FARMAKOTERAPI
FARMAKOTERAPI
PENDAHULUAN
Terapi yang dapat dipilih untuk pasien yang mengalami gangguan kesehatan meliputi
pemberian obat, pembedahan, psikiatrik, radiasi, fitoterapi, konseling, pendidikan kesehatan,
dan bahkan tanpa terapi. Bab ini memuat tinjauan awal tentang proses pemilihan obat jika
obat sebagai pilihan utama dalam terapi. Proses pemilihan obat digambarkan melalui contoh
pasien yang mengalami batuk kering yang berprofesi sebagai supir taksi dan perokok.
Pembahasan ini terpusat pada prinsip pemilihan obat secara bertahap dan tidak dimaksudkan
sebagai pedoman pengobata batuk kering. Bahkan, beberapa ahli meragukan perlunya obat
dalam kasus seperti ini.
Penelitian ilmiah yang baik selalu mengikuti metodologi baku yang meliputi latar
belakang, pembatasan masalah, perumusan masalah, hipoteses, proses penilitian
(metodologi), analisis hasil, dan kesimpulan. Proses ini, khususnya proses penelitian,
diperlukan untuk memastikan bahwa hasilnya terpercaya. Prinsip serupa dipakai juga ketika
anda memilih obat untuk pasien. Pertama anda harus menetapkan dengan cermat atau
mengetahui masalah si pasien (diagnosis). Jika kelainan atau penyakit (masalah) diketahui
dengan baik, dokter atau tim berada dalam kondisi yang menguntungkan dan memungkinkan
untuk dapat memberikan pengobatan atau terapi yang lebih efektif. Setelah itu kita harus
menetapkan tujuan terapi yang terbukti manjur (efektif) dan aman, dari berbagai pilihan
terapi berdasarkan kesimpulan dari tahap sebelumnya. Jika pilihan terapi jatuh pada
penggunaan obat, pilih obat dengan mempertimbangkan kondisi spesifik dan kondisi klinik
pasien. Kemudian kita mulai menentukan regimen dosis dan mulai mengobati, yaitu
menuliskan resep atau memberikan obat dengan tepat dan cermat. Regimen dosis ditentukan
terutama berdasarkan kinetika obat pada pasien, jika pasien mengalami gangguan eliminasi
untuk obat terpilih dan dosis harus disesuaikan.
Selanjutnya memberikan informasi dan instruksi yang jelas kepada pasien sehingga
pasien tidak menghentikan terapi sebelum selesai (misalnya penggunaan anti mikroba) dan
mengerti kenapa obat tidak boleh diulang atau kenapa obat hrus diulang. Dokter dan apoteker
harus dapat diperkirakan kemungkinan bermacam – macam efek samping atau yang
merugikan yang akan timbul. Beberapa hari kemudian, kita pantau hasil pengobatan itu,
barulah kemudian kita tahu apakah berhasil mengobati pasien itu atau tidak. Bila masalah
telah teratasi, pengobatan dapat dihentikan atau diteruskan dengan regimen tersebut pada
penyakit yang sifatnya kronis. Bila tidak, anda harus memeriksa atau mencermati kembali
semua langkah terdahulu yang ternyata tidak sesuai untuk pasien itu.
CONTOH KASUS
Perhatikanlah kasus di ruang praktek dokter keluarga ini. Seorang supir taksi berusia 52
tahun, mengeluh nyeri tenggorokan dan batuk disertai selesma sejak 2 minggu sebelumnya.
Bersinnya sudah hilang, tetapi ia tetap batuk – batuk terutama malam hari. Ia seorang
perokok berat yang sudah dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan itu. Pada anamnesis dan
pemeriksaan lebih lanjut tidak ditemukan kelainan selain tanda radang tenggorokan. Dokter
yang memeriksa kembali menasehatinya untuk berhenti merokok dan menulis resep berisi
tablet kodein 10mg, 2 kali sehari untuk 3 hari.
Bila kita mengamati atau mencermati seorang dokter yang berpengalaman, cara ia
memilih obat dan kemudian menuliskan resepnya tampak demikian mudah. Semua terjadi
dalam waktu singkat, dan kelihatannya tidak perlu berfikir panjang tentang apa yang akan
dilakukan dapat diputuskan segera. Tetapi jangan mencoba meniru adegan atau cara itu
selama kita masih dalam tahap belajar ! memilih pengobatan sebenarnya tidak semudah itu,
dan untuk memperoleh pengalaman itu kita harus bekerja dengan sangat serius dan belajar
terus menerus.
Sebenarnya ada 2 tahap penting dalam memilih pengobatan. Kita harus memulai
dengan mempertimbangkan terapi pilihan pertama yang merupakan hasil proses seleksi
berdasarkan langkah – langkah yang sesuai. Langkah kedua adalah menimbang apakah
pilihan ini cocok untuk pasien yang sedang kita hadapi. Berdasarkan kedua hal tersebut
diatas, kita akan menentukan terapi pilihan pertama untuk batuk kering pada pasien umur 52
tahun, perokok, dan berprofesi sebagai supir taksi jika memungkinkan.
