Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TOKSIKOLOGI KLINIK

PENATALAKSANAAN KERACUNAN PESTISIDA

KELOMPOK : 6

Febrian Firdaus S (1808010130)

Ajeng Siti Fajar K (1808010131)

Aldila Laela Afkar K (1808010132)

Langgeng Hidayat (1808010133)

Rahmi Sekar Cahya H (1808010134)

Zanuba Prabaula (1808010135)

Renanda Eka P (1808010136)

Kelas 4C

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulilah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunianya kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Toksikologi Klinik materi dengan judul
“Penatalaksanaan Keracunan Pestisida”
Adapun tujuan kami membuat makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tokaikologi Klinik yang di bimbing oleh ibu Wahyu Utaminingrum, M.Sc.,Apt. Semoga makalah
yang kami susun ini dapat bermanfaat dan berguna, khususnya bagi kami da n umumnya bagi
pembaca.
Demikian makalah ini dibuat, kami menyadari di dalam penyusunan dan pembuatan makalah
ini masih banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk mencapai
kesempurnaan makalah ini agar lebih baik lagi, atas kritik dan saran kami  ucapkan terima kasih.
Wassalamua’laikum Wr. Wb
                                                              

                                                                              Purwokerto, 03 Juni 2020

                                                                              Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C.  Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pestisida...................................................................................................5
B. Keracunan Organofosfat ........................................................................7
C. Keracunan Organoklorin.......................................................................11
D. Keracunan Karbamat.............................................................................14
E. Keracunan Piretrin.................................................................................16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................21

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk kedalam tubuh dengan berbagai cara yang
meghambat respon pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit,
bahkan kematian. Keracunan sering dihubungan dengan pangan atau bahan kimia. Seperti keracunan
bahan kimia yaitu contohnya keracunan pestisida.

Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama. Beberapa jenis hama yang
paling sering ditemukan adalah serangga dan beberapa di antaranya sebagai vector penyakit. Penyakit
– penyakit yang penularannya melalui vector antara lain malaria, onkosersiasis, filariasis, demam
uning, riketsia, meningitis, tifus dan pes. Insektida membantu mengendalikan penularan penyakit
penyakit ini.

Pestisida mencakup bahan – bahan racun, penggunaan pestisida biasanya dilakukan dengan bahan
lain misalnya dicampur dengan minyak dan air untuk melarutkannya, juga ada yang menggunakan
bubuk untuk mempermudah dalam pengenceran atau penyebaran dan penyemprotan.

Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat memberikan akibat samping keracunan. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaktepatan penggunaan pestisida antara lain tingkat
pengetahuan, sikap / perilaku pengguna estisida, penggunaan alat pelindung, serta kurngnya informasi
yang berkaitan dengan resiko penggunaan pestisida. Selain itu para petani lebih banyak mendapatkan
informasi mengenai pestisida dari petugas pabrik pembuat pestisida disbanding petugas kesehatan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme keracunan organofosfat, organoklorin, karbamat dan piretrin?
2. Bagaimana penatalaksanaan keracunan organofosfat, organoklorin, karbamat dan piretrin?

C. Tujuan
Dapat mengetahui mekanisme keracunan dan penatalaksanaan keracunan organofosfat,
organklorin, karbamat dan piretrin.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pestisida

Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cide yang berarti membunuh. Sementara itu,
menurut The United Environmental Control Act mendefinisikan pestisida sebagai berikut :

1. Pestisida merupakan semua zat atau campuran yang khusus digunakan untuk mengendalikan,
mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematode, gulma, virus,
bakteri, serta jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus, bakteri, atau jasad renik lain
yang terdapat pada hewan dan manusia.
2. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur
pertumbuhan atau mengeringkan tanaman.

Pestisida menurut Permenkes RI No.258/Menkes/Per/III/1992 adalah semua zat kimia / bahan lain
serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk :

- Memberantas atau mencegah hama – hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian – bagian
tanaman atau hasil pertanian
- Memberantas gulma
- Mengatur / merangsang pertumbuhan tanaman tidak termasuk pupuk
- Mematikan dan mencegah hama – hama liar pada hewan piaraan dan ternak
- Mencegah / memberantas hama – hama air
- Memberantas / mencegah binatang – binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan
alat – alat angkutan
- Memberantas dan mencegah binatang – binatang termasuk serangga yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman,
tanah dan air

Jenis – jenis golongan pestisida antara lain insektisida, herbisida, fungisida, rodentisida, dan
fumigant. Insektisida merupakan kelompok pestisida yang terbesar dan terdiri atas beberapa sub
kelompok kimia yang berbeda antara lain organoklorin, organofosfat, karbamat dan piretroid.
Organoklolrin merupakan insektisida chlorinated hydrocarbon secara kimiawi tergolong insektisida yang
relative stabil dan kurang reaktif, ditandai dengan residunya yang lama terurai di lingkungan. Salah satu
insektisida organoklorin yang terkenal adalah DDT.

