Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN KASUS LARING FARING

TRAKEOSTOMI PADA LARINGOMALASIA

OLEH:
Yunia Chairunnisa Abdullah

PEMBIMBING:

Dr. dr. Muh Fadjar Perkasa, Sp.THT-BKL (K)


Dr. dr. Azmi Mi’rah Zakiah, Sp.THT-BKL (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1(PPDS-1)
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN T.H.T.K.L
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. i
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 4
2.1 ANATOMI LARING…............................................................ 4
2.2 FISIOLOGI LARING.............................................................. 7
2.3.LARINGOMALASIA…………………………………………….. 10
2.3.1 DEFINISI..........………………………………………. 10
2.3.2ETIOLOGI ……………..…………….......................... 10
2.3.3 KLASIFIKASI………………………………………… 11
2.3.4 PATOFISIOLOGI…………………………………….. 13
2.3.5 GAMBARAN KLINIS………………………………… 15
2.3.6 DIAGNOSIS…………………………………………… 17
2.3.7 DIAGNOSIS BANDING……………………………… 19
2.3.8 PENATALAKSANAAN………………………………. 19
2.3.9 PROGNOSIS…………………………………………. 21
2.4 ANATOMI TRAKEA…………………………………………… 21
2.5 FISIOLOGI TRAKEA…………………………………………… 28
2.6 TRAKEOSTOMI………………………………………………… 29
2.6.1 DEFINIDI……………………………………………… 29
2.6.2 EPIDEMIOLOGI……………………………………… 29
2.6.3 INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI......................... 30
2.6.4 EVALUASI PREOPERASI....................................... 31
2.6.5 TEKNIK OPERASI................................................... 31
2.6.6 KANUL TRAKEOSTOMI........................................... 36
2.6.7 DEKANULASI…………………………………………. 41
2.6.8 KOMPLIKASI............................................................ 41
BAB III LAPORAN KASUS…………………………………………………. 43
BAB IV KESIMPULAN………………………………………………………. 56
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 58

i
BAB I

PENDAHULUAN

Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi


(Stren.et al. 2000), Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana
terjadi kelemahan struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan
obstruksi saluran nafas.Istilah laringomalasia pertama kali

diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942. Etiologi laringomalasia


masih belum diketahui secara pasti. Tetapi karena tingginya insiden
gangguan neuromuskuler pada bayi dengan laringomalasia, beberapa
peneliti mempercayai bahwa gangguan ini merupakan bentuk hipotonia
laring (Krashin. Et al. 2008). Peneliti lain berpendapat bahwa penyakit
refluks gastroesofageal yang ditemukan pada 63% bayi dengan
laringomalasia, mungkin berperan karena menyebabkan edema
supraglotis dan mengubah resistensi aliran udara, sehingga
menimbulkan obstruksi nafas.1

Laringomalasia biasanya bermanifestasi saat baru lahir atau


dalam usia beberapa minggu kehidupan berupa stridor inspirasi.
Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65- 75% kelainan laring pada
bayi baru lahir disebabkan oleh laringomalasia, dan masih mungkin
dianggap sebagai fase normal perkembangan laring, karena biasanya
gejala akan menghilang setelah usia 2 tahun. Laringomalasia dapat
terjadi sebagai kelainan tunggal atau dapat pula berhubungan dengan
anomali saluran nafas atau organ lain. Lesi lain ditemukan pada hampir
19% bayi dengan laringomalasia. Oleh sebab itu beberapa peneliti
menyarankan laringoskopi langsung dan bronkoskopi harus dilakukan
pada bayi dengan laringomalasia untuk mencegah tidak
1
terdiagnosisnya kelainan saluran nafas lain yang dapat mengancam
jiwa. Sebagian besar laringomalasia dan bersifat ringan dan dapat
menghilang sendiri. Keadaan laringomalasia berat yang menimbulkan
keadaan apnea, kesulitan makan, gagal tumbuh dan korpulmonal
membutuhkan intervensi bedah 2

Trakeostomi telah diketahui sejak zaman Mesir kuno dan


dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-14 sebagai pembuatan
lubang di dinding anterior trakea, untuk membuka jalan napas.
Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas atas
pada keadaan darurat atau pada pasien yang memerlukan ventilasi
lama di ruang rawat intensif. Teknik pelaksanaan prosedur ini tidak
mengalami banyak perubahan sejak awal ditemukannya. Istilah
trakeostomi terkadang disebut dengan trakeotomi. Istilah trakeotomi
ditujukan pada prosedur bedah membuat jalan napas di trakea.
Sedangkan istilah trakeostomi dimaksudkan dengan pembuatan stoma
atau lubang di trakea. Saat ini istilah trakeostomi yang umum
digunakan 3

Ada berbagai indikasi trakeostomi antara lain obstruksi mekanik


pada saluran pernapasan atas seperti adanya tumor pada saluran
pernapasan atas, epiglotitis, paralisis plica vocalis, juga pada pasien
dengan kelainan neurologi, trauma terutama pada saluran pernapasan
atas, pasien dengan kesadaran menurun untuk mencegah terjadinya
aspirasi ke saluran pernapasan bawah. 4

Komplikasi yang berhubungan dengan trakeostomi termasuk


pneumotoraks, perdarahan, stenosis subglottic, fistula trakeoesofagus,

2
disfungsi pita suara, granulasi stoma, fistula trakea persisten, dan
jaringan parut.5

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI LARING

Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas


atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian
atas lebih besar daripada bagian bawah. Bagian atas laring adalah
aditus laring, sedangkan bagian bawahnya adalah batas kaudal
kartilago krikoid. Rongga laring dibagi atas 3 bagian yaitu supraglotis,
glotis, dan subglotis. Daerah supraglotis terdiri dari epilaring dan
vestibulum. Epilaring merupakan gabungan dari permukaan epiglotis,
plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan vestibulum terdiri dari
pangkal epiglotis, plika vestibularis, dan ventrikel. Daerah glotis terdiri
dari pita suara dan 1 cm di bawahnya. Daerah subglotis adalah dari
batas bawah glotis sampai dengan batas bawah kartilago krikoid. 6

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu


tulang hyoid dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti
huruf U yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah,
mandibula dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Tulang rawan
yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid,
kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago

kuneiformis (Herman.et.al.2007). Jaringan elastis laring terdiri dari 2


bagian yaitu membran kuadrangular supraglotis dan konus elastikus.
Membran kuadrangular melekat di anterior pada batas lateral epiglotis
dan melingkar ke posterior dan melekat di kartilago aritenoid dan
kornikulata. Struktur ini dan mukosa yang melapisinya akan membentuk
plika ariepiglotika. Plika ini juga merupakan dinding medial dari sinus
6

4
piriformis. Konus elastikus merupakan struktur elastis yang lebih tebal
dibanding membran kuadrangular. Di bagian inferior melekat pada
batas superior dari kartilago krikoid yang kemudian berjalan ke atas
dan medial melekat di superior pada komisura anterior kartilago tiroid
dan prosesus vokalis dari aritenoid. Di antara perlekatan di superior ini
konus menebal dan membentuk ligamen vokalis. Di bagian anterior
konus membentuk membran krikotiroid pada garis tengah. Membran ini
memadat dan membentuk ligament krikotiroid. Ligamen-ligamen dan
membran ini akan menyatukan kartilago dan distabilkan oleh mukosa
yang meliputinya. 7

Otot-otot laring terdiri atas otot ekstrinsik dan otot instrinsik.


Otot ekstrinsik terdiri dari m. digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, m.
milohioid, m. sternohioid, m. omohioid, dan m. tirohioid. Sedangkan otot
intrinsik laring adalah m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m.
vokalis, m. tiroaritenoid, m. ariepiglotika, m. krikotiroid, m. ariteoid
transversum, m. ariteoid oblik, dan m. krikoaritenoid posterior. 7

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.


laringeus inferior dan n. laringeus superior. Kedua saraf ini merupakan
saraf motorik dan sensorik. Sedangkan perdarahan untuk laring terdiri
dari 2 cabang, yaitu a. laringeus inferior yang merupakan cabang dari
a. tiroid inferior dan a. laringeus superior yang merupakan cabang dari
a. tiroid superior.7

5
Gambar 1

6
Gambar 2

2.2 FISIOLOGI LARING


Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan
proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian

berikut :
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling
kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang
konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara
dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik
dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut,
udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang
dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring
berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah
bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.
8
Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk.

7
2. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek
otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada
waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya
rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui
serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter
dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan
menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur
ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke
9
sinus piriformis lalu ke introitus esophagus
3. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk
memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior
terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka.
Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO 2 dan O2 arteri serta pH

darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,

sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.

Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring


secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan

hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial


CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita

suara10

4. Fungsi Sirkulasi

10

8
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya
reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus
Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut
ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan
denyut jantung 8
5. Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap
11
tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan
6. Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu :
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus
Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami
kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan
terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke
saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan
penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar
membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga
makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan
9
masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esophagus.
7. Fungsi Batuk

11

9
Bentuk
plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara
mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring
dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang
reseptor atau iritasi pada mukosa laring.12

8. Fungsi Ekspektorasi
Dengan
adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha

mengeluarkan benda asing tersebut.


