Anda di halaman 1dari 56

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT


AZRA BOGOR

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh
MUTIARA SHIMA
NIM: 16010132

PROGRAM STUDI STRATA 1 (S1) FARMASI


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2021
ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT
AZRA BOGOR

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi


Program Studi S1 Farmasi Sekolah Tinggi Teknologi Industri
dan Farmasi Bogor

Oleh
MUTIARA SHIMA
NIM: 16010132

PROGRAM STUDI STRATA 1 (S1) FARMASI


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2021
ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT
AZRA BOGOR

Oleh
MUTIARA SHIMA
NIM: 16010132

Proposal penelitian ini telah diperiksa dan disetujui,


Bogor, Maret 2021

Menyetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

(apt. Silvi Nurafni, M.Farm.) (apt. Oriza Safrini, S.farm.)

Pembantu Ketua 1

(Dr. Achmad Fauzi Isa, M.Sc.)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rakhmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian adapun judul ini adalah ”ANALISIS RASIONALITAS
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP DI
RUMAH SAKIT AZRA BOGOR“.
Proposal penelitian ”ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT
AZRA BOGOR” ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan untuk
memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan
Farmasi Bogor Program Studi Strata 1 Farmasi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu sehingga tersusunnya proposal penelitian ini. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan terutama kepada :
1. Ibu apt. Siti Mariam, M.Farm., selaku Ketua Sekolah Tinggi Teknologi
Industri dan Farmasi Bogor.
2. Bapak Dr. Rizasyah Daud, M.Sc., SpPD., FINASIM selaku Direktur Utama
Rumah Sakit Azra Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melaksanakan penelitian.
3. Bapak Dr. Achmad Fauzi Isa, M.Sc., selaku pembantu ketua 1 Sekolah Tinggi
Teknologi Industri dan Farmasi Bogor.
4. Bapak apt. Ferry Effendi, M.Farm., selaku Ketua Program Studi S1 Farmasi
Strata satu.
5. Ibu apt. Silvi Nurafni, M.Farm., selaku pembimbing di Sekolah Tinggi
Teknologi Industri dan Farmasi Bogor yang telah membantu memberikan
pengarahan dalam penulisan penelitian ini.
6. Ibu apt. Oriza Safrini, S.farm., selaku pembimbing di Rumah Sakit Azra Bogor
yang telah membantu memberikan pengarahan dalam penulisan penelitian ini.
7. Suami Faisal Amin dan Anakku Dylan Arfa Rajendra dan Ghaisan Arsya
Narendra yang telah memberikan dukungan motivasi, doa restu sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik.

i
8. Kedua orang tua dan mertua, yang telah memberikan dukungan motivasi, doa
restu sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan
baik.
9. Teman-teman angkatan 20 terutama Enny, Depi, Linda yang selalu
memberikan dukungan dan semangat dari awal kuliah hingga akhir penulisan
skripsi ini.
10. Teman-teman Instalasi Farmasi Rumah Sakit Azra Bogor yang selalu
memberikan semangat untuk penulis menyelesaikan skripsi ini.
11. Staff Rekam Medik Rumah Sakit Azra Bogor yang telah membantu
melancarkan proses pengumpulan data serta semua pihak terlibat yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal penelitian ini masih


banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Akhir kata Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat
bagi penulis maupun rekan-rekan lainnya.
Bogor, Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... iii
DAFTAR TABEL........................................................................................ iv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah......................................................... 3
1.3 Batasan Masalah.............................................................. 4
1.4 Kerangka Pemikiran......................................................... 4
1.5 Hipotesis.......................................................................... 4
1.6 Tujuan Penelitian............................................................. 4
1.7 Manfaat Penelitian........................................................... 5
1.7.1 Bagi Penulis....................................................... 5
1.7.2 Bagi Institusi Pendidikan................................... 5
1.7.3 Bagi Rumah Sakit.............................................. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................. 6


2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan...................... 6
2.1.1 Anatomi Sistem Pernapasan................................ 6
2.1.2 Fisiologi Sistem Pernapasan................................ 9
2.2 Pneumonia........................................................................ 9
2.2.1 Definisi Pneumonia.............................................. 9
2.2.2 Klasifikasi Pneumonia......................................... 10
2.2.3 Etiologi Pneumonia.............................................. 11
2.2.4 Patofiologi Pneumonia......................................... 11
2.2.5 Pathway Pneumonia............................................. 13

iii
2.2.6 Tanda dan Gejala Pneumonia.............................. 14
2.2.7 Faktor Resiko....................................................... 14
2.2.8 Penatalaksaan Pneumonia.................................... 15
2.2.9 Pemeriksaan Penunjang....................................... 15
2.3 Antibiotik......................................................................... 16
2.3.1 Definisi Antibiotik............................................... 16
2.3.2 Penggolongan Antibiotik..................................... 17
2.3.3 Penggunaan Antibiotik......................................... 21
2.3.4 Resistensi Antibiotik............................................ 22
2.3.5 Mekanisme Resistensi Antibiotik........................ 22
2.3.5.1 Resistensi Plasmid-mediated................... 22
2.3.5.2 Resistensi Chromosome-mediated........... 23
2.3.5.3 Faktor Yang Mempengaruhi Resistensi... 24
2.3.6 Evaluasi Penggunaan Antibiotik.......................... 24
2.3.7 Alur Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik
(Gyssens Flowchart)............................................ 26
2.3.8 Kegagalan Terapi................................................. 29

BAB 3 METODE KERJA...................................................................... 31


3.1 Desain Penelitian.............................................................. 31
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian........................................... 31
3.3 Populasi dan Sampel......................................................... 31
3.3.1 Populasi................................................................. 31
3.3.2 Sampel................................................................... 31
3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi.............................................. 32
3.4.1 Inklusi................................................................... 32
3.4.2 Ekslusi................................................................... 32
3.5 Landasan Teori.................................................................. 32
3.6 Kerangka Konsep.............................................................. 33
3.7 Definisi Operasional......................................................... 34
3.8 Prosedur Pengumpulan Data............................................. 37
3.9 Analisis Data..................................................................... 37

iv
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 38
LAMPIRAN.............................................................................................. 40

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Gambar Pathway Pneumonia............................................................. 14


2. Gambar Alur Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik (Gyssens Flowchart)
............................................................................................................ 26
3. Kerangka Konsep............................................................................... 33

v
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Definisi Operasional Variabel............................................................ 34

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Surat Izin Penelitian Penelitian Di RS Azra Bogor................................ 40
2. Data Pengobatan Pneumonia Selama Perawatan................................... 41
3. Data Peringkat Pneumonia Di RS Azra Bogor 2020.............................. 42

vii
viii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut karena
adanya inflamasi, pembengkakan atau peradangan pada jaringan parenkim paru
yang biasanya dikaitkan dengan pengisian alveoli dengan cairan yang disebabkan
oleh mikoorganisme yaitu bakteri, virus, jamur dan parasit. Gejala pneumonia
meliputi batuk pilek disertai napas sesak atau napas cepat, penyakit ini sering
menyerang anak balita, namun dapat ditemukan pada orang dewasa, dan pada
orang lanjut usia (Yulianti, 2012). Terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terkena pneumonia, diantaranya yaitu Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA), usia lanjut, malnutrisi, imunisasi tidak lengkap, tidak
mendapatkan ASI ekslusif dan polusi udara (Wahid, 2013).
Menurut Riset Kesahatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018, prevalensi
pengidap pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia
tahun 2013 mencapai 1,6%, sedangkan pada tahun 2018 meningkat menjadi 2,0%
(Riskesdas, 2018).
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pneumonia merupakan
penyakit yang memiliki tingkat Crude Fanality Rate (CFR) yang tinggi, yaitu
sekitar 7,6%. Di Indonesia pada tahun 2010, pneumonia termasuk kesepuluh
penyakit besar rawat inap di seluruh Indonesia dengan angka kejadian mencapai
17.311 jiwa dengan presentase 53,95% pada laki-laki dan 46,05% pada
perempuan (PDPI, 2014).
Di Jawa Barat pada tahun 2018, menurut data Riskesdas 2018 insiden dan
prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (naskes) adalah
sekitar 2,6%. Berdasarkan rekam medik Rumah Sakit Azra Bogor, pasien
Pneumonia yang menjalani rawat inap cukup tinggi, diketahui bahwa jumlah
pasien Pneumonia periode 1 Januari hingga 31 Desember tahun 2020 adalah 110
pasien dengan menempati urutan ke 4 dari 10 besar penyakit rawat Inap di Rumah
Sakit Azra Bogor.