5
Organofosfat merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat. Pestisida ini merupakan racun
pembasmi serangga yang paling toksik secara akut terhadap bintang bertulang belakang seperti ikan,
burung, cicak, dan mamalia. ( Raini, 2007)

Karbamat merupakan ester asam N-metilkarbamat yang dapat menghampat asetilkolinesterase. Tetapi
pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak berlangsung lama karena prosesnya cepat reversible. (Raini,
2007)

Piretroid berasal dari piretrum yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium.
Insektida tanaman lain adalah nikotin yang merupakan toksik kuat secara akut dan bekerja pada susunan
syaraf. Piretrum memiliki toksisitas rendah pada manusia tetapi dapat menimbulkan alergi pada orang
yang peka. (Raini, 2007)

World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan pestisida atas dasar toksisitas dalam bentuk
formulasi padat dan cair ( WHO, 1993).

1. Kelas IA : Amat sangat berbahaya


2. KelasIIB : Amat berbahaya
3. Kelas II : Cukup berbahaya
4. Kelas III : Agak berbahaya

Pestisda dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai rute, yakni :

1. Penetrasi lewat kulit

Pestisida yang menempel dipermukaan kulit dapat meresap ke dalam tubuh dan menimbulkan
keracunan. Kejadian kontaminasi pestisida lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi.

Pekerjaan yang menimbulkan resiko tinggi kontaminasi lewat kulit adalah :

a. Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung oleh droplet atau drift
pestisida dan menyeka wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminasi
pestisida
b. Pencampuran pestisida
c. Mencuci alat aplikasi

2. Terhisap melalui saluran pernafasan

6
Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung merupakan terbanyak kedua
setelah kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus ( kurang dari 10 mikron ) dapat masuk ke
paru – paru, sedangkan partikel yang lebih besar ( lebih dari 50 mikron ) akan menempel di selaput lendir
atau kerongkongan.

3. Masuk melalui saluran pencernaan

Pestisida keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi dibandingkan dengan kontaminasi
lewat kulit. Keracunan lewat mulut dapat terjadi karena :

a. Makan dan minum saat bekerja dengan pestisida


b. Pestisida terbawa angin masuk ke mulut
c. Makanan terkontaminasi pestisida

B. Keracunan Organofosfat
Organofosfat adalah bahan kimia penghambat kolinesterase yang digunakan
sebagai pestisida. Senyawa ini juga digunakan sebagai bahan kimia perang (Ford, 2007),
dan sebagai pestisida di bidang pertanian di seluruh dunia (Banday, 2015). OP mencakup
berbagai macam senyawa dengan sifat fisik dan biologi yang berbeda termasuk toksisitas.
OP adalah cairan dari volatilitas yang berbeda, larut atau tidak larut dalam air, pelarut
organik, dll (Bajgar, 2005 dalam dalam Rahayu, et al., 2018).
Keracunan organofosfat dapat terjadi melalui kulit, mata, mulut jika tertelan, dan
hidung jika terhirup dengan dosis berlebih. Keracunan organofosfat melalui kulit terjadi
jika zat ini berbentuk cairan dan tumpah di kulit, atau melalui pakaian yang terpapar
organofosfat. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus (<10 mikron) dapat masuk ke
paru, sedangkan partikel yang lebih besar (>50 mikron) akan menempel di selaput lendir
atau kerongkongan. Keracunan melalui saluran pencernaan dapat terjadi karena makanan
terpapar organofosfat atau jika zat ini terbawa angin masuk ke mulut.

Mekanisme keracunan organofosfat


Senyawa organofosfat menghambat fungsi hidrolase ester karboksilat seperti
chymotrypsin, AChE, plasma atau BuChE (pseudocholinesterase), plasma dan hati
karboksilesterase (aliesterase), paraoxonase (asterase), dan esterase nonspesifik lainnya di
dalam tubuh. Efek klinis yang paling menonjol dari keracunan dengan senyawa
organofosfat terkait dengan penghambatan ACh (Ford, 2007 dalam dalam Rahayu, et al.,
2018)
Organofosfat bekerja sebagai kolinesterase inhibitor. Kolinesterase merupakan
enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme asetilkolin (ACh) pada sinaps
setelah ACh dilepaskan oleh neuron presinaptik. ACh berbeda dengan neurotransmiter

