Anda di halaman 1dari 37

ORGANOFOSFAT

“Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kimia
Pestisida yang diampu oleh Ibu Siti Winarsih, M. Si”

Disusun oleh:

Erna 062113
Rani 062113
Thessalonica FS 062115705

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2016
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Allah SWT kami dapat menyelesaikan tugas


pembuatan makalah kimia pestisida yang berjudul “Organofosfat” dengan lancar.
Pembuatan makalah ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Winarsih, M. Si selaku dosen kimia
pestisida dan teman-teman seperjuangan Kimia 2013 sehingga makalah ini dapat
selesai pada waktunya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat umumnya bagi pembaca dan
khususnya bagi kami. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih jauh dari sempurna untuk itu kami menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih.

Bogor, Desember 2016

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................................................... i


Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1 Pestisida .................................................................................................... 3
2.2 Macam-macam pestisida .......................................................................... 5
2.2.1 Pestisida berdasarkan jasad sasaran .................................................. 5
2.2.2 Pestisida berdasarkan cara kerjanya .................................................. 7
2.2.3 Pestisida Berdasarkan Struktur Kimia .............................................. 7
2.3 Pengertian Pestisida Organofosfat ............................................................ 9
2.4 Pestisida Golongan Organofosfat ........................................................... 10
2.5 Memahami diagnosis keracunan organofosfat ....................................... 13
2.6 Dampak Penggunaan Pestisida Organofosfat ......................................... 15
2.6.1 Paration ........................................................................................... 15
2.6.2 Demeton .......................................................................................... 16
2.6.3 Malation .......................................................................................... 16
2.7 Mekasnisme toksisitas organofosfat ....................................................... 17
2.8 Mekanisme kerja pestisida organofosfat dalam tubuh ........................... 17
2.9 Gejala keracunan organofosfat ............................................................... 19
2.9.1 Gejala klinis : .................................................................................. 20
2.9.2 Penatalaksanaan : ............................................................................ 21
2.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan ...................... 22
2.10.1 Faktor di dalam tubuh (internal) ..................................................... 22
2.10.2 Faktor di luar tubuh (eksternal) ....................................................... 23
2.11 Cara Pencegahan Keracunan Pestisida ................................................... 26
2.12 Aplikasi .................................................................................................. 26

ii
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 31
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 31
3.2 Saran ....................................................................................................... 31

iii
Daftar Tabel

Tabel 1 Data hasil profil kromatogram baku pembanding klorpirifos .................. 29


Tabel 2 Data hasil profil kromatogram sampel ..................................................... 29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pestisida (sida, cide = racun) sampai kini masih merupakan salah satu cara
utama yang digunakan dalam pengendalian hama. Yang dimaksud hama di sini
adalah sangat luas, yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit
tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian
nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput, tikus,
burung dan hewan lain yang dianggap merugikan.
Pestisida di Indonesia banyak digunakan baik dalam bidang pertanian
maupun kesehatan. Di bidang pertanian pemakaian pestisida dimaksudkan untuk
meningkatkan produksi pangan. Banyaknya frekuensi serta intensitas hama dan
penyakit mendorong petani semakin tidak bisa menghindari pestisida. Di bidang
kesehatan, penggunaan pestisida merupakan salah satu cara dalam pengendalian
vektor penyakit. Pengguaan pestisida dalam pengendalian vektor penyakit sangat
efektif diterapkan terutama jika populasi vektor penyakit sangat tinggi atau untuk
menangani kasus yang sangat menghawatirkan penyebarannya.
Pestisida merupakan racun yang mempunyai nilai ekonomis terutama bagi
petani. Pestisida memiliki kemampuan membasmi organisme selektif (target
organisme), tetatpi pada praktiknya pemakaian pestisida dapat menimbulkan
bahaya pada organisme non target. Dampak negatif terhadap organisme non target
meliputi dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran dan menimbulkan
keracunan bahkan dapat menimbulkan kematian bagi manusia.
Petani merupakan kelompok kerja terbesar di Indonesia. Meski ada
kecenderungan semakin menurun, angkatan kerja yang bekerja pada sektor
pertanian, masih berjumlah sekitar 40% dari angkatan kerja. Banyak wilayah
Kabupaten di Indonesia yang mengandalkan pertanian, termasuk perkebunan
sebagai sumber Penghasilan Utama Daerah (PAD).
Cara meningkatkan hasil pertanian yang optimal, dalam paket intensifikasi
pertanian diterapkan berbagai teknologi, antara lain penggunan agrokimia (bahan
kimia sintetik). Penggunaan agrokimia, diperkenalkan secara besar-besaran

1
(massive) menggantikan kebiasan atau teknologi lama, baik dalam hal
pengendalian hama maupun pemupukan tanaman.
Pestisida organofosfat masuk ke dalam tubuh, melalui alat pencernaan atau
digesti, saluran pernafasan atau inhalasi dan melalui permukaan kulit yang tidak
terlindungi atau penetrasi. Pengukuran tingkat keracunan berdasarkan aktifitas
enzim kholinesterase dalam darah, penentuan tingkat keracunan adalah sebagai
berikut ; 75% - 100% katagori normal; 50% - < 75% katagori keracunan ringan;
25% - <50% katagori keracunan sedang; 0% - <25% katagori keracunan berat.
Keluarga petani merupakan orang yang mempunyai risiko keracunan
pestisida, hal ini karena selalu kontak dengan petani penyemprot, tempat
penyimpanan pestisida, peralatan aplikasi pestisida, yang dapat menimbulkan
kontaminasi pada air, makanan dan peralatan yang ada di rumah. Keracunan
terjadi disebabkan kurang mengertinya keluarga petani akan bahaya pestisida,
masih banyaknya petani yang menggunakan pestisida yang kurang
memperhatikan dan megikuti cara-cara penangganan yang baik dan aman,
sehingga dapat membahayakan pada keluarga petani.

1.2 Tujuan
1. Untuk Memahami Apa yang dimaksud dengan Pestisida Organofosfat
2. Untuk Memahami Pestisida Golongan Organofosfat
3. Untuk Mengetahui Diagnosis Keracunan Pestisida Ortganofosfat

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada penulis khususnya,
maupun para pembaca. Manfaat tersebut baik dari segi pengetahuan dan
pemahaman mendalam mengenai Penggunaan Pestisida Organofosfat.