1
2

Pneumonia terjadi karena disebabkan oleh bakteri sehingga dibutuhkan


terapi empiris yaitu agen antibiotik (Tjay dan Rahardja, 2017). Antibiotik
digunakan dalam terapi pneumonia karena dapat menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri. Salah satu indikator penggunaan obat yang tidak rasional di
suatu sarana kesehatan adalah angka penggunaan antibotik. Pemberian antibiotik
yang tidak rasional dapat memberikan dampak negatif, seperti meningkatkan efek
samping dan toksisitas, serta resistensi antibiotik terhadap bakteri. Jika resistensi
antibiotik ini tidak terdeteksi maka akan menimbulkan keparahan penyakit dan
menjadi sulit untuk disembuhkan (Nugroho et al., 2011). Resistensi antibiotik
adalah kemampuan bakteri untuk bertahan hidup terhadap efek antibiotik sehingga
tidak efektif dalam penggunaan klinis, bakteri yang semula peka terhadap suatu
antimikroba dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak peka (resisten) atau
kurang peka (Kemenkes, 2011).
Risestensi antibiotik dapat membahayakan nyawa pasien sehingga infeksi
sulit untuk diobati. Semakin lamanya rawat inap di rumah sakit dan berpengaruh
pada biaya pelayanan kesehatan akan menjadi lebih meningkat seiring dengan
dibutuhkannya antibiotik baru yang lebih kuat (Desrini, 2015). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Saputro di Semarang menunjukkan resistensi S.
pneumoniae terhadap tetrasiklin sebesar 78,3%, terhadap trimetoprim-
sulfametoksazol sebesar 52,2%, terhadap oksasisilin sebesar 47,8%, terhadap
Eritromisin sebesar 17,4% dan 8,7% terhadap levofloksasin dan vankomisin
(Saputro et al, 2013).
Evaluasi penggunaan antibiotik merupakan salah satu upaya untuk
mencegah terjadinya resistensi antibiotik. Evaluasi penggunaan antibiotik dapat
dilakukan dengan dua metode yaitu secara kuantitatif dan kualitatif (Katamda,
2014). Evaluasi secara kuantitatif adalah evaluasi jumlah dan jenis antibiotik yang
digunakan dan tidak dapat menilai rasionalitas dari penggunaan antibiotik.
Sedangkan evaluasi kualitatif yaitu dapat mengevaluasi ketepatan penggunaan
antibiotik. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menghimbau
berbagai rumah sakit untuk menggunakan alur Gyssens untuk mengaudit kualitas
penggunaan antibiotik (Kemenkes RI, 2011). Sehingga dalam penelitian ini
3

dilakukan evaluasi secara kualitatif penggunaan antibiotik pada pasien


pneumonia.
Metode Gyssens adalah salah satu indikator untuk menilai ketepatan
pemakaian antibiotik yang telah dipakai di berbagai Negara. Hasil evaluasi
pengembangan Gyssens terkait pemakaian antibiotik untuk mengukur kualitas dari
ketepatan pemakaian antibiotik diantaranya, yaitu dosis, waktu pemberian, lama
pemberian, toksisitas, ketepatan pemilihan berdasarkan pada efektivitas, ketepatan
indikasi, harga dan spektrum, interval serta rute pemberian (Gyssens dan Meer,
2001).
Penggunaan metode Gyssens dalam penelitian ini berdasarkan Permenkes
No. 8 Tahun 2015 yang merupakan kebijakan dari Kementerian Kesehatan dengan
menetapkan Program Pengendalian Resistensi Antibiotik (PPRA) di Rumah Sakit.
Metode Gyssens juga diterapkan oleh tim PPRA di RS Azra Bogor untuk
mengevaluasi rasionalitas antibotik di RS Azra Bogor. Evaluasi rasionalitas
penggunaan antibiotik di RS Azra Bogor menggunakan pedoman tata laksana dari
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
Dalam penelitian ini antibiotik yang akan dievaluasi berdasarkan
penggunaan antibiotik yang diresepkan oleh dokter spesialis paru untuk
pengobatan pneumonia di rawat inap RS Azra Bogor. Adapun antibiotik tersebut
adalah
Melihat kenaikan prevalensi Pneumonia tiap tahunnya dan sehubungan
dengan beberapa uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang analisis rasionalitas penggunaan antibiotik pasien pneumonia rawat inap,
dengan tempat penelitian di Rumah Sakit Azra Bogor karena penyakit Pneumonia
menempati peringkat ke 4 dari 10 penyakit besar rawat inap.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas dapat diidentifikasi
masalah penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimanakah gambaran data sosiodemografi pasien pneumonia yang
menjalani rawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor?
4

b. Bagaimanakah gambaran penggunaan antibiotik pasien pneumonia yang


menjalani rawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor?
c. Bagaimanakah evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik pasien
pneumonia yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor
berdasarkan metode Gyssens?
d. Bagaimanakah evaluasi penggunaan antibiotik pasien pneumonia yang
menjalani rawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor dengan metode
ATC/DDD?

1.3 Batasan Masalah


Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penelitian ini dibatasi pada:
a. Gambaran data sosiodemografi pasien pneumonia yang menjalani rawat inap
di Rumah Sakit Azra Bogor meliputi usia dan jenis kelamin.
b. Gambaran penggunaan antibiotik pasien pneumonia yang menjalani rawat
inap di Rumah Sakit Azra Bogor periode Januari – Desember 2020.
c. Evaluasi kerasionalan antibiotik pasien pneuomia yang menjalani rawat inap
di Rumah Sakit Azra Bogor periode Januari - Desember 2020 berdasarkan
metode Gyssens.

1.4 Kerangka Pemikiran


Penelitian ini mengkaji tentang evaluasi penggunaan antibiotik pasien
pneumonia dari jenis antibiotik, dosis antibiotik, harga antibiotik, toksisitas
antibiotik, rute antibiotik, interval antibiotik, spektrum antibiotik, antibiotik
alternatif, frekuensi pemberian antibotik dan lama pemberian antibiotik sesuai alur
metode Gyssens. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan
teknik total sampling yang memenuhi kriteria inkulis dan eksklusi. Data sekunder
penelitian ini dikumpulkan dari rekam medik pasien dan lembar kendali obat
pasien pneumonia rawat inap yang terdiri atas nomor registrasi rekam medik
pasien, nama pasien, usia pasien, jenis kelamin pasien, jenis antibiotik, dosis
antibiotik, harga antibiotik, toksisitas antibiotik, rute antibiotik, interval antibiotik,
spektrum antibiotik, antibiotik alternatif, frekuensi pemberian antibotik dan lama
5

pemberian antibiotik. Data yang telah dikumpulkan, dianalisis secara deskriptif


dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dengan menggunakan SPPS versi 17.

1.5 Hipotesis
Antibiotik yang digunakan pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Azra Bogor sudah rasional dan sesuai dengan standar Gyssens.

1.6 Tujuan Penelitian


a. Untuk mengetahui gambaran data sosiodemografi pasien pneumonia yang
menjalani rawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor.
b. Untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotik pasien pneumonia yang
menjalani rawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor.
c. Untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik pasien pneumonia
yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor berdasarkan metode
Gyssens.

1.7 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian dapat memberikan manfaat praktis dalam keberhasilan dan
efektivitas terapi, manfaat tersebut adalah:
1.7.1 Bagi Rumah Sakit Azra Bogor
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau informasi
untuk menganalisis dan mengevaluasi penggunaan antibiotik pasien pneumonia
yang menjalani rawat inap, khususnya dalam pemilihan dan penggunaan
antibiotik secara bijak dan rasional.

1.7.2 Institusi Pendidikan STTIF Bogor


Bagi institusi pendidikan tempat peneliti menimba ilmu, dalam hal ini
Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan Farmasi (STTIF) Bogor, hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengembangan penelitian
dalam bidang kefarmasian di rumah sakit, sehingga dapat berkontribusi dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat.
6

1.7.3 Bagi Peneliti


Penelitian ini diharapkan menjadi media untuk mengaplikasikan teori yang
didapat saat proses pembelajaran kedalam praktek lapangan sesungguhnya.
Terutama mengenai penggunaan antibiotik pasien pneumonia. Dengan demikian
penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas pengetahuan penulis,
sehingga dapat digunakan dalam penelitian yang lebih lanjut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan


2.1.1 Anatomi Sistem Pernapasan
Struktur tubuh yang berperan dalam sistem pernapasan yaitu :
a. Nares Anterior
Nares anterior merupakan saluran-saluran yang bermuara di dalam
lubang hidung yang dikenal sebagai vestibulum (rongga hidung).
Vestibulum dilapisi epithelium bergaris yang bersambung dengan kulit.
Lapisan nares anterior memuat sejumlah kelenjar sebaseus yang
ditutupi bulu kasar yang bermuara di rongga hidung.
b. Rongga Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh banyak pembuluh darah, bersambung
dengan lapisan faring dan selaput lendir semua sinus yang mempunyai
lubang masuk ke dalam rongga hidung. Daerah pernapasan dilapisi
epithelium silinder dan sel epitel berambut yang mengandung sel
lendir. Sekresi sel tersebut mengakibatkan permukaan nares basah dan
berlendir. Selaput lendir yang paling tebal terdapat di bagian atas
septum nasalis dan konka. Tiga tulang kerang (konka) yang diselaputi
epitelium pernapasan yang menjorok dari dinding lateral hidung ke
dalam rongga, sangat memperbesar permukaan selaput lendir tersebut.
Ketika udara masuk melalui hidung akan disaring oleh bulu-bulu yang
terdapat di dalam rongga hidung. Pada waktu udara kontak dengan
permukaan lendir, udara tersebut menjadi hangat karena menguapnya
air dari permukaan selaput lendir, sehingga udara akan menjadi lembab
(Syaifuddin, 2014).
c. Faring (tekak)
Di bawah dasar tengkorak tepatnya di belakang rongga hidung dan
mulut sebelah depan ruas tulang leher terdapat faring atau tekak, yaitu
tempat persimpangan jalan pernapasan dan jalan makan. Faring atau
tekak berhubungan dengan bagian atas rongga hidung dan sebagai

7
8

perantara lubang yaitu koana. Sedangkan pada bagian depan


berhubungan dengan rongga mulut, disebut juga dengan istmus
fausium. Pada bagian bawah terdapat dua lubang (ke belakang lubang
esophagus dan ke depan lubang laring).
d. Laring (tenggorokan)
Laring atau pangkal tenggorokan terletak di depan bagian faring
sampai ketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakea di
bawahnya, merupakan saluran udara dan sebagai pembentuk suara.
Terdapat epiglotis yang merupakan sebuah empang tenggorkan yang
terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi menutupi laring pada
saat kita menelan makanan.
e. Trakea (batang tenggorokan)
Lanjutan dari laring yaitu trachea atau batang tenggorokan, terbentuk
oleh 16 hingga 20 cincin tulang-tulang rawan yang membentuk kuku
kuda (huruf C) di bagian dalamnya terdapat sel bersilia yang
merupakan selaput lendir berbulu getar dan hanya bergerak ke arah
luar. Pada bagian belakang trakea terdiri dari jaringan ikat yang
dilapisi oleh otot polos dan memiliki panjang 9 sampai 11 cm.
f. Bronkus (cabang tenggorokan)
Bronkus atau cabang tenggorokan memilik struktur yang mirip dengan
trakea dan dilapisi dengan jenis sel yang sama, terdapat 2 buah pada
ketinggian torakalis IV dan V. Bronkus kanan lebih besar dan lebih
pendek dari pada bronkus kiri, mempunyai 6 sampai 8 cincin dengan 3
cabang. Bronkiolus (bronkioli) merupakan cabang yang lebih kecil.
Pada ujung bronkiolus terdapat alveoli atau gelembung paru atau
gelembung hawa dan tidak memiliki cincin lagi.
g. Paru-paru
Sebagian besar paru-paru terdiri dari alveoli atau gelembung hawa.
Pada gelembung hawa ini terdiri dari sel-sel endotel dan epitel. Luar
permukaannya kurang lebih 90 m2 pada saat dibentangkan. Di lapisan
ini terjadi proses pertukaran udara, oksigen masuk ke dalam daran dan
karbondioksida dikeluarkan dari darah. Jika dijumlahkan antara
9

gelembung paru-paru kanan dan kiri terdapat kurang lebih 700.000.000


buah.
Pada bagian paru-paru kanan terdapat 3 lobus (belahan paru), lobus
inferior, lobus media dan lobus pulmo dekstra superior. Sedangkan
paru-paru kiri terdapat lobus inferior dan lobus sinistra, lobus superior.
Dimana tiap lobus tersusun oleh lolubus dan tiap lobus terdiri dari
belahan kecil bernama segmen. Paru-paru kanan memiliki 10 segmen
yaitu 3 buah segmen pada lobus inferior, 2 buah segmen pada lobus
medialis dan 5 buah segmen pada lobus superior. Sedangkan paru-paru
kiri memiliki 10 buah segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus inferior
dan 5 buah segmen pada lobus superior. Pada setiap segmen terbagi
lagi menjadi belahan-belahan yang disebut lobulus.
Setiap lobulus mempunyai bronkiolus dan antara lobulus satu dengan
lobulus lainnya dibatasi dengan jaringan ikat yang berisi pembuluh
darah getah bening dan saraf. Bronkiolus yang terdapat dalam lobulus
mempunyai banyak cabang yang disebut duktus alveolus. Setiap
duktus alveolus berujung pada alveolus dengan diameter sekitar 0,2-
0,3 mm.
Paru-paru terletak di rongga dada datarannya menghadap ke tengah
kavum mediastinum atau tengah rongga dada. Dibagian tengah paru-
paru terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Selaput pembungkus paru-
paru disebut pleura. Terdapat 2 pleura yang pertama adalah pleura
visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung
membugkus paru-paru. Yang kedua adalah pleura parietal yaitu selaput
yang melapisi rongga dada bagian luar. Pada keadaan normal paru-
paru akan vakum (hampa) sehingga dapat berkembang kempis serta
terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berfungsi untuk meminyaki
permukaan pleura, mencegah adanya gesekan antara paru-paru dan
dinding dada sewaktu terjadi gerakan bernapas.
10

2.1.2 Fisiologi Saluran Pernapasan


Di dalam tubuh kadar oksigen diatur sesuai kebutuhan. Jika selama 4
menit manusia tidak mendapatkan oksigen akan terjadi kerusakan pada otak yang
tidak dapat diperbaiki serta menyebabkan kematian. Sedangkan jika kadar oksigen
berkurang mengakibatkan kacau pikiran.
Pernapasan paru atau pernapasan eksterna yaitu pertukaran udara yang
terjadi antara oksigen dan karbondioksida. Oksigen terhirup ke dalam mulut dan
hidung pada waktu bernapas kemudian masuk melalui trakea sampai ke alveoli
menuju darah dalam kapiler pulmonari. Oksigen dipisahkan dari darah oleh
aleveoli, oksigen menembus membran, lalu sel darah merah mengambil oksigen
menuju jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh.
Oksigen yang terdapat dalam alveoli bergerak ke arah kapiler pulmonalis
sebagai gas terlarut untuk menurunkan gradien konsentrasi. Oksigen yang terlarut
maupun yang berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin sekitar 98%
hingga 99% diangkut dalam darah sehingga mempengaruhi saturasi oksigen
(Porth dan Marfin, 2019).
Proses pengambilan oksigen dan pengeluar karbondioksida terjadi karena
konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernapasan dalam
otak untuk memperbesar pernapasan. Sel darah merah (hemoglobin) yang
mengandung banyak oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam jaringan,
mengambil karbondioksida kemudian membawanya ke paru-paru dan di paru-
paru terjadi pernapasan eksterna.

3.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme
seperti bakteri, virus, jamur dan parasit yang menyebabkan peradangan akut
parenkim pada paru-paru (PDPI, 2014). Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi
akut pada jaringan paru-paru yaitu batuk, pilek dan disertai napas sesak atau napas
cepat. Peradangan pada pneumonia menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat apabila mengenai parenkim paru. Peradangan
11

pada parenkim paru mengakibatkan jaringan paru terisi oleh cairan dan timbul
abses serta menyebabkan kematian (Prabu, 1996).

2.2.2 Klasifikasi Pneumonia


1. Community Acquired Pneumonia (CAP)
Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan pneumonia pada
seseorang yang didapat dari luar rumah sakit atau di masyarakat.
Penyebab umum dari CAP yaitu Streptococcus pneumonia, virus,
bakteri atipikal dan Haemopilus influenza tergantung dari usia
seseorang. Pada populasi beresiko tertentu yang dapat menyebabkan
CAP adalah bakteri gram negatif.
2. Hospital Acquired Pneumonia (HAP)
Hospial Acquired Pneumonia (HAP) dikenal juga sebagai pneumonia
nosokomial adalah pneumonia yang didapatkan selama menjalani
rawat inap di rumah sakit atau sesudahnya karena penyakit lain atau
prosedur. HAP disebabkan oleh mikrobiologi, perawatan dan prognosi
berbeda dari Community Acquired Pneumonia (CAP). Beberapa faktor
resiko terjadinya pneumonia pada pasien yang menjalani rawat inap di
rumah sakit adalah ventilasi mekanis, malnutrisi berkepanjangan,
penyakit dasar jantung dan paru-paru, penurunan jumlah asam
lambung serta gangguan imun. Mikroorganisme pasien pneumonia
yang didapat dari rumah sakit berbeda dengan yang didapatkan dari
masyarakat. Mikroorganisme dari suatu rumah sakit termasuk bakteri
resisten seperti MRSA, Enterobacter, Pseudomonas dan Serratia.
Pasien dengan pneumonia Hospital Acquired Pneumonia (HAP)
biasanya memiliki riwayat penyakit yang mendasari dan terekspos
dengan bakteri yang lebih berbahaya. Hospital Acquired Pneumonia
(HAP) lebih mematikan dibandingkan dengan Community Acquired
Pneumonia (CAP) (Fransisca, 2000).
12

3. Ventilator Associated Pneumonia (VAP)


Ventilator Associated Pneumonia (VAP) timbul setelah minimal 48
jam sesudah intubasi dan ventilasi mekanis. VAP adalah pneumonia
bagian dari Hospital Acquired Pneumonia (HAP).

