Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PROSES TERAPI RASIONAL

PENDAHULUAN
Terapi yang dapat dipilih untuk pasien yang mengalami gangguan kesehatan meliputi
pemberian obat, pembedahan, psikiatrik, radiasi, fitoterapi, konseling, pendidikan kesehatan,
dan bahkan tanpa terapi. Bab ini memuat tinjauan awal tentang proses pemilihan obat jika
obat sebagai pilihan utama dalam terapi. Proses pemilihan obat digambarkan melalui contoh
pasien yang mengalami batuk kering yang berprofesi sebagai supir taksi dan perokok.
Pembahasan ini terpusat pada prinsip pemilihan obat secara bertahap dan tidak dimaksudkan
sebagai pedoman pengobata batuk kering. Bahkan, beberapa ahli meragukan perlunya obat
dalam kasus seperti ini.
Penelitian ilmiah yang baik selalu mengikuti metodologi baku yang meliputi latar
belakang, pembatasan masalah, perumusan masalah, hipoteses, proses penilitian
(metodologi), analisis hasil, dan kesimpulan. Proses ini, khususnya proses penelitian,
diperlukan untuk memastikan bahwa hasilnya terpercaya. Prinsip serupa dipakai juga ketika
anda memilih obat untuk pasien. Pertama anda harus menetapkan dengan cermat atau
mengetahui masalah si pasien (diagnosis). Jika kelainan atau penyakit (masalah) diketahui
dengan baik, dokter atau tim berada dalam kondisi yang menguntungkan dan memungkinkan
untuk dapat memberikan pengobatan atau terapi yang lebih efektif. Setelah itu kita harus
menetapkan tujuan terapi yang terbukti manjur (efektif) dan aman, dari berbagai pilihan
terapi berdasarkan kesimpulan dari tahap sebelumnya. Jika pilihan terapi jatuh pada
penggunaan obat, pilih obat dengan mempertimbangkan kondisi spesifik dan kondisi klinik
pasien. Kemudian kita mulai menentukan regimen dosis dan mulai mengobati, yaitu
menuliskan resep atau memberikan obat dengan tepat dan cermat. Regimen dosis ditentukan
terutama berdasarkan kinetika obat pada pasien, jika pasien mengalami gangguan eliminasi
untuk obat terpilih dan dosis harus disesuaikan.
Selanjutnya memberikan informasi dan instruksi yang jelas kepada pasien sehingga
pasien tidak menghentikan terapi sebelum selesai (misalnya penggunaan anti mikroba) dan
mengerti kenapa obat tidak boleh diulang atau kenapa obat hrus diulang. Dokter dan apoteker
harus dapat diperkirakan kemungkinan bermacam – macam efek samping atau yang
merugikan yang akan timbul. Beberapa hari kemudian, kita pantau hasil pengobatan itu,
barulah kemudian kita tahu apakah berhasil mengobati pasien itu atau tidak. Bila masalah
telah teratasi, pengobatan dapat dihentikan atau diteruskan dengan regimen tersebut pada
penyakit yang sifatnya kronis. Bila tidak, anda harus memeriksa atau mencermati kembali
semua langkah terdahulu yang ternyata tidak sesuai untuk pasien itu.

CONTOH KASUS
Perhatikanlah kasus di ruang praktek dokter keluarga ini. Seorang supir taksi berusia 52
tahun, mengeluh nyeri tenggorokan dan batuk disertai selesma sejak 2 minggu sebelumnya.
Bersinnya sudah hilang, tetapi ia tetap batuk – batuk terutama malam hari. Ia seorang
perokok berat yang sudah dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan itu. Pada anamnesis dan
pemeriksaan lebih lanjut tidak ditemukan kelainan selain tanda radang tenggorokan. Dokter
yang memeriksa kembali menasehatinya untuk berhenti merokok dan menulis resep berisi
tablet kodein 10mg, 2 kali sehari untuk 3 hari.
Bila kita mengamati atau mencermati seorang dokter yang berpengalaman, cara ia
memilih obat dan kemudian menuliskan resepnya tampak demikian mudah. Semua terjadi
dalam waktu singkat, dan kelihatannya tidak perlu berfikir panjang tentang apa yang akan
dilakukan dapat diputuskan segera. Tetapi jangan mencoba meniru adegan atau cara itu
selama kita masih dalam tahap belajar ! memilih pengobatan sebenarnya tidak semudah itu,
dan untuk memperoleh pengalaman itu kita harus bekerja dengan sangat serius dan belajar
terus menerus.
Sebenarnya ada 2 tahap penting dalam memilih pengobatan. Kita harus memulai
dengan mempertimbangkan terapi pilihan pertama yang merupakan hasil proses seleksi
berdasarkan langkah – langkah yang sesuai. Langkah kedua adalah menimbang apakah
pilihan ini cocok untuk pasien yang sedang kita hadapi. Berdasarkan kedua hal tersebut
diatas, kita akan menentukan terapi pilihan pertama untuk batuk kering pada pasien umur 52
tahun, perokok, dan berprofesi sebagai supir taksi jika memungkinkan.
Apakah terapi pilihan pertama kita untuk batuk kering pada pasien diatas? Memilih
terapi harus dimulai dari menelaah semua obat yang mungkin manjur untuk mengobati batuk
kering. Sebaiknya kita tetapkan dahulu terapi pilihan pertama untuk batuk kering secara
umum. Langkah umum untuk itu adalah menetapkan tujuan terapi, menyusun dafatr berbagai
terapi yang mungkin manjur, dan memilih terapi-P (pribadi/pilihan) dengan cara
membandingkan kemanjuran, keamanan, kecocokan dan biayanya. Proses memilih terapi – P
ini terangkum dalam uraian dibawah ini :
1. tetapkan tujuan terapi anda
Dalam contoh tadi kita memilih terapi – P untuk menekan batuk kering atau frekuensi
batuk yang mengganggu.
2. Susun daftar terapi yang manjur
Pada umumnya ada 4 pendekatan dalam mengobati, yaitu memberi informasi atau
nasihat, terapi non obat, terapi obat dan perujikan. Kadang diperlukan pendekatan kombinasi.
Pada kasus batuk kering dapat diberikan penjelasan bahwa bila penderita batuk terus,
selaput lendir (mukosa) tidak akan pulih bahkan menjadi lebih parah. Kemudian diberikan
nasihat agar pasien menghindari perangsangan batuk lebih lanjut, misalnya jangan merokok
atau menghisap debu lalu lintas. Terapi non obat yang khusus untuk keadaan ini tidak ada,
tetapi ada beberapa obat yang manjur untuk batuk kering. Golongan antitusif narkotik,
antitusif non narkotik atau antihistamin sedatif dapat dipertimbangkan sebagai calon obat P
pada batuk kering ini. Pilihan terapi terakhir adalah merujuk pasien untuk pemeriksaan dan
pengobatan lebih lanjut. Untuk pengobatan pertama dalam batuk kering terdiri dari nasihat
untuk menghindari brlanjutnya iritasi saluran napas dan atau menghilangkan batuk dengan
obat.
3. pilih obat yang sesuai berdasarkan pada kemanjuran, keamanan, kecocokan, kepraktisan,
dan biaya.
Tahap berikutnya adalah membandingkan berbagai terapi pilihan pengobatan yang
ada. Cara yang objektif dan ilmiah adalah dengan menerapkan lima kriteria yaitu kemanjuran,
keamanan, kecocokan, kepraktisan, dan biaya.
Bila pasien dapat dan mau mematuhi saran untuk menghindari iritasi saluran
pernapasan, maka cara ini akan menyembuhkan, sebab radang selaput lendir akan reda dalam
beberapa hari. Cara ini pun aman untuk dan murah. Namun bagi pecandu rokok, gejala putus
nikotin (rokok) sangat tidak nyaman sehingga mereka cenderung mengabaikan nasihat ini.
Nasihat lain untuk menghindari debu jalanan juga tidak memungkinkan karena pasien adalah
seorang supir.
Antitusif seperti kodein, noskapin, dan dextrometorfan dapat menekan refleks batuk.
Ini memungkinkan selaput lendir pulih, walaupun efeknya akan berkurang bila perangsangan
saluran nafas tetap ada. Efek sampingnya yang paling sering adalah sembelit, pusing, dan
kantuk. Pada dosis tinggi, golongan obat ini bahkan menekan pusat nafas yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan. Bila digunakan dalam jangka lama dapat timbul toleransi.
Antihistamin semacam difenhidramin digunakan sebagai antitusif dalam berbagai obat batuk,
semuanya cenderung menyebabkan kantuk dan khasiatnya masih diperdebatkan.
Menimbang berbagai fakta yang ada, ini merupakan langkah sulit dalam memilih
terapi batuk kering pada seorang supir yang perokok, tetapi disinilah saatnya kita membuat
keputusan. Keputusan pengobatan yang kita pilih selain mempertimbangkan kondisi spesifik
pasien juga harus mempertimbangkan sarana dan prasarana yang tersedia. Karena pada
kenyataannya para dokter berada dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda dan dengan
ketersediaan sarana pengobatan yang berbeda pula, maka pilihan pengobatannya tidak sealu
dapat sebagai acuan. Jadi, panduan ini bukan mengajarkan apa yang harus dipilih, melainkan
bagaimana memilih diantara berbagai kemungkinan terapi yang tersedia dalam sistem
pelayanan kesehatan anda.
Dari dua kelompok obat tadi dapat disimpulkan bahwa tidak banyak yang dapat
dipilih untuk mengatasi batuk kering pada pasien diatas. Bahkan, banyak dokter yang masih
meragukan apakah obat demikian benar – benar diperlukan .
Keraguan ini ditujukan kepada banyak obat batuk dan obat flu yang berdear di pasar.
Namun, khusus pada contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa batuk kering ini sangat
mengganggu dan menekan refleksi batuk beberapa hari akan memberikan manfaat. Maka atas
dasar dan pertimbangan yang lain kita akan memilih obat dari kelompok opiat.
Dalam kelompok ini, kodein tampaknya yang terbaik, tersedia dalam bentuk tablet
dan sirup. Noskapin selain bersifat teratogenik juga bukan tergolong obat esensial sehingga
efektivitasnya lebih meragukan. Berdasarkan data ini kita dapat menyarankan bahwa terapi
pilihan petama (terapi – P) aalah sebagai berikut. Untuk kebanyakan pasien yang batuk
kering setelah menderita flu, nasihat untuk menjauhkan iritasi saja sudah cukup. Ini tentu
lebih aman dan murah ketimbang obat. Tetapi bila keadaan tidak memungkinkan atau tidak
membaik dalam 3-4 hari, dapat diberikan kodein. Bila pengobatan seminggu masih tidak
menolong, diagnosis harus ditinjau kembali dan diteliti apakah pasien minum obat dengan
teratur.
Kodein adalah obat – P kita untuk batuk kering. Dosis baku untuk orang dewasa di
Indonesia adalah 8-15 mg, 3x sehari. Sebagai pengganti atau pilihan berikiutnya, dapat
digunakan noskapin atau dextrometorfan. Kita tidak memilih antihistamin karena bersifat
sedatif (ngantuk) yang tentunya tidak sesuai bagi seorang supir.
PROSES PEMILIHAN TERAPI / OBAT SECARA RASIONAL

