Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PESTISIDA

TUGAS MATA KULIAH TOKSIKOLOGI INDUSTRI

Di susun Oleh:

NAMA : Fajar Riski Maydani


NIM : N1A117072
Dosen : Dr. Yusnelti, M.si

PRODI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JAMBI
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-bainya. Makalah ini yang
berjudul ”Peptisida” dan merupakan tugas matakuliah Toksikologi Industri.
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal mengenai motivasi dan kebutuhan.
Adapun isi makalah ini akan terbagi menjadi 4 (tiga) bab pokok, yaitu: Bab I,
Pendahuluan (1) latar belakang, (2) tujuan, (3) rumusan masalah dan (4) Manfaat. Bab
II Tinjauan Pustaka, Bab III Isi, serta Bab IV, Penutup (1) kesimpulan dan (2) saran.
Pembuatan makalah ini tidak akan selesai dengan sebagaimana mestinya bila tidak
ada bantuan pihak lain. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
tersebut. Ucapan terima kasih kami ucapkan khusunya kepada ibu Sr. Yusnelti, M.Si.
sebagai dosen pembimbing matakuliah Toksikologi Industri yang telah memberikan
tugas ini pada kami.
Dalam penulisan makalah ini kami sadari bahwa masihlah tidak sempurna. Jika
dalam penulisan dan penggunaan kata-kata sekiranya masih ada kesalahan, kami
sebagai penulis mohon maaf. Kritik dan saran saudara yang membangun sangatlah
kami harapkan serta semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatian saudara kami ucapkan terima
kasih.

Jambi, November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………… 2
C. Tujuan………………………………………………………………….. 2
D. Manfaat………………………………………………………………… 3

BAB II TINJAUN PUSTAKA


A. Pengertian Pestisida……………………………………………………. 4
B. Dosis Pestisida…………………………………………………………. 4
C. Konsentrasi Pestisida………………………………………………….. 5
D. Keracunan Pestisida…………………………………………………… 5
E. Penyebab Terjadinya Keracunan……………………………………… 6
F. Gejala-gejala Keracunan………………………………………………. 6
G. Pertolongan Pertama Keracunan Pestisida…………………………….. 6

BAB III PEMBAHASAN


A. Sejarah Pestisida……………………………………………………….. 8
B. Penggolongan Pestisida………………………………………………… 8
C. Golongan Kimia Pestisida……………………………………………… 11
D. Toksikokinetik Pestisida……………………………………………….. 15
E. Pengukuran Coliensterase……………………………………………… 18
F. Nanotoksikologi……………………………………………………….. 19
G. Nanopartikel…………………………………………………………… 19

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………. 20
B. Saran…………………………………………………………………… 21

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan pestisida di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan data dari


Kementerian pertanian , terjadi peningkatan jumlah pestisida dari tahun ke
tahun dengan jumlah paling banyak yang digunakan adalah insektisidak
(Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011). Di Indonesia, pada tahun 2014 tercatat
sekitar 1.790 formulasi dan 602 bahan aktif pestisida telah didaftarkan untuk
mengendalikan hama di berbagai bidang komoditif (Komisi Pestisida, 2014).
Menurut data Word Health Organization, pada tahun 2012 terdapat
193.460 orang meninggal di seluruh dunia akibat keracunan pestisida tidak
disengaja, 84% terjadi di Negara berpeghasilan rendah dan menengah. WHO
(2014) mencatat 1-5 juta kasus keracunan terjadi tiap tahun khususnya pada
pekerja pertanian, 80% terjadi di Negara berkembang dengan tingkat kematian
sebesar 5,5% atau sekitar 220.000 jiwa. Berdasarkan data Sentra Informasi
Keracunan Nasional (Sikemas) pada tahun 2016 terdapat 625 kasus keracunan
pestisida di berbagai wilayah Indonesia. Pada tahun 2009 di Kelurahan
Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung, hasil
penelitian kadar cholinesterase dengan tintometer kit, perangkat uji lovibond
menunjukkan seluruh responden mengalami keracunan sedang (Rustia et
al.,2010).
Pestisida memiliki beberapa dampak negative bagi penggunanya. Kontak
langsung terhadap pestisida dapat mengakibatkan keracunan, baik akut
maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, mual,
muntah dan sebagainya, bahkan beberapa pestisida dapat menimbulkan iritasi
kulit dan kebutaan. Keracunan kronis tidak mudah untuk dideteksi karena
efeknya tidak segera dirasakan walaupun akhirnya juga menimbulkan
gangguan (Kurniasih et al., 2013).
Pajanan ringan pestisida jangka pendek dapat menyebabkan iritasi pada
selaput mata atau kulit, namun pajanan ringan jangka panjang berpotensi
menimbulkan berbagai dampak kesehatan, seperti gangguan terhadap sistem
hormone, kegagalan organ dan kematian. Menurut Prijanto (2009), semakin