2.2.3 Etiologi Pneumonia


1. Bakteri
Pada usia lanjut biasanya pneumonia didapatkan dari bakteri. Bakteri
yang menyebabkan pneumonia yaitu bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif. Bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumonia,
Staphylococcus aerous dan Streptococcus pyogenesis. Sedangkan
bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza, Klebisella
pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Virus
Infeksi yang disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui
transmisi droplet. Penyebab utama pneumonia virus yaitu
Cytomegalovirus.
3. Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplamosis dapat
ditemukan pada kotoran burung, tanah dan kompos. Penyebarannya
terjadi melalui udara yang kita hirup.
4. Parasit
Parasit yang paling umum menyebabkan pneumonia adalah
Toxoplasma gondii, Strongioides stercoralis dan Ascariasis. Parasit
memasuki tubuh melalui kulit atau tertelan, kemudian masuk ke paru-
paru melalui darah.

2.2.4 Patofisiologi Pneumonia


Pneumonia merupakan hasil dari proliferasi patogen mikrobial di alveolar
dan respon tubuh terhadap patogen tersebut. Salah satu cara mkroorganisme
penyebab pneumonia dapat masuk ke dalam saluran pernapasan yaitu melalui
aspirasi orofaring melalui droplet.
13

Faktor yang dapat mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam saluran


pernapasan yaitu mekanis host seperti rambut nares, turbinasi dan arsitektur
trakeobronkial yang bercabang-cabang. Selain itu juga refleks batuk dan refleks
tersedak serta flora normal dalam mulut dapat mencegah adhesi mikroorganisme
di orofaring.
Ketika akhirnya mikroorganisme dapat masuk ke alveolus, tubuh memiliki
makrofag alveolar. Jika kemampuan makrofag membunuh mikroorganisme lebih
rendah dari pada kemampuan mikroorganisme bertahan hidup, maka akan muncul
pneumonia. Lalu makrofag akan menginisiasi respon inflamasi host, sehingga
timbul manifestsasi klinis pneumonia. Kemudian terjadinya pemicu pelepasan
mediator inflamasi seperti IL (interleukin) 1 dan TNF (Tumor Necrosis Factor)
sebagai respon inflamasi tubuh yang dapat menimbulkan demam. Neutrofil akan
pindah ke paru-paru dan menyebabkan leukositosis perifer sehingga
meningkatkan sekresi purulen.
Mediator inflamasi dan neutrofil akan menyebabkan kebocoran kapiler
alveolar lokal. Kebocoran ini mengakibatkan eritrosit dapat keluar dan
menyebabkan hemoptisis. Sehingga pada hasil radiografi menyebabkan
penampakan infiltrat dan rales pada auskultasi serta hipoksemia akibat terisinya
alveolar.
Bakteri patogen pada keadaan tertentu dapat menggangu vasokonstriksi
hipoksi yang biasanya muncul pada alveoli yang terisi cairan dan menyebabkan
hipoksemia berat. Jika proses ini semakin memberat dan menyebabkan perubahan
mekanisme paru dan volume paru serta shunting aliran darah sehingga berujung
pada kematian.
14

2.2.5 Pathway Pneumonia


Virus/Bakteri/Jamur/Parasit
(penyebab)

Saluran napas dalam

Gangguan pembersihan di paru-paru

Radang bronkial

Radang/inflamasi pada bronkus Hipertermi

Akumulasi mukus Produksi mukus Kontraksi berlebih

Timbul reaksi balik Edema/pembengkakan Hiperventilasi paru


Pada mukosa/sekret

Pengeluaran energi Atelektasis


Ketidakefektifan
berlebih bersihan jalan napas

Hipoksemia
Kelelahan Intoleransi aktivitas

Kompensasi
frekuensi napas
Anoreksia

Ketidakseimbangan nutrisi kurang Ketidakefektifan pola napas


dari kebutuhan tubuh
15

Gambar 1. Pathway pneumonia


2.2.6 Tanda dan Gejala Pneumonia
Beberapa gejala pneumonia menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) berdasarkan diagnosis yang didapatkan dari amnesia, pemeriksaan fisis,
foto toraks dan laboratorium yaitu sebagai berikut (PDPI, 2014):
1. Batuk produktif, merupakan batuk yang menghasilkan dahak atau
lender
2. Perubahan karakteristik sputum/purulent (sputum kehijauan atau
kuning)
3. Demam tinggi (suhu tubuh ≥ 39oC) disertai dengan menggigil
4. Nyeri dada seperti dada pleuritis, nyeri tajam atau seperti ditusuk
5. Sesak
6. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki (bunyi gaduh yang dalam)
7. Thorax photo menunjukkan infiltrasi melebar
8. Jumlah leukosit > 10.000 ul atau < 4000/ul
Gejala lain yang mungkin ditemukan:
1. Kulit yang lembab
2. Mual dan muntah
3. Nyeri sendi atau otot
4. Hilangnya nafsu makan
5. Kelelahan

2.2.7 Faktor Resiko


Beberapa faktor resiko pneumonia yaitu jenis kelamin, umur, riwayat
BBLR, gizi kurang, defisiensi vitamin A, pemberian ASI yang kurang memadai,
status imunisasi, polusi udara, ventilasi rumah, kepadatan rumah tangga dan
pemberian makanan yang terlalu dini (Depkes RI, 2014). Sedangkan menurut
Price dan Wilson, faktor resiko pneumonia adalah usia di atas 65 tahun, aspirasi
sekret orofaringeal, sakit yang parah dan akan menyebabkan kelemahan misalnya
diabetes militus dan uremia, penyakit pernapasan kronik misalnya kistik fibrosis
16

dan asma, trasektomi atau pemakaian selang endotrakeal, kanker (terutama kanker
paru), bedak abdominal dan toraks, pengobatan dengan imunosupresif, AIDS,
fraktur tulang iga, alkoholise, riwayat merokok dan malnutrisi (Price dan Wilson,
2005).

2.2.8 Penatalaksaan Pneumonia


1. Terapi Farmakologi
Menurut Misnadiarly (2008), terapi pada pasien pneumonia
diantaranya sebagai berikut :
a. Antibiotik, terutama untuk pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri. Untuk pasien dengan gejala tidak terlalu berat dapat
diberikan antibiotik per oral dan tetap tinggal di rumah seperti
Penisilin dan Sefalosporin. Untuk pasien dengan usia yang lebih
tua dan pasien dengan sesak napas atau dengan penyakit jantung
dan paru-paru lainnya, harus dirawat dan diberikan antibiotik
melalui infus.
b. Analgesik dapat diberikan untuk meredakan nyeri dada pleuritik
c. Antipiretik untuk pasien yang mengalami demam
d. Mukolitik sebagai pengencer dahak sehingga dahak dapat
dikeluarkan pada saat batuk
e. Kortikosteroid digunakan pada keterlibatan luar dengan
hipoksemia dan untuk reaksi inflamasi
2. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi pada pasien pneumonia dapat diberikan seperti
istirahat, pemberian oksigen, hidrasi untuk mengencerkan sekresi,
asupan cairan yang cukup tinggi, perbaikan nutrisi, teknik napas dalam
untuk meningkatkan ventilasi aleveolus dan mengurangi resiko
atelektasis.

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Radiologi
17

Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosa pneumonia dapat


menggunakan foto toraks (PA/lateral). Hasil dari radiologi dapat berupa
penyebaran bronkogenik dan intertisial, gambaran kavitas, serta infiltrat
sampai konsoludasi dengan air bronchogram.
2. Laboratorium
Jumlah leukosit meningkat sekitar antara 10.000 – 40.000/ul, banyaknya
bentuk dari leukosit polimorfonuklear. Hitung jenis menunjukkan shift
to the left dan LED meningkat.
3. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya pemeriksaan koagulasi antigen
polisakarida pneumokokus dari kultur darah untuk mengatahui adanya S.
pneumonia dan biakan sputum.
4. Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus tekanan
parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut
menunjukkan asidosis respiratorik.