12

9. Fungsi Emosi

Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring,

misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan. 12

2.3 LARINGOMALASIA

2.3.1 Definisi

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring berupa


flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika
ariepiglotik dan epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas
yang menimbulkan gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik pada bayi
dan anak. 13 14

2.3.2. Etiologi

12

13

14

10
Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori
yang menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang
dibuat berdasarkan model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung
brakial ketiga dan keempat. Pada laringomalasia terjadi pertumbuhan
lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang keempat sehingga
epiglotis melengkung ke dalam.15

Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu


teori anatomi dan teori neurogenik. Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis
bahwa terjadi abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang
menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Pada kepustakaan disebutkan
16
bahwa kelainan congenital ini bersifat otosomal dominan.

Pada teori neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini


adalah terlambatnya perkembangan kontrol neuromuscular dibanding dengan
teori anatomi. Penyebab neurogenik selanjutnya dihubungkan pula dengan
abnormalitas neurogenik lainnya. Belmont dan Grundfast menemukan 80%
dari 30 anak dengan laringomalasia mempunyai penyakit refluks
gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi hipotonia dan 10% mengalami apnea
tidur sentral. Mereka menganggap bahwa disfungsi atau imaturitas dari
control neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua kelainan tersebut .
17

2.3.3 Klasifikasi

Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk


membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Laringomalasia umumnya
dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis

15

16

17

11
supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat
terjadi.

Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang


kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga
prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama
periode inspirasi.

Gambar 3: Tipe 1 laringomalasia, yaitu prolaps dari mukosa kartilago


aritenoid yang tumpang tindih;

Gambar 4: Tipe 2 laringomalasia, yaitu memendeknya plika ariepiglotika;

12
Gambar 5: Tipe 3 Laringomalasia, yaitu melekuknya epiglotis ke arah
posterior.

Klasifikasi laringomalasia 18

2.3.4 Patofisiologi

Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun


pada keduanya. Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan
bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega,
dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped epiglottis). Jika
mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus,
kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi
prolaps di atas laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan
stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi. 19

Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase
padat dari jaringan fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian
mukopolisakarida. Penelitian terhadap perkembangan tulang rawan laring
menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi proteoglikan dengan

18

19

13
pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat dengan
sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan
orang dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-
sulfat. Dengan bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah,
akan menjadi kurang air, lebih fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis
yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar, dan perlunakan jaringan yang
hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing kasus. 20

Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago


aritenoid ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama
inspirasi. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar
berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun
kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan prolapsnya
epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas
dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan
ke dalam jalan napas selama periode inspirasi. 21

Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) juga dicurigai sebagai

penyebab laringomalasia. Bibi dkk 1.


menemukan PRGE pada 7 dari 11
(63%) bayi dengan laringomalasia, dan 14 dari 16 bayi dengan
laringotrakeomalasia. Sedangkan pada kepustakaan lain disebutkan PGRE
ditemukan pada 35-68% bayi dengan laringomalasia dan dianggap berperan
menyebabkan edema di supraglotis sehingga terjadi peningkatan hambatan
saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun
dapat pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PGRE
akibat perubahan gradien tekanan intraabdominal/intratorakal .11 22

20

21

22

14
Gambar 6: Gambaran Pemeriksaan Fisik Laringomalasia

2.3.5 Gambaran Klinis

Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada
anak dengan kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis
abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor
inspiratoris serta kesulitan menelan yang merupakan akibat dari anomali
laring yang dapat menekan esofagus16

Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh


spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi
kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu
atau bulan kemudian. Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai
anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipresipitasi oleh infeksi saluran nafas.
Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan
bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan
kemudian bersifat intermiten dan hanya timbul bila usaha bernafas
bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi, atau
posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi

15
adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama
16 19
berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan

Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkosta, dan


epigastrium akibat usaha pernafasan, dan anak dapat ditemukan dalam
keadaan pektus ekskavatum19

Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat.


Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang
disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah
gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks
lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan.
Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negative
yang tinggi di esophagus intratorak pada saat inspirasi. Pneumonitis aspirasi
dilaporkan terjadi pada 7% anak dengan laringomalasia. Mekanisme kelainan
ini belum jelas, namun mungkin berhubungan dengan tekanan negative dan
masalah makan. Apnea obstruksi tidur (23%) dan apnea sentral (10%) juga
ditemukan. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat hipoksia dan
hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk
terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi
pulmonal, yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit
paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder
dari laringomalasia.16

Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk


membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasi ini bertujuan untuk
mempermudah pemilihan teknik operasi supraglotoplasti. Klasifikasinya
adalah sebagai berikut: tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid
yang tumpang tindih; tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika; tipe 3,
yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior. Bentuk omega epiglotis tidak

16
selalu menjadi ciri khas karena ini hanya ditemukan pada 30-50% pasien,
16 ,19
dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor

2.3.6 Diagnosis15,16,19

Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi.

Dari anamnesis dapat kita temukan : Riwayat stridor inspiratoris


diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara biasa muncul pada minggu 4-
6 awal; Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal,
yang biasanya membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan
tidak terdapat sekret nasal; Stridor bertambah jika bayi dalam posisi
terlentang, ketika menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas,
dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan; Tangisan bayi
biasanya normal; Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan,
namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks
pada bayi; Bayi gembira dan tidak menderita.

Pada pemeriksaan fisis ditemukan: Pada pemeriksaan bayi terlihat


gembira dan berinteraksi secara wajar; Dapat terlihat takipneu ringan; Tanda-
tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal; Biasanya terdengar aliran
udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang; Tangisan bayi
biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama
pemeriksaan; Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di
sekitar angulus sternalis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan


menggunakan laringoskop serat fiber fleksibel selama periode pernapasan
spontan. Penemuan endoskopik yang paling sering adalah kolapsnya plika

17
ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi langsung
merupakan cara yang terbaik untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan
dilakukan pada anak dalam keadaan sadar dengan posisi tegak melalui
kedua hidung tanpa adanya premedikasi. Bilah laringoskop dimasukkan ke
valekula dengan tekanan yang minimal pada epiglotis untuk menegakkan
diagnosis. Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama plika
ariepiglotik, epiglotis, dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran
nafas, disertai stridor yang sinkron. Visualisasi langsung memperlihatkan
epiglotis berbentuk omega selama inspirasi.

Melalui pemeriksaan ini, juga dapat dinilai pasase hidung, nasofaring,


dan supraglotis. Pada laringomalasia, pita suara dapat bergerak dengan baik,
namun pada keadaan berat, sulit memvisualisasikan pita suara akibat
kolapnya supraglotis

Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu


risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis
dan penilaian keadaan subglotis kurang akurat

Olney, dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan


laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah: Bayi dengan gangguan
pernapasan berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea, atau pneumonia
berulang; Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran
laringomalasia pada laringoskopi fleksibel; Bayi dengan lesi lain di laring;
Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti.

Nusbaum dan Maggi melaporkan 68% dari 297 anak dengan


laringomalasia mempunyaikelainan pernafasan lainnya yang ditemukan
dengan bronkoskopi.

18
2.3.7 Diagnosis Banding

Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring diagnosis


banding dari laringomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi, trauma,
benda asing, tumor, paralisis pita suara, stenosis laring dan trakea.

Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor


inspiratoris lain pada anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik,
massa atau adanya jaringan intraluminal seperti laryngeal web dan kista
laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan stenosis supraglotik,
21,23
maupun kelainan pada pita suara.

