Anda di halaman 1dari 81

Proposal ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

melaksanakan seminar proposal pada Program S1 Farmasi

Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau

Pekanbaru

Akan diseminarkan tanggal …………………………….

Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Septi Muharni, M.Farm., Apt Nesa Agistia, M.Farm.,Apt


NIDN.1026098404 NIDN.1030088803

i
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 5
2.1 Antibiotik ............................................................................. 5
2.1.1 Sejarah Antibitok...................................................... 5
2.1.2 Definisi Antibitok..................................................... 5
2.1.3 Klasifikasi Antibiotik ............................................... 6
2.1.4 Golongan Antibiotik................................................. 11
2.1.5 Pertimbangan Penggunaan Antibiotik ..................... 12
2.1.6 Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak ....................... 14
2.1.7 Jenis Terapi Antibiotik ............................................. 16
2.1.8 Pengobatan Antibiotik Secara Rasional ................... 18
2.1.9 Resistensi Antibitok ................................................. 19
2.2 Farmakokinetika Klinik........................................................ 21
2.3 Amikasin .............................................................................. 24
2.4 Farmakokinetika Amikasin .................................................. 27
2.5 Dosis ..................................................................................... 33
2.5.1 Pengertian Dosis ....................................................... 33
2.5.2 Macam-Macam Dosis............................................... 33
2.5.3 Perhitungan Dosis Individual ................................... 34
2.6 Dewasa................................................................................. 36
2.6.1 Klasifikasi Dewasa .................................................. 37
2.7 Rumah Sakit......................................................................... 38

ii
2.7.1 Definisi Rumah Sakit .............................................. 38
2.7.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit............................... 38
2.7.3 Rekam Medis.......................................................... 39
2.7.3.1 Definisi Rekam Medis ................................... 39
2.7.3.2 Kegunaan Rekam Medis .............................. 39
2.8 RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau ................................... 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................... 42
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................. 42
3.2 Metode Penelitian ................................................................. 42
3.2.1 Jenis Penelitian ......................................................... 42
3.2.2 Penetapan Populasi Penelitian .................................. 42
3.2.3 Penetapan Sampel Penelitian.................................... 42
3.2.4 Perhitungan Sampel Penelitian................................. 43
3.3 Alur Penelitian...................................................................... 43
3.3.1 Pengurusan Izin ........................................................ 43
3.3.2 Pengambilan dan Pengumpulan Data ....................... 44
3.4 Analisis Data ........................................................................ 44
3.5 Kerangka Konsep ................................................................. 47
3.6 Etika Penelitian .................................................................... 47
3.7 Instrumen Penelitian............................................................. 48
3.8 Definisi Operasional............................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 51
LAMPIRAN

iii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Interaksi Obat Amikasin (Golongan Aminoglikosida) .................. 26


2. Parameter Farmakokinetika Amikasin .......................................... 56
3. Lembar Pengumpulan Data ........................................................... 57

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Konsep Peneltian .......................................................... 47


2. Skema Kerja Penelitian ................................................................. 54
3. Skema Kerja, Pengambilan, Pengumpulan dan Analisa Data....... 55
4. Surat Izin Prariset .......................................................................... 58

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skema Kerja Penelitian ................................................................ 54


2. Skema Kerja Pengambilan, Pengumpulan dan Analisis Data ...... 55
3. Parameter Farmakokinetik Amikasin ........................................... 56
4. Lembar Pengumpulan Data .......................................................... 57
5. Surat Izin Prariset ......................................................................... 58

vi
BAB I

PENDAHULUAN

Antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh berbagai bakteri yang

dapat menghambat/membasmi pertumbuhan bakteri lainnya (Goodman dan

Gilman, 2012 ). Antibiotik adalah senyawa yang digunakan untuk mencegah dan

mengobati suatu infeksi karena bakteri (Anonima, 2011). Penggunaan antibiotik

akhir-akhir ini mengalami peningkatan yang luar biasa. The Center for Disease

Control and Prevention in USA mengatakan bahwa terdapat 50 juta peresepan

antibiotik yang tidak diperlukan dari 150 juta peresepan setiap tahun. Berbagai

studi di Indonesia menemukan 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat

antara lain untuk penyakit yang tidak perlu membutuhkan antibiotik (Hadi, et al.,

2013).

Tingginya penggunaan antibiotik menimbulkan berbagai masalah sehingga

penyebabkan penggunaan antibiotik tidak rasional, hal ini menyebabkan bakteri

resisten terhadap antibiotik (Burke, 2014). Efek dari resistensi antibiotik dapat

menyebabkan waktu tinggal di rumah sakit yang lebih lama, biaya medis yang

lebih tinggi dan angka kematian yang meningkat (Anonim, 2016). Resisten

antibiotik memiliki pengaruh paling besar terhadap kesehatan manusia, setidaknya

2 juta orang terinfeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik , dan 23.000

orang meninggal setiap tahun sebagai akibat langsung dari infeksi (Frieden,

2013). Salah satu antibiotik yang paling sering digunakan sebagai terapi lini

pertama yaitu aminoglikosida. Aminoglikosida merupakan terapi lini pertama

untuk beberapa infeksi yang sangat spesifik. Obat-obat golongan aminoglikosida

1
seperti streptomisin, gentamisin, tobramisin dan amikasin, efektif terhadap

organisme gram-negatif. Menurut restriksi penggunaan obat yang terdapat di

dalam daftar penggunaan harian obat (DPHO) askes penggunaan amikasin hanya

untuk kasus yang sudah resisten dengan gentamisin. Amikasin secara klinis lebih

efektif dari gentamisin (Gunawan, et al., 2012).

Tingginya insiden infeksi bakteri gram negatif di ICU menjadi alasan

pemberian antibiotik golongan aminoglikosida sebagai terapi empirik. Ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rahman dkk., 2015) mengatakan bahwa

amikasin merupakan salah satu antibiotik terpilih untuk tatalaksana peneyebab

infeksi di ICU RSUD Arifin Ahcmad Provinsi Riau. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh (Aliska et al., 2017) mengukur kadar optimal amikasin terhadap

pasien sepsis di Intensive Care Unit Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dimana

kadar optimal amikasin dari 23 pasien hanya 4 yang mencapai kadar optimal

dengan minimum konsentrasi hambatan >8.

Aktivitas amikasin sangat tergantung dengan konsentrasinya di dalam

tubuh, konsentrasi amikasin tergantung pada keadaan fisiologi pasien, sehingga

pasien yang beravariasi meskipun dengan penyakit yang sama harus mengalami

penyesuaian dosis tiap individu. Kadar optimal amikasin dinyatakan tercapai bila

Cmax/MIC >8, rentang konsentrasi puncak (Css max) 20-30 mg/L dan konsentrasi
min
lembah (Css ) < 10 mg/L. Amikasin merupakan obat dengan indeks terapi

sempit yang sangat rentan terhadap toksisitas. Obat yang memiliki indeks terapi

sempit adalah sekelompok obat yang memiliki batasan antara KTM (Kadar

Toksik Minimum) dan KEM (Kadar Efek Minimum) yang sempit. Obat-obat ini

2
perlu mendapatkan perhatian dan pengaturan dosis agar memberikan efek terapi

sesuai yang diharapkan (Shargel et al., 2012; Winter, 2012).

Amikasin memiliki potensi killing dependent tergantung pada konsentrasi

puncak (Cmax) dalam plasma dimana konsentrasi inhibisi minimum amikasin >8

yang efektif secara klinis. Sifat toksik ayang sama dengan golongan

aminoglikosida lain. bersifat nefrotoksik karena eliminasi terjadi pada glomerulus

dan obat dikonsentrasikan pada tubulus renalis proksimal dan peningkatan

kreatinin plasma dan juga menyebabkan meningktanya kadar ureum didalam

darah (Miladiyah, 2010). Memantau kadar obat dalam darah sangat membantu

membatasi sifat toksik obat dalam manajemen terapi. Amikasin memiliki daya

absorpsi yang buruk di saluran pencernaan sehingga sering diberikan secara

parenteral. Obat ini bersifat sangat polar karena sukar menembus sel tanpa

bantuaan sistem transpor, selain memiliki sifat nefrotoksisitas, juga memiliki

ototoksisitas dimana ototoksisitas terjadi jika amikasin terakumulasi dalam

paralimfe dan endolimfe telingan bagian tengah, dan akumulasi ini terjadi apabila

kadar amikasin tinggi dalam plasma (Miladiyah, 2010).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan pusat rujukan dan

pembina rumah sakit Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau. RSUD Arifin Achmad

merupakan rumah sakit kelas B pemerintah provinsi Riau yang mempunyai tugas

dan fungsi mencakup upaya pelayanan kesehatan perorangan, pusat rujukan dan

pembina rumah sakit Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau serta merupakan tempat

pendidikan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Institusi

Pendidikan Kesehatan lainnya. Berdasarkan studi pendahuluan yang diperoleh

3
dari data rekam medis jumlah pasien dewasa di instalasi rawat inap pada tahun

2018 sebanyak 21.767 jiwa. Pemakain antibiotik amikasin di instalasi rawat inap

pada tahun 2018 sebanyak 347 dan tahun 2019 dari januari sampai september

sebanyak 875.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk

analisis ketepatan konsentrasi amikasin berdasarkan perhitungan dosis individual

di Instalasi Rawat Inap RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Penelitian ini

diharapkan dapat menjadi masukan bagi Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) rumah

sakit untuk pertimbangan pemberian dosis amikasin dalam meningkatkan

pelayanan farmasi klinis dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

2.1.1 Sejarah Antibiotik

Sejak zaman dahulu orang kuno telah mempraktekkan fitoterapi dengan

jalan mencoba-coba. Orang Hindu sudah beribu-ribu tahun lalu mengobati lepra

dengan minyak chaulmogra dan di China serta di Pulau Mentawai Provinsi

Sumatera Barat sejak dahulu borok diobati dengan menggunakan jamur-jamur

tertentu sebagai pelopor antibiotika (Tjay dan Rahardja, 2010). Setelah Penisilin,

mulai banyaknya antibiotik yang ditemukan seperti Tetrasiklin (1948), Neomisin

(1949), Rifampisin (1960) dan Gentamisin (1963) (Tjay dan Rahardja, 2010).