7
lainnya dimana secara fisiologis aktivitasnya dihentikan melalui melalui proses
metabolisme menjadi produk yang tidak aktif yaitu kolin dan asetat. Adanya inhibisi
kolinesterase akan menyebabkan ACh tertimbun di sinaps sehingga terjadi stimulasi yang
terus menerus pada reseptor post sinaptik
ACh dibentuk pada seluruh bagian sistem saraf. ACh juga dapat dijumpai di otak
khususnya sistem saraf otonom. ACh berperan sebagai neurotransmiter pada ganglio
simpatis maupun parasimpatis. Inhibisi kolinesterase pada ganglion simpatis akan
meningkatkan rangsangan simpatis dengan manifestasi klinis midriasis, hipertensi dan
takikardia. Inhibisi kolinesterase pada ganglion parasimpatis akan menghasilkan
peningkatan rangsangan saraf parasimpatis dengan manifestasi klinis miosis,
hipersalivasi dan bradikardi. Besarnya rangsangan pada masing-masing saraf simpatis
dan parasimpatis akan berpengaruh pada manifestasi klinis yang muncul. ACh juga
berperan sebagai neurotransmiter neuron parasimpatis yang secara langsung menyarafi
jantung melalui saraf vagus, kelenjar dan otot polos bronkus. Berbeda dengan pada
ganglion, reseptor kolinergik pada daerah ini termasuk subtipe muskarinik. Inhibisi
kolinesterase secara langsung pada 13 pada organ-organ ini menjelaskan manifestasi
klinis yang dominan parasimpatik pada keracunan organofosfat, dimana daerah tersebut
merupakan target utama organofosfat.
Organofosfat merupakan pestisida yang memiliki efek irreversible dalam
menginhibisi kolinesterase, acethylcholine-esterase dan neuropathy target esterase (NTE)
pada binatang dan manusia. Paparan terhadap organofosfat akan mengakibatkan adanya
hiperstimulasi muskarinik dan stimulasi reseptor nikotinik. Organofosfat akan
menginhibisi AChE dengan membentuk phosphorilated enzyme (enzyme-OP complex).
AChE ini sangat penting untuk ujung saraf muskarinik dan nikotinik dan pada sinaps
sistem saraf pusat. Inhibisi AChE akan menyebabkan prolonged action dan asetilkolin
yang berlebihan pada sinaps saraf autonom, neuromuskular dan SSP.
Senyawa organofosfat (OP) menembus ke dalam organisme tergantung rute
paparan, injeksi i.v yang diberikan langsung ke aliran darah (sistem transportasi), OP
menembus ke sistem transportasi (proses ini sedikit banyak tertunda), dan didistribusikan
ke dalam sisi efek metabolik dan toksik (Bagjar, 2005 dalam Rahayu et al., 2018 )

Tatalaksana Keracunan Organofosfat


1. Dekontaminasi
Bersihkan pasien yang dicurigai terkena paparan organofosfat dengan sabun dan
air karena organofosfat dihidrolisis dengan mudah dalam larutan berair dengan pH tinggi.
Pertimbangkan pakaian sebagai limbah berbahaya dan buanglah sesuai kebutuhan.
Petugas kesehatan harus menghindari kontaminasi diri saat menangani pasien.
Gunakan alat pelindung diri, seperti sarung tangan dan sarung tangan neoprene, saat
dekontaminasi pasien karena hidrokarbon bisa menembus zat nonpolar seperti lateks dan
vinil. Gunakan masker katun arang untuk perlindungan pernafasan saat dekontaminasi
pasien yang terkontaminasi secara signifikan.
8
Aliri air mata pasien yang terkena paparan dengan larutan isotonik natrium
klorida atau larutan Ringer laktat.
2. Perawatan medis
 Kontrol saluran napas dan oksigenasi yang memadai sangat penting dalam
keracunan organofosfat (OP). Intubasi mungkin diperlukan pada kasus distres
pernapasan akibat laringospasme, bronkospasme, bronkorea, atau kejang.
 Penggunaan atropin agresif dengan segera dapat menghilangkan kebutuhan akan
intubasi. Succinylcholine harus dihindari karena terdegradasi oleh kolinesterase
plasma dan dapat menyebabkan kelumpuhan yang berkepanjangan. Selain
atropin, pralidoxime (2-PAM) dan benzodiazepin (misalnya diazepam)
merupakan terapi medis utama (lihat Pengobatan).
 Akses vena sentral dan jalur arteri mungkin diperlukan untuk mengobati pasien
dengan toksisitas organofosfat yang memerlukan beberapa obat dan pengukuran
gas darah.
 Pemantauan jantung terus menerus dan harus dilakukan oksimetri nadi dan
elektrokardiogram (EKG). Penggunaan magnesium sulfat intravena telah
dilaporkan bermanfaat untuk toksisitas organofosfat. Mekanisme tindakan
mungkin melibatkan antagonisme asetilkolin atau stabilisasi membran ventrikel.
3. Pengobatan
Pokok-pokok terapi medis dalam keracunan organofosfat (OP) meliputi atropin,
pralidoxime (2-PAM), dan benzodiazepin (misalnya diazepam). Manajemen awal harus
berfokus pada penggunaan atropin yang adekuat. Mengoptimalkan oksigenasi sebelum
penggunaan atropin dianjurkan untuk meminimalkan potensi disritmia.
Dosis atropin yang lebih besar sering dibutuhkan untuk keracunan pestisida OP
daripada bila atropin digunakan untuk indikasi lainnya. Untuk mencapai atropinisasi yang
memadai dengan cepat, pendekatan penggandaan biasanya digunakan, dengan eskalasi
dosis dari 1 mg sampai 2 mg, 4 mg, 8 mg, 16 mg, dan seterusnya.
de Silva dkk mempelajari pengobatan keracunan OP dengan atropin dan 2-PAM
dan, dengan atropin saja. Mereka menemukan bahwa atropin tampaknya sama efektifnya
dengan atropin plus 2-PAM dalam pengobatan keracunan OP akut (Katz, 2017 dalam
Rahayu et al., 2018).

