Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH PRAKTIKUM DINAMIKA POPULASI BIODIVERSITAS

“PENGENDALIAN BIOLOGIS TERHADAP LEDAKAN POPULASI ECENG


GONDOK (Eichhornia crassipes)”

DISUSUN OLEH:

SEPTIAN PUTRA ADI NUGROHO

E351190108

PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tugas Makalah Praktikum Dinamika Populasi Biodiversitas yang berjudul
“PENGENDALIAN BIOLOGIS TERHADAP LEDAKAN POPULASI ECENG
GONDOK (Eichhornia crassipes)”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Dosen, Dr. Ir. Agus Priyono
Kartono, M.Si. pada Praktikum Dinamika Populasi Biodiversitas. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi
penulis sendiri.
Penulis menyadari bahwa makalah yang penulis buat ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan demi
penulisan yang lebih baik lagi di masa mendatang. Penulis berharap, semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.

Bogor, 7 Desember 2019

Septian Putra Adi Nugroho

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 2
1.3 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3
2.1 Taksonomi dan Morfologi Eceng Gondok ........................................ 3
2.1.1 Taksonomi ............................................................................ 3
2.1.2 Morfologi .............................................................................. 3
2.2 Penyebab Ledakan Populasi Eceng Gondok ..................................... 5
2.3 Dampak Ledakan Populasi Eceng Gondok ....................................... 6
2.4 Jenis-Jenis Pengendalian Terhadap Ledakan Populasi
Eceng Gondok .................................................................................. 7
2.5 Pengendalian Biologis Terhadap Ledakan Populasi
Eceng Gondok .................................................................................. 8
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 14
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 14
3.2 Saran .................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 15

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) ........................................... 3


Gambar 2. Eceng Gondok yang Tumbuh pada Air Kaya Hara ........................ 4
Gambar 3. Eceng Gondok yang Tumbuh pada Air Miskin Hara ..................... 4
Gambar 4. Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella) ........................................... 9
Gambar 5. Ikan Koan Memakan Akar Eceng Gondok ..................................... 10
Gambar 6. Ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis) ..................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki banyak kawasan perairan, contohnya seperti laut, sungai
dan danau. Perairan Indonesia memiliki banyak potensi yang sering dimanfaatkan oleh
masyarakat. Fungsi dan peran perairan yang sering dimanfaatkan masyarakat
diantaranya adalah sebagai sumber air, sumber pangan berupa hasil ikan, sebagai tempat
untuk kegiatan industri perikanan, untuk transportasi masyarakat, maupun sebagai
tempat pariwisata. Namun, perairan sering kali tidak luput dari adanya permasalahan.
Salah satu permasalahan di kawasan perairan adalah terjadinya ledakan populasi
(blooming) spesies gulma air.
Peristiwa ledakan populasi spesies gulma air banyak menimbulkan
permasalahan dan kerugian di kawasan perairan, diantaranya seperti menimbulkan
pendangkalan, mengurangi estetika perairan, menghambat jalur transportasi air,
menghambat kegiatan penangkapan ikan. Salah satu spesies yang dikenal sebagai gulma
air adalah eceng gondok (Eichhornia crassipes). Eceng gondok juga dikenal dengan
sebutan “water hyacinth”.
Menurut Waterhouse (1987) eceng gondok pertama kali masuk ke Indonesia
pada tahun 1894 di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias. Saat ini persebaran eceng
gondok sudah menyebar ke banyak tempat di kawasan perairan Indonesia. Eceng
gondok memiliki pertumbuhan yang cepat. Kecepatan tumbuh dari eceng gondok yang
tinggi bisa menyebabkan terjadinya populasi yang berlebih atau ledakan populasi
sehingga merusak perairan dan dianggap sebagai gulma air. Oleh sebab itu, eceng
gondok dapat menutupi permukaan air jika populasinya berlebih dan menimbulkan
persoalan lingkungan (Juwitanti et al, 2013).
Permasalahan akibat terjadinya ledakan populasi eceng gondok sudah banyak
terjadi di Indonesia, salah satu contohnya adalah permasalahan ledakan populasi eceng
gondok di Daerah Tangkapan Air (DTA) Rawa Pening pada tahun 2016. Menurut BLI
KLHK (2016) peningkatan populasi eceng gondok disebabkan oleh tingginya unsur
hara (eutrofikasi) di DTA Rawa Pening yang berasal dari kegiatan pemupukan di lahan
pertanian. Eutrofikasi merupakan proses pengayaan (enrichment) air dengan
nutrien/unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan

