PRAKTIKUM AGROEKOLOGI
ASISTEN :
1. EVA NURJANAH
2.QURRATA A’YUN
DISUSUN OLEH :
NAMA : GHALLUH NURUL MALIKA
KELAS : AGROTEKNOLOGI-C
NIM : 1906156069
MATA KULIAH : PRAKTIKUM AGROEKOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020/2021
1
20 April 2020
LEMBAR PENGESAHAN
1906156069
ASISTEN :
ASISTEN 1 ASISTEN 2
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
kesehatan dan keselamatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan akhir Praktikum Agroekologi
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna.
untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar menjadi
lebih baik. Akhir kata penulis mengharapkan laporan ini akan berguna untuk
penulis sendiri khususnya dan bagi kita semua pada umumnya serta berguna
untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Agroekologi...............................................................................................3
2.2 Konsep Agroekologi..................................................................................6
2.3 Manfaat Agroekologi................................................................................8
2.4 Hubungan Agroekologi Dengan Pertanian Berkelanjutan........................9
III. PEMBAHASAN........................................................................................12
3.1 Air............................................................................................................12
3.2 Naungan..................................................................................................17
3.3 Gulma......................................................................................................23
3.4 Pemupukan..............................................................................................26
3.5 Pestisida...................................................................................................30
IV. PENUTUP..................................................................................................37
4.1 Kesimpulan..............................................................................................37
4.2 Saran........................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
LAMPIRAN..........................................................................................................40
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar. 1 Populasi Hama Yang Menyerah Tanaman Cabai Merah pada Umur 14 hst...36
Gambar. 2 Populasi Hama Yang Menyerang Tanaman Cabai Merah Pada Umur 56 hst..
.........................................................................................................................................37
iii
DAFTAR TABEL
Tabel. 1 Rerata pertumbuhan tanaman tembakau akibat perlakuan peningkatan dan
pengurangan jumlah pemberian air..................................................................................20
Tabel. 2 Rerata pertumbuhan tanaman tembakau akibat perlakuan peningkatan dan
pengurangan jumlah pemberian air..................................................................................21
Tabel. 3 Analisis varian tinggi, diameter, indeks mutu bibit dan persen hidup M.
Tsiampca..........................................................................................................................22
Tabel. 4 Uji Duncan tinggi, diameter, indeks mutu bibit dan persen hidup M. Tsiampaca
.........................................................................................................................................22
Tabel. 5 Rataan Daya Tumbuh Gulma Setelah Aplikasi Bioherbisida Ekstrak Kirinyuh. 28
Tabel. 6 Spesies dan Populasi Gulma pada Setiap Perlakuan Ekstrak..............................29
Tabel. 7 Rataan Tinggi Tanaman, Panjang dan Lingkar Tongkol Serta Bobot Pipilan
Kering Jemur Jagung pada Setiap Perlakuan....................................................................31
Tabel. 8 Rataan Unsur Hara Tanah sesudah Panen..........................................................32
iv
I.
v
II. PENDAHULUAN
1
mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktivitas dan perlindungan
tanaman. Agroekologi menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil.
Sistem agroekologi ini sudah sesuai dan sejalan dengan kriteria
pengembangan teknologi bagi petani kecil. Kriteria tersebut adalah
berbasikan pengetahuan lokal dan rasional; layak secara ekonomi dan dapat
diakses dengan menggunakan sumber-sumber lokal; sensitif pada
lingkungan, nilai sosial dan kebudayaan; mengurangi resiko dan bisa
diadaptasi oleh petani; serta meningkatkan secara keseluruhan produktivitas
dan stabilitas pertanian.
1.2 Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, maka adapun tujuan yang ingin dicapai
adalah sebagai berikut :
2
III. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agroekologi
3
Sistem-sistem ekologi yang dimodifikasi sedimikian rupa oleh manusia
yang tujuan akhirnya diharapkan akan menghasilkan kebutuhan pangan,
serat atau produk pertanian lainnya yang diinginkan (Conway 1987).