Namun seiring berjalannya waktu, satu demi satu bakteri mulai resisten terhadap

pemberian antibiotik (Borong, 2012).

2.1.2 Definisi Antibiotik

Antibiotik dalam bahasa latin memiliki arti (anti= lawan, bios= hidup)

adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh bakteri, yang memiliki khasiat

mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan toksisitasnya bagi

manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2010). Antibiotik adalah obat atau zat

yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme yang dapat menghambat/

membasmi pertumbuhan mikroorganisme lainnya (Goodman dan Gilman, 2012).

Antibiotik adalah senyawa yang digunakan untuk mencegah dan mengobati suatu

infeksi karena bakteri (Anonimb, 2011).

5
2.1.3 Klasifikasi Antibiotik

Antibiotik dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok berdasarkan,

antara lain:

a. Berdasarkan Spektrum Kerja

Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut

(Michigan State University, 2011):

1. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum) merupakan antibiotik yang

efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif.

Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati

penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan

pembiakan dan sensitifitas. Contohnya tetrasiklin dan sefalosporin.

2. Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum) golongan ini terutama

efektif untuk melawan satu jenis organisme. Karena antibiotik

berspektrum sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif

dalam melawan organisme tunggal tersebut daripada antibiotik

berspektrum luas. Contohnya : glikopeptida dan basitrasin hanya

efektif melawan bakteri gram positif, sedangkan polimiksin biasanya

efektif melawan bakteri gram negatif. Aminoglikosida dan

sulfonamida hanya efektif melawan organisme aerobik, sedangkan

nitroimidazol secara umum efektif terhadap organisme anaerob.

b. Berdasarkan Toksisitas Selektif

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat

bakteriostatik dan ada yang bersifat bakteriosid. Agen bakteriostatik

6
menghambat pertumbuhan dan perbanyakan bakteri, contohnya tetrasiklin,

sulfonamide, dan makrolida. Sedangkan, agen bakteriosid membunuh

bakteri, contohnya aminoglikosida, sefalosporin, penisilin, dan kuinolon

(Michigan State University, 2011).

c. Berdasarkan Daya Hambat

Terdapat 2 pola hambat antibiotik terhadap kuman yaitu (Anonimc, 2011):

1. Time dependent killing.

Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika

kadarnya dipertahankan cukup lama di atas kadar hambat minimal

kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin, linezoid,

dan eritromisin.

2. Concentration dependent killing

Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika

kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak perlu

mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama. Contohnya pada

antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid.

d. Berdasarkan Mekanisme Kerjanya

Berdasarakan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik

dikelompokkan sebagai berikut (Michigan State University, 2011) :

1. Inhibitor sintesis dinding sel

Bakteri memiliki efek bakterisidal dengan cara memecah enzim

dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel.

Contohnya antara lain golongan β-Laktam seperti penisilin,

7
sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding

sel lainnya seperti vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan

daptomysin.

2. Inhibitor sintesis protein

Bekerja menganggu sintesis protein yang penting untuk produksi

enzim, struktur seluler, metabolisme sel, multiplikasi sel sehingga

mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya bakteri

tersebut.. Contohnya seperti aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin,

streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol.

3. Inhibitor fungsi membran sel

Bekerja merusak membran sel yang mengakibatkan kebocoran solut

sehingga sel menjadi lisis. Obat yang memiliki aktivitas ini antara lain

polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin, kolistin.

4. Inhibitor sintesis asam folat

Bekerja mengganggu jalur sistesis asam folat yang diperlukan bakteri

untuk memproduksi prekursor yang penting dalam sintesis DNA yang

penting untuk kehidupan bakteri. Mekanisme kerja ini terdapat pada

obat-obat seperti sulfonamida dan trimetoprim.

5. Inhibitor sintesis DNA

Bekerja mengikat komponen yang berperan dalam sintesis DNA dan

RNA, yang mengakibatkan terganggunya proses seluler normal

sehingga terhambatnya multiplikasi bakteri. Contohnya kuinolon,

metronidazol, dan rifampin.

8
2.1.4 Golongan Antibiotik

Ada beberapa penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimianya,

antara lain (Katzung, 2012):

a. Golongan Beta-laktam Generasi Pertama (Penisilin).

Penisilin merupakan suatu agen antibakterial alami yang dihasilkan dari

jamur jenis Penicillium chrysognum. Menurut National Health Service

(2012), Penisilin dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok yaitu:

1. Penisilin (misalnya Penisilin G), mempunyai aktivitas terbesar

terhadap organisme gram positif & kokus gram negatif. Penisilin G

diindikasikan pada pasien dengan penyakit pneumonia, infeksi

tenggorokan dan otitis media.

2. Penisilin antistafilokokus (misalnya, nafcilin) efektif terhadap

stafilokokus dan streptokokus.

3. Penisilin spekt rum luas (Ampisilin dan Penisilin

antipseudomonas), memiliki aktivitas yang tinggi terhadap organisme

gram negatif. Ampisilin diindikasikan pada pasien dengan penyakit

endokarditis dan meningitis.

b. Golongan Beta-laktam Generasi Kedua (Sefalosporin)

Sefalosporin merupakan obat pilihan utama yang banyak digunakan karena

memiliki spektrum kerja yang luas dan meliputi banyak kuman gram positif

dan gram negatif. Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi yaitu :

1. Sefalosporin generasi I, sangat aktif terhadap kokus gram positif

termasuk pneumokokus, streptokokus viridan, streptokokus

9
hemolitikum, dan S aureus. Cukup aktif terhadap kokus negatif

seperti, Escherichia coli, Serratia marcescens, Citobacter dan

Acinetobacter. Sefalosporin golongan pertama meliputi

sefadroksil, sefazolin, sefaloksin, sefalotin, sefapirin dan sefadrin.

2. Sefalosporin generasi II, merupakam grup obat yang heterogen

dengan perbedaan aktivitas, farmakokinetik dan toksisitas yang sangat

individual. Sefalosporin golongan kedua meliputi sefaklor,

sefamandol, sefonisid, seforanid, sefoksitin, setmetazol, sefoletan,

sefuroksim, sefprozil, lorakarbef dan sefpodoksim. Semuanya aktif

dalam melawan organisme yang dapat diatasi oleh generasi pertama.

Semua sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap enterokokus

atau P aeruginosa.

3. Sefalosporin generasi III, meliputi sefoperazon, sefotaksim,

seftazidim, seftizoksim, seftriakson, sefiksim, dan meksalaktam.

Memiliki spektrum yang luas terhadap bakteri gram negatif dan dapat

mencapai susunan saraf pusat.

4. Sefalosporin generasi IV, meliputi sefipim dan sefpirom. Sefalosorin

generasi keempat memiliki aktivitas terhadap gram positif dan gram

negatif terutama melawan Pseudomonas aeruginosa, termasuk

organisme gram negatif yang memiliki pola resisten pada banyak obat.

c. Golongan Beta-laktam lainnya

Terdapat 2 penggolongan antibiotik beta-laktam lainnya, yaitu:

10
1. Monobactam, merupakan obat-obat dengan cincin beta laktam

monosiklik (seperti, aztreonam). Obat ini resiten terhadap beta-

laktamase dan aktif terhadap batang gram negatif (termasuk

Pseudomonas dan Serratia), tetapi obat ini tidak memiliki aktivitas

terhadap gram positif atau anaerob.

2. Karbapenem, yang termasuk dalam kelompok ini adalah imipenem,

ertapenem dan meropenem. Kelompok ini memiliki spektrum yang

luas dengan aktivitas yang luas terhadap banyak batang gram negatif

dan gram positif dengan anaerob.

d. Golongan Aminoglikosida

Dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora.

Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama banyak basil gram-negatif.

Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah kuman gram-positif.

Contohnya streptomisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin.

Obat ini mempunyai indeks terapi sempit dengan efek samping toksisitas

ginjal dan ototoksisitas (Anonima, 2011).

e. Golongan Tetrasiklin

Bersifat bakteriostatis, hanya melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar

plasma. Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram

positif dan gram negatif serta kebanyakan basil. Tidak efektif terhadap

Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus Chlamydia

trachomatis (penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit kelamin), dan

11
beberapa protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan

monosiklin.

f. Golongan Makrolida

korinebakterium Bekerja bakteriostatis terutama terhadap bakteri gram-

positif. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat menyebabkan

resistensi. Eritromisin merupakan bentuk prototipe dari obat golongan

makrolida yang disintesis dari S.erythreus. Eritromisin efektif terhadap

bakteri gram positif terutama pneumokokus, streptokokus, stafilokokus, dan.

Aktifitas antibakteri eritromisin bersifat bakterisidal dan meningkat pada pH

basa.

g. Golongan Kloramfenikol

Kloramfenikol mempunyai spektrum luas. Bersifat bakteriostatis terhadap

hampir semua kuman gram positif dan sejumlah kuman gram negatif.

Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman.

Contohnya kloramfenikol.

h. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim

Sulfonamida dan trimetoprim merupakan obat yang mekanisme kerjanya

menghambat sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada

tidak terbentuknya basa purin dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari

trimetoprim dan sulfametoxazol merupakan pengobatan yang sangat efektif

terhadap pneumonia akibat P.jiroveci, sigellosis, infeksi salmonela sistemik,

infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa infeksi mikobakterium non

tuberkulosis.

12
i. Golongan Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidixat,

siprofloxasin, norfloxasin, ofloxasin, levofloxasin, dan lain–lain. Golongan

fluorokuinolon aktif terhadap bakteri gram negatif. Golongan

fluorokuinolon efektif mengobati infeksi saluran kemih yang disebabkan

oleh pseudomonas.

j. Golongan Linkomisin

Dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis Spektrum kerja lebih sempit

daripada makrolida, terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob.

Kini hanya digunakan bila terdapat resistensi terhadap antibiotika lain.

Contohnya linkomisin (Tjay dan Rahardja, 2010).

k. Golongan Kuinolon

Senyawa-senyawa kuinolon bersifat bakterisid pada fase pertumbuhan

kuman, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA-gyrase kuman, sehingga

sintesis DNAnya dihindarkan. Golongan ini hanya dapat digunakan pada

infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi (Tjay dan Rahardja, 2010).

l. Golongan Rifampisin

Rifampisin aktif secara in vitro terhadap bakteri gram positif dan negatif,

beberapa bakteri enterik, Microbacterium, dan Clanida. Bersifat bakterisid

terhadap microbacterium. Contohnya rifampisin dan rifampin (Tjay dan

Rahardja, 2010).

13
m. Golongan Polipeptida

Termasuk golongan ini adalah polimiksin A, polimiksin B dan basitrasin.

Obat golngan ini hanya digunakan secara topikal, karena jika diberikan

secara sistemik sangat bersifat nefrotoksik. Bersifat bakterisid berdasarkan

aktivitas permukan dan kemampuannya melekat pada membran sel bakteri,

sehingga permeabilitas sel meningkat dan akhirnya sel meletus (Tjay dan

Rahardja, 2010).

2.1.5 Pertimbangan Penggunaan Antibiotik

Seperti yang dijelaskan dalam Buku Pedoman Umum Penggunaan

Antibiotik (2011) meliputi:

a. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotik

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan

daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu:

1. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.

2. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

3. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.

4. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat

dinding sel bakteri.

5. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari

dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.

b. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik

sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotik secara tepat.

14
Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun

bakteriostatik, antibiotik harus memiliki beberapa sifat berikut ini:

1. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan

spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).

2. Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin

tinggi kadar antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel

bakteri.

3. Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang

cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.

4. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal

obat yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

c. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat

Pemberian antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain

atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari

interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti

penurunan absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga meningkatkan

efek toksik obat.

2.1.6 Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Anonimb, 2011)

Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum

sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama

pemberian yang tepat. Kebijakan penggunaan antibiotik ditandai dengan

pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini

pertama. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan

15
pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas

(restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu

(reserved antibiotics). Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan

menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil

pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya.

Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau

penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited).

Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:

a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola

kepekaan kuman terhadap antibiotik.

b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab

infeksi.

c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.

d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil

mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.

e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan

aman.

2.1.7 Jenis Terapi Antibiotik

Dikutip dari PERMENKES No 2406 Tahun 2011 tentang pedoman umum

penggunaan antibiotik sebagai berikut:

a. Antibiotik Terapi Empiris

Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik

pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan

16
pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau

penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,

sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi yang ditemukan

sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling

sering menjadi penyebab infeksi. Rute pemberian oral menjadi pilihan

pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Antibiotik empiris

diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan

evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data

penunjang lainnya.

b. Antibiotik Terapi Definitif

Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik

pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola

resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah

eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab

infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Berdasarkan hasil

mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi. Rute pemberian oral menjadi

pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien

memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan

antibiotik per oral. Lama pemberian berdasarkan pada efikasi klinis untuk

eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya

17
harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis

pasien.

c. Antibiotik Profilaksis Bedah

Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada

kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan

untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi

antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang

efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Prinsip penggunaan

antibiotic profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga

mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan

selama operasi berlangsung.

2.1.8 Pengobatan Antibiotik Secara Rasional

Penggunaan obat dapat dikatakan rasional apabila pasien menerima obat

yang sesuai dengan kebutuhan, untuk periode waktu yang dekat dan dengan harga

obat paling murah untuk pasien dan juga masyarakat (Anonimb, 2011). Penerapan

penggunaan antibiotik secara rasional oleh tenaga kesehatan dapat dilakukan

dengan beberapa cara sebagai berikut (Anonima, 2011):

a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan

antibiotik yang bijak dan rasional.

b. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi.

c. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim.

d. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara

bijak yang bersifat multidisiplin.

18
e. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih

rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya

dan masyarakat.

Selain itu terdapat juga beberapa indikator rasional pengobatan antibiotik

sebagai landasan keberhasilan terapi antibiotik. Menurut Kementrian Kesehatan

RI (2011) dalam modul Rational Use of Medicine terbagi menjadi beberapa

indikator sebagai berikut :

1. Tepat Diagnosis

2. Tepat Pemilihan Obat

3. Tepat Dosis

4. Tepat Cara Pemberian

5. Tepat Interval Waktu Pemberian

6. Tepat Lama Pemberian

7. Tepat Informasi

8. Tepat Tindak Lanjut (follow up)

9. Waspada Terhadap Efek Samping

2.1.9 Resistensi Antibiotik

a. Pengertian Resistensi Antibiotik

Resistensi merupakan kemampuan bakteri untuk menetralisir dan

melemahkan daya kerja antibiotik. Resistensi antibiotik menyebabkan

infeksi menjadi sulit untuk diobati dan dapat membahayakan nyawa serta

pasien yang terinfeksi memerlukan terapi yang lebih lama dan mahal

(Anonimb, 2011).

19
b. Faktor Penyebab Resistensi Antibiotik

Penyebab utama resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang meluas

dan irasional. Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya

resistensi, antara lain (Anonimb, 2011):

1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) terlalu singkat, dalam

dosis yang terlalu rendah dan diagnosa awal yang salah.

2. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan

yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik

dalam penanganan penyakit meskipun tidak disebabkan oleh bakteri.

3. Peresepan dalam jumlah besar dan ketika diagnosis awal belum pasti.

4. Penggunaan monoterapi dibandingkan dengan penggunaan terapi

kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan

resistensi.

5. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan

farmasi. Memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotik.

6. Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi

dan pemakaian antibiotik.

c. Mekanisme Terjadinya Resistensi Antibiotik

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan

daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu

(Anonimb, 2011):

1. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.

2. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

20
3. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.

4. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat

dinding sel bakteri.

5. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari

dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel

2.2 Farmakokinetika Klinik (Shargel et al., 2012)

Farmakokinetika secara definitif adalah ilmu yang mempelajari kinetika

absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Terdapat empat hal yang penting

yaitu meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.

1. Absorpsi

Absorbsi didefinisikan sebagai suatu fenomena yang memungkinkan suatu

zat aktif melalui sistem peredaran darah. Penyerapan obat terjadi secara

langsung dengan mekanisme perlintasan membran. Membran merupakan

struktur utama dalam sel, mengelilingi keseluruhan sel dan bertindak sebagai

pembatas antara sel dan cairan interstisial. Secara fungsional, membran sel

merupakan partisi semipermeabel yang bertindak sebagai sawar selektif untuk

lintasan molekul. Pergerakan transmembran obat dipengaruhi oleh komposisi

dan struktur membran plasma. Membran sel terutama tersusun dari fosfolipid

dalam bentuk dua lapis yang terpisahkan dengan gugus karbohidrat dan

protein. Bentuk sediaan yang sesuai dapat menembus membran, obat larut

lemak cenderung lebih mudah untuk penetrasi ke membran daripada molekul

polar. Faktor penentu lain adalah kelarutan obat. Kelarutan merupakan faktor

21
yang dapat mengubah pH ditempat penyerapan serta konsentrasi zat aktif juga

merupakan faktor penentu laju penyerapan.