1
mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer perairan, seperti enceng
gondok. Peningkatan enceng gondok ini menyebabkan terganggunya pasokan air di
DTA Rawa Pening. Eceng gondok sebenarnya tidak selalu memberikan dampak buruk,
di sisi lain eceng gondok juga memiliki beberapa manfaat. Menurut Marianto (2001)
jika kondisi populasinya tidak berlebih, eceng gondok memiliki beberapa manfaat,
diantaranya sebagai biofilter cemaran logam berat, bahan baku anyaman dan campuran
pakan ternak.
Upaya pengendalian terhadap permasalahan ledakan populasi eceng gondok
telah banyak dilakukan. Jenis pengendalian yang telah banyak dilakukan adalah
pengendalian secara fisik/mekanis, kimiawi dan biologis. Namun, dari tiga jenis
pengendalian, pengendalian secara biologis dianggap sebagai pengendalian yang tepat
karena lebih alami dan aman untuk lingkungan. Permasalahan ledakan populasi eceng
gondok telah menimbulkan berbagai permasalahan perairan, oleh karenanya perlu
diidentifikasi penyebab dan dampak terjadinya ledakan populasi sehingga diketahui
akar permasalahan dan dampaknya, serta perlu juga diketahui bagaimana pengendalian
secara biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok yang sudah pernah dilakukan
sebelumnya.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya ledakan populasi eceng gondok
2. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh terjadinya ledakan populasi eceng
gondok
3. Untuk mengetahui pengendalian biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok.

1.3 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi eceng gondok?
2. Apa dampak yang ditimbulkan oleh terjadinya ledakan populasi eceng gondok?
3. Bagaimana pengendalian yang bisa dilakukan terhadap ledakan populasi eceng
gondok secara biologis?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Taksonomi dan Morfologi Eceng Gondok


2.1.1 Taksonomi
Menurut Pancho dan Soerjani (1978) taksonomi tumbuhan eceng gondok
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledone
Ordo : Farinosae
Famili : Pontederiaceae
Genus : Eichhornia
Spesies : Eichhornia crassipes.

2.1.2 Morfologi
Eceng gondok pertama masuk ke Indonesia yaitu pada tahun 1894 di Kebun
Raya Bogor sebagai tanaman hias. Tumbuhan eceng gondok yang dikenal juga dengan
nama “water hyacinth” termasuk dalam jenis perennial (Waterhouse dan Noriss, 1987)
yang dapat mengapung bebas di air dan dapat membentuk populasi yang relatif besar
hingga membentuk pulau terapung atau ”floating island” (SEAMEO-BIOTROP, 1990
dalam Resmikasari, 2008). Tumbuhan eceng gondok hidup pada iklim tropis dan
subtropis (Gopal dan Sharma, 1981). Menurut Sculthorpe (1971) dalam Widjaja (2004),
eceng gondok dapat mengapung karena adanya petiole yang mempunyai gabus
pengapung (Bulbous Spongy Float) yang mengandung sekitar 70 % udara. Gambar
eceng gondok disajikan pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)


Sumber: https://www.dictio.id

3
Tumbuhan eceng gondok berbatang dengan buku pendek, mempunyai garis
tengah 1 - 2,5 cm, panjang 1 - 30 cm, dan lebar 5 - 25 cm. Eceng gondok berakar
serabut, tidak bercabang dan tidak berbulu dengan panjang 0,30 - 0,50 m. Akarnya
sangat kuat dan dibungkus oleh semacam zat tanduk, dimana berat akarnya adalah
sekitar 20 - 50 % dari berat tumbuhan eceng gondok (Sculthorpe, 1971 dalam Widjaja,
2004). Menurut Gopal dan Sharma (1981) eceng gondok yang tumbuh pada air yang
kaya akan unsur hara akan mempunyai petiole (batang) yang panjang (Gambar 2)
hingga mencapai lebih dari 100 cm dan akar yang pendek kurang dari 20 cm, sedangkan
eceng gondok yang tumbuh pada air yang miskin hara, panjang petiole kurang dari 20
cm dan berbentuk bulat (Gambar 3) namun akarnya lebih dari 60 cm. Eceng gondok
mempunyai stolon dengan garis tengah 0,5 - 2 cm, panjang sampai 40 cm atau lebih
pendek bila tumbuh rapat. Gambar eceng gondok yang tumbuh pada air kaya hara dan
yang tumbuh pada air miskin hara (Soerjani et al, 1980) disajikan pada Gambar 2 dan
Gambar 3 berikut ini.

