Anda di halaman 1dari 18

FARMAKOLOGI AUTONOM RACUN PESTISIDA

GOLONGAN ORGANOFOSFAT
FARMAKOLOGI

SGD KU A-02
Disusun oleh:
I Gusti Ayu Tika Indriani (1602511024)
I Gede Gita Sastrawan (1602511025)
Wita Fitriyani (1602511026)
Etik Nurhidayati (1602511028)
Hearty Indah Oktavian (1602511032)
Novilia Mulyati (1602511033)
Putu Mela Dewi (1602511034)
Ni Made Pramita Widya Suksmarini (1602511037)
I Gede Agus Darsana Palgunadi (1602511040)
Airin Priskah Lenden (1602511041)
I Gusti Ayu Agung Sriska Pradnya Dewi (1602511042)
Erlin Purnama Muliawan (1602511043)
Ayu Dilia Febriani Wisnawa (1602511045)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

i
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena
berkat rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan student project
dengan judul “ Farmakologi Autonom Racun Pestisida Golongan Organofosfat ”
dengan lancar dan tepat waktu.

Dalam student project ini, penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak
dalam membenahi dan melengkapi penyusunan student project ini. Maka dari itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. IBN Putra Dwija, S.Si., M.Biotech sebagai ketua blok Biomedik 2.


2. dr. I G A Sri Darmayani, Sp.OG sebagai fasilitator Small Group
Discussion (SGD) Group A-02.
3. dr. Agung Nova Mahendra, M.Sc sebagai evaluator Group A-02 dalam
penyusunan student project ini.
4. Serta dosen, teman-teman, dan semua pihak yang membantu dalam
menyelesaikan student project ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.

Penulis menyadari bahwa student project ini masih memiliki kekurangan


baik dari segi isi, susunan kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik, saran, dan rekomendasi yang
dapat membuat student project ini lebih baik selanjutnya. Akhir kata penulis
berharap, student project ini dapat memberikan manfaat bagi semua orang.

Om Santih, Santih, Santih, Om

Denpasar, 19 Januari 2017

Penulis

DAFTAR ISI

ii
Halaman Judul.........……………………………………...………………….….i

Kata Pengantar…..………………………………………...……………....……ii

Daftar Isi……………...……………………………………...…………………..iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…….….…………………………...……………………...1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………...………………....2

1.3 Tujuan Penulisan………………………………………...……………….3

1.4 Manfaat Penulisan….…………………………………...………………..3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida…….……………….………………………………...…....…….4

2.2 Farmakodinamika dan Farmakokinetika Pestisida Organofosfat...……...6

2.3 Toxidrome………………………………….…....……………………….8

2.4 Terapi Keracunan Pestisida Organofosfat……….…………...……….…12

2.4.1 Pemberian Atropine..………………………………….…………...12

2.4.2 Pemberian Pralidoxime...…………………………………………..13

BAB III Penutup

3.1 Summary………………………………………………………………….14

3.2 Saran……………………………………………………………………...14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pestisida merupakan suatu zat yang digunakan untuk membunuh ataupun
mengendalikan hama. Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan
bahwa pestisida adalah setiap zat yang diharapkan sebagai pencegahan,
menghancurkan atau pengawasan setiap hama termasuk vektor terhadap manusia
atau penyakit pada binatang, dan tanaman yang tidak disukai atau binatang yang
menyebabkan kerusakan selama proses produksi berlangsung, penyimpanan atau
pemasaran makanan, komiditi pertanian, kayu dan produksi kayu, atau bahan
makanan binatang.[1] Berdasarkan kegunaannya, pestisida sering digunakan oleh
petani untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman. Namun,
penggunaan pestisida yang tidak memerhatikan dampak ekologi dan kesehatan
dapat menyebabkan kematian bukan saja pada organisme sasaran, tapi juga
manusia.
Keracunan pestisida atau pesticide poisioning merupakan suatu keadaan
yang disebabkan karena adanya paparan secara langsung oleh pestisida dengan
cara menghirup (inhalasi), terkena percikan, atau menyentuh sisa pestisida. World
Health Organization (WHO) dan United Nations Environment Programme
(UNEP), memperkirakan telah terjadi 1-5 juta kasus keracunan pestisida pada
lingkungan pekerja di negara berkembang.[2] Menurut hasil penelitian PANAP dari
Purwati (2010), terdapat 317 kasus keracunan pestisida di beberapa wilayah di
Indonesia pada tahun 2003. Selain itu, menurut data Sentra Informasi Keracunan
Nasional (Sikernas) pada tahun 2014 terdapat 710 kasus keracunan pestisida di
berbagai wilayah di Indonesia dikarenakan terpapar pestisida baik dengan sengaja
maupun tidak sengaja serta terdapat kasus keracunan pestisida di Jawa Timur pada
tahun 2015 dengan korban sebanyak 29 orang dikarenakan penggunaan pestisida
yang tidak tepat dan terpapar dengan cara terhirup. Hal tersebut membuktikan
bahwa kasus keracunan pestisida mengalami peningkatan dari tahun 2003 sampai
dengan 2014.[2]