Setelah mempunyai terapi – P untuk batuk kering, selanjutnya kita bahas proses
penulisan resep rasional secara keseluruhan. Proses ini terdiri dari 6 langkah yang akan
dibahas secara singkat dengan contoh yang sama (batuk kering diatas).
1. tetapkan masalah pasien
Pasien tadi dapat dikatakan menghadapi masalah batuk kering yang lama dan sakit
tenggorokan, inilah gejala yang merisaukan pasien, tetapi dokter harus melihatnya lebih jauh
lagi. Masalah pasien ini dapat diterjemahkan kedalam diagnosis kerja batuk kering selama 2
minggu setelah serangan selesma, maka sedikitnya ada 3 kemungkinan penyebab yang paling
mungkin adalah bahwa mukosa saluran nafas (bronkus) meradang akibat selesma sehingga
mudah mengalami iritasi. Infeksi sekunder setelah selesma adalah kemungkinan kedua (tetapi
tak ada demam dan sputum yang puluren). Kemungkinan yang lebih kecil lagi adalah tumor
paru, walaupun ini baru perlu dipertimbangkan bila batuknya menetap.
2. tentukan tujuan terapi
Perangsangan saluran nafas yang terus menerus adalah penyebab batuk yang paling
mungkin, maka tujuan terapi yang pertama adalah menghentikan iritasi dengan menekan
refleks batuk untuk memungkinkan pulihnya membran saluran nafas.
3. teliti cocok tidaknya terapi – P anda untuk pasien ini
Anda sudah menetapkan terapi – P yang paling manjur, aman, cocok, dan murah
untuk batuk kering. Tetapi, kini anda harus meneliti apakah terapi ini manjur dan aman untuk
sang supir taksi ?
Ada beberapa alasan mengapa dalam kasus diatas nasihat tidak dapat dipilih. Pasien
ini tampaknya sulit menghentikan kebiasaan merokoknya dan yang paling penting lagi, ia
seorang supir taksi yang tidak mungkin menghindari debu jalanandalam pekerjaannya.
Dengan demikian, walaupun nasihat tetap diberikan, anda harus mempetimbangkan obat – P
dan berdasarkan cocok tidaknya, kemanjuran, dan keamananya.
Kodein adalah antitusif yang baik, dan dapat diminum beberapa kali sehari. Namun,
ada masalah keamananya karena pasien adalah pengemudi taksi dan kodein memiliki sedikit
efek sedasi. Karena itu, ada baiknya mempertimbangkan antitusif lain yang tidak
menimbulkan kantuk.
Antitusif lainnya, noskapin misalnya, menimbulkan efek samping serupa. Antitusif
antihistamin bahkan lebih bersifat sedatif dan mungkn kurang efektif. Karena itu, kita tentu
berkesimpulan bahwa mungkin lebih baik tidak memberikan obat apa pun. Tetapi kalau kita
menganggap memerlukan juga obat maka kodein tetap pilihan terbaik, aalkan dalam dosis
yang serendah mungkin dan penggunaan sesingkat mungkin.
4. mulailah pengobatan
Pertama berikanlah nasihat berikut penjelasan dan mengapa nasihat itu harus
dipenuhi. Jelaskan secara singkat dengan kata – kata yang mudah dimengerti oleh pasien.
Kemudian anda dapat menuliskan resep : R/ kodein 10mg ; 10 tablet ; 3kali sehari
5. berikan penjelasan tentang obat, cara meminumnya dan peringatan
Pasien perlu mendapatkan bahwa kodein dapat menekan batuk, bekerja dalam 2-3
jam, mungkin menimbulkan sembelit dan menimbulkan kantuk bila diminum terlalu banyak
atau jika diminum beserta minuman keras. Pasien pun harus dipesankan untuk datang
kembali bila batuknya tidak hilang dalam seminggu atau dia mengalami efek samping.
Akhirnya, ia harus diingatkan untuk meminum obatnya sesuai dengan aturan dan tidak
meminum – minuman keras. Untuk meyakinkan bahwa pasien mengerti, ada baiknya
memintanya untuk mengulang penjelasan anda dengan kata – katanya sendiri.
6. pantau (hentikan) pengobatan
Bila pasien anda tidak datang kembali, ia mungkin sembuh. Bila ia belum sembuh,
tetapi tidak kembali pada anda, ada tiga kemungkinan:
1) pengobatan tidak manjur
2) pengobatan tidak aman, misalnya karena efek sampingnya tidak dapat diterima
3) pengobatan tidak nyaman. Misalnya cara pakainya sulit, atau rasa obat tidak enak.
Mungkin juga tiga hal tersebut terjadi sekaligus.
Bila pasien tidak sembuh, anda harus mengkaji ulang apakah diagnosis, pilihan terapi,
dan pemantauan terapi sudah benar; juga apakah obat diminum sesuai dengan aturan. Jadi,
mulailah lagi dari awal. Kadang memang masalahnya tidak terselesaikan. Misalnya, ada
penyakit kronis semacam hipertensi yang harus anda lakukan adalah tetap memantau
pengobatan dan meningkatkan kepatuhan pasien minum obat. Pada keadaan lain, anda harus
mengganti obat karena tuuan pengobatan berubah dari bersifat kuratif ke paliatif, misalnya.