4
1960 dan 1970 telah melalui berbagai peningkatan untuk menerapkan
ekologi pertanian yang dilakukan secara bertahap. Seperti misalnya praktik
dalam revolusi hijau yang dilakukan peningkatan intensifikasi. Berbagai
penelitian terhadap sistem pertanian tradisional yang dilakukan di Negara
berkembang tropis dan subtropis juga memberikan pengaruh selama periode
tersebut, seperti misalnya penerapan pertanian organik sebagai bentuk
alternatif dalam kaitannya dengan agroekologi. Selama periode tersebut
terjadi peningkatan minat dari sudut pandang ekologi pertanian. Seorang
ahli ekologi Odum (1969) menyatakan sebuah konsep kunci agorekosistem
yang dianggap sebagai suatu ekosistem peliharaan. Agroekologi telah
menjadi sebuah kerangka konseptual sejak tahun 1980 yang didefinisikan
sebagai suatu metode guna melindungi sumberdaya alam untuk merancang
dan mengelola agroekosistem yang berkelanjutan. Konsep tersebut
mengalami perkembangan pada tahun 1987, dimana Conway menyatakan
empat sifat utama agroekosistem yaitu produktivitas, stabilitas,
keberlanjutan, dan keadilan.
5
Pada periode ini, agroekologi mengalami perkembangan dari yang
semula berupa disiplin ilmu menjadi suatu gerakan dan praktik. Program
pemerintah yang mulai bermunculan untuk mengembangkan pertanian dan
perkonomian Indonesia adalah seperti REPELITA dan revolusi hijau yang
menjadi jalan penyebarluasan agroekologi kepada masyarakat umum.
Penerapan agroekologi sebagai praktik mengalami peningkatan dari revolusi
hijau, lalu muncul istilah pertanian tradisional, pertanian organik, dan
pertanian berkelanjutan yang memiliki definisi serta kriteria masing-masing.
Perbedaan kriteria pada masing-masing jenis program pertanian
menimbulkan berbagai tantangan yang membuat agroekologi sulit
diterapkan. Intensifikasi besar-besaran pada revolusi hijau dan pertanian
tradisional seperti penggunaan pupuk dan pestisida kimia menimbulkan
beberapa dampak negatif terhadap makhluk hidup maupun lingkungannya.
Eutrosifikasi akibat penumpukan pupuk anorganik dapat membunuh biota
danau, sungai, dan rawa. Penggunaan pestisida kimia berlebihan dapat
menurunkan kualitas dan kuantitas tanaman, peledakan hama penyakit, serta
keracunan pada manusia dan hewan ternak. Pestisida kimia dapat
membunuh hama sekaligus musuh alaminya, serta dapat merusak
pertumbuhan tanaman pokoknya (Jumin, 2002).
6
beranggapan bahwa pertanian berkelanjutan kurang menguntungkan karena
meminimalisir penggunaan input buatan dan teknologi modern.
a. Petani
b. Perusahaan swasta
c. Badan usaha milik negara
d. Pemerintah/dinas terkait
Berdasarkan konsep ini, menjadi jelas bahwa agroekologi merupakan
bentukan sistem yang komplek yang semestinya tidak diselesaikan secara
parsial dengan beberapa komponen saja. Interaksi antar komponen menuntut
penalaran yang komprehensif, dengan mempertimbangkan seluruh
komponen secara simultan. Oleh karena itu pendekatan permasalahan ini
7
lebih kepada observational research daripada experimental research.
Pendekatan yang disebut pertama akan mempertimbangkan seluruh faktor
secara bersama sehingga dapat memberikan kesimpulan yang lebih akurat.
Sementara itu jika pendekatan yang disebut kedua yang digunakan
dikhawatirkan akan terlalu banyak asumsi terhadap variabel-variabel lain
sehingga kesimpulannya diragukan akurasinya. Untuk inilah terapan model-
model statistik yang melibatkan banyak variabel secara simultan diharapkan
dapat menyelesaikan masalah ini sebaik-baiknya.
Konsep utama dalam agroekologi adalah adaptabilitas (relung), yaitu
fungsi atau peran suatu organisme dalam ekosistem serta sumber daya
kehidupannya yang menentukan kesempatannya untuk bertahan hidup dan
pengaruh positif atau negatifnya terhadap komponen lain. Agroekosistem
dengan tingkat keanekaragaman tinggi cenderung lebih stabil dari pada yang
ditempati oleh hanya satu spesies (seperti dalam budidaya monokultur).