2.3 Antibiotik
2.3.1 Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh bakteri dan fungi,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Raharja, 2002).
Kemampuan antibiotik untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme memiliki konsentrasi spesifik yang berbeda-beda. Pengunaan
antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan dapat menyebabkan resistensi.

2.3.2 Penggolonan antibiotik


1. Antibiotik berdasarkan spektrum aktivitas
Berdasarkan aktivitasnya antibiotik dikelompokkan sebagai berikut :
a. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)
Antibiotik berspektrum luas sering digunakan untuk pengobatan
penyakit infeksi yang belum teridentifikasi dengan pembiakan dan
18

sensitifitas. Contoh antibiotik spektrum luas yaitu tetrasiklin dan


sefalosporin efektif terhadap organisme gram negatif maupun gram
positif.
b. Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum)
Golongan antibiotik ini sangat efektif melawan satu jenis
organisme, karena antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif
sehingga obat-obat ini lebih aktif melawan organisme tunggal
tersebut. Contoh dari antibiotik spektrum sempit yaitu penisilin dan
eritromisin, digunakan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan
oleh bakteri gram positif.
2. Prinsip terapi antibiotik
a. Terapi empiris
Penggunaan antibiotik terapi empiris dimaksudkan untuk kasus
infeksi bakteri yang belum diketahui penyebabnya, dengan harapan
dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang diduga sebagai
penyebab kasus infeksi sebelum diperoleh hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Sebagai pilihan pertama untuk terapi infeksi
diberikan antibiotik secara oral. Pada infeksi sedang sampai berat
dapat dipetimbangkan menggunakan antibiotik parenteral (Cunha
et al., 2010). Untuk jangka waktu penggunaan antibiotik empiris
yaitu selama 48-72 jam. Langkah selanjutnya yaitu evaluasi
berdasarkan data mikrobiologis, kondisi klinis pasien dan data
penunjang lainnya (Kemenkes RI, 2021).
b. Terapi definitif
Penggunaan antibiotik terapi definitif dimaksudkan untuk kasus
infeksi bakteri yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan
pola resistensinya (Lloyd W, 2010). Sebagai pilihan utama untuk
terapi infeksi diberikan antibiotik secara oral. Pada infeksi sedang
sampai berat dapat dipertimbangkan penggunaan antibiotik
parenteral (Chunha BA, 2010). Pemberian antibiotik parenteral
harus segera digantikan dengan pemberian antibiotik oral jika
kondisi pasien memungkinkan.
19

Jangka waktu pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada


efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang
telah dikonfirmasi. Langkah selanjutnya perlu dilakukan evaluasi
berdasarkan data mikrobiologis, kondisi klinis pasien dan data
penunjang lainnya (IFIC, 2010; Tim PPRA Kemenkes RI, 2010).
3. Antibiotik berdasarkan mekanisme kerja
Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri
Bersifat bakterisidal dengan cara memecah enzim dinding sel dan
menghambat enzim dalam sintesis dinding sel. Contohnya yaitu
golongan β-laktam seperti penisilin, sefalosporin, karbapenem,
monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti
vankomisin, basitrasin, fosfomisin dan daptomisin.
b. Inhibitor sintesis protein bakteri
Bersifat baktersidal atau bakteriostatik dengan cara menggangu
sintesis protein tanpa menggagu sel-sel normal dan menghambat
tahap-tahap sintesis protein. Contohnya seperti aminoglikosida,
makrolida, tetrasiklin, streptogami, klindamisin, oksazolidinon, dan
kloramfenikol.
c. Mengubah permeabilitas membran sel
Bersifat bakteridal dan bakteriostatik dengan menghilangkan
permeabilitas membran dan oleh karena hilangnya subtansi seluler
menyebabkan sel menjadi lisis. Contohnya yaitu polimiksin,
amfoterisin B, gramisidin, nistatin dan kolistin.
d. Menghambat sintesa folat
Bakteri membuat asam folat dari PABA (asam para amino
benzoat) dan glutamate, karena bakteri tidak dapat mengabsorbsi
asam folat sehingga menjadi suatu target yang baik dan selektif
untuk senyawa-senyawa antimikroba. Contohnya yaitu
sulfonamida dan trimetoprim.
e. Menggangu sintesis DNA
20

Antibiotik golongan ini menghambat asam deoksiribonukleat


(DNA) girase yang mengakibatkan sintesis DNA terhambat. DNA
girase merupakan enzim yang terdapat pada bakteri yang
menyebabkan terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA
sehingga menghambat replikasi DNA. Contohnya yaitu
metronidazol, kuinolon dan novobiosin.
4. Antibiotik berdasarkan struktur kimia
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Golongan Beta-Laktam
Memiliki kesamaan komponen struktur berupa adanya cincin beta-
laktam dan jika cincin beta-laktam tersebut dipotong oleh
mikroorganisme akan mengakibatkan resistensi antibiotik.
Golongan beta-laktam antara lain golongan sefalosporin
(sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim),
golongan monosiklik dan golongan penisilin (penisilin,
amoksisilin).
b. Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida berasal dari jenis-jenis fungi Streptomyces dan
Micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya
mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya, yang
saling terikat secara glukosidis. Memiliki spektrum luas dan
meliputi bacilli gram negatif. Antibiotik ini juga aktif terhadap
gonococci dan sejumlah bakteri gram positif. Memiliki aktivitas
sebagai bakterisid, beradarkan dayanya untuk menembus dinding
bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya
gentamisin, neomisin, streptomisin, paranomisin dan amikasin.
c. Golongan Tetrasiklin
Memiliki aktivitas sebagai bakteriostatis, hanya melalui injeksi
intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah.
Mekanisme kerjanya berdasarkan terganggunya sintesa protein
bakteri. Antibakteri berspektrum luas dan meliputi banyak cocci
21

gram positif dan gram negatif serta kebanyakan bacilli. Aktif


terhadap mikroba khusus Chlamydia trachomatis (penyebab
penyakit mata trakoma dan penyakit kelamin) dan beberapa
protozoa (amuba) lainnya, tidak efektif terhadap Pseudomonas dan
Proteus. Contohnya yaitu tetrasiklin, doksisiklin dan monosiklin.
d. Golongan Makrolida
Memiliki aktivitas sebagai bakteriostatis terhadap bakteri gram
positif dan spektrum kerjanya mirip Penisilin-G. Mekanisme
kerjanya melalui pengikatan reversible pada ribosom bakteri,
sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Terjadinya resistensi
antibiotik apabila digunakan terlalu lama atau sering. Absorbsinya
tidak teratur, sering menimbulkan efek samping pada lambung-
usus dan waktu paruhnya singkat, sehingga perlu ditakarkan
sampai 4x sehari.
e. Golongan Linkomisin
Memiliki aktivitas sebagai bakteriostatis dengan spektrum sempit
daripada makrolida, terutama terhadap bakteri gram positif dan
anaerob. Dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis. Digunakan
jika terdapat resistensi antibiotik lain, karena memiliki efek
samping yang hebat. Contohnya linkomisin.
f. Golongan Kuinolon
Memiliki aktivitas sebagai bakterisid pada fase pertumbuhan
bakteri, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA girase bakteri,
sehingga sintesis DNA nya dihindarkan.
g. Golongan Kloramfenikol
Memiliki spektrum luas serta bersifat bakteriostatis terhadap
hampir semua bakteri gram positif dan sejumlah bakteri gram
negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesa
polipeptida bakteri. Contohnya kloramfenikol.

2.3.3 Penggunaan Antibiotik


22

Terapi empiris yang diberikan untuk pneumonia yang disebabkan oleh


bakteri yaitu pemberian agen antibiotik (Tjay dan Rahardja, 2007). Pneumonia
Community Acquired Pneumonia (CAP) dapat menggunakan antibiotik yaitu beta-
laktam (sefotaksim, seftriakson 50-75 mg/kg sekali sehari, atau ampisilin
sulbaktam 1,5-3 g setiap 6 jam sekali) ditambah makrolida (azitromisin 250-500
mg sekali sehari, klaritomisin 250 mg setiap 12 jam selama 7-14 hari,
roksitromisin 300 mg/hari) atau flurokuinolon respiration intravena (levofloksasin
dan moksifloksasin) (PDPI, 2014).
Pneumonia Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dan Ventilator Acquired
Pneumonia (VAP) dapat diberikan antibiotik seperti beta-laktam ditambah
antibetalaktamase (amoksisilin klavulanat 90 mg/kg setiap 12 jam) atau
sefalospronin non pseudomonal (seftriakson 50-75 mg/kg sekali sehari,
sefotaksim) atau kuinolon respirasi (levofloksasin dan moksifloksasin).
Penggunaan levofloksasin untuk pneumonia CAP 500 mg setiap 24 jam sekali
selama 7-14 hari atau 750 mg setiap 24 jam sekali selama 5 hari dan untuk
pneumonia HAP diberikan Levofloksasin 750 mg setiap 24 jam sekali selama 7-
14 hari dan moksifloksasin 400 mg setiap 24 jam (PDPI, 2003). Pada pasien yang
menunjukkan respon selama 72 jam pertama, lama pengobatan pada umumnya 7-
10 hari.
Penggunaan antibiotik pada pasien dewasa yang banyak digunakan yaitu
seftriakson dan seftazidin, karena seftriakson dan seftazidin adalah antibiotik
dengan spektrum luas golongan sefalosporin generasi ketiga yang digunakan
sebagai lini pertama untuk pengobatan sejumlah besar infeksi parah yang
diakibatkan oleh organisme yang resisten.