Apakah terapi pilihan pertama kita untuk batuk kering pada pasien diatas? Memilih
terapi harus dimulai dari menelaah semua obat yang mungkin manjur untuk mengobati batuk
kering. Sebaiknya kita tetapkan dahulu terapi pilihan pertama untuk batuk kering secara
umum. Langkah umum untuk itu adalah menetapkan tujuan terapi, menyusun dafatr berbagai
terapi yang mungkin manjur, dan memilih terapi-P (pribadi/pilihan) dengan cara
membandingkan kemanjuran, keamanan, kecocokan dan biayanya. Proses memilih terapi – P
ini terangkum dalam uraian dibawah ini :
1. tetapkan tujuan terapi anda
Dalam contoh tadi kita memilih terapi – P untuk menekan batuk kering atau frekuensi
batuk yang mengganggu.
2. Susun daftar terapi yang manjur
Pada umumnya ada 4 pendekatan dalam mengobati, yaitu memberi informasi atau
nasihat, terapi non obat, terapi obat dan perujikan. Kadang diperlukan pendekatan kombinasi.
Pada kasus batuk kering dapat diberikan penjelasan bahwa bila penderita batuk terus,
selaput lendir (mukosa) tidak akan pulih bahkan menjadi lebih parah. Kemudian diberikan
nasihat agar pasien menghindari perangsangan batuk lebih lanjut, misalnya jangan merokok
atau menghisap debu lalu lintas. Terapi non obat yang khusus untuk keadaan ini tidak ada,
tetapi ada beberapa obat yang manjur untuk batuk kering. Golongan antitusif narkotik,
antitusif non narkotik atau antihistamin sedatif dapat dipertimbangkan sebagai calon obat P
pada batuk kering ini. Pilihan terapi terakhir adalah merujuk pasien untuk pemeriksaan dan
pengobatan lebih lanjut. Untuk pengobatan pertama dalam batuk kering terdiri dari nasihat
untuk menghindari brlanjutnya iritasi saluran napas dan atau menghilangkan batuk dengan
obat.
3. pilih obat yang sesuai berdasarkan pada kemanjuran, keamanan, kecocokan, kepraktisan,
dan biaya.
Tahap berikutnya adalah membandingkan berbagai terapi pilihan pengobatan yang
ada. Cara yang objektif dan ilmiah adalah dengan menerapkan lima kriteria yaitu kemanjuran,
keamanan, kecocokan, kepraktisan, dan biaya.
Bila pasien dapat dan mau mematuhi saran untuk menghindari iritasi saluran
pernapasan, maka cara ini akan menyembuhkan, sebab radang selaput lendir akan reda dalam
beberapa hari. Cara ini pun aman untuk dan murah. Namun bagi pecandu rokok, gejala putus
nikotin (rokok) sangat tidak nyaman sehingga mereka cenderung mengabaikan nasihat ini.
Nasihat lain untuk menghindari debu jalanan juga tidak memungkinkan karena pasien adalah
seorang supir.
Antitusif seperti kodein, noskapin, dan dextrometorfan dapat menekan refleks batuk.
Ini memungkinkan selaput lendir pulih, walaupun efeknya akan berkurang bila perangsangan
saluran nafas tetap ada. Efek sampingnya yang paling sering adalah sembelit, pusing, dan
kantuk. Pada dosis tinggi, golongan obat ini bahkan menekan pusat nafas yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan. Bila digunakan dalam jangka lama dapat timbul toleransi.
Antihistamin semacam difenhidramin digunakan sebagai antitusif dalam berbagai obat batuk,
semuanya cenderung menyebabkan kantuk dan khasiatnya masih diperdebatkan.
Menimbang berbagai fakta yang ada, ini merupakan langkah sulit dalam memilih
terapi batuk kering pada seorang supir yang perokok, tetapi disinilah saatnya kita membuat
keputusan. Keputusan pengobatan yang kita pilih selain mempertimbangkan kondisi spesifik
pasien juga harus mempertimbangkan sarana dan prasarana yang tersedia. Karena pada
kenyataannya para dokter berada dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda dan dengan
ketersediaan sarana pengobatan yang berbeda pula, maka pilihan pengobatannya tidak sealu
dapat sebagai acuan. Jadi, panduan ini bukan mengajarkan apa yang harus dipilih, melainkan
bagaimana memilih diantara berbagai kemungkinan terapi yang tersedia dalam sistem
pelayanan kesehatan anda.
Dari dua kelompok obat tadi dapat disimpulkan bahwa tidak banyak yang dapat
dipilih untuk mengatasi batuk kering pada pasien diatas. Bahkan, banyak dokter yang masih
meragukan apakah obat demikian benar – benar diperlukan .
Keraguan ini ditujukan kepada banyak obat batuk dan obat flu yang berdear di pasar.
Namun, khusus pada contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa batuk kering ini sangat
mengganggu dan menekan refleksi batuk beberapa hari akan memberikan manfaat. Maka atas
dasar dan pertimbangan yang lain kita akan memilih obat dari kelompok opiat.
