OLEH:
Yunia Chairunnisa Abdullah
PEMBIMBING:
i
BAB I
PENDAHULUAN
2
disfungsi pita suara, granulasi stoma, fistula trakea persisten, dan
jaringan parut.5
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
piriformis. Konus elastikus merupakan struktur elastis yang lebih tebal
dibanding membran kuadrangular. Di bagian inferior melekat pada
batas superior dari kartilago krikoid yang kemudian berjalan ke atas
dan medial melekat di superior pada komisura anterior kartilago tiroid
dan prosesus vokalis dari aritenoid. Di antara perlekatan di superior ini
konus menebal dan membentuk ligamen vokalis. Di bagian anterior
konus membentuk membran krikotiroid pada garis tengah. Membran ini
memadat dan membentuk ligament krikotiroid. Ligamen-ligamen dan
membran ini akan menyatukan kartilago dan distabilkan oleh mukosa
yang meliputinya. 7
5
Gambar 1
6
Gambar 2
berikut :
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling
kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang
konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara
dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik
dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut,
udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang
dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring
berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah
bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.
8
Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk.
7
2. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek
otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada
waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya
rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui
serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter
dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan
menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur
ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke
9
sinus piriformis lalu ke introitus esophagus
3. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk
memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior
terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka.
Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO 2 dan O2 arteri serta pH
suara10
4. Fungsi Sirkulasi
10
8
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya
reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus
Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut
ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan
denyut jantung 8
5. Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap
11
tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan
6. Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu :
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus
Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami
kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan
terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke
saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan
penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar
membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga
makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan
9
masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esophagus.
7. Fungsi Batuk
11
9
Bentuk
plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara
mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring
dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang
reseptor atau iritasi pada mukosa laring.12
8. Fungsi Ekspektorasi
Dengan
adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
9. Fungsi Emosi
2.3 LARINGOMALASIA
2.3.1 Definisi
2.3.2. Etiologi
12
13
14
10
Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori
yang menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang
dibuat berdasarkan model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung
brakial ketiga dan keempat. Pada laringomalasia terjadi pertumbuhan
lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang keempat sehingga
epiglotis melengkung ke dalam.15
2.3.3 Klasifikasi
15
16
17
11
supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat
terjadi.
12
Gambar 5: Tipe 3 Laringomalasia, yaitu melekuknya epiglotis ke arah
posterior.
Klasifikasi laringomalasia 18
2.3.4 Patofisiologi
Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase
padat dari jaringan fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian
mukopolisakarida. Penelitian terhadap perkembangan tulang rawan laring
menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi proteoglikan dengan
18
19
13
pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat dengan
sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan
orang dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-
sulfat. Dengan bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah,
akan menjadi kurang air, lebih fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis
yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar, dan perlunakan jaringan yang
hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing kasus. 20
20
21
22
14
Gambar 6: Gambaran Pemeriksaan Fisik Laringomalasia
Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada
anak dengan kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis
abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor
inspiratoris serta kesulitan menelan yang merupakan akibat dari anomali
laring yang dapat menekan esofagus16
15
adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama
16 19
berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan
16
selalu menjadi ciri khas karena ini hanya ditemukan pada 30-50% pasien,
16 ,19
dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor
2.3.6 Diagnosis15,16,19
17
ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi langsung
merupakan cara yang terbaik untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan
dilakukan pada anak dalam keadaan sadar dengan posisi tegak melalui
kedua hidung tanpa adanya premedikasi. Bilah laringoskop dimasukkan ke
valekula dengan tekanan yang minimal pada epiglotis untuk menegakkan
diagnosis. Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama plika
ariepiglotik, epiglotis, dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran
nafas, disertai stridor yang sinkron. Visualisasi langsung memperlihatkan
epiglotis berbentuk omega selama inspirasi.