Suatu agroekosistem yang keanekaragamannya tinggi memberi jaminan
yang lebih tinggi bagi petani. Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai
dengan mengombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki ciri
saling melengkapi dan berinteraksi secara positif, maka bukan kestabilan
saja yang bisa diperbaiki, namun juga produktivitas pertanian dengan input
rendah.(Reijntjes et al. 1999)
8
lingkungan minimal, seperti pengomposan, vermiculture, pengelolaan hama
terpadu, dan rotasi tanaman.
9
Agroekologi membahas tentang “A whole-systems approach to
agriculture and food systems development based on traditional knowledge,
alternative agriculture, and local food system experiences, yang dapat
diartikan sebagai kesatuan sistem yang berhubungan dengan pertanian dan
berkembangan sistem pangan berdasarkan kearifan lokal, sistem pertanian
alternatif, dan pengalaman sistem pangan lokal.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya telah diketahui bahwa masa depan
pertanian bergantung pada konservasi lingkungan. Hal tersebut senada
dengan pernyataan dari (Warren 2008:63) bahwa masa depan pertanian
bergantung pada konservasi lingkungan dan begitu juga sebaliknya, maka
diperlukan adanya pendekatan pertanian yang berkelanjutan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa dalam pertanian modern, agroekologi pertanian
sangat bergantung dan memiliki hubungan dengan Sustainable Agriculture
atau pertanian berkelanjutan. Pentingnya hubungan antara Agroekologi dan
pertanian berkelanjutan (Sustainable Agriculture) juga diungkapkan oleh
Warren (2008:16) bahwa pertanian modern yang bersifat monokultur dan
berkeanekaragaman hayati rendah membutuhkan pendekatan rasional
mengenai konservasi yang harus beretika dan berorientasi jangka panjang,
ketimbang berorientasi pada kebutuhan sesaat.
Menurut FAO (1989) dalam Sutanto (2001) pertanian berkelanjutan
merupakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dan orientasi
perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilakukan sedemikian rupa
sehingga menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara
berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang dimana diharapkan
dari pembangunan sektor pertanian, perikanan dan peternakan mampu
mengkonservasi tanah, air, tanaman, sumber genetik hewan, tidak merusak
lingkungan dan secara sosial dapat diterima.
Menurut Reijntjes, etal. (1992) dalam Pujianto (2001) Pertanian
berkelanjutan mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Mantap secara ekologi, yang berarti kualitas sumber daya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan,
dari manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah
10
ditingkatkan. Kedua hal ini akan dipenuhi jika tanah dikelola dan
kesehatan tanaman maupun masyarakat dipertahankan melalui
proses biologis (regulasi sendiri). Sumber daya lokal dipergunakan
sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa, dan
energi bisa ditekan serendah mungkin dan mampu mencegah
pencemaran
2. Bisa berlanjut secara ekonomi, yang berarti petani dapat
menghasilkan segala sesuatu untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau
pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang
mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang
dikeluarkan. Keberlanjutan secara ekonomi bukan hanya diukur
dalam hal produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal
fungsi melestarikan sumber daya alam.
3. Adil, yang berarti sumber daya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota
masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan
maupun modal yang memadai, bantuan teknis dan peluang
pemasaran terjamin.
4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman,
hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua mahaluk
hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai
kemanusian yang bersifat mendasar seperti kepercayaan, kejujuran,
harga diri, kerja sama dan rasa sayang dipelihara dan dijaga.
5. Luwes, yang berarti masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus,
misalnya pertambahan penduduk, kebijakan pemerintah,
permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya
pengembangan teknologi yang baru dan sesuai, namun inovasi
dalam arti sosial budaya.
11
12
IV. PEMBAHASAN
3.1 Air
Air merupakan salah satu sumber da ya alam yang sangat esensial
bagisistem produksi pertanian. Air bagi pertanian tidak hanya berkaitan
dengan aspek produksi, melainkan juga sangat menentukan potensi
perluasan areal tanam (eksten sifikasi), luas area tanam, intensitas
pertanaman (IP), serta kualitas(Kurnia, 2004).