1
Pestisida digolongkan menjadi empat kelompok, yakni pestisida
organoklorin, pestisida karbamat, pestisida tanaman dan pestisida organofosfat.[3]
Pestisida organoklorin umumnya telah ditinggalkan karena menyebabkan
kerusakan lingkungan yang parah, dengan mengganggu inaktivasi saluran natrium
sehingga menyebabkan keluarnya ion natrium secara berulang pada sebagian
besar neuron. Pestisida karbamat bekerja dengan menghambat asetilkolinesterase
melalui karbamoilasi tempat esteratik. Pestisida tanaman berasal dari sumber
alami yang mencakup nikotin, rotenone dan piretrum yang dalam dosis toksik
dapat menyebabkan stimulasi yang cepat dengan diikuti blokade transmisi.
Pestisida organofosfat biasanya digunakan dalam melawan berbagai jenis hama
dan digunakan sebagai plant systemic. Efek yang ditimbulkan oleh pestisida ini
adalah inhibisi asetilkolinesterase melalui fosforilasi tempat esteratik. Asetilkolin
yang berlebihan merupakan penyebab keracunan pestisida organofosfat.[3,4] Gejala
dan tanda intoksikasi akut oleh pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh
inhibisi ensim astetilkolinesterase dan akumulasi asetilkolin dengan aktivitas
kolinergik langsung.[3] Dalam perkembangannya, pemakaiann pestisida golongan
organofosfat sangat tinggi dibandingkan pestisida golongan organoklorin. Hal ini
disebabkan beberapa insektisida golongan organoklorin telah banyak yang
dilarang penggunaannya sehubungan dengan sifatnya yang tidak mudah terurai di
lingkungan dan menimbulkan residu.[4]
Berdasarkan tingkat penggunaan dan efeknya pada manusia, maka pada
student project ini penulis berupaya membahas “Farmakologi Autonom Racun
Pestisida Golongan Orgaofosfat” dan keterkaitannya pada gejala-gejala yang
ditimbulkan pada manusia.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang kami bahas dalam student project ini
adalah:
1. Bagaimana pengklasifikasian dari pestisida?
2. Bagaimana farmakodinamika dan farmakokinetika dari pestisida
organofosfat?
3. Bagaimana efek yang ditimbulkan akibat pestisida organofosfat?

2
4. Bagaimana penanganan akibat efek yang ditimbulkan dari pestisida
organofosfat?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan student project ini adalah:
1. Mengetahui pengklasifikasian dari pestisida.
2. Mengetahui farmakodinamika dan farmakokinetika dari pestisida
organofosfat.
3. Mengetahui efek yang ditimbulkan akibat pestisida organofosfat.
4. Mengetahui penanganan akibat efek yang ditimbulkan dari pestisida
organofosfat.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan student project ini adalah:
1. Bagi pembaca dapat memahami dan mengetahui pengklasifikasian
pestisida, farmakodinamika dan farmakokinetika dari pestisida
organofosfat, dan efek yang ditimbulkan serta penanganan terhadap
keracunan pestisida organofosfat.
2. Memperdalam pemahaman bagi para klinisi dalam tindakan medis
terhadap keracunan pestisida organofosfat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal
dari Bahasa Inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh.[5] Jadi
secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama yaitu tungau,
tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri,
virus, nematoda, siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan.
Pestisida merupakan suatu penggolongan umum yang mencakup insektisida,
rodentisida, fungisida, herbisida, dan fumigan.[6] Pestisida merupakan zat kimia
yang dibuat hanya untuk maksud membasmi makhluk hidup tertentu. Toksisitas
selektif pestisida sangat diharapkan, namun semua pestisida dapat menyebabkan
sedikitnya beberapa toksisitas terhadap manusia.
Walaupun industri pertanian merupakan pengguna utama insektisida,
namun beberapa industri lain juga banyak menggunakannya, dan penggunaan di
dalam dan di sekitar rumah juga banyak. Residu insektisida sering tertinggal pada
hasil pertanian, dan orang terpajan pada zat kimia ini dalam kadar rendah dalam
makanan. Sejumlah keracunan akut insektisida terjadi karena memakan makanan
yang tercemar insektisida dalam jumlah besar selama penyimpanan dan
pengangkutan. Berdasarkan bahan aktifnya insektisida dibedakan menjadi 4 yaitu
insektisida organoklorin, insektisida karbamat, insektisida botani dan insektisida
organofosforus (organofosfat).[7] Pada makalah student project ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai insektisida organofosforus (organofosfat) mengingat
tingginya bahaya yang diakibatkan dan seringnya penyalahgunaan di kalangan
masyarakat umum.
Golongan insektisida organofosforus/organofosfat sering disebut organic
phosphates, phosphorus insecticide, phosphates, phosphate insecticides dan
phosphorus esters atau phosphorus acid esters. Mereka adalah turunan dari
phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan vertebrata (bertulang
belakang). Golongan organofosfat cara kerjanya berhubungan erat dengan saraf.