18
2.3.7 Diagnosis Banding
2.3.8 Penatalaksanaan
19
keterangan dan keyakinan utnuk menenangkan orang tua pasien tentang
prognosis dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang
dan pertumbuhan yang normal dapat dicapai. Jarang terjadi dimana seorang
anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan operasi.
16
Trakeostomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat
Gambar Supraglottoplasti 18
Gambar 7
24
20
berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah
atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara
memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan
mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe
3 ditangani dengan cara eksisi melewati ligamen glosoepiglotika untuk
menarik epiglotis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglotis ke
18 ,24
dasar lidah
2.3.9 Prognosis
21
wajah anterior, dengan saraf laring lateral. Saat berkembang secara kaudal,
ia tetap berada di anterior esofagus, di antara arteri karotis komunis, vena
jugularis interna, dan saraf vagus. Arteri brakiosefalika atau arteri innominata
adalah pembuluh darah pertama yang ditemukan pada diseksi pretrakeal
selama mobilisasi jalan napas, membenarkan alasan terjadinya fistula
trakea-innominata. Vena brakiosefalika melintasi bagian depan arteri
innominate dalam bidang bahkan lebih anterior ke trakea. Karina berada di
batas bawah trakea, tempat asal dua bronkus primer, pada ketinggian
vertebra toraks keempat atau kelima. 26
26
22
mobilisasi yang baik meningkatkan keamanan yang lebih besar untuk reseksi
dan rekonstruksi setengah panjang trakea [2]. Trakea memiliki struktur cincin
tulang rawan yang tidak lengkap, bagian posterior diisi oleh otot polos
dengan serat longitudinal (eksternal) dan transversal (otot trakea internal).
Ligamentum annular ditemukan di antara cincin trakea dan terdiri dari dua
lapisan membran fibrosa: lapisan luar, menutupi permukaan setiap cincin;
dan lapisan internal lainnya. Dalam interval tulang rawan, membran ini
26
bertemu, memberikan fleksibilitas dan fiksasi pada saluran pernapasan.
23
18-22 cincin tulang rawan. Cincin trakea pertama memiliki diameter yang
lebih besar dan terhubung ke ligamentum krikotiroid kartilago krikoid,
sedangkan cincin trakea terakhir lebih tebal dan lebih luas di garis tengahnya,
karena batas bawahnya memanjang dalam proses berbentuk segitiga,
melengkung ke bawah dan di belakang dua bronkus. . Cincin ini mencegah
runtuhnya mukosa trakea selama inspirasi. Aliran udara tergantung pada
diameter trakea. Hambatan berbanding terbalik dengan jari-jari pangkat
keempat. Sehingga penebalan mukosa, penyempitan otot, massa / tumor
yang menekan saluran pernafasan, dan bahkan tabung endotrakeal memicu
26
reduksi lumen dan menghasilkan aliran udara turbulen.
24
Gambar 10. Trakea bayi dan anak: Konfigurasi umum mirip dengan
orang dewasa dengan 16-20 cincin trakea tapal kuda dan pars
membranacea. Ukurannya panjang hanya 50%, diameter 36% dan luas
penampang 15%, dibandingkan dengan ukuran dewasa. ( Monnier P, 2011)
Vaskularisasi
Pasokan darah ke trakea terjadi melalui pedikel lateral. Hal ini penting
untuk menyingkirkan diseksi lateral pada reseksi trakea, yang dibatasi hingga
1-2 cm untuk mencegah devaskularisasi atau dehiscence anastomosis.
25
Bagian kranial dari trakea disuplai oleh arteri tiroid bawah dan cabang
trakeoesofagusnya, sedangkan arteri bronkial memberi makan bagian distal,
karina, dan bronkus. Di antara cincin terdapat pleksus submukosa dari arteri
intercartilaginous, mengisi jaringan dan memperdarahi bagian tulang rawan,
sedangkan membran trakea divaskularisasi oleh cabang dari arteri esofagus.