Gambar 2. Eceng Gondok yang Tumbuh pada Air Kaya Hara

Gambar 3. Eceng Gondok yang Tumbuh pada Air Miskin Hara

4
Menurut Soerjani et al (1980) tangkai daun eceng gondok panjangnya bisa
mencapai hingga 30 cm berbatasan dengan helai daun yang menyempit dan sifatnya
mendangkalkan dan menimbulkan spon yang menggelembung seperti gondok yang
membuat tumbuhan ini mengapung. Daun eceng gondok berbentuk bulat dan lebar,
tulang daun melengkung rapat dengan panjang 7 - 25 cm. Daun paling bawah
mempunyai helaian kecil dan pelepah yang berbentuk tabung sedangkan daun yang
teratas berbentuk tabung. Bunga eceng gondok berwarna ungu muda seperti mahkota,
yang terbesar berbecak kuning di tengah, tersusun melingkar poros pada suatu
kelompok (karangan) yang berbentuk bulir dan bertangkai panjang. Bunga terdapat di
ujung batang, berada pada tangkai dengan 2 daun pelindung dan dalam satu karangan
bunga berjumlah 10 - 35 (Widjaja, 2004).
Menurut Resmikasari (2008) eceng gondok memiliki benang sari yang
berjumlah 6 dan bengkok, 3 benang sari lebih besar dari yang lain. Besarnya kepala sari
kerap kali berbeda dan dapat berbunga secara serempak sepanjang tahun. Eceng gondok
setiap tahun berbunga dan setelah 20 hari terjadi penyerbukan, kemudian buah masak,
lepas dan pecah sampai akhirnya biji tersebut masuk ke dalam air (biji dapat mencapai 5
- 6 ribu per tanaman dengan masa hidupnya ± 15 tahun). Eceng gondok berkembang
biak dengan cara vegetatif (stolon) dan generatif. Perkembangbiakan secara vegetatif
memegang peranan penting dalam pembentukan koloni. Perkembangbiakan tersebut
yaitu melalui perpanjangan stolon yang pada ujungnya akan tumbuh tunas baru dan
dapat terlepas setelah tumbuhan tersebut menjadi dewasa. Perkembangbiakan
bergantung pada kadar oksigen yang terlarut dalam air dan pada konsentrasi 3,5 - 4,8
ppm perkembangbiakan dapat berlangsung cepat.

2.2 Penyebab Ledakan Populasi Eceng Gondok


Menurut Juwitanti et al (2013) eceng gondok termasuk tumbuhan dengan
pertumbuhan alami yang tergolong cepat. Kecepatan tumbuh dari eceng gondok yang
tinggi bisa menyebabkan terjadinya populasi yang berlebih atau ledakan populasi
sehingga merusak perairan dan dianggap sebagai gulma air. Selain memang
pertumbuhan alaminya yang tergolong cepat, pertumbuhan eceng gondok bisa sangat
cepat apabila di lingkungannya terjadi eutrofikasi. Menurut BLI KLHK (2016)
eutrofikasi merupakan proses pengayaan (enrichment) air dengan nutrien/unsur hara
berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya

5
peningkatan produktivitas primer perairan. Kegiatan masyarakat yang membuang
limbah organik di suatu perairan dapat menyebabkan adanya eutrofikasi. Dengan
adanya eutrofikasi terjadi pengayaan nutrien dalam air sehingga pertumbuhan eceng
gondok menjadi sangat cepat (Gerhard, 2013).

2.3 Dampak Ledakan Populasi Eceng Gondok


Eceng gondok merupakan salah satu gulma di suatu perairan. Eceng gondok
memiliki pertumbuhan yang cepat, oleh sebab itu eceng gondok dapat menutupi
permukaan air dan menimbulkan persoalan lingkungan. Kecepatan tumbuh dari eceng
gondok yang tinggi dan menyebabkan terjadinya populasi yang berlebih menyebabkan
tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak perairan (Juwitanti et al,
2013). Tertutupnya permukaan air oleh populasi eceng gondok yang besar dapat
menyebabkan penetrasi cahaya berkurang. Adanya gulma air di suatu perairan
merupakan bagian dari masalah yang perlu penanganan dalam manajemen sumberdaya
perairan (Bhukaswan, 1980). Gulma air di perairan tergenang dapat menyebabkan
menurunnya produktivitas perairan, mengganggu estetika perairan, menghalangi jalur
pelayaran, menghalangi operasi penangkapan ikan dan berkurangnya volume air sebagai
akibat transpirasi (Shofawie, 1990).
Selain itu, menurut Wright dan Purcell (1995) eceng gondok mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dengan rapat sehingga dapat merubah lingkungan mikro di
bawah permukaan air. Padatnya populasi ini akan dapat menyebabkan penurunan pH,
pengurangan masuknya sinar matahari, pengurangan tingkat kelarutan oksigen serta
peningkatan kandungan karbon dioksida yang mengakibatkan efek negatif pada
komunitas dari vertebrata air, invertebrata dan tanaman. Gulma ini juga merupakan
habitat yang sesuai bagi vector penyakit seperti malaria, kolera, schistosomiasis dan
filariasis. Tumbuhan ini juga dilaporkan sebagai inang alternatif beberapa penyakit
tanaman.
Peristiwa peledakan populasi (blooming) dari eceng gondok banyak
menimbulkan permasalahan dan kerugian di perairan. Namun, eceng gondok
sebenarnya tidak selalu memberikan dampak buruk, di sisi lain eceng gondok juga
memiliki beberapa manfaat. Menurut Marianto (2001) jika kondisi populasinya tidak
berlebih, eceng gondok memiliki beberapa manfaat, diantaranya sebagai biofilter
cemaran logam berat, bahan baku anyaman dan campuran pakan ternak.