RUANG LINGKUP OBAT YANG TERPILIH


Penulisan obat terpilih harus meliputi :
1) nama farmakologi/generik (misalnya kodein, amoxixilin, dan paracetamol)
2) bentuk sediaan (misalnya tablet, sirup, atau injeksi)
3) dosis (5mg/kgBB atau 350mg untuk orang dewasa)
4) lama pemberian (3hari, sampai sembuh, atau jika perlu saja)

PERAN FARMASIS DALAM MENINGKATKAN MANFAAT TERAPI


MENGGUNAKAN OBAT
1. Membantu memilih obat, dosis dan bentuk sediaan
2. mengkaji kondisi pasien/ hasil terapi
3. memantau kepatuhan minum obat
4. meracik obat secara tepat
5. memantau advers drug reaction (ADR) atau efek samping
6. konseling obat
7. dokumentasi
Jelaskanlah apa yang tampaknya sebagai konsultasi sederhana selama beberapa menit
sebenarnya merupaka proses analisis profesional yang cukup rumit. Yang tidak boleh anda
lakukan adalah meniru si dokter diatas dan hanya mengingat bahwa setiap batuk kering harus
diobati dengan kodein 10mg, 3 kali sehari untuk beberapa hari, karena tidak selalu demukian
keadaannya. Sebaliknya, anda harus melatih diri untuk menerapkan kaidah inti dalam
memilih obat seperti yang telah diuraikan secara garis besar diatas. Berikut ini adalah
rangkuman proses tersebut diatas.
Rangkuman proses terapi rasional :
1. tetapkan masalah pasien
2. tentukan tujuan terapi, apa yang ingin anda capai dengan terapi tersebut
3. teliti cocok tidaknya terapi – P anda untuk pasien ini, periksalah apakah terapi itu manjur
dan aman
4. mulailah pengobatan
5. berikan penjelasan tentang obat, cara pakainya, dan peringatan.
6. Pantau (hentikan) pengobatan

BAB II
PEMILIHAN OBAT DAN PERMASALAHANNYA

LATAR BELAKANG

Dalam proses terapi rasional terdapat 6 tahapan yang sangat penting untuk
menghasilkan manfaat bagi penderita (patient autcome) yang maksimal yaitu :
1. menetapkan masalah pasien
2. menetapkan tujuan terapi spesifik (specify the therapeutic objective) berdasarkan masalah
pasien yang dihadapi.
3. memilih terapi untuk setiap pasien
4. memulai terapi atau pengobatan
5. memberi informasi, instruksi, dan peringatan berkaitan dengan terapi atau pengobatan yang
diberikan.
6. memantau (menghentikan) pengobatan
Tahap 1 dan 2 merupakan tahap yang sangat penting. Farmakoterapi rasional hanya
mungkin terwujud jika masalah pasien diketahui dengan baik, meliputi simtom, penyebab,
dan prognosanya. Tujuan terapi akan berhasil ditetapkan dengan baik ketika diagnosis dapat
dilakukan dengan tepat. Dalam memilih terapi perlu diinvertarisasi pengobatan yang tersedia
berdasarkan tahap 1 dan 2, dan perlu memperhatikan pula pengobatan non farmakologi. Jika
terapi memerlukan obat, harus dipertimbangkan semua obat yang tersedia yang dianggap
efektif dan aman untuk masalah pasien yang telah ditentukan.
Sangat banyak obat tersedia untuk setiap masalah yang terjadi pada pasien. Disinilah
dituntut peran apoteker (farmasis) untuk bekerja sama dengan dokter dalam memilih obat
yang cocok bagi pasien. Selain dalam pemilihan obat, peran apoteker juga dituntut ketika
memulai terapi, misalnya saat resep ditulis. Karena pendidikannya, apoteker dapat berperan
dalam mencegah terjadi kesalahan dosis, penulisan resep yang tidak tepat, mencegah
kemungkinan timbulnya interaksi obat, supaya cara pemberian obat benar, dan memberikan
informasi yang tepat berkaitan dengan obat yang diberikan kepada pasien.
Peran apoteker dalam proses terapi rasional, terutama tahap 3-6 perlu didorong terus
menerus mengingat beberapa hat berikut :
1. perkembangan ilmu kedokteran, farmakologi, dan banyaknya jenis obat yang beredar serta
ditemukannya obat yang sangat efektif sekaligus toksik jika tidak digunakan secara benar
menyebabkan dokter sulit untuk selalu mengikuti perkembangan tersebut diatas secara penuh
dan mendalam.
2. kemajuan dalam bidang diagnosa, banyaknya alat bantu diagnosa untuk penyakit lama dan
baru serta munculnya penyakit – penyakit baru dapat sangat memperberat keja dokter.
Sehingga menyebabkan kurang fokusnya dokter terhadap perkembangan farmakologi.
3. ada beberapa bukti yang memperkuat dugaan diatas, sebagaimana yang dikutip oleh Prof.
DR. dr. Armen Muchtar, DAF, DCP, Sp. FK dari beberapa sumber yang terpercaya yang
dimasukkan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap farmakologi dan terapi
FK UI pada 22 april 2006, yaitu :
a. hubungan antara ilmu dengan pelayanan kesehatan masih sangat renggang. Riset
kedokteran terutama tertuju pada pemahaman tentang mekanisme penyakit dan penemuan
pengobatan, tetapi sama sekali kurang mempedulikan kemanfaatannya (effectiveness)
diagnostik dan pengobatan baru itu atau implentasinya didalam pelayanan. Akibatnya banyak
inovasi dalam diagnostik dan pengobatan yang memerlukan waktu yang lama untuk
digunakan secara rutin dalam pelayanan. Pengobatan yang tidak efektif luas dipraktekkan dan
praktek pengobatan lebih seing merupakan pendapat pribadi dan tidak ilmiah/tidak
“evidence-based”
b. hanya 50% dari pengobatan yang diberikan para dokter di amerika yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Diperkirakan bahwa dalam waktu 25 tahun kedepan
perbaikan keluaran penderita mungkin sekali tidak berasal dari penemuan (discovery)
pengobatan baru, tetapi berasal dari penataan penggunaan (delivery) pengobatan yang sudah
ada secara lebih bermanfaat, termasuk perbaikan manajemen pelayanan dan perubahan gaya
hidup.
c. khusus tentang antimikroba, para pakaryang menghadiri inter-science conference on
antimicrobial agent and chemotherapy ke 43 di chicago pada tahun 2003 telah mengeluarkan
pendapat bersama berkaitan dengan antimikroba. Yaitu penggunaan antimikroba yang pantas
(appropriate) merupakan objektif utama dimasa yang akan datang. Pendapat bersama itu
dikeluarkan berdasarkan kenyataan sebagai berikut :
1) sejak permulaan era antimikroba dan berdasarkan riset dan pengalaman selam lebih dari 60
tahun, masalah resistensi, kegagalan terapi, toksisitas merupakan masalah besar dan menetap
dari penggunaan antimikroba.
2) penemuan antimikroba baru makin menurun
3) penggunaan antimikroba yang tidak pantas mencapai 50% peresepan, bahkan satu
penelitian terakhir menyatakan hanya 25% dari peresepan antibiotika itu yang betul – betul
perlu.
4) ditemui banyak keputustakaan yang menerbitkan cara – cara penggunaan antimikroba
yang pantas, tetapi masih sedikit institusi yang telah mengimplenmentasikannya dalam
pelayanan.
4. bertambahnya jenis obat, tungal atai kombinasi yang ada di pasaran. Obat kombinasi sering
menimbulkan kesulitan dalam menetapkan dosis individual, memprediksi kemungkinan
interaksi, dan dianggap selalu lebih baik dibandingkan obat tunggal.
PERTIMBANGAN PEMILIHAN OBAT DALAM TERAPI