Drainase vena menyatu ke vena brakiosefalika melalui pleksus vena tiroid
inferior, sedangkan drainase limfatik menyatu ke kelenjar getah bening
26
paratrakeal dan kelenjar getah bening serviks dalam.
Innervasi
Persarafan trakea berasal dari cabang trakea yang berasal dari rantai
simpatis toraks dan ganglion inferior saraf vagus. Yang pertama bertanggung
jawab atas tonus otot trakeobronkial, memungkinkan bronkodilatasi dan
bronkokonstriksi, produksi sekresi mukoid, dan permeabilitas vaskular.
Persarafan vagal pada gilirannya bertanggung jawab atas refleks batuk dan
sternutasi.26
27
26
Anatomi pada anak
1. Diameter lumen saluran napas yang lebih kecil dan lapisan mukosa
yang lebih longgar membuatnya sangat rentan terhadap trauma dan
obstruksi oleh edema atau sekresi
2. Leher anak-anak lebih pendek dari leher orang dewasa
3. Kepala yang lebih besar secara proporsional menyebabkan anak-anak
mengalami obstruksi jalan napas atas dengan fleksi leher alami dan
kompresi jaringan lunak, terutama pada posisi terlentang
4. Lidah neonatal memiliki permukaan punggung yang datar dan
mobilitas lateral yang minimal, dan tampak besar pada rongga mulut
yang kecil
5. Laring lebih silindris pada anak yang lebih tua (> 8 tahun) dan pada
orang dewasa, sedangkan laring neonatus dan bayi berbentuk kerucut
terlebar pada tingkat supraglotis dan tersempit pada tingkat subglotis
(meskipun beberapa studi pencitraan resonansi magnetik
menunjukkan bahwa bagian tersempit mungkin di glotis, seperti pada
orang dewasa)
6. Cincin krikoid secara fungsional merupakan bagian tersempit dari jalan
napas neonatal
7. Panjang trakea terkait dengan usia dan tinggi badan anak, bukan berat
badan
8. Trakea lembut dan fleksibel; Selain itu, jalan napas kecil dan seringkali
sangat berbahaya
28
29
27
Gambar 12. Perbedaan bentuk laring berdasarkan usia. Saluran keluar
dari cincin krikoid adalah bagian paling sempit dari jalan napas bayi,
berbentuk melingkar, yang memungkinkan penyegelan yang memadai
dengan tabung orotrakeal berukuran cukup dan tidak bermuatan untuk
ventilasi dan melawan aspirasi isi lambung. Membran krikotiroid
dipaksa menghadap ke kepala dan terutama terkena cedera (seperti
perforasi oleh intubasi 26
2.5 FISIOLOGI
Tulang rawan pada laring bayi lebih lembut dan lebih lentur
dibandingkan pada orang dewasa, dengan kecenderungan runtuh jika
ditekan. Mukosa supraglotis dan subglotis lemah pada bayi sehingga lebih
rentan terhadap edema saat meradang atau terluka. Tabung trakeostomi
melewati mekanisme alami dari filtrasi, pembersihan siliaris, pemanasan, dan
pelembab udara yang biasanya disediakan oleh hidung dan rongga mulut.
Dengan demikian, anak dengan trakeostomi mungkin mengalami
peningkatan batuk, infeksi paru, dan pengeringan sekresi paru. (Watters KF,
2017)
2.6 TRAKEOSTOMI
28
2.6.1 DEFINISI
2.6.2 EPIDEMIOLOGI
29
30
Indikasi umum trakeostomi pada anak-anak adalah sebagai berikut:
1. Obstruksi jalan nafas:
Sindrom dengan anomali jalan napas misalnya, sindrom Treacher
Collins, sindrom Nager, sindrom Beckwith-Wiedemann
Kelainan anatomis kongenital seperti kelumpuhan pita suara
bilateral, laringomalasia, jaringan subglotis
Penyakit infeksi yang membahayakan jalan napas misalnya
epiglotis dan laringotrakeobronkitis
Tumor jalan napas anak yang jinak misalnya papilomatosis
pernapasan rekuren
Tumor leher ekstrinsik yang menyebabkan kompresi saluran napas
misalnya, higroma kistik
2. Jalan nafas yang tidak terlindungi untuk mencegah aspirasi, misalnya
celah laring, parese nervus laringeus rekuren
3. Penggunaan ventilator yang lama
4. Untuk mencegah stenosis laringotrakeal dalam intubasi jangka
panjang
5. Perlindungan dari aspirasi dengan menyediakan akses untuk toilet
trakeobronkial
6. Sebagai akses ventilasi pada kasus dengan intubasi yang sulit seperti
abses retropharyngeal, perdarahan pasca tonsilektomi, obstructive
sleep apnea, benda asing di trakea, luka bakar pada wajah, dll.
Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk trakeostomi pada anak, beberapa
26
kontraindikasi relative adalah sebagai berikut :
Koagulopati
1. Infeksi lokal
2. Kelainan anatomi
30
30
3. Pendekatan bedah yang sulit
31
Langkah-Langkah dalam Teknik Konvensional:
32
dan takik suprasternal). Tanda-tanda ini seringkali sulit untuk diraba
pada anak-anak. Pada saat ini, kehati-hatian harus diberikan untuk
mengidentifikasi pulsasi vaskular yang menonjol yang menunjukkan
arteri innominate high-riding. lokasi bedah kemudian dapat disiapkan
dan ditutup dengan cara steril. 30
3. Insisi kulit (lihat Gambar 7a): Dalam praktik rutin, lebih dipilih insisi
kulit horizontal 3 cm, di tengah antara kartilago krikoid dan takik sternal
(pada level cincin trakea kedua dan ketiga). Sayatan vertikal
berlawanan dengan garis tegangan kulit serviks dan tidak memberikan
eksposur yang jauh lebih baik daripada sayatan horizontal. Menurut
pendapat beberapa penulis, tidak ada alasan untuk menggunakan
sayatan kulit vertikal dalam prosedur elektif.(Campisi, 2016) Survei di
antara ahli bedah melaporkan perkiraan 60% preferensi untuk sayatan
kulit horizontal.(Song, 2014) Di sisi lain, beberapa penulis
merekomendasikan sayatan kulit vertikal untuk prosedur darurat,
memberikan akses cepat ke trakea dan meminimalkan risiko cedera
vaskular dan perdarahan yang berlebihan. (Campisi, 2016) Yang lain
mengklaim bahwa sayatan vertikal mungkin menawarkan orientasi
anatomis yang lebih baik (terutama pada bayi) dengan pentingnya
landmark anatomis, seperti kartilago krikoid dan tiroid, mungkin tidak
dapat diraba dengan mudah, dan dapat mengurangi risiko
pneumotoraks dengan meminimalkan kebutuhan akan diseksi lateral
trakea.31
4. Diseksi sampai ruang kelenjar tiroid (lihat Gambar 7b): Dua flap kulit
(satu superior dan inferior lainnya) dibuat melalui diseksi horizontal
lemak subkutan dan platysma. Pada titik ini, diseksi berputar ke arah
vertikal, memisahkan otot tali di sepanjang garis tengah raphe, dengan
31
33
ahli bedah tambahan memberikan retraksi lateral sampai ruang
kelenjar tiroid masuk. 26
5. Paparan trakea dan hemostasis (lihat Gambar 7c): Jaringan lemak
pretrakea dibedah secara lateral dan superior, sementara pembuluh
darah di bawah istmus dikendalikan dan kelenjar tiroid didorong ke
atas dengan retraktor, memperlihatkan dinding trakea anterior.