ALGORITMA PENANGANAN KERACUNAN ORGANOFOSFAT DAN KARBAMAT

Dekontaminasi kulit atau mata ( jika terkena )

 Lepaskan pakaian dan cuci dengan air dan sabun


 Cuci mata dengan air

9
Bersihkan jalan nafas dari sumbatan dan beri O2 ( Oksigen ) 100%

Bila racun masuk ≤ 4 jam, Lambung dikosongkan dengan :

a. Bila organofosfat tertelan dan pasien sadar


 Rangsang muntah -> korek dinding belakang tenggorokan dengan jari atau alat lain
 Berikan garam dapur 1 sendok makan penuh dalam 1 gelas air hangat
b. Bilas lambung -> Pasang NGT, berikan Karbon Aktif ( Norit ) diikuti bilas lambung dengan
air ( 4 liter )

Observasi / Pantau Keadaan Pasien ( Tanda vital, oksigenasi )

Pemberian Antidotum :

SULFAS ATROPIN 2mg secara IM ( Intramuskular ) diulang tiap 3 – 8 menit s/d


muncul gejala ATROPINISASI RINGAN.

Dosis : Anak 0,015 – 0,05 mg/kg BB IV ( Intravena ) dapat diulang setiap 5 – 10


menit sampai dengan timbul atropinisasi

10
Keadaan Pasien Keadaan Pasien
Membaik Tidak Membaik

Beri SULFAS ATROPIN ( SA) Rujuk ke RS


dengan
 Dosis maintenance 0,5 pengawasan
mg/30menit – 1jam. tenaga medis
Selama 24-48jam karena
gejala keracunan bisa
muncul kembali (dosis
max 50mg/24jam)
 Hari ke 2 : SA oral 1-2mg Gejala ATROPINISASI :
per beberapa jam sesuai
 Muka merah
kebutuhan
 Mulut kering
 Takikardi
 Midrisiasis ( pupil
mata melebar )

11
C. Keracunan Organoklorin

Organoklorin merupakan insektisida chlorinated hydrocarbon secara kimiawi tergolong insektisida


yang relatif stabil dan kurang reaktif, ditandai dengan dampak residunya yang lama terurai di lingkungan.
Salah satu insektisida organoklorin yang terkenal adalah dichloro-diphenyl-trichloro-ethane (DDT).
Kelompok organoklorin merupakan racun terhadap susunan syaraf baik pada serangga maupun mamalia.
Keracunan dapat bersifat akut atau kronis. Keracunan kronis bersifat karsinogenik atau kanker.
(Prabandini, 2018). 

Pestisida organoklorin merupakan salah satu jenis hidrokarbon terklorinasi. Menurut Pillay (2013)
dikelompokkan menjadi 4 kategori berbeda yaitu:

1. DDT dan analog-misalnya, DDT (diklorodiphe-nyltrichloroethane), dan methoxychlor.

2. Kelompok heksaklorida Benzena-misalnya hexachlo-ride benzena (BHC), dan


gammahexachlorocyclohexane (lindane).

3. Cyclodienes dan senyawa terkait-misalnya aldrin, dieldrin, endosulfan (thiodan), endrin, isobenzan,
chlordane, chlordecone (kepone), heptachlor, mirex (dechlorane).

4. Tokshaphena dan senyawa terkait-misalnya toxaphene

(Rahayu, et al., 2018)

Mekanisme keracunan organoklorin

Insektisida organoklorin bekerja dengan merangsang sistem syaraf dan menyebabkan paratesia, peka
terhadap rangsangan, iritabilitas terganggunya keseimbangan, tremor dan kejang-kejang. Cara kerja zat
ini tidak diketahui secara tepat. Beberapa zat kimia ini bekerja pada sistem syaraf. Organoklorin bersifat
hepatotoksik menginduksi pembesaran hati dan nekrosis sentrolobuler. Sebagian metabolit dari paparan
pestisida akan menjadi toksik dan sebagian lagi menjadi karsinogen yang aktif. Kanker yang disebabkan
dioksin antara lain dapat berupa kanker hati dan sebagainya.