2
BAB II
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida yang berasal
dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana
sebagai pembunuh hama..Secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai
bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap
sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan
kepentingan manusia (Sartono, 2001). USEPA dalam Soemirat (2005)
menyatakan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk
mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan,
tanaman, dan mikroorganisme penggangu.
Pengertian pestisida menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973
dalam Kementrian Pertanian (2011) dan Permenkes RI No. 258/Menkes/Per/
III/1992 adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan
3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan atau
ternak
5. Memberantas atau mencegah hama-hama air
6. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam bangunan rumah tangga alat angkutan, dan alat-alat pertanian
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan tanaman, tanah dan air.

Menurut PP RI No. 6 tahun 1995 dalam Soemirat (2005), pestisida juga


didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh dan perangsang

3
tubuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk
perlindungan tanaman. Sementara itu, The United States Environmental Control
Act dalam Runia (2008) mendefinisikan pestisida sebagai berikut :
1. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan
untuk mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga,
binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, serta jasad renik yang
dianggap hama; kecuali virus, bakteri, atau jasad renik lain yang terdapat
pada hewan dan manusia.
2. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk
mengatur pertumbuhan atau mengeringkan tanaman.

Menurut Depkes (2004) dalam Rustia (2009), pestisida kesehatan


masyarakat adalah pestisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor penyakit
menular (serangga, tikus) atau untuk pengendalian hama di rumah-rumah,
pekarangan, tempat kerja, tempat umum lain, termasuk sarana nagkutan dan
tempat penyimpanan/pergudangan. Pestisida terbatas adalah pestisida yang karena
sifatnya (fisik dan kimia) dan atau karena daya racunnya, dinilai sangat berbahaya
bagi kehidupan manusia dan lingkungan, oleh karenanya hanya diizinkan untuk
diedarkan, disimpan dan digunakan secara terbatas.
Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti
hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan
sebagai pembunuh hama yaitu tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman
yang disebabkan oleh fungi, bakteri, virus, nematode, siput, tikus, burung dan
hewan lain yang dianggap merugikan. Menurut Permenkes RI, No.258/Menkes/
Per/III/1992 Semua zat kimia/bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan untuk membrantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang
merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil pertanian, memberantas
gulma, mengatur/merangsang pertumbuhan tanaman tidak termasuk pupuk,
mematikan dan mencegah hama-hama liar pada hewanhewan piaraan dan ternak,
mencegah/memberantas hama-hama air, memberantas/mencegah binatang-
binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat angkutan,

4
memberantas dan mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

2.2 Macam-macam pestisida


Pestisida dapat digolongkan menurut berbagai cara tergantung pada
kepentingannya, antara lain: berdasarkan jasad sasaran yang akan dikendalikan,
berdasarkan cara kerja, berdasarkan struktur kimianya, asal dan sifat kimia,
berdasarkan bentuknya dan pengaruh fisiologisnya.

2.2.1 Pestisida berdasarkan jasad sasaran


Menurut Kementrian Pertanian (2011), ditinjau dari jenis jasad yang
menjadi sasaran penggunaan pestisida dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
antara lain:
a. Akarisida, berasal dari kata akari, yang dalam bahasa Yunani berarti
tungau atau kutu. Akarisida sering juga disebut Mitesida. Fungsinya untuk
membunuh tungau atau kutu. Contohnya Kelthene MF dan Trithion 4
b. Algasida, berasal dari kata alga, bahasa latinnya berarti ganggang laut,
berfungsi untuk membunuh algae. Contohnya Dimanin.
c. Alvisida, berasal dari kata avis, bahasa latinnya berarti burung, fungsinya
sebagai pembunuh atau penolak burung. Contohnya Avitrol untuk burung
kakaktua.
d. Bakterisida, Berasal dari katya latin bacterium, atau kata Yunani bakron,
berfungsi untuk membunuh bakteri. Contohnya Agrept, Agrimycin,
Bacticin, Tetracyclin, Trichlorophenol Streptomycin.
e. Fungsida, berasal dari kata latin fungus, atau kata Yunani spongos yang
artinya jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan. Dapat
bersifat fungitoksik (membunuh cendawan) atau fungistatik (menekan
pertumbuhan cendawan). Contohnya Benlate, Dithane M-45 80P, Antracol
70 WP, Cupravit OB 21, Delsene MX 200, Dimatan 50 WP.

5
f. Herbisida, berasal dari kata lain herba, artinya tanaman setahun, berfungsi
untuk membunuh gulma. Contohnya Gramoxone, Basta 200 AS, Basfapon
85 SP, Esteron 45 P
g. Insektisida, berasal dari kata latin insectum, artinya potongan, keratan
segmen tubuh, berfungsi untuk membunuh serangga. Contohnya Lebaycid,
Lirocide 650 EC, Thiodan, Sevin, Sevidan 70 WP, Tamaron
h. Molluskisida, berasal dari kata Yunani molluscus, artinya berselubung
tipis atau lembek, berfungsi untuk membunuh siput. Contohnya Morestan,
PLP, Brestan 60.
i. Nematisida, berasal dari kata latin nematoda, atau bahasa Yunani nema
berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda. Contohnya
Nemacur, Furadan, Basamid G, Temik 10 G, Vydate.
j. Ovisida, berasal dari kata latin ovum berarti telur, berfungsi untuk
merusak telur.
k. Pedukulisida, berasal dari kata latin pedis, berarti kutu, tuma, berfungsi
untuk membunuh kutu atau tuma.
k. Piscisida, berasal dari kata Yunani Piscis, berarti ikan, berfungsi untuk
membunuh ikan. Contohnya Sqousin untuk Cypirinidae, Chemish 5 EC.
l. Predisida, berasal dari kata Yunani Praeda berarti pemangsa, berfungsi
sebagai pembunuh predator.
m. Rodentisida, berasal dari kata Yunani rodere, berarti pengerat berfungsi
untuk membunuh binatang pengerat. Contohnya Dipachin 110, Klerat
RMB, Racumin, Ratikus RB, Ratilan, Ratak, Gisorin.
n. Termisida, berasal dari kata Yunani termes, artinya serangga pelubang
kayu berfungsi untuk membunuh rayap. Contohnya Agrolene 26 WP,
Chlordane 960 EC, Sevidol 20/20 WP, Lindamul 10 EC, Difusol CB.
o. Silvisida, berasal dari kata latin silva berarti hutan, berfungsi untuk
membunuh pohon atau pembersih pohon.
p. Larvasida, berasal dari kata Yunani lar, berfungsi membunuh ulat (larva).
Contohnya Fenthion, Dipel (Thuricide).

