Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH PERTANIAN ORGANIK

BIOPESTISIDA ( ENTOMOPATOGEN )

OLEH: KELOMPOK 5

Nur Yana 2002406067

Hukmiana 2002406078

Marlin Herliana Lawani 2002406070

Muhammad Ikram Jopi 2002406042

Ica Safitri 2002406075

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena atas rahmat karunianya serta kekuatan yang
diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok kami sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pertanian Organik.

Dalam proses penyusunan makalah ini kami mendapat banyak bantuan. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih
yang tulus kepada semua yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini sepenuhnya masih ada kekurangan. Kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk kedepannya agar kami dapat menyusun makalah ini lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan kita semua.

Palopo, Mei 2022

Kelompok V
DAFTAR ISI
SAMPUL ............................................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 4
1.3 Tujuan dan Kegunaan ....................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 5
2.1 Biopestisida ............................................................................................................. 5
2.2 Insektisida Biologi .................................................................................................. 6
2.2.1 Agen Hayati yang berperan sebagai Insektisida Biologi .................................... 6
1. Bakteri Patogen Serangga ............................................................... 6
2. Jamur Patogen Serangga ................................................................. 10
3. Nematoda Patogen Serangga .......................................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 16
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 16
3.2 Saran .............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) mempunyai arti penting bagi masyarakat,
karena dapat menimbulkan kerusakan serta kerugian pada tanaman atau hasil olahannya. Pada umumnya
petani menggunakan pestisida kimia untuk menekan kerusakan tanaman tersebut, karena dianggap lebih
cepat memberikan efek hasil, mudah diaplikasikan serta mudah untuk mendapatkannya. Dalam
perkembangannya, disadari bahwa penggunaan pestisida kimia dapat menyebabkan kerusakan pada
lingkungan dan memberikan efek negatif pada kesehatan manusia. Hal tersebut mendorong seseorang
untuk meminimalkan penggunaan pestisida kimia, dengan cara memanfaatkan agen pengendali hayati.
Penggunaan agen pengendali hayati dalam mengendalikan OPT semakin berkembang, karena
cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis pestisida kimia. Beberapa keunggulan tersebut
adalah Aman bagi manusia, musuh alami dan lingkungan, dapat mencegah ledakan hama sekunder,
produk pertanian yang dihasilkan bebas dari residu pestisida, terdapat disekitar pertanaman sehingga
dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida sintetis dan menghemat biaya produksi.
Berdasarkan pernyataan diatas, maka praktikum mengenai biopestisida ini sangat penting untuk
dilakukan untuk menambah wawasan mengenai pengendalian OPT menggunakan agen hayati. Dan
dengan dilaksanakannya praktikum ini kita dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia dalam
pengendalian OPT yang dapat membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitar.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana deskripsi dari biopestisida?

2. Apakah jenis-jenis dari biopestisida?

3. Bagaimana deskripsi dari insektisida dan hubungannya dengan entomopatogen?

4. Bagaimana jenis-jenis agen hayati yang berperan sebagai bioinsektisida serta deskripsinya?

1.3 Tujuan dan Kegunaan

1. Mengetahui deskripsi dari biopestisida.

2. Mengetahui jenis-jenis biopestisida.

3. Mengetahui pengertian insektisida dan entomopatogen.

4. Mengetahui agen hayati yang berperan sebagai bioinsektisida.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biopestisida
Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus
dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi
(mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur).
Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi. Pestisida alami adalah suatu
pestisida yang bahan dasarnya berasal dari alam seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan pemecahan
jangka pendek untuk mengatasi masalah hama dengan cepat, pestisida nabati bersifat ramah lingkungan
karena bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi manusia maupun lingkungan.
Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan
pestisida hayati.
1. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji
atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan
penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat
insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).
2. Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur,
bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit
tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga ( hama )
maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman).
Bipestisida dapat digolongkan menjadi bermacam-macam dengan berdasarkan fungsi dan
asalnya. Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungisida Biologi (Biofungisida)
Biofungisida berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani spongos yang berarti jamur,
berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.
Beberapa fungisida yang telah digunakan adalah:
Spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan
layu fusarium pada cabai.
Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat
serangan jamur Sclerotium Rolfsii.
Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium sp.
pada tanaman tomat.
2. Herbisida Biologi (Bioherbisida)
Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan
penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Phytophthora palmivora yang digunakan untuk
mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Colletotrichum gloeosporioides digunakan
pada tanaman padi dan kedelai.
3. Insektisida Biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan
penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun
tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik
artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya. Mikroba
patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus
thuringiensis.
Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae, yang
telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jangkrik. Cacing yang pertama kali sebagai
insektisida ialah Neoplectana carpocapsae. Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk
rayap.
4. Nematisida Biologi (Bionematisida)
Bionematisida berasal dari kata latin nematoda atau bahasa Yunani nema yang berarti benang,
berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing yang hidup di akar).

