Anda di halaman 1dari 79

MAKALAH PENGENDALIAN HAMA TERPADU

LAPORAN PROJECT DIAGNOSIS HAMA & PENYAKIT


TANAMAN CABAI SERTA REKOMENDASI
PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

DOSEN PENGAMPU :
Ir. Yetti Elfina S, M.P

DISUSUN OLEH :

PUTERI AULIYA MUSTIKA


2006110425

AGROTEKNOLOGI-C

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat,

hidayah, dan kemudahaan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah

yang berjudul “Laporan Project Diagnosis Hama dan Penyakit Tanaman Cabai

serta Rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu (PHT)”. Penulis mengucapkan

terima kasih kepada dosen pengampu Ibu Ir. Yetti Elfina S.MP, yang telah

memberikan bimbingan, petunjuk, dan motivasi sampai selesainya makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan

makalah ini. Oleh karena itu, kami mengaharapkan masukan yang bersifat

membangun untuk penyempurnaan pelaksanaan makalah ini sehingga dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 17 Juni 2022

Puteri Auliya Mustika

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v

BAB I .................................................................................................................. 7

PENDAHULUAN ........................................................................................... 7

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 7

2.1 Tujuan ................................................................................................ 10

BAB II .............................................................................................................. 11

TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................11

BAB III .............................................................................................................28

METODOLOGI ............................................................................................. 28

3.1 Waktu dan Tempat ..........................................................................28

3.2 Alat dan Bahan ................................................................................ 28

3.3 Cara kerja .......................................................................................... 28

BAB IV .............................................................................................................31

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 31

4.1 Tanaman Cabai ................................................................................31

iii
4.2 Jenis Tanah pada Lahan ................................................................ 33

4.3 Pengamatan OPT (organisme Penganggu Tanaman) ............ 33

4.4 Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit pada

Tanaman Cabai .......................................................................................39

4.5 Tingkat kerusakan pada Hama dan Penyakit Tanaman Cabai

.................................................................................................................... 59

4.6 Pengendalian Berdasarkan Hama dan penyakit Yang

didapatkan ................................................................................................62

BAB V .............................................................................................................. 72

PENUTUP ....................................................................................................... 72

3.1 Kesimpulan .......................................................................................72

3.2 Saran ...................................................................................................73

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................74

LAMPIRAN ....................................................................................................77

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Lahan Tanaman Cabai ..................................................... 32

Gambar 2. Tanaman Cabai (Capsicum annuum L). ......................32

Gambar 3. Kutu kebul pada lahan ..................................................... 63

Gambar 4. Kepik Coklat Pada Lahan ............................................... 65

Gambar 5. Penyakit Antraknosa pada lahan ................................... 67

Gambar 6. Penyakit Virus kuning ..................................................... 68

Gambar 7. Penyakit Bercak Daun ..................................................... 69

v
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Hasil Pengamatan Hama .........................................................33

Tabel 2. Hasil Pengamatan Penyakit ................................................... 35

Tabel 3. Hasil Pengamatan Gulma ....................................................... 36

Tabel 4. Hasil Pengamatan Musuh alami ........................................... 38

Tabel 5. Tingkat kerusakan oleh hama kutu kebul ...........................59

Tabel 6. Tingkat kerusakan oleh hama kepik .................................... 60

Tabel 7. Tingkat Kerusakan penyakit Bercak daun ......................... 61

vi
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanaman dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh faktor internal

(genetis) dan eksternal (lingkungan). Faktor lingkungan yang mempengaruhi

pertanaman dan perkembangan tanaman terdiri atas faktor abiotik dan biotik. Salah

satu faktor biotik yang sangat besar pengaruhnya terhadap tanaman adalah adanya

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) (Supriyadi, 2014).

OPT yang berupa hama/penyakit/gulma, dapat mengancam tanaman

pertanian yang dibudidayakan atau bahkan bisa mengancam kelestarian sumber daya

alam flora. OPT dapat mengganggu tanaman sejak dari bahan tanam sampai pasca

panen. Sebagian besar OPT berbahaya bagi kelangsungan pertanian Indonesia

terutama ancaman pada tanaman pangan dan hortikultura. Bentuk gangguan pada

tanaman dapat berupa fisik, fisiologis, maupun penurunan mutu hasil. Tingkat

kerugian yang ditimbulkan sangat beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis OPT,

fase pertanaman, dan cara budidaya (Supriyadi, 2014).

Perlindungan tanaman merupakan bagian utama dari sistem budidaya

tanaman. Perlindungan tanaman berperan dalam menjaga kuantitas, kualitas,

kontinuitas dan efisiensi produksi. Oleh karena itu perlindungan tanaman harus

dipertimbangkan dalam setiap usaha budidaya tanaman dan pemasaran hasil pertanian.

PHT merupakan konsep pengelolaan hama yang berwawasan ekologi

atau pengendalian hama akrab lingkungan yang mendorong bekerjanya musuh alami.

Cara pengendalian ini bersifat non kimia yang memanfaatkan predator dan parasitoid

melalui mekanisme homeostatis mampu mempertahankan keseimbangan serangga,

sehingga populasi hama tidak akan mendatangkan kerugian ekonomi bagi petani.

7
Konsep PHT lebih menekankan pada penjagaan dan pemantapan keseimbangan

ekosistem dengan mempertahankan populasi hama tetap berada di bawah ambang

ekonomi maka, akan selalu mengusahakan terbentuknya agroekosistem yang

memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga terbentuk agroekosistem yang

relatif stabil . Pengembangan program pengendalian hama terpadu (PHT, integrated

pest management, IPM) merupakan suatu tindakan koreksi dalam pengelolaan hama

yang hanya mengandalkan pestisida sebagai satu-satunya teknik pengendalian untuk

mengendalikan berbagai jenis hama. Pelaksanaan PHT dilakukan berdasarkan suatu

pendekatan yang komprehensif dan mengacu pada sistem pengelolaan tanaman secara

terpadu pada berbagai ekosistem. Secara umum, ciri dari program PHT adalah: efisien

dan layak secara ekonomi, ramah lingkungan, aman bagi organisme non-target

(misalnya, manusia, hewan, musuh alami), berterima secara sosial dan budaya,

programnya bersifat holistik dan terpadu (Oka, 1997).

Pengendalian Hama Terpadu merupakan dasar kebijakan pemerintah

dalam program perlindungan tanaman di Indonesia, yang secara resmi tercantum pada

Inpres No 3/1986, UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, dan PP

No.6/1995 tentang Perlindungan Tanaman.

Salah satu aspek penting dalam program PHT adalah analisis

agroekosistem. Agroekosistem mempunyai struktur dan fungsi yang kompleks dan

luas, yang mengakibatkan adanya kesulitan di dalam pembahasannya. Oleh karena itu,

diperlukan suatu metode analisis yang mudah dipahami, namun informasi yang

dihasilkan metode tersebut tetap dapat dipercaya. Salah satu metode penyelidikan

ekosistem adalah melalui pendekatan sistem kehidupan (life system), yaitu

penyelidikan tentang pengaruh faktor lingkungan terhadap sistem kehidupan

(perkembangbiakan, ketakatan / survivorship, pemencaran) suatu makhluk hidup

8
tertentu yang menjadi subjek penyelidikan. Pendekatan ini menghasilkan informasi

yang rinci namun cakupannya sempit, sehingga kurang dapat menggambarkan

keadaan agroekosistem secara keseluruhan .

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

pertanian yang semakin berkembang, tidak banyak petani yang dapat menerapkan dan

memanfaatkan pestisida nabati. Minimnya pengetahuan dan ilmu yang dimiliki petani

dalam mengembangkan budidaya pertanian sangat mempengaruhi hasil yang

diperoleh. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat dituntut untuk bisa

mengaplikasikan dan menerapkan ilmu yang diperoleh dibangku kuliah kepada

masyarakat luas. Oleh karena itu, agar dapat terjun dan dapat mengkomunikasikan

kepada masyarakat luas, mahasiswa diharuskan untuk lebih mengenal, mengerti dan

menguasai seluk beluk keterampilan yang dimiliki. Mahasiswa diharapkan memiliki

kemampuan, baik dalam bermasyarakat maupun di dunia kerja baik secara teknis

maupun secara praktis yang sesuai dengan bidangnya.

Agroekosistem merupakan sebuah sistem lingkungan yang telah dibina

yang dikelola secara langsung oleh manusia untuk kepentingan produksi pangan, serat

dan berbagai produk pertanian. Agroekosistem merupakan bagian dari etnoekologi.

Definisi etnoekologi yaitu ilmu yang membahas mengenai hubungan yang erat antar

manusia, ruang hidup, dan semua aktivitas di bumi (Hilmanto, 2009)

Ekosistem pertanian (agroekosistem) memegang faktor kunci dalam

pemenuhan kebutuhan pangan suatu bangsa. Keanekaragaman hayati (biodiversity)

yang merupakan semua jenis tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang ada dan

berinteraksi dalam suatu ekosistem sangat menentukan tingkat produktivitas pertanian.

Namun demikian dalam kenyataannya pertanian merupakan penyederhanaan dari

keanekaragaman hayati secara alami menjadi tanaman monokultur dalam bentuk yang

9
ekstrim. Hasil akhir pertanian adalah produksi ekosistem buatan yang memerlukan

perlakuan oleh pelaku pertanian secara konstan. Berbagai hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan berupa masukan agrokimia (terutama pestisida dan

pupuk) telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang tidak dikehendaki

(Altieri, 1999).

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari kegiatan PHT adalah sebagai berikut :

1. Mahasiswa dapat mengetahui (mengidentifikasi) hama dan penyakit yang

akan dikendalikan pada suatu lahan pertanaman dan selanjutnya menganalisis

status hama dan penyakit tersebut. Selain itu juga agar pratikan mampu dan

dapat mendiagnosa penyakit tanaman pangan dan holtikultura berdasarkan

gejala serangan penyakit dan tanda yang ditemukan pada tanaman dan

disekitar tanaman pangan dan holtikultura dilapangan.

2. Mahasiswa dapat mengenal apa itu tanah, tanaman, organisme pengganggu

tanaman (OPT), musuh alami dan hubungan diantara unsur-unsur tersebut

pada lahan pertanaman.

3. Mahasiswa dapat mengambil keputusan dan tindakan lanjutan untuk tanaman

yang dibudidayakan.

10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diagnosis dan Analisis Status OPT/Diagnosis Penyakit dan Hama Tanaman

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) adalah semua organisme yang

dapat merusak, menggangu kehidupan atau menyebabkan kematian pada tanaman.

Organisme penganggu tanaman merupakan faktor pembatas produksi tanaman. OPT

adalah semua organisme yang dapat menyebabkan penurunan potensi hasil secara

langsung karena menimbulkan kerusakan fisik, gangguan fisiologi dan biokimia, atau

kompetisi hara terhadap tanaman budidaya (Victor, 2019).

Penyakit tanaman merupakan penyimpangan dari sifat normal yang

menyebabkan tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologis seperti biasanya.

Penyakit tanaman adalah gangguan pada tanaman yang disebabkan oleh

mikroorganisme. Mikroorganisme itu dapat berupa virus, bakteri, dan jamur.

Penyebaran penyakit tanaman dapat melalui angin, air, atau serangga. Penyakit

tanaman dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu penyakit sistematik dan penyakit

lokal. Penyakit sistematik adalah penyakit yang menyebar keseluruh tubuh tanaman,

sehingga seluruh tanaman akan sakit. Penyakit local adalah penyakit yang hanya

terdapat disuatu tempat atau bagian tertentu, misalnya pada buah,bunga, daun, cabang,

batang atau akar (Pracaya, 2005).

Pengendalian organisme pengganggu tanaman merupakan tindakan untuk

mencegah kerugian pada tanaman budidaya yang diakibatkan oleh organisme

pengganggu tanaman yang terdiri dari tiga komponen yaitu hama, penyakit dan gulma.

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara memberikan satu atau lebih teknik

pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan. (Sutarman, 2017)

11
Sehubungan dengan konsep pertanian organik, maka tata cara pencegahan

ataupun penganggulangan OPT harus menggunakan bahan-bahan organik dan teknis

yang ramah lingkungan. Zat-zat yang digunakan untuk mencegah dan menanggulangi

OPT secara organik biasa disebut sebagai pestisida nabati (Ariyanti, NA. 2014)

Gangguan serangan hama dan patogen penyebab penyakit bukan hanya

menurunkan kuantitas dan kualitas panen tetapi juga seringkali menimbulkan fuso

bahkan pada akhirnya berimbas pada gangguan sistem pengadaan pangan di hampir

seluruh dunia (Ariyanti, NA. 2014)

Berbagai cara yang bisa digunakan untuk pengendalian organisme

pengganggu tanaman yaitu dengan pengendalian secara kimia dengan menggunakan

pestisida (insektisida fungisida, bakterisida, herbisida), pengendalian secara fisik

dengan menggunakan perangkap, pelindung fisik, dan penangkapan langsung, serta

pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan musuh alami hama dan penyakit

tanaman. (Ekawati, E. 2017)

Tanaman cabai (Capsicum annum) termasuk dalam komoditi hortikultura yang

buahnya memilki kandungan gizi cukup tinggi terutama kandungan vitamin A dan C.

Penggunaan cabai yang cukup luas baik dalam bentuk segar maupun olahan

menyebabkan komoditi ini memiliki nilai ekonomi tinggi. Nilai ekonomi yang tinggi

menjadi alasan petani untuk terus membudidayakan tanaman cabai sebagai mata

pencarian dalam memenuhi kebutuhan hidup. (Ekawati, E. 2017)

Organisme pengganggu tanaman yang dapat menyerang tanaman cabai mulai

dari tahap persemaian hingga panen. Salah satu contoh yaitu patogen yang merupakan

cikal bakal dari penyakit pada tanaman cabai. (Ekawati, E. 2017)

12
Gejala tanaman sakit dapat dibagi berdasarkan sifat gejala yang timbul,

pengaruh langsung dan tidak langsung, berdasarkan ukuran gejala, serta secara

morfologis dan anatomi. (Ekawati, E. 2017)

• Berdasarkan sifat gejala yang timbul, gejala tanaman yang sakit dibagi

menjadi:

• Gejala lokal (local symptoms): gejala timbul hanya terbatas pada bagian-

bagian tanaman tertentu saja misalnya penyakit pada daun, akar atau buah.

