Disusun Oleh :
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2. Klasifikasi fungisida
3. Sumber fungisida
4. Cara penggunaan fungisida
5. Beberapa merk fungisida
6. Dampak fungsida sintesis
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, tujuan dalam penulisan
makalah ini yaitu untuk mengetahui fungisida secara lebih jelas.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Fungisida
Secara bahasa, fungisida berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Yunani, yakni
fungus yang berarti jamur dan sida yang berarti racun. Secara istilah umum, fungisida dapat
diartikan sebagai suatu senyawa kimia yang dapat digunakan untuk menghambat dan
mengendalikan pertumbuhan atau bahkan membunuh jamur penyebab penyakit tanaman.
Senyawa dalam fungisida yang bersifat menghambat pertumbuhan tanpa membunuh jamur
disebut sebagai senyawa fungistatik, sedangkan pada virus atau mikroplasma antibiotik yang
memiliki sifat menghambat pertumbuhan jamur lebih tepat disebut remission. Fungisida
mampu mengendalikan serangan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur pada tanaman
karena memiliki kemampuan proteksi/ melindungi, imunisasi /mencegah infeksi, terapi
/perawatan, eradikasi /mengobati, dan sistemik /mencegah perkembangan penyakit
(Juliansyah, 2013).
3
d. Fungisida Berbentuk Butiran
3. Klasifikasi Fungisida Berdasarkan Sifatnya
a. Fungisida Selektif
Fungisida Selektif adalah fungisida yang bersifat selektif, yaitu fungisida yang
hanya dapat membunuh jenis cendawan tertentu namun tidak mengganggu
cendawan jenis lainnya.
b. Fungisida Non Selektif
Fungisida Non Selektif adalah fungisida yang bersifat tidak selektif yang dapat
membunuh semua jenis cendawan, baik cendawan yang merugikan maupun
cendawan yang menguntungkan.
4. Klasifikasi Fungisida Berdasarkan Cara Kerjanya
a. Fungisida Kontak
Fungisida kontak adalah fungisida yang hanya bekerja pada bagian yang terkena
semprotan saja atau hanya pada bagian yang kontak langsung dengan larutan
fungisida. Fungisida kontak tidak dapat menembus jaringan tanaman dan tidak dapat
didistribusikan di dalam jaringan tanaman.
b. Fungisida Translaminar
Fungisida translaminar adalah jenis fungisida yang dapat menembus jaringan
tanaman namun tidak dapat didistribusikan di dalam jaringan tanaman.
c. Fungisida Sistemik
Fungisida sistemik adalah jenis fungisida yang apabila disemprotkan ketanaman
akan diserap dan didistribusikan keseluruh bagian tanaman melalui jaringan
tanaman.
d. Fungisida Kontak dan Sistemik
Fungisida ini adalah fungisida yang bekerja secara ganda, yaitu bekerja secara
kontak sekaligus bekerja secara sistemik.
5. Klasifikasi Fungisida Berdasarkan Fungsinya
a. Fungisidal, adalah fungisida yang dapat membunuh cendawan dan menghambat
pertumbuhan cendawan.
b. Fungistatik, adalah fungisida yang hanya dapat menghambat pertumbuhan
cendawan.
c. Genestatik, adalah fungisida yang dapat mencegah terjadinya sporulasi.
4
2.3 Sumber Fungisida
1. Fungisida Anorganik
Dengan menggunakan logam berat seperti Tembaga (Cu) dapat menyebabkan koagulasi
protoplas pathogen dan punya daya oligodinamik yaitu proses penghambatan ion
logam terhadap pertumbuhan mikroba khusunya jamur.
2. Fungisida Organik
Dengan menggunakan belerang dan klor. Fungisida organik lebih tidak toksik daripada
fungisida anorganik dan lebih manjur karena aman bagi lingkungan,sifat toksik rendah.
Belerang dicampur dengan kapur akan menghasilkan bubur kalifornia sebagai
fungisida.
3. Fungisida Nabati
Dibuat dari menggunakan ekstrak dari tanaman seperti daun mindi, daun sirih, daun
cengkeh dan batang serai.
5
produk ini dapat dilakukan dengan cara penyemprotan (Penyemprotan volume tinggi:
0,50 - 0,75 g/l).