1
sering petani melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula risiko
keracunanya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan.
Faktor-faktor risiko terjadinya keracunan pestisida anatara lain umur, jenis
kelamin, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, pendidikan, pemakaian alat
pelindung diri, status gizi, dan praktik penanganan pestisida. Menurut Prijanto
(2009), pengetahuan yang rendah, sikap petani yang tidak benar, dan cara
penggunaan petani yang salah adalah penyebab terjadinya keracunanan
pestisida.
Deteksi dini mengenai keracunan pestisida melalui pemeriksaan
cholinesterase perlu dilakukan untuk mencegah tumbulnya gangguan
kesehatan yang kronis dan mematikan. Kadar cholinesterase yang rendah
umumnya terdapat pada seseorang yang mengalami keluhan-keluhan akibat
keracunan pestisida. Pestisida golongan organofosfat dan golongan karbamat
merupakan pestisida yang dapat menghambat aktivitas cholinesterase karena
pestisida tersebut bersifat anti cholinesterase sehungga dapat menurunkan
aktivitas kerja enzim choliterase di dalam tubuh (Budiawan, 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pestisida?
2. Apa pengertian pestisida?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya keracunan pestisida?
4. Apa saja gejala-gejala kercaunan pestisida?
5. Bagaimana pertolongan pertama pada keracunan pestisida?
6. Apa yang dimaksud dengan toksikokinetik pestisida?
7. Apa yang dimaksud dengan pengukuran colienstrease
8. Apa yang dimaksud dengan nanotoksikologi?
9. Apa yang dimaksud dengan nanopartikel?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah pestisida
2. Untuk mengetahui apa itu pestisida
3. Untuk mengetahui yang dimaksud kandungan dosis dalam pestisida
4. Untuk mengetahui konsentrasi pestisida
5. Untuk mengetahui apa itu keracunan pestisida

2
6. Untuk mengetahui penyebab terjadinya keracunan pestisida
7. Untuk mengetahui bagaiman pertolongan pertama pada keracunan
pestisida
8. Untuk mengetahui apa itu toksikokinetik pestisida
9. Untuk mengetahui pengukuran coliensterase
10. Untuk mengetahui apa itu nanotoksikologi
11. Untuk mengetahui apa itu nano partikel

D. Manfaat
1. Manfaat Umum
a. Sebagai gambaran Toksikologi pestisida yang dialami oleh pekerja.
b. Sebagai bahan evaluasi sumber toksikologi pestisida yang terdapat di
dalam maupun luar lingkungan kerja.
c. Sebagai masukan untuk mencegah dan mengendalikan toksikologi
pestisida yang dialami oleh para pekerja guna meningkatkan
produktivitas pekerja.
2. Manfaat Khusus
a. Sebagai sumber pengetahuan mengenai toksikologi pestisida
b. Sebagai Gambaran mengenai jenis, tujuan pengukuran, keracunan
serta cara mengatasi toksikologi pestisida.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pestisida
Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang
berarti hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida
diartikan sebagai pembunuh hama yaitu tungau, tumbuhan pengganggu,
penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri, virus, nematode, siput,
tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan.
Menurut Permenkes RI, No.258/Menkes/Per/III/1992 semua zat
kimia/bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk
membrantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil pertanian, memberantas gulma,
mengatur/merangsang pertumbuhan tanaman tidak termasuk pupuk,
mematikan dan mencegah hama-hama liar pada hewan-hewan piaraan dan
ternak, mencegah/memberantas hama-hama air, memberantas/mencegah
binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat alat
angkutan, memberantas dan mencegah binatang-binatang termasuk serangga
yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu
dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

B. Dosis Pestisida
Dosis adalah jumlah pestisida dalam liter atau kilogram yang digunakan
untuk mengendalikan hama tiap satuan luas tertentu atau tiap tanaman yang
dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih. Ada pula yang mengartikan
dosis adalah jumlah pestisida yang telah dicampur atau diencerkan dengan air
yang digunakan untuk menyemprot hama dengan satuan luas tertentu. Dosis
bahan aktif adalah jumlah bahan aktif pestisida yang dibutuhkan untuk
keperluan satuan luas atau satuan volume larutan. Besarnya suatu dosis
pestisida biasanya tercantum dalam label pestisida.

4
C. Konsentrasi Pestisida
Ada tiga macam konsentrasi yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan
pestisida :
a. Konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif suatu pestisida dalam
larutan yang sudah dicampur dengan air.
b. Konsentrasi formulasi, yaitu banyaknya pestisida dalam cc atau gram
setiap liter air.
c. Konsentrasi larutan atau konsentrasi pestisida, yaitu persentase kandungan
pestisida dalam suatu larutan jadi.

D. Keracunan Pestisida
Keracunan pestisida dapat melalui:
a. Kulit. Merupakan keracunan yang paling umum terjadi karena biasanya
bagian inl yang kurang dilindungi disamping bagian ini mempunyal luas
permukaan yang lebih luas dibanding bagian tubuh lain. Kurangnya alat
kelengkapan perlindungan diri merupakan penyebab keracunan yang
melalui kulit. Seringkali dilihat bahwa seseorang yang sedang
mengaplikasikan pestisida di lapangan hanya mengenakan kaos singlet dan
celana pendek. ini sangat berbahaya karena hingga saat ini belum ada
teknik yang sang at aman agar pestisida tidak mengenai tubuh
penggunaan.
b. Pemapasan. Aplikasi pestisida yang bekerja secara fumigan merupakan
bahaya yang sang at besar, namun demikian aplikasi dalam bentuk
cairanpun tidak menutup kemungkinan akan tetap berbahaya. Tidak
digunakannya masker akan sangat memungkinkan terjadinya keracunan
lewan pemapasannya ini.
c. Mulut. Mungkin secara sengaja sanga! jarang terjadi kecuali dalam kondisi
tertentu. Namun demikian secara tidak sengaja atau boleh dikatakan akibat
kelalaian atau kecerobohan hal inl sering kali terjadi. Pengadukan dengan
tangan selain teljadi keracunan melalui kulit juga bisa sebagai penyebab
keracunan lewat mulut Seringkali dmhat ketika seseorang sedang bekerja
dengan pestisida melakukan aktivitas lain seperti makan, minum dan
merokok.