• Gejala sistemik (systemic symptoms): gejala yang timbul disebabkan oleh

penyakit yang menyerang seluruh bagian tanaman: misalnya yang disebabkan oleh

virus, diseluruh bagian tanaman terdapat virus walaupun tepat infeksi pada bagian

tertentu dari tanaman tersebut.

• Berdasarkan pengaruh langsung dan tidak langsung, gejala tanaman sakit

dibagi menjadi:

• Gejala primer (primary symptoms): gejala yang timbul langsung dibagian

tanaman tempat terinfeksi;

• Gejala sekunder (secondary symptoms); gejala yang timbul pada

jaringanyang tidak diserang yang timbul secara tidak langsung akibat adanya patogen

(penyebab penyakit) di dalam tanaman.

• Berdasarkan ukuranya, gejala tanaman sakit dibedakan menjadi:

• Gejala mikroskopis (microscopic symtoms): gejala suatu penyakit

hanya dapat dilihat bila menggunakan alat pembesar (mikroskop)

• Gejala makroskopis (macroscopic symptoms): gejala suatu penyakit yang

dapat dilihat dengan mata telanjang.

Faktor-faktor penyebab penyakit tersebut dapat meliputi :

13
• faktor biotik yaitu: fungi, bakteri, virus, mikoplasma, nematoda, dan

tumbuhan tingkat tinggi;

• faktor abiotik seperti: cuaca, suhu, mineral, senyawa toksik, dan penyebab

lainnya.

Penyebab penyakit biotik menimbulkan penyakit infeksius atau dikenal

sebagai penyakit fisiologis. Pada berbagai literatur yang berkaitan dengan penyakit

tumbuhan (phytopatology), pembahasan lebih banyak ditunjukkan kepada penyakit

tumbuhan yang disebabkan oleh faktor biotik atau mikroorganisme. (Agrios, 1997)

Ilmu penyakit tanaman dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hal

ihwal virus, bakteri, fungi, nematoda dan tanaman tingkat tinggi yang dapat

menimbulkan kerusakan pada tumbuhan, tanaman atau tegakan tanaman dan hasil

tanaman. (Agrios, 1997)

Hama dan penyakit terjadi karena bagian dari hasil interaksi antara komponen-

komponen dan campur tangan manusia dalam mengelolanya. Oleh karena itu perlu

difahami hakekat berbagai masalah yang ditimbulkan oleh hama dan penyakit

tanaman sebagai dasar untuk mengatasi masalah hama dan penyakit yang lebih efisien,

efektif dan ramah lingkungan. (Agrios, 1997)

Tanda penyakit biasanya merupakan suatu struktur yang merupakan tubuh

atau bagian tubuh patogen yang sebagai besar dibentuk di dalam sel dan/atau disekitar

jaringan tanaman sebagai bentuk kegiatan perbanyakan dan akan digunakan oleh

pathogen untuk melakukan untuk penyebaran baik di bagian lain dalam satu tanaman

atau di tanaman lain di sekitarnya atau pada jarak yang jauh. (Agrios, 1997)

Cara utama untuk menentukan penyakit apapun adalah mengetahui nama

patogen atau agen yang secara negative mempengaruhi kesehatan organisme inang.

Faktor penentu penyakit yang sering diabaikan, adalah lingkungan, yang mencakup

14
efek fisik dan sosial yang merugikan pada umat manusia. Segitiga penyakit adalah

model konseptual yang menunjukkan interaksi antara lingkungan, pembawa penyakit

dan agen infeksius (atau abiotik). Model ini dapat digunakan untuk memprediksi

epidemiologi kesehatan tanaman dan kesehatan masyarakat, baik di masyarakat lokal

maupun global (Sopialena, 2017).

Tanaman dapat dikatakan sakit bila ada perubahan seluruh atau sebagian

organ-organ tanaman yang menyebabkan terganggunya kegiatan fisiologis sehari- hari.

Dengan demikian penyakit tanaman dapat diartikan sebagai sesuatu yang

menyimpang dari keadaan normal. Untuk dapat mengetahui tanda suatu penyakit

haruslah dipelajari dulu mengenai berbagai bentuk vegetative atau reproduktif

patogen. (Sopialena, 2017)

Tanda suatu patogen kadang-kadang dapat dilihat dengan mata biasa tanpa alat

pembesaran (makroskopis) dan kadang-kadang harus dilihat dengan alat pembesar

(mikroskop). Penentu sebab-sebab timbulnya suatu penyakit tanaman ditentukan dari

hasil pengamatan gejala dan tanda. Oleh karenanya pengamatan gejala dan tanda

sangatlah penting dalam bidang fitopatologi. (Sopialena, 2017).

Kegiatan pengamatan/percobaan di laboratorium ini dimaksudkan untuk

menindaklajuti proses diagnosis yang telah dilakukan di lapangan, tujuannya adalah

memastikan jenis penyebab penyakit (patogen) tertentu. Penyebab penyakit tersebut

apakah dari golongan cendawan/jamur, bakteri, virus, dan atau penyebab penyakit

lainnya. (Sopialena, 2017).

Diagnosis merupakan suatu proses untuk mengidentifikasisuatu penyakit

tanaman melalui gejala dan tanda penyakit yangkhas, termasuk faktor-faktor lain yang

berhubungan dengan proses pembentukkan penyakit tersebut. Diagnosisi penyakit

yang benar diperlukan untuk merekomendasikan cara pengendalian yang tepat dan

15
harus dilakukan survey penyakit tanaman. Diagnosa gangguan tanaman dapat

diketahui melalui pengenalan gejala atau tanda-tanda serangan spesifik dari masing-

masing hama. Gangguan hama dapat diketahui melalui tanda-tanda atau gejala yang

tampak pada bagian tanaman. (Sopialena, 2017).

Proses diagnosa suatu hama dapat dilakukan melalui beberapa tahap. Pada

tahap awal dapat dilakukan terhadap tanaman yang mengalami gangguan. Kegiatan

yang dilakukan adalah menjabarkan kondisi gangguan yang dapat dilihat mata.

Kemudian amati kondisi di sekeliling tanaman. Berikutnya yaitu menindaklanjuti

hasil pengamatan yaitu mencocokkan antara tanda atau gejala kerusakan yang tampak

pada tanaman dengan penyebab kerusakan tersebut. Dengan kata lain mencari

penyebab gangguan atau kerusakan tanaman tersebut. (Sopialena, 2017).

Dalam menyelesaikan serangan hama dan penyakit yang menyerang tidak

sedikit dari petani melakukan kesalahan dalam mengatasi permasalahan yang

dihadapi. Sehingga dengan pembuatan sistem pakar untuk mendiagnosa penyakit

tanaman jagung ini diharapkan bisa membantu petani untuk mengatasi permasalahan

dengan memberikan solusi yang baik. ( Saleh, S. 2018)

Proses pembuatan sistem pakar ini metode kepastiannya teorema bayes

dimana metode ini didasarkan dari kondisi awal dimana kondisi awal merupakan

kondisi gejala-gejala yang ada kemudian dikenakan aturan yang sudah ditentukan lalu

diambil nilai kebenaran yang paling besar untuk menentukan kesimpulan dan solusi

dari gejala yang disebutkan sebelumnya. Sistem pakar akan diterapkan untuk

menyelesaikan masalah berupa diagnosa penyakit pada tanaman. ( Saleh, S. 2018)

16
2.2 Analisis Agroekosistem I (Rantai Makanan)

Agroekosistem merupakan sistem ekologi dalam suatu lahan pertanian yang

didalamnya terdapat hubungan antara komponen biotik dan lingkungannya. Menurut

Altieri (2004), agroekosistem merupakan suatu ekosistem pertanian yang di

dalamnya terdapat komponen organisme dan abiotik dalam suatu lahan pertanian.

Agroekosistem dapat dikatakan produktif jika terjadi keseimbangan antara tanah, hara,

sinar matahari, kelembaban udara dan organisme-organisme yang ada, sehingga

dihasilkan suatu pertanaman yang sehat dan hasil yang berkelanjutan. Agroekosistem

terbentuk dari berbagai macam komponen seperti tanah, udara, cahaya, tanaman dan

berbagai macam organisme pengganggu tanaman (OPT), musuh alami, organisme

pengurai, serta komponen pendukung lainnya yang saling berinteraksi satu sama lain.

PHT merupakan konsep pengelolaan hama yang berwawasan ekologi atau

pengendalian hama akrab lingkungan yang mendorong bekerjanya musuh alami. Cara

pengendalian ini bersifat non kimia yang memanfaatkan predator dan parasitoid

melalui mekanisme homeostatis mampu mempertahankan keseimbangan serangga,

sehingga populasi hama tidak akan mendatangkan kerugian ekonomi bagi petani.

Konsep PHT lebih menekankan pada penjagaan dan pemantapan keseimbangan

ekosistem dengan mempertahankan populasi hama tetap berada di bawah ambang

ekonomi maka, akan selalu mengusahakan terbentuknya agroekosistem yang

memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga terbentuk agroekosistem yang

relatif stabil . Pengembangan program pengendalian hama terpadu (PHT, integrated

pest management, IPM) merupakan suatu tindakan koreksi dalam pengelolaan hama

yang hanya mengandalkan pestisida sebagai satu-satunya teknik pengendalian untuk

mengendalikan berbagai jenis hama. Pelaksanaan PHT dilakukan berdasarkan suatu

pendekatan yang komprehensif dan mengacu pada sistem pengelolaan tanaman secara

17
terpadu pada berbagai ekosistem. Secara umum, ciri dari program PHT adalah: efisien

dan layak secara ekonomi, ramah lingkungan, aman bagi organisme non-target

(misalnya, manusia, hewan, musuh alami), berterima secara sosial dan budaya,

programnya bersifat holistik dan terpadu (Oka, 1995; Oka, 1997; Suharto, 2007;

Untung, 2006).

Prinsip Dasar PHT Penerapan pengendalian hama melalui pendekatan PHT

terus berkembang hingga saat ini karena dilandasi dari kenyataan yang ada dan

keberhasilan penerapan PHT untuk mengendalikan hama. Sistem pengendalian hama

terpadu (pht) memiliki 4 prinsip dasar yang mencerminkan konsep pengendalian

hama dan penyakit yang berwawasan lingkungan serta mendorong penerapan pht

secara nasional untuk pembangunan pertanian yang berkelanjutan, empat prinsip

dasar dalam penerapan pht tersebut adalah sebagai berikut :

1). Budidaya tanaman sehat, tanaman yang sehat memiliki daya tahan yang

baik terhadap serangan hama dan penyakit. tanaman sehat juga memiliki kemampuan

lebih cepat dalam mengatasi dan memulihkan dirinya sendiri dari kerusakan akibat

serangan hama dan penyakit tersebut. untuk memperoleh tanaman yang sehat perlu

memperhatiakn varietas yang akan dibudidayakan, penyemaian dengan cara yang

benar, serta pemeliharaan tanaman yang tepat.

2). Memanfaatkan musuh alami, musuh alami atau agens hayati terbukti

mampu menekan populasi hama dan menurunkan resiko kerusakan tanaman akibat

serangan hama dan penyakit. pengendalian hama dan penyakit dengan memanfaatkan

musuh alami yang potensial merupakan tolok ukur dalam sistem pht. pemanfaatan

musuh alami di dalam agroekosistem diharapkan mampu menjaga keseimbangan

antara populasi hama dan populasi musuh alaminya. dengan demikian tidak akan

terjadi peledakan populasi hama yang melampaui ambang toleransi tanaman.

18
3). Pengamatan dan pemantauan rutin, dalam sistem pengendalian hama

terpadu (pht), pengamatan dan pemantauan perkembangan populasi hama merupakan

bagian terpenting yang harus dilakukan oleh setiap petani. pengamatan dan

pemantauan harus dilakukan secara rutin dan berkala, sehingga perkembangan

populasi hama, kondisi tanaman serta perkembangan populasi musuh alaminya dapat

diketahui. hasil pemantauan dan pengamatan digunakan sebagai dasar tindakan yang

akan dilakukan.

4). Petani sebagai ahli pht, sistem pengendalian hama terpadu (pht) sebaiknya

dikembangkan oleh petani sendiri, karena penerapan pht harus disesuaikan dengan

keadaan ekosistem setempat. setiap wilayah atau daerah memiliki ekosistem yang

berbeda-beda, sehingga suatu sistem pht yang dikembangkan pada wilayah tertentu

belum tentu cocok jika diterapkan pada wilayah lainnya. agar setiap petani mampu

menerapkan pht diwilayahnya masing-masing, maka setiap petani harus proaktif

untuk mempelajari konsep pht. dalam hal ini peran aktif instansi terkait dalam

memasyarakatkan pht sangat diperlukan.

Pengendalian hama terpadu merupakan sistem pengendalian hama dan

penyakit yang berwawasan lingkungan untuk pembangunan pertanian yang

berkelanjutan. oleh karena itu suatu konsep pengendalian hama dapat dikatakan

sebagai sistem pht jika mencerminkan konsep pengendalian hama dan penyakit yang

ramah lingkungan, dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1). Penerapan sistem pengendalian hama terpadu (pht) dilakukan secara

bersistem, terpadu dan terkoordinasi dengan baik,

2). Sasarannya adalah produksi dan ekonomi tercapai tanpa merusak

lingkungan hidup dan aman bagi kesehatan manusia,

3). Mempertahankan produksi dan mengedepankan kualitas produk pertanian,

19
4). Mempertahankan populasi hama atau tingkat serangan hama

5). Mengurangi dan membatasi penggunaan pestisida kimia,

6). Menggunakan pestisida kimia merupakan alternatif terakhir apabila teknik

pengendalian yang ramah lingkungan tidak mampu mengatasi.