Di dalam studi farmakokinetika klinik cara pemberian obat menentukan

kadar obat di dalam darah. Kadar obat di dalam darah tentu akan berbeda jika

obat diberikan secara oral dibandingkan dengan pemberian obat secara

intravena. Untuk dosis obat intravena, bioavailabilitas diasumsikan sama

dengan satu. Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya

mungkin kurang dari 100% berdasarkan dua alasan utama: banyaknya obat

yang diabsorpsi tidak sempurna dan adanya eliminasi lintas pertama.

2. Distribusi

Satu parameter yang penting adalah mengenai volume distribusi (Vd).

Volume distribusi adalah suatu volume yang mengandung sejumlah obat pada

cairan-cairan tertentu di dalam tubuh (volume hipotesis penyebaran obat dalam

cairan tubuh). Volume distribusi menghubungkan jumlah obat dalam tubuh

dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau plasma.

Obat–obat yang memiliki volume distribusi yang sangat tinggi

mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi di dalam jaringan ekstravaskular

daripada obat-obat yang berada dalam bagian vaskular yang terpisah, yakni

obat-obat tersebut tidak didistribusikan secara homogen. Sebaliknya, obat-obat

yang dapat bertahan secara keseluruhan di dalam bagian vaskular yang

terpisah, pada dasarnya mempunyai kemungkinan minimum Vd yang sama

dengan komponen darah di mana komponen-komponen tersebut didistribusi.

22
3. Metabolisme

Liver merupakan organ yang memiliki perananan penting dalam proses

metabolisme. Oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi merupakan reaksi

yang paling umum. Metabolisme obat dalam liver bergantung aliran. Jumlah

enzim yang terlibat dalam metabolisme obat tidak merata pada seluruh liver.

Sebagai akibatnya, perubahan aliran darah dapat sangat mempengaruhi fraksi

obat termetabolisme. Secara klinis, penyakit liver, seperti sirosis dapat

menyebabkan fibrosis dan nekrosis mengakibatkan perubahan aliran darah dan

mengubah bioavaibilitas obat. Peran metabolisme dalam inaktivasi obat-obat

larut lemak sangat penting. Sebagai contoh, barbiturate lipofilik seperti

thiopental dan pentobarbital mempunyai waktu paruh yang sangat panjang

kalau bahan tersebut tidak dimetabolisme menjadi senyawa larut air.

Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat dibedakan

berdasarkan letaknya di dalam sel, yaitu enzim mikrosom yang tedapat dalam

retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk kromosom)

dan enzim non mikrosom. Kedua enzim metabolisme ini terutama terdapat

dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain, misalnya: ginjal,

paru-paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga

terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim

mikrosom mengkatalisis reaksi glukoronida, sebagian besar reaksi oksidasi

obat, serta reksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom

mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, reaksi reduksi

dan hidrolisis (Gibson dan Skett, 1991)

23
1. Ekskresi

Ekskresi merupakan proses pengeluaran zat sisa metabolisme tubuh. Zat

hasil metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh akan dikeluarkan melalui

alat ekskresi. Sistem ekskresi merupakan salah satu hal yang penting dalam

homeostatis tubuh karena selain berperan dalam pembuangan limbah hasil

metabolisme sistem ekskresi juga dapat merespon terhadap

ketidakseimbangan cairan tubuh.

Fungsi dari sistem ekskresi yaitu :

a) Membuang limbah yang tidak berguna dari dalam tubuh

b) Mengatur konsentrasi dan volume cairan tubuh (osmoregulasi)

c) Mempertahankan temperatur tubuh dalam kisaran normal

(termoregulasi). Parameter yang penting adalah klirens (clearance), yaitu suatu

faktor yang memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan konsentrasi

obat.

2.3 Amikasin

Amikasin ialah turunan semisintetis dari kanamisin yang kurang toksik.

Amikasin realatif resistensi terhadap beberapa enzim yang menginaktifkan

gentamisin dan tobramisin, dan karena itu dapat digunakan untuk beberapa

organismeyang resisten terhadap obat-obat terkahir ini (Katzung, 2012). Banyak

bakteri enterik gram-negatif, yang mencakup sejumlah besar galur proteus,

pseudomonas ,enterobacter, dan serratia dihambat dengan dosis 1-20 mcg/ ml.

24
1. Indikasi Amikasin

Pengobatan jangka pendek untuk infeksi berat berikut: septikemia

bakterial, infeksi berat pada saluran napas, tulang dan sendi, SSP dan jaringan

lunak, infeksi intra-abdominal, infeksi pada luka bakar, infeksi pasca bedah,

ISK (Infeksi saluran kemih) berat dan rekuren oleh bakteri gram negatif yang

sensitif, termasuk yang disebabkan Pseudomonas spp., Escherichia coli,

Proteus spp. (indol positif dan negatif), Enterobacteriaceae (Klebsiella spp.,

Enterobacter spp., Serratia spp.), Providencia spp. dan Acinetobacter spp.

Infeksi oleh bakteri gram negatif yang resisten terhadap gentamycin dan atau

tobramycin, khususnya Proteus reetgeri, Providencia stuartii, Serratia

marcescens dan Pseudomonas aeruginosa (Anonim, 2010).

2. Kontra Indikasi Amikasin

Amikasin memiliki kontra indikasi pada pasien yang sedang hamil dan

pasien miastenia gravis (Anonima, 2008).

3. Mekanisme Kerja Amikasin

Amikacin adalah salah satu aminoglikosida bakterisida. Mekanisme aksi

berikatan dengan 30S subunit dari ribosom prokariotik, mengganggu sintesis

protein bakteri dengan mengikat kedinding sel bakteri dan terjadi proses

transportasi aktif ke dalam sitosol sel. Masuk nya amikasin kedalam sel

menyebabkan kerusakan membran sitoplasma dan meyebabkan kematian sel

yang diduga disebabkan oleh pengenalan kode genetik yang salah yang

mengannggu sintesis protein (Gunawan, et al., 2012).

25
4. Interaksi Obat Amikasin (Herdwiani et al., 2015)

Beberapa obat berikut berinteraksi dengan amikasin :


Tabel 1. Interaksi Obat Amikasin (Golongan Aminoglikosida)
Interaksi Aminoglikosida Mekanisme Aksi

Amfoterisin B Terjadi gangguan fungsi ginjal ketika


diberikan amfoterisin B, walaupun
diberikan pada dosis yang tidak
terlalu tinggi. Kedua obat dalam dosis
yang cukup tinggi diketahui
mengakibatkan nefrotoksik.

Verapamil Kombinasi keduanya malah


dianjurkan karena verapamil justru
dapat melindungi kerusakan ginjal
yang disebabkanoleh aminoglikosida.

Sefalosforin Mengakibatkan kenaikan kerusakan


ginjal, dengan mekanisme yang
masih belum diketahui

Indometacin Indometacin menurunkan kecepatan


filtrasi tubulus ginjal. Dan karena
eliminasi aminoglikosida melalui
filtrasi ginjal, maka efek indometasin
kemungkinan dapat mengakibatkan
retensi antibakteri di tempat kerjanya

5. Efek Toksik Amikasin

Amikasin memiliki efek samping neurotoksisitas, ototoksisitas (auditori dan

vestibular), nefrotoksik (meningkatkan klirens kreatinin) dengan kejadian lebih

dari 10%. Efek samping lain yang lebih jarang (< 1%) yaitu agranulositosis,

26
reaksi alergi, dispnea, granulositopenia, fotosensitif, pseudomotor serebral dan

trombositopenia (Katzung, 2010).

6. Spektrum Aktivitas

Spektrum aktivitas antimikroba amikasin merupakan terluas dalam

kelompok ini, dan karena resistensinya yang unik terhadap enzim pengaktivasi

aminoglikosida, antibiotik ini mempunyai peran khusus di rumah sakit tempat

menyebarnya resistensi mikroorganisme terhadap gentamisin dan tobramisin

(Goodman and Gilman, 2012)

2.4 Farmakokinetika Amikasin

Semua senyawa aminoglikosida memiliki klirens, volume distribusi, dan

waktu paruh yang mirip, oleh karena itu, model farmakokinetika yang dapat

digunakan untuk semua aminoglikosida (Winter, 2012).