Untuk memilih obat yang sesuai dengan pasien atau yang sering disebut dengan obat
– P (personal drug), dimulai dari menentukan (inventory) kelompok obat yang manjur, dan
selanjutnya memilih satu atau lebih obat – obat yang paling sesuai dengan pasiennya. Untuk
memilih obat – P, harus berdasarkan pertimbangan ilmiah, meliputi pertimbangan efektivitas,
keamanan, kecocokan, kepraktisan, dan biaya. Selain itu juga harus mempertimbangkan
aspek kinetika dan dinamika obat, sebagaimana gambar dibawah ini.
Gambar : Proses Pemilihan Obat
1. Pertimbangan efektivitas dan keamanan
Untuk memilih obat yang efektif dan aman perlu memperhatikan hal – hal sebagai
berikut :
a. bagaimana efektivitas dan keamanan obat yang akan kita pilih dibandingkan dengan obat –
obat lain dalam uji preklinik atau uji klinik sebelum bat memperoleh ijin edar. Data uji klinik
dapat diperoleh dari jurnal – jurnal atau buku – buku seperti physicians desk reference (PDR)
dan British national formulary (BNF)
b. apakah obat – obat yang kita pilih sudah diterima atau digunakan dinegara lain yang tradisi
evaluasi obatnya sangat baik, seperti negara – negara skandinavia, ingris, amerika serikat, dan
australia. Atau bahkan sudah tidak digunakan lagi oleh negara – negara diatas?
c. apakah obat yang akan kita pilih sudah masuk dalam panduan terapi yang dikeluarkan oleh
WHO untuk tujuan yang sama ?
d. apakah obat yang akan kita pilih sudah masuk dalam panduan terapi yang dikeluarkan oleh
institusi berwenang seperti depkes atau rumah sakit (RS) pendidikan?
e. apakah obat yang akan kita pilih sudah masuk kedalam daftar obat esensial nasional
(DOEN), atau formularium RS ?
contoh – contoh pertimbangan diatas tidak saja sesuai untuk memilih obat – P, tetapi
juga sesuai untuk memilih obat yang akan kita masukkan dalam formularium pada RS tempat
kita bekerja. Memperhatikan sebagai hal diatas itu perlu karena pemilihan obat oleh negara
tertentu, WHO atau DOEN telah melibatkan banyak pakar dan banyak aspek. Kriteria obat
essensial menurut WHO dan telah diadopsi untuk obat yang masuk dalam DOEN di
indonesia adalah :
- Memiliki rasio manfaat – resiko (benefik – risk ratio) paling menguntungkan
- Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan hayati (bioavailabilitas)
- Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
- Praktis dalam penggunaan dan penyerahan
- Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan pasien
- Memiliki rasio manfaat – resiko (benefit-cost ratio) yang tertinggi dari biaya langsung
atau tidak langsung, dan
- Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi serupa, maka pilihan
diberikan pada obat yang :
 Sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
 Profil dan sifat farmakokinetiknya diketahui paling banyak menguntungkan
 Stabilitas yang paling baik
 Paling mudah diperoleh

2. pertimbangan kecocokan dengan pasien (suitability)


Pertimbangan ini berdasarkan pada kondisi individual pasien, misalnya :
a. wanita hamil yang menderita hipertensi tidak akan diberikan golongan ACE inhibitor dan
golongan statin
b. pada anak – anak yang terkena infeksi pada saluran kemih tidak akan diberikan
antimikroba golongan kuinolon.
c. pada lansia yang menderita diabetes mellitus jika mendapatkan oral antidiabetik (OAD)
sebaiknya tidak diberikan sulfonil uria yang durasinya panjang seperti klorpropamid.
d. beta bloker tidak dipilih untuk terapi hipertensi pada pasien yang mempunyai penyakit
asma.
e. mamilih sediaan sirup untuk pasien anak – anak atau pasien yang tidak dapat menelan
tablet.
f. memilih obat sediaan lepas lambat untuk terapi kronis yang obatnya sering menimbulkan
efek samping atau toksik (indeks terapi sempit)
g. memilih amoxixilin dari pada ampicillin pada pemakian oral untuk tujuan sistemik.

3. pertimbangan biaya
Biaya pengobatan harus merupakan kriteria penting untuk negara berkembang seperti
Indonesia. Kelompok obat atau cara pemberian tertentu lebih mahal dari cara pemberian atau
kelompok yang lainnya. Namun yang perlu dihitung adalah biaya keseluruhan pengobatan,
buka biaya per unit obat. Beberapa hal yang menyebabkan biaya obat menjadi mahal :
a. memilih obat nama dagang, padahal tersedia obat generik dengan mutu, keamanan dan
ekivalen terapi yang sama.
b. cara pemberian melalui parenteral, padahal tidak untuk emergency dan bioavailabilitas
obat oral cukup baik
c. memilih obat baru karena barunya, bukan pertimbangan efektivitas, keamanan, cara kerja
baru, atau lebih murah

4. pertimbangan kinetika dan dinamika obat


Yang dimaksud dengan pertimbangan farmakokinetika adalah pertimbangan absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME). Karena ADME akan menentukan jumlah obat
yang sampai pada tempat kerjanya untuk dapat bereaksi dengan reseptornya sehingga
merupakan penentu timbulnya efek terapi atau efek toksik. Tanpa mempertimbangkan
ADME, pengobatan dapat tidak efektif atau sebaliknya timbul efek toksik. Pertimbangan
farmakokinetika, misalnya berkaitan dengan hal – hal berikut :
a. untuk terapi meningitis (radang pada selaput otak) kita harus memilih antimikroba yang
dapat menembus membran atau sawar otak selain dapat membunuh mikroba patogen. Contoh
antimikroba yang dapat menembus sawar otak adalah kloramfenicol dan sefalosporin
generasi 3 dan 4.
b. kita memilih obat sejenis yang bioavailabilitasnya lebih besar, misalnya lebih memilih
amoxixilin dari pada ampicillin pada penggunaan oral.
c. kita memilih digoxin daripada digitoksin, karena waktu paruh (t 1/2) digitoksin lebih
panjang (5-6 hari), berarti sangat lambat eliminasinya dan akan sangat berbahaya jika sampai
terjadi efek toksik. Karena digoxin ataupun digitoksin merupakan obat yang mempunya
indeks terapi sempit yaitu sekitar 1,6 – 2,5 .
d. kita akan memilih sediaan dengan onzet yang pendek untuk kondisi emergensi atau efek
segera, misalnya memilih sediaan injeksi, klisma atau tablet sublingual dari pada sediaan
tablet konvensional.
e. memilih obat yang tidak mengalami metabolisme lintas pertama untuk pemakaian oral.

Pemilihan obat berdasarkan pertimbangan farmakodinamika akan lebih sulit atau


kompleks dibandingkan pertimbangan farmakokinetika, lebih – lebih pada pasien lansia,
bayi, wanita hamil, dan pasien dengan penyakit tertentu. Contoh beberapa pertimbangan
farmakodinamika dalam pemilihan obat.
a. pada pasien lansia, pemberian diuretik lebih sering menimbulkan hipotensi ortostatik.
b. pemberian benzodiazepin dengan t ½ yang panjang akan lebih sering menimbulkan sedasi
dan dilirium, terlebih pada pasien lansia.
c. pada kondisi tertentu, lebih baik memilih anti inflamasi non steroid (AINS) spesifik, yaitu
yang hanya menghambat COX 1 dibandingkan non spesifik yang hanya menghambat COX 2
maupun COX 1.
d. pemilihan obat tambahan (ke 2, ke 3 dan seterusnya) untuk tujuan yang sama dipilih obat
yang mekanisme kerjanya berbeda. Misalnya tidak memberikan kombinasi oral antidiabetes
(OAD) yang berasal dari 1 golongan atau cara kerjanya sama (mirip).

5. pertimbangan kondisi fisiologis tertentu


a. pada neonatus dan bayi prematur
- hindari penggunaan sulfonamid, aspirin, heksaklorofen (kadar berapapun untuk kulit yang
tidak utuh, kadar 3% atau lebih untuk kulit utuh), morfin dan barbiturat injeksi IV .
- untuk obat – obat lain, gunakan dosis yang lebih rendah dari dosis yang dihitung
berdasarkan luas permukaan tubuh. Tidak ad pedoman umum untuk menghitung berapa besar
dosis harus diturunkan, gunakan educated guess bila ada, atau ikuti petunjuk dari pabrik obat
yang bersangkutan.
b. pada usia lanjut
- mulai pengobatan dengan dosis setengah lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan
kepada pasien dewasa muda
- selanjutnya disesuaikan dosis obat berdasarkan respon klinik pasien
- pilih pengobatan yang regimennya sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
meningkatkan kepatuhan .
CARA MEMILIH OBAT – P UNTUK ANGINA PEKTORIS

Setelah diagnosis dan tujuan terapi ditetapkan, kita melangkah ke tahap ke 3, yaitu
menyusun daftar obat yang efektif untuk angina pektoris.