Dalam kelompok ini, kodein tampaknya yang terbaik, tersedia dalam bentuk tablet
dan sirup. Noskapin selain bersifat teratogenik juga bukan tergolong obat esensial sehingga
efektivitasnya lebih meragukan. Berdasarkan data ini kita dapat menyarankan bahwa terapi
pilihan petama (terapi – P) aalah sebagai berikut. Untuk kebanyakan pasien yang batuk
kering setelah menderita flu, nasihat untuk menjauhkan iritasi saja sudah cukup. Ini tentu
lebih aman dan murah ketimbang obat. Tetapi bila keadaan tidak memungkinkan atau tidak
membaik dalam 3-4 hari, dapat diberikan kodein. Bila pengobatan seminggu masih tidak
menolong, diagnosis harus ditinjau kembali dan diteliti apakah pasien minum obat dengan
teratur.
Kodein adalah obat – P kita untuk batuk kering. Dosis baku untuk orang dewasa di
Indonesia adalah 8-15 mg, 3x sehari. Sebagai pengganti atau pilihan berikiutnya, dapat
digunakan noskapin atau dextrometorfan. Kita tidak memilih antihistamin karena bersifat
sedatif (ngantuk) yang tentunya tidak sesuai bagi seorang supir.
PROSES PEMILIHAN TERAPI / OBAT SECARA RASIONAL
Setelah mempunyai terapi – P untuk batuk kering, selanjutnya kita bahas proses
penulisan resep rasional secara keseluruhan. Proses ini terdiri dari 6 langkah yang akan
dibahas secara singkat dengan contoh yang sama (batuk kering diatas).
1. tetapkan masalah pasien
Pasien tadi dapat dikatakan menghadapi masalah batuk kering yang lama dan sakit
tenggorokan, inilah gejala yang merisaukan pasien, tetapi dokter harus melihatnya lebih jauh
lagi. Masalah pasien ini dapat diterjemahkan kedalam diagnosis kerja batuk kering selama 2
minggu setelah serangan selesma, maka sedikitnya ada 3 kemungkinan penyebab yang paling
mungkin adalah bahwa mukosa saluran nafas (bronkus) meradang akibat selesma sehingga
mudah mengalami iritasi. Infeksi sekunder setelah selesma adalah kemungkinan kedua (tetapi
tak ada demam dan sputum yang puluren). Kemungkinan yang lebih kecil lagi adalah tumor
paru, walaupun ini baru perlu dipertimbangkan bila batuknya menetap.
2. tentukan tujuan terapi
Perangsangan saluran nafas yang terus menerus adalah penyebab batuk yang paling
mungkin, maka tujuan terapi yang pertama adalah menghentikan iritasi dengan menekan
refleks batuk untuk memungkinkan pulihnya membran saluran nafas.
3. teliti cocok tidaknya terapi – P anda untuk pasien ini
Anda sudah menetapkan terapi – P yang paling manjur, aman, cocok, dan murah
untuk batuk kering. Tetapi, kini anda harus meneliti apakah terapi ini manjur dan aman untuk
sang supir taksi ?
Ada beberapa alasan mengapa dalam kasus diatas nasihat tidak dapat dipilih. Pasien
ini tampaknya sulit menghentikan kebiasaan merokoknya dan yang paling penting lagi, ia
seorang supir taksi yang tidak mungkin menghindari debu jalanandalam pekerjaannya.
Dengan demikian, walaupun nasihat tetap diberikan, anda harus mempetimbangkan obat – P
dan berdasarkan cocok tidaknya, kemanjuran, dan keamananya.
Kodein adalah antitusif yang baik, dan dapat diminum beberapa kali sehari. Namun,
ada masalah keamananya karena pasien adalah pengemudi taksi dan kodein memiliki sedikit
efek sedasi. Karena itu, ada baiknya mempertimbangkan antitusif lain yang tidak
menimbulkan kantuk.
Antitusif lainnya, noskapin misalnya, menimbulkan efek samping serupa. Antitusif
antihistamin bahkan lebih bersifat sedatif dan mungkn kurang efektif. Karena itu, kita tentu
berkesimpulan bahwa mungkin lebih baik tidak memberikan obat apa pun. Tetapi kalau kita
menganggap memerlukan juga obat maka kodein tetap pilihan terbaik, aalkan dalam dosis
yang serendah mungkin dan penggunaan sesingkat mungkin.
4. mulailah pengobatan
Pertama berikanlah nasihat berikut penjelasan dan mengapa nasihat itu harus
dipenuhi. Jelaskan secara singkat dengan kata – kata yang mudah dimengerti oleh pasien.
Kemudian anda dapat menuliskan resep : R/ kodein 10mg ; 10 tablet ; 3kali sehari
5. berikan penjelasan tentang obat, cara meminumnya dan peringatan
Pasien perlu mendapatkan bahwa kodein dapat menekan batuk, bekerja dalam 2-3
jam, mungkin menimbulkan sembelit dan menimbulkan kantuk bila diminum terlalu banyak
atau jika diminum beserta minuman keras. Pasien pun harus dipesankan untuk datang
kembali bila batuknya tidak hilang dalam seminggu atau dia mengalami efek samping.
