Anda di halaman 1dari 21

VALIDASI METODE EKSTRAKSI QuEChERS UNTUK ANALISIS

RESIDU PESTISIDA PADA BUAH DAN SAYUR MENGGUNAKAN


HPLC (High Performance Liquid Chromatography) DAN GC-MS (Gas
Chromatography - Mass Spectrometry)
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Kimia Analitik

Oleh:

AZHMA ‘ULYA
19036172

Dosen Pembimbing :
1. Alizar, S.Pd, M.Sc, Ph.D
2. Desy Kurniawati, S.Pd, M.Si

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segenap kekuatan dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “Validasi Metode
Ekstraksi QuEChERS untuk Analisis Riresidu Pestisida pada Buah dan Sayur
Menggunakan HPLC dan GC-MS”. Makalah ini merupakan salah satu persyaratan
menyelesaikan mata kuliah kapita selekta kimia analitik.

Dalam penyelesaian makalah ini, penulis tidak terlepas dari bantuan dan jasa baik informasi,
penjelasan, dorongan semangat, nasehat serta do’a yang tidak ternilai harganya. Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dosen pembimbing yang telah membimbing dalam mata kuliah kapita selekta kimia
analitik.
2. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan dukungan.
3. Kepada pihak-pihak yang telah memberikan kritik dan saran terhadap makalah ini.

Semoga rahmat dan kasih sayang Allah SWT selalu tercurah kepada kita semua serta usaha
dan kerja kita bernilai ibadah di hadapan Allah SWT Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin. Kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini sangat diharapkan, supaya penulis dapat meningkatkan lagi
kesempurnaan dalam penulisan makalah untuk kedepannya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Padang, November 2019


Penulis

Azhma ‘Ulya

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida .......................................................................................................................... 2
2.2 Penggolongan Pestisidaa ................................................................................................ 2
2.3 Dampak Pestisida ........................................................................................................... 3
2.4 Metode QuEChERS ...................................................................................................... 10
2.5 Validasi Metode ............................................................................................................ 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN BAHASAN
3.1 Menggunakan HPLC ..................................................................................................... 15
3.2 Menggunakan GC - MS ................................................................................................. 15
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 17
4.2 Saran .............................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 18

III
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah pangan selalu lebih mendesak apalagi bila ditambah masalah lain misalnya
laju pertumbuhan penduduk. Dalam menghadapi masalah pangan, perlu adanya suatu
sistem pangan yang mantap. Sistem produksi telah ditangani oleh Departemen Pertanian
dan sistem pengadaan ditangani oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), sedangkan
sistem konsumsi perlu mendapatkan perhatian dan pemantauan secara intensif (Winarno,
1991:1).
Lebih dari beberapa dekade terakhir terjadi perubahan dalam kebiasaan makan kita,
salah satunya yaitu ditandai dengan perubahan produksi atau penghasil pangan. Penyakit
dan kematian yang ditimbulkan melalui makanan di Indonesia sampai saat ini masih
tinggi. Ini merupakan masalah penting dalam bidang pangan di Indonesia, dan perlu
mendapat perhatian khusus dalam program pengawasan pangan. Pengawasan pangan
yang mengandalkan pada uji produk akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang pesat
dalam industri pangan dan tidak dapat menjamin keamanan makanan yang beredar di
pasaran (Direktorat Pangan dan Pertanian, 2013).

Dewasa ini penggunaan zat anti hama (pestisida) dibidang pertanian banyak
digunakan yaitu untuk memberantas atau mencegah hama dan penyakit tanaman, serta
hasil panen. Dengan penggunaan pestisida maka secara langsung maupun tidak langsung,
bahan pangan tersebut akan terkontaminasi oleh residu pestisida yang ditinggalkannya.
Berbagai penelitian telah mengungkap adanya beberapa residu pestisida yang tertinggal
dalam bahan pangan. Tentu saja dalam analisis residu pestisida tersebut diperlukan suatu
metode yang tepat.

Oleh karena itu dalam makalah ini dikaji berbagai metode analisis residu pestisida
dalam bahan pangan. Meskipun sampai saat ini belum ada satu metode yang benar-benar
bagus dengan segala kelebihannya, karena masing-masing metode itu mempunyai
karakteristik sendiri-sendiri dan mempunyai keterbatasan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
“Bagaimana residu pestisida pada hasil pertanian yang dijual di pasar Tradisional?”

