan cavum oris sampai orofaring
 Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada
daerah mukosa bukkal, dasar lidah dan daerah palatum untuk
menilai
adanya kelainan-kelainan dalam rongga mulut
PEMERIKSAAN LARING FARING
Laringoskopi indirek
 Melakukan pemilihan cermin laring yang tepat
 Instruksikan penderita untuk membuka mulut dan menjulurkan
lidah sejauh
 Pegang lidah dengan kasa steril . Pasien diinstruksikan untuk
bernafas secara normal
 Masukkan cermin laring yang telah dilidah apikan ke dalam
orofaring .
 Posisikan cermin laring sedemikian rupa hingga tampak struktur
di daerah hipofaring
 Menilai mobilitas plika vocalis dengan menyuruh
penderita mengucapkan huruf i berulang kali
 Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
 Angkat kedua tangan dari dinding perut ibu kemudian ambil
stetoskop monoaural dengan tangan kiri, kemudian tempelkan
ujungnya pada dinding perut ibu yang sesuai dengan posisi
punggung bayi (bagian yang memanjang dan rata).

PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
LANGKAH KLINIK KASUS
A. TES BISIK
 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
 Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
 Mengatur posisi duduk dengan pasien
 Dengan menggunakan sisa udara ekspirasi pemeriksa
membisikkan beberapa kata bisyllabic pada jarak 6 meter
 Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari
penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih belum
menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya
sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-
kata yang dibisikkan.
 Catat hasil yang diperoleh dan interpretasinya.

B. TES GARPU TALA


1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Mempersiapkan alat yang akan digunakan untuk pemeriksaan
3. Mengatur posisi duduk dengan pasien

22
4. Tes Garis Pendengaran
 Getarkan garpu dengan lembut, kemudian posisikan kira-kira 2,5 –
3 cm di depan telinga penderita
 Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila mendengar
bunyi dari garpu tala

23
 Lakukan mulai dari gapu tala frekwensi rendah sampai tinggi
 Tes dilakukan pada kedua telinga
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
5. Tes Rinne R
 Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
 Letakkan pada planum mastoid.
 Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila sudah
tidak mendengar bunyi dari garpu tala atau sebaliknya
 Pindahkan garpu tala ke depan telinga yang sedang diperiksa bila
penderita sudah tidak mendengar
 Tes dilakukan pada kedua telinga
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
6. Tes Weber
 Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
 Letakkan pada dahi atau vertex
 Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan telinga mana yang
lebih jelas mendengar bunyi
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
7. Tes Schwabach
 Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
 Letakkan pada planum mastoid.
 Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila sudah
tidak mendengar bunyi dari garpu tala atau sebaliknya
 Pindahkan garpu tala ke planum mastoid pemeriksa bila penderita
sudah tidak mendengar
 Tes dilakukan pada kedua telinga
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

8. Tes Bing
 Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
 Letakkan pada planum mastoid
 Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan mana yang lebih
jelas mendengar bunyi pada saat liang telinga tertutup atau terbuka
 Tes ini untuk memastikan gangguan konduktif

24
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
LANGKAH KLINIK KASUS
TES KESEIMBANGAN
TES HEADSHAKE NYSTAGMUS

 Pasien diminta untuk menundukkan kepala 30 derajat.


 Goyangkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri secepat
mungkin selama 30 detik (mata pasien terbuka)
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

TES DYNAMIC VISUAL ACUITY


 Pasien diminta untuk membaca huruf pada Snellen eye
chart (seperti memeriksa visus mata), tandai pada garis
kemampuan membaca maksimal
Goyangkan kepala ke kanan dan ke kiri pada kecepatan 2
Hz (seperti tes headshake) sambil pasien diminta membaca
chart tadi
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

TES HEAD THRUST (HEAD IMPULSE)


 Pasien diminta menundukkan kepala 30 derajat, Kemudian
pasien diminta untuk menoleh ke lateral 15-30 derajat,
tetapi mata tetap fokus ke target pusat (mis. Ke hidung
pemeriksa).
 Dengan cepat kepala pasien digerakkan kembali ke pusat,
mata tetap fokus ke target pusat
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

TES ROMBERG
 Pasien diminta untuk berdiri dengan kaki sejajar, kedua
tangan menyilang di dada
 Bandingkan pada saat mata terbuka dan mata tertutup
masing-masing selama 30 detik
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