Akhirnya, ia harus diingatkan untuk meminum obatnya sesuai dengan aturan dan tidak
meminum – minuman keras. Untuk meyakinkan bahwa pasien mengerti, ada baiknya
memintanya untuk mengulang penjelasan anda dengan kata – katanya sendiri.
6. pantau (hentikan) pengobatan
Bila pasien anda tidak datang kembali, ia mungkin sembuh. Bila ia belum sembuh,
tetapi tidak kembali pada anda, ada tiga kemungkinan:
1) pengobatan tidak manjur
2) pengobatan tidak aman, misalnya karena efek sampingnya tidak dapat diterima
3) pengobatan tidak nyaman. Misalnya cara pakainya sulit, atau rasa obat tidak enak.
Mungkin juga tiga hal tersebut terjadi sekaligus.
Bila pasien tidak sembuh, anda harus mengkaji ulang apakah diagnosis, pilihan terapi,
dan pemantauan terapi sudah benar; juga apakah obat diminum sesuai dengan aturan. Jadi,
mulailah lagi dari awal. Kadang memang masalahnya tidak terselesaikan. Misalnya, ada
penyakit kronis semacam hipertensi yang harus anda lakukan adalah tetap memantau
pengobatan dan meningkatkan kepatuhan pasien minum obat. Pada keadaan lain, anda harus
mengganti obat karena tuuan pengobatan berubah dari bersifat kuratif ke paliatif, misalnya.
BAB II
PEMILIHAN OBAT DAN PERMASALAHANNYA
LATAR BELAKANG
Dalam proses terapi rasional terdapat 6 tahapan yang sangat penting untuk
menghasilkan manfaat bagi penderita (patient autcome) yang maksimal yaitu :
1. menetapkan masalah pasien
2. menetapkan tujuan terapi spesifik (specify the therapeutic objective) berdasarkan masalah
pasien yang dihadapi.
3. memilih terapi untuk setiap pasien
4. memulai terapi atau pengobatan
5. memberi informasi, instruksi, dan peringatan berkaitan dengan terapi atau pengobatan yang
diberikan.
6. memantau (menghentikan) pengobatan
Tahap 1 dan 2 merupakan tahap yang sangat penting. Farmakoterapi rasional hanya
mungkin terwujud jika masalah pasien diketahui dengan baik, meliputi simtom, penyebab,
dan prognosanya. Tujuan terapi akan berhasil ditetapkan dengan baik ketika diagnosis dapat
dilakukan dengan tepat. Dalam memilih terapi perlu diinvertarisasi pengobatan yang tersedia
berdasarkan tahap 1 dan 2, dan perlu memperhatikan pula pengobatan non farmakologi. Jika
terapi memerlukan obat, harus dipertimbangkan semua obat yang tersedia yang dianggap
efektif dan aman untuk masalah pasien yang telah ditentukan.
Sangat banyak obat tersedia untuk setiap masalah yang terjadi pada pasien. Disinilah
dituntut peran apoteker (farmasis) untuk bekerja sama dengan dokter dalam memilih obat
yang cocok bagi pasien. Selain dalam pemilihan obat, peran apoteker juga dituntut ketika
memulai terapi, misalnya saat resep ditulis. Karena pendidikannya, apoteker dapat berperan
dalam mencegah terjadi kesalahan dosis, penulisan resep yang tidak tepat, mencegah
kemungkinan timbulnya interaksi obat, supaya cara pemberian obat benar, dan memberikan
informasi yang tepat berkaitan dengan obat yang diberikan kepada pasien.
Peran apoteker dalam proses terapi rasional, terutama tahap 3-6 perlu didorong terus
menerus mengingat beberapa hat berikut :
1. perkembangan ilmu kedokteran, farmakologi, dan banyaknya jenis obat yang beredar serta
ditemukannya obat yang sangat efektif sekaligus toksik jika tidak digunakan secara benar
menyebabkan dokter sulit untuk selalu mengikuti perkembangan tersebut diatas secara penuh
dan mendalam.
2. kemajuan dalam bidang diagnosa, banyaknya alat bantu diagnosa untuk penyakit lama dan
baru serta munculnya penyakit – penyakit baru dapat sangat memperberat keja dokter.
Sehingga menyebabkan kurang fokusnya dokter terhadap perkembangan farmakologi.
3. ada beberapa bukti yang memperkuat dugaan diatas, sebagaimana yang dikutip oleh Prof.