Organoklorin tidak menekan enzim kolinesterase, senyawa ini bertindak dengan berbagai mekanisme
antara lain:

 DDT dan analognya mempengaruhi saluran natrium dan sodium konduktansi melintasi membran
neuronal terutama akson, dan juga mengubah metabolisme serotonin, noradrenalin dan asetilkolin.

 Siklodien dan lindane menghambat GABA yang memediasi saluran klorida di SSP.

12
 Mekanisme neurotoksik endosulfan melibatkan penghambatan aktivitas Ca2+ -ATPase yang
bergantung pada calmodulin, perubahan sistem serotoninergik, dan penghambatan reseptor GABA.

 Senyawa penting dari hidrokarbon terklorinasi, terutama toxaphene, chlordane, DDT, dan lindane
adalah kemampuan mereka untuk menginduksi enzim pemetabolisme obat hati. Sebagian besar
senyawa ini menyebabkan nekrosis hati dan mereka adalah inducer enzim yang kuat.

Toksisitas pada manusia sebagian besar disebabkan oleh stimulasi SSP. Cyclodiena (misalnya
endosulfan), hexachlorocyclohexanes (seperti lindane), dan toxaphene yang didominasi oleh antagonis
gamma aminobenzoic acid (GABA) dan menghambat masuknya ion kalsium, tetapi juga dapat
menghambat kalsium dan magnesium adenosine triphosphatase (ATPase). Akumulasi ion kalsium yang
dihasilkan pada ujung neuronal menyebabkan pelepasan neurotransmitter stimulasi yang berkelanjutan.
Studi epidemiologis telah menunjukkan hubungan etiologi antara penyakit Parkinson dan polutan
organoklorin (Rahayu, et al., 2018)

Tatalaksana Keracunan Organoklorin


Perawatan dan observasi suportif untuk tanda-tanda kerusakan organ penting (misalnya, sistem saraf
pusat [SSP], jantung, paru-paru, hati) adalah terapi utama. Tidak ada antidot khusus yang tersedia untuk
keracunan organoklorin. Dekontaminasi dapat diindikasikan untuk mencegah penyerapan terus menerus,
serta pemaparan petugas kesehatan. Untuk dekontaminasi kulit, lepaskan pakaian dan cuci kulit dengan
sabun dan air. Hal ini paling baik dilakukan di lapangan. Amati pasien dengan paparan yang tidak
significant dengan gejala yang tidak signifikan di bagian gawat darurat selama 6-8 jam. Jika ada tanda
atau gejala toksisitas berkembang selama waktu itu, rujuklah pasien ke rumah sakit.(Rahayu, et al., 2018)
Pertimbangkan awal intubasi cepat untuk memfasilitasi penggunaan benzodiazepin agresif. Kejang
mungkin dimulai tanpa tanda atau gejala prodromal apapun. Jika pasien lumpuh setelah intubasi,
pemantauan electroencephalographic diperlukan. Penghentian aktivitas kejang harus dilakukan dengan
menggunakan algoritma pengobatan, dimulai dengan benzodiazepin dan berlanjut jika perlu fenitoin,
propofol, dan barbiturat. Rhabdomyolysis harus dipertimbangkan pada pasien dengan kejang
berkepanjangan atau mereka yang mengalami gagal ginjal akut dengan atau tanpa hiperkalemia.
Pemantauan jantung terus menerus ditunjukkan. Gunakan epinephrine dan amin sympathomimetic
dengan hati-hati karena disritmia dapat diinduksi, sebagai hasil peningkatan sensitisasi miokard pada
katekolamin. Penggunaan beta-blocker dilaporkan mengendalikan disritmia ventrikel karena miokardium
yang peka. Jika pasien hipotensi dan tidak responsif terhadap cairan, pemberian agen agonis alfa-
adrenergik murni (misalnya phenylephrine) adalah terapi pilihan. (Rahayu, et al., 2018)

13
ALGORITMA PENANGANAN KERACUNAN ORGANOKLORIN
Bawa penderita segera ke rumah sakit, terutama bila tidak sadar sebelum penderita dibawa kerumah sakit,
mungkin ada beberapa hal yang perlu dilakukan bila terjadi keadaan sebagai berikut:

Bila zat kimia terkena kulit, cucilah segera dengan sabun dan air yang banyak. begitu pula bila
terkena mata (air saja). jangan menggunakan zat pembersih selain air

Bila penderita tidak bernafas dan badan masih hangat, lakukan pernafasan buatan sampai
dapt bernafas sendiri, sambil dibawa kerumah sakit terdekat. bila tanda tanda bahwa
insektisisda merupakan penyebab, tidak dibenarkan menuju kedalam mulut pederita.

Bila racun tertelan dalam batas 4 jam, cobalah memuntahkan bila sadar.

Bila sadar, penderita dapat diberi norit yang digerus sebanyak 40 tablet,
diaduk dengan air secukupnya

Semua keracunan harus dianggap berbahaya sampai terbukti bahwa


kasusunya tidak berbahaya.