25
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN PENGHIDU DAN PENGECAPAN
LANGKAH KLINIK KASUS
TES PENGHIDU
 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
 Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
 Mengatur posisi duduk dengan pasien
 Penderita diinstruksikan untuk menutup mata dan lubang
hidung yang tidak akan di tes.
 Letakkan bahan tes di depan mid sternum, kira-kira 20-30 cm
dari lubang hidung yang akan diperiksa.
 Perlahan-lahan gerakkan bahan tes dari bawah ke atas menuju
lubang hidung yang akan diperiksa
 Tanyakan kepada penderita sensasi bau apa yang dihidu
 Catat hasil dan interpretasi
TES PENGECAPAN
 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
 Mempersiapkan alat yang akan digunakan untuk pemeriksaan
 Mengatur posisi duduk dengan pasien
 Penderita diinstruksikan menjulurkan lidah sementara hidung
ditutup.
 Letakkan bahan tes sebagai berikut : untuk rasa manis letakkan
pada ujung lidah, rasa asam pada kedua tepi lidah, rasa asin
pada ujung dan tepi lidah, rasa pahit pada belakang lidah.
 Catat waktu yang dibutuhkan pada saat meletakkan bahan tes
sampai terjadi sensasi, catat sensasi yang dirasakan oleh
penderita.
 Penderita disuruh berkumur-kumur setiap selesai satu tes
sebelum dilanjutkan ke tes berikutnya

26
DASAR TEORI
ANATOMI TELINGA DAN ORGAN KESEIMBANGAN

TELINGA LUAR
Aurikula
Telinga bagian luar terdiri dari aurikula, meatus dan kanalis akustikus eksternus serta
membran timpani (MT). Aurikula terdiri dari beberapa bagian diantaranya helix, antihelix,
triangular fossa, scaphoid fossa, concha, cymba, tragus, antitragus, intertragic notch dan lobulus.
Aurikula, meatus dan kanalis akustikus eksternus 1/3 luar terdiri dari kartilago fibroelastik yang
dilapisi oleh perikondrium dan kulit tipis yang mengandung rambut halus disertai glandula
sebasea pada akar rambut pada concha dan scaphoid fossa, sedangkan pada tragus dan intertragic
noch rambut lebih kasar. Pada permukaan lateral aurikula perlekatan perikondrium pada kartilago
sangat kuat, sedangkan pada bagian medial perlekatan perikondrium pada kartilago lebih longgar.
Aurikula memiliki beberapa bagian yang depresi dan elevasi. Concha adalah depresi paling dalam
pada aurikula. Lobulus adalah bagian dari aurikula yang terdiri dari jaringan berserat, lemak, dan
pembuluh darah serta tidak memiliki kartilago. Diantara tragus dan crus dari helix tidak terdapat
kartilago dan daerah ini disebut dengan incisura terminalis. (Dhingra PL, 2010)

Gambar 1. Anatomi aurikula (Janfaza P et al , 2011)

Aurikula merupakan tulang rawan fibroelastis yang melekat pada tulang temporal melalui
otot-otot dan ligamen. (Janfaza P et al , 2011)
● Ligamen ekstrinsik : pada ligamen anterior antara helix dan tragus menempel
pada prosesus zygomaticus, pada ligamen superior antara bagian belakang dari
helix dan superior dari meatus akustikus eksternus dan pada ligamen posterior
menempel antara bagian medial concha dan prosessus mastoideus.
● Ligamen intrinsik : sebuah pita berserat yang menghubungkan antara antihelix
dan cauda helicis, sebuah serat pita yang menghubungkan tragus sampai ke helix
dan bagian posterior meatus akustikus eksternus.

Vaskularisasi pada aurikula didapatkan dari arteri auricular posterior dan arteri temporal
superficial yaitu cabang dari arteri karotis eksterna. Inervasi oleh nervus aurikula yang
mempersarafi sebagian besar permukaan medial aurikula dan bagian posterior dari permukaan
lateral, nervus aurikula-temporal yaitu cabang ketiga dari nervus trigeminus yang mempersarafi
tragus dan crus helix. Sedangkan nervus fasialis dan nervus vagus cabang auricula (Arnold's
27
nerve) mempersarafi concha dan retrourikuler. Aliran kelenjar limfatik pada aurikula dari
permukaan lateral bagian superior ke kelenjar limfe parotis bagian superfisial. Kelenjar limfe
bagian superior dari kranial ke kelenjar limfe mastoid dan bagian dalam dari cervical. (Dhingra,
2010; Moore K et al, 2015)

Gambar 2. Anatomi arteri dan vena pada aurikula (janfaza P et al , 2011)

Meatus dan kanalis Akustikus Eksternus (MAE/KAE)


