Anda di halaman 1dari 49

TUGAS MAKALAH

ANALISIS KASUS ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT


DARURAT DENGAN KERACUNAN ORGANOFOSFAT

DISUSUN OLEH :
1. Irwan Rosyadi ( 124 STYC 20 )
2. Iva Anisha Novira ( 125 STYC 20 )
3. Lalu Amrullah ( 126 STYC 20 )
4. Lidya Adrian ( 127 STYC 20 )
5. Lisma Intan ( 128 STYC 20 )
6. M. Fikri Yadiansyah ( 129 STYC 20 )
7. Mariana ( 130 STYC 20 )
8. Muhammad Azmi ( 131 STYC 20 )
9. Muhammad Nur Husnullah ( 132 STYC 20 )
10. Muznah ( 133 STYC 20 )
11. Ni Luh Yunita Wulandari ( 134 STYC 20 )
12. Ni Nyoman Sundari ( 135 STYC 20 )
13. Tilan Prayadi ( STYC 20 )

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM KHUSUS TRANSFER S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Analisis Kasus
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dengan Keracunan Organofosfat” ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya, dan juga kami berterima
kasih pada Ibu Bq. Nurainun Apriani Idris, Ners., M.Kep. selaku dosen mata
kuliah Keperawatan Gawat Darurat yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Analisis Kasus Asuhan Keperawatan
Gawat Darurat Dengan Keracunan Organofosfat. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Mataram, 21 September 2020

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................ 2
C. Tujuan.............................................................................................................. 2
1. Tujuan Umum............................................................................................. 2
2. Tujuan Khusus............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 3
A. Laporan Pendahuluan....................................................................................... 3
1. Pengertian Organofosfat ........................................................................... 3
2. Etiologi Keracunan Organofosfat............................................................... 3
3. Patofisiologi Keracunan Organofosfat......................................................... 4
4. Pathway Organofosfat.................................................................................. 7
5. Manifestasi Klinis Keracunan Organofosfat................................................ 8
6. Komplikasi Keracunan Organofosfat........................................................... 9
7. Penatalaksanaan Keracunan Organofosfat................................................... 10
8. Pemeriksaan Penunjang Keracunan Organofosfat........................................ 12
B. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dengan Keracunan Organofosfat . . 13
C. Analisis Kasus Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dengan Keracunan
Organofosfat.................................................................................................. 22
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 44
A. Kesimpulan...................................................................................................... 44
B. Saran................................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 45

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Iklim tropis di Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki tanah
yang subur dan cocok untuk ditanami berbagai macam jenis tanaman. Dalam
upaya meningkatkan mutu dan produktivitas hasil pertanian, penggunaan
pestisida untuk membasmi hama tanaman sering tak terhindarkan. Pestisida
yang biasanya digunakan oleh petani salah satunya jenis Organofosfat.

Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara


lain : Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat,
Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon dan
Chlorpyrifos. Penggunaan pestisida organofosfat secara luas berdampak pada
meningkatnya kasus keracunan, yakni sebanyak 80% kasus keracunan
pestisida merupakan kasus keracunan pestisida organofosfat. Menurut World
Health Organization (WHO), satu juta kasus keracunan berat dan dua juta
kasus bunuh diri menggunakan organofosfat terjadi di seluruh dunia, dan
200.000 diantaranya meninggal, terbanyak di negara sedang berkembang.

Di Negara - negara sedang berkembang cenderung lebih banyak


terjadi keracunan pestisida organofosfat dibanding negara-negara maju
dikarenakan oleh tiga faktor utama: iklim, penggunan alat pelindung diri yang
tidak tepat, dan kurangnya pelatihan keamanan. Keracunan organofosfat
dalam pertanian terbanyak disebabkan karena penggunaan pestisida yang
salah dengan pemakaian alat pelindung diri yang tidak lengkap.

Organofosfat memiliki efek toksik terhadap banyak bagian tubuh


sehingga dapat terjadi berbagai macam gangguan, diantaranya terjadi
gangguan sistem respirasi, hepatik, kardiovaskuler, neurologis, ketidak
seimbangan hormonal, kerusakan ginjal serta stres oksidatif. dalam makalah
ini. Berdasarkan keadaan tersebut, kami akan membahas lebih lanjut

1
mengenai “Analisis Kasus Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dengan
Keracunan Organofosfat” dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana analisis kasus
asuhan keperawatan gawat darurat dengan keracunan organofosfat ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan makalah ini ada untuk mengetahui analisis kasus asuhan
keperawatan gawat darurat dengan keracunan organofosfat.
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
komplikasi, penatalaksanaan, dan pemeriksaan penunjang dari
keracunan organofosfat.
b) Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat dengan pasien
keracunan organofosfat.
c) Untuk mengetahui analisis kasus asuhan keperawatan gawat darurat
dengan keracunan organofosfat.

2
1 BAB II

PEMBAHASAN

A. Laporan Pendahuluan Organofosfat


1. Pengertian

Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus


digunakan untuk mengendalikan,  mencegah atau menangkis  gangguan
serangga, binatang pengerat,  nematoda, gulma, virus, bakteri,
serta jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri, atau jasad
renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia. Organofosfat
merupakan insektisida ester asam fosfat atau asam tiofosfat yang bersifat
paling toksik secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti
ikan, burung, cicak dan mamalia. Golongan organofosfat antara lain :
Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat,
Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon dan Chlorpyrifos.

2. Etiologi

Keracunan organofosfat adalah keracunan yang disebabkan oleh


pestisida organofosfat. Pestisida dapat masuk kedalam tubuh manusia
melalui berbagai rute :
a. Penetrasi lewat kulit
Pestisida yang menempel di permukaan kulit dapat meresap ke
dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi
pestisida lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering
terjadi. Pekerjaan yang menimbulkan resiko tinggi kontaminasi
lewat kulit adalah:
1) Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan
langsung oleh droplet atau drift pestisida dan menyeka wajah
dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang
terkontaminsai pestisida

3
2) Pencampuran pestisida.
3) Mencuci alat aplikasi.
b. Terhisap melalui saluran pernapasan
Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung
merupakan terbanyak kedua setelah kulit. Gas dan partikel
semprotan yang sangat halus (kurang dari 10 mikron) dapat masuk
ke paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar (lebih dari 50
mikron) akan menempel di selaput lendir atau kerongkongan.
c. Masuk melalui saluran pencernaan
Pestisida keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi
dibandingkan dengan kontaminasi lewat kulit. Keracunan lewat
mulut dapat terjadi karena :
1) Makan dan minum saat berkerja dengan pestisida.
2) Pestisida terbawa angin masuk ke mulut.
3) Makanan terkontaminasi pestisida
3. Patofisiologi

4
Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan
fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.

Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.

5
Pestisida golongan organofosfat dapat masuk kedalam tubuh melalui
pernafasan, tertelan melalui mulut maupun diserap oleh tubuh.
Organofosfat bekerja sebagai kolinesterase inhibitor. Kolinesterase
merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme
asetilkolin (ACh) pada sinaps setelah ACh dilepaskan oleh neuron
presinaptik. ACh berbeda dengan neurotransmiter lainnya dimana secara
fisiologis aktivitasnya dihentikan melalui melalui proses metabolisme
menjadi produk yang tidak aktif yaitu kolin dan asetat. Adanya inhibisi
kolinesterase akan menyebabkan ACh tertimbun di sinaps sehingga terjadi
stimulasi yang terus menerus pada reseptor post sinaptik. ACh dibentuk
pada seluruh bagian sistem saraf. ACh juga dapat dijumpai di otak
khususnya sistem saraf otonom. ACh berperan sebagai neurotransmiter
pada ganglio simpatis maupun parasimpatis. Inhibisi kolinesterase pada
ganglion simpatis akan meningkatkan rangsangan simpatis dengan
manifestasi klinis midriasis, hipertensi dan takikardia. Inhibisi
kolinesterase pada ganglion parasimpatis akan menghasilkan peningkatan
rangsangan saraf parasimpatis dengan manifestasi klinis miosis,
hipersalivasi dan bradikardi. Besarnya rangsangan pada masing-masing
saraf simpatis dan parasimpatis akan berpengaruh pada manifestasi klinis

6
yang muncul. ACh juga berperan sebagai neurotransmiter neuron
parasimpatis yang secara langsung menyarafi jantung melalui saraf vagus,
kelenjar dan otot polos bronkus. Berbeda dengan pada ganglion, reseptor
kolinergik pada daerah ini termasuk subtipe muskarinik. Inhibisi
kolinesterase secara langsung pada pada organ-organ ini menjelaskan
manifestasi klinis yang dominan parasimpatik pada keracunan
organofosfat, dimana daerah tersebut merupakan target utama
organofosfat. Organofosfat merupakan pestisida yang memiliki efek
irreversible dalam menginhibisi kolinesterase, acethylcholine-esterase dan
neuropathy target esterase (NTE) pada binatang dan manusia. Paparan
terhadap organofosfat akan mengakibatkan adanya hiperstimulasi
muskarinik dan stimulasi reseptor nikotinik. Organofosfat akan
menginhibisi AChE dengan membentuk phosphorilated enzyme (enzyme-
OP complex). AChE ini sangat penting untuk ujung saraf muskarinik dan
nikotinik dan pada sinaps sistem saraf pusat. Inhibisi AChE akan
menyebabkan prolonged action dan asetilkolin yang berlebihan pada
sinaps saraf autonom, neuromuskular dan SSP.

7
4. Pathway

Insektisida golongan organofosfat

Menghambat aktivitas enzimasetikoloin nesterase

Tertumpuknya asetikolin

Gejala autonom Ujung-ujung Sistem saraf Sambungan


neuromuskular syaraf simpatis neuromuskular
pusat

Penurunan
Kontraksi pupil, kesadaran
penglihatan kabur, Resiko
Konatriksi diare,renore, Aspirasi
otot-otot salivasi banyak
bronkhial keringat Penurunan
flacide
persepsi
sensori

Penekanan
aktifitas Resiko defisien
cardiac
volume cairan
berhungan

Penurunan
curah
jantung
Pola nafas
tidak efektif

8
5. Manifestasi klinis
Masuknya pestisida golongan organofosfat segera diikuti oleh gejala-
gejala khas yang tidak terdapat pada gejala keracunan pestisida golongan
lain. Gejala keracunan pestisida yang muncul setelah enam jam dari
paparan pestisida yang terakhir, dipastikan bukan keracunan golongan
organofasfat.
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan
atau 12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil
dari perubahan / pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan
keluar melalui urine. Adapun gejala keracunan pestisida golongan
organofosfat adalah sebagai berikut:
a. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual atau rasa penuh di perut, muntah,
rasa lemas, sakit kepala dan gangguan penglihatan.
b. Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang
berlebihan, pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada
keracunan melalui hidung), kejang usus dan diare, keringat
berlebihan, air mata yang berlebihan, kelemahan yang disertai
sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
c. Gejala Sentral
Gelaja sentral yang ditimbulkan adalah sukar bicara, kebingungan,
hilangnya reflek, kejang dan koma.
d. Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian
dikarenakan kelumpuhan otot pernafasan.
Gejala-gejala tersebut akan muncul kurang dari 6 jam, bila lebih dari
itu maka dipastikan penyebabnya bukan golongan organofosfat. Pestisida
organofosfat dan karbamat dapat menimbulkan keracunan yang bersifat

9
akut dengan gejala sebagai berikut : leher seperti tercekik, pusing-pusing,
badan terasa sangat lemah, sempoyongan, pupil atau celah iris mata
menyempit, pandangan kabur, tremor, terkadang kejang pada otot, gelisah
dan menurunnya kesadaran, mual, muntah, kejang pada perut, mencret,
mengeluakan keringat yang berlebihan, sesak dan rasa penuh di dada,
pilek, batuk yang disertai dahak, mengeluarkan air liur berlebihan. Denyut
jantung menjadi lambat dan ketidakmampuan mengendalikan buang air
kecil maupun besar biasanya terjadi 12 jam setelah keracunan.
6. Komplikasi