6
2.4 Jenis-Jenis Pengendalian Terhadap Ledakan Populasi Eceng Gondok
Keberadaan eceng gondok sebagai gulma dapat merugikan suatu perairan.
Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat dapat menyebabkan ledakan populasi
eceng gondok yang tidak terkendali. Adanya gulma air seperti eceng gondok dapat
mengganggu transportasi air, menurunnya hasil tangkapan ikan, mempercepat
pendangkalan karena evaporasi (Krismono et al, 2010). Oleh karena itu perlu dilakukan
upaya-upaya pengendalian terhadap ledakan populasi eceng gondok, karena jika
pertumbuhan populasinya tidak dikendalikan maka akan menimbulkan dampak negatif.
Menurut Resmikasari (2008), pengendalian gulma air seperti eceng gondok
dapat diakukan dengan beberapa upaya pengendalian seperti berikut ini:

a). Pengendalian Mekanis


Pengendalian secara mekanis merupakan pengangkatan gulma air secara
massal ke tepi perairan. Pada perairan luas seperti danau, pengendalian secara mekanis
tidak memberikan pengaruh residu, bahkan dapat merangsang kecepatan tumbuh
kembali, oleh sebab itu pengendalian mekanis harus secara terus menerus dilakukan,
karena dengan pengurangan kepadatan melalui pengendalian ini secara tidak langsung
memberikan kesempatan gulma untuk tumbuh kembali secara cepat. Umumnya
pengendalian secara mekanis pada perairan luas bersifat tidak efektif dan efisien. Hal ini
dikarenakan biaya yang diperlukan cukup banyak dan diperlukan banyak tenaga, akan
tetapi hasil yang diperoleh hanya bersifat sementara. Akan tetapi bagi perairan yang
tidak luas seperti kolam, pengendalian ini akan bersifat lebih efektif.

b). Pengendalian Kimiawi


Pengendalian terhadap gulma air seperti eceng gondok bisa dilakukan salah
satunya secara kimiawi, akan tetapi pengendalian secara kimiawi dapat memunculkan
efek samping yang merugikan, yaitu pencemaran lingkungan. Pencemaran terjadi akibat
adanya bahan kimia beracun dan berbahaya dalam limbah lepas yang masuk ke
lingkungan perairan sehingga terjadi perubahan kualitas lingkungan perairan. Bahan
pencemar yang masuk ke dalam lingkungan akan bereaksi dengan satu atau lebih
komponen lingkungan. Apabila bahan pencemar berakumulasi secara terus menerus
dalam lingkungan dan lingkungan tersebut tidak mempunyai kemampuan alami untuk
menetralisir, maka akan mengakibatkan perubahan kualitas air. Selain dapat mematikan
gulma, bahan kimia tersebut juga dapat mematikan atau mengurangi jasad-jasad renik

7
makanan ikan dalam perairan, serta dapat membahayakan tanaman budidaya serta
masyarakat dan hewan peliharaan maupun satwa liar yang menggunakan air bagi
keperluan hidupnya.

c). Pengendalian Biologis


Pengendalian secara biologis adalah pengendalian dengan menggunakan
mahluk hidup, diantaranya serangga, bakteri, jamur, virus dan ikan sebagai sarana
pengendalian. Pengendalian ini merupakan penghambatan atau pengurangan populasi
terhadap suatu organisme oleh organisme lain. Pada prinsipnya pengendalian
pertumbuhan menjadi tujuan pengendalian, yaitu dikendalikannya blooming gulma air.
Beberapa syarat bagi pengendalian gulma secara biologis adalah: (1) dapat memakan
beberapa jenis tumbuhan, (2) daya pengendaliannya tinggi, (3) tidak menjadi
kompetitor bagi organisme lain di perairan, (4) mudah dikendalikan, (5) tidak menjadi
hama, dan (6) secara ekonomis dapat menambah produktivitas perairan.