Meatus dan kanalis akustikus eksternus (MAE dan KAE) memanjang dari bagian medial konka ke
membran timpani dan ukurannya sekitar 24 mm sepanjang dinding posterior. Merupakan satu tabung yang
tidak lurus yang dibentuk oleh dua bagian yaitu pars kartilago pada sepertiga lateral dimana terdapat
fissura Santorini yang merupakan suatu celah alamiah yang terdapat diantara dua struktur ini ( bony-
cartilagineus junction) yang merupakan jalur penyebaran infeksi atau neoplasma dari telinga luar ke
struktur yang lebih dalam ( kelenjar parotis) atau sebaliknya.
Pars kartilago dilapisi oleh perikondrium dan kulit sebagai lapisan pembungkus luar yang mengandung
folikel rambut, kelenjar ceruminosa dan sebaseus yang memproduksi bahan seperli lilin berwarna coklat
dan akan membentuk serumen (kotoran telinga) dengan komposisi tambahan lain berupa pengelupasan
lapisan epidermis kulit, pigmen dan produk-produk lingkungan. Pars osseus pada dua pertiga medial
dilapisi oleh kulit yang sangat tipis dan lapisan subkutan yang melekat erat pada tulang. Batas MAE dan
KAE adalah fossa mandibula (anterior), rongga mastoid ( posterior), resesus epitimpanum (superior
medial) dan kranium (lateral), inferior (kelenjar parotis). (Dhingra PL, 2010)

Gambar 3. Meatus akustikus externus ( Ashley and Snow , 2016)

Nervus fasialis berjalan melalui foramen stilomastoideus ke bagian lateral menuju prosesus
stiloideus di posteroinferior dari KAE dan kemudian masuk ke kelenjar parotis. Vaskularisasi MAE/KAE

28
oleh arteri temporalis superfisialis dan arteri aurikularis posterior serta arteri aurikularis profunda. Vena
mengalir ke vena maksilaris, jugularis eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Aliran limfe menuju ke
lnn. aurikularis anterior, posterior dan inferior. Inervasi oleh cabang aurikularis dari N. Vagus dan cabang
aurikulotemporalis dari N. mandibularis. (Adam et al,1997 ; Janfaza P et al, 2011)

Membran Timpani
Membran timpani (MT) yang membatasi kanalis akustikus eksternus dan kavum timpani
berbentuk miring dan oval dimana bagian postero-superior lebih lateral dibandingkan bagian antero-
inferior. MT yang merupakan batas medial dari KAE berperan dalam resistensi terhadap invasi penyakit
ke kavum timpani dan fossa kranii media. Mempunyai ukuran  9-10 mm, lebar 8-9 mm dan tebal 0,1
mm terbagi menjadi dua bagian yaitu pars tensa ( membran propria) dan pars flaccida (membran
Shrapnel). (Dhingra, 2010)

1) Pars tensa
Membentuk sebagian besar membran timpani, terdiri dari 3 lapis yaitu lapisan epitel skuamosa
(lateral) yang tersambung dengan kulit dari KAE, lamina propria/lapisan fibrosa (tengah) yang
membungkus handle of malleus dan memiliki 3 lapisan radier, sirkuler dan parabolik yang
membentuk dan mempengaruhi konsistensi MT dan lapisan mukosa (medial) yang terhubung
dengan mukosa telinga tengah. Terdapat penebalan pada pars tensa yang membentuk cincin
fibrokartilaginous yang disebut annulus timpani yang sesuai dengan sulkus timpani. Bagian
tengah dari pars tensa berbentuk kerucut yang dibentuk oleh ujung dari handle of malleus yang
melekat pada permukaan MT (umbo). Serabut sirkuler dan radier MT bersama-sama dengan
umbo menghasilkan cahaya (cone of light) berbentuk kerucut pada kuadran antero-inferior.
2) Pars flaccida
Terletak di atas prosessus lateral dari malleus antara notch of Rivinus dan lipatan
malleolar anterior dan posterior. Pars flaccida hanya memiliki dua lapisan saja yaitu lapisan
skuamosa dan lapisan mukosa. Sifat arsitektur MT ini dapat menyebarkan energi vibrasi yang
ideal.