2.3.8 Penatalaksanaan

Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan


adalah waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang
setelah dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring
bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan bertambahnya
umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa. Dalam
hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika
bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini
dapat diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang
terlalu lembut, sehingga akan memperbaiki posisi bayi sehingga dapat
mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat pada bayi (ditandai dengan
saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan oksigen. Tidak
ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini. 16

Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara


konservatif. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi
23

19
keterangan dan keyakinan utnuk menenangkan orang tua pasien tentang
prognosis dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang
dan pertumbuhan yang normal dapat dicapai. Jarang terjadi dimana seorang
anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan operasi.
16
Trakeostomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat

Jenis operasi yang dilakukan pada laringomalasia adalah


supraglotoplasti yang memiliki sinonim epiglotoplasti dan ariepiglotoplasti.
18 24

Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti


yang dapat dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan
laringomalasianya. 18

Gambar Supraglottoplasti 18

Gambar 7

Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago


aritenoid yang tumpang tindih, dilakukan eksisi jaringan mukosa yang

24

20
berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah
atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara
memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan
mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe
3 ditangani dengan cara eksisi melewati ligamen glosoepiglotika untuk
menarik epiglotis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglotis ke
18 ,24
dasar lidah

2.3.9 Prognosis

Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya dapat sembuh


sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian
besar pasien, gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada
usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun tanda dan gejala
menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya stridor
akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa. 25

2.4. ANATOMI TRAKEA

Trakea adalah tabung yang terletak di garis tengah, menghubungkan


tulang rawan krikoid di leher ke bronkus utama di dada dengan panjang
berkisar 11 cm. Trakea disusun oleh kartilago yang berbentuk cincin “C”,
berjumlah 18–22, kira-kira terdiri atas 2 cincin tiap 1 cm. Sebagian besar
trakea terletak dibagian thorak, di bagian karina trakea terbagi menjadi 2
bagian besar yaitu menjadi bronkus.(Attaufany F, 2015) Pada bagian
serviksnya, dimulai pada ketinggian vertebra keenam atau ketujuh, dan jauh
ke dalam fasia serviks dan otot infrahyoid dibatasi oleh kelenjar tiroid di
25

21
wajah anterior, dengan saraf laring lateral. Saat berkembang secara kaudal,
ia tetap berada di anterior esofagus, di antara arteri karotis komunis, vena
jugularis interna, dan saraf vagus. Arteri brakiosefalika atau arteri innominata
adalah pembuluh darah pertama yang ditemukan pada diseksi pretrakeal
selama mobilisasi jalan napas, membenarkan alasan terjadinya fistula
trakea-innominata. Vena brakiosefalika melintasi bagian depan arteri
innominate dalam bidang bahkan lebih anterior ke trakea. Karina berada di
batas bawah trakea, tempat asal dua bronkus primer, pada ketinggian
vertebra toraks keempat atau kelima. 26

Gambar 8. Hubungan trakea dengan struktur sekitarnya (anterior view)


. 26

Permukaan trakea dengan ekstensi servikal memungkinkan


setengahnya dapat diakses melalui jalur ini, memfasilitasi sebagian besar
prosedur pembedahan. Fleksi maksimal mengarah ke tulang rawan krikoid
setinggi sternum, meminimalkan ketegangan anastomosis setelah reseksi
segmen trakea. Dengan pengetahuan anatomi dan suplai darah saat ini,

26

22
mobilisasi yang baik meningkatkan keamanan yang lebih besar untuk reseksi
dan rekonstruksi setengah panjang trakea [2]. Trakea memiliki struktur cincin
tulang rawan yang tidak lengkap, bagian posterior diisi oleh otot polos
dengan serat longitudinal (eksternal) dan transversal (otot trakea internal).
Ligamentum annular ditemukan di antara cincin trakea dan terdiri dari dua
lapisan membran fibrosa: lapisan luar, menutupi permukaan setiap cincin;
dan lapisan internal lainnya. Dalam interval tulang rawan, membran ini
26
bertemu, memberikan fleksibilitas dan fiksasi pada saluran pernapasan.

Gambar 9. Pembuluh darah dan saraf di lateral kompartemen trakea26

Diameter luar trakea berukuran sekitar 2,3 cm pada potongan koronal,


dan 1,8 cm pada potongan sagital pada pria, membentuk struktur mirip U.
Pada perempuan, dimensi ini masing-masing berukuran 2,0 cm dan 1,4 cm,
membentuk kerangka elips pada penampang aksial. Panjang fase dewasa
rata-rata 11,8 cm dan dapat bervariasi menurut jenis kelamin dan tinggi
antara 10 dan 13 cm dengan ketebalan rata-rata 3 mm. Pada setiap
sentimeter ekstensi, ada sekitar dua cincin, dan setiap organ memiliki total

23
18-22 cincin tulang rawan. Cincin trakea pertama memiliki diameter yang
lebih besar dan terhubung ke ligamentum krikotiroid kartilago krikoid,
sedangkan cincin trakea terakhir lebih tebal dan lebih luas di garis tengahnya,
karena batas bawahnya memanjang dalam proses berbentuk segitiga,
melengkung ke bawah dan di belakang dua bronkus. . Cincin ini mencegah
runtuhnya mukosa trakea selama inspirasi. Aliran udara tergantung pada
diameter trakea. Hambatan berbanding terbalik dengan jari-jari pangkat
keempat. Sehingga penebalan mukosa, penyempitan otot, massa / tumor
yang menekan saluran pernafasan, dan bahkan tabung endotrakeal memicu
26
reduksi lumen dan menghasilkan aliran udara turbulen.

24
Gambar 10. Trakea bayi dan anak: Konfigurasi umum mirip dengan
orang dewasa dengan 16-20 cincin trakea tapal kuda dan pars
membranacea. Ukurannya panjang hanya 50%, diameter 36% dan luas
penampang 15%, dibandingkan dengan ukuran dewasa. ( Monnier P, 2011)

Vaskularisasi

Pasokan darah ke trakea terjadi melalui pedikel lateral. Hal ini penting
untuk menyingkirkan diseksi lateral pada reseksi trakea, yang dibatasi hingga
1-2 cm untuk mencegah devaskularisasi atau dehiscence anastomosis.

25
Bagian kranial dari trakea disuplai oleh arteri tiroid bawah dan cabang
trakeoesofagusnya, sedangkan arteri bronkial memberi makan bagian distal,
karina, dan bronkus. Di antara cincin terdapat pleksus submukosa dari arteri
intercartilaginous, mengisi jaringan dan memperdarahi bagian tulang rawan,
sedangkan membran trakea divaskularisasi oleh cabang dari arteri esofagus.
Drainase vena menyatu ke vena brakiosefalika melalui pleksus vena tiroid
inferior, sedangkan drainase limfatik menyatu ke kelenjar getah bening
26
paratrakeal dan kelenjar getah bening serviks dalam.

Gambar 11. Gambaran skematis dari suplai darah mikroskopis trakea:


Jaringan vaskular yang kaya di bawah mukosa endotrakeal berasal dari arteri
intercartilaginous transversal yang berasal dari anastomosis longitudinal
lateral. 27

Innervasi

Persarafan trakea berasal dari cabang trakea yang berasal dari rantai
simpatis toraks dan ganglion inferior saraf vagus. Yang pertama bertanggung
jawab atas tonus otot trakeobronkial, memungkinkan bronkodilatasi dan
bronkokonstriksi, produksi sekresi mukoid, dan permeabilitas vaskular.
Persarafan vagal pada gilirannya bertanggung jawab atas refleks batuk dan
sternutasi.26
27

26
Anatomi pada anak

Mengenai jalan napas pediatrik, beberapa perbedaan anatomi perlu


diperhatikan: 28, 29

1. Diameter lumen saluran napas yang lebih kecil dan lapisan mukosa
yang lebih longgar membuatnya sangat rentan terhadap trauma dan
obstruksi oleh edema atau sekresi
2. Leher anak-anak lebih pendek dari leher orang dewasa
3. Kepala yang lebih besar secara proporsional menyebabkan anak-anak
mengalami obstruksi jalan napas atas dengan fleksi leher alami dan
kompresi jaringan lunak, terutama pada posisi terlentang
4. Lidah neonatal memiliki permukaan punggung yang datar dan
mobilitas lateral yang minimal, dan tampak besar pada rongga mulut
yang kecil
5. Laring lebih silindris pada anak yang lebih tua (> 8 tahun) dan pada
orang dewasa, sedangkan laring neonatus dan bayi berbentuk kerucut
terlebar pada tingkat supraglotis dan tersempit pada tingkat subglotis
(meskipun beberapa studi pencitraan resonansi magnetik
menunjukkan bahwa bagian tersempit mungkin di glotis, seperti pada
orang dewasa)
6. Cincin krikoid secara fungsional merupakan bagian tersempit dari jalan
napas neonatal
7. Panjang trakea terkait dengan usia dan tinggi badan anak, bukan berat
badan
8. Trakea lembut dan fleksibel; Selain itu, jalan napas kecil dan seringkali
sangat berbahaya

28

29

27
Gambar 12. Perbedaan bentuk laring berdasarkan usia. Saluran keluar
dari cincin krikoid adalah bagian paling sempit dari jalan napas bayi,
berbentuk melingkar, yang memungkinkan penyegelan yang memadai
dengan tabung orotrakeal berukuran cukup dan tidak bermuatan untuk
ventilasi dan melawan aspirasi isi lambung. Membran krikotiroid
dipaksa menghadap ke kepala dan terutama terkena cedera (seperti
perforasi oleh intubasi 26

2.5 FISIOLOGI

Tulang rawan pada laring bayi lebih lembut dan lebih lentur
dibandingkan pada orang dewasa, dengan kecenderungan runtuh jika
ditekan. Mukosa supraglotis dan subglotis lemah pada bayi sehingga lebih
rentan terhadap edema saat meradang atau terluka. Tabung trakeostomi
melewati mekanisme alami dari filtrasi, pembersihan siliaris, pemanasan, dan
pelembab udara yang biasanya disediakan oleh hidung dan rongga mulut.
Dengan demikian, anak dengan trakeostomi mungkin mengalami
peningkatan batuk, infeksi paru, dan pengeringan sekresi paru. (Watters KF,
2017)

2.6 TRAKEOSTOMI

28
2.6.1 DEFINISI

Trakeotomi adalah salah satu prosedur pembedahan yang paling


sering dilakukan pada pasien yang sedang dalam keadaan kritis dan
menyelamatkan nyawa pasien dengan obstruksi jalan napas bagian atas.
(Das, 2012) Trakeostomi merupakan prosedur pembukaan dinding anterior
leher untuk memasukkan tabung yang dapat membantu pasien yang
kesulitan bernafas dan mengalami penurunan kadar oksigen yang signifikan
guna mencapai trakhea sebagai jalan pintas untuk bernafas sementara.
(Tobing J, 2020).