Disfungsi Otonom atau neuropati otonom didefinisikan sebagai


perubahan fungsi sistem saraf otonom yang dapat mengganggu kesehatan.
Perubahan dapat bersifat sementara sampai dengan penyakit
neurodegenatif yang bersifat progresif Manifestasi klinis data berupa
gangguan beberapa sistem tubuh atau kombinasi beberapa kelainan sistem
tubuh seperti kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, urogenital,
sudomotor dan pupilomotor.
Disfungsi otonom pada paparan kronis organofosfat disebabkan oleh
efek neurotoksik organofosfat terhadap sistem saraf. Diagnosis disfungsi
otonom ditentukan dengan macam pemeriksaan. American Academy of
Neurology mengkategorikan pemeriksaan fungsi saraf otonom sebagai
berikut:
a. Kardiovagal (saraf parasimpatis):
Perubahan denyut jantung saat bernafas atau bernafas dalam, Rasio
Valsava, dan perubahan denyut jantung saat berdiri (Rasio 30:15)
b. Adrenergik: Perubahan tekanan darah sesuai denyut jantung dari
saat berbaring ke posisi berdiri (tilt-up) atau saat berdiri.
c. Sudomotor: Quantitative Sudomotor Axon Reflex Test (QSART),
thermoregulatory sweat test (TST), sympathetic skin response
(SSR) dan Silastic sweat imprint.
Derajat berat disfungsi otonom diukur dengan Autonomic
Dysfunction Score. Komponen Autonomic Dysfunction Score (ADS)
adalah sebagai berikut:

10
a. Reaksi ortostatik
b. Gangguan buang air kemih
c. Konstipasi
d. Gangguan fungsi seksual
e. Gangguan merasakan suhu
f. Gangguan kulit seborrhea (kulit pada kepala, wajah atau tubuh
bersisik, kemerahan dan gatal)
g. Gangguan berkeringat h. Hipersalivasi / mulut kering
h. Gangguan persarafan pupil mata

7. Penatalaksanaan
a. Stabilisasi Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan
evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi
terhadap tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami
pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi
endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami
perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak
antidotum tidak memberikan efek. Pasien harus menerima
pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi
yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan
oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif
ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum.
b. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang
mengalami keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan
badan pasien harrus segera dibersihkan dengan sabun. Proses
pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai
ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari
udara.
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi
toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak
bisa digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam

11
saluran pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus
dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran
cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika
toksikan diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan
lambung kurang efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan
karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang mengalami
muntah.
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk
menyerap toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang
aktif harus diberikan setelah pasien mengalami pengosongan
lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk
menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan
dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik.
c. Pemberian Antidotum
1) Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium,
glikopirolat, dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek
muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu yang
sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat
penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang
ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor
muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea.
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang
digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk
anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB yang digandakan
setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada
kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan
Atropin.
2) Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa
digunakan untuk melawan efek neuromuskular pada
keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena

12
Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang
ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi
enzim kholinesterase dengan membuang fosforil organofosfat
dari sisi aktif enzim.
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada
regimen dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48
jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine
total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator.
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian
Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing,
drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah,
hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat
injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada
kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai
antidotum keracunan organofosfat.

d. Pemberian anti-kejang

Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas,


gelisah (dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk
mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV)

8. Pemeriksaan Penujang
a. Pemeriksaan Laboratorium klinik
1) analisa gas darah
2) darah lengkap
3) serum elektrolit
4) pemeriksaan fungsi hati
5) Pemeriksaan fungsi ginjal
6) sedimen urin
b. EKG
Deteksi gangguan irama jantung
c. Pemeriksaan radiologi

13
Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi
atau dugaan adanya perforasi lambung.
d. Pemeriksaan khusus : pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah
dan plasma penting untukmemastikan diagnosis keracunan akut
maupun kronik (menurut sekian % dari nilai normal), 40 -70 % N
untuk nilai ringan, 20%N sedang, dan < 20%N Berat.
Keracunan kronik : bila kadar KhE menurun sampai 25-50 % setiap
individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera
disingkarkan atau diizinkan bekerja kembali bila kadar KhE telah
meningkat 75% N.
e. Pemeriksaan PA
Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas
sering adanya ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, dan hiperemi
paru , otak ,dan organ lainnya.
C. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dengan Keracunan Organofosfat.

1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Periksa kelancaran jalan napas, gangguan jalan napas sering
terjadi pada klien dengan keracunan baygon, botulisme karena
klien sering mengalami depresi pernapasan seperti pada klien
keracunan baygon, botulinun.
2) Breathing
Kaji keadekuatan ventilasi dengan observasi usaha ventilasi
melalui analisa gas darah atau spirometri.
3) Circulation
Kaji TTV, kardiovaskuler dengan mengukur nadi, tekanan darah,
tekanan vena sentral dan suhu. mungkin ini berhubungan dengan
kerja kardio depresan dari obat yang ditelan, pengumpulan aliran
vena di ekstremitas bawah, atau penurunan sirkulasi volume
darah, sampai dengan meningkatnya permeabilitas kapiler.
4) Disability (evaluasi neurologis)

14
Pantau status neurologis secara cepat meliputi tingkat kesadaran
dan GCS, ukuran dan reaksi pupil serta tanda-tanda vital.
Penurunan kesadaran dapat terjadi pada klien keracunan alcohol
dan obat-obatan. Penurunan kesadaran dapat juga disebabkan
karena penurunan oksigenasi, akibat depresi pernapasan seperti
pada klien keracunan baygon, botulinum.
b. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan
Riwayat keracunan, bahan racun yang digunakan, berapa lama 
diketahui setelah keracunan, ada masalah lain sebagai pencetus
keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan
terjadinya. 
b. Pemeriksaan fisik head to toe
c. Pemeriksaan ADL (Activity Daily Living) 
a) Aktifitas dan Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise 
Tanda : Kelemahan, hiporefleksi
b) Sirkulasi
Tanda : Nadi lemah (hipovolemia), takikardi, hipotensi (pada
kasus berat) , aritmia jantung, pucat, sianosis, keringat banyak.
c) Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih, distensi vesika urinaria,
bising usus menurun, kerusakan ginjal.
Tanda :  Perubahan warna urin (contoh kuning pekat,
merah,coklat).
d) Makanan Cairan
Gejala : Dehidrasi, mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati.
Tanda : Perubaan turgor kulit/kelembaban, keringat banyak.
e) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, midriasis, miosis,
pupil mengecil, kram otot/kejang.