5
d. Mata. Penggunaan kaca mata sangat dianjurkan jika bekerja dengan
pestisida karena bahaya akibat perubahan arah angin dan sebagainya
sangat mungkin teljadi tiba-tiba di iapangan.

E. Penyebab Terjadinya Keracunan Pestisida


a. Pengetahuan tentang pestisida yang minim. Ini seringkali terjadi karena
masyarakat menilai bahwa pestisida adalah bahan biasa yang hanya dapat
mematikan hama tanaman. Pertu upaya yang sistematis agar mereka
menyadari behwa pestis ida adalah zat beracun yang sangat mematikan
yang dapa! mengenai dirinya dan juga orang lain.
b. Kondisi kesehatan. Kadangkala kondisi lemah sangat mendorong
terjadinya keracunan. Kondisi lemah memungkinkan seseorang akan
kehilangan konsentrasi dalam bekerja sehingga jika berkerja dengan
pestisida hal in; akan sangat berbahaya. Kondisi lemah juga akan sangat
mendorong keracunan lebih parah jika seseorang terkena pestisida.
c. Kecerobohan. Hal in; sering terjadi di masyarakat karena dapat disebabkan
karena ketidaktahuan mereka atau karena mereka merasa sudah biasa dan
tidak terjadi apa-apa pada saat terjadi suatu kecelakaan. Hendaknya tetap
pestisida dipertakukan secara benar sesuai dengan sifat dan kegunaannya.
d. Kecelakaan. Mungkin in; kasus yang lain sehingga perJu penanganan yang
lebih cermat dan hendaknya dibawa ke dokter jika kecelakaan yang terjadi
telah terkategori parah.

F. Gejala-gejala Keracunan Pestisida


Adapun gejala-gejala keracunan adalah lesu dan lekas lelah, sa kit kepala,
pusing, perut mual, kejang-kejang, muntah-muntah, badan terasa gemetar,
pandangan kabur, mengeluarkan air liur bertebihan, kesulitan bernapas, mata
terasa gatal, diare, dan pingsan. Tentunya ini sangat tegantung dengan kondisi
awal pengguna dan tingkat keracunan yang terjadi.

G. Pertolongan Pertama Keracunan Pestisida


Beberapa teknik pemberian pertolongan atau tips jika terjadi keracunan akibat
pestlsida diantaranya:
1. Jika pestisida tertelan

6
 Usahakan pemuntahan
 Berikan karbon aktif (norit)
 Bawa ke dokter dan berikan informasi tentang terjadinya keracunan.
2. Jika pestisida terkena kulit
 Bersihkan sesegera mungkin bagian yang terkontaminasi
 Gunakan sabun dan bilas berulang-ulang
3. Jika pestisida terkena mata
 Cuci segera mata pada air mengalir
 Tutup mata dengan kain bersih
 Jika masih terasa sakit, ke dokter
4. Jika pestisida lewat pemapasan
 Jauhi sumber racun
 Kendorkan pakaian untuk pemapasan
 bila sudah tergolong gawat segera bawa ke dokter

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Petisida
Pestisida terbagi atas tiga bagian yaitu pertama pestisida organic alamiah
atau disebut pestisida botanik, kedua yaitu pestisida organik biologi dan yang
ketiga yaitu pestisida organik sintesis yang merupakan senyawa kimia sintetik
yang sangat beracun. Pada tahun 1763 pestisida yang dipergunakan adalah
pestisida organik yaitu menggunakan nikotin dari tembakau yang berfungsi
sebagai insektisida.
Pada abad ke 19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum
yang diekstrak dari chrysantheum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba
Derris eliptica. Paul Herman Muller menemukan DDT yang sangat efektif
sebagai insektisida. Organoklorin menjadi dominan, namun segera digantikan
oleh organofosfat dan karbamat pada tahun 1975 di negara maju. Senyawa
piretrin menjadi insektisida dominan. Herbisida berkembang dan mulai
digunakan secara luas pada tahun 1960an dengan triazin dan senyawa berbasis
nitrogen lainnya, asam karboksilat, dan glifosat. Pada tahun 1960an,
ditemukan bahwa DDR menyebabkan berbagai burung pemakan ikan tidak
bereproduksi, yang menjadI masalah serius bagi keanekaragaman hayati.
Penggunaan DDT dalam pertanian kini dilarang dalam Konvensi Stockholm,
namun masih digunakan di beberapa negara berkembang untuk mencegah
malaria dan penyakit tropis lainnya dengan menyemprotkannya ke dinding
untuk mencegah kehadiran nyamuk.