1. daftar obat yang efektif


Kriteria atau syarat pertama dalam memilih obat adalah efektivitasnya (kemanjuran).
Dalam hal angina pektoris, obat – obat terpilih harus dapat mengurangi beban hulu,
kontraktilitas, frekuensi denyut, dan atau beban hilir. Ada 3 kelompok obat yang mempunyai
efek demikian, yaitu golongan nitrat, B bloker, dan antagonis kalsium.
Golongan Beban hulu Kontraktilitas Frekuensi Beban hilir
denyut jantung
Nitrat ++ - - ++
B bloker + ++ ++ ++
Ca – bloker + ++ ++ ++

Keterangan :
+ = rendah
++ = tinggi

2. pemilihan obat berdasarkan kriteria


Efek dari ketiga obat yang efektif diatas harus dibandingkan. Dalam membandingkan
harus mempertimbangkan 3 syrata utama, yaitu keamanan, kecocokan, dan biaya pengobatan.
Cara yang mudah adalah dengan membuat matrix seperti tabel di bawah ini. Kemanjuran
merupakan pertimbangan yang paling penting. Kemanjuran tidak saja didasarkan efek
farmakodinamiknya saja, tetapi juga faktor kinetiknya, kisalnya kecepatan timbulnya efek.

Tabel perbandingan antara 3 kelompok obat anti angina


Kemanjuran Keamanan Kecocokan
Nitrat organik ESO : Kontraindikasi :
FD : - Sakit kepala, - Gagal jantung
Vasodilator perifer dan flushing, takikardia - Hipotensi
menimbulkan toleransi sementara - Tekanan intrakranial
(terutama pada kadar yang - Menimbulkan yang tinggi
tetap di darah) keracunan nitrat pada - Anemia
pemberian yang lama
FK : Bentuk sediaan yang efeknya
- Metabolisme lintas cepat : inj, tab sub lingual,
pertama dan spray mulut
- Absorbsi beragam
(mono hidrat paling
kecil)
- Gliseril trinitrat
mudah menguap;
tablet tidak boleh
disimpan lama.
Beta bloker ESO : Kontra indikasi :
FD : - Hipotensi, gagal - Gagal jantung
- Mengurangi jantung kongesif - Hipotensi
kontraktilitas dan (CHF) - Brakikardia
frekuensi jantung - Brakikardia - Asma
- Bronkokontriksi - Memacu serangan - Diabetes mellitus
- Vasokontriksi di otot asma
- Menghambat - Hipoglikemik
glikogenolisis - Impotensi
- Vasodilatasi vena - Kantuk, reaksi
cavernosum (penis) lambat, dan mimpi
berkurang buruk

FK :
- Menembus sawar
otak (lipofilik)
Calcium bloker ESO : Kontraindikasi :
FD : - Takikardia, pusing - Hipotensi, gagal
- Vasodilatasi koroner - Flushing, hipotensi, jantung kongesif blok
dan perifer gagal jantung AV, sick sinus
- Mengurangi kongesif, brankikardi sindrom
kontraktilitas dan sinus, dan blok AV
denyut jantung Bentuk sediaan yang efeknya
cepat : injeksi

3. Keamanan
Ketiga kelompok mempunyai efek samping yang merupakan kelanjutan dari
farmakologinya atau mekanisme kerjanya. Sehingga ketiga golongan obat relatif sama efek
sampingnya.

4. kecocokan
Kecocokan harus dilihat berdasarkan kondisi pasien secara individual, yang tidak
perlu dipertimbangkan ketika kita hanya membandingkan antar golongan.tetapi ada hal – hal
praktis yang tetap harus sebagai pertimbangan untuk obat antiangina. Serangan angina
pektoris datang tidak selalu ada orang disekitarnya, oleh karena itu pasien harus dapat
menggunakan obat sendiri. Untuk itu perlu pertimbangan aspek praktis dalam penggunaan
selain onzetnya cepat, seperti tablet sub lingual dan bentuk spray.

5. biaya
Bandingkan harga obat berdasarkan sediaan yang tersedia dipasaran. Karena dari segi
efektivitas, keamanan, dan kecocokan mirip, maka pertimbangan terakhir adalah harga.
Berdasarkan pengalaman, kelompok nitrat cukup murah dan tersedia dalam bentuk generik.
Jadi kelompo nitrat merupakan pilihan pertama berdasarkan efektivitas, keamanan sama
dengan yang lain tetapi lebih murah. Kelompok nitrat memberikan efek segera dan mudah
digunakan pasien tanpa tambahan biaya.
6. Pilih obat – P yang sesuai
Setelah kita memilih golongan nitrat, kita perlu membandingkan obat – obat dalam
kelompok nitrat sebagaimana tabel dibawah ini :
Nama Efektivitas Keamanan Biaya
dan
kecocokan
Gliseril trinitrat 0,5 – 7 jam Tidak ada -
Kapsul 2,5mg 1 – 24 jam perbedaan
Tapel kulit 5mg
Isosorbid dinitrat 2 – 30 menit -
Tab sublingual 5mg 0,5 – 4 jam
Tab oral 10mg 0,5 – 10 jam
Tab oral (retard) 20-40 mg
Isosorbid monohidrat 0,5 – 4 jam -
Tab oral 20mg
Tab oral/kapsul retard

a. pilih zat aktif dan bentuk sediaannya


beberapa nitrat organik dimaksudkan untuk pencegahan sehingga tidak semua cocok
untuk serangan akut. Dari ketiga angota nitrat, tersedia untuk kepentingan akut. Dari tabel
diatas kita pilih isosorbid dinitrat tablet sublingual 5mg dengan pertimbangan murah,
memakainya praktis, dan onzetnya sangat pendek (2-30 menit). Selain pertimbangan
efektivitas dan keamanan yang sama dengan yang lain.

b. pilih jadwal dosis


karena untuk serangan akut, maka tidak ada jadwal dosis yang tetap. Tablet harus
segera dikeluarkan dari mulut setelah nyeri hilang. Bila nyeri tetap ada, tablet ke 2 boleh
diberikan 5-10menit kemudian. Bila nyeri tetap ada setelah obat ke 2, pasien harus
menghubungi dokternya.

c. lama pengobatan
tidak ada satu cara apapun untuk meramalkan berapa lama pasien akan mengalami
serangan angina. Bila anda setuju dengan pilihan ini, yaitu tablet sub lingual isosorbid dinitrat
adalah obat – P pertama, masukkan dalam formularium pribadi atau institusi. Bila tidak, anda
memerlukan informasi yang memadai untuk memilih obat lainnya. Pemilihan obat harus
meliputi nama generik (farmakologi), bentuk sediaan, dosis, dan lama pemberian.
PERMASALAHAN OBAT (DRUG RELATED PROBLEM)

Permasalahan obat jika tidak diatsi atau diperhatikan akan sangat mempengaruhi hasil
terapi. Permasalahan obat dapat berkaitan dengan indikasi, efektivitas, keamanan, dan
kepatuhan pasien. Dalam tabel dibawah ini dimuat penilaian berkaitan dengan indikasi,
efektivitas, keamanan, permasalahan obat, kepatuhan pasien, dan problem yang berkaitan.