2.6.2 EPIDEMIOLOGI

Jumlah rata-rata trakeostomi yang dilakukan setiap tahun di Amerika


Serikat sekarang adalah 100.000. Di negara bagian North Carolina antara
1993 dan 2002, kejadian trakeostomi untuk ventilasi mekanis yang lama
meningkat pada semua kelompok usia dari 8,3 menjadi 24,2 / 100.000, paling
signifikan di antara pasien 55 tahun. Hal ini dikaitkan dengan penurunan
mortalitas yang signifikan (39% vs 25%), median hari ventilator (12 vs 10),
dan median rawat inap (47 vs 33 hari). Pada tahun 2002, pasien hampir 3 kali
lebih kecil kemungkinannya untuk dipulangkan ke rumah secara mandiri dan
dua kali lebih mungkin untuk dikirim ke fasilitas perawatan terampil. 5

2.6.3 INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI

29
30
Indikasi umum trakeostomi pada anak-anak adalah sebagai berikut:
1. Obstruksi jalan nafas:
 Sindrom dengan anomali jalan napas misalnya, sindrom Treacher
Collins, sindrom Nager, sindrom Beckwith-Wiedemann
 Kelainan anatomis kongenital seperti kelumpuhan pita suara
bilateral, laringomalasia, jaringan subglotis
 Penyakit infeksi yang membahayakan jalan napas misalnya
epiglotis dan laringotrakeobronkitis
 Tumor jalan napas anak yang jinak misalnya papilomatosis
pernapasan rekuren
 Tumor leher ekstrinsik yang menyebabkan kompresi saluran napas
misalnya, higroma kistik
2. Jalan nafas yang tidak terlindungi untuk mencegah aspirasi, misalnya
celah laring, parese nervus laringeus rekuren
3. Penggunaan ventilator yang lama
4. Untuk mencegah stenosis laringotrakeal dalam intubasi jangka
panjang
5. Perlindungan dari aspirasi dengan menyediakan akses untuk toilet
trakeobronkial
6. Sebagai akses ventilasi pada kasus dengan intubasi yang sulit seperti
abses retropharyngeal, perdarahan pasca tonsilektomi, obstructive
sleep apnea, benda asing di trakea, luka bakar pada wajah, dll.
Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk trakeostomi pada anak, beberapa
26
kontraindikasi relative adalah sebagai berikut :
Koagulopati
1. Infeksi lokal
2. Kelainan anatomi

30

30
3. Pendekatan bedah yang sulit

2.6.4 EVALUASI PREOPERASI

Evaluasi pasien sebelum operasi menyeluruh diperlukan untuk


memastikan ketepatan keputusan untuk melanjutkan trakeostomi. Ini
termasuk tinjauan terhadap status medis pasien secara keseluruhan serta
pemeriksaan mendetail dari seluruh saluran napas dari rongga hidung hingga
bronkus distal. Pemeriksaan mungkin mengungkapkan daerah obstruksi
sekunder yang jika di koreksi dapat mencegah perlunya Trakeostomi

Status kardiorespirasi pasien harus dievaluasi oleh layanan medis


yang sesuai (perawatan kritis, anestesi, pengobatan pernapasan, dan
kardiologi) untuk memastikan bahwa pasien secara medis dioptimalkan untuk
tantangan anestesi dan pembedahan. Selain itu, penilaian medis dapat
membantu mengantisipasi komplikasi pasca operasi seperti edema paru
pasca obstruktif atau hilangnya dorongan pernapasan pada pasien
hiperkarbik kronis. 26

2.6.5 TEKNIK OPERASI

Meskipun trakeostomi dewasa secara rutin dilakukan di samping


tempat tidur di unit perawatan intensif (ICU), trakeostomi pediatrik biasanya
dilakukan di ruang operasi (OR), dengan anestesi umum dan dukungan ahli
anestesi.28

31
Langkah-Langkah dalam Teknik Konvensional:

1. Penentuan posisi (gambar 6): posisi terlentang dengan leher dalam


keadaan ekstensi, menggunakan bantal silinder atau lembaran yang
digulung dibawah bahu. Itu mungkin kunci sukses trakeostomi secara
umum dan mungkin merupakan langkah terpenting dalam pediatri.
Seperti yang telah dijelaskan, anak kecil memiliki leher pendek dengan
kecenderungan untuk membuatnya tetap tertekuk, secara alami
menghalangi dan "menyembunyikan" jalan napas. Posisi yang tepat
meningkatkan eksposur leher dan trakea, membawa trakea lebih dekat
ke permukaan. Penopang kepala harus disediakan untuk menghindari
cedera tulang belakang leher.

Gambar 13. Memposisikan bayi untuk trakeostomi. (a) Atas: pasien


dalam posisi telentang tanpa ekstensi leher. (b) Bawah: pasien dengan
benar diposisikan, dengan ekstensi leher. Bagian dari lembaran yang
sudah digulung dapat dilihat di bawah bahu kanan (diberi garis
merah). Amati peningkatan nyata dari eksposur leher dan perhatikan
bahwa bagian belakang kepala ditopang sepenuhnya . 26

2. Pemeriksaan leher: Setelah pasien diposisikan, landmark permukaan


cervikal harus diidentifikasi (palpasi kartilago tiroid, kartilago krikoid,

32
dan takik suprasternal). Tanda-tanda ini seringkali sulit untuk diraba
pada anak-anak. Pada saat ini, kehati-hatian harus diberikan untuk
mengidentifikasi pulsasi vaskular yang menonjol yang menunjukkan
arteri innominate high-riding. lokasi bedah kemudian dapat disiapkan
dan ditutup dengan cara steril. 30
3. Insisi kulit (lihat Gambar 7a): Dalam praktik rutin, lebih dipilih insisi
kulit horizontal 3 cm, di tengah antara kartilago krikoid dan takik sternal
(pada level cincin trakea kedua dan ketiga). Sayatan vertikal
berlawanan dengan garis tegangan kulit serviks dan tidak memberikan
eksposur yang jauh lebih baik daripada sayatan horizontal. Menurut
pendapat beberapa penulis, tidak ada alasan untuk menggunakan
sayatan kulit vertikal dalam prosedur elektif.(Campisi, 2016) Survei di
antara ahli bedah melaporkan perkiraan 60% preferensi untuk sayatan
kulit horizontal.(Song, 2014) Di sisi lain, beberapa penulis
merekomendasikan sayatan kulit vertikal untuk prosedur darurat,
memberikan akses cepat ke trakea dan meminimalkan risiko cedera
vaskular dan perdarahan yang berlebihan. (Campisi, 2016) Yang lain
mengklaim bahwa sayatan vertikal mungkin menawarkan orientasi
anatomis yang lebih baik (terutama pada bayi) dengan pentingnya
landmark anatomis, seperti kartilago krikoid dan tiroid, mungkin tidak
dapat diraba dengan mudah, dan dapat mengurangi risiko
pneumotoraks dengan meminimalkan kebutuhan akan diseksi lateral
trakea.31
4. Diseksi sampai ruang kelenjar tiroid (lihat Gambar 7b): Dua flap kulit
(satu superior dan inferior lainnya) dibuat melalui diseksi horizontal
lemak subkutan dan platysma. Pada titik ini, diseksi berputar ke arah
vertikal, memisahkan otot tali di sepanjang garis tengah raphe, dengan

31

33
ahli bedah tambahan memberikan retraksi lateral sampai ruang
kelenjar tiroid masuk. 26
5. Paparan trakea dan hemostasis (lihat Gambar 7c): Jaringan lemak
pretrakea dibedah secara lateral dan superior, sementara pembuluh
darah di bawah istmus dikendalikan dan kelenjar tiroid didorong ke
atas dengan retraktor, memperlihatkan dinding trakea anterior.
Akhirnya, istmus perlu pisahkan secara vertikal (dan dijahit secara
hemostatis) untuk eksposur cincin trakea yang lebih baik. Beberapa
penulis menganjurkan pembagian isthmus rutin, meskipun trauma
jaringan operasi lebih besar dan risiko yang dihasilkan. Kremer dkk.
menyatakan bahwa ada risiko kondritis pada cincin tulang rawan
trakea pertama atau kedua, yang disebabkan oleh tarikan ke atas
pada kanula, jika isthmus belum dipotong. Selain itu, mereka
menganggapnya sebagai keuntungan yang pasti untuk memisahkan
dua istmus, karena ini memungkinkan pemasangan kanula tanpa
kekuatan dan membantu menghindari tidak hanya kerusakan pada
dinding depan dan belakang trakea, tetapi juga pemasangan kanula
yang salah di mediastinum dan kerusakan jaringan yang tidak
terkontrol. Kontrol perdarahan harus ditinjau sebelum membuka
trakea, dan manuver Valsava harus dilakukan oleh ahli anestesi untuk
membantu bukti perdarahan tekanan rendah yang tersembunyi. Perlu
diingat bahwa volume darah normal pada pediatri hanya sekitar 85 mL
/ kg dan beberapa penyakit gabungan adalah aturan pada pasien
tersebut. Oleh karena itu, sedikit limbah darah mungkin “banyak”
dalam kondisi seperti itu, dan kehilangan minimal harus dicapai