MT bagian medial disuplai cabang arteri aurikularis posterior, lateral oleh ramus timpanikus
cabang arteri aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena maksilaris, jugularis eksterna dan
pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus vagus cabang aurikularis, nervus glossofaringeus
cabang timpanikus ( Jacobson nerve) dan nervus mandibularis (N.V3)cabang aurikulotemporalis.
(Dhingra, 2010)

Gambar 7. Membran timpani ( Janfaza P et al, 2011)

Fungsi MT

29
TELINGA TENGAH

Telinga tengah atau kavum timpani (KT) dilapisi oleh membran mukosa. Topografi KT terdiri

dari batas medial, lateral, anterior, posterior, superior dan inferior. Batas superior dan inferior pars tensa
membagi kavum timpani menjadi epitimpani atau atik, mesotimpani yang sejajar dengan annulus timpani
dan hipotimpanum yang berada dibagian inferior dari mesotimpani. (Dhingra, 2010)

Gambar 8. Anatomi kavum timpani (Dhingra, 2010)

Kavum timpani mempunyai batas – batas sebagai berikut (Drake R et al 2018; Dhingra, 2010) :

Batas superior : dibentuk oleh pelat tipis tulang yang disebut tegmen tympani yang meluas ke
posterior untuk membentuk aditus et antrum dan memisahkan cavum timpani
dari fosa kranii.

Batas inferior : Dibentuk juga oleh pelat tipis tulang yang memisahkan kavum timpani dari
bulbus vena jugularis dan juga diantara batas medial dan inferior ada cabang dari
nervus glossopharingeal (IX).

Batas lateral : Dibentuk oleh hampir seluruh membran timpani, dimana bagian superior (attik)
dari dinding medial dibentuk oleh sebuah tulang yang disebut scutum.

Batas Anterior : Dinding anterior memiliki pelat tipis tulang yang memisahkan rongga dari
arteri karotis interna. Pada dinding anterior ini juga memiliki dua bagian yaitu
yang lebih rendah untuk tuba eustachius dan bagian atas untuk kanal m. tensor
tympani.

Batas posterior : Dibentuk oleh sebagian dinding mastoid, yang memproyeksikan adanya
eminensia pyramid disinilah tendon m. stapideus yang menuju ke stapes.
Kemudian adanya aditus at antrum yang menghubungkan antara cavum timpani
dan rongga mastoid. Nervus facialis berjalan didinding posterior tepat
dibelakang eminensia pyramid. Resesus fasialis adalah dinding posterior lateral
dari pyramidal, dimana batas medial dibatasi oleh potongan vertikal dari nervus
fasialis dan batas lateral oleh chorda timpani dan batas superiornya oleh fossa
incudis.

Batas medial : Dibentuk oleh labirin atau ottic kapsul merupakan struktur yg terdiri dari
densitas tulang yg keras oleh karena itu menjadi brrier yang mencegah ekstensi

30
penyakit (infeksi/tumor) ke telinga dalam tetapi terdapat struktur oval yg
menjadi kelemahanyang membentuk sebuah tonjolan disebut promontorium
yang disebabkan oleh kumpulan dari basal koklea. Kemudian ada oval window
tempat melekatnya kaki dari stapes, round window (fenestra koklea) dilapisi
oleh membran timpani sekunder. Pada bagian atas dari oval window ada kanal
dari nervus fasialis yang berupa suatu tulang dan sangat rentan oleh cedera dan
infeksi. Pada bagian atas dari kanal nervus fasialis ada lateral kanalis
semicircularis. Pada anterior dari oval window di dinding medial terdapat
prosessus cocleariformis yang bebentuk “hook” yang juga menandai adanya
genukulatum.

Gambar 9. Batas kavum timpani (Drake R et al, 2018)

Mastoid adalah bagian posterior dari resesus epitimpanik dari kavum timpani yang
terdapat aditus at antrum yang merupakan sebuah pintu menuju ke antrum mastoid yang berisi air
cells mastoid. Mukosa pada mastoid bersambung sampai ke cavum timpani sehingga infeksi yang
dialami oleh cavum timpani bisa sampai ke mastoid. Telinga tengah terdapat tiga tulang
pendengaran yaitu malleus, incus dan stapes yang tersusun dari membran timpani sampai oval
window dari telinga dalam. Otot yang terkait dengan tulang pendengaran yang memodulasi
gerakan selama transmisi getaran. (Drake R et al, 2018)

Malleus : Tulang terbesar dari tulang pendengaran dan melekat pada membran timpani dan
mempunyai bagian head of malleus yang merupakan bagian dari resessus epitympanicum dan
bagian permukaan posteriornya berartikulasi dengan incus. Kemudian ada neck of malleus, dan
anterior process yang melekat pada dinding anterior cavum timpani oleh ligamentum dan lateral
process yang melekat pada anterior dan posterior lipatan malleolar dari membran timpani dan
handle of malleus yang melekat pada membran timpani.