2.3.4 Resistensi Antibiotik


Resistensi antibiotik adalah kemampuan mikroorganisme untuk
bertahan hidup terhadap efek obat sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis.
Mikroorganisme yang resisten (termasuk bakteri, virus, dan beberapa parasit)
memiliki kemampuan untuk menahan serangan obat antimikroba seperti
23

antibiotik, antivirus dan lainnya, sehingga standar pengobatan menjadi tidak


efektif dan infeksi tetap persisten dan mungkin menyebar.
Terjadinya resistensi antibiotik disebabkan oleh penggunaan antibiotik
yang salah dan perkembangan dari suatu mikroorganisme itu sendiri karena
adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat (WHO, 2012).

2.3.5 Mekanisme Resistensi Antibiotik


2.3.5.1 Resistensi Plasmid-mediated
1. Inaktivasi obat
Bakteri menginaktivasi antibiotik dengan cara modifikasi struktur
kimiawi pada antibiotik tersebut sehinnga efek antibiotik yang dimiliki
berkurang. Contoh resistensi terhadap antibiotik kloramfenikol.
Kloramfenikol menghambat proses sintesis protein dan terikat pada
ribosom subunit 50S sehingga ikatan peptida pada bakteri tidak
terbentuk. Resistensi bakteri Salmonella typhi terhadap kloramfenikol
disebabkan oleh adanya enzim kloramfenikol asetiltransferase tipe 1
pada bakteri yang akan menginaktivasi kloramfenikol yang telah
melewati membran plasma dan memasuki sel sehingga tidak dapat
berikatan dengan ribosom unit 50S bakteri tidak dapat mensintesis
protein dan bakteri tetap dapat membentuk ikatan peptida (Zaki dan
Karande, 2011).
2. Mengurangi permeabilitas membran
Antibiotik yang akan masuk ke dalam sel bakteri dapat dicegah
sehingga bakteri patogen menjadi resisten. Permeabilitas membran
dapat berubah ketika terdapat informasi genetik baru yang mengubah
protein yang secara alami sudah berada pada membran bakteri dan
mengubah sistem transport, sehingga antibiotik tidak dapat masuk
melewati membran bakteri. Kasus resistensi ini terjadi pada
Salmonella thypi terhadap antibiotik kuinolon, tetrasiklin dan beberapa
aminoglikosida (Ugboko dan De, 2014).
3. Modifikasi lokasi target
24

Modifikasi enzim dalam proses sintesis pada bakteri menyebabkan


penurunan efektivitas dari obat yang akan digunakan. Pada bakteri
Salmonella thypi ditemukan mekanisme ini yang resisten pada
antibiotik sulfonamid. Sulfonamid merupakan antibiotik yang
menghambat reaksi pada jalur metabolisme yang memproduksi asam
tetrahidrofolat yang merupakan kofaktor esensial dalam sintesis asam
nukleat. Perubahan yang terjadi pada struktur molekul enzim yang
berperan dalam proses sintesis asam folat sehingga sifat bakteriostatik
dari sulfonamid dihambat dan bakteri dapat terus bermultiplikasi
menyebabkan resistensi (Ugboko dan De, 2014).
4. Efflux antibiotik yang cepat
Proses ini terjadi dengan memompa obat keluar setelah masuk ke
dalam sel. Contohnya antibiotik sulfonamid dimediasi melalui sistem
transpor yang mengeluarkan obat secara aktif dari sel yang
menyebabkan resistensi (Ugboko dan De, 2014).

2.3.5.2 Resistensi Chromosome-mediated


Mekanisme resistensi ini terjadi karena terdapat mutasi genetik.
Contohnya resistensi flurokuinolon sebagai hasil dari penggunaan flurokuinolon
yang berlebihan (Zaki dan Karande, 2011). Resistensi terhadap trimetoprim
karena mutasi yang terjadi pada gen kromosom yang bertugas untuk mengkode
enzim dihirofolat reduktase untuk mereduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat
(Russell, 2013).

2.3.5.3 Faktor Yang Mempengaruhi Resistensi


Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi antibiotik yaitu
terdiri atas:
25

1. Penggunaan obat antimikroba yang terlalu sering, menyebabkan


efektivitasnya berkurang.
2. Penggunaan obat antimikroba yang irasional. Resistensi pada mikroba
dengan mudah berkembang disebabkan oleh suatu keadaan penyakit
yang tidak membutuhkan terapi antimikroba tetapi dipaksakan untuk
menggunakannya.
3. Penggunaan obat antimikroba baru yang berlebihan. Contohnya
antibiotik siproflokasasin dan kotrimoksazol yang relatif cepat
kehilangan efektivitasnya setelah dipasarkan.
4. Penggunaan obat antimikroba untuk jangka waktu yang lama, dapat
memberikan peluang pertumbuhan mikroba yang lebih resisten (first
step mutant).
5. Penggunaan obat antimikroba untuk ternak yang tidak tepat. Mikroba
akan resisten pada kadar antimikroba terutama antibiotik dengan kadar
rendah pada ternak. Contohnya Salmonella sp, Campylobacter dan
Enterococci.
6. Faktor lainnya yang mempengaruhi terjadinya resistensi yaitu perilaku
seksual, sanitasi yang buruk, kemudahan transportasi modern dan
kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat.

2.3.6 Evaluasi Penggunaan Antibiotik


Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan secara kualitatif ataupun
kuantitatif. Evaluasi secara kuantitatif dengan menggunakan perhitungan DDD
per 100 hari rawat (DDD per 100 bed days) untuk mengevaluasi jumlah dan jenis
antibiotik yang digunakan. Evaluasi secara kualitatif dengan menggunakan
metode Gyssens, digunakan untuk ketepatan penggunaan antibiotik (Kemenkes,
2011).
Metode Gyssens digunakan untuk evaluasi seluruh aspek peresepan
antibiotik, seperti penilaian peresepan, alternatif yang lebih efektif, lebih tidak
toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit, interval dan rute pemberian obat,
waktu pemberian serta lama pengobatan dan dosis. Metode Gyssens berbentuk
diagram alir yang diadaptasi dari kriteria Kunin et. al. Dengan alat ini, terapi
26

emipiris dapat dinilai, serta terapi definitif setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi
diketahui (Gyssens, 2005).
Adapun alur penilaian dengan menggunakan kategori Gyssens sebagai
berikut:
Kategori 0 : Penggunaan antibiotik tepat/bijak
Kategori I : Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
Kategori IIA : Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
Kategori IIB : Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian
Kategori IIC : Penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA : Penggunaan antibiotik terlalu lama
Kategori IIIB : Penggunaan antibiotik terlalu singkat
Kategori IVA : Penggunaan antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IVB : Ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC : Ada antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IVD : Ada antibiotik lain yang spektrumnya lebih sempit
Kategori V : Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
Kategori VI : Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat
dievaluasi (Gyssens I.C., 2005)
27

2.3.7 Alur Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik (Gyssens Flowchart)

Gambar 2. Gyssens Flowchart


28

Evaluasi antibiotik dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan melihat
apakah data lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan antibiotik.
1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI
Data tidak lengkap adalah rekam medis tanpa diagnosis kerja atau ada
halaman rekam medis yang hilang. Pemeriksaan penunjang/laboratorium tidak
harus dilakukan karena mungkin tidak ada biaya, dengan catatan sudah
direncanakan pemeriksaannya untuk mendukung diagnosis. Diagnosis kerja
dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila data
lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada infeksi yang
membutuhkan antibiotik?
2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotik, berhenti di kategori V
Indikasi adalah penyesuaian antara antibiotik dengan hasil diagnosis. Bila
antibiotik memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya.
Apakah pemilihan antibiotik sudah tepat?
3. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVA
Ada antibiotik yang lebih efektif dikatakan tidak rasional meliputi
penggunaan antibiotik empirik yang tidak disebutkan pada guideline dan
adanya antibiotik yang lebih adekuat dalam melawan infeksi bakteri sesuai
kasus infeksi pasien. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya,
apakah ada alternatif lain yang kurang toksik?
4. Bila ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVB
Ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman yaitu ada alternatif
antibiotik yang lebih aman untuk diberikan pasien. Bila tidak, lanjutkan
dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lebih murah?
5. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVC
Pemilihan antibiotik yang lebih murah dikatakan tidak rasional apabila
penggunaan antibiotik paten atau antibiotik yang harganya daiatas 100.000 per
antibiotik dengan ada antibiotik yang sama efektifnya dengan harga yang lebih
terjangkau. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada
alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit?
6. Bila ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di
kategori IVD
29

Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit lanjutkan dengan
pertanyaan di bawahnya, apakah durasi antibiotik yang diberikan terlalu
panjang?
7. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu panjang, berhenti di kategori IIIA
Penggunaan antibiotik terlalu lama yaitu pemberian antibiotik lebih lama
dari standar formularium obat yang dijadikan acuan. Bila tidak, diteruskan
dengan pertanyaan apakah durasi antibiotik terlalu singkat?
8. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti di kategori IIIB
Penggunaan antibiotik terlalu singkat yaitu pemberian antibiotik lebih
singkat dari standar formularium obat yang dijadikan acuan. Bila tidak,
diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis antibiotik yang
diberikan sudah tepat?
9. Bila dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIA
Penggunaan antibiotik tepat dosis apabila sesuai acuan pemberian
antibiotik berdasarkan formularium obat yang dijadikan acuan. Bila dosisnya
tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval antibiotik yang
diberikan sudah tepat?
10. Bila interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIB
Penggunaan antibiotik tepat interval apabila sesuai acuan pemberian
antibiotik berdasarkan formularium obat yang dijadikan acuan. Bila
intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah rute
pemberian antibiotik sudah tepat?
11. Bila rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIC
Antibiotik tidak tepat rute adalah penggunaan antibiotik perenteral saat
pasien mampu mendapatkan nutrisi internal, tanda-tanda infeksi membaik dan
obat oral yang digunakan memiliki bioavailabilitas yang baik. Bila rute tepat,
lanjutkan ke kotak berikutnya.
12. Bila antibiotik tidak termasuk kategori I sampai sampai dengan VI, antibiotik
tersebut merupakan kategori I
Penilaian kualitas penggunaan antibiotik diperoleh dari mayoritas jumlah
yang terdapat pada kategori 0 atau rasional dan jumlah yang termasuk pada
kategori I-IV atau tidak rasional yang dinyatakan dengan presentase.
30

Ketidakrasionalan dalam penggunaan antibiotik tersebut dapat disebabkan


oleh beberapa faktor yang meliputi dosis tidak tepat, interval pemberian terlalu
cepat atau singkat dan adanya alternatif antibiotik (Gyssens, 2005).

2.3.8 Kegagalan Terapi


Kepekaan kuman terhadap antibiotik tertentu tidak dapat menjamin
efektivitas klinis. Berikut beberapa faktor yang dapat meyebabkan kegagalan
terapi terdiri atas:
1. Dosis kurang
Meskipun kuman penyebabnya sama, dosis suatu antibiotik seringkali
bergantung dari tempat infeksi. Sebagai contoh pengobatan meningitis
oleh Pneumococcus diberikan dosis penisilin G jauh lebih tinggi
daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran napas
bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama.
2. Masa terapi yang kurang
Konsep lama yang menyatakan bahwa setiap jenis infeksi tertentu
perlu diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini
telah ditinggalkan. Para ahli melakukan individualisasi masa terapi
yang sesuai dengan tercapainya respon klinik yang memuaskan,
kecuali untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru tetap
dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun pertahanan klinis
cepat terlihat.
3. Kesalahan dalam menetapkan etiologi
Pemberiaan antibiotik yang lazim tidak akan bermaanfaat, jika demam
yang muncul tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit,
reaksi obat, dan lain-lain yang dapat meningkatkan suhu tubuh.
4. Pilihan antibiotik yang kurang tepat
Dokter harus dapat mengenali dan memilih antibiotik secara klinis,
karena suatu daftar antibiotik yang dinyatakan efektif dalam uji
sensitivitas tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap
antibiotik akan memberikan aktivitas klinik yang sama. Sebagai
contoh ampisilin terpilih sebagai obat untuk infeksi S. faecalis,
31

walaupun kuman tersebut dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau


gentamisin secara in vitro.
5. Faktor pasien
Gangguan mekanisme pertahanan tubuh (selular dan humoral) dan
keadaan umum yang buruk merupakan faktor penting yang dapat
menyebabkan gagalnya terapi antibiotik. Sebagai contoh obat
imunosupresan AIDS.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional yang dianalisis
secara deskriptif dengan metode Gyssens dimana pengambilan data secara
retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien pneumonia
rawat inap yang menggunakan antibiotik di Rumah Sakit Azra Bogor periode
Januari-Desember 2020.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Azra Bogor Jl. Raya Pajajaran
No.219 kota Bogor pada bulan Maret-Mei 2021. Pengambilan data rekam medik
dilakukan pada pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor periode
Januari-Desember 2020.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosa
pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Azra Bogor selama
periode bulan Januari - Desember 2020. Jumlah populasi sebanyak 110
pasien.

3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan metode total sampling yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan diagnosa pneumonia
selama periode bulan Januari - Desember 2020. Total sampling adalah
pengambilan sampel yang sama dengan jumlah populasi yang ada.

32
33

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1 Inklusi
a. Pasien pneumonia yang mendapatkan terapi antibiotik
b. Pasien pneumonia dengan usia > 17 tahun
c. Pasien pneumonia yang dirawat inap di Rumah Sakit Azra Bogor
selama periode bulan Januari-Desember 2020
3.4.2 Eksklusi
a. Pasien dengan penyakit infeksi lainnya
b. Pasien meninggal dunia saat dirawat inap

3.5 Landasan Teori


Pneumonia merupakan infeksi pada ujung bronkiol dan alveoli yang dapat
disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, virus, jamur dan parasit (Depkes
RI, 2005). Yang sering menyebabkan pneumonia yaitu Streptococcus pneumonia,
Legionella pneumophila atau Klebsiella sp. Pneumonia yang lebih ringan dengan
onset yang lebih lambat bisa disebabkan oleh Mycoplasme pneumonia
(Syamsudin and keban, 2013).
Pengobatan pneumonia yang disebabkan oleh infeksi bakteri adalah
dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi yang
diberikan yaitu antibiotik seperti amoksisilin, seftriakson, levoflokasasin,
fluorokuinolon, sefotaksim, antipiretik dan analgesik. Resistensi dapat dicegah
dengan cara melakukan evaluasi terhadap penggunaan antibiotik. Berdasarkan
jenisnya, evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi kuantitatif dan evalusi
kualitatif. Evaluasi kualitatif penggunaan antibiotik pada pasien Pneumonia
dewasa dilakukan dengan menggunakan metode Gyssens.
Metode Gyssens merupakan suatu indikator yang digunakan untuk
menilai ketepatan pemakaian antibiotik yang telah dipakai di berbagai
Negara (The Amrin Study, 2005). Hasil evaluasi pengembangan Gyssens
terkait pemakaian antibiotik untuk mengukur kualitas dari ketepatan
pemakaian antibiotik diantaranya dosis, waktu pemberian, lama
pemberian, toksisitas, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas,
34

ketepatan indikasi, harga dan spektrum, interval serta rute pemberian


(Gyssens dan Meer, 2001).
Berdasarkan hasil penelitian tentang pneumonia yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Purwaningsih, menyatakan hasil evaluasi penggunaan antibiotik
di RSI Sultan Agung Semarang pada tahun 2015 dengan menggunakan metode
Gyssens, didapatkan antibiotik rasioanal (kategori 0) sebesar 23,9% dan antibiotik
tidak rasional (katerogi II – V) sebesar 76,1% (Purwaningsih et al, 2015). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Faizah dan Putra di Rumah Sakit Pendidikan
Surabaya menunjukan hasil antibiotik rasional pada 39 pasien (kategori 0) sebesar
82,9%, 3 pasien (kategori IVA (alternatif lebih efektif) sebesar 6%, 3 pasien
(kategori IIIA (pemberian terlalu lama) sebesar 6%, dan 1 pasien (kategori IIA
(dosis tidak tepat) sebesar 2% (Faziah dan Putra, 2019).