13
Jumlah daun pada umur pengamatan 21, 35, 49, 63 dan 77 hst
tidak terdapat perbedaan pada pertumbuhan jumlah daun di semua
perlakuan. Tinggi tanaman tembakau pada umur pengamatan 21, 35,
49, 63 dan 77 hst tidak terjadi perbedaan tinggi tanaman pada semua
perlakuan
2. Luas Daun
3. Bobot Kering
14
4. Laju Pertumbuhan Relatif
15
terjadi antara umur 21-35 hst, hal ini disebabkan karena tanaman
tembakau yang berumur 20-50 hst sedang dalam fase pertumbuhan
cepat (Gardner, 1991), di mana pada fase tersebut organ – organ
tanaman telah lengkap dan berfungsi dengan sempurna, sehingga
tanaman mampu menyerap unsur hara dalam jumlah yang banyak
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Haryati (2003) menyatakan
bahwa jika cekaman air terjadi pada pertumbuhan vegetatif yang
cepat, pengaruhnya akan lebih terlihat dan dapat merugikan tanaman
dibandingkan dengan jika cekaman air terjadi pada fase pertumbuhan
lainnya. Air Sebagai penyusun protoplasma, lebih banyak berperan
untuk menjaga turgor sel agar sel dapat berfungsi secara normal. Bila
sel kekurangan air untuk waktu cukup lama, isi sel akan terlepas dari
dindingnya yang mengakibatkan rusaknya sel dan akhirnya tanaman
mati (Sugito, 1999).
Variabel pengamatan jumlah daun dan tinggi tanaman pada umur
pengamatan 21 hst – 77 hst, pada perlakuan P1, P2, P3, P4 dan P5
tidak terjadi perbedaan hasil jumlah daun hal ini sebagai akibat dari
cukupnya tingkat ketersediaan air bagi tanaman. Bagi tanaman, air
berfungsi sebagai pelarut yaitu untuk melarutkan unsur-unsur hara
yang diberikan maupun yang tersedia di dalam tanah, selanjutnya
digunakan untuk proses fotosintesis. Jumlah daun yang dihasilkan
tidak disertai dengan meningkatnya luas daun (Tabel 1), hal ini di
duga sebagai akibat dari fokus pertumbuhan tanaman yang mengarah
ke jumlah daun (Tabel 1) sehingga dengan jumlah daun yang banyak
memungkinkan terjadinya naungan. Naungan ini berpengaruh pada
jumlah sinar matahari yang diterima oleh permukaan daun sebagai
organ fotosintesis,
16
Tabel. 1 Rerata pertumbuhan tanaman tembakau akibat perlakuan
peningkatan dan pengurangan jumlah pemberian air
17
P4 49,86 c 6662,54 c 315,50 c 83,04 d
P5 32,8 a 3981,05 bc 177,51 a 43,54 bc
BNT 5% 0,73 144,33 25,58 17,03
Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang sama dalam satu kolom dan baris
menunjukkan tidaK berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%,
n = 5, tn = tidak nyata, hst = hari setelah tanam.
3.2 Naungan
Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kualitas bibit
adalah faktor intensitas cahaya. Pada umumnya setiap jenis tanaman
memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap cahaya yang diterimanya.
Kurniaty (2010) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang terlalu rendah
akan menghasilkan produk fotosintesis yang tidak maksimal, sedangkan
intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap aktivitas
sel- sel stomata daun dalam mengurangi transpirasi sehingga
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu
intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman
dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit yang memiliki kualitas yang
baik. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian
naungan sehingga dapat melindungi bibit dari cahaya matahari
Berdasarkan analisis ragam (Tabel 3) dapat diketahui bahwa
penggunaan naungan memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi, diameter, dan indeks mutu bibit, tetapi tidak berpengaruh nyata
terhadap persen hidupnya.
Selanjutnya dari uji Duncan (Tabel 4), naungan dengan kerapatan 50 %
menghasilkan pertumbuhan tinggi (21,90 cm) dan diameter (2,85 mm)
terbaik dibandingkan naungan lainnya. Nilai indeks mutu
Tabel. 3 Analisis varian tinggi, diameter, indeks mutu bibit dan
persen hidup M. Tsiampca
18
Keterangan:
1. Tinggi Tanaman
19
ukuran daun, serta batang tanaman.
