Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM AGROEKOLOGI

ASISTEN :
1. EVA NURJANAH
2.QURRATA A’YUN

DISUSUN OLEH :
NAMA : GHALLUH NURUL MALIKA
KELAS : AGROTEKNOLOGI-C
NIM : 1906156069
MATA KULIAH : PRAKTIKUM AGROEKOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020/2021

1
20 April 2020

LEMBAR PENGESAHAN

GHALLUH NURUL MALIKA

1906156069

ASISTEN :

ASISTEN 1 ASISTEN 2

( QURRATA A’YUN ) ( EVA NURJANAH)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
kesehatan dan keselamatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan akhir Praktikum Agroekologi

Penulis mengucapkan terima kasih kepada asisten dosen mata kuliah


agroekologi yang telah memberi banyak bimbingan, petunjuk dan motivasi
sampai selesainya laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna.
untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar menjadi
lebih baik. Akhir kata penulis mengharapkan laporan ini akan berguna untuk
penulis sendiri khususnya dan bagi kita semua pada umumnya serta berguna
untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Pekanbaru, 20 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Agroekologi...............................................................................................3
2.2 Konsep Agroekologi..................................................................................6
2.3 Manfaat Agroekologi................................................................................8
2.4 Hubungan Agroekologi Dengan Pertanian Berkelanjutan........................9
III. PEMBAHASAN........................................................................................12
3.1 Air............................................................................................................12
3.2 Naungan..................................................................................................17
3.3 Gulma......................................................................................................23
3.4 Pemupukan..............................................................................................26
3.5 Pestisida...................................................................................................30
IV. PENUTUP..................................................................................................37
4.1 Kesimpulan..............................................................................................37
4.2 Saran........................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
LAMPIRAN..........................................................................................................40

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar. 1 Populasi Hama Yang Menyerah Tanaman Cabai Merah pada Umur 14 hst...36
Gambar. 2 Populasi Hama Yang Menyerang Tanaman Cabai Merah Pada Umur 56 hst..
.........................................................................................................................................37

iii
DAFTAR TABEL
Tabel. 1 Rerata pertumbuhan tanaman tembakau akibat perlakuan peningkatan dan
pengurangan jumlah pemberian air..................................................................................20
Tabel. 2 Rerata pertumbuhan tanaman tembakau akibat perlakuan peningkatan dan
pengurangan jumlah pemberian air..................................................................................21
Tabel. 3 Analisis varian tinggi, diameter, indeks mutu bibit dan persen hidup M.
Tsiampca..........................................................................................................................22
Tabel. 4 Uji Duncan tinggi, diameter, indeks mutu bibit dan persen hidup M. Tsiampaca
.........................................................................................................................................22
Tabel. 5 Rataan Daya Tumbuh Gulma Setelah Aplikasi Bioherbisida Ekstrak Kirinyuh. 28
Tabel. 6 Spesies dan Populasi Gulma pada Setiap Perlakuan Ekstrak..............................29
Tabel. 7 Rataan Tinggi Tanaman, Panjang dan Lingkar Tongkol Serta Bobot Pipilan
Kering Jemur Jagung pada Setiap Perlakuan....................................................................31
Tabel. 8 Rataan Unsur Hara Tanah sesudah Panen..........................................................32

iv
I.

v
II. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agroekologi adalah keseluruhan pengetahuan yang berkaitan dengan


hubungan total antara organisme dengan lingkungannya yang bersifat
organik maupun anorganik. Agroekologi lebih mementingkan faktor
lingkungan dan budidaya lingkungan. Karena itu, pertanian berpola
agroekologi secara keseluruhan melibatkan banyak faktor, terutama
manusia, hewan (hewan besar dan bahkan jasad renik), lahan (ketinggian,
tanah, air, dan tanaman), dan iklim (sinar matahari, suhu, kelembaban,
angin, dan curah hujan). Agroekologi merupakan gabungan tiga kata,
yaitu agro (=pertanian), eko atau eco (=lingkungan),dan logi atau logos (=il
mu). Secara sederhana, agroekologi dimaknai sebagai “ilmu lingkungan
pertanian”.
Agroekologi hadir sebagai pendekatan baru dalam sejarah pertanian
(terutama sebagai ilmu/sains). Agroekologi merupakan gabungan tiga kata,
yaitu agro (pertanian), eko/eco (lingkungan), dan logos (ilmu). Secara
sederhana, agroekologi dimaknai sebagai ilmu lingkungan pertanian
(Bargumono, Ekologi Pertanian, Yogyakarta: Leutikaprio, 2012: 2). Atau
jika merujuk kepada Altieri (1983), agroekologi dapat didefinisikan sebagai
penerapan kaidah-kaidah ekologi ke dalam ranah pertanian.
Agroekologi lebih menekankan pentingnya memperhatikan faktor
lingkungan dalam budidaya pertanian. Pertanian bukan sekedar interaksi
antara petani dengan tanamannya. Konsep agroekologi mengenal model
pengelolaan berdasar kondisi agroekologi yang bersifat spisifik. Masing-
masing lokasi dapat berbeda kondisi agroekologinya, sehingga memerlukan
manajemen/pengelolaan yang berbeda pula. Konsep pengelompokan
agroekologi ini sering disebut sebagai Zone Agroekologi (Agroecological
Zone).
Agroekologi mengembangkan agroekosistem dengan tingkat
ketergantungan minimal atas input eksternal, sehingga mengoptimalkan
interaksi dan sinergi antara komponen biologi. Hal ini akan menyediakan

1
mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktivitas dan perlindungan
tanaman. Agroekologi menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil.
Sistem agroekologi ini sudah sesuai dan sejalan dengan kriteria
pengembangan teknologi bagi petani kecil. Kriteria tersebut adalah
berbasikan pengetahuan lokal dan rasional; layak secara ekonomi dan dapat
diakses dengan menggunakan sumber-sumber lokal; sensitif pada
lingkungan, nilai sosial dan kebudayaan; mengurangi resiko dan bisa
diadaptasi oleh petani; serta meningkatkan secara keseluruhan produktivitas
dan stabilitas pertanian.

1.2 Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, maka adapun tujuan yang ingin dicapai
adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan agroekologi


2. Untuk mengetahui konsep dan manfaat dari agroekologi itu
sendiri
3. Untuk mengetahui hubungan agroekologi dengan pertanian
berkelanjutan
4. Untuk mengetahui, menganalisis dan memahami perlakuan air,
naungan, pengendalian gulma, pemupukan dan pestisida terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman

2
III. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroekologi

Agroekologi merupakan ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip ekologi


untuk pertanian. Dalam penjabarannya, ekologi merupakan ilmu yang
mempelajari makhluk hidup dirumah atau habitatnya. Penjelasan lain
tentang ekologi menurut pendapat Warren et al. (2008:3) adalah sebagai
berikut : “Ecologi as a science is about understanding why species occur
where they do and why they are absent from other area”. Penjelasan dari
Warren tersebut dapat diartikan bahwa ekologi sebagai ilmu adalah
mengenai pemahaman tentang alasan mengapa suatu spesies berada di
wilayah tertentu. Sedangkan definisi pertanian menurut Warren et
al. (2008:2) sebuah proses domestifikasi yang merubah habitat alami dari
spesies tanaman atau hewan tertentu, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
kebutuhan makanan manusia. Proses domestifikasi tersebut dapat berupa
modifikasi ataupun seleksi

Agroekologi adalah bagian dari pertanian berkelanjutan yang


menggambarkan hubungan alam, ilmu sosial, ekologi, masyarakat,
ekonomi, dan 10 lingkungan yang sehat. Agroekologi diterapkan
berdasarkan pada pengetahuan lokal dan pengalaman dalam pemenuhan
kebutuhan pangan lokal. Agroekologi sebagai pertanian berkelanjutan
mempunyai empat konsep sebagai kunci keberlangsungan pertanian yaitu
produktivitas, ketahanan, keberlanjutan, dan keadilan (PANNA, 2009).
Selain itu, Jiwo (2009) mendefinisikan agroekologi sebagai ilmu yang
mempelajari hubungan biotik dan abiotik di bidang pertanian, dan secara
sederhana dimaknai sebagai ilmu lingkungan pertanian.

Agro sama dengan agri berarti pertanian sedangkan ekosistem adalah


suatu sistem ekologi yang terbentuk akibat peristiwa hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto,1983).

3
Sistem-sistem ekologi yang dimodifikasi sedimikian rupa oleh manusia
yang tujuan akhirnya diharapkan akan menghasilkan kebutuhan pangan,
serat atau produk pertanian lainnya yang diinginkan (Conway 1987).

Hubungan timbal balik dapat terjadi apabila terdapat rantai makanan


dan jaring makanan menghasilkan proses perpindahan aliran energi dan
siklus materi.

Dengan kata lain, Agroekologi merupakan ilmu yang mengaplikasikan


konsep – konsep dan prinsip – prinsip ekologi dalam mengatur dan
mengelola suatu agroekosistem yang berkelanjutan.

Agroekologi lebih menekankan pentingnya memperhatikan faktor


lingkungan dalam budidaya pertanian. Pertanian bukan hanya sekedar
interaksi antara petani dengan tanamannya. Aktifitas pertanian secara
kompleks melibatkan banyak faktor, terutama manusia, hewan, lahan, dan
iklim. Agroekologi juga memperhatikan tentang keterkaitan ekologi,
budaya, ekonomi, dan komunitas untuk keberlanjutan produksi pertanian,
kesehatan lingkungan, dan kelestarian pangan dan masyarakat. Agar
terwujudnya keterkaitan tersebut diperlukan adanya pendekatan
agroekologi. Pendekatan agroekologi yang mengapresiasi sistem pangan
sebagai integrasi dari elemen ekologi, ekonomi, dan sosial digunakan
dengan mengacu pada batasan ketahanan pangan yang mencakup unsur
ketersediaan, aksesibilitas, dan kontinuitas. Agroekologi menerapkan
pendekatan menyeluruh terhadap pengembangan sistem pertanian dan
produksi pangan yang didasarkan pada pengetahuan tradisional, pengalaman
lokal, dan metode bertani yang diperkaya dengan pengetahuan ilmiah
modern (Carolina dan Elok., 2016).

