Anda di halaman 1dari 26

PAPER TEKNOLOGI TEPAT GUNA

BIOPESTISIDA

Mata Kuliah / SKS : Teknologi Tepat Guna / 2


Dosen Pengampu: Fahmi Arifan, S.T, M.Eng

Disusun Oleh :

Palupi Diah Utami 40040119650015

PRODI S1 TERAPAN TEKNOLOGI REKAYASA KIMIA INDUSTRI


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI
SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan rasa puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
segala limpahan rahmat, karunia serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Paper
Teknologi Tepat Guna ini tepat pada waktunya. Paper Teknologi Tepat Guna yang berjudul
“Biopestisida” ini kami susun untuk memenuhi tugas Teknologi Tepat Guna. Tentunya tak
lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya tugas ini, maka dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima
kasih kepada:

1. Bapak Fahmi Arifan, ST, M.Eng selaku dosen pengampu mata kuliah Teknologi
Tepat Guna yang sudah memberikan pelajaran mengenai materi biopestisida ini.
2. Teman – teman TRKI A yang selalu memberikan masukan dalam menyelesaikan
tugas makalah ini

Tak ada gading yang tak retak, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
memiliki banyak kekurangan. Meskipun kami telah mengerahkan segala kemampuan untuk
lebih teliti, tetapi kami masih merasakan adanya kekurangan-kekurangan dalam penyusunan
Makalah Praktikum Kimia Fisika ini. Untuk itu, kami selalu mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi selangkah lebih maju. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembacanya.

Semarang, 29 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI…………………………………………………..……………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………..…..1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….……………..1

1.3 Tujuan……………………………………………………………...……………………..2

1.4 Manfaat…………………………………………………………………….……………..2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………..………………………...3

2.1 Pengertian Biopestisida…………………………………………..……………………….3

2.2 Jenis Jenis Biopestisida………………………………………………………………...…3

2.2.1 Berdasarkan asalnya……………………………………………………………..…3

2.2.2 Berdasarkan jenis sumbernya………………………………………..……………..4


2.3 Manfaat Biopestisida……………………………………………………………………...5

2.5 Organisme Penganggu Tanaman………………………………………………………….5

2.6 Peranan Biopestisida…………………………………………………………………...…6

2.7 Keunggulan dan Kelemahan Biopestisida………………………………….…………….6

BAB III METODOLOGI…………..……………………………………………………….7

3.1 Bahan yang digunakan…………........................................................................................8

ii
3.2 Alat yang digunakan……………………………………………………………………...8

3.3 Cara pembuatan…………………………………………………………………………...9

3.3.1 Preparasi Sampel…………………………………………………………………...9

3.3.2 Ekstraksi Daun Sirsak………………………………………………………………9

3.3.3 Pembuatan Larutan……………………………………………………………………...9

3.3.4 Identifikasi Gugus Fungsi Crude Ekstrak……………………………………………..10

3.3.5 Uji Insektisida…………………………………………………………………………10

BAB IV PEMBAHASAN…………………………………………………………………..11

4.1 Hasil Percobaan………………………………………………………………………….11

4.2 Prospek Usaha atau Bisnis Biopestisida………………………………………………...15

BAB V PENGEMBANGAN BIOPESTISIDA…………………………………………..17

5.1 Pengembangan Biopeptisida di Indonesia……………………………………………... 17

BAB VI PENUTUP…………………………………………………..…………………….18

6.1 Kesimpulan……………………………………………………………….……………..18

6.2 Saran………………………………………………………………………….………….19

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adanya organisme pengganggu tanaman atau hama menimbulkan kerusakan