6
2.2.2 Pestisida berdasarkan cara kerjanya
Pestisida berdasarkan cara kerja dalam membunuh hama dapat dibedakan
lagi menjadi tiga golongan (Soemirat, 2005) :
a. Racun perut
Pestisida yang mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan
pestisida. Pestisida yang termasuk golongan ini pada umumnya dipakai untuk
membasmi serangga-serangga pengunyah, penjilat dan penggigit. Daya bunuhnya
melalui perut. Contoh: Diazinon 60 EC.
b. Racun kontak
Pestisida yang mempunyai daya bunuh setelah tubuh jasad terkena
pestisida. Organisme tersebut terkena pestisida secara kontak langsung atau
bersinggungan dengan residu yang terdapat di permukaan yang terkena pestisida.
Contoh: Mipcin 50 WP.
c. Racun gas
Pestisida yang mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran terkena uap
atau gas. Jenis racun yang disebut juga fumigant ini digunakan terbatas pada
ruangan ruangan tertutup.

2.2.3 Pestisida Berdasarkan Struktur Kimia


Menurut Pohan, jika dilihat berdasarkan struktur kimianya,
pestisida dibagi :
a. Orgahochlorine, pestisida jenis ini mengandung unsur-unsur Carbon,
Hidrogen, dan
Chlorine. Contohnya : DDT
b. Orgahoposphate, pestisida yang mengandung unsur : P, C, H misal : tetra
ethyl phyro posphate (TEPP )
c. Carbamate, pestisida yang mengandung gugus Carbamate. Misal :
Baygon, Sevin dan Isolan.
d. Lain-Lain, pestisida ini mengandung senyawa organik, serychin, senyawa
sulphur organik dan dinytrophenol.

7
Menurut Depkes RI Dirjen P2M dan PL 2000 dalam Diana, berdasarkan
struktur kimianya pestisida dapat digolongkan menjadi :
a. Golongan organochlorin
Pestisida organochlorin misalnya DDT, Dieldrin, Endrin dan lain-lain.
Umumnya golongan ini mempunyai sifat: merupakan racun yang universal,
degradasinya berlangsung sangat lambat larut dalam lemak.
b. Golongan organofosfat
Pestisida organofosfat misalnya diazonin dan basudin. Golongan ini
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : merupakan racun yang tidak selektif
degradasinya berlangsung lebih cepat atau kurang persisten di lingkungan,
menimbulkan resisten pada berbagai serangga dan memusnahkan populasi
predator dan serangga parasit, lebih toksik terhadap manusia dari pada
organokhlor.
c. Golongan karbamat termasuk baygon, bayrusil, dan lain-lain.
Golongan ini mempunyai sifat sebagai berikut : mirip dengan sifat pestisida
organophosfat, tidak terakumulasi dalam sistem kehidupan, degradasi tetap cepat
diturunkan dan dieliminasi namun pestisida ini aman untuk hewan, tetapi toksik
yang kuat untuk tawon.
d. Senyawa dinitrofenol misalnya morocidho 40EC.
Salah satu pernafasan dalam sel hidup melalui proses pengubahan ADP
(Adenesone-5-diphosphate) dengan bantuan energi sesuai dengankebutuhan dan
diperoleh dari rangkaian pengaliran elektronik potensial tinggi ke yang lebih
rendah sampai dengan reaksi proton dengan oksigen dalam sel. Berperan memacu
proses pernafasan sehingga energi berlebihan dari yang diperlukan akibatnya
menimbulkan proses kerusakan jaringan.
e. Pyretroid
Salah satu insektisida tertua di dunia, merupakan campuran dari beberapa
ester yang disebut pyretrin yang diekstraksi dari bunga dari genus
Chrysanthemum. Jenis pyretroid yang relatif stabil terhadap sinar matahari adalah
: deltametrin, permetrin, fenvalerate. Sedangkan jenis pyretroid yang sintetis yang
stabil terhadap sinar matahari dan sangat beracun bagi serangga adalah : difetrin,

8
sipermetrin, fluvalinate, siflutrin, fenpropatrin, tralometrin, sihalometrin,
flusitrinate.
f. Fumigan
Fumigan adalah senyawa atau campuran yang menghasilkan gas atau uap
atau asap untuk membunuh serangga , cacing, bakteri, dan tikus. Biasanya
fumigant merupakan cairan atau zat padat yang murah menguap atau
menghasilkan gas yang mengandung halogen yang radikal (Cl, Br, F), misalnya
chlorofikrin, ethylendibromide, naftalene, metylbromide, formaldehid, fostin.
g. Petroleum
Minyak bumi yang dipakai sebagai insektisida dan miksida. Minyak tanah
yang juga digunakan sebagai herbisida.
h. Antibiotik
Misalnya senyawa kimia seperti penicillin yang dihasilkan dari
mikroorganisme ini mempunyai efek sebagai bakterisida dan fungisida.

2.3 Pengertian Pestisida Organofosfat


Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia.Bila tertelan, meskipun
hanya dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kematian pada manusia.
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara
normal menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim
dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan
reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh
bagian tubuh.
Sifat toksisitas yang tinggi, tetapi penggunaan organofosfat untuk
pengobatan pada manusia tetap dilakukan berbagai studi untuk mengambil efek
terapeutik dari organofosfat (Lindell, 2003). Sekitar tahun 1930 sintesis
penghambat kolineterase pertama kali dipakai untuk penyakit gangguan otonom
pada otot rangka pada pengobatan Parkinsonisme. Studi kemudian dilanjutkan
pada takrin yang merupakan penghambat kolineterase pertama pada pengobatan

9
penyakit Alzheimerdan dilepaskan pada pengobatan klinik pada tahun 1993
(Dyro, 2006).
Racun adalah zat atau bahan yang bila masuk ke dalam tubuh melalui
mulut, hidung, suntikan dan absorpsi melalui kulit atau digunakan terhadap
organisme hidup dengan dosis relatif kecil akan merusak kehidupan atau
mengganggu dengan serius fungsi hati atau lebih organ atau jaringan(Mc Graw-
Hill Nursing Dictionary).
intoksikasi adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran
pencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan
gejala klinis.