Komponen penting pengendalian hama terpadu (pht) terdapat 7 komponen

dalam penerapan pengendalian hama terpadu (pht), yaitu sebagai berikut :

1. Pengendalian hama secara fisik merupakan upaya atau usaha dalam

memanfaatkan atau mengubah faktor lingkungan fisik sehingga dapat menurunkan

populasi hama dan penyakit. tindakan pengendalian hama secara fisik dapat dilakukan

dengan beberapa cara, yaitu pemanasan, pembakaran, pendinginan, pembasahan,

pengeringan, lampu perangkap, radiasi sinar infra merah, gelombang suara dan

penghalang/pagar/barier.

2. Pengendalian hama dan penyakit secara mekanik yaitu pengendalian yang

dilakukan secara manual oleh manusia. Contohnya :

a). pengumpulan hama dan telurnya menggunakan tangan,

b). rogesan, yaitu pemotongan pucuk tebu yang terserang penggerek pucuk

tebu (schirpophaga nivella),

c). memangkas cabang, ranting atau bagian tanaman lainnya yang terserang

hama atau penyakit,

d). rampasan, yaitu pengumpulan seluruh buah ketika terjadi serangan berat

penggerek buah kopi (stephanoderes hampei),

e). gropyokan, yaitu perburuan hama tikus disuatu daerah yang luas secara

serentak,

f). pemasangan perangkap hama,

g). pembungkusan buah

20
3. Pengendalian hama dan penyakit secara kultur teknik yaitu pengendalian

hama dan penyakit melalui sistem atau cara dalam bercocok tanam antara lain sebagai

berikut :

a). Mengurangi kesesuaian ekosistem hama dengan melakukan sanitasi,

modifikasi inang, pengelolaan air, dan pengolahan lahan,

b). Mengganggu kontinuitas penyediaan keperluan hidup hama, yaitu

dilakukan dengan cara pergiliran tanaman, pemberoan dan penanaman serempak pada

suatu ilayah yang luas,

c). Pengalihan populasi hama menjauhi pertanaman, misalnya dengan

menanam tanaman perangkap,

d). Pengurangan dampak kerusakan oleh hama dengan cara mengubah

toleransi inang.

4). Pengendalian dengan varietas tahan, yaitu mengurangi atau menekan

populasi hama, serangan dan tingkat kerusakan tanaman dengan menanam varietas

yang tahan hama ataupun penyakit.

5). Pengendalian secara hayati adalah pengendalian hama atau penyakit

dengan memanfaatkan agens hayati (musuh alami) yaitu predator, parasitoid, maupun

patogen hama.

6). Pengendalian dengan peraturan / regulasi / karantina yaitu pencegahan

penyebaran / perpindahan dan penularan organisme pengganggu tanaman melalui

kebijakan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah. dasar hukum pencegahan

dengan peraturan adalah sebagai berikut 1. uu no. 16 th 1992 : karantina hewan, ikan

dan tumbuhan 2. pp no. 6 th 1995 : perlindungan tanaman 3. pp no. 14 th 2000 :

21
7). Pengendalian secara kimiawi menggunakan pestisida sintetis kimia adalah

alternatif terakhir apabila cara-cara pengendalian yang lain tidak mampu mengatasi

peningkatan populasi hama yang telah melampaui ambang kendali.

2.3 Analisis Agroekosistem II (Pengambilan Keputusan)

Dalam mengabil keputusan maka perlu memperhatikan beberapa langkah,

sebagai berikut (Gatot Mudjiono : 2013) :

1. Melakukan identifikasi spesies hama dengan tepat

Mengidentifikasi hama pada tanaman yang ada dalam agroekosistem

merupakan langkah awal yang harus ditempuh serta langkah tersebut haruslah

tepat, karena apabila indetifikasi terhadap hama tidak tepat, maka informasi

terkait ekologi dan biologi hama yang digunakan sebagai dasar untuk membuat

keputusan yang tidak tepat. Apabila cara tersebut tidak tepat maka akan

menghasilkan tindakan yang tidak perlu dan tidak efektif yang dapat berakibat

fatal apabila keputusan tersebut terus dilaksanakan. Maka dari itu, penting untuk

mengidentifikasi spesies hama secara tepat.

2. Menetapkan parameter hama dan biologi pertanaman

Parameter yang dimaksud dalam hal ini adalah ukuran populasi hama,

distribusi hama, tingkatan dan perkembangan hama, serta spesies, distribusi dan

banyaknya srangga berguna, status tanaman iniang dan nilai ekonomi tanaman

3. Merencanakan/menilai strategi preventif

Tidakan pencegahan adalah strategi penelolaan yang lebih efektif dan

disukai dalam PHT. Tindakan preventif/pencegahan dimulai dengan pemeriksaan

lahan serta semua aspek dari sistem produksi tanaman agar dapat menentukan

22
apakah tanaman tersebut dapat diobati guna mencegah populasi hama melebihi

ambang ekonomi

4. Pemantauan

Pemantauan ini melibatkan cara langsung dan tidak langsung yang bertujuan

untuk menghitung dan menilai kerusakan, atau penggunaan alat perangkap.

Pemantauan melibatkan penilaian periodic dan perekaman hama, faktor

pengendali, karakteristik tanaman, dan faktor lingkungan. Komponen utama pada

pemantauan terbagi atas dua yaitu :

a. Menentukan padat populasi hama; dan

b. Menentukan kondisi dan karakteristik tanaman

Cara terbaik untuk menentukan padat pupulasi adalah dengan menghitung

kepadatan di sejumlah daerah contoh dan kemudian diekstrapolasi untuk

mewakili seluruh lahan. Selain itu, untuk menentukan tingkat kesehatan dan

pertumbuhan tanaman harus diamati secara teratur.

5. Pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan melibatkan evaluasi terhadap informasi hasil

pemantauan yang dikumpukan dalam langkah keempat untuk menilai manfaat

ekonomi yang relevan versus risiko suatu tindakan pengelolaan hama. Pertanyaan

mencakup pengambilan keputusan, antara lain:

a. Apakah kita akan kehilangan jika kita tidak berbuat apa-apa? Apa yang kita

dapatkan?

b. Apakah cukup agen pengendali alami yang hadir untuk mengurani populasi hama

di bawah ambang ekonomi?

c. Apakah potensi kerusakan hama lebih mahal dibandungkan pengendalian hama?

23
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, biasanya dilakukan dengan

membandingkan perkiraan ukutan populasi hama dengan ambang ekonomi. Ini

berfungsi sebagai referensi untuk potensi kerugian pada tahap pertumbuhan

tanaman tertentu ayat sekumpulan kondisi tanaman

6. Memilih taktik pengendalian hama optional

Beberapa pertimbangan yang terkait dengan memilih dan

merekomendasikan tektik dalam program PHT yang lebih luas adalah taktik

tersebut perlu diintegrasikan ke dalam tiga komponen komunitas pertanian,

adapun tiga komponen tersebut antara lain:

a. Tersedia metode PHT

Penerapan PHT perlu menyatukan bersama-sama berbagai pencegahan,

pengamatan, keputusan, dan metode intervensi yang tersedia untuk petani

b. Sistem tanam / agroekosistem

Program PHT harus sesuai dengan sistem tanam dan agroekosistem

c. Kesehatan masyarakat

PHT perlu mempertimbangkan kesehatan masyarakat, melalui peningkatan

keuntungan dan menurunkan tingkat pemaparan pestisida

7. Implementasi

Setelah intervensi ditetapkan, maka perlu digunakan pada waktu yang

tepat dan lengkap. Ketika telah diintervensi dengan pestisida, maka sangat

penting untuk diingat bahwa waktu dan penempatan yang tepat sering kali lebih

penting daripada tingkat aplikasi.

8. Evaluasi

Ketika telah melaksanakan program PHT, maka kita harus selalu

meluangkan waktu untuk menindaklanjuti dan mengevaluasi tindakan

24
pengendalian hama untuk menentukan apakah apa yang sudah dilaksanakan dapat

dikategorikan memiliki hasil yang maksimal. Apabilah hasilnya tidak seperti

yang diharapkan maka dapat dievaluasi guna memberikan hasil yang baik pada

periode tanaman berikutnya.

Ada beberapa teknik pengendalian mekanik yang sering dilakukan dalam

praktek pengendalian hama:

a. Pengambilan dengan tangan

Cara ini merupakan teknik yang paling sederhana dan murah tentunya untuk

daerah banyak tersedia tenaga manusia. Yang dikumpulkan adalah fase hidup hama

yang mudah ditemukan dan dikumpulkan seperti telur dan larva. Pengumpulan

kelompok telur dan ngengat oleh penduduk dan anak sekolah dilakukan di jalur Pantai

Utara Jawa Barat sebagai bagian dari gerakan massal pengendalian hama penggerek

batang padi putih (Schirpophaga innotata) pada musim tanam 1990/1991.

Pengumpulan kelompok telur dan larva instar ke-3 juga dianjurkan untuk

pengendalian hama ulat grayak (Spodoptera litura).Pengendalian hamalalatbibit

kedelai (Agromyza phaseoli) dapat dilakukan dengan mencabut tanaman yang

terserang. Saat yang tepat untuk melakukan pencabutan adalah +13 hari setelah tanam.

Pencabutan juga dilakukan terhadap tanaman yang terserang nematoda. Kecuali

pengambilan dan pengumpulan dilakukan terhadap hama dapat juga diadakan

pengumpulan bagian-bagian tanaman yang terserang. Salah satu cara pengendalian

hama penggerek pucuk tebu, Schirpophaga nivella adalah dengan "rogesan" yaitu

dengan memotong dan mengumpulkan pucuk tanaman tebu

yangterserang.Pronggolan/pemangkasan pohon-pohon kelapa yang terserang Artona

catoxantha harus dimulai apabila ulat sudah mencapai panjang 8 mm. Sebab untuk

memberi kesempatan kepada parasit-parasit Apanteles dan Euplectrus untuk

25
membinasakan dulu ulat-ulat Artona yang masih muda.Pohon-pohon kelapa yang

masih muda (cikal) juga harus dipangkas daunnya dan disisakan pucuknya serta 1

atau 2 pelepah daun yang paling muda. Hal ini bertujuan untuk mencegah

penularan.Rampasan adalah petikan semua buah coklat dari yang berukuran kecil

sampai besar. Tujuannya memutuskan siklus hidup atau kesinambungan generasi

penggerek buah coklat dan hama-hama lainnya seandainya terjadi serangan.

b. Gropyokan

Gropyokan biasanya dilakukan untuk pengendalian hama tikus yaitu dengan

membunuh tikus baik yang berada di dalam liang maupun yang sedang berada di luar

sarang. Tikus dibunuh secara langsung dengan menggunakan alat bantu seperti

cangkul dan alat pemukul. Agar gropyokan berhasil harus dilakukan pada waktu

sawah sedang tidak ada tanamannya atau dalam keadaan bero. Usaha tersebut harus

dilakukan secara rutin, massal dengan koordinasi yang baik antara pemerintah daerah,

petugas lapangan, petani dan masyarakat umum. Usaha gropyokan hanya dapat

berhasil apabila dilakukan terus-menerus dan merupakan bagian dari budidaya

tanaman meskipun saat populasi tikus rendah.

c. Memasang Perangkap

Serangga hama diperangkap dengan berbagai jenis alat perangkap yang dibuat

sesuai dengan jenis hama dan fase hama yang akan ditangkap. Alat perangkap

diletakkan pada tempat atau bagian tanaman yang sering dilewati oleh hama. Sering

juga pada alat perangkap diberi zat-zat kimia yang dapat menarik atau melekatkan

maupun yang membunuh hama. Kepiting mati yang diletakkan di sekeliling

pertanaman padi mampu menekan populasi walang sangit. Bau busuk yang

ditimbulkan oleh kepiting yang sudah mati dapat menjadi penarik bagi walang sangit.

Apabila sudah terkumpul, walang sangit dapat dimusnahkan segera. Gadung atau

26
jagung dapat dijadikan sebagai umpan untuk mengendalikan hama tikus. Perangkap

yang berupa gadung maupun jagung yang telah dicampur racun tersebut mampu

memabukkan bahkan mematikan hama tikus. Perangkap yang terbuat dari bahan

kawat atau bambu sering digunakan untuk mengendalikan hama tikus.

d. Pengusiran

Sasaran teknik pengusiran adalah mengusir hama yang sedang berada di

pertanaman atau yang sedang menuju ke pertanaman. Sampai saat ini petani sering

memasang patung-patungan terbuat dari kertas berwarna-warni di tengah sawah, juga

dikeluarkan suara-suara gaduh yang semuanya untuk menakut-nakuti dan mengusir

burung yang biasanya menyerang bulir-bulir padi yang sedang masak.

e. Cara-cara lain

Beberapa cara pengendalian mekanik lain dapat dilakukan sesuai dengan jenis

hama, bentuk tanaman, bagian tanaman yang terserang dan fase hama yang

menyerang. Teknik-teknik lain di sini termasuk menggoyang-goyang pohon,

menyikat, mencuci, memisahkan bagian tanaman terserang, memukul, menggunakan

alat penghisap serangga. Pengendalian Fisik dan Mekanik dalam PHT ( Untung, K.

1984)

27
BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 21 Mei 2022. Kegiatan

ini dilakukan di lahan pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Riau.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada praktikum pengendalian hama terpadu ini

yaitu gunting, jaring serangga, alat dokumentasi, dan alat tulis.

Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengendalian hama terpadu

ini yaitu lahan pertanian, kantong plastic, kertas atau koran, isolasi bening, dan

buku tulis.

3.3 Cara kerja

Cara kerja yang digunakan dalam praktikum pengendalian hama terpadu ini

yaitu, sebagai berikut :

1. Mahasiswa membuat kelompok praktikum yang terdiri dari beberapa orang.

2. Mahasiswa pergi ke lahan tanaman yang sudah ditentukan, yaitu tanaman

cabai.

3. Mahasiswa harus melengkapi foto tanaman sampel saudara tersebut dengan

keterangan sebagai berikut:

a. Tanaman inang

b. Nama penyakit

28
c. Penyebab penyakit

d. Gejala awal

e. Gejala lanjut

f. Tanda (bila ada)

4. Mahasiswa melakukan pengamatan terhadap jenis tanah pada lahan, OPT

(gulma, hama dan penyakit) pada lahan.

5. Mahasiswa melakukan pengamatan dilakukan di lapangan dengan mengamati

penyakit secara langsung dengan gejala-gejala dan tanda pada tanaman yang

sakit.

6. Mahasiswa mencatat hasil pengamatan dicatat dan didokumentasikan untuk

didianosai secara lanjut.

7. Mahasiswa melihat tingkat kerusakan pada lahan dengan mengitung

menggunakan rumus sesuai dengan buku pedoman.

a) Kerusakan Tidak Mutlak

P = Σ (n x v) / NX Z x 100 %

Keterangan:

P = Tingkat serangan (%)

n = Jumlah tanaman yang memiliki kategori kerusakan yang sama

V = Nilai kategori serangan

Z = Nilai kategori serangan

N = Jumlah tanaman yang diamati

b) Kerusakan Mutlak

P = (a/N) 100 %

Keterangan:

P= tingkat kerusakan buah cabai oleh penyakit (%).

29
a = jumlah buah busuk.

N= jumlah buah yang diamati.

8. Mahasiswa menjelaskan bagaimana rekomendasi dan pengambilan keputusan

untuk mengendalikan penyakit yang sudah di dapat dengan literatur buku

pedoman.

9. Mahasiswa membuat makalah, ppt dan video dari pelaksanaan kegiatan yang

sudah dilakukan.

30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tanaman Cabai

Cabai (Capsicum sp) merupakan salah satu jenis sayuran penting yang

dibudidayakan secara komersial di daerah tropis. Kegunaannya sebagian besar untuk

konsumsi rumah tangga dan dapat dipasarkan, baik dalam bentuk segar maupun

olahan. Cabai memiliki daya adaptasi yang luas, dapat ditanam di dataran rendah

hingga dataran tinggi dan di berbagai jenis tanah (Sebayang, 2013).

Berdasarkan sifat buahnya, terutama bentuk buah, Cabai dapat digolongkan

dalam 4 jenis yaitu : Cabai rawit memiliki buah ukuran kecil, tetapi rasa kepedasan

lebih tinggi dan dapat tumbuh baik tanpa perawatan yang intensif. Cabai merah

buahnya rata atau halus, agak gemuk, kulit buah tebal, kurang daya simpan dan tidak

begitu pedas. Cabai merah keriting buahnya bergelombang atau keriting, ramping,

kulit buah tipis, lebih tahan simpan dan rasa pedas. Cabai paprika buahnya bersegi

empat panjang atau bentuk bel. Buahnya dipanen umumnya saat matang hijau

(Sebayang, 2013).

Tanaman cabai keriting mempunyai daya adaptasi yang cukup luas.Tana- man

ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai keting- gian

1400 m di atas permukaan laut.Tanaman cabai keriting mempunyai daya adap- tasi

yang cukup luas.Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai keriting

adalah sekitar 600-1200 mm per tahun. Cahaya matahari sangat diperlukan sejak

pertumbuhan bibit hingga tanaman berproduksi. Pada intensitas cahaya yang tinggi

dalam waktu yang cukup lama, masa pembungaan cabai keriting terjadi lebih cepat

dan proses pematangan buah juga berlangsung lebih singkat (Sumarni dan Muharam,

2005).

31
Suhu optimum harian untuk pertumbuhan cabai keriting antara 24oC sampai

dengan 32 derajat Celsius. Jenis tanah terbaik untuk pertumbuhan cabai merah kriting

adalah pada jenis tanah lempung berdebu dengan kapasistas memegang air yang baik.

Pada kenyataannya cabai keriting dapat tumbuh selama tanah tersebut memiliki

drainase yang baik. pH tanah yang cocok untuk cabai keriting antara 5.5-6.8 (Sumarni

dan Muharam, 2005).

Adapun lahan pertanian tanaman cabai yang kami amati yaitu berada pada

lahan fakultas pertanian, Universitas Riau. Lahan tersebut dikelola oleh bapak yaitu

bernama Bapak Heri. Lahan yang dikelola beliau seluas ½ hectare. Bapak Heri sudah

mengelola selama 2 tahun. Adapun jenis cabai yang ditanam oleh beliau yaitu cabai

keriting (Capsicum annuum L).

Gambar 1. Lahan Tanaman Cabai

Gambar 2. Tanaman Cabai (Capsicum annuum L).

32
4.2 Jenis Tanah pada Lahan

Adapun jenis tanah yang berada di lahan cabai fakultas pertanian, Universitas

Riau yaitu tanah yang paling baik adalah tanah humus yang kaya akan hara, draina

sedana erasi tanah cukup baik, dan air cukup tersedia selama pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Ph tanah yang dibutuhkan tanaman cabai merah dan cabai

rawit yaitu 5,5 – 6,8, Tanaman cabai rawit dan cabai merah dapat tumbuh pada suhu

optimal yaitu 24˚C – 28˚C, dengan kelembaban tanah berkisar 50 % - 70 % (Setiawan,

2019).

4.3 Pengamatan OPT (organisme Penganggu Tanaman)

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) adalah semua organisme yang dapat

merusak, menggangu kehidupan atau menyebabkan kematian pada tanaman.

Organisme penganggu tanaman merupakan faktor pembatas produksi tanaman. OPT

adalah semua organisme yang dapat menyebabkan penurunan potensi hasil secara

langsung karena menimbulkan kerusakan fisik, gangguan fisiologi dan biokimia, atau

kompetisi hara terhadap tanaman budidaya. Jadi OPT yang telah kami dapatkan pada

lahan tanaman cabai di fakultas pertanian, Universitas Riau yaitu diantaranya:

A) Pengamatan hama

Tabel 1. Hasil Pengamatan Hama

Nama hama Gambar hama Letak serangan Gejala serangan

Kepik coklat Pada bagian menghisap cairan

Riptortus linearis permukaan tanaman dari

daun tangkai bunga

(paniculae) dan

33
juga cairan buah,

menyebabkan

tanaman

kekurangan hara

dan menguning

(klorosis), dan

perlahan-lahan

melemah.

Kutu kebul Pada Adanya bercak

Bemicia tabaci permukaan nekrotik pada

bawah daun daun, yang

disebabkan oleh

rusaknya sel dan

jaringan akibat

serangan nimfa

dan serangan

dewasa

Serangga yang berpotensi sebagai hama yang dijumpai merupakan serangga

yang bersifat polyfag. Serangga polyfag merupakan serangga yang memiliki lebih

dari 1 inang dan umumnya menyerang pada fase vegetatif tanaman. Serangan jenis

hama ini dapat berdampak besar yaitu sulitnya tanaman berkembang dengan baik

dengan rusaknya daun atau batang tanaman yang menyebabkan tanaman tidak bisa

berfotosintesis dengan baik. Berdasarkan pendapat Meilin, (2014), hama utama yang

ada pada tanaman cabai yaitu hama thrips, lalat buah, kutu kebul, kutu daun persik,

34
kutu daun dan tungau, sedangkan serangga yang teridentifikasi serangga-serangga

tersebut belum dijumpai atau belum teridentifikasi karena penelitian terbatas hanya

sampai fase vegetatif.

B) Pengamatan Penyakit

Tabel 2. Hasil Pengamatan Penyakit

Nama Gambar tanaman terkena Penyebab Gejala serangan

penyakit penyakit penyakit

Busuk buah Jamur Terdapat bercak

Antraknosa Colletricum bulat kecil

capsici berwarna coklat

kehitaman pada

permukaan buah

sedikit berlekuk

Bercak daun Jamur Terdapat bercak

Cercospora coklat bulat, kecil

capsici pada daun,

bewarna coklat

35
Virus kuning \ Gemini virus Helai daun

yang dibawa mengalami vein

oleh kutu clearing dimulai

kebul dari daun pucuk

berkembang

menjadi warna

kuning jelas,

tulang daun

menebal dan daun

menggulung ke

atas.

Tanaman cabai juga menjadi tanaman favorit bagi serangan hama dan

penyakit. Masalah utama yang dihadapi petani cabai adalah serangan hama dan

penyakit. Penyakit yang sering menyerang yaitu patek, keriting daun, layu bakteri,

layu fusarium, bercak alternaria, serta penyakit fisiologis. Pengendalian hama dan

penyakit sebaiknya memperhatikan hal-hal seperti waktu penggunaan, dosis yang

tepat, luas area yang terserang, dan jenis obat yang akan diaplikasikan (Alif, 2017).

Adapun hasil pengamatan yang telah kami temukan yaitu penyakit yang

menyerang pada lahan tanaman cabai fakultas pertanian, Universitas Riau yaitu ada

Busuk buah Antraknosa, Bercak daun, dan Virus kuning.

C) Pengamatan gulma

Tabel 3. Hasil Pengamatan Gulma

Nama gulma Gambar gulma

36
Rumput Teki

Cyperus rotundus

Tempuh wiyang

Emilia sonchifolia L.

Rumput Mutiara

Oldenlandia corymbose

L.

Gulma juga menjadi ancaman bagi usaha budidaya cabai merah keriting.

Gulma yang mengganggu tanaman cabai merah keriting berupa tumbuhan liar seperti

rumput dan sisa tanaman periode sebelumnya. Gulma menyerap zat hara yang

dibutuhkan tanaman yang menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu. Gulma

dapat dibasmi dengan cara disemprot obat- obatan atau dengan cara manual yaitu

dicabut (Warisno dan Dahana, 2010).

Adapun gulma yang kami dapatkan pada lahan cabai yaitu, ada rumput teki,

tempuh wiyang dan rmput Mutiara. Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh di sekitar

tanaman budidaya yang pertumbuhannya tidak dikehendaki dan umumnya merugikan

karena dapat menghambat pertumbuhan, mengakibatkan penurunan kuantitas dan

kualitas produksi dan dapat menjadi sarang hama dan penyakit.

37
D) Pengamatan Musuh alami

Tabel 4. Hasil Pengamatan Musuh alami

Nama musuh alami Gambar musuh alami

Jangkrik

Grylloidea

Laba -laba

Araneae

Semakin seimbang agroekosistem maka semakin kompleks pula mahluk hidup

yang ada didalamnya. Beberapa jenis musuh alami yang pada tanaman cabai memiliki

peranan penting dalam Agroekosistem sebagai pengendali beberapa jenis hama yang

menjadi inangnya. Musuh alami pada lahan tanaman cabai yang kami jumapai yaitu

ada jangkrik dan laba-laba. Dimana jangkrik dan laba laba musuh alami predator,

yaitu serangga yang memangsa hama pada tanaman.

Dari uraian agribiodiversitas jelas bahwa terdapat organisme yang berperan

positif terhadap tanaman yang dibudidayakan (produksi pertanian), dan ada yang

berperan negatif terhadap tanaman yang dibudidayakan. Musuh alami (predator,

parasitoid dan patogen) dapat berperan positif, yaitu dalam pengendalian organisme

pengganggu yang berupa hama dan gulma. Oleh karena itu, upaya konservasi

38
(pelestarian) harus dilakukan agar musuh alami dapat berperan secara optimal dalam

pengendalian hayati hama maupun gulma. (Wiyono, 2007).

4.4 Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai

1. Karakteristik Ekosistem

1.1 syarat tumbuh

a. Cabai ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi.

b. Penanaman cabai secara monokultur (tanam tunggal) umumnya

dilakukan di dataran tinggi, dataran medium atau di dataran rendah

khususnya di tanah tegalan.

c. Penanaman cabai secara tumpang gilir umumnya dilakukan di dataran

rendah pada tanah sawah yang beririgasi dengan cara tumpang gilir

umumnya dilakukan dengan tanaman bawang merah.

d. Tanaman ini menghendaki tanah yang subur, gembur dengan

kemasaman tanah (pH) antara 5-6.

e. Kandungan air tanah yang berlebih menyebabkan tanaman mudah

terserang penyakit layu.

f. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan rontoknya bunga dan bakal

buah.

1.2. Fase kritis tanaman dan kemungkinan terjadinya serangan OPT

Fase pratanam

a) Perlu diperhatikan jenis tanaman yang ditanam sebelumnya pada

lahan yang akan ditanami cabai, karena ada kemungkinan beberapa

jenis penyakit dari tanaman terdahulu dapat juga menyerang tanaman

cabai.

39
b) Penggunaan benih sehat. Beberapa penyakit pada tanaman cabai

dapat ditularkan melalui patogen yang terbawa benih seperti virus,

bercak daun, layu fusarium, antraknosa, dan rebah kecambah.

Fase persemaian

a) Untuk cabai yang ditanam di dataran tinggi, 30-35 hari setelah semai

(hss) siap sebagai bibit untuk ditanam, sedangkan di dataran rendah

21-25 hari setelah semai.

b) Penanaman bibit dengan umur tanaman yang sangat muda, populasi

tanaman yang padat, menyebabkan tanaman di persemaian relatif

rentan terhadap serangan OPT.

c) OPT yang mungkin menyerang pada fase ini adalah virus, penyakit

rebah kecambah, layu fusarium dan bercak daun.