Akhirnya, istmus perlu pisahkan secara vertikal (dan dijahit secara
hemostatis) untuk eksposur cincin trakea yang lebih baik. Beberapa
penulis menganjurkan pembagian isthmus rutin, meskipun trauma
jaringan operasi lebih besar dan risiko yang dihasilkan. Kremer dkk.
menyatakan bahwa ada risiko kondritis pada cincin tulang rawan
trakea pertama atau kedua, yang disebabkan oleh tarikan ke atas
pada kanula, jika isthmus belum dipotong. Selain itu, mereka
menganggapnya sebagai keuntungan yang pasti untuk memisahkan
dua istmus, karena ini memungkinkan pemasangan kanula tanpa
kekuatan dan membantu menghindari tidak hanya kerusakan pada
dinding depan dan belakang trakea, tetapi juga pemasangan kanula
yang salah di mediastinum dan kerusakan jaringan yang tidak
terkontrol. Kontrol perdarahan harus ditinjau sebelum membuka
trakea, dan manuver Valsava harus dilakukan oleh ahli anestesi untuk
membantu bukti perdarahan tekanan rendah yang tersembunyi. Perlu
diingat bahwa volume darah normal pada pediatri hanya sekitar 85 mL
/ kg dan beberapa penyakit gabungan adalah aturan pada pasien
tersebut. Oleh karena itu, sedikit limbah darah mungkin “banyak”
dalam kondisi seperti itu, dan kehilangan minimal harus dicapai
34
Gambar 14. Bayi yang menjalani trakeostomi konvensional untuk
dukungan ventilasi jangka panjang. (a) Insisi kulit horizontal. (b)
Diseksi subplatysmal horizontal. (c) Diseksi vertikal dengan retraktor
lateral. (d) Trakeostomi vertikal dengan tiga titik fiksasi jahitan yang
dapat diserap. (e) Tabung trakea tidak berongga. (f) Tabung
diposisikan; perhatikan jahitan tinggal di bawah tabung (panah merah)
yang digunakan untuk traksi batas trakeostomi inferior selama
penggantian tabung pertama. (g) Tabung dipasang dengan ikatan di
sekeliling leher
35
6. Trakeostomi (lihat Gambar 7d dan Gambar 8) Setelah trakea terbuka
sepenuhnya, kait krikoid digunakan untuk menarik krikoid ke arah
superior. Ini menstabilkan kompleks laringotrakeal — langkah penting
sebelum membuat sayatan di trakea. Banyak jenis sayatan digunakan
untuk membuka dinding anterior trakea: vertical ataupun horizontal
(antara dua cincin tulang rawan); dengan bagian dari reseksi cincin
(jendela oval); Björk flap (bagian inferior yang menempel pada flap
tulang rawan kulit — dikembangkan pada tahun 1960); dan sayatan
berbentuk H (sayatan horizontal yang berhubungan dengan flap
superior dan inferior). Tak satu pun dari jenis ini yang mencapai
konsensus (kebanyakan penulis melaporkan tidak ada perbedaan
dalam frekuensi atau tingkat keparahan komplikasi di antara jenis
fenestrasi trakea yang dilakukan), meskipun komplikasi dan
keuntungan spesifik lebih sering dikaitkan dengan jenis trakeostomi
tertentu. Insisi trakea dapat dibuat secara vertikal atau horizontal
sesuai dengan preferensi ahli bedah, karena berada di antara cincin
trakea kedua dan keempat - karena penempatan insisi dan insisi di
atas ring kedua dapat mempengaruhi pasien untuk mengembangkan
stenosis subglotis.(Campisi, 2016) Terlepas dari jenis sayatan, pada
anak-anak disarankan untuk menggunakan jahitan fiksasi di tepi
trakeostomi, untuk mengurangi kemungkinan saluran yang salah.
Beberapa lebih suka pendekatan batas trakea ke kulit dan
menghilangkan lemak subkutan dari sayatan kulit agar jahitannya lebih
pas. Survei yang dilaku kan pada tiga titik waktu menunjukkan bahwa
sebagian besar ahli bedah menggunakan jahitan tetap (85-94%),
pengangkatan lemak subkutan secara rutin (62%), dan insisi trakea
vertikal (75-87%), sementara hanya 5-10% yang merespons. ahli
31
bedah membuat sayatan trakea horizontal.