Intensitas cahaya yang terlalu rendah (IC<10.000 lux) dan terlalu
tinggi (IC>30.000 lux) menghasilkan respon pertumbuhan tinggi yang
tidak optimal bagi bibit cempaka wasian. Cahaya merupakan elemen
terpenting yang dibutuhkan tanaman dalam proses fotosintesis.
Irwanto (2006) menyatakan bahwa semai yang berada di bawah
naungan hidupnya akan tertekan” karena tidak mendapatkan sinar
matahari yang cukup. Begitupun sebaliknya cahaya yang terlalu
berlebihan juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi
tanaman, karena pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu lagi
menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya yang tersedia
meningkat. Guslim (2007) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa
pada tanaman tahan naungan akan mengalami penurunan kecepatan
fotosintesis pada intensitas cahaya yang tinggi dikarenakan
menutupnya mulut daun. Kramer dan Kozlowski (1979) juga
menyatakan bahwa intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan
melemahkan kegiatan proses fotosintesis dan sementara itu laju
respirasi meningkat. Intensitas cahaya yang tinggi kurang mendukung
proses fotosintesis pada tanaman sehingga pertumbuhan tinggi
tanaman menjadi rendah. Cahaya yang berlebihan dapat
mengakibatkan terjadinya proses foto-oksidasi klorofil dan
mengakibatkan kerusakan pada klorofil, sementara itu klorofil yang
tersisa tidak mampu meyerap semua energi yang tersedia sehingga
kegiatan fotosintesis menjadi semakin lemah (Kinho, 2013).
2. Diameter Batang
20
matahari yang diterima dan respirasi. Total luas daun aktif dalam
tanaman yang dapat melakukan fotosintesis akan berpengaruh
terhadap produk fotosintesis yang akan dihasilkan. Kondisi
pertumbuhan daun cempaka wasian pada perlakuan dengan kerapatan
naungan 50 % cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Pada perlakuan ini, daun yang dihasilkan memiliki
kecenderungan panjang dan lebar yang lebih besar. Rata-rata panjang
dan lebar daun bibit cempaka wasian pada perlakuan dengan
kerapatan naungan 50 % adalah 6,34 cm dan 2,96 cm, sedangkan
pada perlakuan dengan kerapatan naungan 25 % memiliki panjang dan
lebar daun sebesar 5,44 cm dan 2,12 cm. Marjenah (2001)
mengemukakan bahwa jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat
ternaung daripada di tempat terbuka. Pada tempat terbuka daun
mempunyai kandungan klorofil lebih rendah dari pada tempat
ternaung. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun.
Daun memiliki permukaan yang lebih besar di bawah naungan
daripada di tempat terbuka.
Secara umum, respon adaptif tanaman terhadap intensitas cahaya
yang optimal adalah dengan peningkatan rasio luas daun, kandungan
klorofil, bobot daun terhadap batang, dan panjang batang. Dengan
kata lain, respon tersebut adalah meliputi penurunan ketebalan daun,
rasio klorofil-a dengan klorofil-b, dan rasio pertumbuhan relatif akar
terhadap tajuk (Fujita et al., 1993 ). Sebaliknya daun-daun pada
tanaman terbuka (tidak ternaungi) umumnya lebih kecil, lebih tebal,
dan menyerupai kulit dibandingkan dengan tanaman yang ternaungi
(Daniel et al., 1992). Akibat dari adaptasi tersebut adalah bibit akan
mengalami pertumbuhan yang lebih maksimal pada organ batangnya
dibandingkan organ lainnya. Hal ini juga terjadi pada bibit cempaka
wasian yang dicobakan. Pada perlakuan dengan kerapatan naungan 25
% diketahui menghasilkan pertumbuhan diameter yang lebih baik jika
dibandingkan dengan perlakuan kerapatan dengan naungan 75 %
meskipun memiliki pertumbuhan tinggi yang paling kecil jika
21
dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Marjenah (2001) yang mengemukakan bahwa pada intensitas cahaya
yang cukup tanaman cenderung memacu pertumbuhan diameternya
sehingga tanaman yang tumbuh pada tempat terbuka mempunyai
tendensi untuk menjadi pendek dan kekar.