2.4 Pestisida Golongan Organofosfat


Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain :
Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat,
Disulfoton, Ethion, Palathion, Malation, Parathion, Diazinon, Chlorpyrifos.
Senyawa Organofosfat merupakan penghambat yang kuat dari enzim
cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada persimpangan
persimpangan syaraf (neural jungstion) yang disebabkan oleh aktivitas
cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan
otot-otot. Golongan ini sangat toksik untuk hewan bertulang belakang.
Organofosfat disintesis pertama kali di Jerman pada awal perang dunia ke-II.

Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain :


2.4.1 Asefat
Diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk
mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids,
thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng.
LD50 (tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 10.000 mg/kg
menyebabkan iritasi ringan pada kulit (kelinci).

10
2.4.2 Kadusafos
Kadusafos merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun
perut. LD50 (tikus) sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak
menyebabkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.

2.4.3 Klorfenvinfos
Diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta
bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang.
LD50 (tikus) sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 – 108 mg/kg.

2.4.4 Klorpirifos
Merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta
bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. LD50 oral (tikus)
sebesar 135 – 163 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.

2.4.5 Kumafos
Ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non-sistemik untuk
mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41
mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.

2.4.6 Diazinon
Pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan
insektisida dan akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun
perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan
benih (seed treatment). LD50 oral (tikus) sebesar 1.250 mg/kg.

2.4.7 Diklorvos (DDVP)


Dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida ini
bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun
inhalasi. Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di
bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah
tangga.LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.

11
2.4.8 Malation
Diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida yang
dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang
beracun bagi serangga. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini bertindak
sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun
inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk
mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50
dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.

2.4.9 Paration
Ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang
digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang
disarankan oleh G. Schrader. Paration merupakan insektisida dan akarisida,
memiliki mode of action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase,
bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan
racun inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun, LD50 (tikus)
sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.

2.4.10 Profenofos
Ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini
memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk
mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50
(tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.

2.4.11 Triazofos
Ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida,
dan nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun
perut. Triazofos bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam
jaringan tanaman (translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai
hama seperti ulat dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 57 – 59 mg/kg; LD50 dermal
(kelinci) > 2.000 mg/kg.

12
2.5 Memahami diagnosis keracunan organofosfat
Penegakan diagnosa dari keracunan seringkali dengan mudah dapat
ditegakkan karena keluarga atau pengantar penderita sudah mengatakan penyebab
keracunan atau membawa tempat bahan beracun kepada dokter. Tapi kadang-
kadang kita menemui kesulitan dalam menentukan penyebab keracunan terutama
bila penderita tidak sadar dan tidak ada saksi yang mengetahui kejadiannya.
Diagnosa dari keracunan terutama didasarkan pada anamnesa yang diambil dari
orang tua, keluarga,pengasuh atau orang lain yang mengetahui kejadiannya.
Pada anamnesa ditanyakan kapan dan bagaimana terjadinya, tempat
kejadian dan kalau mungkin mencari penyebab keracunan. Ditanya pula
kemungkinan penggunaan obat-obatan tertentu atau resep yang mungkin baru
didapat dari dokter. Diusahakan sedapat mungkin agar tempat bekas bahan
beracun diminta untuk melihat isi bahan beracun dan kemudian diselidiki lebih
lanjut. Pemeriksaan fisik sangat penting terutama pada penderita-penderita yang
belum jelas penyebabnya. Selain pemeriksaan fisik rutin dicari pula tanda-tanda
khusus pada keracunan-keracunan tertentu seperti :

2.5.1 Bau
Aceton : Methanol, isopropyl alcohol, acetyl salicylic acid
Coal gas : Carbon monoksida Buah per : Chloralhidrat
Bawang putih : Arsen, fosfor, thalium, organofosfat
Alkohol : Ethanol, methanol
Minyak : Minyak tanah atau destilat minyak

2.5.2 Kulit
Kemerahan : Co, cyanida, asam borax, anticholinergik
Berkeringat : Amfetamin, LSD, organofosfat, cocain, barbiturat
Kering : Anticholinergik
Bulla : Barbiturat, carbonmonoksida
Ikterus : Acetaminofen, carbontetrachlorida, besi, fosfor, jamur
Purpura : Aspirin, warfarin, gigitan ular
Sianosis : Nitrit, nitrat, fenacetin, benzocain

13
2.5.3 Suhu tubuh
Hipothermia : Sedatif hipnotik, ethanol, carbonmonoksida, clonidin, fenothiazin
Hiperthermia : Anticholinergik, salisilat, amfetamin, cocain, fenothiazin,
theofilin

2.5.4 Tekanan darah


Hipertensi : Simpatomimetik, organofosfat, amfetamin .
Hipotensi : Sedatif hipnotik, narkotika, fenothiazin, clonidin, beta-blocker

2.5.5 Nadi
Bradikardia : Digitalis, sedatif hipnotik, beta-blocker, ethchlorvynol.
Tachikardia : Anticholinergik, amfetamin, simpatomimetik, alkohol, cokain,
aspirin, theofilin
Arithmia : Anticholinergik, organofosfat, fenothiazin, carbonmonoksida,
cyanida, beta-blocker.