Incus : Terdiri atas body of incus yang berartikulasi dengan head of malleus dalam bagian resessus
epitympanicum, kemudian ada long process dari incus yang berartikulasi dengan stapes
(processus lentikularis). Sedangkan short process dari incus berada pada dinding posterior dari
cavum timpani.

Stapes s: adalah tulang pendengaran yang paling medial dan melekat pada oval window. Terdiri
dari head of stapes yang berartikulasi dengan incus, kaki stapes terbagi anterior crus dan posterior
crus dan footplate yang melekat pada oval window dari dinding labirin cavum timpani.
31
Gambar 10. Tulang pendengaran : (A) Malleus, (B) Incus, (C) Stapes (Drake R et al, 2018)

Telinga tengah terdapat dua buah otot yaitu m. tensor timpani dan m. stapedius. M tensor timpani
berorigo di dinding semikanal tensor timpani dan berinsersio di bagian atas tulang maleus, inervasi oleh
cabang nervus trigeminus (V3). Otot ini menyebabkan membran timpani tertarik ke arah dalam sehingga
menjadi lebih tegang dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara dan melemahkan
suara dengan frekuensi rendah. M. stapedius berorigo di dalam eminensia pyramid dan berinsersio di
ujung posterior kolumna stapes, hal ini menyebabkan stapes kaku, memperlemah transmini suara dan
meningkatkan resonansi tulang-tulang pendengaran dan inervasi oleh nervus fasialis. Kedua otot ini
berfungsi mempertahankan, memperkuat rantai osikula dan meredam bunyi yang terlalu keras sehingga
dapat mencegah kerusakan organ koklea. (Pansky B and R Thomas, 2014)

Gambar 11. Dinding medial dari cavum nasi (Pansky B and R Thomas, 2014)

Arteri yang memasok struktur di cavum timpani diantaranya dua cabang terbesar yaitu cabang
timpani dari arteri maksilaris yang memasok membran timpani dan arteri aurikularis posterior dari cabang
stylomastoid untuk memasok ke telinga tengah dan air cells mastoid. Selain itu cabang kecil lainnya ada
arteri meningeal medial dari cabang petrosus (berjalan disepanjang saraf petrosus), arteri meningeal
medial cabang arteri timpani superior melintasi sepanjang kanal dari muskulus tensor timpani.Cabang dari
arteri pterygoideus berjalan disepanjang tuba eustachius dan cabang timpani dari karotis interna. Aliran
darah vena bersama dengan aliran arteri dan berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus
pterygoideus.(Dhingra, 2010)
32
Tuba eustachius menghubungkan antara cavum timpani ke nasofaring. Tuba eustachius berada
pada dinding anterior dari cavum nasi dan menuju ke arah medial dan turun kearah nasofaring yaitu
sepertiga posterolateral dari tuba eustachius adalah tulang dan duapertiganya adalah kartilago. Bagian
posterior dari tuba eusthasius dilapisi mukosa dari kavum timpani sedangkan bagian anteriornya oleh
mukosa dari nasofaring. Fungsi dari tuba eusthasius adalah untuk menyeimbangkan tekanan udara pada
cavum timpani dengan tekanan luar cavum timpani, sehingga membuat membran timpani bisa bergerak
bebas. Pada dasarnya tuba eustachius dalam keadaan tertutup dan terbuka saat ada perubahan tekanan pada
cavum nasi yang dipengaruhi oleh pergerakan dari tuba eustachius oleh kontraksi muskulus tensor Veli
palatini dan muskulus levator Veli palatini pada saat menelan atau menguap. Pembuluh darah pada tuba
eusthasius dari arteri faringeal ascendens cabang dari arteri karotis eksterna dan dua cabang dari arteri
maksilaris yaitu arteri meningeal medial dan arteri pterygoideus. drainase vena tuba eusthasius adalah ke
vena Plexus pterygoideus di fosa infratemporal. Inervasi dari tuba eusthasius muncul dari pleksus timpani,
yang terbentuk oleh serat dari nervus glossopharingeal (NIX) dan bagian anteriornya juga menerima dari
ganglion pterygopalatina. (Ashley and Snow, 2016; Moore K et al, 2015)

Gambar 12. Tuba eustachius (Moore K et al, 2015)

4. ANATOMI TELINGA DALAM

Telinga dalam terletak pada tulang temporal bagian petrosa, yang terdiri dari serangkaian tulang
labirin dan membran labirin yang mempunyai batas lateral dengan telinga tengah dan bagian medialnya
terdapat meatus akustikus internal. Labirin terdiri dari labirin membran berisi endolimfe yang merupakan
satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membran
ini di kelilingi oleh tulang labirin, di antara labirin tulang dan membran terisi cairan perilimfe dengan

komposisi elektrolit tinggi natrium rendah kalium. Labirin terdiri dari tiga bagian yaitu pars superior, pars
inferior dan pars intermedia. Pars superior terdiri dari utrikulus dan kanalis semisirkularis, pars inferior
terdiri dari sakulus dan koklea sedangkan pars intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpaticus.
(Drake R et al ,2018; Pansky B and R Thomas, 2014)

