DISUSUN OLEH:
E351190108
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tugas Makalah Praktikum Dinamika Populasi Biodiversitas yang berjudul
“PENGENDALIAN BIOLOGIS TERHADAP LEDAKAN POPULASI ECENG
GONDOK (Eichhornia crassipes)”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Dosen, Dr. Ir. Agus Priyono
Kartono, M.Si. pada Praktikum Dinamika Populasi Biodiversitas. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi
penulis sendiri.
Penulis menyadari bahwa makalah yang penulis buat ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan demi
penulisan yang lebih baik lagi di masa mendatang. Penulis berharap, semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer perairan, seperti enceng
gondok. Peningkatan enceng gondok ini menyebabkan terganggunya pasokan air di
DTA Rawa Pening. Eceng gondok sebenarnya tidak selalu memberikan dampak buruk,
di sisi lain eceng gondok juga memiliki beberapa manfaat. Menurut Marianto (2001)
jika kondisi populasinya tidak berlebih, eceng gondok memiliki beberapa manfaat,
diantaranya sebagai biofilter cemaran logam berat, bahan baku anyaman dan campuran
pakan ternak.
Upaya pengendalian terhadap permasalahan ledakan populasi eceng gondok
telah banyak dilakukan. Jenis pengendalian yang telah banyak dilakukan adalah
pengendalian secara fisik/mekanis, kimiawi dan biologis. Namun, dari tiga jenis
pengendalian, pengendalian secara biologis dianggap sebagai pengendalian yang tepat
karena lebih alami dan aman untuk lingkungan. Permasalahan ledakan populasi eceng
gondok telah menimbulkan berbagai permasalahan perairan, oleh karenanya perlu
diidentifikasi penyebab dan dampak terjadinya ledakan populasi sehingga diketahui
akar permasalahan dan dampaknya, serta perlu juga diketahui bagaimana pengendalian
secara biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok yang sudah pernah dilakukan
sebelumnya.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya ledakan populasi eceng gondok
2. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh terjadinya ledakan populasi eceng
gondok
3. Untuk mengetahui pengendalian biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.2 Morfologi
Eceng gondok pertama masuk ke Indonesia yaitu pada tahun 1894 di Kebun
Raya Bogor sebagai tanaman hias. Tumbuhan eceng gondok yang dikenal juga dengan
nama “water hyacinth” termasuk dalam jenis perennial (Waterhouse dan Noriss, 1987)
yang dapat mengapung bebas di air dan dapat membentuk populasi yang relatif besar
hingga membentuk pulau terapung atau ”floating island” (SEAMEO-BIOTROP, 1990
dalam Resmikasari, 2008). Tumbuhan eceng gondok hidup pada iklim tropis dan
subtropis (Gopal dan Sharma, 1981). Menurut Sculthorpe (1971) dalam Widjaja (2004),
eceng gondok dapat mengapung karena adanya petiole yang mempunyai gabus
pengapung (Bulbous Spongy Float) yang mengandung sekitar 70 % udara. Gambar
eceng gondok disajikan pada Gambar 1 berikut ini.
3
Tumbuhan eceng gondok berbatang dengan buku pendek, mempunyai garis
tengah 1 - 2,5 cm, panjang 1 - 30 cm, dan lebar 5 - 25 cm. Eceng gondok berakar
serabut, tidak bercabang dan tidak berbulu dengan panjang 0,30 - 0,50 m. Akarnya
sangat kuat dan dibungkus oleh semacam zat tanduk, dimana berat akarnya adalah
sekitar 20 - 50 % dari berat tumbuhan eceng gondok (Sculthorpe, 1971 dalam Widjaja,
2004). Menurut Gopal dan Sharma (1981) eceng gondok yang tumbuh pada air yang
kaya akan unsur hara akan mempunyai petiole (batang) yang panjang (Gambar 2)
hingga mencapai lebih dari 100 cm dan akar yang pendek kurang dari 20 cm, sedangkan
eceng gondok yang tumbuh pada air yang miskin hara, panjang petiole kurang dari 20
cm dan berbentuk bulat (Gambar 3) namun akarnya lebih dari 60 cm. Eceng gondok
mempunyai stolon dengan garis tengah 0,5 - 2 cm, panjang sampai 40 cm atau lebih
pendek bila tumbuh rapat. Gambar eceng gondok yang tumbuh pada air kaya hara dan
yang tumbuh pada air miskin hara (Soerjani et al, 1980) disajikan pada Gambar 2 dan
Gambar 3 berikut ini.