36
Gambar 15. Jenis fenestrasi (sayatan untuk trakeostomi) berwarna
merah. Dari kiri ke kanan: vertikal, hori zontal, jendela oval, flap tulang
rawan inferior (Björk flap), flap kartilago superior dan inferior
(berbentuk H). Tulang rawan trakea diberi nomor dari pertama sampai
keempat; perhatikan penempatan sayatan di antara cincin trakea
kedua dan keempat (Farias, 2018)
37
2.6.6. KANUL TRAKEOSTOMI
32
Table 1. Bagan ukuran kanul trakeostomi pada anak
32
38
1. Penggantian Kanul Trakeostomi
39
Untuk manajemen optimal pasien dengan kanul trakeostomi, sangat
penting untuk mengetahui kapan harus mengganti kanul. Ada beberapa
indikasi penggantian kanul Trakeostomi. 26
40
2. Fiksasi Kanul Trakesotomi
2.6.7 DEKANULASI
2.6.8 KOMPLIKASI
33
41
oleh kesalahan penempatan kanul trakeostomi dan dekanulasi tidak
disengaja. 34
BAB III
34
42
LAPORAN KASUS
Data pasien:
Nama : By Ny Asrina
Alamat : Makassar
43
riwayat 3 kali lepas ventilator dipasang kembali karena anak mendadak
sesak, sianosis, dan apnea . Anak sesak jika tidur terlentang, tersedak jika
dberi minum sehingga dipasang NGT,Saat ini anak tidak sesak, tidak batuk
keluhan lain tidak ada. Dari bagian anak dikonsulkan untuk permintaan
pemasangan trakeostomi.
Pemeriksaan fisik :
GCS : E4VxM6
Respirasi : 28 kali/menit
Suhu : 37 oC
Saturasi : 100%
Pemeriksaan penunjang :
44
Trombosit :782.000/ µL Klorida :107
mmol/L
Hematokrit :43%
Follow up Harian:
45
Sesak tidak Saturasi: 100%
Ada Suhu :36,8
46
1/7/2021 Sesak ada, HR : 120x/ menit Prolonged -Pasien gagal ekstubasi
batuk tidak, RR : 40 x/menit ventilator (yang ke 5x), ETT di pasang
47
minimal, krepitasi tidak ada, - Terpasang oksigen
demam perdarahan aktif 5Ln per menit via T
48
RR : 36,1 x/menit piece
Saturasi: 99% - Rencana ganti kanul
49
Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
tidak ada, stoma belum paten, H 6 - Ganti celana
lendir ada airway adekuat, kanul /hari
minimal HR : 112x/ menit - Flumycil drop /12
RR : 37, 1 x/menit jam/ hari
Saturasi: 99% - Meropenem
Suhu 37,5 250mg/8 jam/IV
(sesuai TS anak)
stop, tidak ada
penangana khusus
dari TS anak
11/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Suction lendir
Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, Trakeostomi intermiten
tidak ada, stoma belum paten, H 7 - Ganti celana
lendir ada airway adekuat, kanul /hari
minimal HR : 110x/ menit - Flumycil drop /12
RR : 36,5 x/menit jam/ hari
Saturasi: 99% - Informed consent
Suhu 37,5 - Ganti kanul
Trakeostomi
12/7/2021 Sesak tidak Terpasang kanul Post - Pasien boleh rawat
Ada, batuk Trakeostomi no 3.0, operasi jalan
tidak ada, stoma belum paten, trakeostomi - Ganti kanul
lendir ada airway adekuat, hari 8 Trakeostomi setiap
minimal HR : 112x/ menit minggu di poli THT
RR : 36 x/menit -
Saturasi: 99%
Suhu 37,5
50
Laporan operasi:
DISKUSI
51
terpasang NGT , pasien juga mengalami gangguan tumbuh kembang karena
di usia 4 bulan berat badannya 2,9 kg. Sekitar 80% kasus merupakan derajat
ringan dan sedang yang dapat membaik serta resolusi sampai usia 2 tahun
sedangkan 20% merupakan derajat berat yang membutuhkan tindakan
pembedahan dan pada pasien ini termasuk laringomalasia derajat berat
disertai penyakit komorbid yaitu Bronkopneumonia + dysplasia + sepsis+
CAP.