2.2 Insektisida Biologi (Bioinsektisida)


Secara alami, penyakit serangga disebabkan oleh berbagai jenis mikroba, seperti bakteri, jamur,
fungi, virus dan protozoa yang sering disebut sebagai “entomopatogen”. Selama masa keterjangkitan
penyakit (epizootic) sering terjadi tingkat kronis yang dapat menyebabkan perubahan luar biasa pada
populasi serangga. Beberapa keuntungan penting dari pemakaian entomopatogen ini adalah pengaruhnya
yang spesifik hanya pada serangga tertentu. Belum ada jenis entomopatogen yang dilaporkan
menyebabkan pengaruh serius pada manusia, mamalia dan vertebrata lain. Hal ini berarti pemakaian
pestisida biologi ini dapat meminimalisasi pengaruh buruk pada makhluk lain yang bukan OPT. Sifat ini
menyebabkan pestisida biologi banyak dipakai untuk tanaman pangan dan tanaman hias yang dekat
dengan lalu lintas manusia.
Insektisida biologi membunuh serangga dengan cara yang sangat berbeda dengan pestisida
sintesis. Hal ini membuat pestisida biologi dapat dijadikan alternatif yang layak dipertimbangkan untuk
mengatasi kasuskasus serangga yang telah kebal terhadap pestisida sintesis. Meskipun demikian, bukan
berarti pada suatu saat serangga tertentu tidak bisa kebal terhadap pestisida biologi.
Sebagian besar mikroba entomopatogen memperbanyak diri di dalam tubuh serangga inang.
Hala ini menyebabkan entomopatogen secara alami mudah tersebar dengan tersendirinya (penyebaran
sekunder) setelah aplikasi pertama dan menyebabkan efek pengendalian yang lebih lama.

2.2.1 Agen Hayati yang berperan sebagai insektisida biologi


Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai insektisida biologi adalah dari jenis
bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan untuk jamur yang
lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan nematoda yakni Heterorhabditis indicus.

1. Bakteri Patogen Serangga (Bacillus thuringiensis)


Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang aman bagi lingkungan dan makhluk hidup
lain adalah pengendalian secara biologis dengan menggunakan insektisida mikroba. Bakteri Bacillus
thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri yang sering digunakan sebagai insektisida mikroba untuk
mengontrol serangga hama seperti Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan suatu protein
yang bersifat toksik bagi serangga, terutama seranggga dari ordo Lepidoptera. Protein ini bersifat mudah
larut dan aktif menjadi toksik, terutama setelah masuk ke dalam saluran pencemaan serangga. Bacillus
thuringiensis mudah dikembangbiakkan, dan dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida pembasmi hama
tanaman. Pemakaian biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang timbul dari
pemakaian pestisida kimia.
Bakteri penyebab penyakit serangga pada umumnya di bagi ke dalam dua kelompok besar, yakni
bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri yang tidak membentuk
spora terdapat dalam saluran pencernaan serangga, merupakan patogen yang potensial menyerang bagian
pencernaan. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini rendah. Sedangkan bakteri pembentuk spora
menginveksi larva di dalam mesofagus, kemudian membentuk spora dan sporanya menyerang bagian
tubuh serangga. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini tinggi. Kebanyakan spesies bakteri
entomopatogen yang diisolasi dari serangga yang sakit adalah bakteri yang tidak membentuk spora, akan
tetapi untuk produksi komersial, bakteri yang membentuk spora lebih mudah untuk diformulasikan dan
dapat di simpan lebih lama karena dalam bentuk spora bakteri tidak membutuhkan makanan.
Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah species Bacillus
thuringiensis (Bt). Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen hayati adalah kemampuan
menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri dapat mematikan serangga tertentu saja
sehingga tidak beracun terhadap hama bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah
terurai dan tidak menimbulkan residu yang mencemari lingkungan.