Fase tanam

a) Untuk mengurangi cekaman (stres) pada awal pemindahan bibit yang

berasal dari bumbungan atau kantong plastik sebaiknya disiram

dahulu.

b) OPT yang mungkin menyerang pada fase ini adalah ulat tanah, ulat

grayak, tungau, kutu daun persik, trips, virus (mosaik dan keriting),

rebah kecambah, bercak daun, dan layu fusarium.

Fase vegetatif

a) Pada fase ini tanaman tumbuh pesat dan mulai rimbun dengan daun.

Seiring dengan pertumbuhan tanaman, populasi OPT juga semakin

meningkat karena ketersediaan makanan.

40
b) OPT yang mungkin menyerang pada fase ini adalah ulat tanah, hama

pengisap daun (trips, tungau, kutu daun), penyaki! rebah kecambah,

busuk akar, penyakit layu, dan virus.

Fase generatif

a) Pada fase ini perawatan tanaman sangat penting karena tanaman

sudah memproduksi buah. Pemupukan dan pengaturan air yang baik

berpengaruh terhadap kesehatan tanaman dan produksi yang

dihasilkan.

b) OPT pada fase ini perlu diamati dengan cermat karena dapat

mengurangi kualitas dan kuantitas cabai yang dihasilkan. OPT yang

perlu diperhatikan adalah ulat grayak, hama pengisap daun (tungau,

kutu daun persik, trips), lalat buah, busuk buah antraknosa, penyakit

layu, bercak daun dan virus.

Fase panen dan pasca panen

a) Pemetikan cabai dilakukan hati-hati agar tidak merusak tanaman.

Pemetikan yang tidak hati-hati dapat merusak ranting atau buah-

buah muda yang belum saatnya dipetik sehingga produksi

selanjutnya bisa berkurang.

b) Cabai yang akan dikirim segar perlu dikemas dengan benar, aerasi

cukup sehingga tidak terjadi akumulasi panas dan meningkatnya

kelembaban udara yang akan merangsang pertumbuhan penyakit-

penyakit pasca panen seperti busuk buah yang disebabkan oleh

Colletotrichum, Altemaria solani, Fusarium sp. atau bakteri.

2. Pratanam

2.1. Budidaya dan pengelolaan ekosistem

41
a. Persiapan lahan

a) Dipilih lahan yang mempunyai aerasi dan drainase yang baik, dan

bukan bekas tanaman terong-terongan.

b) Tanah dibersihkan dari tunggul, akar atau sisa tanaman

sebelumnya dan gulma dikumpulkan lalu dimusnahkan/ dibakar.

c) Tanah dicangkul sedalam 30-40 cm dan dibalikkan. Bongkahan-

bongkahan tanah di atas bedengan dibalikkan dan dihancurkan

sampai halus.

d) Pada lahan bekas sawah (khusus di dataran rendah) yang beririgasi

teknis, dibuat bedengan-bedengan. pertanaman dengan lebar 1,5

atau 1,8 meter (panjang disesuaikan dengan keadaan lahan).

e) Antar bedengan dibuat parit dengan lebar 50 cm dan kedalaman 50

cm.

f) Tanah galian dan parit di sikkitar bedengan diangkat ke atas

bedengan dan dibiarkan terjemur sinar matahari  7 hari.

g) Kemasaman tanah diukur dengan kertas lakmus. Jika pH tanah

kurang dari 5,5 digunakan Dolomit atau Kapur Pertanian (kaptan)

2 ton/ha 3-4 minggu sebelum tanam: Kapur disebar rata sedalam

lapisan olah, supaya pH tanah menjadi  6,0.

b. Waktu tanam

Bila cabai ditanam setelah padi, waktu tanam yang baik adalah

pada awal musim kemarau, Di daerah beriklim kering, cabai dapat

ditanam pada musim hujan asal pembuangan air dan drainase

dipersiapkan dengan baik.

c. Pola tanam

42
Untuk mengindari terjadinya peningkatan populasi hama dan

patogen tular tanah, pergiliran tanaman adalah pilihan yang paling cocok.

Keluarga serealia (jagung, padi, sorgum), kubis alau kacang-kacangan

adalah alternatif pergiliran tanaman pada budidaya cabai.

d. Varietas anjuran

a) Musim hujan: Tit Super, Semarangan, Keriting.

b) Musim kemarau: Jatilaba, Hot Beauty, Tit Super, Keriting.

Keterangan yang lebih rinci mengenai varietas dapat dilihat pada

lampiran

e. Kebutuhan benih

a. Dipilih tanaman yang seragam dan sehat.

b. Biji diambil dari buah yang tua, mulus dan sehat Untuk luasan

1000 m² diperlukan ± 50 g benih cabai.

c. Sebelum disemai, benih direndam dalam air hangat atau larutan

fungisida yang efektif dan dianjurkan selama + 1 jam, supaya daya

kecambah benih meningkat dan terbebas penyakit.

f. Pemupukan (seminggu sebelum tanam)

a. Lubang tanam dibuat sebesar cangkul untuk meletakkan pupuk

kandang dan pupuk dasar.

b. Digunakan pupuk kandang sapi matang sebanyak 20-30 ton/ha

atau kira-kira 1 kg/lubang tanam, atau 6-10 ton pupuk kandang

ayam diberikan pada 1 minggu sebelum tanam dan pupuk TSP

100-150 kg/ha. Pupuk TSP ditaburkan merata diatas pupuk

kandang.

43
c. Kedua pupuk tersebut ditutup dengan selapis tanah. Pemupukan

pada pertanaman cabai secara monokultur yang menggunakan

mulsa plastik perak (untuk tanaman cabai merah hibrida dengan

jarak tanam 70 x (50-60) cm adalah pupuk kandang sapi 20-30

ton/ha, TSP (100-150 kg/ha), urea (100-150 kg/ha). ZA (300-450

kg/ha) dan ZK (150-200 kg/ha) diberikan bersama-sama dengan

pemasangan mulsa plastik perak.

d. Pada penanaman cabai secara tumpanggilir pupuk kandang 10-15

ton/ha atau kompos matang 5-10 ton/ha dan pupuk TSP (100-150

kg/ha) diberikan pada satu minggu sebelum tanam atau pada saal

tanaman bawang merah berumur 3 minggu.

e. Setelah tanam, pupuk diberikan pada lubang tanam cabai yang

telah dibuat di antara tanaman bawang.

g. Tumpangsari/tumpanggilir

a. Di dataran rendah: tumpanggilir bawang-cabai

b. Di dataran tinggi cabai-tomat atau cabai - jagung.

2.2. Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a) Pengamatan.

a. Mengamati keadaan sekitar lahan untuk persemaian maupun

untuk pertanaman, untuk mengetahui kemungkinan adanya

sumber serangan OPT bagi tanaman yang akan ditanam, atau

adanya tanaman lain yang dapat menjadi tanaman inang OPT.

b. Mencari informasi mengenai keadaan OPT pada musim musim

sebelumnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangannya.

44
b) Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a. Sanitasi gulma yang merupakan tanaman inang alternatif OPT

cabai, sisa-sisa tanaman di lahan yang akan dipergunakan dan

di sekitar lahan pertanaman.

b. Mengamati dan menyeleksi benih yang akan digunakan yaitu

dengan merendam biji dalam air hangat. Biji yang terapung

dibuang dan biji yang tenggelam dipakai untuk benih. Seleksi

ini untuk memperoleh benih yang baik dengan daya tumbuh

80% atau lebih. Benih yang baik, ukuran dan warnanya harus

seragam, bersih dan tidak keriput Patogen tular biji berupa

cendawan, dikendalikan dengan aplikasi furaisida yang efektif

dan dizinkan.

c. Virus pada biji, dapat dikendalikan dengan perendaman biji

sebelum semai di dalam larutan 10 % tri sodium fosfat selama

satu jam atau dalam air panas (40-50° C) selama semalam.

d. Pada lahan endemis serangan penyakit layu fusarium,

antraknosa dan virus pada kantong persemaian diaplikasi agens

hayati Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. sebanyak 5 gram

perkantong 3 hari sebelum penanaman benih atau bersamaan

dengan penanaman benih.

3. Fase Persemaian (Dataran Tinggi 0-30 Hss; Dataran Rendah 0-21 Hss)

3.1. Budidaya dan pengelolaan ekosistem

a) Persiapan persemaian

45
a. Sebagai media tumbuh digunakan campuran tanah lapisan

bawah (sub soil) yang halus dan pupuk kandang/kompos (1:1)

yang telah disaring dan disterilkan dengan uap panas + 2 jam.

b. Untuk melindungi anak semai dari serangan kutu daun atau

trips, digunakan kain kasa/trikord.

b) Penyemaian

a. Bedengan untuk persemaian (+ 1,5 m²) disiapkan di lahan yang

tidak terlalu jauh dari lahan yang akan ditanami. Bedengan

persemaian diberi naungan dengan atap plastik.

b. Cabai ditaburkan pada bedengan, lalu ditutup selapis tanah

halus.

c. Selanjutnya bedengan ditutup dengan daun pisang atau jerami

selama 2-3 hari agar lembab.

d. Penyiraman dengan embrat pada pagi hari.

e. Selama berumur 7 sampai 8 hari, bibit cabai dipindahkan ke

dalam bumbungan daun pisang kemudian di letakkan kembali

ke dalam bedengan persemaian yang ditutup dengan kain

kasa/trikord.

f. Bumbungan daun pisang atau bahan lainnya yang tersedia di

lokasi disiapkan dengan diameter 3 cm dan tinggi 5 cm yang

telah diisi media persemaian.

g. Setelah berumur  4 minggu, bibit cabai siap ditanam di

lapangan.

c) Pemeliharaan bibit di persemaian.

46
a. Bibit di persemaian disiram sesuai dengan kebutuhan

Pemupukan dilakukan dengan menyiramkan larutan pupuk

NPK (1 sendok makan pupuk dilarutkan dalam 15 liter air)

yang dilakukan pada minggu ke 2 atau ke 3.

b. Satu minggu sebelum bibit ditanam, naungan dan tutup kain

kasa dibuka, untuk menyesuaikan dengan keadaan di lapangan.

3.2. Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a) Pengamatan Hama

a. Diamati kotil permukaan bawah atau lipatan pucuk. Biasanya kutu

daun persik bersembunyi disana.

b. Perhatikan bentuk daun muda. Bila menggulung dan mengeras itu

tandanya terserang tungau.

c. Serangan trips ditandai dengan daun klorosis dan berkerut karena

cairannya diisap.

b) Pengamatan penyakit

a. Amati kecambah yang tumbuh. Bila ada kecambah yang terkulai

dan batangnya busuk, berarti anak semai telah terserang penyakit

rebah kecambah. Tanaman yang terserang biasanya terjadi secara

berkelompok. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan (Pythium sp.,

Rhizoctonia sp.) yang menyerang cabai di persemaian maupun di

pembibitan.

b. Apabila terdapat bercak klorosis dengan permukaan yang berbulu

pada daun atau kotil, berarti anak semai terserang cendawan

Peronospora parasitica atau penyakit embun tepung.

47
c. Apabila pertumbuhan bibit ada yang terhambat dan warna daun

mosaic atau pucat, berarti bibit terinfesi virus. Gejala dapat timbul

jelas setelah tanam berumur lebih dari 2 minggu.

c) Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a. Anak semai yang sudah terserang penyakit rebah kecambah harus

cepat dibuang. Selain tanamannya yang dibuang, media tempat

tanaman tumbuh juga diangkat dan dibuang.

b. Mengatur kelembaban dengan mengurangi naungan. Selain itu

penyiraman dilakukan pada pagi hari.

c. Apabila tidak tersedia varietas tahan, perlindungan bibit dapat

dilakukan dengan pestisida efektif yang diizinkan.

d. Bila terlihat ada serangan hama atau penyakit, dilakukan eradikasi

secara selektif, yaitu dengan cara memusnahkan bibit yang terserang.

4. TANAM

4.1 Budidaya dan pengelolaan ekosistem

a) Pemilihan bibit

a. Bibit dipilih yang seragam, sehat, kuat dan tumbuh mulus.

b. Bibit sudah memiliki 5 - 6 helai daun (30-35 hari di dataran tinggi

dan 21 - 25 hari di dataran rendah).

c. Pada sistem monokultur, kira-kira 3-4 minggu setelah pemberian

kapur, bibit cabai berumur ± 4 minggu siap ditanam di kebun.

b) Cara Tanam

a. Waktu penanaman sore hari.

b. Pada penanaman cabai secara monokultur dibuat gulu dan dan lubang

tanam dengan jarak tanam 50 cm x 40 cm. Pada penanaman cabai

48
secara tumpanggilir dengan bawang merah, bawang ditanam dengan

jarak tanam 15 cm x 20 cm. Tiga minggu setelah tanam bawang, dibuat

lubang tanam cabai diantara tanaman bawang dengan mempergunakan

tugal, jarak tanam 30 cm x 40 cm. Dengan demikian untuk tiap

bedengan pertanaman akan terdapat 4 baris tanaman cabai.

c. Bibit ditanam pada lubang yang telah diberi pupuk kandang dan pupuk

dasar TSP, lalu ditutup tanah.

d. Sebelum bumbungan dibawa ke lapang, disiram dahulu untuk

mengurangi cekaman pada awal pemindahan

e. Sebelum ditanam bumbungan daun pisang perlu dilepaskan. Setelah

penanaman selesai, langsung dilakukan penyiraman.

b. 4.2. Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a. Pengamatan Hama

Apabila ditemukan gejala kerusakan tanaman, yaitu batang atau

tangkai daun terpotong berarti tanaman terserang ulat tanah (Agrotis ipsilon).