4
Golongan organofosfat merupakan racun kontak yang menurunkan aktivitas
enzim kolinesterase darah dan bekerja sebagai racun saraf sebagaimana halnya
dengan racun golongan karbamat. Komposisi organofosfat terdiri dari unsur
fosfat, karbon, dan hidrogen. Agen-agen ini digunakan untuk memerangi berbagai
macam hama. Agen ini merupakan pestisida yang bermanfaat ketika berkontak
langsung dengan serangga atau ketika digunakan sebagai obat sistemis tumbuhan;
agen ini dimasukkan ke dalam tumbuhan dan memunculkan efeknya pada
serangga yang memakan tanaman. Beberapa agen digunakan dalam pengobatan
manusia dan hewan sebagai antiparasitik lokal atau sistemis. Senyawa ini diserap
lewat kulit, saluran napas dan gatrointestinal. Biotransformasinya cepat,
khususnya jika dibandingkan dengan angka biotransformasi insektisida
hidrokarbon terklorinasi.
Toksikologi Manusia
Pada mamalia serta serangga, efek utama agen ini adalah inhibisi
asetilkolinesterase melalui fosforisasi situs esteratik. Tanda dan gejala khas
intoksikasi akut ditimbulkan oleh inhibisi enzim ini dan akumulasi asetilkolin;
beberapa agen juga memiliki aktivitas kolinergik langsung. Perubahan fungsi
neurologis dan kognitif, serta gejala psikologis dalam durasi yang bervariasi, telah
dikaitkan dengan pajanan insektisida ini dalam kadar tinggi.
Selain inhibisi kolinesterase, beberapa agen ini mampu memfosforilasi
enzim lain yang terdapat dalam jaringan saraf, yakni esterase target neuropati. Hal
ini menyebabkan terjadinya neurotoksisitas lambat yang ditandai dengan
polineuropati, terkait dengan paralisis dan degenerasi aksonal (organophosphorus
ester-induced delayed polyneuropathy; OPIDP). Polineuropati biasanya dimulai
dengan rasa terbakar dan kesemutan, khususnya di kaki, disertai timbulnya
kelemahan motorik beberapa hari kemudian. Gangguan sensorik dan motorik
dapat meluas ke tungkai dan tangan. Gaya berjalan (gait) turut terkena
dampaknya, dan dapat timbul ataksia. Tidak ada terapi khusus untuk bentuk
neurotoksisitas lambat ini.
Senyawa Angkat Toksisitas1 ADI2
Azinphos-methyl 5 0,005
Chlorfenvinphos - 0,002
Diazinon 4 0,002

5
Dichlorvos - 0,004
Dimethoate 4 0,01
Fenitrthion - 0,005
Leptophos - -
Malathion 4 0,02
Parathion 6 0,005
Parathion-methyl 5 0,02
Trichlorfon 4 0,01
1
Angka toksisitas: kemungkinan dosis oral yang letal bagi manusia untuk
golongan 4 = 50-500 mg/kg, golongan 5 = 5-50 mg/kg, dan golongan 6 = ≤ 5
mg/kg.
2
ADI = acceptable daily intake (mg/kg.hari)