Agroekologi sebagai suatu disiplin ilmu mengalami perkembangan


secara bertahap dimana agroekologi didefinisikan sebagai suatu gerakan dan
praktik yang dimulai pada awal tahun 1980. Sejarah agroekologi sebagai
suatu disiplin ilmu sejak tahun 1970 dinyatakan oleh Hecht (1995), Francis
et al (2003), dan Gliessman (2007) yang menyatakan bahwa pada tahun

4
1960 dan 1970 telah melalui berbagai peningkatan untuk menerapkan
ekologi pertanian yang dilakukan secara bertahap. Seperti misalnya praktik
dalam revolusi hijau yang dilakukan peningkatan intensifikasi. Berbagai
penelitian terhadap sistem pertanian tradisional yang dilakukan di Negara
berkembang tropis dan subtropis juga memberikan pengaruh selama periode
tersebut, seperti misalnya penerapan pertanian organik sebagai bentuk
alternatif dalam kaitannya dengan agroekologi. Selama periode tersebut
terjadi peningkatan minat dari sudut pandang ekologi pertanian. Seorang
ahli ekologi Odum (1969) menyatakan sebuah konsep kunci agorekosistem
yang dianggap sebagai suatu ekosistem peliharaan. Agroekologi telah
menjadi sebuah kerangka konseptual sejak tahun 1980 yang didefinisikan
sebagai suatu metode guna melindungi sumberdaya alam untuk merancang
dan mengelola agroekosistem yang berkelanjutan. Konsep tersebut
mengalami perkembangan pada tahun 1987, dimana Conway menyatakan
empat sifat utama agroekosistem yaitu produktivitas, stabilitas,
keberlanjutan, dan keadilan.

Dalam perkembangannya sebagai suatu disiplin ilmu agroekologi


mengalami perubahan yaitu bergerak diluar bidang menuju fokus pada
sistem seluruh pangan atau sebagai jaringan global produksi pangan,
distribusi, serta konsumsi. Umumnya gerakan lingkungan setelah revolusi
hijau pada tahun 1960an dinyatakan sebagai konsekuensi dari dampak
industri pertanian. Selama tahun 1960-1980 istilah agroekologi tidak
dinyatakan secara eksplisit yang menggambarkan gerakan. Selanjutnya pada
tahun 1990 istilah tersebut mulai digunakan untuk menyatakan cara baru
untuk mempertimbangkan pertanian serta hubunngannya dengan
masyarakat. Pada periode yang hampir sama barulah diakui serangkaian
praktik pertanian yang bertujuan untuk mengembangkan pertanian
berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan. Agroekologi sebagai praktik
didasarkan pada tahun 1980 di Amerika latin sebagai dasar kerangka
pembangunan pertanian yang digunakan untuk membantu petani lokal
dalam meningkatkan praktik pertanian adat sebagai alternatif input tinggi
dan penggunaan bahan kimia secara intensif (Lichtfouse et al, 2011).

5
Pada periode ini, agroekologi mengalami perkembangan dari yang
semula berupa disiplin ilmu menjadi suatu gerakan dan praktik. Program
pemerintah yang mulai bermunculan untuk mengembangkan pertanian dan
perkonomian Indonesia adalah seperti REPELITA dan revolusi hijau yang
menjadi jalan penyebarluasan agroekologi kepada masyarakat umum.
Penerapan agroekologi sebagai praktik mengalami peningkatan dari revolusi
hijau, lalu muncul istilah pertanian tradisional, pertanian organik, dan
pertanian berkelanjutan yang memiliki definisi serta kriteria masing-masing.
Perbedaan kriteria pada masing-masing jenis program pertanian
menimbulkan berbagai tantangan yang membuat agroekologi sulit
diterapkan. Intensifikasi besar-besaran pada revolusi hijau dan pertanian
tradisional seperti penggunaan pupuk dan pestisida kimia menimbulkan
beberapa dampak negatif terhadap makhluk hidup maupun lingkungannya.
Eutrosifikasi akibat penumpukan pupuk anorganik dapat membunuh biota
danau, sungai, dan rawa. Penggunaan pestisida kimia berlebihan dapat
menurunkan kualitas dan kuantitas tanaman, peledakan hama penyakit, serta
keracunan pada manusia dan hewan ternak. Pestisida kimia dapat
membunuh hama sekaligus musuh alaminya, serta dapat merusak
pertumbuhan tanaman pokoknya (Jumin, 2002).

Pertanian organik dan pertanian berkelanjutan yang merupakan


implementasi agroekologi secara nyata juga belum dapat berjalan secara
maksimal. Beberapa desa yang telah menerapkan pertanian organik dari
masa ke masa memiliki beberapa masalah terhadap kesadaran pengunjung
dan penyuluhan. Desa Lombok Kulon, Bondowoso memperkenalkan
pertanian organik sebagai tempat pembelajaran dan wisata. Kurangnya
peran pemerintah dan pakar pertanian dalam memperkenalkan pertanian
organik membuat masyarakat enggan untuk mengadopsi. Perbedaan
persepsi diantara para ahli pertanian, pemerintah sebagai pembuat
kebijakan, LSM serta masyarakat tentang pertanian berkelanjutan menjadi
salah satu tantangan dalam penerapannya. Sebagian dari mereka
menganggap bahwa pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang
tradisional, keterbelakangan IPTEK, primitif dan sebagainya. Sebagian juga

6
beranggapan bahwa pertanian berkelanjutan kurang menguntungkan karena
meminimalisir penggunaan input buatan dan teknologi modern.

2.2 Konsep Agroekologi


Pada prinsipnya konsep agroekologi adalah upaya ekologis untuk
mempertemukan kondisi ekologis sumberdaya dengan kondisi ekologis
manusia guna mendapatkan manfaat optimal dalam jangka panjang.
Kegiatan yang digarap dalam kaitan ini antara lain adalah dalam pilar-pilar
berupa agroekosistem, agribisnis, agroindustry, agroforestry, hutan tanaman
industri (industrial forest plantation),silvofishery, ekosistem Daerah Aliran
Sungai dan ekosistem hutan. Dalam praktek di lapangan konsep agroekologi
adalah upaya mencari bentuk pengelolaan sumberdaya lahan permanen, baik
dalam satu komoditi maupun kombinasi antara komoditi pertanian dan
kehutanan dan atau peternakan/perikanan secara simultan atau secara
bergantian pada unit lahan yang sama dan bertujuan untuk mendapatkan
produktivitas optimal, lestari dan serbaguna, dan memperbaiki kondisi lahan
atau lingkungan. Dengan demikian konsep ini mencakup aspek struktur
ekosistem (structural attribute of ecosystem), yaitu jenis dan susunan
tanaman/komoditasnya; fungsi ekosistem (functional attribute of ecosystem)
yaitu produktivitas, kelestarian dan perbaikan lahan/lingkungan hidup; dan
yang tak kalah penting yaitu kelembagaan, tenaga kerja, teknik pengelolaan
dan sosial ekonomi. Kerangka ini akan semakin luas lagi jika diingat bahwa
pelaksana agroekologi adalah:

a. Petani
b. Perusahaan swasta
c. Badan usaha milik negara
d. Pemerintah/dinas terkait
Berdasarkan konsep ini, menjadi jelas bahwa agroekologi merupakan
bentukan sistem yang komplek yang semestinya tidak diselesaikan secara
parsial dengan beberapa komponen saja. Interaksi antar komponen menuntut
penalaran yang komprehensif, dengan mempertimbangkan seluruh
komponen secara simultan. Oleh karena itu pendekatan permasalahan ini

7
lebih kepada observational research daripada experimental research.
Pendekatan yang disebut pertama akan mempertimbangkan seluruh faktor
secara bersama sehingga dapat memberikan kesimpulan yang lebih akurat.
Sementara itu jika pendekatan yang disebut kedua yang digunakan
dikhawatirkan akan terlalu banyak asumsi terhadap variabel-variabel lain
sehingga kesimpulannya diragukan akurasinya. Untuk inilah terapan model-
model statistik yang melibatkan banyak variabel secara simultan diharapkan
dapat menyelesaikan masalah ini sebaik-baiknya.
Konsep utama dalam agroekologi adalah adaptabilitas (relung), yaitu
fungsi atau peran suatu organisme dalam ekosistem serta sumber daya
kehidupannya yang menentukan kesempatannya untuk bertahan hidup dan
pengaruh positif atau negatifnya terhadap komponen lain. Agroekosistem
dengan tingkat keanekaragaman tinggi cenderung lebih stabil dari pada yang
ditempati oleh hanya satu spesies (seperti dalam budidaya monokultur).
Suatu agroekosistem yang keanekaragamannya tinggi memberi jaminan
yang lebih tinggi bagi petani. Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai
dengan mengombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki ciri
saling melengkapi dan berinteraksi secara positif, maka bukan kestabilan
saja yang bisa diperbaiki, namun juga produktivitas pertanian dengan input
rendah.(Reijntjes et al. 1999)

2.3 Manfaat Agroekologi

Mengingat semua masalah model produksi pertanian industri saat ini,


agroekologi muncul sebagai model pertanian berkelanjutan, berdasarkan
pada pelestarian lingkungan dan keseimbangan sosial..