B. Penggolongan Pestisida
1. Penggolongan berdasarkan bahan asal
a. Pestisida organic alam, misalnya dari tanaman nimba dan tembakau.
b. Pestisda organic sinetik seperti klor-organik, fosfat organic, karbamat.
c. Pestisida an-organik seperti asefat, tembaga sulfat.
d. Pestisida mikroba seperti bakteri bacillus thuringiensis Berliner.

2. Pestisida biasanya dikelompokkan berdasarkan penggunaannya dan sifat


kimianya. Kelompok utama pestisida adalah sebagai berikut:

8
a. Insektisida

Insektisida merupakan kelompok pestisida yang besar dan terdiri


atas beberapa subkelompok kimia yang berbeda Organofosfat.
Insektisida ini adalah ester asam fosfat dan tiofosfat seperti diklorvos
dan paration. Mereka bekerja menghambat asetikolinesterase (AchE),
mengakibatkan akumulasi asetilkolin (Ach). ACh yang berlebihan
menyebabkan berbagai jenis simtom dan tanda-tanda. Beratnya gejala
kurang lebih berkorelasi dengan tingkat penghambatan kolinesterase
dalam darah, tetapi hubungan yang tepat tergantung pada senyawanya.
Selain paration dan diklorvos, pestisida lain dalam kelompok ini adalah
Gution, diazinon, Dipterex, Karbamat.

Kelompok ini merupakan ester asam N-Metilkarbamat. Zat ini juga


bekerja menghambat AChE. Tetapi pengaruhnya terhadap enzim
tersebut jauh lebih reversibel daripada efek organofosfat. Contohnya
adalah karbaril (Sevin), aldikarb (Temik), karbofuran, metomil,
propoksur (Baygon). Selain itu tanda-tanda toksisitas karbamat muncul
lebih cepat, karbamat lebih aman daripada organofosfat. Organoklorin.
Insektisida ini meliputi turunan etana berklor, siklodien, dan
heksaklorosiklo-heksan. Contohnya adalah DDT yang pernah
dipergunakan secara luas dalam pertanian dan program kesehatan.
DDT dipergunakan karena toksisitas akutnya relatif rendah dan mampu
bertahan lama dalam lingkungan sehingga tidak perlu disemprotkan
berulang kali. Tetapi kemampuannya bertahan dalam lingkungan
belakangan dianggap sebagai suatu kekurangan bukan kelebihan.
Insekstisida tanaman dan insektisida lain. Insektisida ini antara lain
adalah nikotin dari tembakau. Zat ini sangat toksik secara akut dan
bekerja pada susunan saraf. Selain itu banyak mikroorganisme
diketahui bersifat patogen terhadap serangga.

b. Herbisida
Ada beberapa jenis herbisida yang toksisitasnya pada hewan belum
diketahui dengan pasti.

9
c. Fungisida
Senyawa merkuri, misalnya metil dan etilmerkuri merupakan fungisida
yang sangat efektif dan telah dipergunakan secara luas untuk
mengawetkan butir padi-padian. Tetapi beberapa kecelakaan tragis
yang meyebabkan banyak kematian dan kerusakan neurologi menetap
terjadi akibat penggunaannya. Karena adanya fakta ini, bahan kimia
tersebut kini tidak digunakan lagi.

d. Rodentisida
Pestisida jenis ini antara lain rodentisida organik seperti zink fosfid,
talium sulfat, arsenik trioksid, dan unsur fosfor yang bekerja melalui
mekanisme yang berbeda. Rodentisida bekerja untuk mengendalikan
hewan pengerat dan kurang toksik bagi manusia.

e. Fumigan
Kelompok pestisida ini mencakup beberapa gas, cairan yang mudah
menguap, dan zat padat yang melepaskan berbagai gas lewat reaksi
kimia. Dalam bentuk gas zat-zat ini menembus daerah penyimpanan
dan tanah untuk mengendalikan serangga, hewan pengerat, dan
nematoda tanah.

3. Sebagian besar insektisida merupakan bahan kimia sintetik dengan


penggolongan berdasarkan bahan aktif yaitu:
1. Golongan chlorinated hydrocarbon (DDT)
2. Golongan organofosfat (sebagai contoh: Parathion yang dipasarkan
dengan nama generik dan nama dagang Abate, azinphosmethyl
(Guthion), Carbophenothion (Trithion), Chlorpiryfos (Dursban),
demeton (Systax), Diazinon, Dicapthon (DiCaptan) dan lain-lain.
3. Golongan karbamat, seperti: Carbaryl (Sevin), Aldicarb (Temik),
carbofuran (Furadan), fometanate HCL (carsol), metalkamate (Bux)
dan methomyl (Lannate) Penggunaan dalam bidang pertanian sangat
banyak jenis pestisida yang digunakan dengan beberapa jenis pestisida
yang terbanyak digunakan adalah sebagai berikut:
1. Insektisida (Insecticides)
2. Fungisida (Fungicides)