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Melakukan analisis residu pestisida dengan metode QuEChERS
2. Melihat pengaruh pencucian terhadap residu pestisid

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida
Pestisida (Inggris : Pesticide) berasal dari kata pest yang berarti hama dan cide yang
berarti mematikan/ racun. Jadi pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida dapat
didefenisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang
dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan
kepentingan manusia.
Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan untuk mengendalikan berbagai hama (http://biotis.co.id, apa itu pestisida).
Aurand dkk (1987: 645-646) mendefinisikan pestisida sebagai produk berupa zat atau
campuran zat yang berbentuk gas, cair, atau padat yang digunakan untuk membunuh,
melindungi, mengontrol, mencegah, atau mengurangi bentuk-bentuk kehidupan tanaman
atau hewan atau virus (kecuali virus, jamur, atau bakteri pada atau dalam kehidupan
manusia dan hewan lainnya). Di Indonesia untuk keperluan perlindungan tanaman,
khususnya untuk pertanian dan kehutanan pada tahun 2008 hingga kwartal I tercatat 1702
formulasi yang telah terdaftar dan 92 diizinkan penggunaannya. Sedangkan bahan aktif
yang terdaftar telah mencapai 353 jenis.
Pestisida merupakan pilihan utama cara mengendalikan hama, penyakit dan gulma
karena membunuh langsung jasad pengganggu. Kegiatan mengendalikan jasad
pengganggu merupakan pekerjaan yang memakan banyak waktu, tenaga dan biaya.
Kemanjuran pestisida dapat diandalkan, penggunaannya mudah, tingkat keberhasilannya
tinggi, ketersediaannya mencukupi dan mudah didapat serta biayanya relatif murah.
Manfaat pestisida memang terbukti besar, sehingga muncul kondisi ketergantungan
bahwa pestisida adalah faktor produksi penentu tingginya hasil dan kualitas produk,
seperti yang tercermin dalam setiap paket program atau kegiatan pertanian yang
senantiasa menyertakan pestisida sebagai bagian dari input produksi (Nichola .J, 2019).
Pestisida dengan cepat dapat menurunkan populasi hama sehingga meluasnya hama
dapat dicegah. Namun penggunaan pestisida pada sistem usaha sayuran diduga sudah
berlebihan baik dalam hal jenis, komposisi, takaran, waktu, dan intervalnya. Pestisida
yang terdapat pada tanaman dapat diserap bersama hasil panen berupa residu yang dapat
terkomsumsi oleh konsumen. Residu pestisida tersebut tidak saja berasal dari bahan yang
diaplikasikan, namun juga berasal dari penyerapan akar dari dalam tanah, terutama pada
tanaman yang dipanen umbinya (Fernando .S, 2016).
Residu pestisida menimbulkan efek tidak langsung terhadap konsumen namun,
dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, diantaranya, berupa
gangguan syaraf dan metabolisme enzim. Residu pestisida yang terbawa bersama
makanan akan terakumulasi dalam jaringan tubuh yang mengandung lemak. Akumulasi
pestisida ini pada manusia dapat merusak fungsi hati, ginjal, sistem syaraf, menurunkan
kekebalan tubuh, menimbulkan cacat bawaan, alergi dan kanker (Samantha .L, 2019).
Pestisida yang banyak direkomendasikan untuk bidang pertanian adalah golongan
organofosfat, karena golongan ini lebih mudah terurai di alam.
`

2
Organophosphat adalah golongan pestisida yang disukai petani, karena mempunyai
daya basmi yang kuat, cepat, dan hasilnya terlihat jelas pada tanaman. Departeman
Pertanian menganjurkan pemakaian pestisida ini karena sifat organofosfat yang mudah
hilang di alam. Meskipun demikian, residu pestisida organofosfat pada manusia dapat
menimbulkan keracunan baik akut, maupun kronis, hal ini disebabkan oleh sifat
akumulatif dari residu pestisida organofosfat (Alegentina, 2005).
Pada penelitian Alen et al., (2013) menemukan bahwa selada yang diperiksa
menggunakan metode kromatografi gas spektrometri massa di sentra sayur Pasar Padang
Luar positif mengandung residu pestisida profenofos dengan kadar 5,92 ppm. Kadar ini
melewati Batas Maksimum Residu (BMR) yang ditetapkan oleh The Japan Food
Chemical Research Foundation (0,05 ppm). Hal ini dikarenakan pemahaman petani yang
minim terhadap pestisida, yang mengakibatkan penggunaan pestisida yang tidak sesuai
aturan seperti dosis, waktu pemberian, dan pencampuran pestisida.
Residu pestisida ini berdampak negatif kepada manusia dan dapat mengakibatkan
keracunan. Dalam hal ini, keracunan bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu
keracunan akut ringan, keracunan akut berat, dan kronis. Keracunan akut ringan
menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit, dan diare.
Keracunan akut berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernapas,
keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut nadi meningkat. Keracunan kronis lebih
sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang
spesifik. Namun, keracunan kronis dalam jangka waktu yang lama bisa menimbulkan
gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan
penggunaan pestisida diantaranya iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada
bayi, gangguan saraf, hati, ginjal dan pernapasan. (Mustapha F.A, 2017).
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah kromatografi gas menggunakan
detektor fotometri nyala. Detektor fotometri nyala merupakan detektor yang selektif
mendeteksi senyawa yang mengandung fosfor dan sulfur tanpa terganggu oleh adanya
pengotor di dalam matriks sampel. Maka detektor ini sangat tepat digunakan untuk
pemeriksaan residu pestisida profenofos.

Menurut The United States Environmental Pesticide Control Act, pestisida adalah
sebagai berikut:

a. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah,
atau menangkis gangguan serangga,binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri,
jasad renik yang dianggap hama, kecuali virus, bakteri dan jasad jenik lainnya yang
terdapat pada manusia dan binatang.

b. Semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman
atau pengering tanaman.