Agroekologi mempertimbangkan: diversifikasi pertanian dan lanskap


pertanian, substitusi input kimia untuk input biodegradable alami,
optimalisasi keanekaragaman hayati dan stimulasi interaksi antara berbagai
spesies ekosistem pertanian

Berbagai teknik agroekologi pertanian melibatkan desain sistem yang


disesuaikan dengan kondisi lokal, dengan penggunaan praktik dampak

8
lingkungan minimal, seperti pengomposan, vermiculture, pengelolaan hama
terpadu, dan rotasi tanaman.

Selain itu, agroekologi mencakup aspek sosial yang mendukung model


produksi pertanian.

Petani melakukan usahatani dengan tujuan mendapatkan keuntungan


dan manfaat (profit dan benefit) yang maksimum dalam proses produksi.
Usahatani adalah organisasi dari alam (lahan) dan merupakan upaya petani
dalam memanfaatkan seluruh sumberdaya (tanah, pupuk, tenaga kerja,
modal dan lainlain) yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian
yang sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang sebagai
pengelolanya (Firdaus, 2008).

Keuntungan dan manfaat agroekologi dapat dilihat dari hasil penelitian


terdahulu yang dilakukan oleh Alteiri (1991) yang menyatakan bahwa
agroekologi potensial dalam melawan kelaparan. Penelitian Alteiri
menyatakan analisis potensi ekonomi dari penerapan agroekologi dapat
dilakukan dengan pendekatan efisiensi penggunaan input bagi petani.
Penelitian Alteiri mengenai perbedaan penggunaan input dilakukan pada
pertanian industri dan agroekologi

2.4 Hubungan Agroekologi Dengan Pertanian Berkelanjutan


Kegiatan pertanian selalu berhubungan dengan faktor-faktor
agroekologi, yang meliputi komponen biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi dalam agroekosistem. Warren (2008:17) mengatakan bahwa
dalam banyak sistem pertanian yang dikelola manusia, Tanaman budidaya
yang di tanam akan berinteraksi dengan ekologi disekitarnya. Mekanisme
ekologi yang terjadi ditentukan oleh komposisi tanaman pertanian dan juga
ditentukan oleh faktor abiotik seperti kimia tanah, iklim, dan manajemen
atau pengolahan pertanian. Sehingga jelas terdapat keterkaitan antara
Agroekologi dengan pertanian berkelanjutan, terlebih lagi pada pertanian
modern. Hal tersebut dikarenakan prinsip prinsip Agroekologi berkaitan
erat dengan masalah pertanian.

9
Agroekologi membahas tentang “A whole-systems approach to
agriculture and food systems development based on traditional knowledge,
alternative agriculture, and local food system experiences, yang dapat
diartikan sebagai kesatuan sistem yang berhubungan dengan pertanian dan
berkembangan sistem pangan berdasarkan kearifan lokal, sistem pertanian
alternatif, dan pengalaman sistem pangan lokal.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya telah diketahui bahwa masa depan
pertanian bergantung pada konservasi lingkungan. Hal tersebut senada
dengan pernyataan dari (Warren 2008:63) bahwa masa depan pertanian
bergantung pada konservasi lingkungan dan begitu juga sebaliknya, maka
diperlukan adanya pendekatan pertanian yang berkelanjutan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa dalam pertanian modern, agroekologi pertanian
sangat bergantung dan memiliki hubungan dengan Sustainable Agriculture
atau pertanian berkelanjutan. Pentingnya hubungan antara Agroekologi dan
pertanian berkelanjutan (Sustainable Agriculture) juga diungkapkan oleh
Warren (2008:16) bahwa pertanian modern yang bersifat monokultur dan
berkeanekaragaman hayati rendah membutuhkan pendekatan rasional
mengenai konservasi yang harus beretika dan berorientasi jangka panjang,
ketimbang berorientasi pada kebutuhan sesaat.
Menurut FAO (1989) dalam Sutanto (2001) pertanian berkelanjutan
merupakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dan orientasi
perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilakukan sedemikian rupa
sehingga menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara
berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang dimana diharapkan
dari pembangunan sektor pertanian, perikanan dan peternakan mampu
mengkonservasi tanah, air, tanaman, sumber genetik hewan, tidak merusak
lingkungan dan secara sosial dapat diterima.
Menurut Reijntjes, etal. (1992) dalam Pujianto (2001) Pertanian
berkelanjutan mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Mantap secara ekologi, yang berarti kualitas sumber daya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan,
dari manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah

10
ditingkatkan. Kedua hal ini akan dipenuhi jika tanah dikelola dan
kesehatan tanaman maupun masyarakat dipertahankan melalui
proses biologis (regulasi sendiri). Sumber daya lokal dipergunakan
sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa, dan
energi bisa ditekan serendah mungkin dan mampu mencegah
pencemaran
2. Bisa berlanjut secara ekonomi, yang berarti petani dapat
menghasilkan segala sesuatu untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau
pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang
mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang
dikeluarkan. Keberlanjutan secara ekonomi bukan hanya diukur
dalam hal produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal
fungsi melestarikan sumber daya alam.
3. Adil, yang berarti sumber daya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota
masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan
maupun modal yang memadai, bantuan teknis dan peluang
pemasaran terjamin.
4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman,
hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua mahaluk
hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai
kemanusian yang bersifat mendasar seperti kepercayaan, kejujuran,
harga diri, kerja sama dan rasa sayang dipelihara dan dijaga.
5. Luwes, yang berarti masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus,
misalnya pertambahan penduduk, kebijakan pemerintah,
permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya
pengembangan teknologi yang baru dan sesuai, namun inovasi
dalam arti sosial budaya.

11
12
IV. PEMBAHASAN

3.1 Air
Air merupakan salah satu sumber da ya alam yang sangat esensial
bagisistem produksi pertanian. Air bagi pertanian tidak hanya berkaitan
dengan aspek produksi, melainkan juga sangat menentukan potensi
perluasan areal tanam (eksten sifikasi), luas area tanam, intensitas
pertanaman (IP), serta kualitas(Kurnia, 2004).

Dalam budidaya tanaman di lapangan, kehilangan air dari tanah


disamping terjadi lewat proses transpirasi, juga lewat permukaan tanah yang
disebut sebagai evaporasi. Dalam banyak kasus biasanya evaporasi diartikan
sebagai kehilangan air dalam bentuk uap dari permukaan air. Hubungannya
dengan kegiatan pertanian yang dimaksud dengan evaporasi adalah
kehilangan air dari permukaan tanah. Evaporasi dipengaruhi oleh kondisi
iklim, terutama temperatur, kelembaban,radiasi dan kecepatan angin, serta
kandungan air tanah. Dengan terjadin ya evaporasi, maka kandungan air
tanah turun dengan demikian kecepatan evaporasi juga akan turun (Islami
dan Utomo, 1995).

Analisis kebutuhan air untuk tanaman di lahan dipengaruhi oleh


beberapa faktor berikut, (1) pengolahan lahan, (2) penggunaan konsumptif,
(3) perkolasi,(4) penggantian lapis air , dan (5) sumbangan hujan efektif
(Suroso, Nugroho danPamuji, 2007).

Di lapangan, proses transpirasi dan evaporasi terjadi secara bersamaan


dansulit untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu kehilangan
air lewar kedua proses ini pada umumnya dijadikan satu dan disebut
”Evapotranspirasi(ET)”. Dengan demikian, evaporasi merupakan jumlah air
yang dibutuhkan oleh tanaman (Islami dan Utomo, 1995).

Berikut ini beberapa pengaruh volume pemberian air terhadap


pertumbuhan Tembakau

1. Jumlah Daun Dan Tinggi Tanaman

13
Jumlah daun pada umur pengamatan 21, 35, 49, 63 dan 77 hst
tidak terdapat perbedaan pada pertumbuhan jumlah daun di semua
perlakuan. Tinggi tanaman tembakau pada umur pengamatan 21, 35,
49, 63 dan 77 hst tidak terjadi perbedaan tinggi tanaman pada semua
perlakuan
2. Luas Daun

Luas daun pada umur pengamatan 35, 63 dan 77 hst perlakuan


P3 menghasilkan luas daun lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lain. Luas daun pada umur pengamatan 49 hst perlakuan
P3, P4 dan P5 menghasilkan luas daun yang tidak berbeda dan lebih
tinggi di antara perlakuan lainnya. Luas daun pada umur pengamatan
49 hst perlakuan P2, luas daun yang dihasilkan tidak menunjukkan
perbedaan luas daun dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sama
halnya dengan umur pengamatan 63 dan 77 hst pada perlakuan P4.
Luas daun pada umur pengamatan 63 dan 77 hst terjadi penurunan
hasil luas daun pada perlakuan P5 dibandingkan dengan perlakuan
P3.

3. Bobot Kering

Bobot kering total tanaman pada umur pengamatan 21, 35 dan


49 hst menghasilkan bobot kering total tanaman yang sama
dibandingkan dengan perlakuan air lainnya. Bobot kering total
tanaman pada umur pengamatan 63 dan 77 hst pada perlakuan P3
menghasilkan berat kering total tanaman lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan air lainnya. Bobot kering total tanaman umur
pengamatan 63 dan 77.

hst pada perlakuan P2 jumlah daun yang dihasilkan tidak


menunjukkan perbedaan terhadap bobot kering total tanaman
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Luas daun pada umur
pengamatan 63 dan
77 hst terjadi penurunan hasil luas daun pada perlakuan P4 dan
P5 dibandingkan dengan perlakuan P3.