Gambar 2. Fungisida
ACAPELLA SYSTEM 280 SC
6
3. ACROBAT 50 WP
Fungisida sistemik berbentuk tepung yang dapat disuspensikan. Berbahan aktif
Dimetomorf 50%, dapat mengendalikan penyakit pada:
a. Cabai: penyakit bercak daun Cercospora capsici (Penyemprotan volume tinggi : 2-4
g/l).
b. Jagung: penyakit bulai Peronosclerospora maydis (Perlakuan benih : 1,25-2,50 g/kg
benih).
c. Kentang: penyakit busuk daun Phytopthora infestans (Penyemprotan volume tinggi
: 0,5-0,625g/l).
d. Semangka: penyakit embun bulu Pseudoperonospora cubensis, penyakit antraknosa
Colletotrichum capsici (Penyemprotan volume tinggi : 0,25-0,50g/l.
e. Tembakau: penyakit lanas Phytophthora nicotianae (Penyemprotan volume tinggi:
1-1,25g/l).
f. Tomat: penyakit busuk daun Phytophthora infestans (Penyemprotan volume tinggi:
0,5-1g/l).
Gambar 3. Fungisida
ACROBAT 50 WP
4. ACTOZEB 80 WP
Fungisida yang bersifat protektif berbentuk tepung yang dapat disuspensikan. Terbuat
dari bahan aktif mankozeb (mancozeb) : 80%. Fungisida ini mengendalikan penyakit
pada Kentang yaitu penyakit busuk daun Phytophthora sp. (Penyemprotan volume
tinggi : 2-4 g/l).
7
Gambar 4. Fungisida Actozeb 80 WP
8
pengaruh racun pestisida serta bisa menimbulkan tingkat resistensi pestisida tertentu
pada populasi baru yang lebih tinggi, hal ini biasanya disebabkan oleh pestisida
golongan organoklorin.
4. Timbulnya spesies hama baru atau ledakan hama sekunder. Penggunaan pestisida
yang ditujukan untuk memberantas jenis hama tertentu, bahkan dapat menyebabkan
munculnya jenis hama yang lain. Ledakan hama sekunder tersebut dapat terjadi
beberapa saat setelah penggunaan pestisida, atau pada akhir musimtanam atau malah
pada musim tanam berikutnya. Ledakan hama sekunder dapat lebih merusak daripada
hama sasaran sebelumnya.
5. Dampak terhadap kesehatan masyarakat Penggunaan pestisida dalam kegiatan
pertanian dapat mengakibatkan dampak negatif pada kesehat an manusia, misalnya :
(a) terdapat residu pestisida pada produk pertanian; (b) bioakumulasi dan
biomagnifikasi melalui rantai makanan. Manusia sebagai makhluk hidup yang
letaknya paling ujung dari rantai makanan dapat memperoleh efek biomagnifikasi
yang paling besar. Dampak ini ditimbulkan oleh pestisida golongan organoklorin; (c)
keracunan pestisida, yang sering terjadi pada pekerja dengan pestisida.
9
Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh air dan sedimen dari setiap lokasi
dilakukan secara diagonal pada sekitas 5-7 titik tergantung
pada luas kolam. Contoh air diambil sebanyak 500 mL, contoh
sedimen diambil pada kedalaman 10-15 cm dari permukaan
dasar sebanyak 100-200 g (Mann, 1978). Contoh biota air
diambil secara acak pada 5-7 tempat masing-masing sebanyak
50-100 g, kemudian disatukan menjadi sampel komposit untuk
selanjutnya dianalisis di laboratorium.
Preparasi Contoh
Semua contoh yang berhasil dikumpulkan (sedimen,air, dan
biota air) dipreparasi dengan menggunakan metode Kanazawa
(1979) sebagai berikut:
Contoh biota air (10 g) dimasukkan ke dalam tabung kertas
soxhlet, diekstrak dengan pelarut aceton sebanyak 100 mL
pada alat soxhlet, berlangsung selama 6 jam pada suhu
80oC. Selanjutnya diuapkan dalam evaporator pada suhu
45oC hingga agak kering. Residu pestisida yang diperoleh
dari hasil evaporasi dipindahkan ke dalam corong pemisah
150 mL dengan bantuan pelarut n-heksan 25 mL, kemudian
diekstraksi dengan pelarut asetonitril 25 mL sebanyak 3
kali. Lapisan n-heksan akan terbentuk di bagian atas
sedangkan lapisan asetonitril di sebelah bawah.
Lapisan asetronitril hasil akstrak 3 kali kemudian
diuapkan/dipekatkan dalam evaporator pada suhu 45oC.
Larutan residu hasil evaporator selanjutnya dilarutkan
dengan pelarut n-heksan sebanyak 5 mL dan dimasukkan
ke dalam kolom kromatografi dan dielusi dengan eluen
campuran n-heksan + aceton (9 + 1). Eluat yang
mengandung residu pestisida ditampung dalam labu beralas
datar 125 mL. Eluat dipekatkan hingga agak bening. Eluat
yang hampir kering dimasukkan ke dalam tabung uji
10
dengan bantuan pelarut aceton hingga volume menjadi 5
ml.