Tanah di sekitar tanaman terserang diamati, dengan mengorek tanah mungkin

ditemukan ulat tersebut. Ulat tanah merupakan OPT yang paling penting pada

fase ini.

b. Pengamatan Penyakit

Pengamatan terhadap adanya tanaman yang terkulai layu. Kemudian

diamati bagian perakarannya. Apabila akarnya busuk kemungkinan terserang

penyakit rebah kecambah. Apabila pangkal batang dibelah terlihat warna

pembuluh yang kecoklat coklatan berarti terserang layu fusarium. Apabila

terdapat tanaman yang pucuknya menguning atau bergejala mosaik, berarti

terserang virus.

49
c. Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a. Setiap ulat tanah yang ditemukan dikumpulkan lalu dimusnahkan.

b. Tanaman yang menunjukkan gejala virus dicabut dan dimusnahkan.

c. Tanaman yang terserang penyakit rebah kecambah/layu, dicabut

dengan tanahnya dan dilakukan penyulaman, Dilakukan penyemprotan

dengan fungisida sistemik.

5. Fase Vegetatif (Dataran Rendah 0-30 Hst, Dataran Tinggi 0-45 Hst)

5.1. Budidaya dan pengelolaan ekosistem

a. Penyiraman dilakukan setiap hari.

b. Pemupukan pada pertanaman cabai secara monokultur yang menggunakan

mulsa jerami pupuk urea (100-150 kg/ha). ZA (300-450 kg/ha) dan ZK

(150-200 kg/ha) diberikan pada tanaman berumur 3, 6 dan 9 minggu

setelah tanam masing masing sepertiga dosis.

c. Pada pertanaman cabai secara monokultur yang menggunakan mulsa

plastik perak, pemberian pupuk susulan dalam bentuk pupuk NPK (15: 15:

15) yang dicairkan (1,5 g/l air), dengan dosis 9 4000 I larutan/ha. Pupuk

ini diberikan mulai umur 12 minggu setelah tanam, diulang tiap 10 hari

sekali sampai seminggu sebelum panen pertama.

d. Pada penanaman cabai secara tumpanggilir, pupuk Urea (100 150 kg/ha).

ZA (300-450 kg/ha) dan ZK (100-150 kg/ha) diberikan pada pertanaman

berumur 4,7 dan 10 minggu setelah tanam masing-masing sepertiga dosis.

e. Penyiangan pertama dilakukan pada waktu pemberian pupuk kedua.

f. Pada pertanaman tumpanggilir cabai-bawang merah, setelah tanaman

bawang merah dipanen, dilakukan perdangiran dan pengguludan tanaman.

50
Selanjutnya dipasang mulsa jerami sebanyak 10 ton/ha dan dihamparkan

setebal 5 cm.

g. Tanah yang mengeras digemburkan dengan cara pendangiran dan air yang

tergenang dialirkan dengan perbaikan selokan.

h. Lingkungan yang tidak menguntungkan perlu diperbaiki, misalnya tidak

memberi pupuk berlebih atau melakukan pemangkasan yang membuat

tanaman terbuka hingga sinar matahari berlebih.

5.2. Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

Analisis agroekosistem tersebut diperlukan terutama sebagai dasar untuk

melakukan pengambilan keputusan pengendalian hama atau penyakit.

Pengambilan keputusan pengendalian suatu pengendalian hama atau penyakit

merupakan suatu proses untuk menentukan apakah suatu tindakan pengendalian

yang biayanya telah ditentukan sudah perlu atau belum perlu diambil berdasarkan

nilai kehilangan hasil tertentu yang akan dapat diselamatkan. Selanjutnya, bila

telah dilakukan suatu tindakan pengendalian, perlu diketahui apakah tindakan

yang dilakukan memberikan hasil yang efektif dan apakah menimbulkan dampak

lain.

a) Pengamatan

a. Pengamatan dilakukan terhadap tanaman atau rumpun contoh dan petak

contoh per 500 m². Tanaman contoh sebanyak 10 tanaman (rumpun) per

petak (500 m²) ditentukan secara sistematis dengan menggunakan metode

penarikan contoh acak sistematis bentuk U atau sistem diagonal.

b. Petak contoh sebanyak 5 buah/500 m² ditentukan secara diagonal. Populasi

tanaman per netak contoh adalah 100 tanaman. Tanaman contoh diamati

mulai umur 2 minggu setelah tanam dan diulang seminggu sekali

51
a. Hama

a. Agar diwaspadai ulat tanah (A.ipsilon) dan ulat grayak (Spodoptera litura).

Dihitung jumlah ulat grayak per tanaman.

b. Selain kedua hama tersebut pada fase pertumbuhan ini kemungkinan juga

dijumpai tungau, kutu daun persik dan trips.

c. Dihitung jumlah kutu daun dari dua daun bagian atas per tanaman contoh.

Dihitung jumlah trips, dari dua daun bagian atas pertanaman contoh.

d. Dihitung tingkat kerusakan tanaman oleh serangan ulat grayak dan hama

pengisap (kutu daun), trips dan tungau Polyphagotarsonemus latus Banks.

dengan rumus:

P = (Σ (nx v) / NxZ ) x 100%

Keterangan :

P1: tingkat kerusakan tanaman (%)

N1: jumlah tanaman yang memiliki kategori kerusakan (skoring) yang sama

V1: nilai skoring berdasarkan luas seluruh daun tanaman yang terserang, yaitu :

0 = tanaman tidak terserang (sehat)

1 = luas kerusakan daun/tanaman > 0 ≤ 20%

3= luas kerusakan daun/tanaman > 20 ≤ 40%

5 = luas kerusakan daun/tanaman > 40- ≤ 60%

7 = luas kerusakan daun/tanaman > 60 - ≤ 80%

9= luas kerusakan daun/tanaman > 80-100%

Z1: nilai kategori serangan tertinggi (v = 9)

N1: jumlah rumpun yang diamati (N = 10)

b. Musuh alami

52
a. Mengamati dan mengusahakan kelestarian musuh-musuh alami hama

tanaman cabai seperti tabuhan (Telenomus spodopterae) parasitoid

telur S. litura, larva Didea fasciata pemangsa kutu daun, Aphidius sp.

parasitoid nimfa kutu daun persik, serta kumbang macan

(Menochillus sp.) pemangsa berbagai jenis kutu daun, predator tungau,

trips Amblyseius cucumeris secara rinci dapat dilihat pada lampiran.

b. Dihitung jumlah musuh alami yang ada di pertanaman contoh.

c. Penyakit

a. Pengamatan terhadap layu fusarium, rebah kecambah dan macam-

macam virus seperti pada fase tanam.

b. Pengamatan terhadap gejala bercak daun Cercospora capsici dilakukan

terutama pada daun tua.

c. Dihitung tingkat kerusakan tanaman karena serangan bercak daun

Cercospora dengan rumus :

P= Σ (n xv) / NX Z x 100 %

Keterangan:

P. tingkat kerusakan tanaman (%).

n, jumlah tanaman yang memiliki kategori kerusakan (skoring) yang

sama,

v, nilai skoring berdasarkan luas seluruh daun tanaman. yang terserang,

yaitu:

0 tanaman tidak terserang (sehat)

1 = luas kerusakan daun/tanaman > 0 ≤ 10%

2= luas kerusakan daun/tanaman > 10 - ≤ 20%

3= luas kerusakan daun/tanaman > 20 - ≤ 40%

53
4= luas kerusakan daun/tanaman > 40 - ≤ 60%

5= luas kerusakan daun/tanaman > 60 - ≤ 100%

Z, nilai kategori serangan tertinggi (v = 9)

N, jumlah rumpun yang diamati (N= 10)

d. Penyakit fisiologis dan keracunan

a. Suhu udara, sinar, kelembaban udara yang tidak sesuai. memberikan

pengaruh yang kurang baik bagi pertumbuhan.

b. Pengaruh racun (toksin) dari pelapukan bahan organik yang tanaman.

belum matang dapat menyebabkan gejala seperti rebah kecambah, busuk

akar, layu atau kekurangan hara.

c. Keracunan insektisida: tepi daun mengering, berwarna coklat putih dan

tekstur tipis seperti kertas. Khusus keracunan insektisida piretroid, daun

belang, mosaik kuning mirip serangan virus.

d. Keracunan pupuk buatan, akar busuk dan patah-patah.

b) Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a. Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati karena pengaruh

cuaca, serangan ulat tanah, rebah kecambah atau layu fusarium. Penyulaman

dilakukan sampai tanaman berumur dua minggu.

b. Mengumpulkan dan memusnahkan ulat tanah A. ipsilon, larva dan telur ulat

grayak. Pengumpulan ulat pada senja hari.

c. Pemasangan umpan beracun di sekitar pertanaman. Apabila serangan berat,

pada senja hari dilakukan penyemprotan insektisida yang efektif dan

dianjurkan pada tanah disekitar tanaman.

d. Memotong dan mengumpulkan pucuk tanaman yang terserang tungau ke

dalam kantung plastik untuk kemudian dimusnahkan.

54
e. Sanitasi, mencabut dan memusnahkan tanaman yang terserang cendawan layu

fusarium, layu bakteri dan virus.

f. Sejak tanaman berumur dua minggu dipasang perangkap untuk:

1. Lalat buah (Bactrocera sp.) yaitu Metil Eugenol (ME) 1 cc/perangkap

sebanyak 40 buah/ha atau 2 buah/ 500 m². Perangkap diganti tiap dua

minggu.

2. Trips, yaitu perangkap likat berwarna biru atau putih (40 buah/ha atau

2 buah/500 m²).

3. Kutu daun persik (Myzus persicae sulz) yaitu perangkap air berwarna

kuning (40 buah/ha atau 2 buah/500 m²).

4. Spodoptera spp. yaitu feromonoid seks (40 buah/ha atau 2 buah/500

m³).

g. Jika jumlah kutu daun > 7 ekor/10 daun contoh atau kerusakan tanaman oleh

hama pengisap (kutu daun), thrips dan tungau 15% per tanaman contoh, maka

pertanaman disemprot dengan insektisida efektif yang dianjurkan dan

diizinkan untuk thrips dapat menggunakan pestisida alami yaitu gadung

(Diascorea hispida).

h. Jika intensitas kerusakan daun oleh serangan ulat grayak 2 12,5% per

tanaman contoh, dilakukan penyemprotan dengan insektisida efektif.

Penyemprotan dilakukan pada senja hari.

i. Jika gejala serangan penyakit cercospora pada daun semakin meluas,

dilakukan penyemprotan dengan fungisida efektif yang diizinkan.

6. Fase Generatif (Dataran Rendah 25-80 Hst, Dataran Tinggi 30-90 Hst)

6.1. Budidaya dan pengelolaan ekosistem

a. Pengairan dikurangi menjadi dua hari sekali.

55
b. Penyiangan kedua dilakukan pada 8 mst

c. Pemupukan ketiga 50 kg/ha Urea, 150 kg/ha ZA dan 30 kg/ha KCI.

d. Penimbunan guludan kedua. Bila diberi mulsa, tidak dilakukan

pengguludan kedua.

e. Setelah tanaman cabai berumur 2 bulan, cabang-cabang tanaman yang

tingginya 25 cm dari permukaan tanah dipangkas.

6.2. Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a. Pengamatan Hama (dilakukan 7 hari sekali)

a. Pengamatan terhadap ulat grayak dan pengisap daun (tungau,

thrips dan kutu daun persik) seperti pada fase vegetatif.

b. Gejala serangan lalat buah (Bactrocera sp.) dapat diamati

pada buah cabai yang berlubang, busuk dan berjaluhan ke

tanah.

c. Populasi lalat buah dewasa jantan dapat dipantau dengan

menggunakan zat penarik (atraktan) metil eugenol.

b. Pengamatan Penyakit (dilakukan 7 hari sekali)

a. Busuk buah antraknosa (Colletotrichum spp.) diamati pada

buah yang terserang.

b. Pengamatan penyakit layu dan macam-macam virus seperti

pada fase tanam.

c. Pengamatan gejala bercak daun dilakukan terutama pada

daun-daun tua. Serangan berat penyakit bercak dapat

menggugurkan daun-daun.

c. Pengamatan Musuh alami

56
Musuh alami yang diamati di usahakan kelestariannya sama

seperti pada fase vegetatif. Tabuhan yang memarasit belatung dan

kepompong lalat buah diharapkan peranannya pada fase ini.

b. Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a. Buah yang rusak karena terserang lalat buah dan atau busuk buah

antraknosa dikumpulkan dan dimusnahkan.

b. Pengendalian kimia non pestisida, dengan penggunaan perangkap

masal lalat buah yang menggunakan zat penarik metil eugenol yang

dikombinasikan dengan insektisida efektif dan diizinkan (1:19).

c. Bila ditemukan gejala serangan penyakit antraknosa atau bercak daun

dilakukan penyemprotan dengan fungisida efektif yang diizinkan.

d. Untuk mengendalikan penyakit antraknosa dapat memanfaatkan

mikroba antagonis Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis yang

diaplikasi mulai fase pembungaan hingga 2 minggu setelah

pembungaan dengan selang waktu 1 minggu.

7. FASE PANEN DAN PASCA PANEN

7.1 Budidaya dan pengelolaan ekosistem

a) Pemanenan

a. Panen pertama sekitar 60 75 hst.

b. Di dataran rendah, panen kedua dan seterusnya dilakukan setiap 3- 4

hari dengan jumlah panen 8 11 kali/musim tanam. Panenan tertinggi

pada panen ke- 4 sampai ke- 7.

c. Di dataran tinggi, panen kedua dan seterusnya dilakukan setiap 6-7

hari dengan jumlah panen 15 20 kali/musim tanam. Hasil tertinggi

dapat dicapai pada panenan ke- 7 sampai ke- 12.