serta kerugian pada tanaman atau hasil olahannya. Banyak petani memakai pestisida
kimia untuk mengurangi kerusakan tanaman tersebut, karen lebih cepat memberikan
efek hasil, mudah diaplikasikan dan mudah untuk mendapatkannya. Dalam
perkembangannya, penggunaan pestisida kimia terus menerus dapat menyebabkan
kerusakan pada lingkungan dan memberikan efek negatif pada kesehatan manusia.
Maka dari itu lebih baik menggunakan biopestisida alami dengan cara memanfaatkan
agen pengendali hayati karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis
pestisida kimia. Beberapa keunggulan tersebut adalah aman bagi manusia, dapat
mencegah ledakan hama, produk pertanian yang dihasilkan bebas dari residu pestisida,
menghemat biaya produksi. Dalam paper ini akan dibahas bagaimana cara pembuatan
biopestisida dan perkembangan biopestisida hingga saat ini. Biopestisida juga dapat
menjadi prospek usaha atau bisnis pada sektor industri di Indonesia. Biopestisida
berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk
lainnya (Dalimartha, 2004).
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan suatu
pokok permasalahan yaitu:

1. Apa pengertian biopestisida?

2. Apa jenis jenis biopestisida?

3. Apa manfaat biopestisida?

4. Bagaimana cara pengolahan biopestisida?

5. Bagaimana perkembangan biopestisida?

1
1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah di atas, makalah ini dibuat dengan tujuan:


1. Untuk mengetahui pengertian dari pestisida
2. Untuk mengetahui jenis jenis dari biopestisida
3. Untuk mengetahui fungsi dari biopestisida
4. Untuk mengetahui cara pengolahan biopestisida
5. Untuk mengetahui perkembangan biopestisida

1.4 Manfaat

Makalah ini dibuat dengan manfaat agar dapat menambah wawasan tentang biopestisida
mulai dari pengertian biopestisida, jenis jenis biopestisida, fungsi biopestisida, cara
pengolahan biopestisida, perkembangan biopestisida, manfaat dari biopestisida sendiri
juga dapat menjadi prospek usaha dalam sektor industri di Indonesia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Biopestisida

Biopestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit
pada tumbuhan yang terbuat dari makhluk hidup. Biopestisida adalah bahan yang
berasal dari mahluk hidup seperti tanaman, hewan atau mikroorganisme yang berkhasiat
menghambat pertumbuhan dan perkembangan atau mematikan hama atau organisme
penyebab penyakit. (Meilanisari, 2017). Biopestisida sebagai senyawa organik dan
mikrobia antagonis yang menghambat atau membunuh hama dan penyakit tanaman.
Biopestisida memiliki senyawa organik yang mudah terdegradasi di alam (Sumartini,
2016).

2.2 Jenis Jenis Biopestisida

Biopestisida dilihat dari asalnya atau bahan utamanya dibagi menjadi dua jenis yaitu
pestisida nabati dan pestisida hayati (Meilanisari, 2014).

2.2.1 Berdasarkan asalnya

1. Pestisida nabati
Pestisida nabati merupakan hasil ekstrasi bagian tertentu dari tanaman baik dari
daun, buah, biji atau akar. Contohnya bawang putih, pandan, kemangi, cabe
rawit, tembakau, kunyit, kenikir, daun nimba, serai, lengkuas, daun sirsak,
rimpang sebagai bahan ramuan mengendalikan serangga dan hama wereng.
2. Pestisida hayati
Pestisida hayati adalah merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu
baik berupa jamur, bakteri, maupun virus. Contohnya memakai virus NPV.

3
2.2.2 Berdasarkan jenis sumbernya
Biopestisida pada saat ini dibagi ke dalam 3 jenis (Meilanisari, 2017) yaitu:
1. Herbisida biologi (Bioherbisida)

Contoh dalam bioherbisida adalah engendalian gulma dengan menggunakan


penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang
pertama kali digunakan adalah De Vine dari Phytophthora palmivora yang
digunakan untuk mengendalikan morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk.
Bioherbisida yang kedua dengan menggunakan Colletotrichum gloeosporioides
yang diperdagangkan dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi
dan kedelai di Amerika.

2. Fungisida biologi (Biofungisida)

Biofungisida dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur. Contoh biopestisida


yang digunakan yaitu spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan
penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai. Merek
dagangnya ialah Saco P dan Biotri P. Ada pula Bacillus subtilis yang
merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium
sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi secara masal dengan
merek dagang Emva dan Harmoni BS.