2.5.6 Selaput lendir


Kering : Anticholinergik
Salivasi : Organofosfat, carbamat
Lesi mulut : Bahan korosif, paraquat
Lakrimasi : Kaustik, organofosfat, gas irritan

2.5.7 Respirasi
Depressi : Alkohol, narkotika, barbiturat, sedatif hipnotik
Tachipnea : Salisilat, amfetamin, carbonmonoksida
Kussmaull : Methanol, ethyliene glycol, salisilat

2.5.8 Oedema paru


Salisilat, narkotika, simpatomimetik

2.5.9 Usus dan saraf pusat


Kejang : Amfetamin, fenothiazin, cocain, camfer, tembaga, isoniazid,

14
organofosfat, salisilat, antihistamin, propoxyphene.
Miosis : Narkotika ( kecuali demerol dan lomotil ), fenothiazin,
diazepam, organofosfat (stadium lanjut), barbiturat,jamur.
Midriasis : Anticholinergik, simpatomimetik, cocain, methanol, lSD,
glutethimid.
Buta,atropi optic : Methanol
Fasikulasi : Organofosfat
Nistagmus : Difenilhidantoin, barbiturat, carbamazepim, ethanol,
carbonmonoksida, ethanol
Hipertoni : Anticholinergik, fenothiazin, strichnyn
Mioklonus,rigiditas : Anticholinergik, fenothiazin, haloperidol
Delirium/psikosis : Anticholinergik, simpatomimetik, alkohol, fenothiazin, logam
berat, marijuana, cocain, heroin, metaqualon
Koma : Alkohol, antikolinergik, sedative hipnotik, carbonmonoksida,
Narkotika, anti depressi trisiklik, salisilat, organofosfat
Kelemahan paralise: Organofosfat, carbamat, logam berat

2.5.10 Saluran pencernaan


Muntah,diare : Besi, fosfat, logam berat, jamur, lithium, flourida,
organofosfat nyeri perut.

2.6 Dampak Penggunaan Pestisida Organofosfat


Pestisida golongan organofosfat memiliki dampak pada penggunaanna
bagi makhluk hidup dan lingkungan :

2.6.1 Paration
Paration merupakan fenil organfosfat yang paling dikenal pada tahun
1946. Etil paration merupakan derivat fenil yang pertama dikenalkan secara
komersial, karena sifatnya yang sangat toksik tidak digunakan di rumah. Metil
paration dikenalkan 1946 dan lebih banyak digunakan daripada etil paration,
karena metil paration kurang toksik untuk manusia dan hewan piaraan.

15
2.6.2 Demeton
Demeton adalah organofosfat pestisida peringkat 10% bahan kimia yang
paling berbahaya teratas. Ini adalah racun bagi manusia, mamalia lain, organisme
air, dan spesies nontarget. Demeton adalah campuran isomer yang tidak berwarna
dan memiliki bau belerang yang kuat dan sebagai Inhibitor kolinesterase dan
serius menekan sistem saraf. Kolinesterase atau asetilkolin yang diproduksi di hati
adalah salah satu dari banyak enzim penting yang dibutuhkan untuk berfungsinya
sistem saraf manusia, vertebrata lainnya, dan serangga. Hal ini digunakan
sebagai acaricide dan insektisida pada berbagai tanaman untuk mengendalikan
kutu daun, tungau, lalat putih, thrips, dan leafminers. Demeton sangat beracun
bagi manusia. Sejumlah keracunan dan bahkan beberapa kematian pekerja yang
terpapar dalam jumlah besar demeton telah diamati. Gejala awal keracunan
mungkin termasuk keringat berlebihan, sakit kepala, lemah, pusing, mual,
muntah, hiper-air liur, sakit perut, penglihatan kabur, lakrimasi cadel bicara,
buang air kecil, diare dan otot berkedut. Kemudian mungkin ada kejang-kejang
dan koma.

2.6.3 Malation
Malation termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetik, yang
berarti berikatan irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf
serangga.Akibatnya, otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudian lumpuh,
dan akhirnya mati. Malation digunakan dengan cara pengasapan (fogging). Dosis
yang dipakai adalah 5% yaitu campuran antara malation dan solar sebesar 1:19
Malation membunuh insekta dengan cara meracun lambung, kontak langsung
dan dengan uap/pernapasan. Malation, mempunyai sifat yang sangat khas, dapat
menghambat kerja kolinesterase terhadap asetilkolin (Asetilcholinesterase
Inhibitor) di dalam tubuh. Insektisida mengalami proses biotransformation di
dalam darah dan hati. Sebagian malation dapat dipecahkan dalam hati mamalia
dan penurunan jumlah dalam tubuh terjadi melalui jalan hidrolisa esterase.

16
2.7 Mekasnisme toksisitas organofosfat
Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II.
Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP),
parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup
toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan komponen
yang protein terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia seperti
malation, tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan, meskipun
hanya dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kematian pada manusia.
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara
normal menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim
dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan
reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh
bagian tubuh.

2.8 Mekanisme kerja pestisida organofosfat dalam tubuh


Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah persenyawaan yang
tergolong antikholinesterase seperti physostigmin, prostigmin, diisopropyl-
fluoropphosphat dan karbamat.
Dampak pestisida terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung
dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam
tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim kholinesterase. Enzim
kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat.
Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf
berikutnya, kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS), akhirnya
terjadi gerakan-gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh
terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama, maka mekanisme kerja
enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem
syaraf.

17
Seluruh sistem persyarafan (the nervous system), terdapat pusat-pusat
pengalihan elektro kemikel yang dinamakan synapses, getaran-getaran impuls
syaraf elektrokemis (electrochemical nerve impulse), dibawa menyeberangi
kesenjangan antara sebuah syaraf (neuron) dan sebuah otot atau sari neuron ke
neuron. Karena getaran syaraf (sinyal) mencapai suatu sypapse, sinyal itu
merangang pembebasan asetilkolin.
Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan
yang menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan asam asetat. Sel darah merah
dapat mensintesis asetilkholin dan bahwa kholin asetilase dan asetilkholinesterase
keduanya terdapat dalam sel darah merah. Kholin asetilase juga ditemukan tidak
hanya di dalam otak tetapi juga di dalam otot rangka, limpa dan jaringan plasenta.
Adanya enzim ini dalam jaringan seperti plasenta atau eritrosit yang tidak
mempunyai persyaratan menunjukkan fungsi yang lebih umum bagi asetilkholin
dari pada funsi dalam syaraf saja. Pembentukan dan pemecahan asetilkholin dapat
dihubungkan dengan permeabilitas sel. Perhatian lebih diarahkan pada sel darah
merah, telah dicatat bahwa enzim kholin asetilase tidak aktif baik karena
pengahambatan oleh obat-obatan maupun karena kekurangan subtrat, sel akan
kehilangan permeabilitas selektifnya dan mengalami hemolisis.
Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya
getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam tubuh menerima
informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf,
stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam
betuk impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetikholin dipindahkan (diseberangkan)
melalui serabut, enzim kholinesterase memecahkan asetilkholin dengan cara
meghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuah ion asetat, impuls syaraf
kemudian berhenti. Reaksi-reaksi kimia ini terjadi sangat cepat.
Pestisida organofosfat ketika memasuki tubuh manusia atau hewan,
pestisida menempel pada enzim kholinesterase. Hal ini karena kholinesterase
tidak dapat memecahkan asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan)
menyebabkan suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah
kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi
terjadilah kematian.