a. Klasifikasi Bacillus thuringiensis


Kingdom : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Spesies : Bacillus thuringiensis

b. Deskripsi
Bacillus thuringiensis adalah bakteri
tanah gram positif, pembentuk spora, berbentuk
batang dengan lebar 1,0 sampai 1,2 µm dan panjang
3,0 sampai 5,0 µm (Sembiring, 2004). Bakteri ini
termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di
daun tanaman
konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi
lingkungan tidak menguntungkan maka
bakteri ini akan membentuk fase sporulasi.
B. thuringiensis dibagi menjadi 67
subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe
dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini yang
membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya
adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang
berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA
plasmid yang dapat ditransfer melalui konjugasi antargalur B. thuringiensis, maupun dengan bakteri lain
yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan
bermacam-macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain
endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksi yang toksik
terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta.
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh
paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal
tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( d – endotoksin ) yang terbentuk di dalam
sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis
setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino
terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari
karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa.
Kristal protein merupakan protoksin dalam bentuk protein murni yang kaya akan asam
glutamate dan asam aspartat. Berdasarkan protoksinnya, Kristal protein memiliki berbagai macam bentuk
antara lain bipiramidal, kuboidal, persegi panjang, dan jajaran genjang. Ada hubungan nyata antara
bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi
oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi
toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang
lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun
kristal, serta susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi
pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan
terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar
dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau
satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan,
merah, atau kuning, ketika membusuk.
c. Substansi aktif
Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai aktivitas tertentu yang dihasilkan
oleh makhluk hidup, dan bahan aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada makhluknya sendiri akan
tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.
Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme umumnya digolongkan menjadi dua
macam, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Substansi aktif primer biasanya bersifat
intraseluler atau terdapat didalam sel. Biasanya metabolit primer dihasilkan dalam jumlah yang relatif
kecil. Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel yang disekresikan keluar dari sel
atau dikumpulkan dalam kantong-kantong khusus diantara sel atau jaringan didalam tubuhnya.
Bacillus thuringiensis membentuk spora yang membentuk
kristal protein-toksin. Kristal tersebut bersifat toksik terhadap
serangga. Penelitian H eimpel (1967) diketahui bahwa B.
thuringiensis menghasilkan beberapa jenis toksin, seperti α(alfa),
β(beta), γ(gamma)-eksotoksin, dan δ(delta)-endotoksin, serta faktor
louse. Peneliti lain menginformasikan bahwa yang berperan penting
sebagai insektisida adalah protein βeksotoksin dan δ-endotoksin.
Berbagai macam B. thuringiensis diantaranya:

1. Bacillus thuringiensis varietas tenebrionis menyerang


kumbang kentang colorado dan larva kumbang daun.
2. Bacillus thuringiensis varietas kurstaki menyerang berbagai
jenis ulat tanaman pertanian.
3. Bacillus thuringiensis varietas israelensis menyerang
nyamuk dan lalat hitam.
4. Bacillus thuringiensis varietas aizawai menyerang larva
ngengat dan berbagai ulat, terutama ulat ngengat diamondback.

d. Insektisida biologi berbahan aktif Bacillus thuringiensis


Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat
daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif
untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.
Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk bioinsektisida secara komersial.
Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan Richard. Peneliti tersebut
mengatakan bahwa β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine, ribose,
glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain itu, βeksotoksin diketahui bersifat
termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka
digolongkan sebagai thermostabel eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa
jenis ulat. Sementara α-eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa tersebut
diketahui beracun bagi mencit dan ulat (Plutella xylostella).
Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B.thuringiensis terhadap
serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heimpel dan rekannya
(1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap δ-
endotoksin.
Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis
intraseluler dari β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun, senyawa ini akan
menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses katalisa polimerasi oleh
DNAdependen RNA-polymersae.
Kristal protein yang termakan oleh serangga
akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga.
Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh
enzim pencerna protein serangga.
Protein yang teraktifkan akan menempel pada
protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus.
Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau
lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya
serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.