Tabel problem terapi menggunakan obat


Penilaian Problem terapi dengan obat
Indikasi Tidak memerlukan obat
- Tidak ada indikasi medis
- Terapi ganda
- Tidak ada indikasi untuk obat
- Pengobatan untuk menghindari ADR
- Adiktif/penggunaan rekreasi

Memerlukan obat
- Kondisi yang belum terobati
- Untuk preventif atau propilaktik
- Sinergis atau potensiasi
Efektivitas Memerlukan obat yang lain
- Obat yang lebih efektif tersedia
- Resisten terhadap obat yang diberikan
- Dosis tidak sesuai
- Tidak efektif berdasarkan kondisi
yang ada

Dosis yang terlalu rendah


- Dosis salah
- Jarak pemakaian terlalu panjang
- Durasi terlalu pendek
- Terjadi interaksi obat
- Cara pemberian tidak benar
Keamanan Advers drug reaction (ADR)
- Timbul efek yang tidak diinginkan
- Obat tidak aman
- Terjadi interaksi obat
- Pemberian terlalu cepat
- Timbul reaksi alergi
- Kontraindikasi

Dosis terlalu tinggi


- Dosis salah
- Jarak pemakaian terlalu panjang
- Durasi terlalu pendek
- Terjadi interaksi obat
- Cara pemberian tidak benar
Kepatuhan Tidak patuh
- Petunjuk tidak diketahui
- Pasien lebih suka tidak menggunakan
obat
- Obat terlalu mahal
- Tidak dapat menelan atau
menggunakan obat
- Obat tidak tersedia

Dalam tabel dibawah ini dimuat penyebab timbulnya problem berkaitan dengan obat
Problem terapi dengan obat Kemungkinan penyebab problem terapi dengan obat
Obat tidak diperlukan - Obat tidak diperlukan berkaitan dengan kondisi
medis saat ini
- Diberikan obat kombinasi, padahal hanya satu obat
yang diperlukan
- Kondisinya akan lebih baik jika dilakukan terapi
non farmakologi
- Obat digunakan untuk mengurangi efek merugikan
dari penggunaan obat lain
- Problemnya disebabkan oleh penyalahgunaan obat,
penggunaan obat dan merokok
Diperlukan obat tambahan - Kondisi medisnya memerlukan obat untuk terapi
- Terapi preventif diperlukan untuk mengurangi
perkembangan penyakit yang baru
- Kondisi medisnya memerlukan terapi kombinasi
untuk mendapatkan efek sinergis atau aditif
Obat tidak efektif - Obat bukan paling efektif untuk mengatasi
penyakitnya
- Produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi
medisnya
- Kondisinya sudah tidak dapat diterapi dengan obat
yang dipakai (refractory)
- Dosis dan sediaan tidak sesuai
Dosis terlalu rendah - Dosis terlau rendah untuk efek yang diinginkan
- Interval pemakaian terlalu jarang
- Terjadi interaksi yang menyebabkan berkurangnya
bioavailabilitas
- Durasi obat terlalu pendek
Timbul ADR - Obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan
yang tidak dose – related
- Obat yang lebih aman diperlukan karena pasiennya
beresiko
- Interaksi obat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan yang tidak dose – related
- Obat menimbulkan alergi
- Obat dikontraindikasikan karena faktor resiko dari
pasien
Dosis terlalu tinggi - Dosis terlalu tinggi untuk pasien yang
bersangkutan
- Jarak pemberian obat terrlalu dekat
- Durasi obat terlalu panjang
- Interaksi obat menimbulkan efek toksik
- Obat diberikan terlalu cepat
Ketidak patuhan - Petunjuk tidak diketahui
- Pasien lebih suka tidak menggunakan obat
- Obat terlalu mahal
- Tidak dapat menelan atau menggunakan obat
- Obat tidak tersedia
- Pasien lupa menggunakan obat

Problem penggunaan obat diatas diharapkan tidak akan terjadi jika dalam memilih
obat mempertimbangkan hal – hal seperti efektivitas, keamanan, kecocokan, harga, kinetika
obat, dinamika obat, dan ketersediaan obat.

BAB III
PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL

TUJUAN PEMBANGUNAN DIBIDANG OBAT

Tujuan pembangunan dibidang obat meliputi : menjamin kebenaran khasiat,


keamanan, mutu, keabsahan obat yang beredar, meningkatkan ketepatan, kerasional, dan
efisiensi penggunaan obat. Jika tujuan diatas tercapai, masyarakat akan lebih banyak
mendapatkan manfaat dari obat dari pada efek yang merugikan, baik dari segi kesehatan
maupun financial.

Untuk mencapai tujuan pembangunan dibidang obat, dilakukan langkah – langkah


sebagai berikut :
1. daftar obat esensial nasional (DOEN), yaitu memuat obat yang paling banyak digunakan
sesuai dengan pola penyakit yang ada yang memenuhi kriteria tertentu. Obat DOEN dipilih
oleh suatu panitia ahli dari berbagai disiplin ilmu dan berbagai kalangan yang berkaitan
dengan penggunaan obat dipelayanan kesehatan dari seluruh indonesia. Oleh karena itu,
DOEN dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemilihan dan pengadaan obat pada tingkat
regional maupun tingkat nasionalserta dari tingkat puskesmas hingga tingkat rumah sakit tipe
A.
2. peraturan per UU-an dan regulasi yang mendukung pada penggunaan obat yang rasional.
3. registrasi dan lisensi semua produk obat yang beredar, sehingga enjamin keabsahan,
kebenaran, dan menjamin obat yang beredar adalah obat yang benar – benar aman dan
efektif.
4. pembuatan obat sesuai CPOB, untuk menjamin obat yang beredar memnuhi standar mutu
yang telah ditetapkan.
5. kebijakan yang mendorong penggunaan obat yang rasional yang dapat diawali pada
fasilitas kesehatan milik pemerintah rumah sakit pendidikan, dan fasilitas kesehatan milik
BUMN.
6. Informasi obat yang objektif, yang bukan hanya bersumber dari industri farmasi
sebagaimana yang berlangsung sekarang. Perlu dikembangkan oleh Depkes dan BPOM
informasi obat yang memadai dan tersebar secara merata dan evaluasi kemanfaatannya.
7. iklan dan promosi yang tidak menyesatkan dan proporsional. Hal ini akan sulit tercapai
jika informasi obat hanya bersumber dari industri farmasi.

KONSEP PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL (RATIONAL DRUG


THERAPY/RDT)
1. Pemilihan obat yang tepat, yaitu : efektif, aman dan dapat diterima dari segi mutu dan
biaya serta diresepkan pada waktu yang tepat, dosis yang benar, cara pemakaian yang tepat
dan jangka waktu yang benar.
2. menurut WHO : penggunaan obat yang efektif, aman, murah, tidak polifarmasi, drug
combination (fixed), individualisasi, pemilihan obat atas dasar obat yang telah ditentukan
bersama. Contoh kombinasi yang termasuk dalam fixed yang artinya pemberian dalam
kombinasi akan lebih menguntungkan karena beberapa alasan, seperti sinergis,
memperlambat timbulnya resistensi, dan meningkatkan efektivitas.
a. kombinasi fixed :
sulfametoksazol + trimetrofin (5:1)
INH + rifampicin (1:2)
Penisislin + as. Clavulanat (500mg : 125mg)
Neomicin + basitracin (salep 5mg : 500 IU)
Imipenem + cilastatin (250mg :250mg)
Rifampisin + INH + pyrazinamid (150mg : 75mg : 400mg)
Asam benzoat + asam salisilat (salep, 6% : 3%)
Levodopa + carbidopa (100mg : 10mg)
Sulfadoksin + pirimetamin (500mg : 25mg)
Ferro sulfat + asam folat (600mg : 400ug)
b. polifarmasi
contoh polifarmasi terdapat pada obat flu yang isinya antara lain : antitusiv,
ekspektoran, antihistamin, analgetik, antiinflamasi, vitamin, bronkodilator, dan dekongestan.