34
Gambar 14. Bayi yang menjalani trakeostomi konvensional untuk
dukungan ventilasi jangka panjang. (a) Insisi kulit horizontal. (b)
Diseksi subplatysmal horizontal. (c) Diseksi vertikal dengan retraktor
lateral. (d) Trakeostomi vertikal dengan tiga titik fiksasi jahitan yang
dapat diserap. (e) Tabung trakea tidak berongga. (f) Tabung
diposisikan; perhatikan jahitan tinggal di bawah tabung (panah merah)
yang digunakan untuk traksi batas trakeostomi inferior selama
penggantian tabung pertama. (g) Tabung dipasang dengan ikatan di
sekeliling leher

35
6. Trakeostomi (lihat Gambar 7d dan Gambar 8) Setelah trakea terbuka
sepenuhnya, kait krikoid digunakan untuk menarik krikoid ke arah
superior. Ini menstabilkan kompleks laringotrakeal — langkah penting
sebelum membuat sayatan di trakea. Banyak jenis sayatan digunakan
untuk membuka dinding anterior trakea: vertical ataupun horizontal
(antara dua cincin tulang rawan); dengan bagian dari reseksi cincin
(jendela oval); Björk flap (bagian inferior yang menempel pada flap
tulang rawan kulit — dikembangkan pada tahun 1960); dan sayatan
berbentuk H (sayatan horizontal yang berhubungan dengan flap
superior dan inferior). Tak satu pun dari jenis ini yang mencapai
konsensus (kebanyakan penulis melaporkan tidak ada perbedaan
dalam frekuensi atau tingkat keparahan komplikasi di antara jenis
fenestrasi trakea yang dilakukan), meskipun komplikasi dan
keuntungan spesifik lebih sering dikaitkan dengan jenis trakeostomi
tertentu. Insisi trakea dapat dibuat secara vertikal atau horizontal
sesuai dengan preferensi ahli bedah, karena berada di antara cincin
trakea kedua dan keempat - karena penempatan insisi dan insisi di
atas ring kedua dapat mempengaruhi pasien untuk mengembangkan
stenosis subglotis.(Campisi, 2016) Terlepas dari jenis sayatan, pada
anak-anak disarankan untuk menggunakan jahitan fiksasi di tepi
trakeostomi, untuk mengurangi kemungkinan saluran yang salah.
Beberapa lebih suka pendekatan batas trakea ke kulit dan
menghilangkan lemak subkutan dari sayatan kulit agar jahitannya lebih
pas. Survei yang dilaku kan pada tiga titik waktu menunjukkan bahwa
sebagian besar ahli bedah menggunakan jahitan tetap (85-94%),
pengangkatan lemak subkutan secara rutin (62%), dan insisi trakea
vertikal (75-87%), sementara hanya 5-10% yang merespons. ahli
31
bedah membuat sayatan trakea horizontal.

36
Gambar 15. Jenis fenestrasi (sayatan untuk trakeostomi) berwarna
merah. Dari kiri ke kanan: vertikal, hori zontal, jendela oval, flap tulang
rawan inferior (Björk flap), flap kartilago superior dan inferior
(berbentuk H). Tulang rawan trakea diberi nomor dari pertama sampai
keempat; perhatikan penempatan sayatan di antara cincin trakea
kedua dan keempat (Farias, 2018)

7. Pemasangan selang trakeostomi (lihat Gambar 7e-g): Tidak boleh ada


hambatan saat memasukkan selang, dan ventilasi yang benar harus
dikonfirmasi oleh ahli anestesi. Campisi dkk. merekomendasikan
bahwa posisi ujung selang trakeostomi harus diverifikasi dengan
bronkoskopi fleksibel untuk memastikan bahwa ujungnya berada di
atas karina dan tidak ada darah atau lendir yang menghalangi saluran
udara bagian bawah . Meskipun bronkoskopi bukan praktik rutin, tapi
tetap merekomendasikan radiografi dada pasca operasi, juga untuk
30
menyingkirkan komplikasi lain (pneumotoraks.

37
2.6.6. KANUL TRAKEOSTOMI

Gambar 16. Contoh kanul trakeotomi pediatrik,


mendemonstrasikan (kiri ke kanan) kanul pediatrik tanpa lengan,
obturator, kanul neonatal dengan manset, dan (bawah) kanul dengan
ekstensi anterior ke flensa (dilingkari).26

Idealnya, panjang selang harus memanjang setidaknya 2 cm di luar


stoma dengan ujung tidak lebih dekat dari 1-2 cm ke karina. Kanul harus pas
dengan sempurna di dalam trakea, tanpa titik tekan, yang dapat berkembang
menjadi granuloma, stenosis, atau fistula perforasi. Kanul silikon adalah
26
pilihan terbaik untuk menghindari komplikasi ini.

32
Table 1. Bagan ukuran kanul trakeostomi pada anak

32

38
1. Penggantian Kanul Trakeostomi

39
Untuk manajemen optimal pasien dengan kanul trakeostomi, sangat
penting untuk mengetahui kapan harus mengganti kanul. Ada beberapa
indikasi penggantian kanul Trakeostomi. 26

Penggantian pertama: 7–14 hari setelah pemasangan pertama saat


operasi

a. Untuk mengurangi ukuran kanul (sebagai bagian dari


penyapihan dari ventilasi mekanis dan untuk memfasilitasi
vokalisasi dan menelan)
b. Perubahan rutin sebagai bagian dari pengelolaan jalan napas
berkelanjutan (setiap 60–90 hari)
c. Kanul malposisi karena panjang atau ukurannya salah
d. Pasien-ventilator yang tidak sinkron dengan dugaan masalah
kanul trakeostomi
e. Kebocoran manset
f. Fraktur kanul atau flensa
g. Untuk memungkinkan lewatnya bronkoskop (kanul yang lebih
besar)
h. Untuk mengganti jenis kanul (misalnya, membutuhkan tabung
dengan kanula bagian dalam)

Ada sedikit bukti untuk memandu kapan harus mengganti selang


trakeostomi jangka panjang. Beberapa alasan yang sering dianggap
26
mendukung penggantian tabung trakeostomi rutin meliputi

a. Pencegahan pembentukan jaringan granulasi di sekitar tabung


trakeostomi
b. Pencegahan penyumbatan tabung dari sekresi yang berlebihan
c. Fasilitasi penyapihan atau bicara dengan mengubah ukuran
atau jenis selang trakeostomi

40
2. Fiksasi Kanul Trakesotomi

Dasi harus cukup ketat untuk mengamankan tabung dan cukup


longgar untuk menghindari kerusakan kulit dan obstruksi vaskular.
Perubahan ikatan trakeostomi harus dilakukan sesuai kebutuhan, jika
menjadi basah atau kotor (misalnya, karena sekresi), untuk menjaga
integritas kulit. 26

2.6.7 DEKANULASI

Pada pasien yang telah menjalani trakeostomi dalam waktu lama,


stoma dapat mengalami epitelisasi. Dalam kasus ini, ada kemungkinan tinggi
berkembang menjadi fistula trakeo-kutaneus setelah dekanulasi. Ini mungkin
bermasalah karena tumpahan sekresi melalui fistula, risiko penetrasi air yang
terus-menerus selama mandi, atau masalah dengan ventilasi jika pasien
membutuhkan bantuan dengan tekanan jalan napas positif yang
berkelanjutan. Jika fistula trakeo-kutaneus diantisipasi, revisi stomal mungkin
diperlukan sebelum dekannulasi di kemudian hari. Dekannulasi dan
penutupan stoma dengan jahitan tidak dianjurkan karena dapat
33
menyebabkan infeksi dan berkembangnya emfisema subkutan.