3.6 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Kerasionalan Gyssens :
Penggunaan antibiotik
 Rasional
pasien pneumonia
 Tidak Rasional

Variabel Perancu

Karakteristik :
 Usia
 Jenis kelamin
Gambar 1. Kerangka konsep
35

3.7 Tabel 1. Definisi Operasional Variabel


No Variabel Definisi Alat Ukur Kriteria Skala
Ukur
1 Penggunaan Antibiotik yang 1. Sepefim
antibiotik digunakan pada pasien 2. Sefoferazon
pneumonia rawat inap Rekam dan Sulbaktam
di Rumah Sakit Azra medik 3. Levofloksasin Nominal
Bogor 4. Seftizoksim
2 Kerasionalan Metode untuk Diagram
menurut mengevaluasi kualitas Gyssens 1. Rasional
Gyssens penggunaan antibiotik dengan nilai 2. Tidak Nominal
yang rasional dan kategori: 0, I, Rasional
sesuai standar dengan IIA,IIB,IIC,
kategori pasien IIIA,IIIB,
1. Kategori 0 : IVA,IVB,
Penggunaan IVC,IVD,V
antibiotik DAN IV
tepat/bijak
2. Kategori I :
Penggunaan
antibiotik tidak
tepat
3. Kategori 11A :
Penggunaan
antibiotik tidak
tepat dosis
36

No Variabel Definisi Alat Ukur Kriteria Skala


Ukur
4. Kategori IIB :
Penggunaan
antibiotik tidak
tepat interval
pemberian
5. Kategori IIC :
Penggunaan
antibiotik tidak
tepat cara/rute
pemberian
6. Kategori IIIA :
Penggunaan
antibiotik terlalu
lama
7. Kategori IIIB:
Penggunaan
antibiotik terlalu
singkat
8. Kategori IVA :
Pengunaan
antibiotik lain yang
lebih efektif
9. Kategori IVB :
Ada antibiotik lain
yang kurang
toksik/lebih aman
10. Kategori IVC :
Ada antibiotik lain
37

yang lebih murah

No Variabel Definisi Alat Ukur Kriteria Skala


Ukur
11. Kategori IVD: Ada
antibiotik lain yang
spektrumnya lebih
sempit
12. Kategori V : Tidak
ada indikasi
penggunaan
antibiotik
13. Kategori VI : Data
rekam medik tidak
lengkap, tidak
dapat dievaluasi.

3 Jenis Kondisi fisik yang 1. Laki-laki Nominal


Kelamin menentukan status Rekam 2. Perempuan
seseorang Medik
4 Usia Usia adalah satuan 1. Remaja Akhir
waktu yang mengukur 17-25 tahun
waktu keberadaan 2. Dewasa awal
suatu benda atau Rekam 26-35 tahun
makhluk, baik yang Medik 3. Dewasa akhir
hidup maupun yang 36-45 tahun Ordinal
mati 4. Lansia awal
46-55 tahun
5. Lansia akhir
56-65 tahun
38

3.8 Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data sampel dilakukan secara retrospektif dari data rekam
medik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Azra Bogor yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi selama menjalani rawat inap pada periode bulan Januari-
Desember 2020.
Adapun tahap-tahap dalam pengumpulan data ini meliputi :
1. Pencatatan nomor registrasi rekam medik pasien, nama pasien, usia pasien,
jenis kelamin pasien dan diagnosa pasien yang didapat dari Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Azra Bogor
2. Pengumpulan data diperoleh dari nomor rekam medik yang ada di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Azra Bogor untuk melihat status pasien yang tercatat
di rekam medik yang ada di ruang penyimpanan status pasien atau ruang
rekam medik
3. Data pencatatan pada lembar laporan yang meliputi :
a. Data demografi pasien : Nomor registrasi rekam medik pasien, nama
pasien,usia pasien dan jenis kelamin pasien.
b. Data gambaran klinis : diagnosa pasien, jenis antibiotik, dosis antibiotik,
harga antibiotik, toksisitas antibiotik, rute antibiotik, interval antibiotik,
spektrum antibiotik, antibiotik alternatif, frekuensi pemberian antibotik
dan lama pemberian antibiotik.. Kemudian hasilnya dianalisis dengan
metode gyssens.

3.9 Analisis Data


Data antibiotik yang diperoleh dianalisis dengan metode gyssens.
Selanjutnya gambaran sosiodemografi, gambaran pola penggunaan antibiotik dan
gambaran presentase kerasionalan antibiotik menurut gyssens di uji secara
deskriptif dengan uji distribusi frekuensi dari SPSS versi 17. Hasil disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik.
39
DAFTAR PUSTAKA

Desrini S. 2015. Risestensi Antibiotik, Akankah Dapat Dikendalikan. JJKI.


Volume 6, Nomor 4: 1-3.

Faizah, Ana Khusnul dam Putra, Oki Nugraha., 2019. Evaluasi Kualitatif Terapi
Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Di Rumah Sakit Pendidikan Surabaya
Indonesia. Jurnal Sains Farmasi Dan Klinis. Volume 06, Nomor 02;12 –
133.

Fima A.S. 2019. Evaluasi Kulitatif Penggunaan Antibiotik Pada Pasien


Pneumonia Dewasa Di Ruang Rawat Inap RSUD Jombang Periode Januari
– Desember 2019 [skripsi]. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim. Hlm. 13-28. Diakses : 30 Desember 2020.

Gould, I.M dan Van der Meer, J.W.M. 2005. Antibiotic Policies : Theory and
Practice. New York: Kluwer Academi Plubisher, Hal: 200.

Gyssens, I.C., and Van der Meers, J.M.W. 2001. Quality of Antimicrobial Drug
Prescription in Hospital. Clinical Microbiology Infenction. Vol. 7 (6): 12-
15.

Gyssens, I.C. 2005. Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial


Prescription. Dalam: Gould, I.M., Van der Meers, penyuting, Antibiotik
Policies: Theory an Practice, Kluwer Academic Publishers. New York:
Kluwer Academic Publishers.

Kemekes RI, 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia.

Khasanah, N.F., 2017. Asuhan Keperawatan Pada An. V Dengan Pneumonia Di


Ruang Kanthil Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas [skripsi].
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Dari:http://respiratory.poltekes-denpasar.ac.id/2332/3/file%203%20ron.pdf.
Diakses 12 Januari 2021

Nugroho F., Pri I.U. and Ika Y., 2011, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada
Penyakit Pneumonia Di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga,
Pharmacy, 08 (01), 141-154.

40
41

Peto, Leon., Behzad Nadjma., Peter Horbyqua., Ta Thi Dieu Nganc., Rogier van
Doorna., Nguyen Van Kinhcand Heiman F. L. Wertheim. 2014. The
bacterial actiology of adult community-acquired pneumonia in asia: a
Systematic Riview. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine
and Hygiene. 108: 326-33.

Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 8 tahun 2015. Tentang Program


Pengendalian Resistensi Antimikroba di RS. Jakarta.

PDPI. 2014. Pneumonia Komunitas Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan


Di Indonesia Edisi II. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Prabu, D. B. R. 1996. Penyakit-Penyakit Infeksi Umum (Cetakan ke-3) Edisi


Jonatan Oswari, Jakarta : Widya Medika.

Rizka L.A., Santi H. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa Dengan


Pneumonia Study Kasus. Indonesia Jurnal of Development Vol.2.
Universitas Pembangunan Nasional Veteran: Jakarta. 2020. Diakses : 30
Desember 2020

Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2017. Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Saputro, Addy., Helmia, Farida., dan Stefani, C.F., 2013. Perbedaan Pola
Kepekaan Terhadap Antibiotik Pada Streptococcus pneumonia Yang
Mengkolonisasi Nasofaring Balita. Jurnal Media Medika Muda KTI.

Wahid, A dan Imam, S., 2013, Keperawatan Medikal Bedah, Asuhan


Keperawatan pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta Timur: Trans Info
Medika.

World Health Organization. 2014. Pneumonia. Dikutip 30 Desember 2020 dari:


http://www.who.int/en/. Diakses 26 Desember 2020
42

Lampiran 1. Izin Penelitian Di Rumah Sakit Azra Bogor


43

Lampiran 2. Data Pengobatan Pasien Pneumonia Selama Perawatan


No Nomor Usia Jenis Jenis Dosis Frekuensi Lama
Rekam Pasien Kelamin Antibiotik Antibiotik Pemberian Pemberian
Medik (L/P) Antibiotik Antibiotik
1 259006 51 Laki-laki Seftriakson 1 x 2 gr 24 jam 5 hari
2 266177 53 Perempuan Levofloksasin 1 x 750 24 jam 3 hari
mg
3 150814 25 Laki-laki Seftriakson 1 x 2 gr 24 jam 4 hari
4 272486 36 Laki-laki Seftriakson 1 x 2 gr 24 jam 3 hari
5 197289 34 Laki-laki levofloksasin 1 x 750 24 jam 3 hari
mg
6 106833 45 Perempuan Seftriakson 1 x 2 gr 24 jam 4 hari
7 186440 29 Laki-laki Seftriakson 1 x 2 gr 24 jam 3 hari
8
44
45

Anda mungkin juga menyukai