3. pemberian obat yang rasional adalah pemberian obat yang mencakup 6 tepat atau benar,
yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat waktu, tepat dosis, tepat jalur pemberian, dan tepat
dokumentasi.

a. tepat pasien
pemberian obat yang tidak tepat pasien dapat terjadi, seperti pada saat ordernya lewat
telepon, ada order tambahan, ada revisi order, pada pasien yang masuk secara bersamaan
dengan penyakit yang sama, pada kasus yang penyakitnya sama, suasana sedang kusut atau
adanya pindahan pasien dari ruang satu kesatu ruang lainnya. Untuk mengurangi kejadian
tidak tepat pasien, pada saat memberikanobat dapat dilakukan antara lain :
- Tanya nama pasien, dengan pertanyaan siapa namanya, buka dengan pertanyaan
“namanya bapak supardi?”
- Cek identiikasi pasien dalam bracelet
- Cek pasien pada papan nama ditempat tidur, dan di pintu.

b. tepat obat
untuk menjamin obat yang diberikan benar, label atau etiket harus dibaca dengan teliti
setiap akan membeikan obat. Label atau etiket yang perlu diteliti antara lain, nama obat,
sediaan, konsentrasi, dan cara pemberian serta expired date. Kesalahan pemberian obat sering
terjadi jika perawat memberikan obat yang disiapkan oleh perawat lain atau pemberian obat
melalui wadah (spuit) tanpa identitas atau label yang jelas. Harus diusahakan menyiapkan
sendiri obat yang akan diberikan pada pasien.

c. tepat waktu
pemberian obat berulang, lebih berpotensi menimbulkan pemberian obat yang tidak
tepat waktu. Misalnya pada kasus gawat darurat henti jantung, epinefrin diberikan setiap 3-5
menit, jika tidak dipatuhi akan menghasilkan kadar obat yang tidak sesuai. Kekurangan atau
kelebihan dosis atau frekuensi keduanya sangat berbahaya. Termasuk tepat waktu juga
mencakup tepat kecepatan pemberian obat melalui infus.
Banyak obat yang pemberiannya menuntut harus tepat waktu, pemberian terlalu cepat
atau lambat dapat berakibat serius. Contoh, dopamin harus diberikan antara 2-10ug/kg/menit,
atropin harus diberikan melalui injeksi IV bolus (cepat). Pemberian dopamin secara bolus
dapat menimbulkan kematian, sedangkan pemberian atropin secara lambat akan
memperparah brandikardi (perlambatan denyut jantung) yang paradoksial. Adenosin yang
mempunyai waktu paruh (t ½) sangat pendek harus diberikan dengan cepat supaya efektif.

d. tepat dosis
dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi atau timbul efek
berbahaya. Kesalahan dosis sering terjadi pada pasien anak – anak, lansia atau pada orang
obesitas. Pada pasien tersebut, paramedik harus mengerti cara mengkonversi dosis dari orang
dewasa normal. Perhitungan dosis secara cermat harus dilakukan juga pada obat yang
diberikan melalui infus, termasuk perhitungan kecepatan tetesan setiap menitnya.
Kesalahan dosis juga dapat terjadi karena salah dalam menulis atau membaca resep,
misalnya “1” dengan mudah akan terbaca sebagai “1” berarti dosisnya sudah 10 kali lipat.
Contoh lain “1,0 g” terbaca 10mg, “10u” terbaca 100, “ug” terbaca “mg”. “1/4” tablet
padahal untuk tablet obat yang dimaksud ada lebih dari satu sediaan, “1g” dibaca “1g”, ini
akan membingungkan bagi yang tahu bahwa 1gr = 0,065 g (gram) atau 65mg.

e. tepat rute
jalur atau rute pemberian obat adalah jalur obat masuk kedalam tubuh. Jalur
pemberian yang salah dapat berakibat fatal atau minimal obat yang diberikan tidak efektif.
Sebagai contoh efinefrin diberikan secara sub cutan pada pasien asma karena diabsorbsi
secara lambat dan efek timbul kira – kira 20menit kemudian. Jika diberikan secara IM akan
menyebabkan nekrosis jaringan karena terjadi vasokontriksi berlebihan selain pasien juga
tidak akan mendapatkan manfaat dari pemberian ini.
Ketika dimana memberikan epinefrin secara subcutan dan diberikan secara injeksi IV
dapat menimbulkan efek detrimental pada pasien dewasa karena peningkatan kebutuhan
oksigen di jantung. Sebaliknya pemberian obat tertentu secara subcutan untuk pengurang rasa
sakit yang seharusnya diberikan secara injeksi IV akan menyebabkan perlambatan efek atau
obat kurang efektif.

f. tepat dokumentasi
aspek dokumentasi sangat penting dalam pemberian obat karena sebagai sarana untuk
evaluasi. Menurut beberapa ahli, dokumentasi merupakan bagian dari pemberian obat yang
rasional, yaitu aspek atau tepat yang ke-6. Dokumentasi pemberian obat yang harus
dikerjakan meliputi : nama obat, dosis, jalur pemberian, tempat pemberian, alasan kenapa
obat diberikan, dan tanda tangan yang memberikan.

BEBERAPA PERTANYAAN YANG BERKAITAN DENGAN KONSEP RATIONAL


DRUG THERAPY (RDT)
1. apa yang dimaksud dengan RDT?
2. apa kepentingannya?
3. bagaimana irrational drug therapy dapat terjadi?
4. siapa (perorangan atau institusi) yang bertanggung jawab?
5. bagaimana cara memperbaikinya?

PENTINGNYA RDT
1. mengurangi penggunaan obat yang tidak diperlukan
2. mengurangi bahaya dan biaya dari obat yang tidak diperlukan atau karena polifarmasi
3. meningkatkan manfaat dari obat secara maksimal
4. adanya ledakan jumlah obat yang ada dipasaran, jika tidak ada usaha penggunaan obat
yang rasional dampaknya akan merugikan dan bahkan berbahaya.
5. untuk mengurangi peningkatan timbulnya resistensi kuman terhadap anti mikroba
6. peningkatan kesadaran konsumen, regulator, pelayanan kesehatan, dan perlindungan
konsumen.

BEBERAPA PENYEBAB TERJADINYA IRASIONAL DALAM TERAPI


1. kurangnya pengetahuan pada tenaga profesional kesehatan (dokter, apoteker, paramedis)
atau kesadaran masyarakat sebagai konsumen
2. tidak ada/kurangnya orientasi dari tenaga kesehatan
3. kemampuan diagnosis yang masih kurang
4. terlalu percaya pada informasi tunggal yang bersumber dari industri farmasi
5. keterbatasan waktu dan staf, sehingga tidak sempat berfikir ketika melayani pasien dan
waktu untuk mengembangkan diri
6. gagal melindungi diri dari praktek tidak etis dari indutri farmasi
7. gagal menampik desakan pasien untuk memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan
8. kompleksitas dalampemilihan obat
9. regulasi yang kurang mendukung, misalnya adanya obat yang tidak efektif dan tidak aman
tetap diizinkan beredar
10. poor patient compliance (kompalin pasien di Indonesia yang umumnya sangat rendah)
11. konsepsi yang salah tentang obat
12. kesalahan dan ketidaktepatan dalam training atau pendidikan sewaktu profesional
kesehatan menjalani kuliah, pelatihan dan pendidikan.
13. kurangnya komunikasi antara profesional kesehatan dengan pasien
14. kurangnya fasilitas diagnosis atau alat diagnosis yang tidak konsisten

Dari ke 14 hal diatas, akan sedikit diulas alasan terjadinya ketidak rasionalan
pemakaian obat karena kompleksitas pemilihan obat, kesalahan konsepsi tentang obat, dan
banyaknya kendala pada penggunaan obat yang rasional.

KOMPLEKSITAS PEMILIHAN OBAT

1. kompleksitas pemilihan obat


a. kelompok obat yang efektif/ aman untuk suatu penyakit tanpa memperhitungan kondisi
pasien, ketersediaan obat, dan biaya jumlahnya dapat lebih dari 5, masing – masing kelompok
punya anggota, masing – masing anggota mempunyai spesifikasi yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan obat.
b. kinetika obat, walaupun satu kelompok kadang – kadang berbeda dan harus dipilih yang
paling sesuai atau menguntungkan dengan kondisi pasien.
c. harus mempertimbangkan dinamika semua obat yang dianggap sesuai
d. harus mempertimbangkan potensi dan efektivitas
e. harus mempertimbangkan keamanan
f. harus mempertimbangkan biaya
g. harus mempertimbangkan kepraktisan dalam penggunaan obat
h. harus mempertimbangkan ketersediaan obat
i. harus mempertimbankan aspek kepatuhan pasien dalam minum obat pilihan

2. contoh kompleksitas pemilihan obat


a. memilih obat dalam kelompok yang aman, efektif untuk pasien dan mempertimbangkan
poin – poin 1 diatas.
b. dosis dan peningkatan/pengurangan dosis yang diperlakukan
c. interval dosis
d. jalur pemberian
e. lama pemberian
f. efek samping obat (ESO)
g. komunikasi dengan pasien
h. kondisi pasien
3. contoh kompleksitas memilih obat untuk gastritis/ulceritis
a. apakah memilih golongan H2 bloker?
b. apakah memilih golongan antsida?
c. apakah memilih golongan pump inhibitor?
d. apakah memilih analig prostaglandin?
e. apakah memilih bismut subsalisilat?
f. apakah memilih antibiotika atau kombinasi?
g. apakah memilih antikolinergik?
h. obat mana yang dipilih dari masing – masing anggota kelompok diatas dan bagaimana
memilih kombinasinya jika lebih dari satu obat diperlukan?