Pada tulang labirin terdapat vestibuli yang terletak pada bagian tengah dari tulang labirin terdiri
dari oval window dibagian lateral yang kemudian terhubung dengan koklea dibagian anterior serta di
bagian posterior dengan kanalis semisirkularis. Terdapat sebuah saluran sempit dari vestibuli melewati
tulang temporal dan bermuarah pada bagian posterior dari tulang petrosa yaitu vestibular aqueduct. (Drake
R et al ,2018)

33
Gambar 13. Tulang Labirin (Drake R et al ,2018)

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut
dikenal sebagai modiolus, yang berisi berkas saraf dan suplai darah dari arteri vertebralis. Serabut saraf
kemudian berjalan menerobos suatu tulang yaitu lamina spiralis untuk mencapai sel-sel sensorik organ
corti. Rongga koklea yang bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35
mm. Bagian atas adalah skala vestibuli yang berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis
oleh membrana reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani yang juga mengandung cairan
perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis dan membrana basilaris. Cairan
perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah duktus koklearis melalui
suatu celah yang dikenal sebagai helikoterma. (Adam et al,1997; Pansky B and R Thomas, 2014)

Gambar 14. Anatomi koklea (Drake R et al ,2018)

Organ corti terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks, yang mengandung organel

penting untuk mekanisme saraf pendengaran perifer. Terdiri bagi tiga bagian sel utama yaitu sel
penunjang, selaput gelatin penghubung dan sel-sel rambut yang dapat membangkitkan impuls saraf
sebagai respon terhadap getaran suara. Organ corti terdiri satu baris sel rambut dalam yang berjumlah

sekitar tiga ribu dan tiga baris sel rambut luar yang berjumlah sekitar dua belas ribu. Rambut halus atau
silia menonjol ke atas dari sel-sel rambut menyentuh atau tertanam pada permukaan lapisan gel dari
membran tektorial. Ujung atas sel-sel rambut terfiksasi secara erat dalam struktur sangat kaku pada lamina
retikularis. Serat kaku dan pendek dekat basis koklea mempunyai kecenderungan untuk bergetar pada
frekuensi tinggi sedangkan serat panjang dan lentur dekat helikotrema mempunyai kecenderungan untuk
bergetar pada frekuensi rendah. (Adam et al, 1997)
34
Bagian vestibuli telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis. Kanalis
semisirkularis terbagi atas 3 bagian, yaitu anterior, posterior dan lateral. Masing – masing dari KSS
membentuk 2/3 lingkaran yang terhubung pada kedua ujungnya dengan Vestibuli dan dengan satu ujung
lagi melebar untuk membentuk ampulla. Ujung dari KSS posterior dan anterior menyatu membentuk satu
saluran yang dinamakan crus commune, dengan demikian terdapat 5 saluran KSS kearah vestibuli.
Utrikulus dan makulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini
adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang
mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh
gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan
pada reseptor. Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan
saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap
makula sakulus. (Adam et al, 1997; Drake R et al ,2018)

Gambar 15. Membran labirin dan kanalis semisirkularis (Drake R et al ,2018)

5. FISIOLOGI PENDENGARAN

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk
gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran
timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasi
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan
tingkap lonjong. Energi getar yang telah di amplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran
Reissner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
sterosilia sel-sel rambut. (Drake R et al ,2018; Ashley and Snow, 2016)
Defleksi sterosilia dengan cara terbuka dan tertutupnya kanal ion, menyebabkan aliran ion K+
menuju sel sensori. Perubahan ion potasium dari nilai positif 80-90 mV di skala media menjadi potensial
negatif pada sel rambut luar dan dalam. Hasil depolarisasi ini akan menghasilkan enzim cascade
melepaskan transmiter kimia dan kemudian mengaktifasi serabut saraf pendengaran. Pola pergeseran
membran basilaris membentuk gelombang berjalan dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai
dengan besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh
bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea,
sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran maksimum lebih ke arah
apeks. Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks,
sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun bagian apeks membran
basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan
meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear
amplifier. (Adam et al, 1997; Ashley and Snow, 2016)
35
Suara berfrekuensi rendah menyebabkan aktifasi maksimal pada membran basiliar di dekat apeks
koklea, dan suara berfrekuensi tinggi mengaktifasi membran basiliar di dekat basis koklea. Suara dengan
frekuensi diantaranya akan mengaktivasi membran pada jarak di antara kedua keadaan yang berbeda ini.
Selanjutnya, ada pengaturan spasial pada serabut saraf di jaras koklearis, yang berasal dari koklea ke
korteks serebri. Perekaman sinyal di traktus auditorius pada batang otak dan di area penerima pendengaran
korteks serebri memperlihatkan neuron-neuron otak yang spesifik diaktifasi oleh frekuensi suara tertentu.
Oleh karena itu, metode utama yang digunakan oleh sistem saraf untuk mendeteksi perbedaan suara adalah
dengan menentukan posisi di sepanjang membran basiliar yang paling terangsang. (Adam et al, 1997;
Ashley and Snow, 2016)