15
Tanda : Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi kehilangan memori,
penurunan tingkat kesadaran (azotemia), koma, syok.
f) Nyaman / Nyeri
Gejala : Nyeri tubuh, sakit kepala.
Tanda : Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
g) Pernafasan
Gejala : Nafas pendek, depresi napas, hipoksia.
Tanda : Takipnea, dipsnea, peningkatan frekuensi, kusmaul,
baruk produktif.
h) Keamanan
Gejala : Penurunan tingkat kesadaran, koma, syok, asidemia 
i) Penyuluhan/pembelajaran.
Gejala : Riwayat terpapar toksin(obat,racun), obat nefrotik
penggunaan berulang.
2. Diagnosa.

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penekanan aktifitas cardiac.


2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penekanan aktifitas
cardiac.
3. Resiko defisien volume cairan berhungan dengan kontraksi pupil,
penglihatan kabur, diare,renore, salivasi banyak keringat.
4. Resiko aspirasi berhubungan dengan kejang dan tremor.

16
I. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Ketidakefektifa Tujuan :
n pola nafas b/d Pola nafas kembali efektif
penekanan 1. Pantau tingkat, irama 1. Efek insektisida mendepresi
aktifitas cardiac. Kriteria hasil    : pernapasan & suara napas SSP yang mungkin dapat
1. RR dalam batas normal serta pola pernapasan mengakibatkan hilangnya
2. jalan nafas bersih kepatenan aliran udara atau
3. sputum tidak ada depresi pernapasan, pengkajian
yang berulang kali sangat
penting karena kadar toksisitas
mungkin berubah-ubah secara
drastis.
2. Tinggikan kepala  tempat 2. Menurunkan kemungkinan
tidur aspirasi, diafragma bagian
bawah untuk menigkatkan
inflasi paru.
3. Dorong untuk batuk/ nafas 3. Memudahkan ekspansi paru &
dalam. mobilisasi sekresi untuk
mengurangi resiko atelektasis/

17
pneumonia.

4. Auskultasi suara napas. 4. Pasien beresiko atelektasis


dihubungkan dengan
hipoventilasi & pneumonia.
5. Berikan O2  jika 5. Hipoksia mungkin terjadi
dibutuhkan akibat depresi pernapasan
6. Kolaborasi 6. Memantau kemungkinan
untuk pemeriksaan  sinar munculnya komplikasi
X dada, Blood Gas sekunder seperti
Analysis atelektasis/pneumonia,
2. Penurunan Tujuan : evaluasi kefektifan dari usaha
curah jantung Pompa jantung efektif. pernapasan.
b/d penekanan
aktifitas cardiac. Kriteria hasil :
1. Tanda-tanda vital dalam
rentang normal
2. Tidak ada penurunan
kesadaran. 1. Untuk memantau keadaan

18
3. AGD dalam batas
normal
4. Tidak ada distensi vena 1. Observasi tanda-tanda umum pasien. tekanan darah
leher vital. rendah secara signifikan
5. warna kulit normal sebagai respons terhadap
(HKM) penurunan curah jantung.
respirasi cepat adalah
karakteristik penurunan curah
jantung

2. Kulit dingin, lembap, dan


pucat merupakan akibat
kenaikan kompensasi pada
stimulasi sistem saraf simpatis
dan curah jantung rendah dan
desaturasi oksigen.

3. Penurunan perfusi serebral


dan hipoksia tercermin dalam

19
2. Perhatikan warna kulit, iritabilitas, kegelisahan, dan
suhu, dan kelembaban. sulit berkonsentrasi. Pasien
usia sangat rentan terhadap
perfusi yang berkurang

4. Curah jantung rendah dapat


menurunkan perfusi miokard,
sehingga menyebabkan nyeri
dada.

5. Transisi ke setting rumah


3. Periksa adanya perubahan dapat menyebabkan faktor
tingkat kesadaran. risiko seperti diet tidak tepat
untuk muncul kembali.

20
4. Periksa gejala nyeri dada. 6. Dokter dapat memutuskan
untuk memiliki obat yang
diberikan walaupun tekanan
darah atau denyut nadi telah
diturunkan

5. Edukasi keluarga agar

21
menyesuaikan pola hidup
sehari-hari yang sehat
untuk membangun
perubahan hidup yang
akan memperbaiki fungsi
jantung pada pasien.

6. Kolaborasi dengan dokter


untuk pemberian obat

3. Resiko defisien Tujuan : 1. Monitor pemasukan dan 1. Dokumentasi yang akurat


volume cairan Kekurangan cairan tidak pengeluaran cairan. dapat membantu dalam
d.d faktor resiko terjadi mengidentifikasi pengeluran
asupan cairan Kriteria hasil    : dan penggantian cairan.
kurang. Tanda-tanda vital stabil,

22
Turgor kulit stabil, 2. Monitor suhu kulit, 2. Kulit dingain dan lembab,
Membran mukosa lembab, palpasi denyut perifer. denyut yang lemah
Pengeluaran urine normal 1 mengindikasikan penurunan
– 2 cc/kg BB/jam sirkulasi perifer dan
dibutuhkan untuk pengantian
cairan tambahan.
3. Observasi adanya mual, 3. Mual, muntah dan
muntah, perdarahan perdarahan yang berlebihan
dapat mengacu pada
hipordemia.
4. Pantau tanda-tanda vital 4. Hipotensi, takikardia,
peningkatan pernapasan
mengindikasikan kekurangan
cairan (dehindrasi
/hipovolemia).
5. Berikan kembali 5. Pemasukan peroral
pemasukan oral secara bergantung kepada
berangsur-angsur. pengembalian fungsi
gastrointestinal.
6. Kolaborasi dengan tim 6. Cairan parenteral dibutuhkan
medis dalam pemberian untuk mendukung volume

23
cairan parenteral cairan /mencegah hipotensi.
7. Kolaborasi dalam 7. Antiemetik dapat
pemberian antiemetic menghilangkan mual/muntah
yang dapat menyebabkan
ketidak
seimbangan pemasukan
8. Pantau hasil laboratorium 8. Sebagai indikator untuk
(Hb, Ht). menentukan volume sirkulasi
dengan kehilanan cairan.