Peraturan Pemerintah NO. 7 Tahun 1973


Untuk melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam
khususnya kekayaan alam hayati, dan supaya pestisida dapat digunakan efektif, maka

3
peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida diatur dengan PP No. 7 Tahun 1973.
Dalam peraturan tersebut antara lain ditentukan bahwa:
1. Tiap pestisida harus didaftarkan kepada Menteri Pertanian melalui Komisi
Pestisida untuk dimintakan izin penggunaannya, hanya pestisida yang
penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian boleh disimpan,
diedarkan dan digunakan
2. Pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian
hanya boleh disimpan, diedarkan dan digunakan menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dalam izin pestisida itu.
3. Tiap pestisida harus diberi label dalam bahasa Indonesia yang berisi
keteranganketerangan yang dimaksud dalam surat Keputusan Menteri Pertanian No.
429/ Kpts/Mm/1/1973 dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam
pendaftaran dan izin masing-masing pestisida
Dalam peraturan pemerintah tersebut yang disebut sebagai pestisida adalah semua zat
kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dapat dipergunakan untuk
memberantas atau mencegah hama atau penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman
atau hasil pertanian, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman yang tidak
diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian tanaman,
kecuali yang tergolong ke dalam pupuk, memberantas atau mencegah hama luar pada
ternak dan hewan piaraan,,memberantas atau mencegah hama air, memberantas atau
mencegah binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, memberantas atau mencegah
binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang dilindungi,
dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air. Sesuai dengan definisi tersebut di atas
maka suatu bahan akan termasuk dalam pengertian pestisida apabila bahan tersebut
dibuat, diedarkan atau disimpan untuk maksud penggunaan seperti tersebut di atas.
Menurut peraturan pemerintah no. 7 tahun 1973 tentang pengawasan atas peredaran,
penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain
serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
a. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak
tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
b. Memberantas rerumputan
c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan
d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman
tidak termasuk pupuk
e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan/ternak
f. Memberantas atau mencegah hama-hama air
g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang atu jasad-jasad renik dalam rumah
tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan.
h. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada
tanaman, tanah atau air.

Pada umumnya pestisida yang digunakan untuk pengendalian jasad pengganggu


tersebut adalah racun yang berbahaya, tentu saja dapat mengancam kesehatan manusia.

4
Untuk itu penggunaan pestisida yang tidak bijaksana jelas akan menimbulkan efek
samping bagi kesehatan manusia, sumber daya hayati dan lingkungan. Idealnya teknologi
pertanian maju tidak memakai pestisida. Tetapi sampai saat ini belum ada teknologi yang
demikian. Pestisida masih diperlukan, bahkan penggunaannya semakin meningkat.
Pengalaman di Indonesia dalam menggunakan pestisida untuk program intensifikasi,
ternyata pestisida dapat membantu mengatasi masalah hama padi. Pestisida dengan cepat
menurunkan populasi hama, hingga meluasnya serangan dapat dicegah, dan kehilangan
hasil karena hama dapat ditekan. Pengalaman di Amerika Latin menunjukkan bahwa
dengan menggunakan pestisida dapat meningkatkan hasil 40 persen pada tanaman coklat.
Di Pakistan dengan menggunakan pestisida dapat menaikkan hasil 33 persen pada
tanaman tebu, dan berdasarkan catatan dari FAO penggunaan pestisida dapat
menyelamatkan hasil 50 persen pada tanaman kapas.
Keuntungan penggunaan pestisida antara lain adalah dapat diaplikasikan secara
mudah , dapat diaplikasikan hampir di setiap tempat dan waktu, hasilnya dapat dilihat
dalam waktu singkat, dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam waktu singkat dan
mudah diperoleh karena dapat dijumpai di kios-kios pedesaan sampai pasar swalayan di
kota besar. Sedangkan kerugiannya dapat menyebabkan keracunan dan kematian pada
manusia, keracunan dan kematian pada ternak dan hewan piaraan , keracunan dan
kematian pada satwa liar, keracunan dan kematian pada ikan dan biota air lainnya,
keracunan dan kematian pada biota tanah, keracunan dan kematian pada tanaman,
pencemaran lingkungan hidup, residu pestisida yang berdampak negatif terhadap
konsumen, dan terhambatnya perdagangan hasill pertanian.
Batas Maksimum Residu (BMR)
BMR adalah konsentrasi residu yang diperbolehkan berada dalam atau pada bahan
pangan pada saat dipasarkan, dinyatakan dalam mg/kg bahan pangan (bpj, ppm) dan
keberlakuannya di suatu Negara ditetapkan secara hukum. Contoh BMR beberapa
pestisida dalam bahan pangan disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan badan Standar Nasional Indonesia (SNI)
tahun 2008, tentang batas maksimum residu (BMR) pestisida pada tanaman. Residu
pestisida untuk golongan organofosfat masih diperbolehkan ada di dalam tanaman dalam
konsentrasi yang telah ditentukan, khusus untuk sayuran batas konsentrasi residu yang
diperbolehkan yaitu 0,5 mg/kg. Residu pestisida merupakan zat tertentu yang terkandung
dalam hasil pertanian bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung
maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida.
Tabel 1. Batas Maksimum Residu (BMR) beberapa pestisida dalam bahan pangan
Pestisida BMR (mg/kg) Jenis Pangan
Aldrin 0,1 Sayuran, buah-buahan, rempah-rempah
DDT 7,0 Lemak daging sapi, kerbau, unggas
3,5 Apel, buah pir
1,25 Susu dan hasil olahannya
1,0 Sayuran, kacang-kacangan, rempah dan buahan