2.6.8 KOMPLIKASI

Anak-anak dengan trakeostomi memiliki risiko morbiditas dan


mortalitas yang lebih tinggi, yang sebagian besar terkait dengan penyakit
kronis yang mendasari dari Trakeostomi. Penyebab kematian terkait
trakeostomi yang paling umum adalah obstruksi kanul trakeostomi, diikuti

33

41
oleh kesalahan penempatan kanul trakeostomi dan dekanulasi tidak
disengaja. 34

Table 2. Komplikasi bedah terkait dengan trakeostomi pada anak-anak

Intra operasi Paskaoperasi Dini Paskaoperasi Lambat


Perdarahan Perdarahan Granulasi stoma dan
trakea
Pneumothorax atau Disfagia dan aspirasi Kolaps suprastoma
Pneumomediastinum
Cedera esophagus Infeksi luka Stenosis trakea
Cedera saraf laring Sumbatan kanul Trakeomalasia
berulang (bekuan darah,
sumbatan lender)
Kehilangan jalan nafas Dekanulasi yang tidak Fistula trakeoesofageal
di sengaja
Penempatan kanul yang Perpindahan Tabung Fistula tracheo-
salah ke bagian yang salah innominate
Henti jantung dan Emfisema subkutan Fistula trakeokutaneus
meninggal

BAB III

34

42
LAPORAN KASUS

Data pasien:

Nama : By Ny Asrina

Rekam Medik : 925621

Tanggal lahir : 20 februari 2021

Alamat : Makassar

Anamnesa : Pada tanggal 25 juni 2021 pasien dikonsulkan dari


bagian anak dengan diagnose prolonged ventilator+ Laringomalasia +
Bronkopneumonia+ dysplasia + Sepsis + CAP + Marasmus. Pasien
terpasang ventilator sejak 2 bulan sebelum dikonsulkan,stridor inspirasi ,

43
riwayat 3 kali lepas ventilator dipasang kembali karena anak mendadak
sesak, sianosis, dan apnea . Anak sesak jika tidur terlentang, tersedak jika
dberi minum sehingga dipasang NGT,Saat ini anak tidak sesak, tidak batuk
keluhan lain tidak ada. Dari bagian anak dikonsulkan untuk permintaan
pemasangan trakeostomi.

Pemeriksaan fisik :

GCS : E4VxM6

Tanda vital : Heart rate : 128 kali/menit

Respirasi : 28 kali/menit

Suhu : 37 oC

Saturasi : 100%

Otoskopi : dekstra et sinistra : membran timpani intak, pantulan


cahaya ada

Rhinoskopi anterior : konka dan mukosa normal , terpasang NGT pada


cavum nasi dekstra

Faringoskopi : sulit dinilai, terpasang ett yang difiksasi pada sisi


kanan.

Pemeriksaan penunjang :

1. Laboratorium darah (2/07/2021)


Hemoglobin : 14,2 gr/dL Natrium :135
mmol/L
Leukosit :14.400/µL Kalium :4,6
mmol/L

44
Trombosit :782.000/ µL Klorida :107
mmol/L
Hematokrit :43%

2. X-Ray Thorax PA : Pneumonia bilateral

Gambar 17. Rontgent Thorax

Follow up Harian:

Tanggal Subjectif Objektif Assesment Planing


25/6/2021 Terpasang HR: 112x/menit Prolonged - Rencana trakeostomi
ETT no 3.0 RR:32x/menit Ventilator
Sesak tidak Saturasi:99%
ada Suhu: 37,5

26/6/2021 Terpasang HR : 122x/ menit Prolonged - Rencana trakeostomi


ETT no. 3,0 RR : 36 x/menit ventilator

45
Sesak tidak Saturasi: 100%
Ada Suhu :36,8

27/6/2021 Terpasang HR : 116x/ menit Prolonged - Dari bagian anak Pasien


ETT no. 3,0 RR : 38 x/menit ventilator di rencanakan untuk
Sesak tidak Saturasi: 98% ekstubasi, menunggu
Ada Suhu:38,1 kondisi pasien stabil
- Ventilator di ganti dengan
NRM 8 liter per menit
28/6/2021 Terpasang Prolonged - Dari bagian anak Pasien
ETT no. 3,0 HR : 134 x/ menit ventilator di rencanakan untuk
Sesak tidak RR : 36 x/menit ekstubasi,
Ada Saturasi: 99 % - Ventilator di ganti dengan
Suhu 37,6 NRM 8 liter per menit
29/6/2021 Terpasang HR : 122x/ menit Prolonged - Dilakukan ekstubasi, tetapi
ETT no. 3,0 RR : 32 x/menit ventilator pasien sesak kembali

Sesak tidak Saturasi: 99% sehingga dipasang ulang

Ada Suhu 37,8 ETT No. 3,0

30/6/2021 Terpasang HR : 112x/ menit Prolonged -Pasien direncanakan


ETT no. 3,0 RR : 30 x/menit ventilator kembali ekstubasi tanggal

Sesak tidak Saturasi: 99% 1/7/2021

Ada Suhu 37,2

46
1/7/2021 Sesak ada, HR : 120x/ menit Prolonged -Pasien gagal ekstubasi
batuk tidak, RR : 40 x/menit ventilator (yang ke 5x), ETT di pasang

Retraksi Saturasi: 95-96% kembali)

intercostal Suhu 36,2


ada, Retraksi suprasternal
retraksi ada, retraksi
suprasterna intercostal ada
l ada
2/7/2021 Terpasang HR : 126x/ menit Prolonged - Pasien di rencanakan
ETT no. 3,0 RR : 36 x/menit ventilator trakeostomi elektif ,

Sesak tidak Saturasi: 99% direncanakan swab

Ada Suhu 36,9 PCR

3/7/2021 Terpasang HR : 126x/ menit Prolonged - Konsul kelayakan


operasi elektif ke bagian
ETT no. 3,0 RR : 36 x/menit ventilator anestesi
Sesak tidak Saturasi: 99% - Jawaban anestesi:
pasien saat ini optimal
Ada Suhu 36,5 untuk prosedur operasi
elektif (ASA PS 3)
rencana anestesi GA via
ETT
-
4/7/2021 Terpasang HR : 132x/ menit Prolonged - Pasien di dorong ke
ETT no. 3,0 RR : 38 x/menit ventilator OK( dilakukan

Sesak tidak Saturasi: 99% operasi trakeostomi)

Ada Suhu 36,8

5/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Suction lendir


ada, batuk Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
tidak ada, stoma belum paten, H 1 - Ganti celana
lendir ada airway adekuat, kanul /hari

47
minimal, krepitasi tidak ada, - Terpasang oksigen
demam perdarahan aktif 5Ln per menit via T

tidak ada tidak ada piece

HR : 110x/ menit - Meropenem

RR : 36 x/menit 250mg/8 jam/IV

Saturasi: 99% (sesuai TS anak

Suhu 36,9 - -paracetamol 100


mg/8 jam/intravena
- Dexametason 1 mg
/ jam / intravena
6/7/2021 Sesak tidak, Terpasang kanul Post - Suction lendir
batuk tidak, Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
lendir ada stoma belum paten, H 2 - Ganti celana
minimal, airway adekuat, kanul /hari
demam krepitasi tidak ada, - Terpasang oksigen
tidak ada perdarahan aktif 5Ln per menit via T

tidak ada piece

HR : 116x/ menit - Flumycil drop /12

RR : 32 x/menit jam/ hari

Saturasi: 99% - Meropenem

Suhu 36,5 250mg/8 jam/IV


(sesuai TS anak
-
7/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Suction lendir
Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
tidak ada, stoma belum paten, H 3 - Ganti celana
lendir ada airway adekuat, kanul /hari
minimal krepitasi tidak ada - Terpasang oksigen
HR : 114x/ menit 5Ln per menit via T

48
RR : 36,1 x/menit piece
Saturasi: 99% - Rencana ganti kanul

Suhu 37,5 oksigen 2 L/ menit


- Flumycil drop /12
jam/ hari
- Meropenem
250mg/8 jam/IV
(sesuai TS anak
-
8/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Suction lendir
Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
tidak ada, stoma belum paten, H 4 - Ganti celana
lendir ada airway adekuat. kanul /hari
minimal HR : 112x/ menit - Flumycil drop /12
RR : 36 x/menit jam/ hari
Saturasi: 99% - Meropenem
Suhu 37,5 250mg/8 jam/IV
(sesuai TS anak

9/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Suction lendir


Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
tidak ada, stoma belum paten, H 5 - Ganti celana
lendir ada airway adekuat, kanul /hari
minimal krepitasi tidak ada - Flumycil drop /12
HR : 110x/ menit jam/ hari
RR : 37,3 x/menit
Saturasi: 99%
Suhu 37,5
10/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Suction lendir

49
Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
tidak ada, stoma belum paten, H 6 - Ganti celana
lendir ada airway adekuat, kanul /hari
minimal HR : 112x/ menit - Flumycil drop /12
RR : 37, 1 x/menit jam/ hari
Saturasi: 99% - Meropenem
Suhu 37,5 250mg/8 jam/IV
(sesuai TS anak)
stop, tidak ada
penangana khusus
dari TS anak
11/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Suction lendir
Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
tidak ada, stoma belum paten, H 7 - Ganti celana
lendir ada airway adekuat, kanul /hari
minimal HR : 110x/ menit - Flumycil drop /12
RR : 36,5 x/menit jam/ hari
Saturasi: 99% - Informed consent
Suhu 37,5 - Ganti kanul
Trakeostomi
12/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Pasien boleh rawat
Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, operasi jalan
tidak ada, stoma belum paten, trakeostomi - Ganti kanul
lendir ada airway adekuat, hari 8 Trakeostomi setiap
minimal HR : 112x/ menit minggu di poli THT
RR : 36 x/menit -
Saturasi: 99%
Suhu 37,5