3. Insektisida biologi (Bioinsektisida)

Bioinsektisida berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida.


Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat
menimbulkan gangguan terhadap hewan dan tumbuhan. Jenis mikroba yang
akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik
artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-
jenis lainnya. Contohnya Bacillus thuringiensis telah diproduksi sebagai
insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti Dipel,
Sok-Bt dan Thuricide. Jenis insektisida ini efektif untuk membasmi larva
nyamuk dan lalat. Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal
dari protozoa, Nosema locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi

4
belalang dan jengkerik. Nama dagangnya ialah NOLOC, Hopper Stopper.
Cacing yang pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana
carpocapsae, yang diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield.
Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap.

2.3 Manfaat Biopestisida

Beberapa manfaat dan keunggulan biopestisida menurut (Badan Penelitian dan


Pengembangan Pertanian, 2014) antara lain:
1. Mudah terurai (biodegradable) di alam, sehingga tidak mencemarkan
lingkungan (ramah lingkungan).
2. Dapat membunuh hama/penyakit seperti ekstrak dari daun pepaya, tembakau,
biji mahoni
3. Dapat sebagai pengumpul atau perangkap hama tanaman missal tanaman orok-
orok, kotoran ayam.
4. Dapat mengatasi kesulitan ketersediaan dan mahalnya harga obat-obatan
pertanian khususnya pestisida sintetis/kimiawi

2.5 Organisme Penganggu Tanaman

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) adalah semua bentuk gangguan pada


manusia, ternak dan tanaman. Organisme pengganggu tanaman ini meliputi hama, patogen,
dan gulma. Hama Tanaman adalah semua hewan, yang karena aktifitas hidupnya, merusak
tanaman atau hasilnya dan menimbulkan kerugian. Hewan yang dapat menjadi hama antara
lain serangga, tungau, tikus, burung, dan mamalia besar. Patogen Tanaman adalah semua
organisme hidup yang mendapatkan makanan dari tanaman sehingga tanaman sakit dan
menimbulkan kerugian. Patogen yang dapat menyebabkan penyakit tanaman antara lain
adalah golongan jamur (cendawan), bakteri, molikut (bakteri tanpa dinding sel), nematoda,
protozoa, virus dan viroid (partikel yang menyerupai virus), serta tumbuhan berbiji tingkat
tinggi yang bersifat sebagai parasit. Gulma Tanaman adalah semua bentuk tanaman yang
pertumbuhannya tidak dikehendaki seperti rumput, semak, dan lain-lain yang dapat
mengganggu tanaman pertanian

5
Contoh hama pada pertanaman adalah hama wereng (Nilaparvata lugens) yang
menyerang tanaman padi sehingga dapat menyebabkan puso. Kutu beras dan kutu
jagung (Sitophilus oryzae dan S. zeamays) merupakan hama pasca panen yang dapat
merusak gabah atau beras serta jagung di tempat penyimpanan sehingga komoditas
menjadi hancur dan rusak. Tikus merupakan salah satu contoh hama yang merusak
(Hidayat, 2014).

2.6 Peranan Biopestisida

Biopestisida adalah bahan yang berasal dari alam, seperti tumbuh-tumbuhan


yang digunakan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman atau juga
disebut dengan pestisida hayati. Biopestisida merupakan salah satu solusi ramah
lingkungan dalam rangka menekan dampak negatif akibat penggunaan pestisida non
hayati yang berlebihan. Petani lebih baik menggunakan pestisida organik (Biopestisida)
yang sebenarnya banyak terdapat di sekitar kita. Penggunaan bio pestisida, adalah
alternatif paling aman untuk mewujudkan pertanian organik, karena pestisida organik
ini nyaris tidak menimbulkan dampak bahaya (hazard) baik bagi konsumen maupun
bagi lingkungan. Beberapa tanaman yang mempunyai potensi sebagai biopestisida
menurut (Ferayanti, 2015) adalah:

1. Ageratum conyzoides Linn mampu mencegah hama mendekati tanaman (penolak)


dan menghambat pertumbuhan.
2. Derris elliptica dapat mengendalikan berbagai hama tanaman seperti jenis serangga,
berbagai jenis ulat, tungau, lalat buah dan mollusca (jenis siput-siputan, keong).
3. Piper bettle larutan daun sirih ini dapat mengendalikan berbagai jenis hama terutama
dari jenis kutu-kutuan seperti tungau, kutu daun.