DR. dr. Armen Muchtar, DAF, DCP, Sp. FK dari beberapa sumber yang terpercaya yang
dimasukkan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap farmakologi dan terapi
FK UI pada 22 april 2006, yaitu :
a. hubungan antara ilmu dengan pelayanan kesehatan masih sangat renggang. Riset
kedokteran terutama tertuju pada pemahaman tentang mekanisme penyakit dan penemuan
pengobatan, tetapi sama sekali kurang mempedulikan kemanfaatannya (effectiveness)
diagnostik dan pengobatan baru itu atau implentasinya didalam pelayanan. Akibatnya banyak
inovasi dalam diagnostik dan pengobatan yang memerlukan waktu yang lama untuk
digunakan secara rutin dalam pelayanan. Pengobatan yang tidak efektif luas dipraktekkan dan
praktek pengobatan lebih seing merupakan pendapat pribadi dan tidak ilmiah/tidak
“evidence-based”
b. hanya 50% dari pengobatan yang diberikan para dokter di amerika yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Diperkirakan bahwa dalam waktu 25 tahun kedepan
perbaikan keluaran penderita mungkin sekali tidak berasal dari penemuan (discovery)
pengobatan baru, tetapi berasal dari penataan penggunaan (delivery) pengobatan yang sudah
ada secara lebih bermanfaat, termasuk perbaikan manajemen pelayanan dan perubahan gaya
hidup.
c. khusus tentang antimikroba, para pakaryang menghadiri inter-science conference on
antimicrobial agent and chemotherapy ke 43 di chicago pada tahun 2003 telah mengeluarkan
pendapat bersama berkaitan dengan antimikroba. Yaitu penggunaan antimikroba yang pantas
(appropriate) merupakan objektif utama dimasa yang akan datang. Pendapat bersama itu
dikeluarkan berdasarkan kenyataan sebagai berikut :
1) sejak permulaan era antimikroba dan berdasarkan riset dan pengalaman selam lebih dari 60
tahun, masalah resistensi, kegagalan terapi, toksisitas merupakan masalah besar dan menetap
dari penggunaan antimikroba.
2) penemuan antimikroba baru makin menurun
3) penggunaan antimikroba yang tidak pantas mencapai 50% peresepan, bahkan satu
penelitian terakhir menyatakan hanya 25% dari peresepan antibiotika itu yang betul – betul
perlu.
4) ditemui banyak keputustakaan yang menerbitkan cara – cara penggunaan antimikroba
yang pantas, tetapi masih sedikit institusi yang telah mengimplenmentasikannya dalam
pelayanan.
4. bertambahnya jenis obat, tungal atai kombinasi yang ada di pasaran. Obat kombinasi sering
menimbulkan kesulitan dalam menetapkan dosis individual, memprediksi kemungkinan
interaksi, dan dianggap selalu lebih baik dibandingkan obat tunggal.
PERTIMBANGAN PEMILIHAN OBAT DALAM TERAPI
Untuk memilih obat yang sesuai dengan pasien atau yang sering disebut dengan obat
– P (personal drug), dimulai dari menentukan (inventory) kelompok obat yang manjur, dan
selanjutnya memilih satu atau lebih obat – obat yang paling sesuai dengan pasiennya. Untuk
memilih obat – P, harus berdasarkan pertimbangan ilmiah, meliputi pertimbangan efektivitas,
keamanan, kecocokan, kepraktisan, dan biaya. Selain itu juga harus mempertimbangkan
aspek kinetika dan dinamika obat, sebagaimana gambar dibawah ini.
Gambar : Proses Pemilihan Obat
1. Pertimbangan efektivitas dan keamanan
Untuk memilih obat yang efektif dan aman perlu memperhatikan hal – hal sebagai
berikut :
a. bagaimana efektivitas dan keamanan obat yang akan kita pilih dibandingkan dengan obat –
obat lain dalam uji preklinik atau uji klinik sebelum bat memperoleh ijin edar. Data uji klinik
dapat diperoleh dari jurnal – jurnal atau buku – buku seperti physicians desk reference (PDR)
dan British national formulary (BNF)
b. apakah obat – obat yang kita pilih sudah diterima atau digunakan dinegara lain yang tradisi
evaluasi obatnya sangat baik, seperti negara – negara skandinavia, ingris, amerika serikat, dan
australia. Atau bahkan sudah tidak digunakan lagi oleh negara – negara diatas?
c. apakah obat yang akan kita pilih sudah masuk dalam panduan terapi yang dikeluarkan oleh
WHO untuk tujuan yang sama ?
d. apakah obat yang akan kita pilih sudah masuk dalam panduan terapi yang dikeluarkan oleh
institusi berwenang seperti depkes atau rumah sakit (RS) pendidikan?
e. apakah obat yang akan kita pilih sudah masuk kedalam daftar obat esensial nasional
(DOEN), atau formularium RS ?