10
3. Herbisida (Herbicides)
4. Acarisida (Acaricides)
5. Larvasida (Larvacides)
6. Mitisida (Miticides)
7. Molusida (Molluscides)
8. Pembunuh kutu (Pediculicides)
9. Scabisida (Scabicides)
10. Attractans (pheromons)
11. Defoliants
12. Pengatur pertumbuhan tanaman (Plant Grow Regulator)
13. Pengusir serangga (Repellants)

World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan pestisida atas


dasar toksisitas dalam bentuk formulasi padat dan cair.
1. Kelas IA : amat sangat berbahaya
2. Kelas IB : Amat Berbahaya
3. Kelas II : Cukup berbahaya
4. Kelas III : Agak Berbahaya

C. Golongan Kimia Pestisida


1. Golongan Organoklorin.
Pestisida golongan organoklorin merupakan pestisida yang sangat
berbahaya sehingga pemakainnya sudah banyak dilarang. Sifat pestisida
ini yang volatilitas rendah, bahan kimianya yang stabil, larut dalam lemak
dan bitransformasi serta biodegradasi lambat menyebabkan pestisida ini
sangat efektif untuk membasmi hama, namun sebaliknya juga sangat
berbahaya bagi manusia maupun binatang oleh karena persitensi pestisida
ini sangat lama di dalam lingkungan dan adanya biokonsentrasi dan
biomagnifikasi dalam rantai makanan.Organoklorin atau disebut
“Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang
diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling popular dan pertama
kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyl trichloroethan” atau disebut
DDT.
a. Toksisitas tinggi (extremely toxic): Endrine (Hexadrine)

11
b. Toksisitas sedang (moderate toxic): Aldrine, Dieldrin, DDT, Benzene,
Brom Hexachloride (BHC), Chlordane, Heptachlor, dan sebagainya.

2. Golongan organonosfat
Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates,
phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan
phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat dari
phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang
belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya
berhubungan erat dengan gas syaraf. Organofosfat senyawa kimia ester
asam fosfat yang terdiri atas 1 molekul fosfat yang dikelilingi oleh 2 gugus
organik (R1 dan R2) serta gugus (X) atau leaving group yang tergantikan
saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin. Gugus X merupakan bagian
yang paling mudah terhidrolisis. Gugus R dapat berupa gugus aromatik
atau alifatik. Pada umumnya gugus R adalah dimetoksi atau dietoksi.
Sedangkan gugus X dapat berupa nitrogen , fluorida, halogen lain dan
dimetoksi atau
dietoksi .
Dalam perkembangannya dikembangkan parathion (O,O-diethyl O-p-
nitrophenyl phosphorothioate dan oxygen analog paraoxon (O,O diethyl-
O-p-nitrophenyl phosphate). Parathion digunakan sebagai pengganti DDT,
namun efek toksik yang diakibatkan ternyata hampir sama dengan DDT
sehingga pemakaiannya mulai dilarang. Meskipun dua jenis pestisida ini
memiliki struktur yang berbeda di alam, namun efek toksik yang
diakibatkannya identik yang ditandai dengan adanya penghambatan
asetilkolinesterase (acethylcholinesterase=AChE), enzyme yang
bertanggung jawab untuk inhibisi dan destruksi aktivitas biologic dari
neurotransmitter acethylcholine (ACh). Pada keracunan pestisida
golongan ini akan terjadi akumulasi ACh yang bebas dan tidak terikat pada
ujung persarafan dari saraf kolinergik, sehingga terjadi stimulasi aktivitas
listrik yang kontinyu. Pestisida organofosfat yang banyak digunakan
antara lain :
a. Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk
mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti

12
aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok
daun dan wereng.
b. Kadusafos, merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan
racun perut.
c. Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat
nonsistemik serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan
efek residu yang panjang.
d. Klorpirifos, merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun
1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi.
e. Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non
sistemik untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera.
f. Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon
merupakan insektisida dan akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai
racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga
diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment).
g. Diklorvos (DDVP), dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955.
Insektisida dan akarisida ini bersifat non-sistemik, bekerja sebagai
racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi. Diklorvos memiliki efek
knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang
pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah tangga.
h. Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupaka
proinsektisida yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah
menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Insektisida dan
akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun
lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga
digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan
vektor penyakit.
i. Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida
pertama yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis
berdasarkan lead-structure yang disarankan oleh G. Schrader. Paration
merupakan insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai
racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik,
serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi.
Paration termasuk insektisida yang sangat beracun.

13
j. Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-
sistemik ini memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos
digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama (terutama
Lepidoptera) dan tungau.
k. Triazofos, ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan
insektisida, akarisida, dan nematisida berspektrum luas yang bekerja
sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos bersifat non-sistemik,
tetapi bias menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar)
dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan
tungau.