2.7 Keunggulan dan Kelemahan Biopestisida

Biopestisida dikenal sebagai alternatif pestisida yang aman digunakan dan


lebih unggul dalam beberapa hal dibandingkan dengan pestisida kimia. Namun dibalik
keunggulannya, biopestisida pun memiliki beberapa kelemahan menurut (Badan
Penerlitian Pengembangan Pertanian, 2014) mengenai keunggulan dan kelemahan
biopestisida adalah:

6
Keunggulan

1. Murah dan mudah dibuat


2. Relatif aman terhadap lingkungan
3. Kandungan bahan kimianya, tidak menyebabkan keracunan pada tanaman
4. Tidak mudah menimbulkan kekebalan hama
5. Menghasilkan produk pertanian yang sehat, bebas residu pestisida kimia

Kelemahan

1. Daya kerjanya relatif lambat


2. Tidak membunuh langsung hama sasara
3. Tidak tahan sinar matahari dan tidak tahan simpan
4. Kurang praktis
5. Perlu penyemprotan yang berulang-ulang

7
BAB III

METODOLOGI

3.1 Bahan yang digunakan

1. Daun sirsak
2. Aquades
3. Etanol 96%
4. Ulat api (Setothosea asigna V.Eecke)
5. Daun kelapa sawit

3.2 Alat yang digunakan

1. Pisau (cutter) 9. Pipet mikro


2. Toples 10. Pinset
3. Kain kasa 11. Spatula
4. Blender 12. Kertas saring Whatman
5. Gunting 13. Alumunium foil
6. Saringan 14. Rotary evaporator
7. Botol semprot 15. FTIR
8. Neraca analitik 16. Peralatan gelas

8
3.3 Cara pembuatan

3.3.1 Preparasi Sampel

Daun sirsak segar sekitar 5 kg dikering anginkan selama 10 hari

Daun sirsak dihaluskan hingga menjadi bubuk dengan menggunakan blender

3.3.2 Ekstraksi Daun Sirsak

Bubuk daun sirsak dimaserasi dengan pelarut etanol 96% lalu


disaring dengan kertas saring

Pelarut dari ekstrak tersebut dipisahkan dengan rotary evaporator

Hasil pemisahan dipekatkan lagi dengan menggunakan hotplate


stirer sehingga diperoleh crude ekstrak (ekstrak pekat)

Crude ekstrak yang berwarna pekat disimpan dalam suhu kamar


(± 25 °C) untuk menjaga agar senyawa pada crude ekstrak tidak
rusak

3.3.3 Pembuatan Larutan

Ekstrak pekat yang telah didapatkan dari hasil Rotary evaporator


diencerkan dengan aquades menjadi beberapa variasi konsentrasi
yaitu 10%, 20 %, 30 %, 40 %

Pembuatan larutan menggunakan labu ukur 25 ml dan pipet mikro untuk


mengambil crude ekstrak
9
3.3.4 Identifikasi Gugus Fungsi Crude Ekstrak

Crude ekstrak daun sirsak diambil sebanyak 2 mL

Crude ekstrak daun sirsak diteteskan pada alat Fourier Transform Infra Red
Spectroscopy (FTIR)