2.2 Farmakodinamika dan Farmakokinetika Pestisida Organofosfat


Organofosfat merupakan obat yang termasuk golongan kolinergik
khususnya agonis kolinergik. Agonis kolinergik adalah golongan obat yang
bersifat memacu persarafan kolinergik dengan mengaktifkan kolinoseptor
(muskarinik dan nikotinik). Obat agonis kolinergik sering juga disebut dengan
obat kolinomimetik. Obat golongan ini terdiri dari direct-acting dan indirect-
acting. Organofosfat termasuk golongan indirect-acting, yaitu obat yang
menimbulkan efek primer dengan menghambat enzim kolinesterase yang
menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat.[8]
Kolinesterase merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap
metabolisme asetilkolin (ACh) pada sinaps setelah asetilkolin dilepaskan oleh
neuron presinaptik. ACh berbeda dengan neurotransmiter lainnya dimana secara
fisiologis aktivitasnya dihentikan melalui proses metabolisme menjadi produk
yang tidak aktif yaitu kolin dan asetat. Sedangkan ACh sendiri adalah suatu
neurotransmitter yang terdapat di antara ujung-ujung saraf dan otot serta berfungsi
meneruskan rangsangan saraf. ACh berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP),
saraf otonom (simpatik dan parasimpatik), dan sistem saraf somatik. ACh bekerja
pada ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, simpangan saraf
otot, penghantar sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal. ACh disintesis di
sitoplasma dari asetil-KoA dan kolin melalui efek katalitik enzim kolin
asiltransferase[8].

6
Organofosfat menonaktifkan kolinesterase dengan cara fosforilasi
kelompok hidroksil serin yang berada pada sisi aktif kolinesterase yang akan
membentuk senyawa kolinesterase terfosforilasi. Kadar aktif dari enzim
kolinesterase akan berkurang karena enzim tersebut tidak dapat berfungsi lagi.
Berkurangnya enzim kolinesterase mengakibatkan menurunnya kemampuan
menghidrolisis ACh menjadi asam asetat dan kolin sehingga terjadi penimbunan
ACh di sinaps dan menyebabkan terjadinya stimulasi terus-menerus pada reseptor
post sinaps khususnya reseptor muskarinik dan nikotinik, yang akan memperkuat
dan memperpanjang efek rangsang saraf kolinergik pada sebelum dan sesudah
ganglion (pre- dan postganglionik). Aktivitas ACh tetap dihambat sampai enzim
baru terbentuk kembali atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Oleh karena
itu organofosfat bersifat irreversibel dan sering disebut sebagai inhibitor
kolinesterase “irreversibel”[8].
Pada umumnya, efek kronik dari intoksikasi organofosfat adalah delayed
neuropathy. Beberapa organofosfat dapat memicu neuropathy yang dikenal
dengan Organophosphate-Induced Delayed Neuropathy (OPIDN).[9] Enzim
Neuropathy Target Esterase (NTE) adalah enzim yang mengandung protein 6
(PNPLA6) dan dikodekan oleh gen PNPLA6. NTE adalah enzim dengan aktivitas
fosfolipase B yang menghidrolisis asam lemak dari fosfatidilkolin lipid di
membran yang kemudian menghasilkan glycerophosphocholine larut dalam air.[10]
Organofosfat juga menghambat kerja dari enzim butirilkolinesterase
(pseudokolinesterase). Namun, inhibisi butirilkolinesterase tidak banyak berperan
dalam efek obat kolinomimetik kerja indirect-acting karena enzim ini tidak
penting dalam penghentian fisiologik efek sinaptik ACh.[8]
Berikut ini adalah daerah yang sering menjadi target dari organofosfat.
1. Susunan saraf pusat
Dalam konsentrasi rendah, inhibitor kolinesterase larut – lemak
menyebabkan pengaktifan difus pada elektroensefalogram dan respon waspada
subjektif. Dalam konsentrasi lebih tinggi, mereka menyebabkan kejang
generalisata, yang mungkin diikuti koma dan berhenti napas.[8]
2. Mata, saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih

7
Efek inhibitor kolinesterase pada system-sistem organ ini, yang semuanya
disarafi oleh sistem saraf simpatis, secara kualitatif cukup serupa dengan efek
kolinomimetik kerja langsung.[8]
3. Sistem kardiovaskular
Inhibitor kolinesterase dapat meningkatkan aktivitas ganglion simpatis dan
parasimpatis yang mensarafi jantung dan di reseptor ACh di sel neuroefektor (otot
polos jantung dan pembuluh darah) yang menerima persarafan kolenergik.[8]