4. Resiko aspirasi Tujuan : 1. Monitor, ttv, tingkat 1. Memantau keadan klien.


berhubungan Respitratory kesadaran ,reflek batuk
dengan kejang status:ventilation,Aspiration dan kemampuan menelan.
dan tremor. control,Swallowing status. 2. Cek nasogastrik sebelum 2. Mencegah terjadi nya
Kriteria hasil    : makan. hindari makan kelebihan maupun
1. Pasien dapat bernafas kalau residu masih kekurangan dari pemberian
dengan banyak. makanan atau obat.
mudah,tidak.ada.irama, 3. Anjurkan makanan potong 3. Mencegah tidak
freku ensi pernafasan kecil-kecil dan haluskan berkurangnya nutrisi dalam
normal. obat sebelum pemberian . tubuh dan tidak terjadi mual
2. Pasien,mampu,menelan 4. Posisikan semi fowler (30- muntah seta teredak.

24
,men gunyah tanpa 45 derajat) 30 menit 4. Untuk mengeluarkan udara
terjadi aspirasi. sebelum memberi asupan yang masuk ke dalam perut.
3. Jalan nafas oral.
paten,mudah bernafas 5. Kolaborasi dengan tim 5. Membantu dalam proses
,tidak merasa tercekik medis untuk pemberian perawatan.
dan tidak ada suara terapi.
nafas abnormal.

25
4. Implementasi
Implementasi merupakan bagian aktif dalam asuhan keperawatan
yang dilakukan oleh perawat sesuai denga rencana tindakan. Tindakan ini
bersifat intelektual, teknis, dan interpersonal berupa berbagai upaya untuk
memuhi kebutuhan dasar manusia. Tindakan keperawatan meliputi,
tindakan keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan
kesehatan/keperawatan, tindakan medis yang dilakukan oleh perawat atau
tugas limpah.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dari proses keperawatan. Evaluasi
merupakan aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika
pasien dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju
pencapaian tujuan/ hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan.
Evaluasi ini akan menentukan apakah intervensi keperawatan harus
diakhiri, dilanjutkan ataupun dirubah.

D. Analisis Kasus Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dengan Keracunan


Organofosfat.

Seorang wanita berusia 46 tahun berinisial Ny. SC dibawa ke UGD


RSUD Ibnu Sutowo Baturaja dengan keluhan penurunan kesadaran setelah
mengaplikasikan racun serangga (diazilon) di kepala dan rambut. Os memakai
racun serangga ± ½ botol. Dari anamnesis didapatkan adanya bukti bahwa
terdapat kontak racun yang berlebihan dengan penderita, melalui jalur self
poisoning. Pada keadaan ini penderita menggunakan pestisida dengan dosis
yang berlebihan tanpa memiliki pengetahuan yang cukup tentang
bahaya yang dapat ditimbulkan dari pestisida tersebut. Dari anamnesis
didapatkan penderita muntah-muntah (+) frekuensi ± > 15 kali, isi apa yang
dimakan lama kelamaan cairan berwarna kekuningan, darah (-), lendir (+) .
Nafas sesak ( + ) berkeringat banyak ( + ), Pandangan kabur (+), sakit kepala
(+). Demam (-). Buang air kecil (-) dalam 1 jam terakhir. Keseluruhan gejala
yang muncul pada penderita merupakan gejala toksisitas akut. Tanda dan
gejala toksisitas akut dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang

26
persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer.
Tanda dan gejala awal keracunan adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada
otot polos dan reseptor eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan
perkemihan, diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi. Efek yang terutama pada
sistem respirasi yaitu bronkokonstriksi dengan sesak nafas dan peningkatan
sekresi bronkus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan kesadaran dengan
penilaian GCS11 (E3M3V5), hipotensi (90/60mmhg), bradikardi (57x/mnt),
suhu 360C, RR 35x/mnt serta adanya bukti pemakaian racun serangga pada
rambut dan kulit kepala penderita disertai dengan pupil pinpoint yang
merupakan efek muskarinik dari peningkatan asetilkolin yang berlebihan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, penderita mengalami
penurunan kesadaran yang diduga disebabkan oleh intoksikasi diazilon. Dari
anamnesis, hal yang memperkuat dugaan ini adalah adanya bukti bahwa
pasien kontak dengan organofosat, timbulnya efek toksisitas akut pada fase
muskarinik berupa gangguan saluran kemih bagian bawah, karena penderita
menunjukkan adanya gejala obstruksi miosis, gangguan perkemihan, diare,
defekasi, eksitasi, dan salivasi. Efek yang terutama pada sistem respirasi yaitu
bronkokonstriksi dengan sesak nafas dan peningkatan sekresi bronkus.dan
iritatif.
Pada penderita intoksikasi organofosfat harus segara dilakukan tindakan
emergensi mengingat onset cepat dari organofosfat. Pada penderita dilakukan
pemberian sulfas atropin dalam dosis tinggi 2 mg IM yang sebelumnya , dan
diulang tiap 3-6 menit sampai timbul gejala atropinisasi (wajah merah, mulut
kering, dilatasi pupil, dan nadi cepat). Pertahankan dengan pemberian atopin
ulang sebagnyak 12mg dalam 2 jam pertama. Pemberian yang terputus akan
menimbulkan gagal nafas. Pemberian oksigen 5l/menit. Dekontaminasi
penderita terhadap toksin berupa pencucian kulit yang terkontaminasi dengan
air dan sabun, dilakukan sebelum munculnya gejala atau setelah gejala-gejala
terkontrol dengan atropin.