Preparasi contoh air sebanyak 200 mL dilakukan melalui
absorben SEP-PAK C18. Residu yang terikat pada
absorben C18 dielusi dengan 5 mL aceton. Eluat ditampung
langsung dalam tabung uji 100 mL.
Analisis Contoh
Hasil preparasi contoh (air, sedimen, biota air) yang berupa
eluat selanjutnya dianalisis dengan alat kromatografi gas cair
(Gas Chromatograph / GC).
Analisis Data
Melalui alat integrator yang terhubung dengan GC, bahan aktif
pestisida yang terkandung dalam contoh akan tergambar
dalam bentuk grafik. Untuk menentukan konsentrasi residu
pestisida yang terdapat dalam contoh berdasarkan gambar,
dilakukan perhitungan mengikuti persamaan Ardiwinata et al.
(1999) sebagai berikut: di mana:
Residu (mg/L) = (Ac x Vis x Ks x Vfc) / (As x Vic x B x R)
Ac = Area contoh
As = Area standar
Vic = Volume injeksi contoh
Vis = Volume injeksi standar
Ks = Konsentrasi standar (mg/L)
B = Bobot awal/volume awal (mg atau mL)
Vfc = Volume final contoh (mL)
R = Recovery (%)
5. Hasil dan Pembahasan
Pada table 1 dijelaskan bahwa Residu organoklorin masih terdapat dalam air (aldrin)
meski dalam konsentrasi rendah (0.0001 mg/L). Hal ini diduga akibat dari
penggunaannya pada masa lalu karena bahan aktif ini bersifat persisten yang dapat
bertahan hingga lebih dari 10 tahun di lingkungan, atau adanya residu tersebut akibat
pemakaian secara tidak terkontrol (ilegal).
11
Pada tabel 2 dijelaskan Residu pestisida yang ditemukan dalam tanah yang berasal
dari kolam budidaya perikanan, terdiri atas golongan organoklorin, organofosfat,
piretroid, dan karbamat dengan jenis dan konsentrasi
12
Meskipun residu pestisida yang terkandung dalam daging ikan masih berada di bawah
BMR, tetapi perlu diwaspadai karena hal ini terjadi akibat adanya konsentrasi subletal
pestisida pada lingkungan pemeliharaan (perairan) (Taufik et al., 2003). Konsentrasi
subletal bahan aktif pestisida secara kronis akan berakumulasi di dalam organ tubuh
ikan (Connel & Miller, 1995). Ikan yang terkena kontaminasi subletal dari berbagai
jenis pestisida akan memperlihatkan perubahan dalam aksi fisiologis, kegagalan
dalam perkembangbiakan, ketahanan, kerentanan, biokimia, morfologi, dan pengaruh
lainnya termasuk laju pertumbuhan (Brawn, 1978).
6. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Residu pestisida yang terdapat dalam air terdiri atas golongan: organoklorin dan
karbamat; sedangkan dalam tanah dan daging ikan : organoklorin, organofosfat
piretroid dan karbamat
2. Masuknya pestisida ke dalam lingkungan budidaya perikanan antara lain
diakibatkan oleh aktivitas pertanian, terutama budidaya tanaman padi di lahan
sawah yang terdapat di sepanjang daerah aliran sungai.
3. Jenis dan konsentrasi residu pestisida yang tertinggi terdapat pada ikan, kemudian
di dalam tanah, dan yang paling rendah dalam air.
4. Konsentrasi pencemaran pestisida pada lahan budidaya perikanan di wilayah
Sukabumi, Jawa Barat masih di bawah nilai BMR.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara istilah umum, fungisida dapat diartikan sebagai suatu senyawa kimia yang
dapat digunakan untuk menghambat dan mengendalikan pertumbuhan atau bahkan
membunuh jamur penyebab penyakit tanaman. Senyawa dalam fungisida yang bersifat
menghambat pertumbuhan tanpa membunuh jamur disebut sebagai senyawa fungistatik,
sedangkan pada virus atau mikroplasma antibiotik yang memiliki sifat menghambat
pertumbuhan jamur lebih tepat disebut remission. Fungisida mampu mengendalikan
serangan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur pada tanaman karena memiliki
kemampuan proteksi/ melindungi, imunisasi /mencegah infeksi, terapi /perawatan,
eradikasi /mengobati, dan sistemik /mencegah perkembangan penyakit (Juliansyah,
2013). Adapun klasifikasi fungisida dibedakan berdasarkan bahan, bentuk, sifat, acara
kerja dan fungsinya.
14
DAFTAR PUSTAKA
DR. H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M. (2018 ). Membuat Fungisida Organik . Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang .
Taufik, I. (2011). Pencemaran Pestisida Pada Perairan Perikanan di Sukabumi - Jawa Barat.
Media Akuakultur Volume 6 Nomor 1.
15