Melacak gugus fungsi dari acetogenin melalui komputer yang


menggunakan perangkat lunak OPUS yang berbentuk grafik

3.3.5 Uji Insektisida

Hama ulat api sebanyak 90 larva dibagi menjadi 6 kelompok

Daun muda kelapa sawit dimasukkan ke dalam wadah

Hama ulat api diambil dengan menggunakan pinset, selanjutnya


ulat api disemprot dengan variasi konsentrasi sesuai kelompok
variasi

Kelompok S0 sebagai pembanding (insektisida kimia) disemprot dengan


insektisida Deltamethrin
Kelompok S1 disemprotkan dengan ekstrak daun sirsak 10 %
Kelompok S2 disemprot dengan ekstrak daun sirsak 20 %
Kelompok S3 disemprotkan dengan ekstrak daun sirsak 30 %
Kelompok S4 disemprot dengan ekstrak daun sirsak 40 %
Kelompok S5 disemprot dengan ekstrak daun sirsak 50 %

Ulat api (instar 2 - instar 5) dimasukkan ke dalam wadah sejumlah 5


ekor kemudian diamati selama beberapa jam

Uji insektisida ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan

10
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan

Pertama, dari proses maserasi didapatkan filtrat sebanyak 9 L. Maserasi adalah


teknik yang digunakan dalam pembuatan anggur yang kemudian diadaptasikan di
dalam penelitian tanaman obat. Maserasi melibatkan perendaman tanaman dan
dibiarkan pada suhu kamar selama minimal 3 hari disertasi agitasi ataupun tidak.
Proses ini bertujuan untuk memecahkan dinding sel tanaman untuk melepaskan
fitokimia yang terlarut. Dari hasil maserasi diperoleh crude ekstrak yang berwarna
hijau pekat kehitaman.

Gambar 1. Crude ekstrak daun sirsak

(Sumber: Jurnal Biosains)

11
Kedua, adalah Hasil Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) Analisis
FTIR dilakukan untuk memprediksi gugus fungsi dari senyawa yang terdapat dalam
crude ekstrak. Hasil FTIR dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Gambar 2. Hasil Fourier Transform Infra Red Spectroscopy crude ekstrak daun sirsak
(Sumber : Jurnal Biosains)

Dari hasil FTIR diatas, didapatkan:

1. Pada daerah 1000-1300 cm-1 merupakan puncak spektrum gugus C-O (eter).
2. Pada daerah 1620- 1680 cm-1 menunjukkan spektrum gugus C=C (alkena).
3. Pada 2850–3000 cm-1 menunjukkan spektrum C-H (alkana).
4. Daerah 3200 – 3600 cm-1 merupakan daerah spektrum untuk gugus O-H
(alkohol).

12
Dalam penelitian lain dilaporkan bahwa gugus fungsi daun sirsak dalam bentuk cairan
dan padat dianalisa memiliki spektrum puncak lebar pada 3262,75 cm-1 adalah gugus
fungsi OH, sementara pada fase cairan gugus OH ditunjukkan pada panjang gelombang
3327,21; gugus CH2 dan alkuna pada 2936,15 cm-1, pada 1394,17 cm-1 terdapat gugus
CH3, gugus ester COC pada 1261 cm-1.

Spektrum IR menunjukkan adanya gugus hidroksi dengan puncak yang tajam dan luas
pada 3262,75 cm-1. Berdasarkan struktur annonaceous acetogenins dari sirsak, adanya
alkane, alkuna, ester, cincin aromatic dan gugus hidroksil dapat di deteksi melalui
analisis FTIR.

Ketiga, adalah uji Insektisida Hasil uji insektisida ekstrak daun sirsak ditampilkan
dalam tabel

Dari tabel di atas dilihat bahwa waktu kematian kelompok S0 (deltamethrin) tidak
berbeda jelas dengan perlakuan S3, S4 dan S5 tetapi berbeda jelas dengan S1 dan S2.
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun sirsak
maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk membunuh hama ulat api. Ciri fisik
ulat api setelah perlakuan adalah ulat mati dengan badan ulat menjadi kaku, perut
menggelembung, kulit mengkerut dan beberapa ulat tubuhnya menyusut dan
mengeluarkan cairan.