14
4. Laju Pertumbuhan Relatif

Perbedaan jumlah pemberian air pada umur pengamatan 21, 35


dan 49 tidak dapat perbedaan laju pertumbuhan yang berbeda
terhadap semua perlakuan pemberian air, sedangkan perbedaan laju
pertumbuhan terjadi pada umur pengamatan 63-77 hst, terlihat laju
pertumbuhan tanaman meningkat pada fase vegetatif, dan terjadi
penurunan laju pertumbuhan relatif pada vase generatif sampai umur
63-77 hst kecuali pada perlakuan P4 dan P5 yang terus meningkat.
Rerata jumlah daun berdasarkan tabel, pada perlakuan P4
menghasilkan jumlah daun, luas daun dan bobot kering daun tertinggi
yang berbeda nyata dibandingkan dengan jumlah pemberian air
lainnya. Hasil luas daun pada perlakuan P2 dan P5 tidak menunjukkan
perbedaan hasil luas daun dibandingkan dengan perlakuan lainnya,
sedangkan hasil bobot kering daun pada perlakuan P2 dan P5 tidak
menunjukkan perbedaan hasil bobot kering dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Rerata pertumbuhan tanaman tembakau
akibat perlakuan peningkatan dan pengurangan jumlah pemberian air
dapat dilihat pada tabel 1 dan rerata hasil tanaman tembakau akibat
perlakuan peningkatan dan pengurangan jumlah pemberian air dapat
dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa perlakuan
tingkat pemberian air tidak terjadi pada awal pengamatan (umur 14
hst) untuk seluruh parameter yang diamati. Hasil tersebut disebabkan
karena tanaman tembakau yang berumur 14 hst masih berada dalam
fase pertumbuhan awal. Menurut istiana (1991), fase pertumbuhan
lambat terjadi antara umur 4-20 hst. Fase tersebut tanaman belum
dapat menyerap unsur hara dan membutuhkan air dalam jumlah yang
banyak, hal ini disebabkan organ – organ tanaman belum terbentuk
secara sempurna, sehingga tanaman belum menunjukkan respon
pertumbuhan yang berbeda nyata antar perlakuan.
Perlakuan penambahan dan pengurangan pemberian jumlah air

15
terjadi antara umur 21-35 hst, hal ini disebabkan karena tanaman
tembakau yang berumur 20-50 hst sedang dalam fase pertumbuhan
cepat (Gardner, 1991), di mana pada fase tersebut organ – organ
tanaman telah lengkap dan berfungsi dengan sempurna, sehingga
tanaman mampu menyerap unsur hara dalam jumlah yang banyak
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Haryati (2003) menyatakan
bahwa jika cekaman air terjadi pada pertumbuhan vegetatif yang
cepat, pengaruhnya akan lebih terlihat dan dapat merugikan tanaman
dibandingkan dengan jika cekaman air terjadi pada fase pertumbuhan
lainnya. Air Sebagai penyusun protoplasma, lebih banyak berperan
untuk menjaga turgor sel agar sel dapat berfungsi secara normal. Bila
sel kekurangan air untuk waktu cukup lama, isi sel akan terlepas dari
dindingnya yang mengakibatkan rusaknya sel dan akhirnya tanaman
mati (Sugito, 1999).
Variabel pengamatan jumlah daun dan tinggi tanaman pada umur
pengamatan 21 hst – 77 hst, pada perlakuan P1, P2, P3, P4 dan P5
tidak terjadi perbedaan hasil jumlah daun hal ini sebagai akibat dari
cukupnya tingkat ketersediaan air bagi tanaman. Bagi tanaman, air
berfungsi sebagai pelarut yaitu untuk melarutkan unsur-unsur hara
yang diberikan maupun yang tersedia di dalam tanah, selanjutnya
digunakan untuk proses fotosintesis. Jumlah daun yang dihasilkan
tidak disertai dengan meningkatnya luas daun (Tabel 1), hal ini di
duga sebagai akibat dari fokus pertumbuhan tanaman yang mengarah
ke jumlah daun (Tabel 1) sehingga dengan jumlah daun yang banyak
memungkinkan terjadinya naungan. Naungan ini berpengaruh pada
jumlah sinar matahari yang diterima oleh permukaan daun sebagai
organ fotosintesis,

16
Tabel. 1 Rerata pertumbuhan tanaman tembakau akibat perlakuan
peningkatan dan pengurangan jumlah pemberian air

Rerata jumlah daun/ hari pengamatan (helai)


Perlakuan 21 hst 35 hst 49 hst 63 hst 77 hst
P1 5 7 10,2 13,3 24,5
P2 5,2 6,9 9,6 12,7 22,3
P3 5,2 9,4 10,8 16,9 29,7
P4 5,2 6,3 10,4 13,6 25,2
P5 5,3 6,9 11,2 13,6 23,8
BNT% tn tn tn tn tn
Rerata luas daun/ hari pengamatan (cm²)
Perlakuan 21 hst 35 hst 49 hst 63 hst 77 hst
P1 11,30 a 528,87 a 46 46,75 67,18
P2 15,52 a 678,85 abc 36,73 45,91 69
P3 12,24 a 876,54 c 35,04 45,92 87,07
P4 13,21 a 859,92 bc 39,5 45,49 88,16
P5 13,86 a 824,09 bc 35,72 46,7 82,61
BNT
32,06 289,27 tn tn tn
5%
Rerata bobot kering tanaman/hari pengamatan (g)
Perlakuan 21 hst 35 hst 49 hst 63 hst 77 hst
P1 0,34 a 2,92 a 3,49 a 22,65 a 26,14 a
P2 0,30 a 3,95 a 4,47 a 34,38 ab 44,32 ab
P3 0,65 a 4,01 a 4,18 a 63,31 b 67,56 b
P4 0,45 a 3,96 a 4,39 a 20,79 a 24,1 a
P5 0,55 a 3,93 a 4,63 a 14,09 a 18,54 a
BNT
0,27 1,74 1,87 39,88 38,43
5%
Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama dalam satu kolom dan baris
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf
5%, n = 5, tn = tidak nyata, hst = hari setelah tanam.

Tabel. 2 Rerata pertumbuhan tanaman tembakau akibat perlakuan


peningkatan dan pengurangan jumlah pemberian air

Jumlah daun Luas daun


Perlakuan Bobot segar (g) Bobot kering (g)
(helai) (cm²)
P1 33,19 a 3054,86 a 171,27 a 23,78 a
P2 32,86 a 3983,07 bc 176,94 a 39,54 ab
P3 37,99 b 6336,40 c 277,26 b 58,63 c

17
P4 49,86 c 6662,54 c 315,50 c 83,04 d
P5 32,8 a 3981,05 bc 177,51 a 43,54 bc
BNT 5% 0,73 144,33 25,58 17,03
Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang sama dalam satu kolom dan baris
menunjukkan tidaK berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%,
n = 5, tn = tidak nyata, hst = hari setelah tanam.

3.2 Naungan
Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kualitas bibit
adalah faktor intensitas cahaya. Pada umumnya setiap jenis tanaman
memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap cahaya yang diterimanya.
Kurniaty (2010) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang terlalu rendah
akan menghasilkan produk fotosintesis yang tidak maksimal, sedangkan
intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap aktivitas
sel- sel stomata daun dalam mengurangi transpirasi sehingga
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu
intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman
dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit yang memiliki kualitas yang
baik. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian
naungan sehingga dapat melindungi bibit dari cahaya matahari
Berdasarkan analisis ragam (Tabel 3) dapat diketahui bahwa
penggunaan naungan memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi, diameter, dan indeks mutu bibit, tetapi tidak berpengaruh nyata
terhadap persen hidupnya.
Selanjutnya dari uji Duncan (Tabel 4), naungan dengan kerapatan 50 %
menghasilkan pertumbuhan tinggi (21,90 cm) dan diameter (2,85 mm)
terbaik dibandingkan naungan lainnya. Nilai indeks mutu
Tabel. 3 Analisis varian tinggi, diameter, indeks mutu bibit dan
persen hidup M. Tsiampca

Sumber Tinggi Diameter Indeks Mutu Bibit Persen hidup


Variasi
F-hit Pr<F F-hit Pr<F F-hit Pr<F F-hit Pr<F
Naungan 30,88* 0,000 4,54* 0,012 5,10* 0,01 1,63tn 0,271
4

18
Keterangan:

* = Berbeda nyata pada taraf uji 0,05

tn = Tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05

bibit terbaik dalam penelitian ini dihasilkan oleh perlakuan


naungan dengan kerapatan 25 % (0,15), namun secara statistik
perlakuan ini tidak berbeda dengan perlakuan naungan dengan
kerapatan 50 % (0,13).
Tabel. 4 Uji Duncan tinggi, diameter, indeks mutu bibit dan persen
hidup M. Tsiampaca

Perlakuan Tinggi (cm) Diameter (mm) Indeks Mutu


Bibit
Naungan 50 % 21,90 a 2,85 a 0,13 a
Naungan 75 % 14,31 b 2,23 b 0,05 b
Naungan 25 % 9,04 c 2,28 b 0,15 a
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji
0,05