3. Gologan Karbamat
Insektisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja
dengan cara menghambat asetilkolinesterase (AChE). Jika pada golongan
organofosfat hambatan tersebut bersifat irreversible (tidak dapat dipulihkan),
pada karbamat hambatan tersebut bersifat reversible (dapat dipulihkan).
Pestisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan (tidak
persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Karbamat juga
merupakan insektisida yang banyak anggotanya.
Beberapa jenis insektisida karbamat antara lain.
a. Aldikarb, merupakan insektisida, akarisida, serta nematisida sistemik yang
cepat diserap oleh akar dan ditransportasikan secara akropetal. Aldikarb
merupakan insektisida yang paling toksik.
b. Benfurakarb, merupakan insektisida sistemik yang bekerja sebagai racun
kontak dan racun perut serta diaplikasikan terutama sebagai insektisida
tanah.
c. Karbaril, merupakan karbamat pertama yang sukses di pasaran. Karbaril
bertindak sebagai racun perut dan racun kontak dengansedikit sifat
sistemik. Salah satu sifat unik karbaril yaitu efeknya sebagai zat pengatur
tumbuh dan sifat ini digunakan untuk menjarangkan buah pada apel.
d. Fenobukarb (BPMC), merupakan insektisida non-sistemik dengan kerja
sebagai racun kontak. Nama resmi insektisida ini adalah fenobukarb, tetapi
di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC yang merupakan singkatan dari
nama kimianya, yaitu buthylphenylmethyl carbamate.

14
e. Metiokarb, nama umum lainya adalah merkaptodimetur. Insektisida ini
digunakan sebagai racun kontak dan racun perut.
f. Propoksur, merupakan insektisida yang bersifat non-sistemik dan bekerja
sebagai racun kontak serta racun lambung yang memiliki efek knock down
sangat baik dan residu yang panjang. Propoksur terutama digunakan
sebagai insektisida rumah tangga (antara lain untuk mengendalikan
nyamuk dan kecoa), kesehatan masyarakat, dan kesehatan hewan.

D. Toksikokinetik Peptisida
1. Cara masuk pestisida ke dalam tubuh
Kontaminasi lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering
terjadi, meskipun tidak seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih
dari 90% kasus keracunan diseluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi
lewat kulit. Faktor risiko kontaminasi lewat kulit dipengaruhi oleh daya
toksisitas dermal, konsentrasi, formulasi, bagian kulit yang terpapar dan
luasannya, serta kondisi fisik individu yang terpapar. Risiko keracunan
semakin besar jika nilai lethal dose 50 (LD50) semakin kecil, konsentrasi
pestisida yang menempel pada kulit semakin pekat, formulasi pestisida
dalam bentuk yang mudah diserap, kulit yang terpapar lebih mudah
menyerap seperti punggung tangan, area yang terpapar luas serta jika
kondisi sistem kekebalan individu sedang lemah. Pekerjaan- pekerjaan
yang menimbulkan risiko kontaminasi lewat kulit umumnya adalah
penyemprotan, pencampuran pestisida dan proses pencucuian alat-alat
kontak pestisida.
Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung
merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Gas dan
partikel semprotan yang sangat halus (misalnya, kabut asap dari fogging)
dapat masuk kedalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan
menempel di selaput lendir hidung atau di kerongkongan. Bahaya
penghirupan pestisida lewat saluran pernapasan juga dipengaruhi oleh LD
50 pestisida yang terhirup dan ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida.
Pestisida berbentuk gas yang masuk ke dalam paru-paru dan sangat
berbahaya. Partikel atau droplet yang berukuran kurang dari 10 mikron
dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50

15
mikron mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat menimbulkan
gangguan pada selaput lendir hidung dan kerongkongan. Toksisitas
droplet/gas pestisida yang terhisap ditentukan oleh konsentrasinya di
dalam ruangan atau di udara, lamanya paparan dan kondisi fisik individu
yang terpapar. Pekerjaan yang menyebabkan terjadinya kontaminasi lewat
saluran pernafasan umumnya pekerjaan yang terkait dengan penyemprotan
lahan pertanian, fogging atau alat pembasmi serangga domestik.
Cara yang ketiga adalah intake lewat mulut (oral). Peristiwa keracunan
lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi dibandingkan kontaminasi
kulit atau keracunan karena terhirup. Contoh oral intake misalnya kasus
bunuh diri, makan minum merokok ketika bekerja dengan pestisida,
menyeka keringat dengan sarung tangan atau kain yang terkontaminasi
pestisida, drift atau butiran pestisida yang terbawa angin masuk ke mulut,
meniup nozzle yang tersumbat dengan mulut, makanan dan minuman
terkontaminasi pestisida.

2. Patofisiologi paparan pestisida


Pestisida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara, diantaranya
absorpsi melalui kulit, melalui oral baik disengaja atau kecelakaan, dan
melalui pernafasan. Absorbsi lewat kulit atau subkutan dapat terjadi jika
substansi toksik menetap di kulit dalam waktu lama. Intake melalui saluran
pernafasan terjadi jika pemaparan berasal dari droplet, uap atau serbuk
halus. Pestisida meracuni manusia melalui berbagai mekanisme kerja.
a. Mempengaruhi kerja enzim dan hormon. Bahan racun yang masuk
kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator sehingga enzim atau
hormon tidak dapat bekerja. Pestisida tergolong sebagai endocrine
disrupting chemicals (EDCs), yaitu bahan kimia yang dapat
mengganggu sintesis, sekresi, transport, metabolisme, pengikatan dan
eliminasi hormon-hormon dalam tubuh yang berfungsi menjaga
homeostasis, reproduksi dan proses tumbuh kembang.
b. Merusak jaringan. Masuknya pestisida menginduksi produksi
serotonin dan histamin, hormon ini memicu reaksi alergi dan dapat
menimbulkan senyawa baru yang lebih toksik (Bolognesi, 2003).
Beberapa sumber juga mengatakan patofisiologi pestisida:

16
a. Organoklorin
Pestisida organoklorin, seperti DDT , Aldrin , dan dieldrin sangat kuat
dan terakumulasi dalam jaringan lemak. Melalui proses bioakumulasi
(jumlah yang lebih rendah di lingkungan bertambah besar berurutan naik
seiring rantai makanan), sejumlah besar organoklorin dapat terakumulasi
dalam spesies atas seperti manusia. Ada bukti substansial yang
menunjukkan bahwa DDT, dan perusahaan metabolit DDE mengganggu
fungsi hormon estrogen, testosteron, dan hormon steroid lainnya.
b. Anticholinesterase compounds
Beberapa jenis organofosfat tertentu telah lama diketahui memiliki
efek toksisitas delayed onset pada sel-sel saraf, yang sering kali bersifat
ireversibel. Beberapa studi telah menunjukkan defisit terus-menerus
dalam fungsi kognitif pada pekerja terpajan terhadap pestisida. Bukti
Baru menunjukkan bahwa pestisida dapat menyebabkan neurotoksisitas
perkembangan pada dosis yang lebih rendah dan tanpa depresi kadar
cholinesterase di plasma. Pestisida dapat masuk kedalam tubuh manusia
melalui berbagai cara yakni melalui kontaminasi memalui kulit (dermal
Contamination), terhisap masuk kedalam saluran pernafasan (inhalation)
dan masuk melalui saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral).
Senyawa-senyawa OK (organokhlorin, chlorinated hydrocarbons)
sebagian besar menyebabkan kerusakan pada komponen-komponen
selubung sel syaraf (Schwanncells) sehingga fungsi syaraf terganggu.
Keracunan dapat menyebabkan kematian atau pulih kembali. Kepulihan
bukan disebabkan karena senyawa OK telah keluar dari tubuh tetapi
karena disimpan dalam lemak tubuh. Semua insektisida OK sukar terurai
oleh faktor-faktor lingkungan dan bersifat persisten, Mereka cenderung
menempel pada lemak dan partikel tanah sehingga dalam tubuh jasad
hidup dapat terjadi akumulasi, demikian pula di dalam tanah. Akibat
keracunan biasanya terasa setelah waktu yang lama, terutama bila dosis
kematian (lethal dose) telah tercapai. Hal inilah yang menyebabkan
sehingga penggunaan OK pada saat ini semakin berkurang dan dibatasi.
Efek lain adalah biomagnifikasi, yaitu peningkatan keracunan
lingkungan yang terjadi karena efek biomagnifikasi (peningkatan
biologis) yaitu peningkatan daya racun suatu zat terjadi dalam tubuh

17
jasad hidup, karena reaksi hayati tertentu. Semua senyawa
OF(organofosfat,o rganophospates) dan KB (karbamat,carbamates)
bersifat perintang ChE (ensimcho line esterase), ensim yang berperan
dalam penerusan rangsangan syaraf. Keracunan dapat terjadi karena
gangguan dalam fungsi susunan syaraf yang akan menyebabkan
kematian atau dapat pulih kembali. waktu residu dari OF dan KB ini
tidak berlangsung lama sehingga keracunan kronis terhadap lingkungan
cenderung tidak terjadi karena faktor-faktor lingkungan mudah
menguraikan senyawa-senyawa OF dan KB menjadi komponen yang
tidak beracun. Walaupun demikian senyawa ini merupakan racun akut
sehingga dalam penggunaannya faktor-faktor keamanan sangat perlu
diperhatikan. Karena bahaya yang ditimbulkannya dalam lingkungan
hidup tidak berlangsung lama, sebagian besar insektisida dan sebagian
fungisida yang digunakan saat ini adalah dari golongan OF dan KB.
Parameter yang digunakan untuk menilai efek keracunan pestisida
terhadap mamalia dan manusia adalah nilai LD50 (lethal dose 50 %)
yang menunjukkan banyaknya pestisida dalam miligram (mg) untuk tiap
kilogram (kg) berat seekor binatang-uji, yang dapat membunuh 50 ekor
binatang sejenis dari antara 100 ekor yang diberidose tersebut. Yang
perlu diketahui dalam praktek adalah LD50 akut oral (termakan) dan
LD50 akut dermal (terserap kulit). Nilai-nilai LD50 diperoleh dari
percobaan-percobaan dengan tikus putih. Nilai LD50 yang tinggi (di atas
1000) menunjukkan bahwa pestisida yang bersangkutan tidak begitu
berbahaya bagi manusia. LD50 yang rendah (di bawah 100)
menunjukkan hal sebaliknya.