5
Diazinon 0,5 Telur
0,1 Jagung, kacang polong
0,25 Buncis, semangka, gambas, lobak
0,5 Kacang-kacangan, kecambah, ketimun
0,7 Lemak, daging sapi, kerbau, kambing
0,75 Sayuran, buahan, rempah
Fenitrotion 0,5 Sayuran, buahan, teh hijau
0,1 Biji Coklat
0,05 Daging, susu, dan hasil olahannya
Karbaril 5 Apel, pisang, wortel, kembang kol, seledri,
terung, kecambah, daging, unnggas, lada, buah
anggur
3 Ketimun, semangka, gambas
2 Barley, gandum
1 Jagung
0,2 Kentang
Sumber: Sudana (1986: 87)

2. 2 Penggolongan Pestisida
Pestisida mempunyai sifat-sifat fisik, kimia dan daya kerja yang berbeda-beda,
karena itu dikenal banyak macam pestisida. Pestisida dapat digolongkan menurut
berbagai cara tergantung pada kepentingannya, antara lain berdasarkan sasaran yang akan
dikendalikan, berdasarkan cara kerja, berdasarkan struktur kimianya dan berdasarkan
bentuknya.
Penggolongan pestisida berdasarkan sasaran yang akan dikendalikan yaitu :
a. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa
mematikan semua jenis serangga.
b. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa
digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan.
c. Bakterisida, Disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan aktif
beracun yang bisa membunuh bakteri
d. Nematisida, digunakan untuk mengendalikan nematoda/cacing
e. Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung
senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan

6
laba-laba.
f. Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk memastikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
g. Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput telanjang,
siput setengah telanjang, sumpil, ,bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di
tambak.
h. Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk
membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma.
Sedangkan jika dilihat dari cara kerja pestisida tersebut dalam membunuh hama
dapat dibedakan lagi menjadi tiga golongan, yaitu :
a. Racun perut
Pestisida yang termasuk golongan ini pada umumnya dipakai untuk membasmi
serangga-serangga pengunyah, penjilat, dan penggigit. Daya bunuhnya melalui perut.
b. Racun kontak
Pestisida jenis racun kontak, membunuh hewan sasaran dengan masuk kedalam
tubuh melalui kulit, menembus saluran darah, atau dengan melalui saluran nafas.
c. Racun gas
Jenis racun disebut juga fumigant ini digunakan terbatas pada ruangan ruagan
tertutup.
Menurut Dep. Kes RI Dirjen P2M dan PL, 2000 berdasarkan struktur kimianya
pestisida dapat digolongkan menjadi:
a. Golongan organochlorin misalnya DDT, Dieldrin,Endrin dan lain-lain
Umumnya golongan ini mempunyai sifat: merupakan racun yang universal,
degradasinya berlangsung sangat lambat larut dalam lemak.
b. Golongan organophosfat misalnya diazonin dan basudin
Golongan ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: merupakan racun yang tidak
selektif degradasinya berlangsung lebih cepat atau kurang persisten di lingkungan,
menimbulkan resisten pada berbagai serangga dan memusnahkan populasi predator dan
serangga parasit, lebih toksik terhadap manusia dari pada organokhlor.
c. Golongan carbamat termasuk baygon, bayrusil, dan lain-lain
Golongan ini mempunyai sifat sebagai berikut: mirip dengan sifat pestisida
organophosfat, tidak terakumulasi dalam sistem kehidupan, degradasi tetap cepat
diturunkan dan dielimiasi namun pestisida ini aman untuk hewan tetapi toksik yang kuat
untuk tawon.
d. Senyawa dinitrofenol misalnya morocidho 40EC
Salah satu pernafasan dalam sel hidup melalui proses pengubahan Adenesone