1. Tinggi Tanaman

Berdasarkan hasil percobaan dapat diketahui bahwa perbedaan


naungan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman.
Naungan dengan tingkat kerapatan 50 % adalah perlakuan yang
menghasilkan respon pertumbuhan tinggi tanaman cempaka wasian
terbaik (21,90 cm). Sedangkan naungan dengan tingkat kerapatan 75
% dan 25 % menghasilkan respon pertumbuhan tinggi tanaman
cempaka wasian sebesar 14,31 cm dan 9,04 cm. Berdasarkan hasil
tersebut dapat diketahui bahwa tingkat intensitas cahaya yang dapat
memberikan respon tinggi bibit cempaka wasian secara optimal
adalah naungan dengan Intesitas Cahaya (IC) sebesar
± 19.100 lux. Dalam bukunya, Soekotjo (1976) menjelaskan
bahwa pengaruh intensitas cahaya pada pembesaran sel dan
diferensiasi sel memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi,

19
ukuran daun, serta batang tanaman.
Intensitas cahaya yang terlalu rendah (IC<10.000 lux) dan terlalu
tinggi (IC>30.000 lux) menghasilkan respon pertumbuhan tinggi yang
tidak optimal bagi bibit cempaka wasian. Cahaya merupakan elemen
terpenting yang dibutuhkan tanaman dalam proses fotosintesis.
Irwanto (2006) menyatakan bahwa semai yang berada di bawah
naungan hidupnya akan tertekan” karena tidak mendapatkan sinar
matahari yang cukup. Begitupun sebaliknya cahaya yang terlalu
berlebihan juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi
tanaman, karena pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu lagi
menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya yang tersedia
meningkat. Guslim (2007) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa
pada tanaman tahan naungan akan mengalami penurunan kecepatan
fotosintesis pada intensitas cahaya yang tinggi dikarenakan
menutupnya mulut daun. Kramer dan Kozlowski (1979) juga
menyatakan bahwa intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan
melemahkan kegiatan proses fotosintesis dan sementara itu laju
respirasi meningkat. Intensitas cahaya yang tinggi kurang mendukung
proses fotosintesis pada tanaman sehingga pertumbuhan tinggi
tanaman menjadi rendah. Cahaya yang berlebihan dapat
mengakibatkan terjadinya proses foto-oksidasi klorofil dan
mengakibatkan kerusakan pada klorofil, sementara itu klorofil yang
tersisa tidak mampu meyerap semua energi yang tersedia sehingga
kegiatan fotosintesis menjadi semakin lemah (Kinho, 2013).
2. Diameter Batang

Pertumbuhan diameter tanaman cempaka wasian terbaik dalam


penelitian ini dihasilkan oleh perlakuan dengan kerapatan naungan 50
% (2,85 mm). Sedangkan perlakuan dengan kerapatan 75 % dan 25
% memiliki nilai pertumbuhan sebesar 2,23 mm dan 2,28 mm.
Toumey dan Korstia (1974) dalam Simarangkir (2000) menyatakan
bahwa pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju
fotosintesis dan sebanding juga dengan jumlah intensitas cahaya

20
matahari yang diterima dan respirasi. Total luas daun aktif dalam
tanaman yang dapat melakukan fotosintesis akan berpengaruh
terhadap produk fotosintesis yang akan dihasilkan. Kondisi
pertumbuhan daun cempaka wasian pada perlakuan dengan kerapatan
naungan 50 % cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Pada perlakuan ini, daun yang dihasilkan memiliki
kecenderungan panjang dan lebar yang lebih besar. Rata-rata panjang
dan lebar daun bibit cempaka wasian pada perlakuan dengan
kerapatan naungan 50 % adalah 6,34 cm dan 2,96 cm, sedangkan
pada perlakuan dengan kerapatan naungan 25 % memiliki panjang dan
lebar daun sebesar 5,44 cm dan 2,12 cm. Marjenah (2001)
mengemukakan bahwa jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat
ternaung daripada di tempat terbuka. Pada tempat terbuka daun
mempunyai kandungan klorofil lebih rendah dari pada tempat
ternaung. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun.
Daun memiliki permukaan yang lebih besar di bawah naungan
daripada di tempat terbuka.
Secara umum, respon adaptif tanaman terhadap intensitas cahaya
yang optimal adalah dengan peningkatan rasio luas daun, kandungan
klorofil, bobot daun terhadap batang, dan panjang batang. Dengan
kata lain, respon tersebut adalah meliputi penurunan ketebalan daun,
rasio klorofil-a dengan klorofil-b, dan rasio pertumbuhan relatif akar
terhadap tajuk (Fujita et al., 1993 ). Sebaliknya daun-daun pada
tanaman terbuka (tidak ternaungi) umumnya lebih kecil, lebih tebal,
dan menyerupai kulit dibandingkan dengan tanaman yang ternaungi
(Daniel et al., 1992). Akibat dari adaptasi tersebut adalah bibit akan
mengalami pertumbuhan yang lebih maksimal pada organ batangnya
dibandingkan organ lainnya. Hal ini juga terjadi pada bibit cempaka
wasian yang dicobakan. Pada perlakuan dengan kerapatan naungan 25
% diketahui menghasilkan pertumbuhan diameter yang lebih baik jika
dibandingkan dengan perlakuan kerapatan dengan naungan 75 %
meskipun memiliki pertumbuhan tinggi yang paling kecil jika

21
dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Marjenah (2001) yang mengemukakan bahwa pada intensitas cahaya
yang cukup tanaman cenderung memacu pertumbuhan diameternya
sehingga tanaman yang tumbuh pada tempat terbuka mempunyai
tendensi untuk menjadi pendek dan kekar.
Pertumbuhan diameter bibit cempaka wasian terendah dalam
penelitian ini dihasilkan oleh perlakuan dengan kerapatan tertinggi
(75 %). Sama halnya dengan cahaya yang berlebihan, kurangnya
cahaya yang diterima oleh tanaman juga sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan organ yang dimilikinya. Daniel et al. (1992)
menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman
dikarenakan produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari
yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses
pembentukan sel meristematik ke arah diameter batang.
3. Indeks Mutu Bibit (IMB)

Indeks mutu bibit merupakan salah satu indikator tingkat


kesiapan bibit untuk dipindahkan dari persemaian ke lapangan
(penanaman). Hendromono dan Durahim (2004) mengemukakan
bahwa bibit yang memiliki nilai IMB minimal 0,09 akan memiliki
daya tahan hidup yang tinggi apabila dipindah ke lapangan. Dalam
penelitian ini, hanya bibit dengan perlakuan tingkat kerapatan
naungan 75 % yang memiliki nilai IMB <0,09 yaitu 0,05.
Sedangkan bibit dengan perlakuan tingkat kerapatan naungan 25 %
dan 50 % memiliki nilai IMB sebesar 0,15 dan 0,13.
Perhitungan nilai indeks mutu bibit sangat erat kaitannya
dengan berat kering bibit, baik yang berada di atas tanah (batang
dan daun) maupun organ tanaman yang terdapat di dalam tanah
(akar). Prawiranata et al. (1995) menyatakan bahwa berat kering
bibit merupakan suatu indikator untuk menentukan baik tidaknya
bibit dikarenakan berat kering mencerminkan status nutrisi
tanaman. Pertumbuhan akar pada bibit cempaka wasian yang
dicobakan dalam penelitian ini memiliki perbedaan yang cukup

22
signifikan. Berdasarkan nilai rata-rata berat kering akar diketahui
bahwa berat kering akar terendah ditunjukkan oleh perlakuan
dengan kerapatan naungan 75 % (0,12 gr), sedangkan berat kering
akar untuk perlakuan naungan 25 % dan 50 % secara berurutan
adalah 0,33 gr dan 0,34 gr. Berdasarkan hasil ini dapat diketahui
bahwa selain mengalami pertumbuhan yang lebih cenderung pada
organ batang, bibit cempaka wasian pada perlakuan dengan
kerapatan naungan rendah (25 %) juga mengalihkan
pertumbuhannya pada organ akar.
Perlakuan dengan kerapatan naungan 25 % merupakan
perlakuan yang menghasilkan nilai IMB tertinggi, namun secara
statistik nilainya tidak berbeda (sama) dengan perlakuan dengan
tingkat kerapatan naungan 50 %. Secara umum besar kecilnya niali
IMB dipengaruhi oleh besaran cahaya yang diterima oleh tanaman.
Lebih lanjut Wardiana dan Herman (2009) juga menyatakan bahwa
fotosintat yang dihasilkan dari proses fotosintesis sebagian
disimpan dalam jaringan tanaman dan sebagian lagi digunakan
sebagai energi kimia untuk menyokong pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Jumlah simpanan fotosintat ini salah satu
indikatornya adalah dicerminkan dalam bentuk bobot kering dan
bobot basah tanaman.

3.3 Gulma
Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh pada areal yang tidak
dikehendaki yakni tumbuh pada areal pertanaman. Gulma secara langsung
maupun tidak langsung merugikan tanaman budidaya. Gulma dapat
merugikan tanaman budidaya karena bersaing dalam mendapatkan unsur
hara, cahaya matahari, dan air. Pengenalan suatu jenis gulma dapat
dilakukan dengan melihat keadaan morfologi, habitat, dan bentuk
pertumbuhanya (Gupta, 1984).