2.3 Toxidrome
Toxidrome adalah sindrom atau gejala dan efek samping yang disebabkan
oleh racun serta memiliki efek yang berbahaya bagi tubuh. Istilah ini diciptakan
pada tahun 1970 oleh Mofenson dan Greensher. [11] Toxidrom terdiri atas 5
klasifikasi utama yakni (1) Antikolinergik (2) Simpatomimetik (3) Analgetika
(opioid) (4) Sedative dan (5) Kolinergik.[12] Namun, disini akan ditekankan pada
kolinergik karena organofosfat merupakan bagian dari kolinergik.
Kolinergik
Obat-obatan yang merangsang sistem saraf parasimpatik disebut sebagai
obat-obat kolinergik, atau parasimpatomimetik., karena mereka menyerupai
neurotransmiter parasimpatis, asetikolin. Obat-obat kolinergik juga dikenal
dengan kolinomimetik, perangsang kolinergik atau agonis kolinergik. Asetilkolin
adalah neurotrasmitter yang terdapat pada ganglion dan ujung saraf terminal
parasimpatis dan mensarafi reseptor-reseptor pada organ, jaringan, dan kelenjar.
Ada dua jenis reseptor kolinergik : (1) reseptor muskarinik yang merangsang otot
polos dan memperlambat denyut jantung dan (2) reseptor nikotinik yang
mempengaruhi otot rangka. Banyak obat-obat kolinergik bersifat nonselektif
karena mereka mempengaruhi baik reseptor muskarinik dan nikotinik. Selain itu
ada beberapa obat-obat kolinergik yang bersifat selektif untuk reseptor muskarinik
yang tidak mempengaruhi reseptor nikotinik.
Ada obat-obat kolinergik yang bekerja langsung dan ada obat yang bekerja
secara tidak langsung. Obat-obat kolinergik yang bekerja secara langsung bekerja
pada reseptor untuk mengaktivasi respon jaringan. Obat-obat kolinergik yang
bekerja secara tidak langsung menghambat kerja enzim kolinesterase dengan
membentuk suatu kompleks kimia, sehingga memungkinkan asetikolin untuk
8
tetap dan diam pada reseptor. Suatu obat yang menghambat kolinesterase disebut
sebagai penghambat kolinesterase. Kolinesterase dapat menghambat kerja
asetilkolin sebelum atau sesudah mencapai reseptor. Dengan menghambat atau
merusak enzim kolinesterase, maka lebih banyak asetilkolin tersedia untuk
merangsang reseptor dan tetap menempel lama.
Penghambat kolinergik dapat dibagi menjadi reversible dan penghambat
irreversibel. Penghambat reversible berikatan dengan enzim kolinesterase, selama
beberapa menit sampai jam, dan penghambat irreversibel berikatan dengan enzim
secara menetap. Efek yang ditimbulkan berbeda-beda tergantung dari lamanya
kolinesterase berikatan.
Respon utama dari obat-obatan kolinergik adalah merangsang tonus
kandung kemih dan gastrointestinal, konstriksi pupil mata dan meningkatkan
transmisi neuromuskular. Efek lain dari obat-obat kolinergik adalah menurunkan
denyut jantung dan tekanan darah serta menambah produksi saliva, sekresi
gastrointestinal dan kelenjar bronkus.
1. Kolinergik yang bekerja secara langsung
Banyak obat-obat dalam kelompok ini terutama selektif untuk reseptor
muskarinik tetapi nonspesifik karena reseptor musakarinik berada pada otot polos
saluran gastrointestinal dan ganitourinarius, kelenjar dan jantung.
2. Kolinergik yang bekerja tidak langsung
Obat-obat kolinergik yang bekerja tidak langsung tidak bekerja pada
reseptor, tatapi mereka menghambat enzim kolinesterase, sehingga
memungkinkan asetilkolin menumpuk pada reseptor. Karena cara kerjanya
demikian, maka obat ini juga dikenal dengan nama penghambat kolinesterase
yang mempunyai dua jenis yaitu reversible dan irreversible.

Efek sistem organ


Sebagian besar efek sistem organ langsung stimulan reseptor muskarinik
mudah diperkirakan dari pengetahuan tentang efek-efek stimulasi saraf
parasimpatis dan distribusi reseptor muskarinik.