36
BUKU PANDUAN KERJA

KETERAMPILAN KLINIK
PEMERIKSAAN PALPASI KELENJAR LIMFA LEHER

Diberikan pada Mahasiswa Semester V


Fak. Kedokteran Unhas

Disusun oleh
dr. Freddy Kuhuwael, Sp.THT

Diedit oleh
dr. Baedah Madjid, Sp.MK

Fakultas Kedokteran

Universitas

Hasanuddin

2020

37
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN PALPASI
KELENJAR LIMFA LEHER

PENDAHULUAN
Palpasi kelenjar leher adalah bagian dari pemeriksaan fisis yang digunakan untuk
mengetahui sifat-sifat dari suatu massa yang terdapat pada leher dengan jalan melakukan
perabaan dengan saksama. Pemeriksaan ini dilakukan setelah inspeksi. Dengan
melakukan palpasi yang benar maka dapat diketahui letak dari pembesaran
kelenjar/massa, bagaimana konsistensinya lunak, fluktuasi, kenyal atau padat; berapa
ukurannya; melekat dengan struktur disekitarnya, apakah nyeri atau tidak; apakah tunggal
atau multiple.
INDIKASI
Untuk mengetahui sifat-sifat dari suatu pembesaran kelenjar limfa massa pada leher
yang mana sangat berhubungan dengan suatu tumor ganas maupun jinak atau suatu
infeksi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu melakukan palpasi kelenjar atau massa pada leher dengan benar dan
tepat.
SASARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu mempersiapkan penderita dalam rangka pemeriksaan palpasi
kelenjar limfa leher.
2. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan palpasi kelenjar limfa dengan benar.
3. Mahasiswa mampu menentukan sifat-sifat pembesaran kelenjar limfe leher.
4. Mahasiswa dapat menginterpretasi pembesaran kelenjar limfa leher.
5. Mahasiswa mampu menentukan apakah pemebesaran kelenjar leher lateral
merupakan keganasan, infeksi akut, tbc kelenjar atau kelainan congenital
MEDIA DAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN
1. Buku panduan skill lab
2. Daftar panduan skill lab
3. Gambar/ slide cara palpasi kelenjar limfe leher
4. Alat tulis menulis / spidol
5. Foto-foto kasus pembesaran kelenjar limf leher
METODE PEMBELAJARAN
1. Demonstrasi dan alih ketrampilan
2. Diskusi
3. Daftar tilik dengan sistem skor

10
DESKRIPSI KEGIATAN

KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI

1. Pengantar 5 menit Pengantar skill lab

2. Persiapan 10 menit a. Mengatur posisi duduk mahasiswa.


b. Merpersiapkan model
c. Dosen memberikan penjelasan hal-
hal yang penting
d.Memberikan kesempatan mahasiswan
untuk bertanya.
e. Semua media dan alat sudah disiapkan
f. Menjelaskan jalanya skill lab dan
menyampaikan berkumpul kembali
untuk interpretasi hasi melalui
audio visual
3. Persiapan praktek 10 menit a. Mahasiswa dibagi dalam
beberapa kelompok
b. Disampaikan setiap mahasiswa
melakukan palpasi kelenjar limf leher
c. Diperlukan mentor untuk
menmgamati setiap mahasiswa
d. Siapkan audio visual di ruangan tertentu/
terpisah
4. Pelaksanaan palpasi 15 menit a. Persiapan penderita
kelenjar limf leher b. Persiapan posisi penderita
c. Melakukan palpasi kelenjar limf leher
f. Pembacaan hasil
d. Interpretasi hasil.
5. Diskusi/curah pendapat 10 menit a. Apa yang dirasakan mudah dan yg sulit?
b. Mahasiswa menyimpulkan hasil palpasi
kelenjar limf leher yang telah
dilakukan
c. Instruktur menjelaskan apa yg kurang
jelas
d. Instruktur menjawab pertanyaan.
e. Instruktur menyimpulkan semua hal
tentang palpasi kelenjar limf leher
Total waktu 50 menit