contoh – contoh pertimbangan diatas tidak saja sesuai untuk memilih obat – P, tetapi
juga sesuai untuk memilih obat yang akan kita masukkan dalam formularium pada RS tempat
kita bekerja. Memperhatikan sebagai hal diatas itu perlu karena pemilihan obat oleh negara
tertentu, WHO atau DOEN telah melibatkan banyak pakar dan banyak aspek. Kriteria obat
essensial menurut WHO dan telah diadopsi untuk obat yang masuk dalam DOEN di
indonesia adalah :
- Memiliki rasio manfaat – resiko (benefik – risk ratio) paling menguntungkan
- Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan hayati (bioavailabilitas)
- Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
- Praktis dalam penggunaan dan penyerahan
- Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan pasien
- Memiliki rasio manfaat – resiko (benefit-cost ratio) yang tertinggi dari biaya langsung
atau tidak langsung, dan
- Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi serupa, maka pilihan
diberikan pada obat yang :
Sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
Profil dan sifat farmakokinetiknya diketahui paling banyak menguntungkan
Stabilitas yang paling baik
Paling mudah diperoleh
3. pertimbangan biaya
Biaya pengobatan harus merupakan kriteria penting untuk negara berkembang seperti
Indonesia. Kelompok obat atau cara pemberian tertentu lebih mahal dari cara pemberian atau
kelompok yang lainnya. Namun yang perlu dihitung adalah biaya keseluruhan pengobatan,
buka biaya per unit obat. Beberapa hal yang menyebabkan biaya obat menjadi mahal :
a. memilih obat nama dagang, padahal tersedia obat generik dengan mutu, keamanan dan
ekivalen terapi yang sama.
b. cara pemberian melalui parenteral, padahal tidak untuk emergency dan bioavailabilitas
obat oral cukup baik
c. memilih obat baru karena barunya, bukan pertimbangan efektivitas, keamanan, cara kerja
baru, atau lebih murah
Setelah diagnosis dan tujuan terapi ditetapkan, kita melangkah ke tahap ke 3, yaitu
menyusun daftar obat yang efektif untuk angina pektoris.
Keterangan :
+ = rendah
++ = tinggi
FK :
- Menembus sawar
otak (lipofilik)
Calcium bloker ESO : Kontraindikasi :
FD : - Takikardia, pusing - Hipotensi, gagal
- Vasodilatasi koroner - Flushing, hipotensi, jantung kongesif blok
dan perifer gagal jantung AV, sick sinus
- Mengurangi kongesif, brankikardi sindrom
kontraktilitas dan sinus, dan blok AV
denyut jantung Bentuk sediaan yang efeknya
cepat : injeksi
3. Keamanan
Ketiga kelompok mempunyai efek samping yang merupakan kelanjutan dari
farmakologinya atau mekanisme kerjanya. Sehingga ketiga golongan obat relatif sama efek
sampingnya.
4. kecocokan
Kecocokan harus dilihat berdasarkan kondisi pasien secara individual, yang tidak
perlu dipertimbangkan ketika kita hanya membandingkan antar golongan.tetapi ada hal – hal
praktis yang tetap harus sebagai pertimbangan untuk obat antiangina. Serangan angina
pektoris datang tidak selalu ada orang disekitarnya, oleh karena itu pasien harus dapat
menggunakan obat sendiri. Untuk itu perlu pertimbangan aspek praktis dalam penggunaan
selain onzetnya cepat, seperti tablet sub lingual dan bentuk spray.
5. biaya
Bandingkan harga obat berdasarkan sediaan yang tersedia dipasaran. Karena dari segi
efektivitas, keamanan, dan kecocokan mirip, maka pertimbangan terakhir adalah harga.
Berdasarkan pengalaman, kelompok nitrat cukup murah dan tersedia dalam bentuk generik.
Jadi kelompo nitrat merupakan pilihan pertama berdasarkan efektivitas, keamanan sama
dengan yang lain tetapi lebih murah. Kelompok nitrat memberikan efek segera dan mudah
digunakan pasien tanpa tambahan biaya.
6. Pilih obat – P yang sesuai
Setelah kita memilih golongan nitrat, kita perlu membandingkan obat – obat dalam
kelompok nitrat sebagaimana tabel dibawah ini :
Nama Efektivitas Keamanan Biaya
dan
kecocokan
Gliseril trinitrat 0,5 – 7 jam Tidak ada -
Kapsul 2,5mg 1 – 24 jam perbedaan
Tapel kulit 5mg
Isosorbid dinitrat 2 – 30 menit -
Tab sublingual 5mg 0,5 – 4 jam
Tab oral 10mg 0,5 – 10 jam
Tab oral (retard) 20-40 mg
Isosorbid monohidrat 0,5 – 4 jam -
Tab oral 20mg
Tab oral/kapsul retard
c. lama pengobatan
tidak ada satu cara apapun untuk meramalkan berapa lama pasien akan mengalami
serangan angina. Bila anda setuju dengan pilihan ini, yaitu tablet sub lingual isosorbid dinitrat
adalah obat – P pertama, masukkan dalam formularium pribadi atau institusi. Bila tidak, anda
memerlukan informasi yang memadai untuk memilih obat lainnya. Pemilihan obat harus
meliputi nama generik (farmakologi), bentuk sediaan, dosis, dan lama pemberian.