4
Menurut Soerjani et al (1980) tangkai daun eceng gondok panjangnya bisa
mencapai hingga 30 cm berbatasan dengan helai daun yang menyempit dan sifatnya
mendangkalkan dan menimbulkan spon yang menggelembung seperti gondok yang
membuat tumbuhan ini mengapung. Daun eceng gondok berbentuk bulat dan lebar,
tulang daun melengkung rapat dengan panjang 7 - 25 cm. Daun paling bawah
mempunyai helaian kecil dan pelepah yang berbentuk tabung sedangkan daun yang
teratas berbentuk tabung. Bunga eceng gondok berwarna ungu muda seperti mahkota,
yang terbesar berbecak kuning di tengah, tersusun melingkar poros pada suatu
kelompok (karangan) yang berbentuk bulir dan bertangkai panjang. Bunga terdapat di
ujung batang, berada pada tangkai dengan 2 daun pelindung dan dalam satu karangan
bunga berjumlah 10 - 35 (Widjaja, 2004).
Menurut Resmikasari (2008) eceng gondok memiliki benang sari yang
berjumlah 6 dan bengkok, 3 benang sari lebih besar dari yang lain. Besarnya kepala sari
kerap kali berbeda dan dapat berbunga secara serempak sepanjang tahun. Eceng gondok
setiap tahun berbunga dan setelah 20 hari terjadi penyerbukan, kemudian buah masak,
lepas dan pecah sampai akhirnya biji tersebut masuk ke dalam air (biji dapat mencapai 5
- 6 ribu per tanaman dengan masa hidupnya ± 15 tahun). Eceng gondok berkembang
biak dengan cara vegetatif (stolon) dan generatif. Perkembangbiakan secara vegetatif
memegang peranan penting dalam pembentukan koloni. Perkembangbiakan tersebut
yaitu melalui perpanjangan stolon yang pada ujungnya akan tumbuh tunas baru dan
dapat terlepas setelah tumbuhan tersebut menjadi dewasa. Perkembangbiakan
bergantung pada kadar oksigen yang terlarut dalam air dan pada konsentrasi 3,5 - 4,8
ppm perkembangbiakan dapat berlangsung cepat.
5
peningkatan produktivitas primer perairan. Kegiatan masyarakat yang membuang
limbah organik di suatu perairan dapat menyebabkan adanya eutrofikasi. Dengan
adanya eutrofikasi terjadi pengayaan nutrien dalam air sehingga pertumbuhan eceng
gondok menjadi sangat cepat (Gerhard, 2013).
6
2.4 Jenis-Jenis Pengendalian Terhadap Ledakan Populasi Eceng Gondok
Keberadaan eceng gondok sebagai gulma dapat merugikan suatu perairan.
Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat dapat menyebabkan ledakan populasi
eceng gondok yang tidak terkendali. Adanya gulma air seperti eceng gondok dapat
mengganggu transportasi air, menurunnya hasil tangkapan ikan, mempercepat
pendangkalan karena evaporasi (Krismono et al, 2010). Oleh karena itu perlu dilakukan
upaya-upaya pengendalian terhadap ledakan populasi eceng gondok, karena jika
pertumbuhan populasinya tidak dikendalikan maka akan menimbulkan dampak negatif.
Menurut Resmikasari (2008), pengendalian gulma air seperti eceng gondok
dapat diakukan dengan beberapa upaya pengendalian seperti berikut ini:
7
makanan ikan dalam perairan, serta dapat membahayakan tanaman budidaya serta
masyarakat dan hewan peliharaan maupun satwa liar yang menggunakan air bagi
keperluan hidupnya.
8
a). Pengendalian dengan Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella)
Pengendalian secara biologis terhadap eceng gondok salah satunya bisa
menggunakan ikan sebagai agen pengendaliannya. Penggunaan ikan untuk
mengendalikan pertumbuhan gulma air pada umumnya menggunakan ikan-ikan
pemakan tumbuhan (herbivor) dan ikan pemakan segala (omnivor) (Wahyuni, 2001).
Menurut Shofawie (1990), metode pengendalian gulma air secara biologis dengan
menggunakan ikan koan telah menjadi perhatian para ahli biologi dan masyarakat,
karena kemampuan ikan koan yang dapat mengendalikan gulma air dibandingkan
dengan ikan herbivor lainnya. Pengendalian secara biologis dianggap lebih mendekati
proses alami. Gambar ikan koan disajikan pada Gambar 4 berikut ini.
9
pada umumnya akan mengekskresikan 43% dari sisa makanannya ke perairan, tetapi
ekskresi ikan koan mencapai 74% (Krismono et al, 2010).
Kurangnya oksigen terlarut akibat penutupan eceng gondok disebabkan ikan
koan memakan eceng gondok. Ketika eceng gondok membusuk, kandungan oksigen
dalam air menurun dengan cepat karena oksigen diperlukan oleh mikroorganisme dalam
proses dekomposisi sehingga mengakibatkan eceng gondok mati dan akan tenggelam ke
dasar perairan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi densitas eceng gondok maka
akan semakin rendah kandungan oksigen terlarutnya (Resmikasari, 2008).