50
Laporan operasi:

1. Pasien berbaring terlentang dengan kepala ekstensi, dilakukan


general anestesi via ETT
2. Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine, pasang doek steril
3. Buat landmark 1,5 jari diatas incisura suprasternal
4. Infiltrasi daerah landmark dengan lidocain
5. Insisi daerah landmark sepanjang 3 cm, perdalam insisi lapis demi
lapis
6. Bebaskan isthmus, tampak cincin trakea
7. Infiltrasi trakea dengan lidocain
8. Lakukan insisi pada cincin trakea 2-3 bentuk T terbalik, perlebar
dengan refraktor, masukan kanul trakeostomi nomor 3,5
9. Control perdarahan, perdarahan aktif tidak ada
10. Jahit luka insisi kiri dan kanan masing-masing 1 jahitan
11. Operasi selesai, pedarahan durante operasi 10 cc

DISKUSI

Laringomalasia merupakan penyebab tersering stridor inspirasi


kongenital pada bayi. Dan pada kasus ini termasuk laringomalasia berat
karena stridor inspirasi, dan kadang disertai sesak, sianosis dan apnea bila
tidur terlentang dan menangis. Sulit minum dan sering tersedak sehingga

51
terpasang NGT , pasien juga mengalami gangguan tumbuh kembang karena
di usia 4 bulan berat badannya 2,9 kg. Sekitar 80% kasus merupakan derajat
ringan dan sedang yang dapat membaik serta resolusi sampai usia 2 tahun
sedangkan 20% merupakan derajat berat yang membutuhkan tindakan
pembedahan dan pada pasien ini termasuk laringomalasia derajat berat
disertai penyakit komorbid yaitu Bronkopneumonia + dysplasia + sepsis+
CAP.

Latar belakang: Laringomalasia (LM)


merupakan penyebab tersering stridor
inspirasi kongenital pada bayi.
Sekitar 80% kasus merupakan derajat
ringan dan sedang yang dapat
membaik serta resolusi sampai usia 2
tahun
sedangkan 20% merupakan derajat
berat yang membutuhkan tindakan
pembedahan Tujuan: Mengetahui dan
memahami etiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan laringomalasia.
Tinjauan Pustaka: Diagnosis
laringomalasia dapat
52
ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang laringoskopi serat optic
fleksibel. Etiologi
pasti laringomalasia belum diketahui,
namun terdapat 3 teori yang diduga
berperan yaitu imaturitas kartilago,
imaturitas
neuromuskular dan abnormalitas
anatomi. Terdapat hubungan antara
laringomalasia dengan
laryngopharyngeal reflux
(LPR). Penatalaksanaan konservatif
dilakukan pada LM derajat ringan dan
sedang sedangkan tindakan
pembedahan
dilakukan pada derajat berat,
laringomalasia dengan komorbid dan

53
laringomalasia yang gagal terapi
konservatif.
Kesimpulan: Laringomalasia
merupakan kolapsnya struktur
supraglotis ketika inspirasi yang
mengakibatkan adanya
stridor inspirasi. Laringomalasia
derajat berat dapat mengancam
nyawa. Sebagian besar kasus akan
resolusi sendiri,
namun sekitar 20% memerlukan
tindakan pembedahan.
Supraglottoplasti merupakan tindakan
pembedahan pilihan
untuk kasus laringomalasia
Kata kunci: Laringomalasia, stridor in
Pasien dikonsul dari TS anak untuk dilakukan tindakan Trakeostomi,
Pasien memiliki indikasi untuk dilakukan trakeostomi karena telah terpasang
ventilator dalam jangka waktu lama, lebih dari 2 bulan. Hal ini sesuai dengan

54
literatur yang menyatakan indikasi trakeostomi pada anak paling banyak
pada pasien prolonged ventilator dengan intubasi yang lama.

Sesuai dengan Konsensus International Pediatric Otolaryngology


Group (IPOG), sebelum melakukan trakeostomi harus dilakukan penilaian
menyeluruh seperti riwayat medis pasien, pemeriksaan fisis, penilaian
landmark antomi, mobilitas leher untuk eksistensi intraoperasi, penilaian
laboratorium dan informed concent kepada keluarga tentang prosedur
operasi, komplikasi dan perawatan paskaoperasi. (Strychowsky et al, 2016)
Pada pasien ini sebelum dilakukan trakeostomi dilakukan anamnesis
menyeluruh semua riwayat penyakit . Pasien lahir premature usia 27-28
bulan, BB 1300 gram, lahir tidak segera menangis, bayi dirawat di nicu
selama 3 bulan dan riwayat pemasangan ventilator lebih dari 2 bulan.
Tanggal 5 mei 2021 bayi dipindahkan ke picu.pasien di rawat oleh teman
sejawat dari bagian Anak dengan prolonged ventilator + laringomalasia+
bronkopneumonia + dysplasia + CAP + marasmus + sepsis. pasien dengan
riwayat pemakaian ventilator yang lama via endotracheal tube, pasien ini
riwayat sudah dilakukan percobaan ekstubasi sebanyak 5x, tetapi gagal
sehingga pasien diperlukan penatalaksanaan trakeostomi. Dari pemeriksaan
fisis THT didapatkan otoskopi dan rinoskopi anterior dalam batas normal,
orofaring sulit dievaluasi karena terhalang oleh selang endotrakeal tube.
Pada penilaian landmark anatomi untuk area insisi dinilai baik, tidak ada
massa di sekitar leher, mobilitas leher juga dinilai baik, tidak ada kaku kuduk.
Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi juga dinilai. Pada
pemeriksaan laboratorium sudah sesuai indikasi untuk dilakukan trakeostomi,
dilakukan penilaian klinis ulang terhadap kondisi paru-paru dengan hasil
Rontgent thorax pneumonia bilateral. Dilakukan konsul kebagian anak divisi
pulmonologi dan bagian anestesi untuk kelayakan operasi. Trakeostomi pada
anak dapat melibatkan banyak bagian karena diperlukan kerjasama dari tim

55
medis untk kelancaran operasi. Trakeostomi pada pasien ini dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari semua bagian tim medis yang terlibat dan
persetujuan dari orang tua pasien.

Kanul trakeostomi anak berbeda dari kanul dewasa dalam beberapa


hal. Penunjukan ukuran kanul trakeostomi pediatrik modern didasarkan kira-
kira pada diameter bagian dalam, mirip dengan ukuran penunjukan tabung
endotrakeal (ETT). Pada pasien ini dilakukan pemilihan ukuran kanul dengan
formula khine dan didapatkan ukuran kanul nomor 3,0 yang juga sesuai
dengan ETT yang digunakan pasien.

Prosedur trakeostomi pada pasien ini menggunakan insisi sayatan


horizontal yang sesuai dengan literature dimana Survei di antara ahli bedah
melaporkan sekitar 60% preferensi melakukan sayatan kulit horizontal, insisi
kulit horizontal dilakukan sepanjang 3 cm, di tengah antara kartilago krikoid
dan takik sternal (pada level cincin trakea kedua dan ketiga). Berdasarkan
literature tidak satu pun dari jenis ini yang mencapai konsensus (kebanyakan
penulis melaporkan tidak ada perbedaan dalam frekuensi atau tingkat
keparahan komplikasi di antara jenis fenestrasi trakea yang dilakukan),
Survey yang dilakukan oleh ahli bedah diapatkan sebanyak 75-87% ahli
bedah melakukan insisi trakea vertical. (Campisi, 2016) Untuk insisi trakea
pada pasien ini dilakukan insisi T terabalik. Terlepas dari jenis sayatan, pada
anak-anak disarankan untuk menggunakan jahitan fiksasi di tepi trakeostomi,
untuk mengurangi kemungkinan saluran yang salah, hal ini sudah sesuai
dengan prosedur operasi yang dilakukan pada pasien ini. 35

Anak-anak dengan trakeostomi memiliki risiko morbiditas dan


mortalitas yang lebih tinggi, yang sebagian besar terkait dengan penyakit

35

56
kronis yang mendasari dari trakeostomi. Pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan rontgent Thorax dan didapatkan hasil terpasang tracheostomy
tube dengan tip +/-2,13 cm diatas carina, pneumonia bilateral dan. Dilaporkan
oleh Rabuzzi, yang dikutip oleh Sicard kekerapan terjadinya komplikasi
intratoraks sekitar 70% pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun.(Cahyono,
2010) Beberapa mekanisme telah dijelaskan untuk menjelaskan
perkembangan komplikasi yang fatal ini. Khususnya, kerusakan pada dinding
trakea anterior atau dinding trakea posterior, kebocoran udara melalui kanula
berlubang, penempatan paratrakeal atau penempatan yang salah dari kanul
trakeostomi, dan / atau barotrauma karena tekanan tinggi pada ventilasi
mekanis telah dijelaskan.(Gupta, 2014) Pada pasien ini tidak didapatkan
komplikasi post operasi emfisema subkutan

Penggantian tabung trakeostomi pertama dilakukan setelah saluran


trakeostomi telah matang. Praktik konvensional merekomendasikan untuk
mengganti selang pertama 7-14 hari setelah penempatan pada orang
dewasa. Pada anak-anak, waktu pergantian yang jauh lebih singkat mungkin
bisa dilakukan.(Farias, 2018) Pada pasien ini dilakukan penggantian kanul
pertama pada hari ke 7, dinilai dari maturasi stoma dan kestabilan keadan
umum pasien. Kebersihan kanul trakeostomi juga menjadi hal yang sangat
penting, dilakukan penghisapan lendir rutin pada pasien ini untuk mencegah
sumbatan yang dapat terjadi pada kanul akibat lendir yang menumpuk.
Pasien ini diberikan obat pengencer lendir via NGT. Memberikan penjelasan
kepada keluarga tentang cara suction lender yang rutin dan membersihkan
daerah sekitar stoma dan banyak faktor lain adalah kunci sukses transisi dari
rumah sakit ke perawatan dan bagaimana mengidentifikasi dan mengelola
komplikasi trakeostomi. Selama masa perawatan telah diberikan pelatihan
dan edukasi kepada orang tua pasien untuk perawatan selama di rumah.