9
1. Mata- Angonis muskarinik yang diteteskan ke dalam kantong konjungtiva
menyebabkan kontraksi otot polos sfingter iris (menyebabkan miosis) dan
otot siliaris (menyebabkan akomodasi). Akibatnya, iris tertarik menjauhi
sudut kamera anterior, dan anyaman trabekular di pangkal otot siliaris
membuka. Kedua efek ini mempermudah mengalirnya aqueous humor
melalui kanal Schlemm, yang menyebabkan drainase kamera anterior.
2. Sistem kardiovaskular- Efek kardiovaskular primer agonis muskarinik
adalah berkurangnya resistensi vaskular perifer dan perubahan kecepatan
jantung. Efek langsung stimulan muskarinik pada jatung sebagai berikut:
(1) meningkatkan arus kalium di sel-sel nodus sinoatrium dan
antrioventrikel, di sel purjinke, dan juga di sel otot antrium serta ventrikel,
(2) berkurangnya arus masuk lambat kalisum di sel jantung dan (3)
berkurangnya arus yang diaktifkan oleh hiperpolarisasi yang mendasari
depolarisasi diastol. Semua efek ini diperantai oleh reseptor M2 dan
berperan dalam kecepatan pacu jantung.
3. Sistem pernafasan- Stimulan muskarinik menyebabkan kontraksi otot
polos saluran bronkus. Selain itu, kelenjar-kelenjar mukosa trakeobronkus
juga dirangsang untuk mengeluarkan sekresi mereka. Kombinasi efek ini
kadang menimbulkan gejala, khususnya pada orang dengan asma.
Brokokonstriksi akibat agonis muskarinik.
4. Saluran cerna- Pemberian agonis muskarinik, seperti stimulasi sistem
saraf parasimpatis, meningkatkan aktivitas sekresi dan motorik usus.
Kelenjar air liur dan lambung mendapat rangsangan kuat; pankreas dan
kelenjar usus halus terangsang dengan derajat yang lebih ringan. Aktivitas
peristaltik meningkat di seluruh usus, dan sebagian besar sfingter melemas.
Stimulasi konstraksi di sistem organ ini disebabkan oleh depolarisasi
membran sel otot polos dan peningkatan influks kalsium. Agonis
muskarinik tidak menyebabkan kontraksi ileum pada mecit mutan yang
tidak memiliki reseptor M2 dan M3. Reseptor M3 diperlukan untuk
pengaktifan langsung kontraksi otot polos, sementara reseptor M2
mengurangi pembentukan CAMP dan relaksasi yang disebabkan oleh obat-
obatan simpatomimetik.

10
5. Saluran kemih- Agonis muskarinik merangsang otot detrusor dan
melemaskan otot trigounum serta sfingter kandung kemih. Sehingga
menyebabkan berkemih. Fungsi reseptor M2 dan M3 di kandung kemih
tampaknya sama seperti otot polos usus. Uterus manusia tidak terlalu
sensitif terhadap agonis muskarinik.
6. Susunan saraf tepi- Ganglion autonom merupakan tempat penting kerja
sinaptik nikotinik. Obat-obat nikotinik menyebabkan pengaktifan nyata
pada reseptor nikotinik dan memicu potensial aksi di neuron pascaganglion.
Reseptor nikotinik neuron terdapat di ujung saraf sensorik- khususnya saraf
eferen di arteri koronaria, badan karotis dan aorta serta di sel glomus badan
aorta. Penggiatan reseptor-reseptor ini oleh stimulan nikotinik dan reseptor
muskarinik di sel glomus oleh stimulan muskarinik memicu respons
medula yang kompleks, termasuk perubahan pernafasan dan implus vagus.
7. Taut neuromuskulus- Efek pada taut neuromuskulus merupakan efek
kolinergik namun tidak termasuk dalam efek penggunaan pestisida
organofosfat. Reseptor nikotinik di aparatus end-plate neuromuskulus
serupa tetapi tidak identik dengan reseptor di ganglion autonom. Kedua tipe
menerima respons terhadap ACh dan nikotin. Ketika suatu agonis nikotin
diberikan langsung terjadi depolarisasi segera di end-plate, yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap ion natrium dan kalium.
Respon kontraktil bervariasi dari fasikulasi acak unit-unit motorik
independen hingga kontraksi kuat keseluruhan otot bergantung pada
sinkronisasi depolarisasi berbagai end-plate di seluruh otot. Obat nikotinik
penyebab depolarisasi, menyebabkan blokade depolarisasi sangat cepat,
transmisi dalam keadaan menetap walaupun sudah berlangsung
repolarisasi.