f. Cara Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari
tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan
bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang
cukup efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram
sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan
bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat
kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat
pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif.
Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu
80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan
membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang
tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh.
Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah
dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang
tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini
dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat
B. thuringiensis.

g. Penapisan Isolat yang Toksik


Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya
racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini.
Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primerprimer yang dapat
menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry ). Hasil PCR ini
dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu melakukan bioasai
terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry
tertentu dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai dengan
mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini
dapat dibandingkan daya racun antar isolat.

h. Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang
mudah dan sederhana. Karena yang diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka
diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose
telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan
bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat
pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.
i. Potensi sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein kristal Bt
dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat
diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt yang telah
disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan
spora dan protein kristal yang diperoleh dapat
dicampur dengan bahan-bahan
pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain
dalam formulasi bioinsektisida.

2. Jamur Patogen Serangga (Beauveria bassiana)


Contoh insektisida biologi dari jamur
adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini biasa
dikenal sebagai cendawan patogen serangga yaitu
cendawan yang dapat menimbulkan penyakit pada
serangga. Beberapa contoh serangga yang dapat
dikendalian oleh Beauveria bassiana antara lain
berbagai jenis wereng, walang, walang sangit, ulat,
lembing dan sundep beluk (penggerek batang).
Beauveria bassiana secara alami terdapat
didalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipe ngaruhi oleh
kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya
pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30 C, kelembapan tanah yang
berkurang dan adanya antifungal atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya.
Beauveria bassiana termasuk dalam golongan pathogen serangga ordo Monililes, famili
Moniliaceae. Jamur Beauveria bassiana menyerang banyak jenis serangga, di antaranya kumbang,
ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga yang hidup di dalam
tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga pada tanaman atau pohon.

a. Klasifikasi BVR (Beauveria bassiana)


Kerajaan : Fungi

Filum : Ascomycota

Kelas : Sordariomycetes

Ordo : Hypocreales

Famili : Cordycipitaceae

Genus : Beauveria

Spesies : Beauveria bassiana

b. Karakteristik Beauveria bassiana

1. Cendawan berwarna putih, penyebaran spora melalui air atau terbawa angin.
2. Menginfeksi serangga melalui integument/jaringan lunak. Selanjutnya hifa tumbuh dari konidia dan
merusak jaringan.
3. Cendawan tumbuh keluar dari tubuh inang pada saat cendawan siap menghasilkan spora untuk
disebarkan.
4. Apabila keadaan tidak mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung didalam tubuh
serangga tanpa keluar menembus integument.
5. Tubuh serangga mati yang terinfeksi Beauveria bassiana mengeras seperti mumi.

c. Teknik/ Cara Memperoleh Jamur Beauveria bassiana


Jamur entomopatogen Beauveria bassiana dapat diperoleh dari tanah terutama pada bagian atas
(top soil) 5-15 cm dari permukaan tanah, karena pada horizon ini diperkirakan banyak terdapat inokulum
B. Bassiana. Teknik untuk memperoleh jamur entomopatogen B. Bassiana dari tanah adalah dengan
menggunakan metode umpan serangga (insect bait method).

dengan metode umpan serangga

Isolat jamur B. bassiana diambil dari tanah. Tanah asal isolat diambil secara acak di sekitar
pertanaman pisang. Tanah diambil dengan menggalinya pada kedalaman 5–10 cm masing-masing
sebanyak 4 x 500 g kemudian dimasukkan ke kantongan plastik diberi label berupa lokasi dan tanggal
pengambilan sampel. Tanah kemudian diayak dengan ayakan 600 mesh dan dimasukkan ke dalam kotak
plastik berukuran 13 x 13 x 10 cm masing-masing sebanyak 400 g (tiap daerah menggunakan 4 buah
kotak).
Larva T. molitor stadia larva instar 3 yang baru berganti kulit (kulitnya masih berwarna putih)
dimasukkan kedalam kotak yang berisi tanah masing-masing sebanyak 10 ekor, sebagai perangkap
umpan agar terserang jamur B. bassiana (insect bait methode). Larva ini kemudian ditutupi dengan selapis
tipis tanah dan dilembabkan dengan menyemprotkan aquadest steril diatasnya. Selanjutnya kotak ditutupi
dengan potongan kain puring hitam ukuran 25 x 25 cm yang juga telah dilembabkan. Larva T. molitor
yang diduga terserang jamur B. bassianadiamati 3 hari setelah diperlakukan kemudian diamati setiap
harinya dan segera setelah terserang jamur B. bassiana diisolasi sebagai sumber isolat.
Larva yang terinfeksi jamur B. bassiana terlebih dahulu disterilisasi permukaan dengan 1%
Natrium hipoklorit selama 3 menit. Kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali dan dikering
anginkan diatas kertas filter steril. Larva tersebut kemudian diletakkan dalam petridish berisi tissu lembab
steril dan diinkubasikan untuk merangsang pertumbuhan jamur. Spora yang keluar dari tubuhnya
kemudian diambil menggunakan jarum inokulasi dan dibiakkan pada PDA (Potato Dextrose Agar) dan
diinkubasikan selama 7 hari.