Pertumbuhan diameter bibit cempaka wasian terendah dalam
penelitian ini dihasilkan oleh perlakuan dengan kerapatan tertinggi
(75 %). Sama halnya dengan cahaya yang berlebihan, kurangnya
cahaya yang diterima oleh tanaman juga sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan organ yang dimilikinya. Daniel et al. (1992)
menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman
dikarenakan produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari
yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses
pembentukan sel meristematik ke arah diameter batang.
3. Indeks Mutu Bibit (IMB)
22
signifikan. Berdasarkan nilai rata-rata berat kering akar diketahui
bahwa berat kering akar terendah ditunjukkan oleh perlakuan
dengan kerapatan naungan 75 % (0,12 gr), sedangkan berat kering
akar untuk perlakuan naungan 25 % dan 50 % secara berurutan
adalah 0,33 gr dan 0,34 gr. Berdasarkan hasil ini dapat diketahui
bahwa selain mengalami pertumbuhan yang lebih cenderung pada
organ batang, bibit cempaka wasian pada perlakuan dengan
kerapatan naungan rendah (25 %) juga mengalihkan
pertumbuhannya pada organ akar.
Perlakuan dengan kerapatan naungan 25 % merupakan
perlakuan yang menghasilkan nilai IMB tertinggi, namun secara
statistik nilainya tidak berbeda (sama) dengan perlakuan dengan
tingkat kerapatan naungan 50 %. Secara umum besar kecilnya niali
IMB dipengaruhi oleh besaran cahaya yang diterima oleh tanaman.
Lebih lanjut Wardiana dan Herman (2009) juga menyatakan bahwa
fotosintat yang dihasilkan dari proses fotosintesis sebagian
disimpan dalam jaringan tanaman dan sebagian lagi digunakan
sebagai energi kimia untuk menyokong pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Jumlah simpanan fotosintat ini salah satu
indikatornya adalah dicerminkan dalam bentuk bobot kering dan
bobot basah tanaman.
3.3 Gulma
Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh pada areal yang tidak
dikehendaki yakni tumbuh pada areal pertanaman. Gulma secara langsung
maupun tidak langsung merugikan tanaman budidaya. Gulma dapat
merugikan tanaman budidaya karena bersaing dalam mendapatkan unsur
hara, cahaya matahari, dan air. Pengenalan suatu jenis gulma dapat
dilakukan dengan melihat keadaan morfologi, habitat, dan bentuk
pertumbuhanya (Gupta, 1984).
23
dengan tanaman budidaya. Karena gulma mempunyai sifat mudah
beradaptasi dengan tempat lingkungan tumbuhnya maka gulma memiliki
beberapa sifat diantaranya: (1) mampu berkecambah dan tumbuh pada
kondisi zat hara dan air yang sedikit, biji tidak mati dan mengalami dorman
apabila lingkungan kurang baik untuk pertumbuhannya, (2) tumbuh dengan
cepat dan mempunyai pelipat gandaan yang relatif singkat apabila kondisi
menguntungkan, (3) dapat mengurangi hasil tanaman budidaya dalam
populasi sedikit, (4) mampu berbunga dan berbiji banyak, (5) mampu
tumbuh dan berkembang dengan cepat, terutama yang berkembang biak
secara vegetatif (Mercado, 1979). 7 Tanaman pokok yang lebih dominan
dari pada gulma dan tingkat kepadatan gulma yang rendah, tidak terlalu
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Jika gulma mempunyai
tingkat kerapatan yang tinggi, akan menyebabkan terjadinya kompetisi
antara tanaman pokok dan gulma, sehingga dapat menurunkan kuantitas
hasil pertanian. Penurunan tersebut akibat dari persaingan antara gulma dan
tanaman pokok untuk mendapatkan sinar matahari, air tanah, unsur hara,
ruang tumbuh, dan udara (Sukman, 2003).
24
Ekstrak krinyu 2% 0b 1,5c 34,5d 154d 191,5bc
Ekstrak krinyu 3% 0b 0c 32d 148d 178c
25
seluruh gulma (1.183 gulma), sedangkan populasi gulma terendah terdapat
pada Ageratum conyzoides dengan nilai 7,6% dari total seluruh gulma.