18
Pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh akan menghambat
aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi akumulasi substrat
(asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan
gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kolinergik secara terus menerus
akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya akan dikenal
sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan.
Asetilkholin mudah dihidrolisis menjadi kholin dan asam asetat oleh kerja
enzim asetilkholinesterase, ditemukan tidak hanya pada ujung syaraf tetapi juga
dalam serabut syaraf, kerja asetilkholin dalam tubuh diatur oleh efek
penginaktifan asetilkholinesterase.
Pemecahan asetilkholin adalah suatu reaksi eksenergik karena diperlukan
energi untuk sintesisnya kembali. Asetat aktif (Asetil KoA) bertindak sebagai
donor untuk asetilasi kholin. Enzim kholinesterase yang diaktifkan oleh ionion
kalium dan magnesium mengatalisis transfer asetil dari asetil KoA ke kholin.
Antikholinesterase, pengambat asetilkholinesterase dengan akibat pemanjangan
aktifitas parasimpatis dipengaruhi oleh fisostigmin (eserin), kerja ini adalah
reversibel.
Neostigmin (prostigmin) adalah suatu alkaloid yang diduga berfungsi juga
sebagai inhibitor kholinesterase dan dengan demikian memanjangkan kerja
asetilkholin atau kerja parasimpatis. Ini telah dipakai dalam pengobatan
myasthenia gravis, suatu kelemahan otot dengan atrofi yang kronik dan prodresif.
Senyawa sintetik, diisopropilflurofosfat pada gambar berikut ini, juga
menghambat aktifitas esterase tetapi dengan cara ireversibel.

2.9 Gejala keracunan organofosfat


Gejala-gejala keracunan organofosfat akan muncul kurang dari 6 jam, bila
lebih dari itu, maka dipastikan penyebabnya bukan golongan Organofosfat.
a. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas,
sakit kepala dan gangguan penglihatan.
b. Gejala Lanjutan

19
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan,
pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung), kejang
usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan, kelemahan yang
disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
c. Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan,
hilangnya reflek, kejang dan koma.
d. Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan
kelumpuhan otot pernafasan.

Pestisida organofosfat dapat menimbulkan keracunan yang bersifat akut


dengan gejala (keluhan) sebagai berikut : leher seperti tercekik, pusing-pusing,
badan terasa sangat lemah, sempoyongan, pupil atau celah iris mata menyempit,
pandangan kabur, tremor, terkadang kejang pada otot, gelisah dan menurunnya
kesadaran, mual, muntah, kejang pada perut, mencret, mengeluakan keringat yang
berlebihan, sesak dan rasa penuh di dada, pilek, batuk yang disertai dahak,
mengeluarkan air liur berlebihan. Sebab baru biasanya terjadi 12 jam setelah
keracunan, denyut jantung menjadi lambat dan ketidakmampuan mengendalikan
buang air kecil maupun besar.
Organofosfat menyebabkan fosforilasi dari ester acetylcholine esterase
(sebagai choline esterase inhibitor ) yang bersifat irreversibel sehingga enzim ini
menjadi inaktif dengan akibat terjadi penumpukan acetylcholine. Efek klinik yang
terjadi adalah terjadi stimulasi yang berlebihan oleh acetylcholine.

2.9.1 Gejala klinis :


a. Sludge : salivasi, lakrimasi, urinasi, diare, gejala GI tract dan emesis
b. Miosis
c. Bronchokonstriksi dengan sekresi berlebihan, anak tampak sesak dan
banyak mengeluarkan lendir dan mulut berbusa dan bau organofosfat yang
tertelan ( bawang putih/garlic)
d. Bradikardia sampai AV block

20
e. Lain-lain : hiperglikemia,fasikulasi,kejang,penurunan kesadaran sampai
koma.
f. Depressi pusat pernafasan dan sistem kardiovaskular

2.9.2 Penatalaksanaan :
a. Lepaskan baju dan apa saja yang dipakai, dicuci dengan sabun dan siram
dengan air yang mengalir bahkan meskipun keracunan sudah terjadi
sampai 6 jam.
b. Lakukan kumbah lambung,pemberian norit dan cathartic
c. Atropinisasi untuk menghentikan efek acetylcholine pada reseptor
muscarinik, tapi tidak bisa menghentikan efek nikotinik.
d. Pralidoxim yang bekerja sebagai reaktivator dari cholin esterase pada
neuromuscular junction dan tidak mempengaruhi fungsi CNS karena tidak
dapat melewati blood brain barrier. Diberikan sesudah atropinisasi dan
harus dalam < 36 jam paparan. Dosis pada anak < 12 tahun 25 - 50
mg/kgBB IV,diulangi sesudah 1 – 2 jam,kemudian diberikan setiap 6 - 12
jam bila gejala masih ada.
e. Tidak boleh diberi morphine (depressi pernafasan), methylxanthine
(menurunkan ambang kejang), dan loop diuretic.
f. Pemberian oksigen kalau ada distres nafas,kalau perlu dengan pernafasan
buatan.
g. Pengobatan supportif
Hipoglikemia : glukosa 0,5 - 1g /kg BB IV.
Kejang : diazepam 0,2 - 0,3 mg/kgBB IV.

Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau


12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan
secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari
perubahan/pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar melalui
urine.