d). Pengendalian secara Bersamaan


Pengendalian secara bersamaan ini adalah pengendalian dengan cara mekanis,
kimiawi dan biologis yang dilakukan bersamaan. Pengendalian ini dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang dapat memberikan pengaruh residu karena dari ketiga cara
pengendalian, yaitu mekanis, kimiawi dan biologis tidak dapat dipastikan
keunggulannya dalam pengendalian gulma air. Cara yang baik dalam pengendalian
blooming alga/gulma air adalah cara pengendalian menurut keperluannya. Untuk
menekan agar populasi senantiasa berada di bawah ambang ekonomi, maka upaya yang
dilakukan adalah upaya yang dilakukan agar hasilnya berada di bawah batas kerugian
yang nyata secara ekonomis sehingga kelestarian perairan dapat dijaga.

2.5 Pengendalian Biologis Terhadap Ledakan Populasi Eceng Gondok


Upaya-upaya pengendalian eceng gondok di suatu perairan telah banyak
dilakukan dengan pengendalian secara fisik/mekanis, kimiawi ataupun pengendalian
secara biologis. Namun, pada pengendalian secara fisik/mekanis dan kimiawi dianggap
tidak efisien, tidak efektif serta tidak aman untuk lingkungan. Pengendalian secara
biologis dianggap sebagai pengendalian yang tepat untuk menanggulangi ledakan
populasi eceng gondok karena lebih alami. Berikut adalah beberapa contoh
pengendalian biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok:

8
a). Pengendalian dengan Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella)
Pengendalian secara biologis terhadap eceng gondok salah satunya bisa
menggunakan ikan sebagai agen pengendaliannya. Penggunaan ikan untuk
mengendalikan pertumbuhan gulma air pada umumnya menggunakan ikan-ikan
pemakan tumbuhan (herbivor) dan ikan pemakan segala (omnivor) (Wahyuni, 2001).
Menurut Shofawie (1990), metode pengendalian gulma air secara biologis dengan
menggunakan ikan koan telah menjadi perhatian para ahli biologi dan masyarakat,
karena kemampuan ikan koan yang dapat mengendalikan gulma air dibandingkan
dengan ikan herbivor lainnya. Pengendalian secara biologis dianggap lebih mendekati
proses alami. Gambar ikan koan disajikan pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella)


Sumber: http://www.alamikan.com

Kemampuan ikan koan dalam menanggulangi blooming tumbuhan air telah


banyak diteliti. Berdasarkan Asyari (2011), penggunaan ikan koan untuk
menanggulangi ledakan populasi eceng gondok pernah dilakukan di Danau Kerinci,
Provinsi Jambi pada tahun 1995. Penebaran dilakukan dengan melepaskan sekitar
48.500 benih ikan ikan koan ukuran 5 – 8 cm ke beberapa daerah pinggiran danau
selama tiga tahun berturut-turut. Benih yang direstocking berasal dari hasil pemijahan
hatchery BBI Sentral di Kerinci. Pada tahun 1998 populasi eceng gondok di Danau
Kerinci berkurang secara nyata.
Berdasarkan evaluasi metode pengendalian eceng gondok secara biologis
dengan ikan koan di Mesir, menganjurkan penebaran ikan koan lebih besar dari 100
kg/ha dengan ukuran ikan paling kecil sekitar 10 - 20 gr/ekor. Ikan koan yang memakan
eceng gondok sekresinya akan mempengaruhi kualitas air karena sebagai ikan herbivora