53
laringomalasia yang gagal terapi
konservatif.
Kesimpulan: Laringomalasia
merupakan kolapsnya struktur
supraglotis ketika inspirasi yang
mengakibatkan adanya
stridor inspirasi. Laringomalasia
derajat berat dapat mengancam
nyawa. Sebagian besar kasus akan
resolusi sendiri,
namun sekitar 20% memerlukan
tindakan pembedahan.
Supraglottoplasti merupakan tindakan
pembedahan pilihan
untuk kasus laringomalasia
Kata kunci: Laringomalasia, stridor in
Pasien dikonsul dari TS anak untuk dilakukan tindakan Trakeostomi,
Pasien memiliki indikasi untuk dilakukan trakeostomi karena telah terpasang
ventilator dalam jangka waktu lama, lebih dari 2 bulan. Hal ini sesuai dengan
54
literatur yang menyatakan indikasi trakeostomi pada anak paling banyak
pada pasien prolonged ventilator dengan intubasi yang lama.
55
medis untk kelancaran operasi. Trakeostomi pada pasien ini dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari semua bagian tim medis yang terlibat dan
persetujuan dari orang tua pasien.
35
56
kronis yang mendasari dari trakeostomi. Pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan rontgent Thorax dan didapatkan hasil terpasang tracheostomy
tube dengan tip +/-2,13 cm diatas carina, pneumonia bilateral dan. Dilaporkan
oleh Rabuzzi, yang dikutip oleh Sicard kekerapan terjadinya komplikasi
intratoraks sekitar 70% pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun.(Cahyono,
2010) Beberapa mekanisme telah dijelaskan untuk menjelaskan
perkembangan komplikasi yang fatal ini. Khususnya, kerusakan pada dinding
trakea anterior atau dinding trakea posterior, kebocoran udara melalui kanula
berlubang, penempatan paratrakeal atau penempatan yang salah dari kanul
trakeostomi, dan / atau barotrauma karena tekanan tinggi pada ventilasi
mekanis telah dijelaskan.(Gupta, 2014) Pada pasien ini tidak didapatkan
komplikasi post operasi emfisema subkutan
57
Pasien di pulangkan pada hari ke 7 paska operasi dan dilakukan kontrol rutin
di poliklinik THT RSUP Wahidin Sudirohusodo.
BAB IV
KESIMPULAN
58
dengan anomali jalan napas, Kelainan anatomis kongenital, Penyakit infeksi
yang membahayakan jalan napas, Tumor jalan napas anak yang jinak,
Tumor leher ekstrinsik yang menyebabkan kompresi saluran napas), Jalan
nafas yang tidak terlindungi untuk mencegah aspirasi, Penggunaan ventilator
yang lama, Untuk mencegah stenosis laringotrakeal dalam intubasi jangka
panjang, Perlindungan dari aspirasi dengan menyediakan akses untuk toilet
trakeobronkial, Sebagai akses ventilasi pada kasus dengan intubasi yang
sulit seperti abses retropharyngeal, perdarahan pasca tonsilektomi,
obstructive sleep apnea, benda asing di trakea, luka bakar pada wajah, dll.
Sebelum operasi sebaiknya dilakukan evaluasi preoperasi menyeluruh
seperti riwayat medis pasien, pemeriksaan fisis. Pemeriksaaan penunjang,
informed concent pasien dan keluarga, terknik operasi yang akan di gunakan
(dikarenakan adanya perbedaan anatomi pada trakea anak) dan persiapan
peralatan operasi yang akan digunakan. Evaluasi paskaoperasi juga
sangatlah penting untuk pasien anak paska trakeostomi seperti perawatan
kanul trakeostomi paska operasi ataupun perawatan di rumah, humidifikasi,
waktu yang tepat untuk dekanulasi dan evaluasi komplikasi paska operasi.