1. Absorbsi

Semua golongan aminoglikosida termasuk amikasin sangat polar sehingga

sangat tidak bagus diabsorbsi dari saluran gastrointestinal (Herdwiani et al.,

2015). Pada pemberian oral maupun rektal, banyaknya obat yang diabsorpsi

kurang dari 1%. Absorbsi amikasin dari saluran gastrointestinal dapat

ditingkatkan oleh penyakit gastrointestinal. Masuknya obat ini ke dalam rongga

tubuh dengan permukaan serosa seperti injeksi muskular dapat mengakibatkan

absorpsi cepat dan toksisitas yang tidak diduga (Goodman dan Gilman, 2012).

Absorpsi amikasin melalui pencernaan kurang baik dan lebih baik jika

diberikan melalui intravena, intraperitoneal, intramuskular dan kulit. Amikasin

27
diabsorpsi cepat setelah injeksi intramuskular. Pada pasien sakit kritis,

terutama dalam keadaan syok, absorpsi obat dari tempat injeksi intramuskular

dapat berkurang akibat perfusi yang rendah (Katzung, 2012).

2. Distribusi

Amikasin bersifat sangat polar, obat polar ini tidak berpenetrasi ke dalam

sebagian besar sel, sistem saraf pusat (SSP) dan mata (Herdwiani et al., 2015).

Konsentrasi aminoglikosida dalam sekresi dan jaringan rendah. Konsentrasi

yang tinggi hanya ditemukan pada bagian korteks ginjal serta bagian endolimfe

dan perilimfe telinga bagian dalam. Konsentrasi dalam empedu mendekati 30%

dari konsentrasi dalam plasma. Konsentrasi aminoglikosida dalam cairan

serebrospinal di bawah 10% dari konsentrasinya di dalam plasma (dalam

keadaan tidak ada peradangan ), angka ini mencapai 25% pada kondisi

meningitis (Goodman dan Gilman, 2012).

3. Metabolisme

Pada pasien di ICU biasanya metabolismenya berlebihan dan karenanya

eliminasi aminoglikosida lebih cepat. Eliminasi aminoglikosida sangat erat

kaitanyya dengan klirens kreatinin. Pada pasien cystic fibrolisis rata-rata

kecepatan eliminasinya meningkat 50%. Pasien luka bakar kecepatan metabolik

basalnya meningkat (Herdwiani et al., 2015).

4. Ekskresi

Aminoglikosida di ekskresikan hampir seluruhnya melalui filtrasi

glomerulus dan mencapai kadar dalam urine sebesar 50-200 µg/ml. Sebagian

28
besar obat yang diberikan secara paerenteral tidak berubah selama 24 jam pertama

dan sebagian besar dari jumlah tersebut muncul pada 12 jam pertama. Bersihan

ginjal aminoglikosida kurang lebih dua pertiga dari bersihan kreatinin secara

bersamaan; pengamatan ini menimbulkan dugaan bahwa obat-obat ini mengalami

sejumlah reabsorpsi di tubulus. Setelah pemberian dosis tunggal aminoglikosida,

hialngnya obat dari plasma melebihi eksresi obat dari ginjal sebesar 10-20%.

Namun setelah terapi 1-2 hari, hampir 100% dosisnya dapat ditemukan kembali di

urin. Periode tunda ini kemungkinan menunjukkan telah jenuhnya tempat-tempat

ikatan (binding site) pada jaringan. Kecepatan eliminasi obat dari tempat tempat

ini jauh lebih lama daripada eliminasinya dari plasma. Waktu paruh

aminoglikosida yang terikat jaringan di perkirakan berkisar dari 30-700 jam.

Karna itulah sedikit aminoglikosida dapat dideteksi di dalam urin selama 10

hingga 20 hari setelah pemberian obat dihentikan (Goodman dan Gilman, 2012).

5. Konsentrasi Plasma Terapeutik

Amikasin memiliki kisaran terapi sempit dengan rentang konsentrasi puncak

20-30 mg/L dan konsentrasi palung tidak lebih dari 10 mg/L. Amikasin

merupakan obat indeks terapi sempit dengan toksisitas berupa ototoksisitas dan

nefrotoksisitas. Jika terdapat perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat

meningkatkan efek toksik. Ototoksisitas dapat terjadi bila konsentrasi puncak

amikasin dalam plasma melebihi 35-40 mg/L. Nefrotoksistas akan terjadi jika

konsentrasi palung plasma amikasin melebihi 10 mg/L (Winter, 2012).

29
6. Bioavailabilitas (F)

Antibiotik aminoglikosida merupakan senyawa yang sangat larut dalam air

dan sukar larut dalam lipid. Akibatnya, obat-obat ini sukar diabsorpsi bila

diberikan secara oral dan harus diberikan secara parenteral untuk mengobati

infeksi sistemik. Rute pemberian intravena (IV) juga diasumsikan memiliki

bioavailabilitas 100% (Winter, 2012).

7. Volume Distribusi

Volume distribusi aminoglikosida pada dewasa sehat adalah 0.25 L/kg.

Volume ini setara dengan cairan ekstraseluler sehingga akan mudah tercapai

konsentrasi terapeutik dalam darah, tulang, cairan sinovial, mempunyai

konsentrasi distribusi pada paru dan otak. Pasien dengan cystic fibrosis volume

distribusinya meningkat 0.35 L/kg berkaitan dengan kenaikan cairan

ekstraseluler karena proses penyakitnya. Pasien dengan ascites memi liki

kelebihan cairan ekstraseluler karena akumulasi cairan ascitic, yang dapat

meningkatkan volume distribusi sampai 0.32 L/kg. Pada pasien di ICU

kemungkinan volume distribusinya meningkat 25-50% dari normal (Herdwiani

et al., 2015).

Volume distribusi aminoglikosida hampir sama dengan volume

ekstraseluler, kadar rendah aminoglikosida terdapat dalam sekresi dan jaringan.

Kadar tinggi hanya di temukan dalam korteks ginjal dan telinga bagian dalam,

yang sepertinya berkontribusi terhadap nefrotoksisitas dan ototoksisitas akibat

penggunaan aminoglikosida (Katzung, 2012).

30
8. Klirens

Antibiotik aminoglikosida dieliminasi hampir semuanya melalui rute renal.

Karena klirens aminoglikosida dan klirens kreatinin memiliki nilai yang mirip

pada berbagai kondisi fungsi ginjal, klirens aminoglikosida dapat diestimasi

dengan persamaan yang digunakan untuk mengestimasi klirens kreatinin

apabila konsentrasi aminoglikosida berada di dalam rentang terapeutik. Faktor

lain yang harus dipertimbangkan dalam mengestimasi klirens aminoglikosida

adalah klirens non-renal, yaitu 0,0021 L/kg/jam (atau 2,5 ml/menit/70 kg)

(Winter, 2012).

Persamaan klirens aminoglikosida :

(140-Usia)(Berat Badan)
Clcr untuk pria ( ml/menit) = (72) (Srcr)

(140-Usia)(Berat Badan)
Clcr untuk wanita ( ml/menit) = (0,85) x
(72) (Srcr)

9. Waktu Paruh

Waktu paruh aminoglikosida dalam plasma bervariasi antara 2-3 jam pada

pasien dengan fungsi ginjal yang normal (Katzung, 2012). Waktu paruh

aminoglikosida akan memendek pada keadaan demam dan akan memanjang

pada penurunan fungsi ginjal. Waktu paruh aminoglikosida yang terikat

jaringan di perkirakan berkisar dari 30-700 jam. Aminoglikosida yang terikat

pada jaringan ginjal menunjukkan aktivitas antibakteri dan melindungi hewan-

hewan percobaan terhadap infeksi bakteri di ginjal, bahkan pada saat obat

31
tersebut tidak lagi terdeteksi dalam serum. Walaupun eksresi aminoglikosida

pada orang dewasa dan anak-anak berumur di atas 6 bulan sama, waktu paruh

obat ini mungkin diperpanjang secara signifikan pada bayi baru lahir. Bayi

baru lahir dengan bobot badan kurang dari 2 kg memiliki waktu paruh

aminoglikosida 8-11 jam selama minggu pertama kelahiran, sedangkan bayi

dengan bobot di atas 2 kg mengeliminasi obat ini dengan waktu paruh kira-kira

5 jam. Pada pasien anefrik, waktu paruh aminoglikosida bervariasi dari 20-40

kali waktu paruh individual normal (Goodman dan Gilman, 2012).

10. Peringatan dan Perhatian

Amikasin memiliki peringatan pada pasien gangguan fungsi ginjal, bayi dan

lansia (sesuaikan dosis, awasi fungsi ginjal, pendengaran dan vestibuler dan

periksa kadar plasma), hindari penggunaan jangka panjang (Anonima, 2008).

Amikasin bersifat ototoksik, nefrotoksik dan neurotoksik, kemungkinan

terjadinya blokade neuromuskular dan paralisis pernapasan (Anonim, 2010)

2.5 Dosis

2.5.1 Pengertian Dosis

Dosis obat adalah jumlah atau ukuran yang diharapkan dapat

menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami gangguan. Dosis

Obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang di harapkan

tergantung dari banyak faktor seperti, usia, bobot badan, jenis kelamin, luas

permukaan tubuh, keparahan penyakit dan keadaan daya tahan tubuh (Syamsuni,

2006).