Simpanlah muntahan bia memungkinkan untuk diserahkan kepada


rumah sakit yang merawatnya

14
D. Keracunan Karbamat
Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum luas sebagai
nematosida dan akarisida yang digunakan untuk membasmi hama tanaman pangan dan buah-
buahan pada padi, jagung, jeruk, ubi jalar, kacang-kacangan dan tembakau. Karbamat dengan
rumus kimia yang paling sederhana C2H5NO2 bekerja mengikat asetilkolinesterase atau sebagai
inhibitor asetilkolinesterase. Asetilkolinesterase adalah enzim yang diperlukan untuk menjamin
kelangsungan fungsi sistem saraf manusia, vertebrata, dan insekta.

Mekanisme Keracunan Karbamat

Pestisida jenis karbamat menghambat enzim- enzim tertentu, terutama cholinesterase dan
mungkin dapat memperkuat efek toksik dari efek bahan racun lain. Karbamat pada dasarnya
mengalami proses penguraian yang sama pada tanaman, serangga dan mamalia. Pada mamalia
karbamat dengan tepat diekskresikan dan tidak terbio konsentrasi namun bio konsentrasi terjadi
pada ikan.
Mekanisme toksisitas dari karbamat adalah sama dengan organofosfat, dimana enzim AChE
(Asetilkolinesterase) dihambat, tetapi efek hambatan kolinesterase bersifat reversible dan tidak
mempunyai efek sentral karena tidak dapat menembus blood brain barrier. Dan enzim mengalami
karbamilasi, yaitu gugus karbamil lebih cepat disosiasi (dipisahkan) dari enzim sehingga enzim
AChE (Asetilkolinesterase) dapat cepat aktif kembali sehingga tidak memerlukan reaktivator 2-
PAM. Pada saat enzim dihambat, jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan reseptor
muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan
timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. (Munaf,2009)
Kalau timbul gejala, gejala itu tidak bertahan lama dan cepat kembali normal. Pada umumnya
pestisida jenis ini dapat bertahan dalam tubuh sampai 24 jam sehingga cepat diekskresikan.
Ciri khas karbamat terdiri dari molekul yang mengandung unsur nitrogen.Golongan karbamat
merupakan racun kontak yang menurunkan aktivitas enzim kolinesterase darah dan bekerja
sebagai racun saraf sebagaimana halnya dengan racun golongan organofosfat.Menurut Hendry
dan Wiseman (1997), golongan karbamat meliputi aldicarb, bendiocarb, pyrolan, isolan,
dimethilan, karbaryl (banol, baygon, mesurol, zectran).Bahan aktif yang terkandung dari pestisida
karbamat yaitu BPMC (Hopcyn), Karbaril (Sevin), Karbofuran/ dimetilan (Furadan), MICP
(Mipcin) /C11H15O2N, Propamokarb (Previcur N).

15
Tatalaksana Keracunan Organofosfat dan Karbamat

Penanganan keracunan insektsida organofosfat harus secepat mungkin dilakukan. Keragu-


raguandalam beberapa menit mengikuti pajanan berat akan meningkatkan timbulnya korban akibat dosis
letal. (1) Beberapa puluh kali dosis letal mungkin dapat diatasi dengan pengobatan cepat.Pertolongan
pertama yang dapat dilakukan :

 Bila organofosfat tertelan dan penderita sadar, segera muntahkan penderita denganmengorek
dinding belakang tenggorok dengan jari atau alat lain, dan /atau memberikanlarutan garam dapur
satu sendok makan penuh dalam segelas air hangat. Bila penderitatidak sadar, tidak boleh
dimuntahkan karena bahaya aspirasi.
 Bila penderita berhenti bernafas, segeralah dimulai pernafasan buatan. Terlebih dahulu bersihkan
mulut dari air liur, lendir atau makanan yang menyumbat jalan nafas. Bilaorganofosfat tertelan
 Bila kulit terkena organofosfat, segera lepaskan pakaian yang terkena dan kulit dicucidengan air
sabun.
 Bila mata terkena organofosfat, segera cuci dengan banyak air selama 15 menit.

Pengobatan keracunan organoposfat dan karbamat

1. Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini tidak berbahaya
pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10 – 15 menit sampaiterlihat gejala-gejala
keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulutkering, midriasis dan
takikardi. Kewmudian atropinisasi ringan ini harus dipertahankanselama 24 – 48 jam, karena
gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya munculkembali. Pada hari pertama mungkin
dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudianatropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang
beberapa jam, tergantung kebutuhan.Atropin akan menghialngkan gejala –gejala muskarinik
perifer (pada otot polos dankelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan diperbaiki karena
atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernafasan
di otak,tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang
berupakelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernafasan.
2. Pralidoksim
Segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator enzimkolinesterase. Jika
pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan,keefektifannya dipertanyakan. Dosis
normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jikakelemahan otot tidak ada perbaikan, dosis dapat
diulangi dalam 1 – 2 jam. Pengobatanumumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam kecuali pada
kasus pajanan dengankelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis. (1) Pralidoksim dapat

16
mengaktifkankembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan otot
rangkasehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka.