d. Mekanisme infeksi Beauveria bassiana terhadap serangga


Cara cendawan Beauvaria bassiana
menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak
inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di
dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian
kontak dan menginfeksi inang baru. Beauveria
bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui
kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang
lainnya.

Inokulum jamur yang menempel pada tubuh


serangga inang akan berkecambah dan berkembang
membentuk tabung kecambah, kemudian masuk
menembu s kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara
mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan
enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur
akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan
berkembang dalam tubuh inang dan menyerang
seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati.
Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh
menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia.
Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur Beauveria bassiana akan mati
dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.
Dalam infeksinya, Beauveria bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-
mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala
dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor).
Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh
massa jamur yang berwarna putih.Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara
kapsul kepala dengan toraks atau diantara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur
keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut.
Cara aplikasinya yaitu dengan metode penyemprotan. Serangga yang telah terinfeksi
Beauveria bassiana,selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan, baik dengan cara mengeluarkan
spora menembus kutikula keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya yang terkontaminasi. Serangga
sehat kemudian akan terinfeksi.

3. Nematoda Patogen Serangga (Heterorhabditis indicus)


Diantara spesies NPS yang diketahui efektif digunakan sebagai agensia hayati untuk
mengendalikan hama tanaman adalah Heterorhabditis indicus. H. Indicus adalah nematoda yang
bersimbiosis mutualisme dengan bakteri gram negatif dari
famili Enterobacteriaceae. Kompleks nematodabakteri ini
dalam lingkungan yang sesuai dapat menjadi agen pengendali
hayati yang efektif terhadap hama sasaran. Species H. indicus,
membawa satu spesies bakteri simbion, Photorhabdus
luminescens. Sel-sel bakteri P. luminescens yang dorman
disimpan dalam saluran pencernaan H. indicus.
a. Klasifikasi Heterorhabditis indicus
Klasifikasi Heterorhabditis indicus menurut Poinar
(1990) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secermentae

Ordo : Rhabditida

Famili : Rhabditidae
Genus : Heterorhabditis

Species : Heterorhabditis indicus


b. Karakteristik Hoterorhabditis indicus
Hoterorhabditis indicus mempunyai bentuk tubuh sebagaimana cacing, silindris, panjang tubuh
betina 479 – 700 μm, tubuh jantan 479-685 μm, sedangkan tubuh juvenil infektif (JI) 479 - 573 μm.
Tubuh simentris bilateral, tidak bersegmen-segmen, mempunyai kutikula sehingga tubuhnya licin,
gerakannya fleksibel dan tidak ada gerakan kontraktil memanjang. Terdapat alat pencernaan yaitu mulut,
esofagus, intestinum, rektum.
Betina dewasa Heterorhabditis indicus tubuhnya lebih besar dan lebih panjang daripada jantan,
pada pertengahan tubuhnya terdapat vulva yang berfungsi untuk perkawinan. Pada bagian kepala terdapat
satu mulut dengan enam bibir yang menyerupai gigi dan terdapat satu papilla. Jantan dewasa
Heterorhabditis indicus tubuhnya lebih kecil dan lebih pendek dari betina, ujung posterior melengkung
dan terdapat sepasang spikula sebagai alat kopulasi. Kepala spikula pendek, berasal dari penyempitan
lamina dan gubernaculum, berukuran setengah dari panjang spikula.