57
b) Penanganan segar dan pengepakan

a. Kemasan cukup lubang angin.

b. Buah dipanen tidak terlalu tua.

c. Digunakan karung jala dan pada waktu menyusun karung dalam

kendaraan, tidak dibanting agar buah cabai tidak rusak karena

patah/memar. Hal ini disebabkan kerusakan mekanis akan

mempercepat buah menjadi busuk.

c. Penyimpanan

a. Buah cabai disimpan di tempat kering dan sejuk.

b. Ruangan penyimpanan harus cukup lubang angin

7.2. Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

a. Pengamatan

a. Pada fase ini banyak dijumpai serangan busuk buah yang

disebabkan oleh Colletotrichum spp., A. solani, Fusarium.

b. Pengamatan waktu panen dihitung jumlah dan berat buah/ 10

tanaman contoh. Selain itu dilakukan ubinan sebanyak 5 petak/500

m² masing-masing 100 tanaman. sp. atau bakteri.

c. Dihitung persentase kerusakan buah oleh serangan lalat buah/10

tanaman contoh (tiap kali panen) dengan menggunakan rumus:

P= (a/N) x 100 %

Keterangan:

P = tingkat kerusakan buah oleh lalat buah (%)

a = jumlah buah yang terserang lalat buah

N = jumlah buah yang diamati. Dihitung persentase kerusakan

buah oleh serangan penyakit antraknose Colletotrichum capsici,

58
C. gloeosporioides atau bakteri (busuk)/10 tanaman contoh (tiap

kali panen) dengan menggunakan rumus :

P = (a/N) 100 %

Keterangan:

P. tingkat kerusakan buah cabai oleh penyakit (%).

a, jumlah buah busuk.

N, jumlah buah yang diamati.

b. Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan

Buah yang busuk atau rusak dipilih, dikumpulkan dan dimusnahkan.

4.5 Tingkat kerusakan pada Hama dan Penyakit Tanaman Cabai

1) Hama

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan kami mendapatkan

data dari 10 sampel tanaman yang mengalami kerusakan pada daun diakibatkan

oleh Kutu kebul (Bemicia tabaci) yang menyerang daun tanaman cabai. Untuk

pengambilan sampel yang digunakan yaitu secara zigzag, data yang diperoleh

sebagai berikut :

Tabel 5. Tingkat kerusakan oleh hama kutu kebul

Gejala (v) Jumlah tanaman (n)

Gejala 1 (> 0 ≤ 20%) 3

Gejala 2 (> 20 ≤ 40%) 3

Gejala 3 (> 40- ≤ 60%) 2

Gejala 4 (> 60 - ≤ 80%) 1

59
Gejala 5 (> 80-100%) 1

P = Σ (n x v) / NX Z x 100 %

P = (Σ (3x1)+(3x2)+(2x3)+(1x4)+(1x5))/ 10x5 x 100%

P = 24/50 x100 %

P = 48 %

Jadi, tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh kutu kebul,

yaitu 48 %. Tingkat kerusakan pada serangan kutu kebul ini termasuk

sedang.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, kami mendapatkan

data dari 10 sampel tanaman yang mengalami kerusakan pada tanaman yang

terkena hama kepik, Untuk pengambilan sampel yang digunakan yaitu secara

zigzag, data yang diperoleh sebagai berikut :

Tabel 66. Tingkat kerusakan oleh hama kepik

Gejala (v) Jumlah tanaman (n)

Gejala 1 (> 0 ≤ 20%) 4

Gejala 2 (> 20 ≤ 40%) 3

Gejala 3 (> 40- ≤ 60%) 1

Gejala 4 (> 60 - ≤ 80%) 1

Gejala 5 (> 80-100%) 1

P = Σ (n x v) / NX Z x 100 %

P = (Σ (4x1)+(3x2)+(1x3)+(1x4)+(1x5))/ 10x5 x 100%

P = 22/50 x100 %

60
P = 44 %

Jadi, tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh hama kepik,

yaitu 44%. Dan untuk tingkat kerusakan pada hama kepik ini termasuk

sedang .

2) Penyakit

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan kami mendapatkan

data dari 10 sampel tanaman yang mengalami kerusakan pada tanaman yang

terkena bercak daun Cercospora capsici. Untuk pengambilan sampel yang

digunakan yaitu secara zigzag, data yang diperoleh sebagai berikut :

Tabel 7. Tingkat Kerusakan penyakit Bercak daun


Gejala (v) Jumlah tanaman (n)

Gejala 1 (> 0 - ≤ 10%) 2

Gejala 2 (> 10 - ≤ 20%) 3

Gejala 3 (> 20 - ≤ 40%) 1

Gejala 4 (> 40 - ≤ 60%) 2

Gejala 5 (> 60 - ≤ 100%) 2

P = Σ (n x v) / NX Z x 100 %

P = (Σ (2x1)+(3x2)+(1x3)+(2x4)+(2x5))/ 10x5 x 100%

P = 29/50 x100 %

P = 58 %

Jadi, tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh jamur

Cercospora capsici, yaitu 58 %. Dan untuk tingkat kerusakan pada bercak

daun ini termasuk berat .

61
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan kami mendapatkan

data dari 10 sampel tanaman yang mengalami kerusakan pada tanaman yang

terkena Antraknosa (Colletotrichum capsici). Untuk pengambilan sampel yang

digunakan yaitu secara zigzag, data yang diperoleh sebagai berikut:

P = 7/10 x 100%

P = 70%

Jadi, tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh antraknosa

(Colletotrichum capsici), yaitu 70%. Dan untuk tingkat kerusakan pada

antraknosa ini termasuk berat.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan kami mendapatkan

data dari 10 sampel tanaman yang mengalami kerusakan pada tanaman yang

terkena virus kuning. Untuk pengambilan sampel yang digunakan yaitu secara

zigzag, data yang diperoleh sebagai berikut:

P = 5/10 x 100%

P = 50%

Jadi, tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh virus kuning

(Virus Gemini), yaitu 50%. Dan untuk tingkat kerusakan pada virus kuning ini

termasuk berat.

4.6 Pengendalian Berdasarkan Hama dan penyakit Yang didapatkan

Untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman cabai, dilakukan

komponen kultur teknis yaitu :

1) pemilihan waktu tanam dan panen;

2) penggunaan varietas tahan penyakit;

3) penanaman tanaman penghalang;

62
4) system pengairan yang teratur;

5) pergiliran tanaman dan pola tanam;

6) sanitasi.

Hama

A) Kutu Kebul

Gambar 3. Kutu kebul pada lahan

Gejala serangan pada daun berupa bercak nekrotik, disebabkan oleh rusaknya

sel-sel dan jaringan daun akibat 6 serangan nimfa dan serangga dewasa. Pada saat

populasi tinggi, serangan kutu kebul dapat menghambat pertumbuhan tanaman.

Embun muda yang dikeluarkan oleh kutu kebul dapat menimbulkan serangan jamur

jelaga yang berwarna hitam, menyerang berbagai stadia tanaman. Keberadaan embun

jelaga menyebabkan terganggunya proses fotosintesis pada daun. Kisaran inang

serangga ini cukup luas dan dapat mencapai populasi yang besar dalam waktu yang

cepat apabila kondisi lingkungan menguntungkan. Beberapa tanaman pertanian yang

menjadi inang kutu kebul adalah kentang, timun, melon, labu, terong, cabai, lettuce

dan brokoli. Selain kerusakan langsung oleh isapan imago dan nimfa, kutu kebul

sangat berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus. Sampai saat ini tercatat

60 jenis virus yang ditularkan oleh kutu kebul antara lain Geminivirus, Closterovirus,

Nepovirus, Carlavirus, Potyvirus, Rod-shape DNA Virus.

63
Kutu kebul dan hubungannya dengan virus kuning cabai ini bersifat persisten.

Kutu memperoleh virus ketika dia mengambil makanan dari tanaman yang telah

terinveksi (akuisisi). Virus yang diambil dari tanaman sakit beredar melalui saluran

pencernaan, menembus dinding usus, bersirkulasi dalam cairan tubuh serangga

(haemolymph) dan selanjutnya kelenjar saliva. Pada saat dia menghisap makanan dari

tanaman sehat, virus ikut masuk ke dalam tubuh tanaman bersama dengan cairan dari

mulut serangga tersebut. Retensi virus ini di dalam tubuh serangga sangat lama

bahkan bisa dipindahkan secara transovarial melalui telur ke tubuh progeny.

Pengendalian :

a. Pemanfaatan musuh alami, seperti predator, parasitoid dan patogen

serangga.

b. Predator yang diketahui efektif terhadap kutu kebul, antara lain

Menochilus sexmaculatus (mampu memangsa larva Bemisia tabaci

sebanyak 200 – 400 larva/hari), Coccinella septempunctata, Scymus

syriacus, Chrysoperla carnea, Scrangium parcesetosum, Orius

albidipennis, dll.

c. Parasitoid yang diketahui efektif menyerang B. Tabaci adalah Encarcia

adrianae (15 spesies), E. Tricolor, Eretmocerus corni (4 spesies),

sedangkan jenis.

d. patogen yang menyerang B. Tabaci, antara lain Bacillus thuringiensis,

Paecilomyces farinorus dan Eretmocerus.

e. Penggunaan perangkap kuning dapat dipadukan dengan pengendalian

secara fisik/mekanik dan penggunaan insektisida secara selektif.

Dengan cara tersebut populasi hama dapat ditekan dan kerusakan yang

ditimbulkannya dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih cepat.

64
f. Sanitasi lingkungan

g. Tumpangsari antara cabai dengan Tagetes, penanaman jagung disekitar

tanaman cabai sebagai tanaman perangkap.

h. Sistem pergiliran tanaman (rotasi) dengan tanaman bukan inang,

seperti tanaman kentang dan mentimun.

B) Kepik Coklat

Gambar 4. Kepik Coklat Pada Lahan

Kepik coklat, Riptortus linearis merupa kan salah satu pengisap polong

kedelai yang sangat penting di Indonesia karena dapat menyebabkan kehilangan hasil

hingga 80%, bahkan puso apabila tidak dikendalikan (Marwoto 2006; Tengkabo dkk.

2006). Untuk mengatasi masalah hama, umumnya petani menggunakan insektisida

secara berlebihan, sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain

musnahnya musuh alami dan munculnya gejala resistensi hama terhadap insektisida.

Imago dan nimfa merusak polong dan biji. Caranya dengan menusukkan

stiletnya ke kulit polong hingga mencapai biji kemudian mengisap cairan biji tersebut.

Serangan pada polong muda menyebabkan biji mengerut dan menyebabkan polong

gugur. Serangan pada fase pembentukan dan pertumbuhan polong menyebabkan biji

dan polong kempis kemudian mengering. Serangan pada fase pengisian biji

menyebabkan biji hitam dan busuk, dan serangan pada polong tua dan biji-bijian telah

65
mengisi penuh menyebabkan kualitas biji turun oleh adanya bintik-bintik hitam pada

biji atau kulit biji menjadi keriput (Tengkano & Soehardjan 1985)

Teknik Pengendalian Ada beberapa teknik pengendalian yang dapat digunakan

secara terpadu untuk menurunkan status hama kepik coklat. Pengendalian dengan

teknik budidaya (cultural control) Teknik pengendalian ini adalah suatu usaha

memanipulasi agroekosistem untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang

sesuai bagi kehidupan dan perkembang-biakan hama, serta menyediakan habitat bagi

organisme menguntungkan. Beberapa teknik budidaya, antara lain:

1. Pergiliran tanaman untuk memutus rantai makanan bagi hama. Misalnya,

pergiliran tanaman kedelai dengan jagung atau padi yang dapat mengatasi masalah

hama karena masing-masing memiliki kompleks hama berbeda.

2. Penanaman dalam barisan (strip cropping). Misalnya, menanam kedelai dan jagung

secara berselang-seling pada petak berbeda (Leslie & Cuperus, 1993). Teknik ini

dapat meningkatkan keragaman sehingga tanaman inang tersamarkan dari serangan

hama. Selain itu, tanaman dapat berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber

pakan bagi organisme berguna.

3. Penanaman varietas hasil perakitan galur-galur IAC-100 dan IAC-80-596-2 yang

memiliki sifat antixenosis berupa ketebalan kulit polong dan kerapatan trikoma yang

dapat mengurangi banyaknya luka tusukan stilet kepik coklat dan kepik pengisap

polong lainnya.

4. Penanaman tanaman perangkap, yakni kacang hijau varietas Merak dan Sesbania

rostrata yang dikombinasikan dengan insektisida deltametrin untuk kepik coklat dan

pengisap polong lainnya.

66
Penyakit

A) Penyakit Busuk Buah Antraknosa

Gambar 5. Penyakit Antraknosa pada lahan

Gejala awal penyakit ini ditandai dengan munculnya bercak yang agak

mengkilap, sedikit terbenam dan berair, berwarna hitam, orange dan coklat. Warna

hitam merupakan struktur dari cendawan (mikro skelerotia dan aservulus), apabila

kondisi lingkungan lembab tubuh buah akan berwarna orange atau merah muda. Luka

yang ditimbulkan akan semakin melebar dan membentuk sebuah lingkaran konsentris

dengan ukuran diameter sekitar 30 mm atau lebih. Dalam waktu yang tidak lama buah

akan berubah menjadi coklat kehitaman dan membusuk, ledakan penyakit ini sangat

cepat pada musim hujan. Serangan yang berat menyebabkan seluruh buah keriput dan

mengering. Warna kulit buah seperti jerami padi.

Pengendalian :

a. Pencegahan dapat dilakukan dengan membersihkan lahan dan tanaman

yang terserang agar tidak menyebar.

b. Seleksi benih atau menggunakan benih cabai yang tahan terhadap

penyakit ini perlu dilakukan mengingat penyakit ini termasuk patogen

tular benih.

c. Kultur teknis dengan pergiliran tanaman, penggunaan benih sehat dan

sanitasi dengan memotong dan memusnahkan buah yang sakit.

67
d. Penggunaan fungisida sesuai anjuran sebagai alternatif terakhir.