E. Keracunan Piretrin / Piretroid


Piretroid merupakan insektisida alami yang terbuat dari ekstrak piretrum dari bunga
krisan, yang lebih dikenal sebagai piretrin. Kemudian, pestisida ini diproduksi secara sintetis dan
diproduksi secara komersial. (Garcia,2012)
Salah satu insektisida tertua di dunia, merupakan campuran dari beberapa ester yang
disebut pyretrin yang diektraksi dari bunga dari genus Chrysantemum. Pada mamalia, piretroid
dapat menurunkan produksi estradiol (Chen dkk., 2005), menyebabkan efek estrogenik pada
mamalia betina dan antiandrogenik pada mamalia jantan (Kim dkk., 2005).Beberapa piretroid
juga terkait dengan sistem endokrin, yaitu dapat mempengaruhi perkembangan sistem reproduksi
dan seksual, mengganggu sistem kekebalan dan meningkatkan resiko kanker.

Mekanisme Keracunan Piretrin/Piretroid

Piretroid mempunyai sifat sebagai iritan, tidak mudah teradsorbsi ke kulit,tetapi mudah
teradsorbsi melalui membran pencernaan dan pernafasn.Toksisitas sistemik piretroid setelah
paparan melalui kulit adalah rendah,tetapi dampak paparan jangka pendek piretroid (sipermetrin,
deltametrin,esfenvalerat, fenvalerat dan permetrin) ternyata memperlihatkan efek yang
terlokalisasi pada kulit.
Umumnya senyawa ini mempunyai toksisitas akut yang rendah pada manusia, hal ini
disebabkan kecepatan metabolisme tubuh menginaktifkan senyawa ini, walaupun demikian
insektisida ini merupakan agen pencetus alergi, oleh karena itu menyebabkan bersin, batuk, nafas
pendek dan sakit dibagian dada pada anak-anak yang mengidap asma dan alergi.
Walaupun senyawa ini toksisitasnya rendah, tetapi dapat menyebabkan keracunan dan
kematian dengan dosis tertentu dan tergantung kepada cara masuknya racun ke dalam tubuh
manusia. Tanda-tanda keracunan karena kontak dengan kulit menyebabkan iritasi lokal dan kulit
menjadi kering, bila tertelan menyebabkan mual, muntah serta diare sedangkan bila terhirup
melalui saluran pernafasan menyebabkan iritasi saluran nafas atas seperti rhinitis, radang
kerongkongan. Pada pasien yang sensitive terpapar racun ini secara berulang dapat menyebabkan
serangan asma. Keracunan juga menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat dan dapat
mengakibatkan koma,serta sesak nafas.
Bila terjadi keracunan karena terhirup, hendaklah segera dibawa ke tempat yang berudara
segar dan bila diperlukan beri bantuan pernafasan. Jika racun piretroid (jenis semprotan) terkena

17
kulit, bagian yang terkena segera dicuci dengan air bersih yang mengalir dan sabun. Pada mata
yang terkena semprotan racun tersebut, cuci dengan air bersih selama 10-15 menit.Pakaian yang
terkena racun haruslah dicuci sebelum dipakai lagi.
Selanjutnya piretroid, yang termasuk jenis transfultrin, d-alletrin, permetrin, dan
sipermetrin.Piretroid mempunyai toksisitas rendah pada manusia karena tidak terabsorpsi dengan
baik oleh kulit. Walaupun demikian, insektisida inidapat menimbulkan alergi pada orang yang
peka. Penelitian Picciotto pada tahun 2008 dari Universitas California mendukung adanya
korelasi piretrin dengan autism.

Tatalaksana Keracunan Peritrin/Peritroid

Pertolongan Pertama Pada Korban Keracunan

a. Terhirup :
Pindahkan korban ke tempat berudara segar dan lebih aman, berikan oksigen. Berikan
pernapasan buatan jika dibutuhkan. Longgarkan pakaian yang melekat ketat, seperti kerah
baju, dasi, atau ikat pinggang.
b. Kontak dengan mata :
Lakukan irigasi dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) atau setidaknya air bersih
mengalir, sekurangnya selama 15-20 menit dengan membuka kelopak mata dan dipastikan
tidak ada lagi bahan kimia yang tertinggal.
c. Kontak dengan kulit :
Segera tinggalkan pakaian, perhiasan, dan sepatu yang terkontaminasi. Bersihkan bahan
kimia yang masih menempel di kulit dengan hati-hati. Cuci dan sikat kulit – terutama untuk
lipatan kulit, kuku, dan rambut menggunakan sabun dan air mengalir yang banyak sampai
dipastikan tidak ada bahan kimia yang tertinggal, sekurangnya selama 15-20 menit.
d. Tertelan :
Jangan lakukan induksi muntah. Jangan berikan apapun melalui mulut pada korban yang
tidak sadarkan diri. Longgarkan pakaian yang melekat ketat, seperti kerah baju, ikat
pinggang, atau dasi. Bilas mulut menggunakan air bersih, bila pasien sadar. Posisikan kepala
korban ke arah kiri dengan mulut lebih rendah untuk mencegah aspirasi jika terjadi muntah.
Segera bawa korban ke fasilitas kesehatan terdekat.