27
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. SC DENGAN DIAGNOSA
KERACUNAN ORGANOFOSFAT DI

I. Identitas Pasien
Tanggal Pengkajian : Kamis, 24 September 2020
Tanggal Masuk : Kamis, 24 September 2020
a. Nama : Ny. SC
b. Alamat : Jln A No. 01
c. Tempat/tanggal lahir : 28 – 01 - 1974
d. Umur : 46 Tahun
e. Suku : Jawa
f. Jenis Kelamin : Perempuan
g. Agama : Islam
h. Pendidikan Terakhir : SMP
i. Status Perkawinan : Kawin
j. Pemberi informasi : Tn. BG (suami klien)
k. Penanggungjawab : Tn. BG

II. Riwayat Keperawatan


1. Keluhan Utama (KU)
Penurunan kesadaran
2. Penyakit Sekarang (PS)
Klien dibawa ke IGD karena penurunan kesadaran setelah
mengaplikasikan racun serangga (diazilon) di kepala dan rambut. Pasien
memakai racun serangga ± ½ botol.
3. Riwayat Masa Lalu
Suami klien mengatakan klien tidak pernah dirawat di rumah sakit
sekalipun.
a. Penyakit, operasi, atau cidera sebelumnya
Suami klien mengatakan klien tidak pernah menjalani operasi dan
tidak pernah mengalami cidera.

28
b. Alergi
Suami klien mengatakan klien tidak memiliki riwayat alergi terhadap
makanan atau minuman, obat maupun binatang.
4. Primary Survey
a. Umum
Keadaan umum klien somnolent, lemah.
Tanda-tanda vital:
Td : 90/60 mmhg
N : 57 x/menit
S : 36,0oC
RR : 35x/menit
SpO2 : 97%
b. Airway
1) Jalan nafas : Tidak paten
2) Obstruksi : Cairan
3) Suara nafas : Gurgling
4) Keluhan lainnya :
c. Breathing
1) Gerakan dada : Asimetris
2) Irama nafas : Cepat
3) Rektasi otot dada : Ada
4) Sesak nafas : Ada
5) Keluhan lainnya :
d. Circulation
1) Nadi : Teraba 57x/menit (Bradikardi)
2) Sianosis : Ya
3) CRT : <2 detik
4) Pendarahan : Tidak
5) Keluhan lainnya :
e. Disability
GCS : E = 3 , V = 5 , M = 3 , Skor = 11

29
f. Eksposure
1) Perdarahan : Tidak
2) Fraktur : Tidak
3) Parese : Tidak
4) Plegia : Tidak
g. Pengkajian Nyeri
1) Provokatif :-
2) Qualitas / quantitas : -
3) Region :-
4) Skala :-
5) Timing :-
5. Secondary Survey
a. Riwayat Kesehatan
Suami klien mengatakan ini pertama kalinya klien mengalami
keracunan, klien menggunakan racun serangga jenis pestisida
organofosfat pada kepala dan rambut secara berlebihan.
b. Pemeriksaan fisik head to toe
1) Integumen
Warna kulit: klien mengalami sianosis pada bibir, pucat.
Kelembapan: Kulit klien teraba dingin dan berkeringat
Turgor kulit: baik (< 2dkt)
2) Kepala
Klien mengalami sakit kepala atau pusing.
3) Mata
a) Masalah penglihatan : pandangan kabur
b) Infeksi mata: tidak ada
c) Edema kelopak mata: tidak ada
d) Air mata berlebihan: tidak ada
e) Penggunaan kacamata atau lensa kontak: tidak ada
f) Tanggal pemeriksaan mata terakhir: tidak ada
g) Sklera ikterik: klien tidak mengalami sklera ikterik

30
h) Refleks mata: reflek cahaya masih berfokus pada satu cahaya
pada saat pertama kali klien melihat
4) Hidung
a) Perdarahan hidung (epistaksis): klien tidak mengalami perdarahan
hidung
b) Hidung berair terus menerus atau sering: tidak ada
c) Hidung tersumbat: hidung klien tersumbat karena terdapat sekret
d) Obstruksi nasal (sulit bernapas): klien mengalami kesulitan saat
bernafas.
e) Kemampuan membau: tidak terkaji
f) Simetris: hidung klien tampak simetris
5) Telinga
a) Simetris/tidak: telinga klien tampak simetris
b) Sakit telinga: tidak ada
c) Rabas: tidak ada
6) Mulut
a) Pernapasan mulut: ada
b) Perdarahan gusi: klien tidak mengalami perdarahan gusi
c) Penyikatan gigi: tidak ada
d) Penggunaan fluoride: tidak ada
e) Kesulitan dengan gigi: tidak ada
f) Kunjungan terakhir ke dokter gigi: tidak ada
g) Respon terhadap dokter gigi: tidak ada
7) Tenggorokan
a) Sakit tenggorok: tidak ada
b) Kesulitan menelan: tidak ada
c) Serak atau ketidakteraturan suara lain: tidak ada
8) Leher
a) Nyeri: tidak ada
b) Keterbatasan gerak: tidak ada
c) Kekakuan: tidak ada
d) Kesulitan menahan kepala lurus (tortikolis): tidak ada

31
e) Pembesaran tiroid: tidak ada
f) Pembesaran nodus atau massa lain: tidak ada
9) Dada
a) Pembesaran payudara: tidak ada
b) Rabas: tidak ada
c) Massa: tidak ada
d) Pembesaran nodus aksila: tidak ada
e) Keluhan lainnya : klien mengatakan dadanya berdebar.
10) Pernapasan
a) Batuk kronis: klien kadang batuk
b) Sering pilek: klien kadang pilek
c) Suara nafas : suara nafas klien terdengar gurgling
d) Napas pendek saat istirahat atau pada saat kerja: tidak terkaji
e) Kesulitan bernapas: klien mengalami kesulitan bernafas karena
adanya penumpukan sekret.
f) Produksi sputum: produksi sputum klien banyak
g) Infeksi (pneumonia, tuberculosis): klien tidak mengalami infeksi
pada paru-paru
h) Tanggal pemeriksaan rontgen dada terakhir: tidak terkaji
11) Kardiovaskuler
a) Sianosis atau keletihan pada aktivitas: klien tampak mengalami
sianosis pada bibir.
b) Riwayat murmur jantung: tidak ada
c) Anemia: tidak ada
d) Tanggal pemeriksaan hitung darah terakhir: 02 november 2016
e) Golongan darah: tidak terkaji
f) Transfusi terakhir: tidak ada.
12) Gastrointestinal
a) Napsu makan: suami klien mengatakan klien hanya mau minum
air putih dan roti.
b) Toleransi makanan: tidak ada
c) Mual: ada