13
Gambar 3. (a) perlakuan ulat api dengan deltamethrin

(b) perlakuan ulat api dengan ekstrak daun sirsak

30% (Sumber : Jurnal Biosains)

Dalam penelitian lain dilaporkan mengenai potensi ekstrak sirsak sebagai


bioinsektisida terhadap Callosobruchus maculatus. Konsentrasi ekstrak yang digunakan
adalah 0 gram, 1 gram, 0,5 gram , 2 gram da 3 gram. Setiap variasi konsentrasi
ditambahkan ke bejana yang mengandung 20 biji lalu diaduk dan ke dalam bejana
tersebut dimasukkan larva sebanyak 10 ekor. Hasil penelitian. menunjukkan ekstrak
bubuk daun sirsak memiliki rata-rata mortalitas yang tertinggi dengan nilai 59,9, diikuti
dengan bubuk biji (89,8), kulit pohon (89,4) dan bubuk akar (88,3) (Ishuwa et al.,
2016).

Dalam penelitian lain dilaporkan bahwa ekstrak biji sirsak berpotensi sebagai
sebagai insektisida pada S. Zeamais. Biji Sirsak di ekstrak dengan menggunakan pelarut
heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan etanol (polar). Nilai LC50 ditentukan
dengan bioassay ingestion (ditelan). Nilai LC50 ekstrak non polar adalah 4009; 3854;
dan 3760 ppm pada waktu 24, 48 dan 72 jam. Untuk ekstrak etil asetat adalah 3280;
2667 dan 2542 ppm pada waktu yang sama. Untuk bioassay secara topikal, nilai LC50
ekstrak heksana adalah 9368 ppm pada 72 jam. Semua larva mati pada konsentrasi etil
asetat dan heksana 2500 ppm dan 5000 ppm untuk ekstrak etanol. Efektifitas ekstrak
etanol lebih rendah daripada ekstrak non polar dan semipolar. Efek insektisida ini

14
kemungkinan disebabkan oleh adanya acetogenin yang merupakan fraksi yang kurang
polar . Acetogenin mempunyai banyak sekali aktivitas biologi, seperti imunosupresif,
anti malaria, insektisida dan antifeedant. Senyawa ini banyak ditemukan di daun, ranting
dan biji tanaman annonaceous. Mekanisme acetogenin sebagai insektisida adalah
dengan menghambat NADH ubikuinon reduktase (complex I) rantai pernapasan, dan
secara langsung mempengaruhi transpor elektron di mitokondria menyebabkan
penurunan kadar ATP sehingga sel mengalami apoptosis. Jadi, daun sirsak dapat
dimanfaatkan sebagai biopestisida dalam mengendalikan hama ulat api dengan
mekanisme racun kontak dan konsentrasi ekstrak daun sirsak 30% sudah efektif dalam
mengendalikan hama ulat api pada perkebunan kelapa sawit (Saragih, 2019).

4.2 Prospek Usaha atau Bisnis Biopestisida

Banyak faktor yang mempengaruhi upaya komersialisasi biopestisida atau agen


pengendali hayati. Faktor-faktor yang mendukung usaha komersialisasi di negara-
negara maju adalah sebagai berikut :

1. Adanya peraturan pengurangan penggunaan pestisida kimia


2. Pembatasan jenis bahan-bahan aktif formula pestisida kimia,
3. Adanya peraturan yang ketat terhadap lingkungan dan residu pada produk-
produk pangan.