57
Pasien di pulangkan pada hari ke 7 paska operasi dan dilakukan kontrol rutin
di poliklinik THT RSUP Wahidin Sudirohusodo.

BAB IV

KESIMPULAN

Laringomalasia dapat menghilang saat anak berumur 2 tahun, dan


laringomalasia dapat di terapi secara konservatif dan pembedahan sesuai
dengan derajat laringomalasia. Trakesotomi merupakan tindakan yang harus
dilakukan untuk laringomalasia derajat berat. Pada kasus ini pasien dikonsul
dengan prolonged ventilator yang merupakan salah satu indikasi dilakukan
tindakan Trakeostomi.

Trakeostomi merupakan prosedur pembukaan dinding anterior leher


untuk memasukkan tabung yang dapat membantu pasien yang kesulitan
bernafas dan mengalami penurunan kadar oksigen yang signifikan guna
mencapai trakhea sebagai jalan pintas untuk bernafas sementara. Indikasi
umum trakeostomi pada anak adalah Obstruksi jalan nafas ( Sindrom

58
dengan anomali jalan napas, Kelainan anatomis kongenital, Penyakit infeksi
yang membahayakan jalan napas, Tumor jalan napas anak yang jinak,
Tumor leher ekstrinsik yang menyebabkan kompresi saluran napas), Jalan
nafas yang tidak terlindungi untuk mencegah aspirasi, Penggunaan ventilator
yang lama, Untuk mencegah stenosis laringotrakeal dalam intubasi jangka
panjang, Perlindungan dari aspirasi dengan menyediakan akses untuk toilet
trakeobronkial, Sebagai akses ventilasi pada kasus dengan intubasi yang
sulit seperti abses retropharyngeal, perdarahan pasca tonsilektomi,
obstructive sleep apnea, benda asing di trakea, luka bakar pada wajah, dll.
Sebelum operasi sebaiknya dilakukan evaluasi preoperasi menyeluruh
seperti riwayat medis pasien, pemeriksaan fisis. Pemeriksaaan penunjang,
informed concent pasien dan keluarga, terknik operasi yang akan di gunakan
(dikarenakan adanya perbedaan anatomi pada trakea anak) dan persiapan
peralatan operasi yang akan digunakan. Evaluasi paskaoperasi juga
sangatlah penting untuk pasien anak paska trakeostomi seperti perawatan
kanul trakeostomi paska operasi ataupun perawatan di rumah, humidifikasi,
waktu yang tepat untuk dekanulasi dan evaluasi komplikasi paska operasi.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D.2001. The prevalence of


gastroesophageal reflux in children with tracheomalacia and
laryngomalacia. Chest 2007.119: 409-13.
2. Huntley C, Carr MM. Evaluation of effectiveness of airway
fluoroscopy in diagnosing patients with laryngomalacia.
Laryngoscope.2010; 120: 1430-3.
3. Cahyono A, Rahmi H. Pneumotoraks dan pneumomediastinum
sebagai komplikasi trakeostomi darurat. ORLI . 2010: 40(2). pp.199-
125
4. Sanna AT. Perbandingan Kadar Eosinofil dan Netrofil Mukosa Hidung
pada Pasien Pasca Trakeostomi di Makassar. MPPKI The Indonesian
Journal of Health Promotion.2019: 2(3).pp.215-8.
5. Cheung NH, Napolitano LM. Tracheostomy: Epidemiology,
Indications, Timing, Technique, and Outcomes. RESPIRATORY

60
CARE Journal Conference. 2014: 59(6).pp.895-919. DOI:
10.4187/respcare.02971
6. Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA
editor.. Buku ilmu kesehatan telinga tenggorok kepala & leher. Edisi
ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007 : p. 231-236
7. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and physiologi of the larynx. In:
Ballenger JJ, Snow JB, editors Otorhinolaryngologi head
and neck surgery. Ontario:

BC Decker Inc; 2003. p.1090-95

8. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons.


Volume 1 Head and Neck. A hoeber-harper international 1966,
edition : 425-456
9. Lee, K.J.. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and
Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill,2003: 724-
736, 747, 755-760.
10. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology
- Head and Neck Surgery. Second edition. 1993: St Louis : Mosby.
11. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J.
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition.2003:
Connecticut. McGraw-Hill, 241-242.
12. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J.
Bailey. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 2001Third
edition.Volume 1. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 479-
486.

13. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit
buku kedokteran EGC.Jakarta. 1997.

61
14. Bailey BJ, Calhoun KH. Head and Neck Surgery – Otolaringology,
Volume one, 2nd Edition. Lippincott – Raven Publishers. Philadelphia,
USA.
15. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher,
Jilid Satu, Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994
16. Lusk RP. Congenital Anomalies of The Larynx. Dalam Ballenger JJ,
Snow JB. Otolaryngology Head and Neck Surgery 15 th Edition.
Baltimore : William & Wilkins ;1996 p 498-501.
17. Tucker HM. The Larynx, 2nd Edition. Thieme Medical Publishing
Division. Ohio, USA. 1993. 
18. Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its
treatment. Laryngoscope 1999; 109: 1770-5
19.Bye MR. Laryngomalacia. (Update Feb 24, 2010: cited Feb 2,
2011).Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/100252

20.
21. Paston F. Laringomalacia and Tracheomalacia. Available at
http://pedclerk.bsd.uchicago.edu/tracheomalacia.html . Accessed on
June 14th 2013.
22. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth
& Co Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
23. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology –
Head and Neck Surgery. Lange Medical Book, Mc Graw-Hill Company.
New York, USA. 2004.
24. Rawring BA, Derkay CS, Chu MW. Surgical treatment of
laryngomalacia. Operative Tech in Otolaryngol. 2009; 20: 222-8

62
25. Cotton RT, Prescott CA. Congenital anomalies of the larynx. In:
Cotton RT, Myer CM. Practical pediatric otolaryngology.
Philadelphia: Lippincott; 1999: p.
497-501
26. Farias TPd. Tracheostomy. Springer International Publishing.
Switzerland.
2018
27. Monnier P. Pediatric Airway Surgery. Springer Heidelberg Dordrecht
London New York. DOI 10.1007/978-3-642-13535-4. 2011
28. Mok Q. Tracheostomies in paediatric intensive care: evolving
indications and changing expectations. Arch Dis Child .
2012.97(10).pp.858-860
29. Schmidt.. The paediatric airway Basic principles and current
developments. European Journal of Anaesthesiology. 2014
31(6).pp,293–299. doi:10.1097/eja.0000000000000023 
30. Campisi P & Forte, V.. Pediatric tracheostomy. Seminars in Pediatric
Surgery. 25(3).pp. 191–5. doi:10.1053/j.sempedsurg.2016.02.014 
31. Song JJ, Choi IJ, Chang H, Kim DW, Chang HW, Park GH, et  al.
Pediatric tracheostomy revisited: a nine-year experience using
horizontal intercartilaginous incision. Laryngoscope. 2015.
125(2).pp.485–92.
32. Deutsch ES. Tracheostomy: Pediatric Considerations. Respiratory
Care. 2010. 55(8). Pp.1082-1090

Laryngol ; 107:887-90.

33. Pillimathalawwe et al. Guidelines For The Care Of a Patient With


tracheostomy. The Collage of Anaesthesiologist..Srilanka, 2013

63
34. Das P, Zhu H, Shah RK, Roberson DW, Berry J, Skinner ML. 
Tracheotomy-related catastrophic events: results of a national survey.
Laryngoscope.. 122(1).pp30–7.2012. DOI: 10.1002/lary.22453
35. Okonkwo I, Cochrane I , Fernandez E. Perioperative management of
a child with a tracheostomy. BJA Education, 2020. 20(1).pp.18-25.

64

Anda mungkin juga menyukai