32
d) Muntah: klien muntah sebanyak ±>15 kali
e) Ikterik atau kulit kuning atau sklera: klien tidak mengalami
kelainan
f) Sendawa: tidak ada
g) Flatulens: Ada
h) Perubahan kebiasaan defekasi: BAB klien kadang padat dan cair
13) Genitourinarius
a) Nyeri pada urinasi: tidak ada
b) Frekuensi: BAK belum ada dalam 1 jam terakhir
c) Keragu-raguan: tidak ada
d) Urgensi: tidak ada
e) Hematuria: tidak ada
f) Nokturia: tidak ada
g) Poliuria: tidak ada
h) Bau tidak enak pada urin: tidak ada
i) Kekuatan dan arah aliran: normal
j) Rabas: tidak ada
k) Perubahan ukuran skrotum: tidak ada
l) Tanggal urinalisis terakhir: tidak ada
14) Ginekologis
a) Menarkhe: tidak terkaji
b) Tanggal periode menstruasi terakhir: tidak terkaji
c) Keteraturan atau masalah menstruasi: tidak terkaji
d) Rabas vaginal: tidak terkaji
e) Pruritus: tidak terkaji
f) Tanggal dan hasil tes Pap terakhir: tidak terkaji
g) Bila aktif secara seksual, tipe kontrasepsi dan proteksi terhadap
penyakit menular seksual: tidak terkaji.
15) Muskuloskeletal
a) Kelemahan: klien terlihat lemah
b) Kekakuan: tidak ada
c) Kurang koordinasi: tidak ada

33
d) Gerakan tak umum: tidak ada
e) Kaku punggung atau sendi: tidak ada
f) Nyeri otot atau kram: tidak ada
g) Cara berjalan abnormal: tidak ada
h) Deformitas: tidak ada
i) Fraktur: tidak ada
j) Terkilir serius: tidak ada
k) Tingkat aktivitas: tidak ada
16) Neurologis
a) Kejang: klien tidak mengalami kejang
b) Tremor: klien kadang mengalami tremor pada saat bangun secara
tiba-tiba.
c) Pusing: ada
d) Kehilangan ingatan: tidak ada
e) Afek umum: tidak ada
f) Rasa takut: tidak ada
g) Mimpi buruk: tidak ada
h) Masalah bicara: tidak ada
i) Kebiasaan tak umum: tidak ada
17) Endokrin
Tidak terkaji
c. Pemeriksaan ADL (Activity Daily Living) 
1) Aktifitas dan Istirahat
Keletihan, kelemahan, hiporefleksi
2) Sirkulasi
Nadi lemah, hipotensi, pucat, sianosis, keringat banyak.
3) Eliminasi
Perubahan pola berkemih, distensi vesika urinaria.
4) Makanan Cairan
mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati, keringat banyak.
5) Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, mengantuk.

34
6) Nyaman / Nyeri
sakit kepala, gelisah.
7) Pernafasan
Nafas pendek, depresi napas, hipoksi, Takipnea, dipsnea,
peningkatan frekuensi, baruk produktif.
8) Keamanan
Penurunan tingkat kesadaran somonlent 
9) Penyuluhan/pembelajaran.
Klien terpapar pestisida jenis organofosfat dengan dosis berlebih
aibat kurangnya pengetahuan.

III. Diagnosa Keperawatan


A. Analisa Data

No Symtom Etiologi Problem

1 Ds : Klien mengatakan Gejala autonom Ketidakefektifan


neuromuscular
sesak, suami klien pola nafas
mengatakan klien Konatriksi otot-otot
kadang batuk bronkhial flacide
kadang pilek.
Penekanan aktifitas cardiac
Do : klien tampak sesak,
suara nafas Ketidakefektifan pola
terdengar gurgling, nafas

sputum tampak
banyak. TD = 90/60
mmhg. RR = 35
x/mnt, N = 57
x/mnt, suhu: 360C.
Gcs = 11.

2 Ds : klien mengatakan Gejala autonom Penurunan curah


neuromuscular
sesak. Klien jantung
mengatakan dada Konatriksi otot-otot

35
berdebar. bronkhial flacide
Do : klien tampak pucat
Penekanan aktifitas cardiac
dan sianosis di bibir.
Klien tampak Ketidakefektifan pola
berkeringat banyak. nafas

Pengembangan dada
tampak tidak
simetris. TD = 90/60
mmhg. RR = 35
x/mnt, N = 57
x/mnt, suhu: 360C.
Gcs = 11.

3 Ds : suami klien Ujung-ujung syaraf simpatis Resiko defisien


mengatakan klien Kontraksi pupil, penglihatan volume cairan
mual dan muntah kabur, diare,renore, salivasi
banyak keringat
± > 15 x
Do : klien tampak pucat
Resiko defisien volume
dan sianosis di bibir. cairan
Klien tampak
berkeringat banyak
TD = 90/60 mmhg.
RR = 35 x/mnt, N =
57 x/mnt, suhu:
360C. Gcs = 11.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penekanan aktifitas
cardiac.

36
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penekanan aktifitas
cardiac.
3. Resiko defisien volume cairan berhungan dengan kontraksi pupil,
penglihatan kabur, diare,renore, salivasi banyak keringat.