21
2.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan
Hasil pemeriksaan aktivitas kholinesterase darah dapat digunakan sebagai
penegas (konfirmasi) terjadinya keracuan pestisida pada seseorang. Sehingga
dengan demikian dapat dinyatakan pula bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya keracunan juga merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya
aktifitas kholenisterase darah. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
keracunan pestisida adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh
(eksternal), faktor-faktor tersebut adalah :

2.10.1 Faktor di dalam tubuh (internal)

a. Usia
Usia merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka
usiapun akan bertambah. Seseorang dengan bertambah usia maka kadar rata-rata
cholinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah
terjadinya keracunan pestisida.
b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahan
dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang buruk, protein
yang ada tubuh sangat terbatas dan enzim kholinesterase terbentuk dari protein,
sehingga pembentukan enzim kholinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa
orang yang memiliki tingkat gizi baik cenderung miliki kadar rata-rata
kholinesterase lebih besar.
c. Jenis Kelamin
Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4
μg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwa tiap-tiap
individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatif konstan dan
kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar
kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan
kholin dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat
mempengaruhi akatifitas enzim kholinestrase, jenis kelamin laki-laki lebih rendah
dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih banyak

22
kandungan enzim kolinesterase, meskipun demikian tidak dianjurkan wanita
menyemprot dengan menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar
rata-rata kholinesterase cenderung turun.
d. Tingkat Pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan
pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika di
bandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan
pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik.
e. Pengetahuan
Sikap dan praktek (tindakan), seseorang telah setuju terhadap objek, maka
akan terbentuk pula sikap positif terhadap obyek yang sama. Apabila sikap positif
terhadap suatu program atau obyek telah terbentuk, maka diharapkan akan
terbentuk niat untuk melakukan program tersebut. Bila niat itu betul-betul
dilakukan, hal ini sangat bergantung dari beberapa aspek seperti tersediannya
sarana dan prasarana serta kemudahan-kemudahan lainnya, serta pandangan orang
lain disekitarnya. Niat untuk melakukan tindakan, misalnya menggunakan alat
pelindung diri secara baik dan benar pada saat melakukan penyemproan pestisida,
seharusnya sudah tersedia dan praktis sehingga petani mau menggunakannya. Hal
ini merupakan dorongan untuk melakukan tindakan secara tepat sesuai aturan
kesehatan sehingga risiko terjadinya keacunan pestisida dapat dicegah atau
dikurangi.

2.10.2 Faktor di luar tubuh (eksternal)

a. Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin
mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida. Dosis
pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, hal ini di
tentukan dengan lama pemajanan. Untuk dosis penyempotan di lapangan
khususnya golongan organofosfat, dosis yang dianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha3,13).

23
b. Lama kerja sebagai petani
Semakin lama bekerja menjadi petani akan semakin sering kontak dengan
pestisida sehingga risiko keracunan pestisida semakin tinggi. Penurunan aktifitas
kholinesterase dalam plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung
mulai seseorang terpapar hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan.
c. Tindakan penyemprotan pada arah angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan
penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin dengan
kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saat menyemprot
yang melawan arah angin akan mempunyai risiko lebih
besar bila dibanding dengan petani yang saat menyemprot tanaman searah dengan
arah angin.
d. Waktu penyemprotan
Perlu diperhatikan dalam melakukan penyemprotan pestisida, hal ini
berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan keluarnya keringat
lebih banyak terutama pada siang hari. Sehingga waktu penyemprotan semakin
siang akan mudah terjadi keracunan pestisida terutama penyerapan melalui kulit.
e. Frekuensi Penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakan tinggi pula
risiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan.
Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dapat kontak dengan pestisida
maksimal 5 jam perhari.
f. Jumlah jenis pestisida yang digunakan
Jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam waktu penyemprotan akan
menimbulkan efek keracunan lebih besar bila dibanding dengan pengunaan satu
jenis pestisida karena daya racun atau konsentrasi pestisida akan semakin kuat
sehingga memberikan efek samping yang semakin besar.
g. Penggunaan Alat Pelindung Diri
Penggunaan alat pelindung diri dalam melakukan pekerjaan bertujuan
untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu, baik yang berasal dari
pekerjaan maupun lingkungan kerja. Alat pelindung diri berguna dalam mecegah
atau mengurangi sakit atau cidera. Pestisida umumnya adalah racun bersifat

24
kontak, oleh sebab itu penggunaan alat pelindng diri padapetani waktu
menyemprot sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida.

Jenis-jenis alat pelindung diri adalah :


a. Alat pelindung kepala dengan topi atau helm kepala.
b. Alat pelindung mata, kacamata diperlukan untuk melindungi mata dari
percikan, partikel melayang, gas-gas, uap, debu yang berasal dari
pemaparan pestisida.
c. Alat pelindung pernafasan adalah alat yang digunakan untuk
melindungi pernafasan dari kontaminasi yang berbentuk gas, uap,
maupun partikel zat padat.
d. Pakaian pelindung, dikenakan untuk melindungi tubuh dari percikan
bahan kimia yang membahayakan.
e. Alat pelidung tangan, alat ini biasanya berbentuk sarung tangan, untuk
keperluan penyemprotan sarung tangan yang digunakan terbuat dari
bahan yan kedap air serta tidak bereaksi dengan bahan kimia yang
terkandung dalam pestisida.
f. Alat pelindung kaki, biasanya berbentuk sepatu dengan bagian atas
yang panjang sampai dibawah lutut, terbuat dari bahan yang kedap air,
tahan terhadap asam, basa atau bahan korosif lainnya.

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemakain alat pelindung diri,
yaitu :
a. Perlengkapan pelindung diri tersebut harus terbuat dari bahanbahan
yang memenuhi kriteria teknis perlindungan pestisida.
b. Setiap perlengkapan pelindung diri yang akan digunakan harus dalam
keadaan bersih dan tidak rusak.
c. Jenis perlengkapan yang digunakan minimal sesuai dengan petunjuk
pengamanan yang tertera pada label/brosur pestisida tersebut.
d. Setiap kali selesai digunakan perlengkapan pelindung diri harus dicuci
dan disimpan di empat khusus dan bersih.