Menurut Sutidjo (1981) ditinjau dari segi ekologi gulma merupakan


tumbuhan yang mudah beradaptasi dan memiliki daya saing yang kuat

23
dengan tanaman budidaya. Karena gulma mempunyai sifat mudah
beradaptasi dengan tempat lingkungan tumbuhnya maka gulma memiliki
beberapa sifat diantaranya: (1) mampu berkecambah dan tumbuh pada
kondisi zat hara dan air yang sedikit, biji tidak mati dan mengalami dorman
apabila lingkungan kurang baik untuk pertumbuhannya, (2) tumbuh dengan
cepat dan mempunyai pelipat gandaan yang relatif singkat apabila kondisi
menguntungkan, (3) dapat mengurangi hasil tanaman budidaya dalam
populasi sedikit, (4) mampu berbunga dan berbiji banyak, (5) mampu
tumbuh dan berkembang dengan cepat, terutama yang berkembang biak
secara vegetatif (Mercado, 1979). 7 Tanaman pokok yang lebih dominan
dari pada gulma dan tingkat kepadatan gulma yang rendah, tidak terlalu
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Jika gulma mempunyai
tingkat kerapatan yang tinggi, akan menyebabkan terjadinya kompetisi
antara tanaman pokok dan gulma, sehingga dapat menurunkan kuantitas
hasil pertanian. Penurunan tersebut akibat dari persaingan antara gulma dan
tanaman pokok untuk mendapatkan sinar matahari, air tanah, unsur hara,
ruang tumbuh, dan udara (Sukman, 2003).

Berikut ini beberapa pengaruh Pemberian ekstrak kirinyuh berpengaruh


nyata terhadap pertumbuhan gulma . mulai dari 1 sampai 5 minggu setelah
aplikasi. Pertumbuhan gulma tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol,
sedangkan terendah pada ekstrak kirinyuhh konsentrasi 3%. Pemberian
ekstrak kirinyuh 1 dan 2% tidak berbeda nyata dengan perlakuan herbisida
glifosat. Rataan daya tumbuh gulma dengan pemberian berbagai jenis
konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel. 5 Rataan Daya Tumbuh Gulma Setelah Aplikasi


Bioherbisida Ekstrak Kirinyuh

Minggu Setelah Aplikasi (MSA)


Perlakuan
1 2 3 4 5
Kontrol 3,5a 20,5a 83a 226,5a 377a
Glifosat 1% 0b 7b 69,5b 197b 210,5b
Ekstrak krinyu 1% 0b 3c 53,5c 181,5c 200,5bc

24
Ekstrak krinyu 2% 0b 1,5c 34,5d 154d 191,5bc
Ekstrak krinyu 3% 0b 0c 32d 148d 178c

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan


berpengaruh nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Daya tumbuh gulma terendah terdapat pada ekstrak kirinyuh 3% dan


berbeda nyata dengan perlakuan glifosat 1% serta kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa bioherbisida ekstrak kirinyuh mampu menghambat
pertumbuhan biji-biji gulma di dalam tanah serta memiliki keefektifan yang
lebih baik dibandingkan herbisida. Bioherbisida pra tumbuh ekstrak
kirinyuh menyerang proses perkecambahan biji gulma, sehingga gulma sulit
menembus tanah dan tidak mendapatkan unsur-unsur yang mendukung
pertumbuhannya, seperti cahaya matahari. Fiter dan Hay (1991) menyatakan
bahwa biji gulma yang diserang (diberikan bioherbisida) akan mengalami
hambatan fungsi enzim, sehingga menyebabkan energi tumbuh yang
dihasilkan menjadi sedikit dan lambat. Hal ini membuat proses
perkecambahan menurun dan biji tidak dapat berkembang.

Konsentrasi ekstrak bioherbisida kirinyuh yang semakin tinggi


menyebabkan daya tumbuh gulma juga semakin rendah. Hal ini dikarenakan
senyawa kimia yang dikandung ekstrak kirinyuh semakin banyak sehingga
menekan pertumbuhan biji gulma. Hasil analisis fitokimia menunjukkan
bahwa ekstrak kirinyuh mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin,
fenol dan limonen. Hasil ini sejalan dengan penelitian Anggriani et al.
(2013) yang melaporkan bahwa ekstrak Chromolaena odorata dengan
konsentrasi 10% dan 20% mampu membuat biji Mikania micrantha tidak
berkecambah, sementara konsentrasi 5% berkecambah dengan nilai
presentase perkecambahan yang rendah yaitu sebesar 5%.

Hasil identifikasi gulma menunjukkan bahwa terdapat empat spesies


gulma di areal pengamatan, yaitu Axonopus compressus, Borreria latifolia,
Ageratum conyzoides dan Mimosa pudica. Gulma dominan adalah
Axonopus compressus yang memiliki populasi sebesar 55% dari total

25
seluruh gulma (1.183 gulma), sedangkan populasi gulma terendah terdapat
pada Ageratum conyzoides dengan nilai 7,6% dari total seluruh gulma.
Spesies dan populasi gulma di areal pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel. 6 Spesies dan Populasi Gulma pada Setiap Perlakuan


Ekstrak

Perlakuan
Jenis Gulma
Kontrol Glifosat EK EK EK Total
1% 2% 3%
Axonopus compressus 213 37 125 99 179 653
Boreria latifolia 38 56 6 31 - 131
Ageratum conyzoides 5 18 33 32 2 90
Mimosa pudica 124 112 37 31 5 309
Total 380 223 201 193 186 1.183

Keterangan : EK = Ekstrak Kirinyuh

Dominasi gulma Axonopus compressus di areal penelitian disebabkan


karena sebelum aplikasi bioherbisida ekstrak kirinyuh, populasi gulma
tersebut sudah tinggi. Biji-biji gulma Axonopus compressus dari masa
sebelumnya diduga jatuh dan tersimpan di dalam tanah dan kemudian
berkecambah. Sastroutomo (1990) menyatakan bahwa sumber utama biji
gulma adalah biji dari gulma yang tumbuh sebelumnya dan biji yang
menyebar melalui angin, air, mekanisme pecahnya biji, hewan serta
manusia.

Efektivitas daya hambat perkecambahan biji gulma tertinggi yang


dimiliki oleh bioherbisida ekstrak kirinyuhh terlihat pada gulma berdaun
lebar. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa ekstrak kirinyuh lebih
efektif mengendalikan gulma berdaun lebar dibandingkan jenis gulma
lainnya, seperti Arief (2016) yang menyatakan bahwa ekstrak kirinyuh
dengan konsentrasi 40% mampu menekan pertumbuhan gulma bayam duri
(Amaranthus spinosus) pada 2 dan 3 minggu setelah aplikasi (MSA).
Penelitian lain dari Arjasa (2013) juga melaporkan bahwa ekstrak kirinyuhh
yang diberikan untuk mengendalikan gulma pra tumbuh pada budidaya
kedelai menunjukkan hasil yang lebih baik pada gulma berdaun lebar.

26
Gulma Ageratum conyzoides tumbuh sebanyak 0,56%, sedangkan gulma
rumput Eleusine indica sebesar 7,81%.

Woesono (2002) dan Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa


biomassa tanaman dipengaruhi oleh pertumbuhan jenis tanaman dan
merupakan integrasi dari hampir semua peristiwa yang dialami tanaman
sebelumnya. Bioherbisida pra tumbuh ekstrak kirinyuhh mampu
menghambat perkecambahan biji dengan mengurangi energi yang terdapat
di dalam biji. Biji yang kekurangan energi tersebut tidak akan mampu
tumbuh menjadi tanaman yang sempurna, oleh karena itu biomassa tanaman
tersebut tentunya akan berkurang.

3.4 Pemupukan

Pemberian pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah,


menaikan bahan serap tanah terhadap air, menaikan kondisi kehidupan di
dalam tanah,dan sebagaisumber zat makanan bagi tanaman. Sedangkan
pemberian pupuk anorganik dapat merangsang pertumbuhan secara
keseluruhan khususnya cabang, batang, daun, dan berperan penting dalam
pembentukan hijau daun (Lingga, 2008).

Pemupukan bertujuan mengganti unsur hara yang hilang dan


menambah persediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk
meningkatkan produksi dan mutu tanaman. Ketersediaan unsur hara yang
lengkap dan berimbang yang dapat diserap oleh tanaman merupakan faktor
yang menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman (Nyanjang,2003).

Pengaruh pemberian pupuk terhadap Tinggi Tanaman


Nilai rata-rata tinggi tanaman dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
7.

Tabel. 7 Rataan Tinggi Tanaman, Panjang dan Lingkar Tongkol


Serta Bobot Pipilan Kering Jemur Jagung pada Setiap
Perlakuan

PEUBAH PERLAKUAN
T0 T1 T2 T3

27
Tinggi Tanaman(cm) 180,84 180,14 185,74 187,86
Panjang Tongkol(cm) 13,15a 14,03a 14,14a 15,76b
Lingkar Tongkol(cm) 14,10a 14,06a 14,44ab 15,62b
Bobot pipilan
Kering Jemur (kg.petak-`1 1.288,32a 1.134,72a 1.943,41b 2.372,37c
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata.

Rataan tinggi tanaman pada Tabel 2 bervariasi antara 180,14 cm


(± 22,25) sampai 187, 86 cm (± 16, 98).