11
PENUNTUN PEMBELAJARAN
PALPASI KELENJAR LIMFA
LEHER SISTEM INDERA
KHUSUS
( Digunakan oleh Peserta
)

Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan menggunakan kriteria sebagai berikut :
1. Perlu perbaikan : langkah-langkah tidak dilakukan dengan benar
dan tidak sesuai urutannya atau ada langkah yang dihilangkan
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar dan sesuai
dengan urutannya, tetapi tidak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan benar, sesuai dengan urutannya
dan efisien

TS Tidak Sesuai : Langkah tidak perlu dikerjakan karena tidak sesuai dengan
keadaan

NO LANGKAH KEGIATAN KASUS


A. ANAMNESE & PERKENALAN 1 2 3
1. Ucapkanlah salam dan perkenalkanlah diri anda pada klien.
2. Tanyakanlah identitas lengkap penderita dan keluhan utamanya

3. Ciptakanlah suasana yang menyenangkan,


4. Jelaskanlah prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan pada
penderita
5. Cucilah tangan dengan sabun dan air mengalir
B. PEMERIKSAAN KELENJAR LIMFE 1 2 3
6. Dengan sopan persilahkanlah penderita duduk tegak menghadap
pemeriksa
7. Berdirilah didepan atau dibelakang penderita
8. Palpasi dilakukan secara sistematis, dimulai pada daerah yang
diindikasi oleh pemeriksaan inspeksi.
9. Palpasi kelenjar limf submental dan submandibular yaitu
pemeriksa berada di belakang penderita kemudian palpasi
dilakukan dengan kepala penderita condong ke depan sehingga

12
ujung jari-jari meraba di bawah tepi mandibula. Kepala dapat
dimiringkan dari satu sisi kesisi yang lain sehingga palpasi dapat
dilakukan pada kelenjar yang superficial maupun yang
profunda.Dapat juga dilakukan palpasi bimanual dari luar dan
dalam
mulut. Gambar 2,3,4.
10. Palpasi rantai kelenjar jugularis dapat dimulai di uperficial
dengan melakukan penekanan ringan dengan menggerakan jari-jari
sepanjang m.sternocleido mastoideus. Pada palpasi yang lebih
dalam, ibu jari ditekan di bawah m. Sternocleido mastoideus pada
kedua sisi sehingga dapat dipalpasi kelenjar yang terdapat di sub
atau retro dari muskulus ini. Bila pemeriksaan ini negatip atau
meragukan, maka pemeriksa harus berdiri dibelakang penderita
kemudian ibu jari digunakan untuk menggeser m. Sternocleido
mastoideus ke depan sementara jari yang lain meraba pada tepi
anterior muskulus tersebut. Perabaan secara bilateral dan simultan
selalu dianjurkan untuk menilai perbedaan antara kedua sisi. Palpasi
kelenjar leher ini agak sulit pada orang gemuk, leher pendek dan
leher yang berotot, terutama bila kelenjarnya masih kecil.
Gambar 5,6,7.
11. Palpasi kelenjar limfa asesorius dilakukan dengan menekan ibu jari
pada tepi posterior m. trapezius ke depan dan jari-jari ditempatkan pada
permukaan anterior muskulus ini. Gambar 8
12. Palpasi kelenjar limfa supraklavikular dapat dilakukan dengan
duduk di depan atau berdiri dibelakang penderita dimana jari-jari
digunakan untuk palpasi fosa supraklavikular. Gambar 9,10.

B. SELESAI PEMERIKSAAN 1 2 3
13. Jelaskanlah hasil pemeriksaan kepada penderita
14.. Ucapkanlah terima kasih dan salam ke pada penderita
15. Lakukanlah perpisahan dengan klien sambil memberinya harapan.
16.. Cucilah tangan dengan air dan sabun cair

13
14
Fig. 5.8 Bimanual palpation of the
submental region. This allows
comparison between the two sides
Gambar 2 Gambar 3

Fig. 5.9 Combined external and


endoral palpation of the
submandibular region
Gambar 4

15
/
Fig. 5.10 Palpation of
the jugulodigastric chain
Gambar 5
Gambar 6

Gambar 7
Gambar 8

16
Gambar 9 Gambar10

Anda mungkin juga menyukai