2.4 Terapi Keracunan Pestisida Organofosfat


Keracunan organofosfat, bila penderita tidak bernafas segara beri nafas
buatan, bila racun terlelan lakukan pencucian lambung dengan air, bila
kontaminasi dari kulit, cuci dengan sabun dan air selama 15 menit. Bila ada

11
berikan antidot: atropine dan pralidoxime (Contrathion). Pengobatan keracunan
organofosfat harus cepat dilakukan. Bila dilakukan terlambat dalam beberapa
menit akan dapat menyebabkan kematian. Diagnosis keracunan dilakukan
berdasarkan terjadinya gejala penyakit dan sejarah kejadiannya yang saling
berhubungan. Pada keracunan yang berat, pseudokholinesterase dan aktivitas
eritrosit kolinesterase harus diukur dan bila kandungannya jauh dibawah normal,
keracunan mesti terjadi dan gejala segera timbul. Beri atropine 2 mg secara
intravena atau subcutan tiap sepuluh menit sampai terlihat atropinisasi yaitu:
muka kemerahan, pupil dilatasi, denyut nadi meningkat sampai 140 x/menit.
Ulangi pemberian atropin bila gejala-gejala keracunan timbul kembali. Awasi
penderita selama 48 jam dimana diharapkan sudah ada recovery yang komplit dan
gejala tidak timbul kembali. Kejang dapat diatasi dengan pemberian diazepam 5
mg secara intavena.

2.4.1 Pemberian Atropine


Merupakan antidotum yang mempunyai “blocking action” terhadap
acetylcholine terutama berkasiat pada gejala muscarinik. Keracunan dengan
anticholinesterase umumnya menunjukkan toleransi lebih besar terhadap atropine.
Kemudian Atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24-48 jam, karena
gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Atropine akan
menghilangkan gejala-gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan kelenjar
eksokrin) maupun sentral. Pernapasan diperbaiki karena atropine melawan
brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernapasan di
otak, tetapi atropine tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang
berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan oot-otot pernapasan.
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 2-4 mg intravena atau intramuskuler,
diulangi tiap 5-10 menit sampai terjadi atropinisasi, seperti kulit kering dan
merah, takikardi, kemudian pemberian dosis pemeliharaan atropinisasi sampai
selama 24 jam.
2.4.2 Pemberian Pralidoxime
Merupakan antidotum yang spesifik, karena mempunyai kelainan biokimia
dengan mematahkan ikatan antara kolinesterase dan organofosfat sehingga
aktivitas pulih kembali. Reaktivitas tersebut mengatasi segala efek muskarinik

12
maupun nikotinik. Terapi ini diperlukan karena atropine tidak berpengaruh pada
efek nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Pralidoxime bekerja dengan
cara mereaktivasi kolinesterase dan juga dengan memperlambat “aging process”
pada gugus akil.[13] Pralidoxim dapat mengaktifkan kembali enzim kolinesterase
pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan otot rangka sehingga dapat mengatasi
kelumpuhan otot rangka.
Dosis pemberian pralidoxime:[14]
1. Loading Dose
a) Dewasa dan anak diatas 12 tahun : 2 gr secara infus intravena
b) Anak dibawah 12 tahun : 20-50mg/KgBB diberikan secara
intravena (bergantung pada tingkat keparahan) dicampur dengan
100 mL normal saline.
2. Subsequent Dose
Diberikan 1 gram per hari melalui infus intravena lebih dari 48 jam.
Jika diperlukan, dapat diberikan pemberian setiap 4 jam, infus selama
lebih dari 1 jam. Kemungkinan lain, dosis praldoxime diulang setiap 1-
2 jam lalu dengan rentangan 4 jam jika diperlukan.
Pengulangan pemberian dosis pralidoxime biasanya sangat diperlukan.
Pada kasus yang melibatkan terjadinya absorpsi dengan jumlah besar organofosfat
atau kelanjutan transfer lipofilik organofosfat menuju darah, diperlukan
pemberian pralidoxime secara berkelanjutan beberapa hari melebihi 48 jam.
Administrasi harus dikurangi atau dapat dihentikan jika tekanan darah meningkat
dan risiko bahayanya meningkat.[15]

BAB III
PENUTUP

3.1 Summary
Pestisida merupakan suatu zat yang digunakan untuk membunuh ataupun
mengendalikan hama. Berdasarkan bahan aktifnya insektisida dibedakan menjadi