32
2.5.2 Macam-Macam Dosis

Penggunaan dosis obat dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok,

diantaranya (Syamsuni, 2006) :

a) Dosis awal/loading dose: dosis awal yang dibutuhkan guna tercapainya

konsentrasi obat yang diinginkan didalam darah kemudian untuk

selanjutnya dengan dosis perawatan.

b) Dosis pencegahan: jumlah yang dibutuhkan untuk melindungi agar pasien

tidak terkena penyakit.

c) Dosis terapi: dosis obat yang digunakan untuk terapi jika pasien sudah

terkena penyakit.

d) Dosis lazim: dosis yang secara umum digunakan untuk terapi.

e) Dosis maksimal: dosis obat maksimal yang dapat digunakan untuk

pengobatan penyakit, yang bila dosis maksimal dilampaui akan

menimbulkan efek yang tidak diinginkan.

f) Dosis letal: dosis yang melebihi dosis terapi dan mengakibatkan efek

yang tidak diinginkan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Dosis obat yang diberikan kepada penderita dipengaruhi oleh beberapa

faktor meliputi: faktor obat, cara pemberian obat dan penderita. Terutama

faktor penderita sering kali kompleks sekali, karena perbedaan individu

terhadap respon obat tidak selalu dapat diperkirakan (Jonoes, 2004).

2.5.3 Perhitungan Dosis Individual (Winter, 2012)

Dosis individual merupakan dosis yang diberikan kepada setiap pasien

berdasarkan keadaan individual pasien yang ditinjau dari sisi umur, berat badan,

33
kondisi penyakit, penyakit lain dan kombinasi obat yang diberikan. Dosis

individual dapat dihitung berdasarkan :

(Vd) (Css)
1. Loading Dose =
(S)(F)

Loading dose: dosis awal yang dibutuhkan guna tercapainya konsentrasi

obat yang diinginkan didalam darah kemudian untuk selanjutnya dengan dosis

perawatan (Syamsuni, 2006).

(Cl)(Css) τ
2. Maintenance Dose =
(S)(F)

Dosis pemeliharaan (Maintenance Dose) adalah dosis obat yang diperlukan

untuk mempertahankan efek klinik atau konsentrasi terapeutik obat yang sesuai

dengan dosis regimen (Winter, 2012).

S.F. D
3. Cssave =
Cl .τ

Konsentrasi tunak rerata adalah suatu keadaan tidak terjadi perubahan

jumlah konsentrasi obat di dalam tubuh dengan bertambahnya waktu, hal ini

dapat tercapai setelah 2 kali terjadinya konsentrasi obat minimum pada kondisi

tunak dan 2 kali terjadinya konsentrasi obat maksimal pada kondisi tunak

(Winter, 2012).

4. Cssmin=
VD
 
S .F .D k
e

1  e k .

Konsentrasi obat minimum pada kondisi tunak. Pengambilan sampel dapat

dilakukan sebelum 30 menit pemberian dosis selanjutnya.

34
5. Cssmax=
S .F .D kt
VD
e 
1  e k .

Konsentrasi obat maksimal pada kondisi tunak yang terjadi beberapa saat

setelah pemberian obat.

Dimana :

Cssave : Kadar rata-rata obat dalam darah


Cssmin: Kadar minimal obat dalam darah
Cssmax: Kadar maksimal obat dalam darah
Div : Dosis intervena
S : Bentuk kimia
F : Fraksi
D : Dosis infus
Vd : Volume distribusi
Ct : Konsentrasi obat pada waktu tertentu
K : Konstanta
t : Waktu
τ : Interval pemberian obat

35
2.6 Dewasa

Secara etimologi, kedewasaan dalam kata kerja latin disebut dengan

istilah adult atau adolescene yang berarti “ telah tumbuh menjadi kekuatan dan

ukuran yang sempurna ” atau “telah menjadi dewasa (matured) ” (Hurlock, 2010).

Dewasa dalam bahasa Belanda adalah “Volwassen” yang artinya Vol berarti

penuh dan Wassen berarti tumbuh, sehingga “volwassen” berarti sudah tumbuh

dengan penuh atau selesai tumbuh (Wojowasito, 1992). Dari pengertian tersebut

dapat diartikan bahwa orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan

pertumbuhannya dan mampu melakukan peran dalam masyarakat bersama dengan

orang dewasa lainnya. Peningkatan yang terjadi pada masa dewasa akan

dimanifestasikan melalui berbagai macam hal, seperti sosialisasi yang luas,

penelitian karir, semangat hidup yang tinggi, perencanaan yang jauh kedepan dan

berbagai keputusan penting yang berkaitan dengan kesehatan, karir dan hubungan

antar pribadi (Hurlock, 2010).

2.6.1 Klasifikasi Dewasa

Pembagian terhadap masa dewasa hanyalah untuk menunjukkan tentang

umur rata-rata pria dan wanita ketika mulai menampakkan perubahan-perubahan

dalam penampilan, minat, sikap dan prilaku tertentu yang karena tuntutan

lingkungannya dapat menimbulkan masalah-masalah penyesuaian diri yang mau

tak mau harus dihadapi di usia dewasanya. Klasifikasi dewasa dibagi menjadi tiga

rentang usia (Hurlock, 2010) .

a. Dewasa muda : 18 tahun - 40 tahun

36
Pada masa ini perubahan fisik dan psikologis telah mencapai

kematangannya. Batasan usia 18 tahun diambil karena di usia ini seseorang

dianggap telah dewasa menurut hukum yang berlaku di Amerika sejak tahun

1970.

b. Dewasa madya : 41 tahun - 60 tahun

Rentang usia ini ditandai dengan terjadinya penurunan kemampuan fisik dan

psikologis yang nampak jelas pada semua orang.

c. Dewasa lanjut : ≥ 61 tahun

Kemampuan fisik maupun psikologis pada masa ini dirasakan semakin

cepat menurun pada setiap orang.

2.7 Rumah Sakit

2.7.1 Definisi Rumah Sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Sedangkan menurut WHO (World

Health Organization) rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi

sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna

(komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit

(preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi

tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik (Anonim, 2009).

37
2.7.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Pada umumnya tugas rumah sakit ialah menyediakan keperluan untuk

pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor : 973/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum

adalah mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan

secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta

melaksanakan rujukan (Siregar dan Lia, 2003).

Rumah sakit mempunyai beberapa fungsi, yaitu menyelenggarakan

pelayanan medik; pelayanan penunjang medik dan non medik; pelayanan dan

asuhan keperawatan; pelayanan rujukan; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan

pengembangan serta administrasi umum dan keuangan. Jadi, empat fungsi dasar

rumah sakit adalah pelayanan penderita, pendidikan, penelitian, dan kesehatan

masyarakat (Siregar dan Lia, 2003).

2.7.3 Rekam Medis

2.7.3.1 Definisi Rekam Medis


Menurut Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor

269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis, rekam medis adalah berkas

yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, pemeriksaan, pengobatan,

tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan adalah

tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan yang

dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan. Dokumen

adalah catatan dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu, laporan

hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pemeriksaan harian dan

38
semua rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging) dan

rekaman elektrodiagnostik (Anonimb, 2008).

2.7.3.2 Kegunaan Rekam Medis


Menurut Siregar dan Lia (2003), kegunaan rekam medis adalah:

1) Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan

penderita.

2) Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap

profesional yang berkontribusi pada perawatan pasien.

3) Melengkapi bukti dokumen penyebab kesakitan pasien dan

penanganan/pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit.

4) Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan

yang diberikan kepada pasien.

5) Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit

dan praktisi yang bertanggungjawab.

6) Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.

2.8 RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan pusat rujukan dan

pembina rumah sakit Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau. RSUD Arifin Achmad

merupakan rumah sakit kelas B pemerintah provinsi Riau yang mempunyai tugas

dan fungsi mencakup upaya pelayanan kesehatan perorangan, pusat rujukan dan

pembina rumah sakit Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau serta merupakan tempat

pendidikan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Institusi

39
Pendidikan Kesehatan lainnya. Rumah sakit ini juga memiliki angka kunjungan

yang banyak dibanding rumah sakit lainnya di kota Pekanbaru (Anonimb, 2018).

Sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 8 Tahun 2008 tentang

Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja, dinyatakan bahwa kedudukan

RSUD Arifin Achmad adalah perangkat daerah yang diserahi wewenang, tugas

dan tanggung jawab untuk melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna

dan berhasil guna, dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan

yang dilaksanakan secara serasi terpadu dengan upaya peningkatan serta

pencegahan dan melaksanakan upaya rujukan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada

Gubernur (Anonimd, 2011).

Tugas pokok dan fungsi RSUD Arifin Achmad ditetapkan dalam

Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor: 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga

Teknis Daerah Provinsi Riau yaitu: melaksanakan upaya kesehatan secara

berdayaguna dan berhasilguna dengan mengutamakan upaya penyembuhan

pemulihan yang dilaksanakan secara serasi terpadu dengan upaya peningkatan

serta pencegahan dan melaksanakan upaya rujukan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut

Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad mempunyai fungsi :

1) Pelayanan medis.