59
DAFTAR PUSTAKA
60
CARE Journal Conference. 2014: 59(6).pp.895-919. DOI:
10.4187/respcare.02971
6. Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA
editor.. Buku ilmu kesehatan telinga tenggorok kepala & leher. Edisi
ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007 : p. 231-236
7. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and physiologi of the larynx. In:
Ballenger JJ, Snow JB, editors Otorhinolaryngologi head
and neck surgery. Ontario:
13. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit
buku kedokteran EGC.Jakarta. 1997.
61
14. Bailey BJ, Calhoun KH. Head and Neck Surgery – Otolaringology,
Volume one, 2nd Edition. Lippincott – Raven Publishers. Philadelphia,
USA.
15. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher,
Jilid Satu, Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994
16. Lusk RP. Congenital Anomalies of The Larynx. Dalam Ballenger JJ,
Snow JB. Otolaryngology Head and Neck Surgery 15 th Edition.
Baltimore : William & Wilkins ;1996 p 498-501.
17. Tucker HM. The Larynx, 2nd Edition. Thieme Medical Publishing
Division. Ohio, USA. 1993.
18. Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its
treatment. Laryngoscope 1999; 109: 1770-5
19.Bye MR. Laryngomalacia. (Update Feb 24, 2010: cited Feb 2,
2011).Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/100252
20.
21. Paston F. Laringomalacia and Tracheomalacia. Available at
http://pedclerk.bsd.uchicago.edu/tracheomalacia.html . Accessed on
June 14th 2013.
22. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth
& Co Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
23. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology –
Head and Neck Surgery. Lange Medical Book, Mc Graw-Hill Company.
New York, USA. 2004.
24. Rawring BA, Derkay CS, Chu MW. Surgical treatment of
laryngomalacia. Operative Tech in Otolaryngol. 2009; 20: 222-8
62
25. Cotton RT, Prescott CA. Congenital anomalies of the larynx. In:
Cotton RT, Myer CM. Practical pediatric otolaryngology.
Philadelphia: Lippincott; 1999: p.
497-501
26. Farias TPd. Tracheostomy. Springer International Publishing.
Switzerland.
2018
27. Monnier P. Pediatric Airway Surgery. Springer Heidelberg Dordrecht
London New York. DOI 10.1007/978-3-642-13535-4. 2011
28. Mok Q. Tracheostomies in paediatric intensive care: evolving
indications and changing expectations. Arch Dis Child .
2012.97(10).pp.858-860
29. Schmidt.. The paediatric airway Basic principles and current
developments. European Journal of Anaesthesiology. 2014
31(6).pp,293–299. doi:10.1097/eja.0000000000000023
30. Campisi P & Forte, V.. Pediatric tracheostomy. Seminars in Pediatric
Surgery. 25(3).pp. 191–5. doi:10.1053/j.sempedsurg.2016.02.014
31. Song JJ, Choi IJ, Chang H, Kim DW, Chang HW, Park GH, et al.
Pediatric tracheostomy revisited: a nine-year experience using
horizontal intercartilaginous incision. Laryngoscope. 2015.
125(2).pp.485–92.
32. Deutsch ES. Tracheostomy: Pediatric Considerations. Respiratory
Care. 2010. 55(8). Pp.1082-1090
Laryngol ; 107:887-90.
63
34. Das P, Zhu H, Shah RK, Roberson DW, Berry J, Skinner ML.
Tracheotomy-related catastrophic events: results of a national survey.
Laryngoscope.. 122(1).pp30–7.2012. DOI: 10.1002/lary.22453
35. Okonkwo I, Cochrane I , Fernandez E. Perioperative management of
a child with a tracheostomy. BJA Education, 2020. 20(1).pp.18-25.
64