PERMASALAHAN OBAT (DRUG RELATED PROBLEM)
Permasalahan obat jika tidak diatsi atau diperhatikan akan sangat mempengaruhi hasil
terapi. Permasalahan obat dapat berkaitan dengan indikasi, efektivitas, keamanan, dan
kepatuhan pasien. Dalam tabel dibawah ini dimuat penilaian berkaitan dengan indikasi,
efektivitas, keamanan, permasalahan obat, kepatuhan pasien, dan problem yang berkaitan.
Memerlukan obat
- Kondisi yang belum terobati
- Untuk preventif atau propilaktik
- Sinergis atau potensiasi
Efektivitas Memerlukan obat yang lain
- Obat yang lebih efektif tersedia
- Resisten terhadap obat yang diberikan
- Dosis tidak sesuai
- Tidak efektif berdasarkan kondisi
yang ada
Dalam tabel dibawah ini dimuat penyebab timbulnya problem berkaitan dengan obat
Problem terapi dengan obat Kemungkinan penyebab problem terapi dengan obat
Obat tidak diperlukan - Obat tidak diperlukan berkaitan dengan kondisi
medis saat ini
- Diberikan obat kombinasi, padahal hanya satu obat
yang diperlukan
- Kondisinya akan lebih baik jika dilakukan terapi
non farmakologi
- Obat digunakan untuk mengurangi efek merugikan
dari penggunaan obat lain
- Problemnya disebabkan oleh penyalahgunaan obat,
penggunaan obat dan merokok
Diperlukan obat tambahan - Kondisi medisnya memerlukan obat untuk terapi
- Terapi preventif diperlukan untuk mengurangi
perkembangan penyakit yang baru
- Kondisi medisnya memerlukan terapi kombinasi
untuk mendapatkan efek sinergis atau aditif
Obat tidak efektif - Obat bukan paling efektif untuk mengatasi
penyakitnya
- Produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi
medisnya
- Kondisinya sudah tidak dapat diterapi dengan obat
yang dipakai (refractory)
- Dosis dan sediaan tidak sesuai
Dosis terlalu rendah - Dosis terlau rendah untuk efek yang diinginkan
- Interval pemakaian terlalu jarang
- Terjadi interaksi yang menyebabkan berkurangnya
bioavailabilitas
- Durasi obat terlalu pendek
Timbul ADR - Obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan
yang tidak dose – related
- Obat yang lebih aman diperlukan karena pasiennya
beresiko
- Interaksi obat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan yang tidak dose – related
- Obat menimbulkan alergi
- Obat dikontraindikasikan karena faktor resiko dari
pasien
Dosis terlalu tinggi - Dosis terlalu tinggi untuk pasien yang
bersangkutan
- Jarak pemberian obat terrlalu dekat
- Durasi obat terlalu panjang
- Interaksi obat menimbulkan efek toksik
- Obat diberikan terlalu cepat
Ketidak patuhan - Petunjuk tidak diketahui
- Pasien lebih suka tidak menggunakan obat
- Obat terlalu mahal
- Tidak dapat menelan atau menggunakan obat
- Obat tidak tersedia
- Pasien lupa menggunakan obat
Problem penggunaan obat diatas diharapkan tidak akan terjadi jika dalam memilih
obat mempertimbangkan hal – hal seperti efektivitas, keamanan, kecocokan, harga, kinetika
obat, dinamika obat, dan ketersediaan obat.
BAB III
PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL
3. pemberian obat yang rasional adalah pemberian obat yang mencakup 6 tepat atau benar,
yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat waktu, tepat dosis, tepat jalur pemberian, dan tepat
dokumentasi.
a. tepat pasien
pemberian obat yang tidak tepat pasien dapat terjadi, seperti pada saat ordernya lewat
telepon, ada order tambahan, ada revisi order, pada pasien yang masuk secara bersamaan
dengan penyakit yang sama, pada kasus yang penyakitnya sama, suasana sedang kusut atau
adanya pindahan pasien dari ruang satu kesatu ruang lainnya. Untuk mengurangi kejadian
tidak tepat pasien, pada saat memberikanobat dapat dilakukan antara lain :
- Tanya nama pasien, dengan pertanyaan siapa namanya, buka dengan pertanyaan
“namanya bapak supardi?”
- Cek identiikasi pasien dalam bracelet
- Cek pasien pada papan nama ditempat tidur, dan di pintu.
b. tepat obat
untuk menjamin obat yang diberikan benar, label atau etiket harus dibaca dengan teliti
setiap akan membeikan obat. Label atau etiket yang perlu diteliti antara lain, nama obat,
sediaan, konsentrasi, dan cara pemberian serta expired date. Kesalahan pemberian obat sering
terjadi jika perawat memberikan obat yang disiapkan oleh perawat lain atau pemberian obat
melalui wadah (spuit) tanpa identitas atau label yang jelas. Harus diusahakan menyiapkan
sendiri obat yang akan diberikan pada pasien.
c. tepat waktu
pemberian obat berulang, lebih berpotensi menimbulkan pemberian obat yang tidak
tepat waktu. Misalnya pada kasus gawat darurat henti jantung, epinefrin diberikan setiap 3-5
menit, jika tidak dipatuhi akan menghasilkan kadar obat yang tidak sesuai. Kekurangan atau
kelebihan dosis atau frekuensi keduanya sangat berbahaya. Termasuk tepat waktu juga
mencakup tepat kecepatan pemberian obat melalui infus.