2) Pelayanan penunjang medis dan non medis.

40
3) Pelayanan asuhan keperawatan.

4) Pelayanan rujukan.

5) Pelaksanaan pendidikan dan pengembangan.

6) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan.

7) Pengelolaan administrasi dan keuangan.

41
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2019

di Instalasi Farmasi & Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum Daerah Arifin

Achmad Provinsi Riau.

3.2 Metodologi Penelitian

3.2.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat kuantitatif

dan kualitatif dengan pendekatan secara retrospektif terhadap pasien dewasa (≥ 18

tahun) yang mendapat terapi amikasin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau.

3.2.2 Penetapan Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua rekam medis pasien dewasa (≥

18 tahun) yang mendapat terapi amikasin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau tahun 2018.

3.2.3 Penetapan Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah semua rekam medis pasien dewasa

yang mendapat terapi amikasin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau tahun 2018. Sampel diambil dengan teknik

systemic random sampling.

42
3.2.4 Perhitungan Sampel Penelitian

Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini dihitung menurut

(Notoatmodjo, 2005) menggunakan rumus :

N
n=
1+N (d2 )

Keterangan:

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Presisi yaitu derajat ketepatan yang diinginkan (20% = 0,2)

3.3 Alur Penelitian

3.3.1 Pengurusan Izin

Pengurusan izin penelitian dimulai dengan mengurus surat pengantar izin

penelitian di bagian administrasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau dilanjutkan

dengan penyerahan surat pengantar tersebut ke Bagian Umum Rumah Sakit

Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau yang diteruskan ke bagian

Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi

Riau sehingga didapatkan surat pengantar permohonan izin penelitian di Instalasi

Rekam Medik dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad

Provinsi Riau. Surat tersebut kemudian diajukan kepada Kepala Instalasi Rekam

Medik dan Kepala Instalasi Farmasi untuk mendapat persetujuan. Setelah

disetujui, surat tersebut dibawa kembali ke bagian Pendidikan dan Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau. Kemudian dilakukan

43
pengurusan kode etik penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Riau yang

digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian.

3.3.2 Pengambilan dan Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang merupakan data rekam

medis dan catatan perkembangan pasien oleh dokter dan perawat. Data rekam

medis pasien yang dibutuhkan yaitu, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi

badan, diagnosis, dosis, lama pemberian dan pemeriksaan labor (SrCr). Semua

data yang dibutuhkan dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam lembar pengumpul

data.

3.4 Analisis Data

Data di analisa secara kuantitatif. Analisis kuantitatif merupakan analisis

yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap

variabel penelitian. Pada umumnya data analisis ini menghasilkan distribusi

frekuensi dan persentase dari setiap variabel. Adapun variabel yang akan dilihat

deskripsinya dalam penelitian ini adalah :

a. Analisis Data Demografi

1. Jumlah dan persentase (%) pasien dewasa di instalasi rawat inap yang

mendapatkan amikasin berdasarkan jenis kelamin.

2. Jumlah dan persentase (%) pasien dewasa di instalasi rawat inap yang

mendapatkan amikasin berdasarkan rentang usia.

b. Analisis Data Terapi

1. Jumlah dan persentase (%) pasien dewasa di instalasi rawat inap yang

mendapatkan amikasin berdasarkan jenis pendosisan.

44
2. Jumlah dan persentase (%) pasien dewasa di instalasi rawat inap yang

mendapatkan amikasin berdasarkan jenis terapi.

c. Analisis Ketepatan Pendosisan Amikasin

1. Jumlah dan persentase (%) pasien dewasa di instalasi rawat inap yang

mendapatkan amikasin berdasarkan ketepatan Cssave dengan menggunakan

rumus berikut :

S.F. D
Cssave =
Cl .τ

2. Jumlah dan persentase (%) pasien dewasa di instalasi rawat inap yang

mendapatkan amikasin berdasarkan ketepatan Cssmax, dengan

menggunakan rumus berikut :

Cssmax=
S.F .D kt
VD
 
e

1  e k .

3. Jumlah dan persentase (%) pasien dewasa di instalasi rawat inap yang

mendapatkan amikasin berdasarkan ketepatan Cssmin dengan menggunakan

rumus berikut :

Cssmin=
S .F .D  k
VD
e 
1  e  k .

4. Jumlah dan persentase (%) pasien dewasa di instalasi rawat inap yang

mendapatkan amikasin berdasarkan ketepatan dosis.

Keterangan :

Cssave : Kadar rata-rata obat dalam darah

45
Cssmin : Kadar minimal obat dalam darah

Cssmax : Kadar maksimal obat dalam darah

Div : Dosis intervena

S : Bentuk kimia

F : Fraksi

D : Dosis infus

Vd : Volume distribusi

K : Konstanta

t : Waktu

τ : Interval pemberian obat

40
3.5 Kerangka Konsep

Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana ketepatan pendosisan

amikasin berdasarkan estimasi konsentrasi obat dengan perhitungan dosis

individual pada pasien dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUD Arifin Achmad

berdasarkan perhitungan dosis individual terhadap dosis yang telah diberikan oleh

dokter. Adapun yang diamati berdasarkan kerangka berikut :

Dosis amikasin pada pasien dewasa

Dosis Tunggal Dosis terbagi

Perhitungan konsentrasi terapeutik

Cssave Cssmax Cssmin

a. Konsentrasi kurang a. Konsentrasi kurang a. KonsentrasiKurang


b. Konsentrasi tepat b. Konsentrasi tepat b. Konsentrasi Tepat
c. Konsentrasi berlebih c. Konsentrasi berlebih

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

3.6. Etika Penelitian

Etika dalam penelitian ini adalah meminta persetujuan dari RSUD Arifin

Achmad yangdi buktikan dengan mengeluarkan surat izin penelitian

No.304/Diklit/Litbang/RSUD AA/IV/2019. Pengambilan data dilakukan secara

confidentiality (kerahasiaan) dengan metode coding yaitu dengan menggunakan

kode sehingga kerahasian pasien lebih terjaga.

47
3.7 Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah rekam medis pasien

dewasa yang mendapatkan amikasin di Instalasi Rawat Inap RSUD Arifin

Achmad.

3.8 Definisi Operasional

1. Sampel adalah seluruh rekam medis pasien dewasa yang mendapat amikasin

di Instalasi Rawat Inap RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.

2. Dosis individual adalah dosis yang diberikan kepada setiap pasien

berdasarkan keadaan individual pasien yang ditinjau dari sisi umur, berat

badan, kondisi penyakit, penyakit lain dan kombinasi obat yang diberikan.

3. Jenis kelamin pasien adalah laki-laki dan perempuan.

Alat ukur : Rekam medis pasien

4. Rentang usia adalah semua pasien rawat inap dengan usia ≥ 18 tahun yang

mendapatkan amikasin (Hurlock, 2001) :

a. Dewasa muda : 18 tahun – 40 tahun

b. Dewasa madya : 41 tahun – 60 tahun

c. Dewasa lanjut : ≥ 61 tahun

Alat ukur : Rekam medis pasien

Hasil : Dewasa awal, dewasa madya, dewasa lanjut

5. Jenis Pendosisan

a) Kovensional : Pemberian amikasin dalam dosis beberapa kali sehari

48
b) Tunggal : Pemberian amikasin dengan interval diperpanjang menjadi

sekali sehari

6. Jenis Terapi

a. Profilaksis : adalah pemberian amikasin yang digunakan untuk mencegah

terjadinya infeksi pada pasien yang tidak didiagnosa menderita penyakit

infeksi sebelumnya.

b. Empiris : pemberian amikasin pada pasien yang didiagnosa menderita

penyakit infeksi, namun tidak dilakukan uji kultur.

c. Definitif : pemberian amikasin pada pasien yang didiagnosa menderita

penyakit infeksi dan sudah dilakukan uji kultur.

7. Ketepatan dosis adalah dosis yang diberikan kepada pasien, berada dalam

range terapi berdasarkan perhitungan Cssave.

a. Konsentrasi Kurang : Apabila konsentrasi < 6 mg/L

b. Konsentrasi Tepat : Apabila konsentrasi antara 6-12 mg/L

c. Konsentrasi Berlebih : Apabila konsentrasi >12mg/L

8. Ketepatan dosis adalah dosis yang diberikan kepada pasien, berada dalam

range terapi berdasarkan perhitungan Cssmax.

a. Konsintrasi kurang : Apabila konsentrasi Apabila konsentrasi amikasin

berada antara < 20 mg/L untuk pendosisan konvensional dan <60 mg/L

untuk tunggal.

b. Konsentrasi Tepat : Apabila konsentrasi amikasin berada antara 20-30

mg/L untuk pendosisan konvensional dan 60 mg/L untuk pendosisan

tunggal.