Dengan rataan tertinggi pada perlakuan T3 sedangkan terendah pada


perlakuan T1. Hasil analisa keragaman (Lampiran 1) menunjukkan bahwa
perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap tinggi
tanaman dengan kata lain pupuk anorganik dan organik tidak mempengaruhi
tinggi tanaman.Hal ini disebabkan karena tidak adanya kompetisi antar
tanaman terhadap sinar matahari dan penyerapan unsur hara untuk
melakukan proses fotosintesis. Unsur hara Nitrogen yang dikandung dalam
pupuk Urea sangat besar kegunaannya bagi tanaman untuk pertumbuhan
dan perkembangan, antara lain; membuat daun tanaman lebih hijau segar
dan banyak mengandung butir hijau daun (chlorophyl) yang mempunyai
peranan sangat panting dalam proses fotosintesa,mempercepat pertumbuhan
tanaman (tinggi, jumlah anakan, cabang dan lain-lain) dan menambah
kandungan protein tanaman.Kelompokmemberikan pengaruh yang berbeda
nyata (P > 0,05). Hal ini dapat dijelaskan bahwa kandungan unsur hara
tanah bervariasi untuk setiap kelompok. Ketersediaan hara dalam tanah
dalam penelitian ini diketahui melalui pengujian laboratorium. Pada awal
penanaman kadar unsur haranya relatif sama antar kelompok. Rataan
kandungan unsur hara tanah sesudah panen dapat dilihat pada Tabel 8

Tabel. 8 Rataan Unsur Hara Tanah sesudah Panen

Perlakuan
Unsur hara makro
T0 T1 T2 T3
N (%) 0,0353 0,0350 0,0415 0,0438
P (ppm) 5,74 6,33 7,27 8,83

28
K (ppm) 2,46 3,25 3,38 3,644
Sumber : Hasil Analisa Tanah di Laboratorium FAPERTA UNSRAT,
Manado (2009).

Jelas terlihat adanya perbedaan antara unsur hara tanah sebelum dan
sesudah penanaman jagung. Unsur hara N pada perlakuan menggunakan
pupuk kompos, sedangkan terendah pada perlakuan menggunakan pupuk
inorganik. Sidik ragam menunjukkan tidak adanya perbedaan kandungan
unsur hara N antara tanah yang di pupuk dibanding dengan tanpa
pemupukan. Kandungan unsur hara tanah setelah selesai panen lebih rendah
dibanding pada awal penanaman. Hal ini terlihat jelas bahwa tanaman
jagung memanfaatkan N tanah untuk pertumbuhan maupun produksinya.

Pengaruh Perlakuan terhadap Panjang Tongkol dan Lingkar Tongkol

Panjang Tongkol

Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa rata-rata panjang


tongkol pada percobaan ini bervariasi yaitu 13,15 cm (± 1,85) sampai
15,76 cm (± 0,62). Untuk rataan tertinggi pada perlakuan T3 dan
terendah perlakuan T2. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P > 0,05)
terhadap panjang tongkol. Dari hasil uji Beda Nyata Jujur (Lampiran
2b) terlihat adanya perbedaan nyata antara Perlakuan T3 dengan
perlakuan T0, T1 dan T2, namun perlakuan antara T0, T1 dan T2
tidak berbeda nyata.Hal ini dipengaruhi oleh karena pada perlakuan
T3 menggabungkan antara pemupukan anorganik dan organik
sedangkan pada T0 hanya sebagai kontrol perlakuan.

Lingkar Tongkol

Berdasarkan Tabel 7, rata-rata lingkar tongkol pada percobaan ini


bervariasi yaitu 14,06 cm (± 1,16)

sampai 15,62 cm (± 0,81). Rataan tertinggi ada pada perlakuan


T3 dan terendah pada perlakuan T1. Hasil analisis keragaman

29
(Lampiran 3a) menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh
yang berbeda nyata (P > 0,05) terhadap lingkar tongkol. Dari hasil Uji
Beda Nyata Jujur perlakuan T3 berbeda nyata dengan perlakuan T0
dan T1.

Usaha untuk dapat meningkatkan produktifitas suatu tanaman


diantaranya dapat dilakukan dengan pemberian pupuk, baik pupuk
organik maupun pupuk anorganik. Pemberian pupuk organik dapat
memperbaiki sifat-sifat tanah seperti sifat fisik, kimia dan biologi
tanah. Bahan organik merupakan perekat butiran lepas, sumber hara
tanaman dan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah
(Hakim et al., 1986). Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan
daya larut unsur P, K, Ca dan Mg, meningkatkan C-organik, kapasitas
tukar kation, daya serap air, menurunkan kejenuhan Al dan bulk
density (BD) tanah (Aribawa, 2008).

Selain pemberian pupuk organik, pemberian pupuk anorganik


sebagai sumber hara N merupakan usaha yang banyak dilakukan
dalam meningkatkan produktifitas tanaman khususnya jagung. Pupuk
urea sebagai sumber hara N dapat memperbaiki pertumbuhan vegetatif
tanaman, dimana tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N,
berwarna lebih hijau (Hardjowigeno, 1987).

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Pipilan Kering Jemur

Pada Tabel 8 , dapat dilihat rataan bobot pipilan kering pada


percobaan ini berkisar antara 1.288,32 kg.petak-1 (± 201,28) sampai
2.372,37 kg.petak-1 (± 86,41), dimana berat pipilan kering jagung
terus meningkat. Hasil analisis Keragaman (Lampiran 4a)
menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda
sangat nyata (P > 0,01) terhadap bobot pipilan kering. Hasil uji Beda
Nyata Jujur menunjukkan bahwa perlakuan yang menggabungkan
antara pupuk anorganik dan organik perlakuanT3 memiliki bobot

30
pipilan kering yang berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
semua perlakuan antara T0, T1 dan T2.

3.5 Pestisida
Petani selama ini sangat tergantung pada penggunaan pestisida kimia
untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Selain harganya yang
mahal, pestisida kimia juga banyak memiliki dampak buruk bagi lingkungan
dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia
antara lain adalah hama menjadi kebal (resistensi), peledakan hama baru
(resurjensi), penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen,
terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia
dan kecelakaan bagi pengguna (Gapoktan, 2009).

Pestisidia merupakan bahan kimia yang digunakan untuk membunuh


hama, baik insekta, jamur maupun gulma. Pestisida telah secara luas
digunakan untuk tujuan membrantas hama dan penyakit tanaman dalam
bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk
memberantas nyamuk, kecoa dan berbagai serangga penggangu lainnya.
Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada
orang (Runia Y, 2008).

Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh


atau mengendalikan berbagai hama. Pestisida berasal dari bahasa inggris
yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuhan. Yang dimaksud hama
bagi petani sangat luas yaitu : tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit
tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, nematoda
(cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung, dan hewan lain yang
dianggap merugikan (Subiakto sudamo, 1991).

Salah satu alternatif untuk menggantikan penggunaan pestisida kimia


yang banyak menimbulkan dampak negatif adalah menggunakan senyawa
kimia yang berasal dari tanaman yang dikenal dengan nama Pestisida Nabati
(Sudarmo, 2005).

31
Pestisida nabati mencangkup bahan nabati (ekstrasi penyulingan) yang
dapat berfungsi sebagai zat pembunuh, zat penolak zat pengikat, dan zat
penghambat pertumbuhan organisme pengganggu tanaman. Menurut
Kardinan (2010), di dalam tumbuhan ada zat metabolit sekunder yang
berfungsi untuk melindungi diri dari pesaingnya. Zat inilah yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati. Zat ini mempunyai
karakterisitik rasa pahit (mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk
dan berasa agak pedas sehingga tumbuhan ini tidak diserang oleh hama
(Hasyim, 2010).

Selama penelitian ditemukan dua jenis hama yang menyerang


tanaman percobaan, yakni aphids dan kutu kebul. Hasil pengamatan
jumlah populasi hama aphids dan kutu kebul pada tanaman cabai merah
pada umur 14 hst disajikan pada gambar 1. Sidik ragam menunjukkan
bahwa perlakuan pestisida nabati berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah
populasi hama tanaman cabai merah.
Gambar. 1 Populasi Hama Yang Menyerah Tanaman Cabai Merah pada Umur 14
hst

8,00 7,25
Rata-rata Populasi Hama Tanaman Cabai Merah Pada Umur 14 hst

7,00
5,75
5,50
6,00 5,25
5,00
4,00
4,00 3,25
3,25
3,00 2,75
Aphids
2,00
Kutu
1,00
Kebul
0,00
A = Kontrol B= Bawang C = Mimba D= Sirsak
putih

Pestisida nabati

Gambar di atas, menunjukkan bahwa jumlah populasi hama yang


terbanyak pada perlakuan kontrol (A) yaitu 7.25 hama aphids dan kutu

32
kebul yaitu 5.25 hama. Sedangkan jumlah populasi hama yang terendah
pada perlakuan ekstrak mimba 100 ml (C) yaitu 3.25 hama aphids dan
kutu kebul yaitu 2.75 hama pada tanaman cabai merah.
Hasil pengamatan jumlah populasi hama aphids dan kutu kebul pada
tanaman cabai merah pada umur 56 hst disajikan pada gambar 2. Sidik
ragam menunjukkan bahwa perlakuan pestisida nabati berpengaruh tidak
nyata terhadap jumlah populasi hama tanaman cabai merah.

33
Gambar. 2 Populasi Hama Yang Menyerang Tanaman Cabai Merah
Pada Umur 56 hst.
Rata-rata Populasi Hama Tanaman Cabai Merah pada Umur 56 hst

9,00 8,25

8,00 7,00
7,00
6,00 5,75
6,00 5,50 5,25
5,00
4,00 3,00
2,50
3,00
2,00
1,00 Aphids
Kutu
0,00
Pestisida nabati Kebul
A= Kontrol B = Bawang C = Mimba D= Sirsak
Putih

34
Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah populasi hama yang
terbanyak pada perlakuan kontrol (A) yaitu 8.25 hama aphids dan Kutu
Kebul yaitu 6.99 hama. Sedangkan jumlah populasi hama yang terendah
pada perlakuan ekstrak mimba 100 ml (C) yaitu 3.00 hama aphids dan kutu
kebul yaitu 2.50 hama pada tanaman cabai merah.

Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat diatasi dengan


melakukan pencegahan sebelum terjadi serangan (preventif) atau dengan
pembasmian setelah terjadi serangan hama (kuratif) (Harahap, 2009). Pada
umumnya, petani melakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida
sintetik (kimia) dengan asumsi bahwa pestisida sintetik lebih efektif untuk
pengendalian organisme pengganggu tanaman. Padahal jika dikaji lebih
dalam penggunaan pestisida kimia mempunyai dampak negatif bagi
kehidupan baik tanaman, hewan, maupun manusia. Hal ini karena pestisida
sintetik (kimia) dapat menimbulkan dampak residu dan mengakibatkan
terjadinya pencemaran pada tanah, air dan udara (Rismunandar, 2009).
Penggunaan pestisida nabati bekerja dengan cara menghambat atau
mencegah perkembangan organisme pengganggu tanaman. Menurut
Novizan (2010), pestisida nabati berfungsi sebagai repelen, yaitu penolak
kehadiran serangga disebabkan baunya yang menyengat; antifidan, yaitu
mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot disebabkan
rasanya yang pahit; racun saraf; serta mengacaukan sistem hormon di
dalam tubuh serangga. Hal ini sesuai dengan sifat bahan aktif yang
dikandung oleh jenis bahan pestisida organik yang digunakan.
Meskipun hasil analisa sidik ragam pada pengamatan terhadap
populasi hama aphids dan kutu kebul menunjukkan perbedaan tidak nyata
antar perlakuan. Tetapi terlihat bahwa penggunaan pestisida nabati dari
ekstrak daun mimba mampu menekan populasi hama lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini mungkin berkaitan
pendapat Grainge and Saleem (2011), yang mengatakan bahwa efektifitas
suatu bahan-bahan alami yang digunakan sebagai insektisida nabati
sangat tergantung dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu jenis
tumbuhan yang sama tetapi berasal dari bagian yang berbeda dapat
menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau
sifat racunnya tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis
dari tumbuhan tersebut.
Rendahnya populasi hama aphids maupun kutu kebul pada tanaman
cabai yang diberi perlakuan ekstrak daun mimba dibanding dengan
perlakuan lainnya menunjukkan bahwa kandungan bahan aktif yang
dimiliki ekstrak daun mimba dapat menggangu keberadaan hama aphid
dan kutut kebul pada tanaman cabai. Seperti yang dikemukakan oleh
Prijono dan Triwidodo (2010) bahwa daun mimba memilki bahan aktif
alkoloid yang dapat merangsang kelenjar untuk menghasilkan hormon,
peningkatan hormon tersebut dapat menyebabkan kegagalan metamorfosis
hama aphis yang memiliki metamorfosis sempurna. Selain itu, rasa pahit
yang dikeluarkan akan dapat mencegah hama aphids dan kutu kebul
memakan daun cabai merah.
Mimba, terutama dalam biji dan daunnya mengandung beberapa
komponen dari produksi metabolit sekunder yang sangat bermanfaat, baik
dalam bidang pertanian (pestisida dan pupuk). Beberapa diantaranya
adalah azadirachtin, salanin, meliantriol, nimbin dan nimbidin.
Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker atau zat yang dapat
menghambat kerja hormon ecdyson, yaitu suatu hormon yang berfungsi
dalam proses metamorfosa serangga. Salanin berperan sebagai penurun
nafsu makan (anti-feedant) yang mengakibatkan daya rusak serangga
sangat menurun, walaupun serangganya sendiri belum mati. Meliantriol
berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan serangga
hama enggan mendekati zat tersebut. Nimbin dan nimbidin berperan
sebagai anti mikro organisme seperti anti-virus, bakterisida, fungisida
sangat bermanfaat untuk digunakan dalam mengendalikan penyakit
tanaman (Ruskin, 1993).
Untuk pestisida dari daun sirsak mengandung senyawa acetoginin,
antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin. Pada konsentrasi tinggi,
senyawa acetogenin memiliki keistimewan sebagai anti feedent. Dalam hal
ini, serangga hama tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman

36
yang disukainya. Sedang pestisida dari bawang putih memiliki kandungan
kimia terdiri dari : Tanin < 1% minyak atsiri, dialilsulfida, aliin, alisin,
enzim alinase, vitamin A, B, C. Bawang putih dapat berfungsi sebagai
baktersida (bagian umbi), insektiisida (daun dan umbi) dan fungisida (daun
dan umbi) (Sudarmo, 2005).
Pengendalian hama dengan menggunakan ekstrak tanaman sebagai
insektisida nabati mempunyai beberapa keunggulan antara lain : (1)
Mudah terurai sehingga kadar residu relatif kecil, peluang untuk
membunuh serangga bukan sasaran rendah dan dapat digunakan beberapa
saat menjelang panen. (2) Cara kerja spesifik, sehingga aman terhadap
vertebrata (manusia dan ternak). (3) Tidak mudah menimbulkan resistensi,
karena jumlah senyawa aktif lebih dari satu. Dengan keunggulan di atas,
maka akan dihasilkan produk pertanian dengan kualitas yang baik, dan
kelestarian ekosistem tetap terpelihara (Setiawati dkk, 2008).

37
V. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Agroekologi merupakan ilmu yang mengaplikasikan konsep – konsep


dan prinsip – prinsip ekologi dalam mengatur dan mengelola suatu
agroekosistem yang berkelanjutan.
2. Konsep utama dalam agroekologi adalah adaptabilitas (relung), yaitu
fungsi atau peran suatu organisme dalam ekosistem serta sumber daya
kehidupannya yang menentukan kesempatannya untuk bertahan hidup
dan pengaruh positif atau negatifnya terhadap komponen lain.
3. Manfaat dari agroekologi Petani melakukan usahatani dengan tujuan
mendapatkan keuntungan dan manfaat (profit dan benefit) yang
maksimum dalam proses produksi.
4. Dalam pembudidayaan tanaman harus melakukan perlakuan seperti
memperhatikan intensitas pemberian air pada tanaman, memberikan
naungan untuk mengatur intensitas cahaya pada tanaman, melakukan
pembersihan gulma, melakukan pemupukan, dan memberi pestisida,
terutama pestisida nabati agar tanaman yang kita budidayakan bisa
tumbuh maksimal dan punya nilai jual yang tinggi

4.2 Saran
Sebaiknya praktikan lebih teliti lagi dalam melaksanakan praktikum
agar hasil yang didapat maksimal

38
DAFTAR PUSTAKA

Alteiri, M. 1991. Suistainable Agricultural Development in Latin Amerika:


Agriculture, Ecosystem and Environment. Exploring the Possibilities.
39,1-21. Elsiever Science Publisher, Amsterdam.
Bargumono.2012. Ekologi Pertanian. Yogyakarta: Leutikaprio

Carolina dan Elok W. H. 2016. Kajian Agroekologi terhadap Strategi Pemenuhan


Kebutuhan Pangan Masyarakat di Kabupaten Belu Nusa Tenggara
Timur. PANGAN, 25(2) : 83-94.

Conway, G,R. 1987. Rapid Rural Appraisal and Agroecosystem Analysis.. A Case
Study from Northen Pakistan. Proceding of the 1985 International
Conference on RRA. Rural System Res and Farming System Res
Project. Khon Kaen, Thailand.

Dewanto, F. G., Londok, J. J., Tuturoong, R. A., & Kaunang, W. B. (2017).


PENGARUH PEMUPUKAN ANORGANIK DAN ORGANIK
TERHADAP PRODUKSI TANAMAN JAGUNG SEBAGAI SUMBER
PAKAN. Zootec, 32(5).
Firdaus, M. 2008. Manajemen Agribisnis. Bumi Aksara, Jakarta
Gardner, P.F.B.R. Pearce., and L.R. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya. Universitas bidonesia. Jakana.
Haerul, H., Idrus, M. I., & Risnawati, R. (2016). Efektifitas pestisida nabati
dalam mengendalikan hama pada tanaman
cabai. Agrominansia, 1(2), 129-136.
Irawan, A., & Hidayah, H. N. (2017). Shade effect on growth and quality of
cempaka wasian seedling (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) in
nursery. Jurnal Wasian, 4(1), 11-15.
Jiwo, A. 2009. Mengenal Agroekologi.
Jumin, H. B. 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologis. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.

39
Kurniawan, B. A., Fajriani, S., & Ariffin, A. (2014). Pengaruh Jumlah Pemberian
Air Terhadap Respon Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Tembakau
(Nicotiana Tabaccum L. Jurnal Produksi Tanaman, 2(1).
Lichtfouse, E., M. Hamelin, M. Navarrete, and P. Debaeke. 2011. Sustainable
Agriculture. France : Spring.

Odum, E.P. 1998, Dasar-dasar Ekologi. Alih Bahasa : Samingan, T dan B.


Srigandono. Edisi Ketiga Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

PANNA. 2009. Agroecology and Suistainable Development. Recycled Paper. San


Francisco.
Reijntjes, C., B. Haverkot dan A. W. Bayer, 1999. Pertanian Masa Depan,
Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.
Kanisius dan ILEIA, Yogyakarta.

Sari, V. I., Hafif, R. A., & Soesatrijo, J. (2017). Ekstrak gulma kirinyuh
(Chromolaena odorata) sebagai bioherbisida pra tumbuh untuk
pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawit. Jurnal Citra Widya
Edukasi, 9(1), 71-79.
Soemarwoto, I. (1983). Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bagian II. Sekolah Pasca
Sarjana. Jurusan pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
IPB.

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta

Warren John, Lawson Clare, dan Ken Belcher. 2008. The Agri-Environment. New
York : Cambridge University Press

40
LAMPIRAN
1.

jurnal air.pdf

2.

jurnal naungan.pdf

3.

jurnal gulma.pdf

4.

jurnal
pemupukan.pdf

5.

jurnal pestisida.pdf

41

Anda mungkin juga menyukai