E. Pengukuran Colinesterase
Pengukuran aktivitas enzim cholinesterase darah diawali dengan adanya
test reagen untuk mengontrol reagen dan menentukan waktu tunggu dengan
cara mencampurkan 0,5 ml indikator BTB dan 0,01 ml substrat di dalam
curvet berukuran 2,5 mm, diletakkan dalam comparator sebelah kanan
sedangkan disebelah kiri berisi 0,01 ml darah dan 1 ml aquadest, kemudian
langsung dilakukan pembacaan pada comparator disc, setelah dilakukan tets
reagen, disediakan deretan tabung reaksi yang jumlahnya sesuai dengan

18
jumlah pasien. Tiap tabung diisi 0,5 ml indikator, 0,01 ml darah orang normal,
0,5 substrat achetylcholine, kemudian ditutup dengan karet, dicampur pelan-
pelan dan ditunggu selama 18,5 menit. Setelah 18,5 menit, masukkan
campuran dalam curvet dan dibaca dalam comparator disc, biasanya sekitar
87,5%-100%. Hasil yang diperoleh kemudian diinterpretasikan.

F. Nanotoksikologi
Disiplin ilmu yang melibatkan studi tentang bahaya aktual atau potensial
yang disajikan oleh efek berbahaya dari partikel nano pada organisme hidup
dan ekosistem, hubungan seperti efek berbahaya untuk eksposur, dan
mekanisme aksi, diagnosis, pencegahan dan pengobatan intoxications.

G. Nanopartikel
Nanopartikel sendiri didefinisikan sebagai partikel dengan ukuran
diameter dari 1 sampai 100 nm atau beberapa literatur mendefinisikan <100
nm (10-7 m) dalam sedikitnya satu dimensi, ukuran non partikel yang sangat
kecil ini mempunyai keuntungan dan kerugiannya sendiri, disatu sisi paparan
nonpartikel dapat berakibat berbahaya terhadap kesehatan karena ukuran
kecilnya memungkinkan interaksi untik dengan sel tubuh dan menyebar secara
sistematik dibanding partikel dengan ukuran besar, namun disisi lain,
berpotensi besar untuk dimodifikasi sifatnya menjadi partikel pembawa obat,
alat diagnostik dan terapi untuk sel target spesifik dalam tubuh.

19
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang
berarti hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida
diartikan sebagai pembunuh hama yaitu tungau, tumbuhan pengganggu,
penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri, virus, nematode, siput,
tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan.
Pada abad ke 19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum
yang diekstrak dari chrysantheum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba
Derris eliptica. Paul Herman Muller menemukan DDT yang sangat efektif
sebagai insektisida. Organoklorin menjadi dominan, namun segera digantikan
oleh organofosfat dan karbamat pada tahun 1975 di negara maju.
Faktor-faktor risiko terjadinya keracunan pestisida anatara lain umur, jenis
kelamin, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, pendidikan, pemakaian alat
pelindung diri, status gizi, dan praktik penanganan pestisida. Menurut Prijanto
(2009), pengetahuan yang rendah, sikap petani yang tidak benar, dan cara
penggunaan petani yang salah adalah penyebab terjadinya keracunanan
pestisida.
Pestisida memiliki beberapa dampak negative bagi penggunanya. Kontak
langsung terhadap pestisida dapat mengakibatkan keracunan, baik akut
maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, mual,
muntah dan sebagainya, bahkan beberapa pestisida dapat menimbulkan iritasi
kulit dan kebutaan. Keracunan kronis tidak mudah untuk dideteksi karena
efeknya tidak segera dirasakan walaupun akhirnya juga menimbulkan
gangguan.

20
B. Saran
Melalui makalah ini kami berharap agar pembaca senantiasa
memperhatikan bahaya-bahaya yang ada di sekeliling lingkungan tempat
tinggal maupun lingkungan tempat kerja. Contohnya saja mengetahui
penyebab dari faktor resiko yang disebabkan oleh paparan pestisida yang
dapat mempengaruhi kesehatan kita. Serta mengetahui penyakit yang bisa
ditimbulkan karena terpapar pestisida yang berlebihan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Budiawan AR. 2013.Faktor Risiko Cholinesterase Rendah Pada Petani Bawang


Merah. Jurnal Kesehatan Mayarakat. Semarang : Universitas Negeri Semarang. 8(2) :
198-206.

David Weir & Mark Schapiro. 1985. Lingkaran Racun Pestisida. Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan.

Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar.
Terjemahan oleh Yoke R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Terjemahan oleh Edi Nugroho. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Komisi Pestisida. 2014. Pedoman Teknis Kajian Pestisida Terdaftar dan Beredar TA
2014. Direktorat Jendral dan sarana Pertanian.
Kurniasih SA, Setiani O, Nugraheni SA. 2013. Faktor Terkait Paparan Pestisida dan
Hubungannya dengan Kejadian Anemia Pada Petani Hortikultura di Desa Gombong
Belik Pemalang Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Semarang : Universitas
Diponegoro. 12(2): 132-137.
Prijanto TB. 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat Pada
Keluarga Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro. 8(2):73-78.
Rustia AQW. 2016. Hubungan Higiene Perorangan dan Cara Penyemprotan Pestisida
Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Pada Petani di Desa Kembang Kuning
Kecamatan Cepogo. Publikasi Ilmiah. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Sentra Informasi Keracunan, Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah
Sakit, Sentra Informasi Keracunan DitJen POM Depkes RI, Jakarta, 2001.

22

Anda mungkin juga menyukai