7
-5-diphosphate (ADP) dengan bantuan energi sesuai dengan kebutuhan dan diperoleh dari
rangkaian pengaliran elektronik potensial tinggi ke yang lebih rendah sampai dengan
reaksi proton dengan oksigen dalam sel. Berperan Memacu proses pernafasan sehingga
energi berlebihan dari yang diperlukan akibatnya menimbulkan proses kerusakan
jaringan.
e. Pyretroid
Salah satu insektisida tertua di dunia, merupakan campuran dari beberapa ester yang
disebut pyretin yang diekstraksi dari bunga dari genus Chrysanthemum. Jenis pyretroid
yang relatif stabil terhadap sinar matahari adalah: deltametrin, permetrin,fenvalerate.
Sedangkan jenis pyretroid yang sintetis yang stabil terhadap sinar matahari dan sangat
beracun bagi serangga adalah: difetrin, sipervetrin, fluvalinate, siflutrin, fenpropatrin,
tralometrin, sihalometrin, flusitrinate.
f. Fumigant
Fumigant adalah senyawa atau campuran yang menghasilkan gas atau uap tau asap
untuk membunuh serangga, cacing, bakteri, dan tikus. Biasanya fumigant merupakan
cairan atau zat padat yang murah menguap atau menghasilkan gas yang mengandung
halogen yang radikal (Cl, Br, F) misalnya chlorofikrin, naftalene, metylbromide,
formaldehid, fostin.
g. Petroleum
Minyak bumi yang dipakai sebagai insektisida dan miksisida. Minyak tanah yang
juga digunakan sebagai herbisida.
h. Antibiotik
Misalnya senyawa kimia seperti penicilin yang dihasilkan dari mikroorganisme ini
mempunyai efek sebagai bakterisida dan fungisida. Bentuk pestisida yang merupakan
formulasi ada berbagai macam. Formulasi ini perlu dipertimbangkan sebelum membeli
untuk disesuaikan dengan ketersediaan alat yang ada, kemudian aplikasi, serta
efektivitasnya (Wudianto, 2001 dalam Latifah, 2003).

2.3 Dampak Pestisida


a. Dampak pestisida terhadap pengguna pestisida
Risiko bagi keselamatan pengguna adalah kontaminasi pestisida secara langsung,
yang dapat mengakibatkan keracunan, baik akut , maupun kronis. Keracunan akut dapat
menimbulkan gejala - gejala sakit kepala, pusing, mual, mutah dan sebagainya. Beberapa
pestisida dapat menimbulkan iritasi kulit, bahkan dapat mengakibatkan kebutaan.
Keracunan pestisida yang akut berat dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan
diri, kejang-kejang, bahkan meninggal dunia. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi
karena tidak segera terasa, tapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan (Djojosumarto, 2004).
Sering kali orang tidak menyadari bahwa mereka keracunan pestisida karena
gejala-gejalanya mirip dengan masalah kesehatan lainnya misalnya pusing dan kudis.
Juga, karena kebanyakan gejala-gejala ini tidak muncul dengan cepat, seperti gangguan

8
sistem syaraf atau kanker, orang tidak menyadari bahwa penyakit mereka mungkin
disebabkan oleh pestisida (Quijano, 1999 dalam Latifah, 2003).
b. Dampak pestisida terhadap hasil pertanian
Risiko bagi konsumen adalah keracunan residu-residu (sisa-sisa) pestisida yang
terdapat dalam hasil pertanian. Risiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung
karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida atau lewat rantai makanan.
Meskipun bukan tidak mungkin konsumen menderita keracunan akut, tetapi risiko
konsumen umumnya dalam bentuk keracunan kronis, tidak segera terasa, dan dalam
jangka panjang mungkin menyebabkan gangguan kesehatan (Djojosumarto, 2009).

Gambar 2.1 Contoh Produk Pestisida

c. Dampak pestisida terhadap lingkungan


Dibalik manfaatnya yang besar, pestisida memiliki dampak yang cukup merugikan
pada pemakaiannya. Pestisida dapat merusak ekosistem air yang berada disekitar lahan
pertanian. Jika pestisida digunakan, akan menghasilkan sisa-sisa air yang mengandung
pestisida. Air yang mengandung pestisida ini akan mengalir melalui sungai atau aliran
irigasi.
Penggunaan pestisida oleh petani dapat tersebar di lingkungan sekitarnya, air
permukaan, air tanah, tanah dan tanaman. Sifat yang dimiliki akan berpengaruh terhadap
kehidupan organisme non sasaran, kualitas air, kualitas tanah, dan udara. Pestisida
sebagai salah satu agen pencemar ke dalam lingkungan baik melalui udara, air maupun
tanah dapat berakibat langsung terhadap komunitas hewan, tumbuhan terlebih manusia.
Pestisida yang masuk kedalam lingkungan melalui beberapa proses baik pada tataran
permukaan tanah maupun bawah permukaan tanah.
Penurunan kualitas air tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit akibat
pencemaran air merupakan inplikasi langsung dari masuknya pestisida ke dalam
lingkungan. Aliran permukaan seperti sungai, danau, dan waduk yang tercemar pestisida
akan mengalami proses dekomposisi bahan pencemar. Dan pada tingkat tertentu, bahan
pencemar tersebut mampu terakumulasi.
Pestisida di udara terjadi melalui proses penguapan oleh foto dekomposisi sinar
matahari terhadap badan air dan tumbuhan. Selain pada itu masuknya pestisida diudara

9
disebabkan oleh driff yaitu proses penyebaran pestisida ke udara melalui penyemprotan
oleh petani yang terbawa angin. Akumulasi pestisida yang terlalu berat di udara pada
akhirnya akan menambah parah pencemaran udara. Gangguan pestisida oleh residunya
terhadap tanah biasanya terlihat pada tingkat kejenuhan karena tingginya kandungan
pestisida persatuan volume tanah. Unsur-unsur hara alami pada tanah makin terdesak dan
sulit melakukan regenerasi hingga mengakibatkan tanah-tanah masam dan tidak
produktif.