c. Mekanisme serangan Heterorhabditis indicus


Mekanisme patogenitas NPS terjadi melalui simbiosis dengan bakteri patogen Photorhabdus
luminescens. Infeksi NPS dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenil infektif (JI) terjadi melalui
mulut, anus, spirakel, atau penetrasi langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah
mencapai homocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan ke dalam haemolim untuk
berkembang biak dan memproduksi toksin yang mematikan serangga. NPS sendiri juga mampu
menghasilkan toksin yang mematikan. Dua faktor ini yang menyebabkan NPS mempunyai daya bunuh
yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi NPS dapat mati dalam waktu 24 – 48 jam setelah infeksi.

d. Perilaku (behavior) Heterorhabditis indicus


Heterorhabditis indicus mempunyai kecendrungan untuk menyebar di seluruh tanah dalam
mencari inang. Strategi menjelajah adalah aktif mencari dan mengejar serangga inang, strategi ini
digunakan untuk menginvasi inang yang diam. Strategi ini dikarakterisasikan dengan motilitas yang
tinggi dan distribusi aktif keseluruh profil tanah, kemampuan untuk orientasi, isyarat inang yang volatil
dan penggantian lokasi pencarian setelah kontak inang.
Stadia JI menyimpan sejumlah besar cadangan makanan di dalam tubuhnya untuk melakukan
mobilitas dan aktivitas mangsa serta menginfeksi inang. Selama belum menemukan inang daya tahan
tubuhnya sangat bergantung pada cadangan makanan yang dimilikinya. Penipisan cadangan makanan ini
selain menyebabkan penurunan viabilitas juga menurunkan efektivitas H. indicus .
e. Siklus hidup (life cycle)
Heterorhabditis indicus memiliki siklus hidup yang sederhana yang terdiri dari 4 stadia
juvenil, dan dewasa. Siklus hidup terbagi kedalam siklus reproduktif dan infektif. Siklus infektif dimulai
saat serangga terinfeksi oleh JI yang masuk melalui lubang-lubang alami tubuh serangga. Pada siklus
reproduktif, JI berubah menjadi juvenil instar ketiga (J3) yang aktif memakan produk samping hasil
metabolisme bakteri simbion, berganti kutikula menjadi juvenil instar keempat (J4) kemudian berganti
kutikula menjadi dewasa. Telur dipro duksi tiga hari setelah invasi nematoda kedalam tubuh serangga.
Telur menetas dan berkembang di dalam tubuh induknya menjadi juvenil instar pertama (JI) yang akan
berganti kutikula menjadi juvenil instar kedua (J2). Pada stadia J2 nematoda dapat menjalani siklus
reproduktif kembali atau memasuki siklus infektif, tergantung kepadatan populasi dan nutrisi inang. Jika
nutrisi inang mencukupi dan kepadatan populasi rendah maka J2 berkembang menjadi J3, dan memasuki
siklus reproduktif.
Sebaliknya bila kepadatan populasi tinggi dan nutrisi sedikit, J2 berkembang menjadi J3 khusus yang
bersifat infektif (JI), tidak makan dan mampu hidup di luar tubuh inang serangga.
f. Penyebaran
Pada stadia JI akan aktif meskipun hanya 90 cm ke arah horizontal dan vertikal dalam kurun
waktu 30 hari. Penyebaran secara pasif oleh air, angin, inang yang terinfeksi, aktifitas manusia, dan lain-
lain dapat menempuh jarak yang luas dan dapat dihitung distribusi penyebarannya. Faktor yang
berpengaruh pada motilitas/kematian JI adalah kelembaban, suhu dan tekstur tanah. Faktor yang
terpenting adalah kelembaban karena nematoda membutuhkan film air yang menyelubungi area tanah.
Di Indonesia H. indicus telah ditemukan di daerah Jawa, Ambon, Bali dan Seram yang umumnya
menyukai habitat pantai.
g. Kelangsungan hidup
Faktor abiotik dan biotik sangat mempengaruhi efikasi dan persistensi nematoda entomopatogen
untuk mengendalikan serangga hama yang hidup di lingkungan tanah, habitat tersembunyi dan daun.
Persistensi JI yang digunakan sangat dipengaruhi faktor instrinsik (tingkah laku, fisiologi, karakteristik
genetik) dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi faktor abiotik (temperatur, kelembaban tanah, tekanan
osmotik, tekstur tanah, kelembaban, radiasi UV yang ekstrim) dan faktor biotik (antibiosis, kompetisi,
dan musuh alami).