4. contoh kompleksitas memilih obat diabetes mellitus


a. apakah memilih obat golongan sulfonilurea?
b. apakah memilih obat golongan biguanida?
c. apakah memilih obat golongan refaglinid?
d. apakah memilih obat golongan glitazon?
e. apakah memilih obat golongan acarbose?
f. apakah memilih insulin?
g. atau bagaimana memilih kombinasinya jika kita memerlukan obat lebih dari satu?

KENDALA UNTUK MENCAPAI PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL


- Kurangnya informasi yang objektif tentang obat, di indonesia informasi obat
kebanyakan datang dari industri farmasi yang objektivitasnya masih perlu
dipertanyakan
- Kurang terkoordinasi dengan baik pada otoritas regulasi dan supali obat
- Jumah obat yang berada di pasar sangat banyak, kurang lebih ada 13.500 an dari zat
aktif yang hanya sekitar 500-600 an
- Metoda promosi obat yang langsung ke profesional kesehatan
 Promosi dengan insentif (12-20% cost)
 Promosi ke prescriber, dengan discount 10-18% sehingga dapat mempengaruhi
penulisan resep
- Monitoring efek samping obat belum berjalan
- Pendidikan berkelanjutan belum memadai
- Obat dipasarkan oleh staff academic atau “pakar”
- Pemasaran obat selalu disertai dengan klaim obatnya: innovative, the best, and safe

CONTOH KONSEPSI TENTANG OBAT YANG SALAH


- Obat dagang lebih efektif dan aman dibandingkan obat generik
- Obat baru selalu lebih baik dibandingkan obat yang telah lama digunakan, apalagi
kalau obat impor
- Obat berspektrum luas berguna untuk semua keluhan yang bersifat komplek
- Kombinasi obat ditujukan untuk pengobatan yang lebih simpel
- Ono rego ono rupo (harga mahal lebih efektif)
KONSTRIBUTOR PENGGUNAAN OBAT YANG IRATIONAL
- Industri : karena motif keuntungan
- Dokter dan tenaga kesehatan lainnya : arogan, quit ignorant, kurang pengetahuan dan
terjadi mis konsepsi tentang obat
- Publik : percaya informasi bohong, mis konsepsi tentang obat, dan kurang terdiri

BAGAIMANA MENGURANGINYA (WHAT IS REMEDY)?


- Pendidikan, reegulasi dan managerial berkaitan dengan obat
- Prescription audit (membiasakan adanya audit terapi oleh rekan sejawat, pihak
asuransi atau asosiasi profesi)
- Pembayaran kembali hanya untuk obat essensial atau untuk obat yang telah disepakati
bersama penggunaanya
- Refisi kebijakan obat yang up to date, jangan sampai ada peraturan yang justru
menghambat tercapainya penggunaan obat yang rasional
- Hentikan produk obat yang tidak efektif dan aman serta cabut no. Registrasinya.
ALASAN PENGGUNAAN OBAT BARU
- Tidak ada obat untuk penyakit tersebut
- Efektivitas lebih tinggi dibandingkan dengan obat yang lebih dulu tersedia
- Lebih aman dibandingkan dengan obat yang lebih dulu tersedia
- Ada keuntungan dari segi ADME
- Mekanisme kerja baru
- Biaya lebih rendah
- Penggunaan lebih praktis, jadi alasannya bukan karena barunya.

JENIS – JENIS PENGGUNAAN OBAT YANG TIDAK RASIONAL


1. Obat Prescribing
Yaitu menggunakan obat yang tidak diperlukan, dosis terlalu tinggi, pengobatan
terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih dari yang diperlakukan. Terdapat beberapa
jenis obat yang banyak diberikan kepada pasien tanpa indikasi yang jelas dan tepat.golongan
obat tersebut adalah antibiotika, kortikosteroid, obat penurun berat badan, antikolesterol,
multivitamin, tonikum, vasodilator, obat untuk memperbaiki metabolisme otak dan sediaan
untuk dermatologi.
Over prescribing juga didefinisikan sebagai pemberian obat baru dan mahal padahal
tersedia obat lama yang lebih murah yang sama efektif dan sama amannya, pengobatan
sistematik untuk keluhan ringan sehingga dana untuk penyakit yang berat tersedot, atau
penggunaan obat dengan nama dagang walaupun tersedia obat generik yang sama baiknya.

2. under prescribing
Yaitu tidk memberikan obat yang diperlukan, dosis tidak mencukupi, atau pengobatan
yang teralu singkat.

3. incorect prescribing
Yaitu obat yang diberikan untuk diagnosis yang keliru, obat untuk suatu indikasi
tertentu tidak tepat, penyediaan (di apotek, rumah sakit) salah , atau tidak disesuaikan dengan
kondisi medis, genetik, lingkungan, faktor lain yang ada pada saat itu.

4. use of inneffective or harmful drugs


Misalnya lebih memilih ibuprofen dibandingkan paracetamol untuk antipiretik pada
nyeri kepala.

5. polypharmacy
Yaitu penggunaan dua atau lebih obat padahal sutu obat sudah mencukupi atau
pengobatan setiap gejala secara terpisah padahal pengobatan terhadap penyakit primernya
sudah dapat mengatasi semua gejala.

CONTOH PEMILIHAN OBAT YANG TIDAK RASIONAL


- Memilih obat yang lebih mahal
- Injeksi analgetik + antihistamin/kortikosteroid untuk semua keluhan
- Kombinasi antiinflamasi non steroid (AINS) + misoprostol/H 2 bloker, pada orang
yang tidak beresiko terkena ESO AINS
- Pemberian antibiotika untuk semua penderita diare
- Pemberian antimikroba selama 3 hari, termasuk untuk infeksi jamur
- Memilih ampicillin dibanding amoxixilin untuk diberikan secara oral
- Kombinasi antimikroba + antifungi + antiinflamasi

YANG BERTANGGUNG JAWAB RDT


- Produsen/industri farmasi
- Profesional kesehatan (Dokter, apoteker, dokter gigi, dan para medis)
- Controllers (yang merumuskan kebijakan dan regulasi tentang obat)
- Patient as consumer (konsumen)

TOLOK UKUR RDT DI SUATU NEGARA MENURUT WHO


- Adakah DOEN dalam suatu negara?
- Berapa % obat tergolong DOEN yang digunakan?
- Adakah pendidikan yang sistematis dan berkelanjutan tentang obat pada tenaga
kesehatan?
- Adakah sistem yang berjalan dengan baik yang bertugas memberikan informasi
tentang obat yang objektif dan teratur baik melalui media informasi atau secara
langsung?

BEBERAPA FAKTA DI INDONESIA YANG DAPAT MENGHAMBAT RDT


- 90% dokter didatangi medical refresentatif (medrep)
- Informasi obat sebagian besar datang dari industri farmasi
- Semakin sering didatangi medical refresentatif, semakin “tidak mampu” menulis
resep
- Adanya kegiatan “terapeutic educator” dari seorang pakar klinik atau klinisi padahal
promosi
- Kebanyakan seminar “obat dan terapetik” disponsori oleh industri farmasi
- Adanya kontak antara beberapa industri farmasi dengan rumah sakit (RS)
- Sulit untuk “menyatukan” dokter dan profesional kesehatan lainnya untuk
menggunakan obat hasil keputusan bersama seperti yang tercantum dalam DOE,
formularium, panduan terapi dan daftar plafon harga obat (DPHO) yang dikeluarkan
oleh pihak ASKES. Dengan alasan kebebasan !!!
- Banyak apoteker yang bekerja di pelayanan kesehatan beralih profesi sebagai
adsministrator
- Penetapan standar profesi belum berjalan dengan baik

Anda mungkin juga menyukai