2. 4 Metode QuEChERS
Metode QuEChERS merupakan singkatan dari metode yang Cepat (Quick), Mudah
(Easy), Murah (Cheap), Efektif (Effective), Kokoh (Rugged) dan Aman (Safe).
Merupakan pengembangan dari teknik ektraksi mikro menggunakan asetonitril dan
memurnikan ekstrak menggunakan dispersive solid-phase extraction (d-SPE). Metode ini
mengeluarkan biaya yang minim dibanding metode konvensional dengan jumlah pelarut
yang digunakan lebih sedikit dan juga aman bagi laboran, meski begitu nilai perolehan
kembali (recovery) tetap besar (Anastassiades et.al., 2003).
Metode QuEChERS dikembangkan oleh Anastassiades di tahun 2001 dan 2002
selama kunjungannya ke USDA/ARS-ERRC di Wynfmoor/Pennsylvvania (AS) dalam
kelompopk penelitian Steven Lehotay. Awalnya metode ini dikembangkan untuk analisis
obat hewan (anthelmintics dan thyreostats) dalam jaringan hewan, tetapi setelah
menyadari potensi besar dalam ektraksi senyawa polar dan senyawa dasar metode
tersebut juga diuji pada analisis residu pestisida dalam bahan tanaman (CVUA Sttutggart,
2011).
Metode baru untuk analisis residu ini pertama kalil diterbitkan pada tahun 2003.
Laboratorium residu pestisida CVUA Sttutgart telah menggunakan QuEChERS (versi asli)
untuk analisis pestisida rutin buah dan sayuran sejak awal 2002 dan telah digunakan
untuk pertama kalinya di Uni Eropa - PT 4 pada matriks jeruk dengan hasil yang sangat
baik (CVUA Sttutgart, 2011). Kelompok penelitian banyaj bekerja dengan menggunakan
QuEChERS dan memperluas ruang lingkup pennerapan analisis dan metode dalam tahun
- tahun terakhir. Misalnya untuk kontaminan alami, obat - obatan hewan, mikrotoksin dan
bidang lainnya (CVUA Sttutgart, 2011).
QuEChERS (Quick, Easy, Cheap, Effective, Rugged, and Safe) adalah salah satu
pengembangan teknik ekstraksi yang sesuai untuk preparasi sampel multiresidu. Teknik
ini memiliki keunggulan, kemudahan dan kecepatan karena berupa kit, sesuai untuk issue
“green laboratories” karena tidak memerlukan pelarut organik banyak, dan dapat
digunakan untuk semua jenis pestisida yang lazim digunakan dalam pertanian. Jika telah
diperoleh metode preparasi sampel yang optimal maka harus dilakukan validasi metode
analisis sebelum dapat digunakan dalam analisis rutin di laboratorium. Sedangkan untuk
mencapai kadar yang sangat kecil tersebut digunakan metode kromatografi seperti High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau Gas-Chromatography (GC). Metode
GC lebih disukai dalam analisis pestisida karena mampu mencapai sensitivitas tinggi
selain HPLC. GC juga dilengkapi dengan detektor yang sangat selektif seperti MS (Mass
Spectrometry) (Skoog,1997). Disamping itu GC tidak memerlukan sistem pelarut mahal
dibandingkan HPLC.

10
Metode QuEChERS memiliki beberapa keunggulan dibanddingkan metode
tradisional, dianntarranya sebagai berikut :
 Recovery tinggi (>85%), dicapai untuk polaritas yang luas dan volatilitas
berbagai pestisida, termasuk analit yang sulit..
 Sangat akurat (benar dan tepat) hasil yang dicapai..
 Throughput/kualitas pengerjaan sampel tinnggi, sekitar 10 sampel dimungkinkan
selesai 30-40 menit.
 Menggunakan hanya sedikit pelarut
 Dapat melakukannya tanpa banyak pelatihan atau keterampilan teknis
 Metodenya sangat baik karena pembersihan ekstrak dilakukan untuk
menghilangkan asam organik
 Biaya reagen dalam metode sangat murah
 Hanya sedikit perangkat yang diperlukan untuk persiapan sampel.

Pengembangan metode baru memerlukan sejumlah masalah yang harus ditangani,


misalnya pemilihan pelarrut ektraksi. Pelarrut yang biasa digunakan unntuk menentukan
residu pestisidda dalam matriks makanan addalah aseton, etil assetat dan asetonitril,
karena pelarut-pelarut tersebut dapat memberikan recovery analit yang besar. Meskipun
aseton mudah larut dengan air tetapi pemisahan air dari pelarrut ini tidak mungkin tanpa
menggunakan pelarut non-polar. Sedangkan pada etil asetat hanya sebagian yang dapat
larut dengan air, sehhingga untuk memisahkannya dari air memerrlukan penambahan
pelarut non-polar yang berlebihan, selain itu menyebabkkan pestisida yang sangat polar
tidak terpisah didalamnya. Asetonitril digunakan untuk ektrak dari makanan 9buah dan
sayuran) mengandung zat penggangggu lebih sedikit dari etil asetat dan aseton, asetonitril
dapat dipisahkan dengan mudah dari air (salting out), oleh karena itu asetontril
merupakan pelarut yang lebih disukai dalam metode QuEChERS (Wilkowska, 2011).