h. Perbanyakan Nematoda Patogen Serangga (NPS)


1. NPS dengan populasi 200 juvenil infektil (JI) dalam 10 ml air disebar merata dengan pipet pada
dua lapis kertas koran dalam boks plastik.
2. Sebanyak 50 gram ulat hongkong dimasukkan kedalamnya, boks ditutup rapat selama 2 hari (48
jam), boks di bagian atas diberi kain kasa.
3. Ulat yang mati terinfeksi akan berubah warna menjadi coklat kemerahan, ulat yang terinfeksi
kemudian diambil dan diletakkan diatas kain kasa basah pada cawan petri (dalam boks plastik) yang
telah diberi aquades 250 ml.
4. Ulang hongkong tersebut diinkubasi selama 14 hari, dan kemudian nematoda siap dipanen.
5. Pemanenan dilakukan 2 hari sekali hingga hari ke -21 setelah inokulasi (panen 3-4 kali selama 7
hari)

6. Nematoda dicuci dengan cara membuang air permukaan, sedimentasi nematoda sebanyak 1 – 2 kali
dengan spoid sehingga terlihat jernih.
7. Untuk penyimpanan nematoda dimasukkan ke dalam spon lembab pada suhu 100 C, pada suhu
tersebut nematoda dapat hidup dan tetap aktif selama 8 bulan.
8. Untuk pemeliharaan Nematoda dapat disimpan dalam toples dengan penambahan air serta dipasang
aerator untuk suplai oksigen.

i. Cara dan waktu aplikasi


Cara aplikasinya antara lain:

1. Lahan tanaman yang akan diaplikasikan NPS harus sangat lembab atau macak-macak air.
2. Tangki semprot yang akan digunakan tidak boleh bekas pestisida kimia.

3. Kebutuhan rata-rata per hektar adalah 2,8 liter larutan NPS.


4. Dosis per tangki semprot 14 liter adalah 280 ml larutan NPS.
5. NPS yang disimpan dalam spon basah direndam terlebih dahulu
dalam air, agar semua NPS keluar dari spon sebaiknya spon
diguyur air yang ditampung ke dalam ember.
6. Jangan dicampur dengan pestisida kimia
Waktu aplikasi yang tepat adalah pada sore hari karena NPS
sangat rentan te rhadap kekeringan. Waktu satu malam cukup bagi
NPS untuk menemukan dan menginfeksi inang.
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Bipestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus
dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi
(mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur).
Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi.
Secara alami, penyakit serangga disebabkan oleh berbagai jenis mikroba, seperti bakteri,
jamur, fungi, virus dan protozoa yang sering disebut sebagai “entomopatogen”. Insektisida biologi
membunuh serangga dengan cara yang sangat berbeda dengan pestisida sintesis. Hal ini membuat
pestisida biologi dapat dijadikan alternatif yang layak dipertimbangkan untuk mengatasi kasuskasus
serangga yang telah kebal terhadap pestisida sintesis. Meskipun demikian, bukan berarti pada suatu saat
serangga tertentu tidak bisa kebal terhadap pestisida biologi.
Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai insektisida biologi adalah dari jenis
bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan untuk jamur yang
lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan nematoda yakni Heterorhabditis indicus.

3.2 Saran
Sebaiknya para penyuluh bekerja ekstra untuk memperkenalkan insektisida biologi kepada para
petani sehingga lingkungan dapat. Selain itu karena insektisida biologi dapat mengatasi kasus-kasus
serangga yang telah kebal terhadap pestisida sintesis. Walaupun suatu saat serangga tertentu tidak bisa
kebal terhadap pestisida biologi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahlul. 2010. Biopestisida Jamur Kubis Entomopatogenik


http://ahlulleogirl.blogspot.com/2010/05/biopestisida-jamur-kubis.html
Ajuz Yayan. 2012. Makalah Peran Mikroorganisme dalam Pestisida Biologi
http://yayanajuz.blogspot.com/2012/07/makalah-peranmikroorganisme-dalam.html
Google Images
Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.
Jakarta: Agro Media Pustaka
Untung.1992. Pestisida Alami. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jember

Anda mungkin juga menyukai