Ikan koan sebagai ikan herbivor memiliki kriteria yang memenuhi syarat
sebagai pengendali gulma air. Ikan tersebut memiliki kelebihan pada kemampuan
mengkonsumsi berbagai jenis tumbuhan air, daya pengendalian yang tinggi, dan secara
ekonomis bisa menambah produksi ikan. Ikan koan memakan akar eceng gondok,
sehingga keseimbangan gulma air itu di bagian permukaan hilang, daunnya jatuh
kepermukaan air dan terjadi pembusukan (dekomposisi) dan kemudian dimakan ikan
(Asyari, 2011). Akar eceng gondok mengandung serat kasar sebesar 16,74 %. Selain
memiliki serat kasar yang tinggi, sistem perakaran eceng gondok biasanya lebih dari
50% dari total biomassa eceng gondok (Juwitanti et al, 2013). Gambar ikan koan
memakan akar eceng gondok (Resmikasari, 2008) disajikan pada Gambar 5 berikut ini.
Ikan koan biasanya memakan gulma air pada bagian permukaan dan dasar
perairan. Kemampuan ikan koan di dalam memakan dan memanfaatkan tumbuhan air
10
bergantung pada kedua ukuran yaitu ukuran tumbuhan air dan ikan koan itu sendiri.
Pada ikan koan kecil dengan panjang 6 - 15 cm yang dibiakkan pada suhu 21 - 26 °C
memakan tumbuhan air 6 - 10 % dari berat badannya per hari, ikan koan dengan berat 1
kg dapat memakan 0,8 – 1,5 kg tumbuhan air per harinya dan ikan koan dengan berat 1
kg atau lebih dapat memakan seluruh bagian eceng gondok sedangkan ikan dengan
ukuran yang lebih kecil hanya dapat memakan bagian akar eceng gondoknya.
Disamping kemampuannya untuk mengendalikan gulma air, ikan ini juga mempunyai
nilai penting dalam aspek budidaya ikan baik langsung maupun tidak langsung. Adanya
ikan ini dalam suatu perairan juga dapat meningkatkan produksi ikan secara total,
karena kotoran ini dapat menjadi pupuk (Resmikasari, 2008).
11
Gambar 6. Ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis)
Sumber: https://ms.m.wikipedia.org
12
gondok yang telah diinfeksi dengan jamur tersebut. Dari hasil penelitian tersebut, jamur
Fusarium sp. lebih mampu menimbulkan penyakit jika diaplikasikan pada suhu tinggi,
dan jamur Fusarium sp. tidak dapat menginfeksi tanaman budidaya seperti padi, jagung,
kedelai, kacang tanah dan kacang hijau sehingga aman bila digunakan sebagai agen
pengendali hayati gulma eceng gondok.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Eceng gondok termasuk tumbuhan dengan tingkat pertumbuhan alami yang cepat
sehingga bisa menyebabkan terjadinya ledakan populasi. Selain memang
pertumbuhan alaminya yang tergolong cepat, pertumbuhan eceng gondok bisa sangat
cepat apabila di lingkungannya terjadi eutrofikasi.
2. Ledakan populasi eceng gondok dapat memberikan dampak negatif bagi perairan,
contohnya seperti menurunnya produktivitas perairan, mengganggu estetika perairan,
menghalangi jalur pelayaran, menyebabkan penurunan pH, pengurangan masuknya
sinar matahari, pengurangan tingkat kelarutan oksigen serta peningkatan kandungan
karbon dioksida yang mengakibatkan efek negatif pada komunitas dari vertebrata air,
invertebrata dan tanaman. Eceng gondok juga merupakan habitat yang sesuai bagi
beberapa vector penyakit serta sebagai inang alternatif untuk beberapa penyakit
tanaman.
3. Pengendalian biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok dapat memanfaatkan
beberapa agen biologis seperti ikan koan, ikan sepat siam dan jamur patogen.
3.2 Saran
Demikian makalah yang penulis buat. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca
untuk mengetahui penyebab dan dampak terjadinya ledakan populasi eceng gondok,
serta pengendalian secara biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok. Penulis
sangat menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh
karenanya saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk kebaikan
penulisan kedepan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Asyari. 2011. Dampak Introduksi dan Penebaran Ikan Terhadap Populasi Speises Ikan
Asli di Perairan Umum Daratan. Prosiding Forum Nasional Pemacu
Sumberdaya Ikan III.
Auld, B.A. 1997. Bioherbicide. In Julien, M., and W. Graham (Eds.): Biological
Control of Weeds: theory and practical application. ACIAR Monograph No.
49. Canberra, Australia.
Bhukaswan, T. 1980. Management of Asian Reservoir Fisheries. FAO Technical Paper
(207): p 69.