18
ALGORITMA PENANGANAN KERACUNAN PIRETIN

Dekontaminasi kulit
 Lepaskan pakaian atau apapun yang
terkontaminasi
 Bersihkan menggunakan sabun dan air
mengalir sekurangnya selama 15-20 menit

Bila terhirup pindahkan korban ke tempat berudara


segar (pernapasan buatan jika dibutuhkan)

Bila terkena mata irigasi dengan larutan garam


fisiologis (NaCl 0,9%) atau air bersih mengalir
selama 15-20 menit

Bila piretrin tertelan dan pasien sadar :


- Bilas mulut menggunakan air bersih
- Posisikan kepala korban ke arah kiri dengan
mulut lebih rendah untuk mencegah aspirasi jika
terjadi muntah.

19
Beri obat simptomatik/epinefrin(hipersensitivitas)

Observasi/Pantau Keadaan Pasien (Tanda Vital,


Oksigenisasi)

Pemberian Antidotum :
Tidak ada antidot khusus untuk keracunan ini.
Pengobatan berdasarkan simptomatik dan suportif

Jika pasien tidakmembaik :


Rujuk ke RS
Dengan pengawasan medis

Gejala keracunan piretrin :


Inhalasi/injeksi : nausea, muntah, paralisis otot,
kematian
Dosis besar : simptom induksi CNS (eksitasi,
konvulsi, paralisis)
Kematian : gagal pernapasan
Dermal : alergi, rinitis, iritasi ringan

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pestisida merupakan zat yang bermanfaat terutama dalam bidang pertanian, namun dapat
menjadi berbahaya ketika terpapar pada menusia. Jenis – jenis golongan pestisida antara lain
insektisida, herbisida, fungisida, rodentisida, dan fumigant. Jika tubuh terpapar pestisida sesegera
mungkin ditangani agar tidak terjadi infeksi lebih lanjut, misal dnegan cara di cuci pada air mengalir
selama 15 menit. Jika pestisida tertelan, segera dimuntahkan dan bawa ke rumah sakit terdekat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Mudasir & Ria,2017. Desain Senyawa Turunan Karbamat Sebagai Insektisida Baru
Menggunakan Metode In Silico, Journal of Islamic Science and Technology Vol. 3, No.1,
Juni 2017

Chen, J.F., Chen, H.Y., Liu, R., He, J., Song, L., Bian, Q., Xu, L.C., Zhou, J.W., Xiao, H., Dai, G.D.,
Wang, X.R., 2005, Effect Fenvalerate on Steroidogenesis in Cultured Rat Granulose Cells,
Biomed. Environ. Sci., 18, 108-116

Connell DW, Miller GJ. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia

Hassall, K., A., 1990, The Biochemistry and Uses of Pesticide, Macmillan Press Ltd., Hongkong

Kim, S.S., Lee, R.D., Lim, K.J., Kwack, S.J., Rhee, G.S., Seok, J.H., Lee, G.S., An, B.S., Jeung, E.B.,
Park, K.L., 2005, Potential Estrogenic and Antiandrogenic Effects of Permethrin in Rats,
Journal of Reproduction and Development, 51, 201-210.

Munaf, S., 2009, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Penerbit Buku Kedokteran,ECG.

Olson, K.R. 2012. Poisoning and Drug overdose sixth edition. Norwalk : Appleton and Lange.

Pedigo LP. 1999. Entomology and pest management. 3rd ed. Upper Saddle River: Prentice Hall

Prabandini, N. F. 2018. Gambaran Kadar SGOT Pada Petani di Desa Werdoyo Kab.Demak yang
Terpapar Pestisida ( Doctoral dissertation ). UMS

Rahayu, M., Solihat M. F. 2018. Toksikologi Klinik. Kemenkes RI : Jakarta

Raini, Mariana. 2007. Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan Pestisida. Jurnal
Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 3 Tahun 2007.

Raini, Mariana. 2009. Toksikologi insektisida rumah tangga dan pencegah keracunan. Jurnal Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol.XIX Suplemen II.

Sudarmo, S., 2007, Pestisida, Kanisius, Yogyakarta

22

Anda mungkin juga menyukai