13
4 yaitu insektisida organoklorin, insektisida karbamat, insektisida botani dan
insektisida organofosforus (organofosfat).[7] Keracunan pestisida atau pesticide
poisioning merupakan suatu keadaan yang disebabkan karena adanya paparan
secara langsung oleh pestisida dengan cara menghirup (inhalasi), terkena
percikan, atau menyentuh sisa pestisida. Efek yang ditimbulkan oleh pestisida
organofosfat adalah inhibisi asetilkolinesterase melalui fosforilasi tempat
esteratik. Organofosfat menonaktifkan kolinesterase dengan cara fosforilasi
kelompok hidroksil serin yang berada pada sisi aktif kolinesterase yang akan
membentuk senyawa kolinesterase terfosforilasi. Pada umumnya, efek kronik dari
intoksikasi organofosfat adalah delayed neuropathy. Toxidrome adalah sindrom
atau gejala dan efek samping yang disebabkan oleh racun serta memiliki efek
yang berbahaya bagi tubuh. Toxidrom terdiri atas 5 klasifikasi utama yakni (1)
Antikolinergik (2) Simpatomimetik (3) Analgetika (opioid) (4) Sedative dan (5)
Kolinergik.[12] Pada keracunan organofosfat, bila penderita tak bernafas segera beri
nafas buatan, bila racun tertelan lakukan pencucian lambung dengan air, bila
kontaminasi dari kulit, cuci dengan sabun dan air selama 15 menit. Bila ada
berikan antidot: atropine dan pralidoxime (Contrathion). Pengobatan keracunan
organofosfat harus cepat dilakukan. Bila dilakukan terlambat dalam beberapa
menit akan dapat menyebabkan kematian.

3.2 Saran
Adapun hal-hal yang dapat penulis sarankan adalah :
1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai penatalaksaan keracunan
pestisida organofosfat.
2. Perlu adanya pemberian pengetahuan kepada masyarakat mengenai
penggunaan pestisida yang efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Sukarno. 2016. Bab II Pestisida. Tersedia di http://www.eprints.ums.co.id
[Diakses tanggal 1 Januari 2017].
[2] Utami. 2016. Bab I Pestisida. Tersedia di http://www.eprints.ums.co.id
[Diakses tanggal 1 Januari 2017].

14
[3] Marsaulina. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keracunan
Pestisida pada Petani. Tersedia di http://www.ejournal.litbang.depkes.go.id
[Diakses tanggal 1 Januari 2017].
[4] Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik. Vol.1. Ed.12.
[5] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30821/4/Chapter%20II.pdf
[6] Gilman, Alfred Goodman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi Vol.1 Edisi 10.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
[7] Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
[8] Katzung, B.G. Farmakologi Dasar & Klinik. Diterjemahkan oleh Brahm U.
Pendit; editor edisi bahasa Indonesia, Rick Soeharsono…[et al]. Ed 12 Vol 1.
Jakarta: EGC, 2013.
[9] Chen-Chang Yang, Jou-Fang Deng. Intermediate Syndrome Following
Organophosphate Insecticide Poisoning. November 2007. Vol 70 No 11.
Department of Environmental and Occupational Medicine, National Yang-
Ming University School of Medicine, and Division of Clinical Toxicology,
Department of Medicine, Taipei Veterans General Hospital, Taipei, Taiwan,
R.O.C. Taiwan: Chin Med Assoc. diakses di
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1726490108700431.
[10] Fernández-Murray JP, McMaster CR. March 2007. Phosphatidylcholine
synthesis and its catabolism by yeast neuropathy target esterase 1. Biochim.
Biophys. Acta. 1771 (3): 331–6. Diakses di
https://en.wikipedia.org/wiki/Neuropathy_target_esterase.
[11] Farmakologi: pendekatan proses keperawatan/ Joyce L.Kee, Evelyn R.Hayes;
alih bahasa, Peter Anugerah; editor,Yasmin Asih.
[12] Farmakologi dasar & klinik / editor, Bertram G. Katzung, Susan B. Masters,
Anthony J. Trevor ; alih bahasa, Brahm U. Pendit; editor Bahasa Indonesia,
Ricky Soeharsono. –Ed .12.- Jakarta ; EGC,2013.
[13] Cherian AM, Peter JV, Jaydevan R, et al. Effectiveness of P2AM (PAM -
pralidoxime) in the treatment of organophosphorus poisoning (OPP) a
randomized, double blind placebo controlled clinical trial. JAPI.
1997;45(1):22-24. 49.
[14] Pawar KS, Bhoite RR, Pillay CP, Chavan SC, Malshikare DS, Garad SG.
Continuous pralidoxime infusion versus repeated bolus injection to treat
organophosphorus pesticide poisoning: a randomised controlled trial. Lancet.
Dec 16 2006;368(9553):2136-2141.
[15] Johnson S, Peter JV, Thomas K, Jeyaseelan L, Cherian AM. Evaluation of
two treatment regimens of pralidoxime (1 gm single bolus dose vs 12 gm
infusion) in the management of organophosphorus poisoning. J Assoc
Physicians India. Aug 1996;44(8):529-531

15

Anda mungkin juga menyukai