9
pada umumnya akan mengekskresikan 43% dari sisa makanannya ke perairan, tetapi
ekskresi ikan koan mencapai 74% (Krismono et al, 2010).
Kurangnya oksigen terlarut akibat penutupan eceng gondok disebabkan ikan
koan memakan eceng gondok. Ketika eceng gondok membusuk, kandungan oksigen
dalam air menurun dengan cepat karena oksigen diperlukan oleh mikroorganisme dalam
proses dekomposisi sehingga mengakibatkan eceng gondok mati dan akan tenggelam ke
dasar perairan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi densitas eceng gondok maka
akan semakin rendah kandungan oksigen terlarutnya (Resmikasari, 2008).
Ikan koan sebagai ikan herbivor memiliki kriteria yang memenuhi syarat
sebagai pengendali gulma air. Ikan tersebut memiliki kelebihan pada kemampuan
mengkonsumsi berbagai jenis tumbuhan air, daya pengendalian yang tinggi, dan secara
ekonomis bisa menambah produksi ikan. Ikan koan memakan akar eceng gondok,
sehingga keseimbangan gulma air itu di bagian permukaan hilang, daunnya jatuh
kepermukaan air dan terjadi pembusukan (dekomposisi) dan kemudian dimakan ikan
(Asyari, 2011). Akar eceng gondok mengandung serat kasar sebesar 16,74 %. Selain
memiliki serat kasar yang tinggi, sistem perakaran eceng gondok biasanya lebih dari
50% dari total biomassa eceng gondok (Juwitanti et al, 2013). Gambar ikan koan
memakan akar eceng gondok (Resmikasari, 2008) disajikan pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Ikan Koan Memakan Akar Eceng Gondok

Ikan koan biasanya memakan gulma air pada bagian permukaan dan dasar
perairan. Kemampuan ikan koan di dalam memakan dan memanfaatkan tumbuhan air

10
bergantung pada kedua ukuran yaitu ukuran tumbuhan air dan ikan koan itu sendiri.
Pada ikan koan kecil dengan panjang 6 - 15 cm yang dibiakkan pada suhu 21 - 26 °C
memakan tumbuhan air 6 - 10 % dari berat badannya per hari, ikan koan dengan berat 1
kg dapat memakan 0,8 – 1,5 kg tumbuhan air per harinya dan ikan koan dengan berat 1
kg atau lebih dapat memakan seluruh bagian eceng gondok sedangkan ikan dengan
ukuran yang lebih kecil hanya dapat memakan bagian akar eceng gondoknya.
Disamping kemampuannya untuk mengendalikan gulma air, ikan ini juga mempunyai
nilai penting dalam aspek budidaya ikan baik langsung maupun tidak langsung. Adanya
ikan ini dalam suatu perairan juga dapat meningkatkan produksi ikan secara total,
karena kotoran ini dapat menjadi pupuk (Resmikasari, 2008).

b). Pengendalian dengan Ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis)


Selain pengendalian secara biologis terhadap eceng gondok dengan
menggunakan ikan koan, pengendalian biologis lainnya bisa menggunakan ikan sepat
siam (Trichogaster pectoralis). Ikan sepat siam merupakan ikan air tawar yang bersifat
omnivora. Menurut Ali dalam Cruz (1994), ikan sepat siam merupakan jenis ikan yang
mengambil makanan dengan cara mengigit/memotong (grazer) jenis makanan yang
diambil. Ikan sepat siam dapat merusak akar eceng gondok dengan cara menggerogoti
akarnya hingga putus. Putusnya akar eceng gondok akan menghambat pertumbuhan
tanaman ini. Dengan demikian ikan sepat siam diperkirakan berpotensi mengendalikan
populasi eceng gondok secara alami.
Berdasarkan hasil penelitian Marsely et al (2016) yang membandingkan antara
perlakuan kontrol (tanpa ikan sepat siam) dan perlakuan pemberian ikan sepat siam dengan
beberapa ukuran berat ikan terhadap eceng gondok menunjukkan hasil bahwa terdapat
perbedaan yang nyata (95%) antara berat eceng gondok yang terdapat pada perlakuan
kontrol dan berat eceng gondok pada perlakuan penambahan ikan, yang artinya ikan sepat
siam mampu mengendalikan populasi eceng gondok. Semua perlakuan pemberian ikan
sepat siam memberikan pengaruh dalam menurunkan berat eceng gondok, akan tetapi
perlakuan pemberian ikan sepat siam dengan berat ikan ± 75 gram memberikan pengaruh
paling besar dan efektif dalam menghambat pertumbuhan eceng gondok dibandingkan
perlakuan pemberian ikan sepat siam dengan berat ikan ± 25 gram dan ± 50 gram. Semakin
tinggi berat ikan yang diberikan, maka semakin besar pula potensi perusakan bagian akar
oleh ikan tersebut. Gambar ikan sepat siam disajikan pada Gambar 6 berikut ini.