49
c. Konsetrasi Berlebih : Apabila konsentrasi amikasin berada antara >30

mg/L untuk pendosisan kovensional dan > 60 mg/L untuk pendosisan

tunggal.

9. Cssmin adalah konsentrasi minimum amikasin dalam darah.

a. Konsentrasi Tepat : Apabila konsentrasi amikasin <10 mg/L.

b. Konsentrasi Berlebih : Apabila konsentrasi amikasin >10 mg/L.

50
DAFTAR PUSTAKA
Aliska, G., Setiabudy, R., Purwantyastuti, Dewi, T., U., Kurniawati, Sedono, R.,
and Azwar, M., K., 2017, Optimal Amikacin Levels For Patients with
Sepsis in Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta,
Acta Med Indones - Indones J Intern Med, 49 (3) : 227-235.

Anonima, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI), Badan Pengawas


Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonimb, 2008, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.296/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Tentang


Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia , Jakarta.

Anonim, 2010, Formularium Spesialitik Ilmu Penyakit Dalam,Menteri Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta.

Anonima, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta.

Anonimb, 2011, Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan


Bakteri Buku Panduan Hari Kesehatan Sedunia, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

Anonimc, 2011, Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik,


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonimd, 2011, Profil Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru:
http://www.rsudpekanbaru.com/?page_id=4 (Akses 15 Maret 2019).

Anonim, 2013, Antimicrobial Resistance, World Health Organization:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/ (Akses 15 Maret
2019)

Anonim, 2015, Penggunaan Obat Rasional, Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Anonim,2016, Antibiotic Resistance,


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/ (Akses 25 April 2019).

Anonima, 2018, New Report Suggests Global Consumption of Antibiotics


Increasing, Driven by LMICs, Infectious Disease Hub,
Barcelona.https://www.id-hub.com/2018/03/26/new-report-suggests-global-
consumption-antibiotics-increasing-driven-lmics/ (Akses 2 April 2019).

51
Anonimb, 2018, RSUD Arifin Achmad, http://rsudarifinachmad.riau.go.id/profil-
rsudaa.html (Akses 20 Agustus 2019).

Borong, M., 2012, Kerasionalan Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap
Anak Rumah Sakit M.M Dunda Limboto Tahun 2011, Fakultas Farmasi,
Gorontalo.

Burke, C.A., 2014, Essensial Antibiotik Ed. 7, Fakultas Kedokteran EGC, Jakarta.

Frieden, T., 2013, The Threat of Antibiotic Resistance Thereats in The United
States. US Departement of Health and Human Services, United States

Gibson, G. and Skett, P., 1991, Introduction to Drug Metabolism, Chapman and
Hall, London

Goodman dan Gilman, 2012, Manual Farmakologi dan Terapy ed 5, Fakultas


Kedokt eran EGC, Jakarta

Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, dan Elysabeth, 2012, Farmakologi dan
Terapi, Edisi 5, Badab Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Hadi, U., Kuntaman., Qiptiyah, M., dan Paraton, H., 2013, Problem of Antibiotic
Use and Antimicrobial Resistance in Indonesia: Are We Really Making
Progress?, Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease, 4(4): 5–
8.

Hardjosaputra, S.L., 2008, Data Obat di Indonesia, PT. Nusantara Lestari


Ceriapratama, Jakarta. Hal 299

Herdwiani, W., Jason, M.P. dan Lucia, V.I., 2015, Buku Ajar Farmakokinetik
Klinik, Trans Info Media, Jakarta.

Hurlock, E., 2010, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta.

Jonoes, N., 2004, Ars Prescribendi Resep yang Rasional, Airlangga University
Press, Surabaya.

Katzung, B.G, 2012, Farmakologi Dasar dan Klinik Ed.10, Fakultas Kedokteran
EGC, Jakarta.

Magiorakos, A.-P., Srinivasan, A., Carey, R.B., Carmeli, Y., Falagas, M.E.,
Giske, C.G., 2012, Multidrug-resistant, extensively drug-resistant and
pandrugresistant bacteria: an international expert proposal for interim
standard definitions for acquired resistance. Clinical Microbiology and
Infection, 18: 268–281.

52
Miladiyah, I., 2010, Toksodinamik Antibiotika Golongan Aminoglikosida,
Departeman Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Islma
Indonesia, JKKI, 2(5): 41-47.

Neal, M. J, 2006, Obat Antibakteri yang Menghambat Sintesis Asam Nukleat:


Amalia, S. At a Glance Farmakologi Medis 5th ed, Erlangga, Jakarta.

Notoatmodjo,S., 2005, Metodologi penelitian kesehatan, PT Rineka Cipta,


Jakarta.

Rahman, V., Anggraini, D., dan Fauziah, D., 2015, Pola Resistensi Acinobacter
Baumannii yang Diisolasi di Intesive Care unit (ICU) RSUD Achmad
Provinsi Riau Periode 1 Januari sampai 31 Desember 2014, Jom Fakultas
Kedokteran Universitas Riau, 2(2) : 1-8.

Siregar, C.J.P., dan Lia, A., 2003, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan,
Fakultas Kedokteran EGC, Jakarta.

Shargel, L., Andrew, Y., dan Susana, W.P., 2012, Applied Biopharmaceutics Sixth
Edition, Mcgraw Hill Profesionals, New York.

Supriyantoro, 2011, Kebijakan dan Program Pemerintah Dalam Mengurangi


Resistensi Antibiotik'. Dipresentasikan pada 7th National Symposium of
Indonesia Antimicrobial Resistance Watch di Jakarta, Cermin Dunia
Kedokteran, Jakarta, hal. 474–476.

Syamsuni, H., 2006, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, Fakultas


Kedokteran EGC, Jakarta.

Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2010, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta

Winter, M.E., 2012, Farmakokinetika Klinis Dasar Edisi 5, Fakultas Kedokteran


EGC, Jakarta.

Wojowasito,S., 1992, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve,


Jakarta.

53
Lampiran 1. Skema Kerja Penelitian

Pengurusan Surat izin pengantar penelitian dan surat izin pengambilan


data dibagian Akademik Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.

Pengurusan administrasi di Bagian Umum Rumah Sakit Umum Daerah


Arifin Achmad.

Pengurusan administrasi pengujian etika penelitian yaitu kode etik di


Fakultas Kedokteran

Pengurusan administrasi di Instalasi Farmasi dan Instalasi Rekam Medis


Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad.

Pengambilan dan pengumpulan data pasien

Analisis Data

Gambar 2. Skema Kerja Penelitian

54
Lampiran 2. Skema Kerja, Pengambilan, Pengumpulan dan Analisa Data

Rekam Medik Pasien yang


Menggunakan Amikasin

Pengumpulan Data (Usia, Jenis Kelamin, Berat Badan, Tinggi


Badan,Diagnosa, Srcr, Jenis Terapi, Jenis Pendosisan, Dosis dan Lama
Penggunaan)

Pemberian Kode

Analisis Data

Kuantitatif Kualitatif

a. Analisis Data Demografi Ketepatan Konsentrasi


b. Analisis Data Terapi Amikasin
c. Analisis Ketepatan Konstrasi

Gambar 3. Skema Kerja Pengambilan, Pengumpulan dan Analisa Data.

55
Lampiran 3. Parameter Farmakokinetika Amikasin
Tabel 2. Parameter Farmakokinetika Amikasin
Konsentrasi Pendosisan Pendosisan“sekali sehari’
terapeutik Konvensional
Puncak 20-30 mg/L 60 mg/L
Palung < 10 mg/L Tidak terdeteksi
Vd 0,25 L/Kg Usia 1-5 tahun :

 
0,5L / kg  ( 5 x0,25) BB 
usia

Cl
Fungsi ginjal normal Sama dengan Clcr
Anefrik fungsionala 0,0043 L/kg/jam
Anefrik operasib 0,0021 L/kg/jam
Hemodialisisc 1,8 L/jam

a. Pasien anefrik fungsional adalah pasien dialisis yang ginjalnya


utuh.
b. Pasien Anefrik operasi adalah pasien dialisis yang ginjalnya sudah
diangkat.
c. Pasien hemodialisis adalah pasien dengan klirens 1,8 L/jam.

56
Lampiran 4 . Lembar pengumpul data
Tabel 3. Lembar Pengumpul Data

Pemerik- Ketepatan
Hasil Lama Parameter
kode J saan Fisik Diag- J.P Jenis Pendosisan
No Usia Labor Obat Dosis Peng-
Pasien K nosa Terapi Css Css Css Css Css Css
BB TB (Srcr) gunaan
Ave min max ave min max

Keterangan :

JK : Jenis Kelamin
BB : Berat Badan
TB : Tinggi Badan
Srcr : Serum Kreatinin
Css ave : Kadar rata-rata obat dalam darah
Cssmax: Kadar maksimum obat dalam darah
Cssmin: Kadar minimum obat dalam darah

57
Lampiran 5. Surat Izin Pra Riset

Gambar 4. Surat Izin Pra Riset

58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75

Anda mungkin juga menyukai