[BLI KLHK] Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Kehutanan
dan Lingkungan Hidup. 2016. Peningkatan Populasi Enceng Gondok di Rawa
Pening Akibat Kegiatan Pemupukan. https://www.forda-
mof.org/index.php/berita/post/2526. Diakses pada Tanggal 3 Desember 2019.
Cruz, C.R.D. 1994. Role of Fish In Enhancing Ricefield Ecology and In Integrated Pest
Management. ICLARM Cont. Proc. Manila. Philippines.
Evans, H.C. 1995. Pathogen-Weed Relationship: The Practice and Problems of Host
Range Screening. In E.S. Delfosse., and R.R. Scott (Eds.): Proceeding of the
Eight Intrnational Symposium on Biological Control of Weeds. DSIR/CSIRO,
Melbourne.
Fauzi, M.T., Murdan., dan Muthahanas, I. 2009. Potensi Jamur Fusarium Sp. Sebagai
Agen Pengendali Hayati Gulma Eceng Gondok (Eichhornia crassipes).
Fakultas Pertanian. Universitas Mataram.
Gerhard, Indah Susilowati. 2013. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Rawa Pening dan
Strategi Pelestarian di Kabupaten Semarang. Diponegoro Journal of
Economics. 2 (2): 1-9.
Gopal ,B., dan Sharma, K.P. 1981. Water-Hyacinth (Eichhornia crassipes (Mart)
Solms). Most Troublesome Weed of The World. Delhi, India : Hindasia
Publications.
Juwitanti, Eko., Ain, Churun., dan Soerdarsono, Prijadi. 2013. Kandungan Nitrat dan
Fosfat Air pada Proses Pembusukan Eceng Gondok (Eichornia crassipes).
Diponegoro Journal of Maquares. 2 (4): 46-52.
Krismono, M.F., Rahardjo., E. Harris., dan E.S. Kartamihardja. 2010. Pengaruh pada
Tebar Ikan Koan (Ctenopharyngodon Idella) terhadap Laju Perambahan dan
Luas Tutupan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) di Danau Limboto,
Gorontalo. Berita Biologi. 10(3).
Marianto, A.D. 2001. Tanaman Air. Argomedia Pustaka. Jakarta.
15
Marsely, D., Windarti., dan Eddiwan. 2016. Trichogaster pectoralis Ability in
Controlling Eichhornia crassipes Population. Fakultas Perikanan dan
Kelautan. Universitas Riau.
Pancho, J.V., dan M. Soerjani. 1978. Aquatic Weeds of Southest Asia. National
Perspectives for Developing Countries. NAS. Washington DC.
Resmikasari, Y. 2008. Tingkat Kemampuan Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella Val.)
Memakan Gulma Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms.).
[Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Shofawie, Achmad Tantan. 1990. Studi Tentang Kemampuan Konsumsi Harian Ikan
Koan (Ctenopharyngodon idella) Terhadap Ganggang (Hydrilla verticillata).
Karya Ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soerjani, M., S.W. Lusianty., U. Ishidayat., Kasno, T., Machmud, S., Kadarwan, K.A.,
Aziz, S., Haryanto, K.L.W,. Esther., dan S.T. Sri. 1980. Gulma Air Dalam
Pengembangan Wilayah Sungai Kali Brantas. Bogor: DPU Dirjen Pengairan.
Sutton, D.L,. dan Vernon, V.Jr. 1986. Gras Carp A Fish for Biological Management of
Hydrilla and Other Aquatic Weeds in Florida. https://edis.ifas.ufl.edu. Diakses
pada Tanggal 3 Desember 2019.
Templeton, G.E. 1992. Potential for Developing and Marketing Mycoherbicide. In R.G.
Richardson (ed.): Proceedings of the First International Weed Congress. Weed
Science Society of Victoria, Melbourne, Australia.
Wahyuni, Wida Widiyanti. 2001. Pertumbuhan Ikan Koan (Ctenopharygadon idella
CV) pada Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata Jawa Barat. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Waterhouse, D.F., dan Noriss, K.R. 1987. Biological Control Pacific Prospects.
Melbourne: Inkata Press.
Wayanti, H.S. 2003. Inventarisasi Jamur-Jamur Parasitik pada Gulma Eceng Gondok
(Eichhornia crassipes (Martius) Solms-Laubach). [Skripsi]. Fakultas Pertanian
Universitas Mataram.
Widjaja, F. 2004. Tumbuhan Air. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.
Wright, A.D., dan M.F. Purcell. 1995. Eichhornia crassipes (Mart) Solms-Laubach. In
Groves, R.H., R.C.H. Sheperd., dan R.G. Richardson (Eds.): The Biology of
Australian Weeds Volume 1. R.G. and F.J. Richardson, Melbourne.
16