11
Gambar 6. Ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis)
Sumber: https://ms.m.wikipedia.org

Kelebihan cara pengendalian eceng gondok secara biologis, khususnya dengan


menggunakan ikan dibandingkan cara-cara lainnya yaitu: (1) tidak menurunkan
produktivitas perairan; (2) meningkatkan produksi ikan di perairan tersebut; (3) dan bila
keseimbangan alami tercapai, memungkinkan pengendaliannya dapat bersifat permanen
sehingga tidak perlu diulangi kembali; (4) serta dapat menjadi perubahan yang sangat
potensial bagi peningkatan protein ikan (Sutton dan Vernon, 1986).

c). Pengendalian dengan Jamur Patogen


Selain penggunaan ikan sebagai agen pengendali populasi eceng gondok, agen
pengendali biologis lainnya bisa juga dengan menggunakan jamur patogen. Penggunaan
jamur patogen tumbuhan mendapat perhatian yang cukup luas karena cukup mempan
sebagaimana herbisida dan juga layak secara kormersil, sebagaimana ditunjukkan oleh
beberapa produk yang telah beredar di pasaran seperti Collego, DeVine, dan Lu Boa
(Templeton, 1992), dan BIOMAL (Auld, 1997). Jamur patogenik merupakan kandidat
bahan biokontrol yang mempunyai prospek yang baik untuk mengendalikan gulma,
karena mampu menyebabkan kerusakan yang berat pada gulma (Evans, 1995).
Menurut Wayanti (2003) beberapa jamur patogenik secara alami ditemukan
menyerang gulma eceng gondok di Bendungan Batujai di Lombok Tengah, dan dapat
menimbulkan kerusakan pada eceng gondok. Jamur-jamur tersebut meliputi Fusarium
sp., Curvularia sp., Drechslera sp. dan Cercospora sp. Berdasarkan hasil penelitian
Fauzi et al (2009) yang menguji potensi jamur Fusarium sp. sebagai agen pengendali
hayati gulma eceng gondok membuktikan bahwa memang jamur Fusarium sp. memiliki
potensi untuk mengendalikan eceng gondok dengan menimbulkan penyakit pada eceng

12
gondok yang telah diinfeksi dengan jamur tersebut. Dari hasil penelitian tersebut, jamur
Fusarium sp. lebih mampu menimbulkan penyakit jika diaplikasikan pada suhu tinggi,
dan jamur Fusarium sp. tidak dapat menginfeksi tanaman budidaya seperti padi, jagung,
kedelai, kacang tanah dan kacang hijau sehingga aman bila digunakan sebagai agen
pengendali hayati gulma eceng gondok.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Eceng gondok termasuk tumbuhan dengan tingkat pertumbuhan alami yang cepat
sehingga bisa menyebabkan terjadinya ledakan populasi. Selain memang
pertumbuhan alaminya yang tergolong cepat, pertumbuhan eceng gondok bisa sangat
cepat apabila di lingkungannya terjadi eutrofikasi.
2. Ledakan populasi eceng gondok dapat memberikan dampak negatif bagi perairan,
contohnya seperti menurunnya produktivitas perairan, mengganggu estetika perairan,
menghalangi jalur pelayaran, menyebabkan penurunan pH, pengurangan masuknya
sinar matahari, pengurangan tingkat kelarutan oksigen serta peningkatan kandungan
karbon dioksida yang mengakibatkan efek negatif pada komunitas dari vertebrata air,
invertebrata dan tanaman. Eceng gondok juga merupakan habitat yang sesuai bagi
beberapa vector penyakit serta sebagai inang alternatif untuk beberapa penyakit
tanaman.
3. Pengendalian biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok dapat memanfaatkan
beberapa agen biologis seperti ikan koan, ikan sepat siam dan jamur patogen.