Spesies dan populasi gulma di areal pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.
Perlakuan
Jenis Gulma
Kontrol Glifosat EK EK EK Total
1% 2% 3%
Axonopus compressus 213 37 125 99 179 653
Boreria latifolia 38 56 6 31 - 131
Ageratum conyzoides 5 18 33 32 2 90
Mimosa pudica 124 112 37 31 5 309
Total 380 223 201 193 186 1.183
26
Gulma Ageratum conyzoides tumbuh sebanyak 0,56%, sedangkan gulma
rumput Eleusine indica sebesar 7,81%.
3.4 Pemupukan
PEUBAH PERLAKUAN
T0 T1 T2 T3
27
Tinggi Tanaman(cm) 180,84 180,14 185,74 187,86
Panjang Tongkol(cm) 13,15a 14,03a 14,14a 15,76b
Lingkar Tongkol(cm) 14,10a 14,06a 14,44ab 15,62b
Bobot pipilan
Kering Jemur (kg.petak-`1 1.288,32a 1.134,72a 1.943,41b 2.372,37c
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata.
Perlakuan
Unsur hara makro
T0 T1 T2 T3
N (%) 0,0353 0,0350 0,0415 0,0438
P (ppm) 5,74 6,33 7,27 8,83
28
K (ppm) 2,46 3,25 3,38 3,644
Sumber : Hasil Analisa Tanah di Laboratorium FAPERTA UNSRAT,
Manado (2009).
Jelas terlihat adanya perbedaan antara unsur hara tanah sebelum dan
sesudah penanaman jagung. Unsur hara N pada perlakuan menggunakan
pupuk kompos, sedangkan terendah pada perlakuan menggunakan pupuk
inorganik. Sidik ragam menunjukkan tidak adanya perbedaan kandungan
unsur hara N antara tanah yang di pupuk dibanding dengan tanpa
pemupukan. Kandungan unsur hara tanah setelah selesai panen lebih rendah
dibanding pada awal penanaman. Hal ini terlihat jelas bahwa tanaman
jagung memanfaatkan N tanah untuk pertumbuhan maupun produksinya.
Panjang Tongkol
Lingkar Tongkol
29
(Lampiran 3a) menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh
yang berbeda nyata (P > 0,05) terhadap lingkar tongkol. Dari hasil Uji
Beda Nyata Jujur perlakuan T3 berbeda nyata dengan perlakuan T0
dan T1.
30
pipilan kering yang berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
semua perlakuan antara T0, T1 dan T2.
3.5 Pestisida
Petani selama ini sangat tergantung pada penggunaan pestisida kimia
untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Selain harganya yang
mahal, pestisida kimia juga banyak memiliki dampak buruk bagi lingkungan
dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia
antara lain adalah hama menjadi kebal (resistensi), peledakan hama baru
(resurjensi), penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen,
terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia
dan kecelakaan bagi pengguna (Gapoktan, 2009).
31
Pestisida nabati mencangkup bahan nabati (ekstrasi penyulingan) yang
dapat berfungsi sebagai zat pembunuh, zat penolak zat pengikat, dan zat
penghambat pertumbuhan organisme pengganggu tanaman. Menurut
Kardinan (2010), di dalam tumbuhan ada zat metabolit sekunder yang
berfungsi untuk melindungi diri dari pesaingnya. Zat inilah yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati. Zat ini mempunyai
karakterisitik rasa pahit (mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk
dan berasa agak pedas sehingga tumbuhan ini tidak diserang oleh hama
(Hasyim, 2010).
8,00 7,25
Rata-rata Populasi Hama Tanaman Cabai Merah Pada Umur 14 hst
7,00
5,75
5,50
6,00 5,25
5,00
4,00
4,00 3,25
3,25
3,00 2,75
Aphids
2,00
Kutu
1,00
Kebul
0,00
A = Kontrol B= Bawang C = Mimba D= Sirsak
putih
Pestisida nabati
32
kebul yaitu 5.25 hama. Sedangkan jumlah populasi hama yang terendah
pada perlakuan ekstrak mimba 100 ml (C) yaitu 3.25 hama aphids dan
kutu kebul yaitu 2.75 hama pada tanaman cabai merah.