Faktor-faktor itu langsung atau tidak sangat berpengaruh terhadap tumbuh


kembangnya rumah produksi biopestisida dan perkembangan pasar yang menarik
minat bagi para investor. Ketiga faktor tersebut di atas tentunya akan mempunyai
kesepadanan momentum untuk pengembangan komersialisasi biopestisida di
negara-negara manapun, termasuk Indonesia. Di Indonesia, rambu-rambu regulasi
pengelolaan dan penggunaan pestisida kimia sebetulnya sudah cukup lengkap,
dimulai dari keputusan Menteri sampai dengan Peraturan Pemerintah. Walaupun
sebetulnya masih relatif banyak jenis-jenis bahan aktif dari pestisida kimia yang
beredar di pasar. Jenis-jenis pestisida yang sudah dilarangpun masih dapat beredar
di pasaran. Hal ini tidak dapat dihindari karena lemahnya pengawasan dan

15
komitmen. Berbagai faktor internal tersebut sudah tentu banyak berpengaruh dalam
upaya komersialisasi biopestisida, baik itu produk impor ataupun produk dalam
negeri. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kebutuhan untuk memenuhi
produk-produk pertanian yang bersih dan sehat akan muncul. Maka produk
biopestisida akan menjadi kebutuhan mutlak (Enal, 2015).

Contoh usaha biopeptisida yang penulis temukan yaitu pada Usaha Kecil dan
Menengah (UMKM) Sumber Rejeki “SUMKI” di Jl. Elang II B No 40 B RT
05/RW 04. Kecamatan Tembalang Kelurahan Mangunharjo memproduksi bio
aktivator dari sisa sisa bahan alami seperi sayur sisa, kulit buah sisa dengan metode
fermentasi menggunakan drum kompos. Air yang dihasilkan dari kompos berguna
untuk menyemprotkan hama pada baang jambu dan sudah dibuktikan berhasil hama
serangga pada batang jambu tersebut hilang dan kini tumbuh menjadi pohon jambu
yang sehat dan besar. Bioaktivator ini dijual dengan harga Rp.15.000 – Rp.25.000.

Gambar 4.2 Bioaktivator

Bioaktivator yang dihasilkan jernih dan tidak bau karena hasil dari fermentasi kulit buah
dan sayur. Bahan yang dipakai sangat alami jadi tidak memakai bahan bahan kimia
dalam jumlah yang besar sehingga hemat, praktis, dan ramah lingkungan.

16
BAB V

PENGEMBANGAN BIOPESTISIDA

5.1 Pengembangan Biopeptisida di Indonesia

Dalam pengembangan bioinsektisida terdapat 10 faktor yang menjadi


pertimbangan, yaitu ketersediaan bahan baku, efektivitas bahan nabati yang
memenuhi syarat teknologi aplikasi, industri pestisida nabati, distribusi,
transportasi, dan kemasan, sumber daya manusia, kelembagaan, kontribusi dalam
PHT, daya saing, sosial, budaya, dan ekonomi.

Pengembangan biopestisida baiknya mengarah pada tiga aspek, yaitu


aspek teknologi, aspek kelembagaan, dan aspek agribisnis. Faktor pertama dan
kedua sudah banyak diketahui dari banyak hasil penelitian di dalam negeri. Faktor
sumber daya manusia dapat diatasi dengan melatih petani atau kelompok tani agar
mempunyai keterampilan memperbanyak biopestisida. Faktor kelembagaan harus
berasal dari pemerintah. Apabila faktor kelembagaan sudah terbangun, maka faktor-
faktor lain akan mengikutinya. Pemerintah hendaknya bisa memberi wadah
pengembangan bisnis biopestisida bersama-sama program lain seperti program PHT
yang sudah berjalan oleh petani dengan pendampingan.

Penerapan biopestisida di tingkat petani belum meluas seperti yang


diharapkan, hanya beberapa petani yang telah menggunakan. Sebagai contoh,
seorang produsen biopesitida di Kab. Pasuruan, pada awalnya hanya memproduksi
predator hama wereng, setelah berlangsung 10 tahun dikembangkan beberapa jenis
biopestisida, dan akhir-akhir ini mengembangkan pupuk hayati. Pengalaman dapat
dikembangkan lebih secara luas di sentra produksi tanaman pangan di Indonesia
(Sumartini, 2017).