3.2 Saran
Demikian makalah yang penulis buat. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca
untuk mengetahui penyebab dan dampak terjadinya ledakan populasi eceng gondok,
serta pengendalian secara biologis terhadap ledakan populasi eceng gondok. Penulis
sangat menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh
karenanya saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk kebaikan
penulisan kedepan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Asyari. 2011. Dampak Introduksi dan Penebaran Ikan Terhadap Populasi Speises Ikan
Asli di Perairan Umum Daratan. Prosiding Forum Nasional Pemacu
Sumberdaya Ikan III.
Auld, B.A. 1997. Bioherbicide. In Julien, M., and W. Graham (Eds.): Biological
Control of Weeds: theory and practical application. ACIAR Monograph No.
49. Canberra, Australia.
Bhukaswan, T. 1980. Management of Asian Reservoir Fisheries. FAO Technical Paper
(207): p 69.
[BLI KLHK] Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Kehutanan
dan Lingkungan Hidup. 2016. Peningkatan Populasi Enceng Gondok di Rawa
Pening Akibat Kegiatan Pemupukan. https://www.forda-
mof.org/index.php/berita/post/2526. Diakses pada Tanggal 3 Desember 2019.
Cruz, C.R.D. 1994. Role of Fish In Enhancing Ricefield Ecology and In Integrated Pest
Management. ICLARM Cont. Proc. Manila. Philippines.
Evans, H.C. 1995. Pathogen-Weed Relationship: The Practice and Problems of Host
Range Screening. In E.S. Delfosse., and R.R. Scott (Eds.): Proceeding of the
Eight Intrnational Symposium on Biological Control of Weeds. DSIR/CSIRO,
Melbourne.
Fauzi, M.T., Murdan., dan Muthahanas, I. 2009. Potensi Jamur Fusarium Sp. Sebagai
Agen Pengendali Hayati Gulma Eceng Gondok (Eichhornia crassipes).
Fakultas Pertanian. Universitas Mataram.
Gerhard, Indah Susilowati. 2013. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Rawa Pening dan
Strategi Pelestarian di Kabupaten Semarang. Diponegoro Journal of
Economics. 2 (2): 1-9.
Gopal ,B., dan Sharma, K.P. 1981. Water-Hyacinth (Eichhornia crassipes (Mart)
Solms). Most Troublesome Weed of The World. Delhi, India : Hindasia
Publications.
Juwitanti, Eko., Ain, Churun., dan Soerdarsono, Prijadi. 2013. Kandungan Nitrat dan
Fosfat Air pada Proses Pembusukan Eceng Gondok (Eichornia crassipes).
Diponegoro Journal of Maquares. 2 (4): 46-52.
Krismono, M.F., Rahardjo., E. Harris., dan E.S. Kartamihardja. 2010. Pengaruh pada
Tebar Ikan Koan (Ctenopharyngodon Idella) terhadap Laju Perambahan dan
Luas Tutupan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) di Danau Limboto,
Gorontalo. Berita Biologi. 10(3).
Marianto, A.D. 2001. Tanaman Air. Argomedia Pustaka. Jakarta.

15
Marsely, D., Windarti., dan Eddiwan. 2016. Trichogaster pectoralis Ability in
Controlling Eichhornia crassipes Population. Fakultas Perikanan dan
Kelautan. Universitas Riau.
Pancho, J.V., dan M. Soerjani. 1978. Aquatic Weeds of Southest Asia. National
Perspectives for Developing Countries. NAS. Washington DC.
Resmikasari, Y. 2008. Tingkat Kemampuan Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella Val.)
Memakan Gulma Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms.).
[Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Shofawie, Achmad Tantan. 1990. Studi Tentang Kemampuan Konsumsi Harian Ikan
Koan (Ctenopharyngodon idella) Terhadap Ganggang (Hydrilla verticillata).
Karya Ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soerjani, M., S.W. Lusianty., U. Ishidayat., Kasno, T., Machmud, S., Kadarwan, K.A.,
Aziz, S., Haryanto, K.L.W,. Esther., dan S.T. Sri. 1980. Gulma Air Dalam
Pengembangan Wilayah Sungai Kali Brantas. Bogor: DPU Dirjen Pengairan.
Sutton, D.L,. dan Vernon, V.Jr. 1986. Gras Carp A Fish for Biological Management of
Hydrilla and Other Aquatic Weeds in Florida. https://edis.ifas.ufl.edu. Diakses
pada Tanggal 3 Desember 2019.
Templeton, G.E. 1992. Potential for Developing and Marketing Mycoherbicide. In R.G.
Richardson (ed.): Proceedings of the First International Weed Congress. Weed
Science Society of Victoria, Melbourne, Australia.
Wahyuni, Wida Widiyanti. 2001. Pertumbuhan Ikan Koan (Ctenopharygadon idella
CV) pada Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata Jawa Barat. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Waterhouse, D.F., dan Noriss, K.R. 1987. Biological Control Pacific Prospects.
Melbourne: Inkata Press.
Wayanti, H.S. 2003. Inventarisasi Jamur-Jamur Parasitik pada Gulma Eceng Gondok
(Eichhornia crassipes (Martius) Solms-Laubach). [Skripsi]. Fakultas Pertanian
Universitas Mataram.
Widjaja, F. 2004. Tumbuhan Air. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.
Wright, A.D., dan M.F. Purcell. 1995. Eichhornia crassipes (Mart) Solms-Laubach. In
Groves, R.H., R.C.H. Sheperd., dan R.G. Richardson (Eds.): The Biology of
Australian Weeds Volume 1. R.G. and F.J. Richardson, Melbourne.

16

Anda mungkin juga menyukai