25
2.11 Cara Pencegahan Keracunan Pestisida
Pengetahuan tentang pestisida yang disertai dengan praktek penyemprotan
akan dapat menghindari petani/penyemprot dari keracunan. Ada beberapa cara
untuk meghindari keracunan antara lain :
a. Pembelian pestisida
Dalam pembelian pestisida hendaknya selalu dalam kemasan yang asli,
masih utuh dan ada label petunjuknya
b. Perlakuan sisa kemasan
Bekas kemasan sebaiknya dikubur atau dibakar yang jauh dari sumber
mata air untuk mengindai pencemaran ke badan air dan juga jangan sekali-kali
bekas kemasan pestisida untuk tempat makanan dan minuman.
c. Penyimpanan
Setelah menggunakan pestisida apabila berlebih hendaknya di simpan
yang aman seperti jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur dengan bahan
makanan dan sediakan tempat khusus yang terkunci dan terhindar dari sinar
matahari langsung.
d. Penatalaksanaan Penyemprotan
Pada pelaksanaan penyemprotan ini banyak menyebabkan keracunan oleh
sebab itu petani di wajibkan memakai alat pelindung diri yang lengkap setiap
melakukan penyemprotan, tidak melawan arah angin atau tidak melakukan
penyemprotan sewaktu angin kencang, hindari kebiasaan makan-minum serta
merokok di waktu sedang menyemprot, setiap selesai menyemprot dianjurkan
untuk mandi pakai sabun dan berganti pakaian serta pemakain alat semprot yang
baik akan menghindari terjadinya keracunan.

2.12 Aplikasi
Aplikasi dari organofosfat salah satunya adalah Analisis Residu
Klorpirifos pada Sawi Hijau (Brassica rapan var. parachinensis L) terhadap
Parameter Waktu Retensi Metode Kromatografi Gas. Alat yang digunakan :
1. Kromatografi Gas 4. Rotavapor
2. Alat gelas 5. Syringe mikro
3. Blender 6. Timbangan analitik

26
Bahan yang digunakan :
1. Sawi hijau 5. Isooktana
2. Standar klorpirifos 6. Petroleum benzin
3. Aseton 7. Toluena
4. Diklorometana

Penentuan dilakukan dengan beberapa tahapan cara :

Pengambilan Sampel

- Waktu pengambilan sampel dilaksanakan setelah kondisi


penyemprotan pesisida yang telah dihentikan seminggu
sebelum waktu panen.

Ekstraksi Sampel

- Sampel dipotong kecil ditimbang 15 gram dan dimasukkan


dalam gelas piala
- Sampel ditambahkan 30 mL aseton, diklorometan, dan
petroleum benzin masing-masing sebanyak 30 mL
- Campuran dilumatkan dengan blender selama beberapa detik
- Campuran ditutup aluminium foil dan didiamkan beberapa
saat untuk dipisahkan fase organiknya
- Fase organik yang telah dipisahkan dipipet 25 mL
dimasukkan ke labu bulat untuk dipekatkan dengan rotary
evaporator pada suhu tangas 55°C sampai sedikit kering.

Pembuatan Baku Standar


- Larutan standar klorpirifos dibuat dari 50 bpj dan diencerkan
menjadi 0.5 bpj, dan 0.05 bpj.

Pembuatan Larutan Sanpel

27
- Hasil ekstraksi sawi hijau dilarutkan dalam 5 mL pelarut iso
oktana dan toluena dengan perbandingan pelarut 9:1 (v/v).

Pengukuran dengan GC

- Larutan baku standar klorpirifos serta larutan sampel masing-


masing diambil 1 µl dengan syringe dan diinjeksikan secara
bergantian pada GC.

Perhitungan Data Analisis

- Perhitungan perbedaan waktu retensi (tR)

ΔtR = tR.b - tR.s / tR.b


Keterangan :
ΔtR : Selisih 2 waktu retensi
tr.b : Waktu retensi baku
tR.s : Waktu retensi sampel

- Perhitungan kadar residu klorpirifos

As. Vis. Cs. Vas. Vp. X


R=
As. Vis. Ves. Ws
Keterangan :
R : Kadar residu (ŋg/g)
AS : Luas area sampel
AB : Luas area baku
ViS : Volume injeksi sampel (µL)
ViB : Volume injeksi baku (µL)
CB : Konsentrasi injeksi baku (ŋg/µL)
VaS : Volume akhir sampel (µL)
VeS : Volume hasil ekstraksi sampel (mL)
VP : Volume jumlah pelarut yang digunakan (mL)
mS : Massa sampel (g)
X : Tetapan koreksi perhitungan kadar

28
Berdasarkan percobaan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 1 Data hasil profil kromatogram baku pembanding klorpirifos

Tabel 2 Data hasil profil kromatogram sampel

29
Kromatogram dari sampel sawi hijau didapatkan 22 peak yang terdeteksi.
Sampel sawi hijau ditemukan waktu retensi yang serupa dengan waktu retensi
peak pada kromatogram baku klorpirifos, yakni pada titik 2.396 menit. Setelah
dilakukan perhitungan, dapat dikatakan bahwa keduanya memenuhi persyaratan
untuk dikatakan sebagai senyawa sejenis, yakni menunjukkan persentase selisih
secara statistik tidak melebihi 1,5% dan tidak melebihi nilai simpangan baku
waktu retensi yakni tidak lebih atau sama dengan 2%. Setelah dilakukan
perhitungan kadar residu didapatkan hasil bahwa kadar klorpirifos pada sawi hijau
sebesar 2,406 ng/g atau 0,0024 mg/kg, dimana nilai ini tidak melebihi batas
maksimum residu (BMR) yang ditetapkan dalam Keputusan Bersama Kementrian
Terkait yakni tidak lebih dari 0,1 mg/kg.

Berdasarkan percobaan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:


Kromatogram ekstrak sawi hijau ditemukan peak dengan waktu retensi yang
sama dan senyawa yang identik dan kadar residu pada ekstrak sawi hijauh sebesar
0,0024 mg/kg yang dalam batas toleransi BMR 0,1 mg/kg.

30
BAB III
3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan,
meskupun hanya dalam jumlah sedikit, dpat menyebabkan kematian pada
manusia.
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul
sangat bergantung pada adnya stimulasi asetilkolin persisten atau depresi yang
diikuti oleh stimulasi saraf maupun perifer. Hal tersebut menyebabkan timblnya
gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.

3.2 Saran
Pestisida golongan organofosfat dalam penggunaan maupun sebaiknya
diperhatikan sesuai aturannya untk mencegah terjadinya keracunan. Pengawasan
terhadap aplikasi pestisida di lapangan juga harus dilakukan secara berkala.

31
DAFTAR PUSTAKA

Marzuki, A. Tajuddin, N. Risky, S. 2014. Analisis residu klorpirifos pada sawi


hijau (Brassica rapa var.parachinensis L.) terhadap parameter waktu
retensi metode kromatografi gas.

32

Anda mungkin juga menyukai