Hasil pengamatan jumlah populasi hama aphids dan kutu kebul pada
tanaman cabai merah pada umur 56 hst disajikan pada gambar 2. Sidik
ragam menunjukkan bahwa perlakuan pestisida nabati berpengaruh tidak
nyata terhadap jumlah populasi hama tanaman cabai merah.
33
Gambar. 2 Populasi Hama Yang Menyerang Tanaman Cabai Merah
Pada Umur 56 hst.
Rata-rata Populasi Hama Tanaman Cabai Merah pada Umur 56 hst
9,00 8,25
8,00 7,00
7,00
6,00 5,75
6,00 5,50 5,25
5,00
4,00 3,00
2,50
3,00
2,00
1,00 Aphids
Kutu
0,00
Pestisida nabati Kebul
A= Kontrol B = Bawang C = Mimba D= Sirsak
Putih
34
Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah populasi hama yang
terbanyak pada perlakuan kontrol (A) yaitu 8.25 hama aphids dan Kutu
Kebul yaitu 6.99 hama. Sedangkan jumlah populasi hama yang terendah
pada perlakuan ekstrak mimba 100 ml (C) yaitu 3.00 hama aphids dan kutu
kebul yaitu 2.50 hama pada tanaman cabai merah.
36
yang disukainya. Sedang pestisida dari bawang putih memiliki kandungan
kimia terdiri dari : Tanin < 1% minyak atsiri, dialilsulfida, aliin, alisin,
enzim alinase, vitamin A, B, C. Bawang putih dapat berfungsi sebagai
baktersida (bagian umbi), insektiisida (daun dan umbi) dan fungisida (daun
dan umbi) (Sudarmo, 2005).
Pengendalian hama dengan menggunakan ekstrak tanaman sebagai
insektisida nabati mempunyai beberapa keunggulan antara lain : (1)
Mudah terurai sehingga kadar residu relatif kecil, peluang untuk
membunuh serangga bukan sasaran rendah dan dapat digunakan beberapa
saat menjelang panen. (2) Cara kerja spesifik, sehingga aman terhadap
vertebrata (manusia dan ternak). (3) Tidak mudah menimbulkan resistensi,
karena jumlah senyawa aktif lebih dari satu. Dengan keunggulan di atas,
maka akan dihasilkan produk pertanian dengan kualitas yang baik, dan
kelestarian ekosistem tetap terpelihara (Setiawati dkk, 2008).
37
V. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut:
4.2 Saran
Sebaiknya praktikan lebih teliti lagi dalam melaksanakan praktikum
agar hasil yang didapat maksimal
38
DAFTAR PUSTAKA
Conway, G,R. 1987. Rapid Rural Appraisal and Agroecosystem Analysis.. A Case
Study from Northen Pakistan. Proceding of the 1985 International
Conference on RRA. Rural System Res and Farming System Res
Project. Khon Kaen, Thailand.
39
Kurniawan, B. A., Fajriani, S., & Ariffin, A. (2014). Pengaruh Jumlah Pemberian
Air Terhadap Respon Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Tembakau
(Nicotiana Tabaccum L. Jurnal Produksi Tanaman, 2(1).
Lichtfouse, E., M. Hamelin, M. Navarrete, and P. Debaeke. 2011. Sustainable
Agriculture. France : Spring.
Sari, V. I., Hafif, R. A., & Soesatrijo, J. (2017). Ekstrak gulma kirinyuh
(Chromolaena odorata) sebagai bioherbisida pra tumbuh untuk
pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawit. Jurnal Citra Widya
Edukasi, 9(1), 71-79.
Soemarwoto, I. (1983). Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bagian II. Sekolah Pasca
Sarjana. Jurusan pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
IPB.
Warren John, Lawson Clare, dan Ken Belcher. 2008. The Agri-Environment. New
York : Cambridge University Press
40
LAMPIRAN
1.
jurnal air.pdf
2.
jurnal naungan.pdf
3.
jurnal gulma.pdf
4.
jurnal
pemupukan.pdf
5.
jurnal pestisida.pdf
41