Banyak obat yang pemberiannya menuntut harus tepat waktu, pemberian terlalu cepat
atau lambat dapat berakibat serius. Contoh, dopamin harus diberikan antara 2-10ug/kg/menit,
atropin harus diberikan melalui injeksi IV bolus (cepat). Pemberian dopamin secara bolus
dapat menimbulkan kematian, sedangkan pemberian atropin secara lambat akan
memperparah brandikardi (perlambatan denyut jantung) yang paradoksial. Adenosin yang
mempunyai waktu paruh (t ½) sangat pendek harus diberikan dengan cepat supaya efektif.
d. tepat dosis
dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi atau timbul efek
berbahaya. Kesalahan dosis sering terjadi pada pasien anak – anak, lansia atau pada orang
obesitas. Pada pasien tersebut, paramedik harus mengerti cara mengkonversi dosis dari orang
dewasa normal. Perhitungan dosis secara cermat harus dilakukan juga pada obat yang
diberikan melalui infus, termasuk perhitungan kecepatan tetesan setiap menitnya.
Kesalahan dosis juga dapat terjadi karena salah dalam menulis atau membaca resep,
misalnya “1” dengan mudah akan terbaca sebagai “1” berarti dosisnya sudah 10 kali lipat.
Contoh lain “1,0 g” terbaca 10mg, “10u” terbaca 100, “ug” terbaca “mg”. “1/4” tablet
padahal untuk tablet obat yang dimaksud ada lebih dari satu sediaan, “1g” dibaca “1g”, ini
akan membingungkan bagi yang tahu bahwa 1gr = 0,065 g (gram) atau 65mg.
e. tepat rute
jalur atau rute pemberian obat adalah jalur obat masuk kedalam tubuh. Jalur
pemberian yang salah dapat berakibat fatal atau minimal obat yang diberikan tidak efektif.
Sebagai contoh efinefrin diberikan secara sub cutan pada pasien asma karena diabsorbsi
secara lambat dan efek timbul kira – kira 20menit kemudian. Jika diberikan secara IM akan
menyebabkan nekrosis jaringan karena terjadi vasokontriksi berlebihan selain pasien juga
tidak akan mendapatkan manfaat dari pemberian ini.
Ketika dimana memberikan epinefrin secara subcutan dan diberikan secara injeksi IV
dapat menimbulkan efek detrimental pada pasien dewasa karena peningkatan kebutuhan
oksigen di jantung. Sebaliknya pemberian obat tertentu secara subcutan untuk pengurang rasa
sakit yang seharusnya diberikan secara injeksi IV akan menyebabkan perlambatan efek atau
obat kurang efektif.
f. tepat dokumentasi
aspek dokumentasi sangat penting dalam pemberian obat karena sebagai sarana untuk
evaluasi. Menurut beberapa ahli, dokumentasi merupakan bagian dari pemberian obat yang
rasional, yaitu aspek atau tepat yang ke-6. Dokumentasi pemberian obat yang harus
dikerjakan meliputi : nama obat, dosis, jalur pemberian, tempat pemberian, alasan kenapa
obat diberikan, dan tanda tangan yang memberikan.
PENTINGNYA RDT
1. mengurangi penggunaan obat yang tidak diperlukan
2. mengurangi bahaya dan biaya dari obat yang tidak diperlukan atau karena polifarmasi
3. meningkatkan manfaat dari obat secara maksimal
4. adanya ledakan jumlah obat yang ada dipasaran, jika tidak ada usaha penggunaan obat
yang rasional dampaknya akan merugikan dan bahkan berbahaya.
5. untuk mengurangi peningkatan timbulnya resistensi kuman terhadap anti mikroba
6. peningkatan kesadaran konsumen, regulator, pelayanan kesehatan, dan perlindungan
konsumen.
Dari ke 14 hal diatas, akan sedikit diulas alasan terjadinya ketidak rasionalan
pemakaian obat karena kompleksitas pemilihan obat, kesalahan konsepsi tentang obat, dan
banyaknya kendala pada penggunaan obat yang rasional.
2. under prescribing
Yaitu tidk memberikan obat yang diperlukan, dosis tidak mencukupi, atau pengobatan
yang teralu singkat.
3. incorect prescribing
Yaitu obat yang diberikan untuk diagnosis yang keliru, obat untuk suatu indikasi
tertentu tidak tepat, penyediaan (di apotek, rumah sakit) salah , atau tidak disesuaikan dengan
kondisi medis, genetik, lingkungan, faktor lain yang ada pada saat itu.
5. polypharmacy
Yaitu penggunaan dua atau lebih obat padahal sutu obat sudah mencukupi atau
pengobatan setiap gejala secara terpisah padahal pengobatan terhadap penyakit primernya
sudah dapat mengatasi semua gejala.