17
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Biopestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan hama


dan penyakit pada tumbuhan yang terbuat dari makhluk hidup. Jenis biopestisida
berdasarkan asalnya yaitu hayati contohnya memakai virus NPV dan nabati
contohnya bawang putih, pandan, kemangi, cabe rawit, tembakau, kunyit, kenikir,
daun nimba, serai, lengkuas, daun sirsak, rimpang sebagai bahan ramuan
mengendalikan serangga dan hama wereng. Berdasarkan jenisnya ada
bioinsektisida, bioherbisida, dan biofungisida. Mudah terurai (biodegradable) di
alam, sehingga tidak mencemarkan lingkungan (ramah lingkungan). Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) adalah semua bentuk gangguan pada manusia, ternak
dan tanaman. Organisme pengganggu tanaman ini meliputi hama, patogen, dan
gulma. Salah satu peranan biopestisida adalah Ageratum conyzoides Linn mampu
mencegah hama mendekati tanaman (penolak) dan menghambat pertumbuhan.
Keunggulannya murah, praktis, ramah lingkungan dan kelemahannya adalah tidak
tahan sinar matahari dan tidak tahan simpan dan perlu penyemprotan yang
berulang-ulang. Pada metodologi dalam jurnal “Pembuatan Biopestisida dari
Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata) Untuk Pengendalian Hama Ulat Api
(Setothosea asigna V.Eecke) Pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq)” dihasilkan daun sirsak dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida dalam
mengendalikan hama ulat api dengan mekanisme racun kontak dan konsentrasi
ekstrak daun sirsak 30% sudah efektif dalam mengendalikan hama ulat api pada
perkebunan kelapa sawit. Biopestisida berpeluang besar untuk dijadikan bisnis
udaha di bidang pertanian dan sudah dikembangkan di Indonesia.

18
6.2 Saran

Dari pembahasan dan informasi yang sudah dijelaskan, maka lebih baik
menggunakanbiopestisida alami yang ramah lingkungan dan dapat dijadikan bisnis
sudah di kembangkan di Indonesia. Penulis menyadari masih ada kekurangan
dalam hal penulisan maupun dalam hal pencarian informasi. Untuk itu, penulis
sangat mengharapkan saran dari pembaca agar penulis bisa memperbaikinya

19
DAFTAR PUSTAKA

Dalimartha. (2014, Maret 1). BAB I Biopestisida. Retrieved Maret 29, 2020, from
Eprints Universitas Muhammadiyah Surakarta: http://eprints.ums.ac.id

Enal. (2015, Agustus 3). Biopestisida Ujung Tombak Pengendalian Berwawasan


Lingkungan Hidup. Retrieved Maret 29, 2020, from Topik Sulawesi Utara:
http://www.topiksulut.com

Ferayanti. (2015, Juli 13). Tanaman Biopestisida. Retrieved Maret 29, 2020, from
Penelitian Pengembangan Pertanian: http://nad.litbang.pertanian.go.id

Hidayat. (2014, April 3). Modul I Biopestisida. Retrieved Maret 29, 2020, from
Repository Universitas Terbuka: http://repository.ut.ac.id

MEILANISARI, N. (2017). UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK JAHE MERAH (Zingiber


officinale Var. Rubrum) SEBAGAI FUNGISIDA JAMUR Botryodiplodia
theobromae PADA TAMANAMAN JERUK (Doctoral dissertation, FKIP Unpas)

Pertanian, B. P. (2014, Maret 14). Teknologi Pembuatan Pestisida Nabati dan Manfaat.
Retrieved 29 Maret, 2020, from Penelitian Pengembangan Pertanian:
http://kalteng.litbang.pertanian.go.id

Saragih, G., Fernandez, B. R., Yunianto, Y., & Harmileni, H. PEMBUATAN


BIOPESTISIDA DARI EKSTRAK DAUN SIRSAK (Annona muricata)
UNTUK PENGENDALIAN HAMA ULAT API (Setothosea asigna V. Eecke)
PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq). JURNAL
BIOSAINS, 5(1), 8-13. (Enal, 2015)

Sumartini, S. (2017). Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman


Aneka Kacang dan Umbi. Iptek Tanaman Pangan, 11(2).

20
21

Anda mungkin juga menyukai