Hindari pengguanaan alat semprot, atau lakukan sanitasi terlebih

dahulu sebelum menggunakan alat semprot.

e. Untuk mengendalikan penyakit antraknosa dapat memanfaatkan

mikroba antagonis Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis yang

diaplikasi mulai fase pembungaan hingga 2 minggu setelah

pembungaan dengan selang waktu 1 minggu.

B) Penyakit Virus Kuning (Gemini Virus)

Gambar 6. Penyakit Virus kuning

Helai daun mengalami vein clearing dimulai dari daun pucuk

berkembang menjadi warna kuning jelas, tulang daun menebal dan daun

menggulung ke atas. Infeksi lanjut dari gemini virus menyebabkan daun

mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah.

Keberadaan penyakit ini sangat merugikan karena mampu mempengaruhi

produksi buah. Selain cabai virus ini juga mampu menyerang tanaman tomat,

buncis, gula bit, babadotan, atau tanaman pertanian yang lain. Penyakit ini

disebabkan oleh virus gemini dengan diameter partikel isometri berukuran 18–

22 nm. Virus gemini mempunyai genome sirkular DNA tunggal. Virus dapat

ditularkan melalui penyambungan dan melalui vektor Bemisia tabaci.

68
Pengendalian :

a. Mengendalikan serangga vektor virus kuning yaitu kutu kebul

(Bemisia tabaci) dengan menggunakan musuh alami predator seperti

Menochilus sexmaculatus atau jamur patogen serangga seperti

Beauveria bassiana atau Verticillium lecani.

b. Penanaman varietas tahan seperti hotchilli.

c. Melakukan sanitasi lingkungan terutama tanaman inang seperti

ciplukan, terong, gulma bunga kancing.

d. Pemupukan tambahan untuk meningkatkan daya tahan tanaman

sehingga tanaman tetap berproduksi walaupun terserang virus kuning.

e. Kultur teknik yang meliputi : perendaman benih, penggunaan mulsa

plastik (untuk menekan gulma inang, populasi vektor, menunda

perkembangan virus)

f. Penanaman tanaman pembatas seperti jagung dan tagetes.

C) Penyakit bercak daun

Gambar 7. Penyakit Bercak Daun

Penyakit ini menimbulkan kerusakan pada daun, batang dan akar.

Penyebab penyakit ini oleh adanya jamur Cercospora capsica. Gejala serangan

penyakit ini mulai terlihat dari munculnya bercak bulat berwarna coklat pada

daun dan kering, ukuran bercak bisa mencapai sekitar 1 inci. Pusat bercak

69
berwarna pucat sampai putih dengan warna tepi lebih tua. Bercak yang tua

dapat menyebabkan lubang-lubang. Bercak daun mampu menimbulkan

kerugian ekonomi yang besar pada budidaya cabai, daun yang terserang akan

layu dan rontok. Penyakit bercak daun ini dapat menyerang tanaman muda di

persemaian, dan cenderung lebih banyak menyerang tanaman tua. Serangan

berat meyebabkan tanaman cabai kehilangan hampir semua daunnya, kondisi

ini akan mempengaruhi kemampuan cabai dalam menghasilkan buah. Kondisi

lingkungan yang selalu hujan mendukung perkembangan dan penyebaran

penyakit bercak daun. Pada musim kemarau dan pada lahan yang mempunyai

drainase baik, penyakit layu kurang berkembang.

Pengendalian :

a. Sanitasi dengan cara memusnahkan dan atau sisa-sisa tanaman yang

terinfeksi/terserang

b. Menanam bibit yang bebas patogen pada lahan yang tidak

terkontaminasi oleh patogen, baik dipersemaian maupun di lapangan

c. Perlakuan benih sebelum tanam

d. Perbaikan drainase.

e. Waktu tanam yang tepat adalah musim kemarau dengan irigasi yang

baik dan pergiliran tanaman dengan tanaman non Solanaceae.

f. Pengendalian kimia dapat dilakukan dengan fungisida secara bijaksana,

efektif, terdaftar dan diijinkan oleh Menteri Pertanian, berpedoman

pada peramalan cuaca dan populasi spora di lapangan.

70
71
BAB V

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada tanaman cabai yang telah diamati terdapat 3 sampel yang sudah diambil

yaitu penyakit bercak daun, antraknosa, dan virus kuning. Pada praktikum ini bisa

dilihat gejala yang ada pada tanaman yang sakit, lalu dilakukan diagnosa terhadap

gejala serta tanda yang ada dan berdasarkan hasil diagnosis di duga penyakit yang

menyerang tanaman cabai pada sampel 1 adalah penyakit bercak daun. Penyakit ini

disebabkan oleh jamur Cercospora capsici. Pada sampel 2 berdasarkan hasil

diagnosis adalah penyakit antraknosa, diduga penyakit yang menyerang tanaman

cabai disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici. Pada tanaman cabai sampel 3

berdasarkan hasil diagnosis adalah penyakit virus kuning, penyakit yang menyerang

tanaman cabai disebabkan oleh Virus Gemini yang disebarkan oleh vektor yaitu kutu

kebul (Bemicia tabaci).

OPT pada lahan cabai yang diamati ada beberapa yang yaitu hama, penyakit

dan gulma. Hama yang kami dapatkan pada lahan ini yaitu kepik coklat (Riptortus

linearis), kutu kebul (Bemicia tabaci). Penyakit yang menyerang pada tanaman cabai

yang kami amati yaitu bercak daun (Cercospora capsici), antraknosa (Colletotrichum

capsici) dan virus kuning (Virus Gemini dibawa oleh vektor serangga yaitu kutu

kebul). Sementara ada beberapa gulma yang ada yaitu rumput mutiara (Oldenlandia

corymbose L.), rumput teki (Cyperus rotundus), tempuh wiyang (Emilia sonchifolia

L.).

72
Pada lahan yang kami amati ada beberapa musuh alami yang dijumpai yaitu

jangkrik (Gryllus sp.), semut api (Solenopsis invicta) dan laba-laba (Atypena

formosana). Laba-laba, semut api dan jangkrik termasuk musuh alami predator, yaitu

serangga yang memangsa hama pada tanaman.

Tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh hama dan penyakit.

Pengambilan sampel yang digunakan yaitu secara zigzag. Tingkat kerusakan oleh

hama, seperti kutu kebul, yaitu 48 %, tingkat kerusakan pada serangan kutu kebul ini

termasuk sedang. Tingkat kerusakan diakibatkan oleh hama kepik, yaitu 44%, tingkat

kerusakan pada hama kepik ini termasuk sedang. Sedangkan akibat penyakit, seperti

tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh penyakit bercak daun (jamur

Cercospora capsici) yaitu 58 %, tingkat kerusakan pada bercak daun ini termasuk

berat. Tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh antraknosa

(Colletotrichum capsici), yaitu 70%, tingkat kerusakan pada antraknosa ini termasuk

berat. Tingkat kerusakan tanaman cabai yang diakibatkan oleh virus kuning (Virus

Gemini), yaitu 50%, tingkat kerusakan pada virus kuning ini termasuk berat.

Masing-masing OPT yang mempengaruhi atau mengganggu pertumbuhan

dan perkembangan tanaman budidaya, maka harus diberikan tindakan pengendalian,

baik itu secara kultur teknis, mekanis maupun fisik, bisa juga dengan hayati, dan

dilakukan pengambilan keputusan bila sudah merusak secara signifikan.

3.2 Saran

Saran saya kepada mahasiswa untuk lebih fokus lagi selama kegiatan

pengamatan gejala dan tanda yang ada pada bagian tanaman, agar tidak terjadi

kesalahan dalam proses identifikasi dan diagnosis penyakit dan hama pada tanaman.

73
DAFTAR PUSTAKA

Adam, I., Hikmat, A., Utami, Illiyina, Railan, Daryanto dan Noerjati. 2001. Model

Pemasyarakatan PHT pada Tanaman Sayuran. DITLINHOR, Jakarta

Altieri, M. E. and Nicholls, C. I. 2004. Biodiversity and Pest Management in

Agroecosystem. Food Products Press, Birmingham, NY, 236 P.

Alif. 2017. Kiat Sukses Budidaya Cabai keriting. Bio Genesis, Yogyakarta.

Arifin, M. 2010 Kajian Sifat Fisik Tanah dan Berbagai Penggunaan Laban dalam

Hubungannya dengan Pendugaan Erosi Tanah. Jurnal Pertanian MAPETA

ISSN: 1411-2817, Vol XII No. 2. April 2010: 72-144.

Gatot, Mudjiono (2013) Pengelolaan Hama Terpadu: Konsep, Taktik,

Strategi, Penyusunan Program PHT, dan

Implementasinya. Universitas Brawijaya Press.

Hewindati, Y.T. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka, Jakarta.

Illiyina, N. C., Hikmat, A., Adam, Srie, Railan dan Noerjati. Model

BudidayaTanaman Sehat (Budidaya Tanaman Sayuran Secara Sehat Melalui

Penerapan PHT). DITLINHOR, Jakarta.

Indiati, S. W., & Marwoto, M. 2017. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

pada Tanaman Kedelai. Buletin Palawija, 15(2), 87-100.

Maghfirah, J. (2017). Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan Tanaman.

Providing Seminar Nasional Pendidikan Biologi Dan Biologi, 51-58.

Meilin, A. (2014). Hama dan penyakit pada tanaman cabai serta pengendaliannya.

Jurnal Sarjana Teknik Informatika, 2(2), Hal 20.

74
Moenandir, J. 1993. Persaingan tanaman budidaya dengan gulma (Ilmu Gulma- Buku

III). PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Prajnanta F. 2007. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai Hibrida Secara Intensif.

Agromedia Pustaka, Jakarta.

Salisbury, F.B dan Ross, CW. 1997. Fasing humbuhan. Terjemahan Dian Rukmana

dan Sumaryono, ITB. Bandung.

Sarief, S., 1986. Ilmu Tanah pertanian. Penerbit Buana. Bandung.

Sebayang, L. 2013. Penyakit Kuning Pada Tanaman Cabai. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Medan.

Setiabudi. 2002. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta.

Setiawan, H.A. 2019. Rancang Bangun Alat Pengukur Suhu, Kelembaban Dan Ph

Tanah Sebagai Alat Bantu Budidaya Cabai Merah Dan Cabai Rawit. Skripsi,

Universitas Negeri Semarang.

Siboro, TD. 2019. Manfaat Keanekaragaman Hayati Terhadap Lingkungan. Jurnal

Ilmiah Simantek , 3 (1).

Soelaiman V & Ernawati A. 2013. Pertumbuhan dan Perkembangan Cabai Keriting

(Capsicum annuum L.) secara In Vitro pada beberapa Konsentrasi BAP dan

IAA. Bul. Agrohorti 1(1): 62 – 66.

Sumarni, N. Dan Muharam, A. 2005. Budidaya Cabai Merah. Balitsa, Lembang.

Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi Ke Dua. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta

Victor, Andy Pakpahan. 2019. Implementasi Metode Forward Chaining Untuk

Mendiagnosis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Jurnal SIMETRIS,

10 (1).

75
Warisno dan Dahana, K. 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai. PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Wayan, I., Suastika, Purnomo, J. dan Supriyana, Y. 2014. Pengelolaan Tanah dan

Pupuk untuk Pertanian. BALITBANGTAN. Jakarta.

Wiyono, S. 2007. Perubahan iklim dan ledakan hama dan penyakit tanaman. Makalah

Seminar Keanekaragaman Hayati di Tengah Tantangan Masa Depan Indonesia,

diselenggarakan oleh KEHATI, Jakarta, 28 Juni 2007.

Yuwono, T., Sri W., Dwidjono H. D., Masyhuri, Didik I., Susamto S., dan Sunarru S.

H. 2019. Pengembangan Pertanian: Pembangungan Kedaulatan Pangan.

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

76
LAMPIRAN

1. Perhitungan Intensitas Serangan Hama

a. Kutu kebul

Gejala (v) Jumlah tanaman (n)

Gejala 1 (> 0 ≤ 20%) 3

Gejala 2 (> 20 ≤ 40%) 3

Gejala 3 (> 40- ≤ 60%) 2

Gejala 4 (> 60 - ≤ 80%) 1

Gejala 5 (> 80-100%) 1

P = Σ (n x v) / NX Z x 100 %

P = (Σ (3x1)+(3x2)+(2x3)+(1x4)+(1x5))/ 10x5 x 100%

P = 24/50 x100 %

P = 48 %

b. Kepik

Gejala (v) Jumlah tanaman (n)

Gejala 1 (> 0 ≤ 20%) 4

Gejala 2 (> 20 ≤ 40%) 3

Gejala 3 (> 40- ≤ 60%) 1

Gejala 4 (> 60 - ≤ 80%) 1

Gejala 5 (> 80-100%) 1

77
P = Σ (n x v) / NX Z x 100 %

P = (Σ (4x1)+(3x2)+(1x3)+(1x4)+(1x5))/ 10x5 x 100%

P = 22/50 x100 %

P = 44 %

2. Perhitungan Intensitas Serangan Penyakit

a. Bercak daun

Gejala (v) Jumlah tanaman (n)

Gejala 1 (> 0 - ≤ 10%) 2

Gejala 2 (> 10 - ≤ 20%) 3

Gejala 3 (> 20 - ≤ 40%) 1

Gejala 4 (> 40 - ≤ 60%) 2

Gejala 5 (> 60 - ≤ 100%) 2

P = Σ (n x v) / NX Z x 100 %

P = (Σ (2x1)+(3x2)+(1x3)+(2x4)+(2x5))/ 10x5 x 100%

P = 29/50 x100 %

P = 58 %

b. Antraknosa

P = 7/10 x 100%

P = 70%

c. Virus kuning

P = 5/10 x 100%

P = 50%

78
79

Anda mungkin juga menyukai