37
IV. Intervensi Keperawatan

38
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan
pola nafas b/d keperawatan 1x 2 jam 1. Pantau tingkat, irama 1. Efek insektisida mendepresi
penekanan diharapkan pola nafas pernapasan & suara napas SSP yang mungkin dapat
aktifitas cardiac. kembali efektif dengan serta pola pernapasan mengakibatkan hilangnya
kriteria hasil    : kepatenan aliran udara atau
1. RR dalam batas normal depresi pernapasan, pengkajian
2. jalan nafas bersih yang berulang kali sangat
3. sputum tidak ada penting karena kadar toksisitas
mungkin berubah-ubah secara
drastis.
2. Tinggikan kepala  tempat 2. Menurunkan kemungkinan
tidur aspirasi, diafragma bagian
bawah untuk menigkatkan
inflasi paru.
3. Dorong untuk batuk/ nafas 3. Memudahkan ekspansi paru &
dalam. mobilisasi sekresi untuk
mengurangi resiko atelektasis/
pneumonia.
4. Auskultasi suara napas. 4. Pasien beresiko atelektasis
dihubungkan dengan
hipoventilasi & pneumonia.
5. Berikan O2  jika 5. Hipoksia mungkin terjadi
dibutuhkan akibat depresi pernapasan
6. Kolaborasi 6. Memantau kemungkinan
untuk pemeriksaan
39
 sinar munculnya komplikasi
X dada, Blood Gas sekunder seperti
Analysis atelektasis/pneumonia, evaluasi
V. Implementasi

No Hari/tgl Implementasi Respon Paraf


DX
Kamis, 24 September 2020
1, 2,3 Kamis, 24-09- - Mengkaji ttv TD: 100/70 mmhg
2020 RR : 33x/mnt
(14.30) N : 56x/mnt
S : 36,10C
1,2,3 Jam 14.45 - Mengkaji KU pasien, warna kulit. Klien tampak lemah, sianosis pada
bibir, klien tampak berkeringat, klien
tampak pucat.

1 Jam 14.45 - Memantau irama pernafasan, dan Klien tampak sesak, terdengar suara

suara pernafasan, auskultasi suara gurgling.

nafas.
1 Jam 14.50 - Mengatur posisi klien semifowler Klien mengatakan nyaman dengan
posisi tersebut, klien tampak
nyaman.

1 Jam 14.55 - Mengkolaborasi memberikan oksigen Klien mengatakan sesak agak

40
5 lpm berkurang. Klien tampak sesak.
2 Jam 14.56 - Mengkaji perubahan tingkat Gcs = 11, kesadaran = somnolent.
kesadaran.
2 Jam 14.56 - Mengkaji adanya nyeri dada. Klien mengatakan dadanya hanya
berdebar.
3 Jam 14.56 - Mengkaji pemasukan dan Klien tampak mau minum setengah
pengeluaran cairan gelas air kemasan (150cc). klien
tampak berkeringat.
3 Jam 14.56 - Mengobservasi mual dan muntah Klien mengatakan mual, klien
tampak mual dan muntah berisikan
cairan berwarna kuning.

- Mengkolaborasi pemberian cairan Klien tampak tenang saat


1,2,3 Jam 14.56 parenteral. pemasangan infus.

- Mengkolaborasi pemberian obat Klien tampak mau minum obat dan

antiemetic, sulfas atropin mampu diajak kerjasama dalam


pemberian obat.

VI. Evaluasi Keperawatan

41
No Hari/tanggal Evaluasi Paraf
DX
Kamis, 24 September 2020
1 Kamis, 24 September 2020 S : klien mengatakan sesak berkurang.
(16.30) O : - Klien tampak masih lemas.
- Terpasang nasal kanul 5lpm
- TTV: S: 36,3oC RR: 30x/mnt N: 70x/mnt.
- Kesadaran somolent
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi di ruang rawat inap
2 Kamis, 24 September 2020 S : klien mengatakan pusing, klien mengatakan tidak ada nyeri
(16.30) dada.
O : - Kesadaran somolent
- Klien tampak pucat
- TTV: S: 36,3oC RR: 30x/mnt N: 70x/mnt.
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi di ruang rawat inap
3 Kamis, 24 September 2020 S : -suami klien mengatakan klien sudah BAK
(16.30) O : Kesadaran somolent
- Terpasang infus.
- Klien tampak tidak mual dan muntah

42
- Klien tampak pucat
- Klien tampak sudah BAK.
- TTV: S: 36,3oC RR: 30x/mnt N: 70x/mnt.
A : masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi

43
BAB III

2 PENUTUP

A. Kesimpulan
2 Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat menghambat
enzim kholinesterase. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien,
dekontaminasi, dan pemberian antidotum. Antidotum yang digunakan adalah
Atropin dan Pralidoxime. Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pasien.
A. Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami berharap dapat menambah pengetahuan
bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami sendiri khususnnya mengenai analisis
kasus asuhan keperawatan gawat darurat dengan keracunan organofosfat.. Terdapat
banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini terutama pada bagian sub bab
sumber data.

44
3 DAFTAR PUSTAKA

Aristantyo, Anangga. 2013. Hubungan Aktivitas Asetilkolinesterase Darah Dengan


Kejadian Hipotensi Ortostatik Pada Petani. Melalui : Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id. fDiaskes
tanggal 21 September 2020 jam 12.00 Wita.

Erna, dkk. 2016. Organofosfat. Melalui : https://www.academia.edu. Diaskes


tanggal 21 September 2020 jam 14.00 Wita.

Hidayati, Diah. 2019. Intoksikasi Organofosfat dengan Krisis Kolinergik Akut,


Gejala Peralihan dan Polineuropati Tertunda. Melalui : Fakultas
Kedokteran, Universitas Lampung, Volume 6 No. 2.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id. Diaskes tanggal 21 September 2020
jam 14.00 Wita.

Prijoto, Teguh. 2009. Analisis Faktor Keracunan Pestisida Organofosfat Pada


Keluarga Petani Hortikutular Di Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang. Melalui : Diponegoro University Institutional Repository.
https://core.ac.uk. Diaskes tanggal 21 September 2020 jam 13.30 Wita.

Satfitrih, dkk. 2016. Angka Kejadian dan Penatalaksanaan Keracunan di


Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto Tahun 2012–2014. Melalui : Media Litbangkes, Vol. 26 No.
3. https://media.neliti.com. Diaskes tanggal 21 September 2020 jam
15.00 Wita.

45
Soemomarto, S. dan Asdie. 2009. Analisis Faktor Keracunan Pestisida
Organofosfat Pada Keluarga Petani Hortikutular Di Kecamatan
Ngablak Kabupaten Magelang. Melalui : Diponegoro University
Institutional Repository. https://core.ac.uk. Diaskes tanggal 21 September
2020 jam 13.30 Wita.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

46

Anda mungkin juga menyukai