Metode QuEChERS asli dalam proses ektraksi menggunakan garam yang merupakan
campuran dari MgSO4 dan NaCl. MgSO4 digunakan dalam proses estraksi atau
pemisahan dikarenakan kemampuannya yang dapat mengikat air dalam jumlah besar,
sedangkan NaCl digunakan karena mampu memisahkan air dari sampel tanpa
memerlukan pelarut nonpolar. Sedangkan proses d-SPE clean-up menggunakan primary
secondary amine (PSA) karena efektif menghilangkan banyak senyawa matriks polar,
seperti asam organik, kandungan polar pigmen dan gula (Anastassiaddes et. al., 2003).

Metode QuEChERS semakin mengalami revolusi dan optimasi, buffer diikutsertakan


selama ektraksi sampel untuk meningkatkan kestabilann analit dan kualitas ekstrak. Saat
ini secara garis besar terdapat dua jenis metode perkembangan QuEChERS yaitu AOAC
Official Method 2007.01 dan Europan Comitte Standar Mthod EN 15662. Metode
QuEChERS EN sering disebut juga sebagai metode asli dari QuEChERS. Perbedaan
keduanya terrletak pada jenis buffer yang digunakan. QuEChERS AOAC menggunakan
buffer asam asetat sedangkat QuEChERS EN menggunakan buffer sitrat. Metode
modifikasi dengan menggunakan buffer ini diperuntukkan untuk menguji ratusan
pestisida dalam sampel sayur dan buah. (Lehotay et. El., 2010).

11
Metode QuEChERS AOAC menggunakan buffer kuat asetat pada rentang pH 4-8,
sedangkan QuEChERS EN 15662 menggunakan buffer lemah sitrat pada rentang pH
5-5,5. Metode original dengan kedua metode modifikasi ini telah dibandingkan untuk
penentuan 32 jenis pestisida dala sampel buah dan sayur (apel blueberry, lemon dan
buncis) menggunakan instrumen GC-MS dan LC-MS/MS. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan ketiga metode QuEChERS menghasilkan recovery dengan adanya
penambahan buffer menghasilkan perolehan recovery yang lebih baik dibandingkan
QuEChERS asli tanpa buffer (Lehotay et.al., 2010).

Pemilihan metode QuEChERS harus memperhatikan komoditi yang dianalisis.


Adanya perbedaan buffer yang digunakan maka rentang pH pestisida yang dikendalikan
dengan kedua metode ini berbeda, Metode EN dengan buffer sitrartnya digunakan pada
analisis pestisida yang lebih bersifat basa dengan pH 8, sedangkan metode AOAC dengan
buffer asetatnya lebih efektif pada sampel hasil pertanian dengan pestisida yang lebih
bersifat asam dengan pH 5 (Lehotay et al., 2010).

Anastassiades et. l., (2007) memodifikasi QuEChERS yang selanjutnya disebut


sebagai QuEChERS EN 15662. Modifikasi dilakukan dengan penambahan disodium
hydrogen citrate sesquihydrate dan trisodium citrate dehydrate sebagai buffer pada
proses ekstraksi. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan pH degradasi pestisida yang
signifikan , pestisida asam pada pH yang tinggi dan pestisida basa pada pH yang rendah.
Namun pemilihan buffer juga harus memperhatikan pengaruhnya terhadap deradasi
pestisida pada ekstraks akhir sampel. Kebanyak pestisidda asam akan berinteraksi dengan
amine sorbent seperti PSA. Oleh karena itu, buffer yang dipilih yang tidak mempunyai
pengaruh terhadap clean-up dari PSA yaitu pada area pH 5-5,5. Campuran dari disodium
dan trisodium citrate merupakan pilihan terbaik untuk menyesuaikan pH pada area yang
dimaksud tersebut (Anastassiades et. al., 2007).

2.5 Validasi Metode


Validasi metode merupakan suatu proses penilaian terhadap parameter tertentu,
berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut
memenuhi syarat untuk penggunaannya. Validasi metode diperlukan dalam suatu proses
analisis untuk memastikan hasil analisis dibuat dapat dipertanggungjawabkan. Suatu
metode analisis perlu divalidasi apabila metode tersebut baru dikembangkan untuk suatu
permasalahan khusus. Validasi juga dilakukan jika ada revisi dari metode yang sudah ada
untuk memecahkan suatu permasalahan analisis yang baru.
Validasi metode analisis residu pestisida di dalam makanan menggunakan regulasi
komisi Eropa SANCO sebagai acuan. Menurut dokumen SANCO/12495/2011, validasi
dilakukan setelah pengembangan metode atau sebelum metode yang belum perrnah
digunakan sebelumnya akan diperkenalkan untuk analisis rutin. Validasi dibedakan antara
calidasi untuk metode analisis kuantitatif yang akan diterapkan di laboratorium untuk
pertama kalinya dengan validasi untuk perluasan ruang lingkup metode pada analit dan
matriks baru. Parameter-parameter validasi menurut dokumen SANCO ialah efek matriks,
linearitas, presisi (RSDr), akurasi, LOQ dan spesifisitas (European Commission, 2011).
Penjelasan tentang parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut :

12
A. Spesifistias
Spesifisitas suatu metode adalah kemampuan metode tersebut untuk mengukur zat
tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada
dalam matriks sampel. Spesifisitas seringkali dinyatakan sebagai derajat penyimpangan
(degree of bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang
ditambahkan berupa cemaran, hasil, urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya dan
dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang
ditambahkan.
Dokumen ICH (Internasional Conference on Harmanization) mendefinisikan
spesifisitas sebagai kemampuan suatu metode untuk mengukur analit yang dituju secara
tepat dan spesifik dengan adanya komponen-komponen matriks. Spesifisitas metode
ditentukan dengan membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, urai,
senyawa sejenis, senyawa asing atau pembawa placebo dengan hasil analisis sampel
tanpa penambahan bahan-bahan tersebut. Penyimpangan hasil jika ada selisih dari hasil
uji keduanya.
B. Keseksamaan (Presisi)
Keseksamaan atau presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara
hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur
ditetapkan secara berulang pada sampel-sampel diambil dari campuran yang homogen.
Presisi diukur sebagai simpangan baku atay baku relatf (koefisien variasi). Dokumen ICH
merekomendasikan uji presisi dilakukan minimal 6 kali pengukuran pada konsentrasi uji
100%. Keseksamaan dapat dinyarakan sebagai keterulangan (repeatability) atau
ketertiruan (reproducibility).
C. Akurasi
Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan
kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali
analit yang ditambahkan. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali
(recovery) analit yang ditambahkan. Terdapat dua cara penentuan akkurasi, yaitu metode
simulasi dan metode penambahan.
D. Batas Kuantisasi
Batas kuantisasi adalah konsentrasi terendah analit dalam sampel yang masih dapat
memenuhi kriteria akurasi dan presisi. Limit Of Quantitation (LOQ) konsentrasi atau
massa terendah dari analit yang tervalidasi dengan nilai akurasi yang dapat diterima
setelah menerapkan metode analitik dengan lengkap. LOQ ditentukan berdasarkan rasio
signal per noise (S/N) dari instrument.
E. Efek Matriks
Efek matriks adalah perubahan efisiensi ionisasi (respon spektroskopi massa dari
analit) oleh adanya senyawa-senyawa co-elute. Perubahan efisiensi diasumsikan terjadi
pada ion source. Proses ini terjadi sebelum ion-ion mencapai spektroskopi massa. Efek
matriks menyebabkan signal enhancement atau supression sehingga hasil analit dapat
diatas atau dibawah estimasi nilai benar. Mekanismenya dapat terjadi melalui penurunan
efisiensi evaporasi karena tingginya konsentrasi senyawa-senyawa matriks.

13
F. Linearitas
Linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon secara langsung
atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap
konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan
tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan,
keseksamaan dan linearitas yang dapat diterima.

 Manfaat Validasi Metode


Memenuhi kebutuhan akan pengukuran analitik, jutaan pengukuran analitik
dilakukan setiap hari dalam ribuan laboratorium diseluruh dunia. Terdapat banyak sekali
alasan untuk melakukan pengukuran, diantaranya untuk mengevaluasi barang atau produk
untuk kepentingan perdagangan, mendukung perawatan kesehatan, menguji kualitas air
minum. Analisis forensik cairan tubbuh dalam investigasi kriminal. Analisis komposisi
unsur suatu alloy untuk mengkonfirmasikan kecocokannya dalam konstruksi pesawat
terbang.
Menentukan batasan suatu metode, misalnya akurasi, presisi, limit deteksi,dll.
Memberikan kepercayaan terhadap hasil, laboratorium mempunyai suatu tingkkat
keahlian yang tidak dimiliki pelanggan. Pelanggan diharapkan mampu mempercayai hasil
yang dilaporkan oleh laboratorium dan stafnya mempunyai tanggungjawab untuk
memberi jawaban yang benar bahwa hasil analisis tersebut mempunyai handalan untuk
tujuan “fitness for purpose”.

 Penyebab Metode Perlu Divalidasi


Suatu metode perlu divalidasi bila diperlukan untuk membuktikan ketepatan kinera
parameternya untuk digunakan dalam kasus analitik tertentu. Contohnya :
1. Pengembangan metode baru untuk kasus tertentu
2. Memutakhirkan metode yang direvisi untuk penambahan perbaikan atau diperluas
ke suatu problem atau kasus baru
3. Bila kendali mutu mengindikasikan suatu metode yang mutakhir berubah bersama
waktu.

Gambar 2.2 HPLC Gambar 2.3 GC - MS

14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN DAN BAHASAN

3.1. Menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography)


Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat instrument High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) Agilen 1100 Series kolom Shim-Pack
VP-ODS (i.d. 4,6 x 250 mm) dan detektor UV, pompa vakum, pH-meter, labu ukur, pipet
volume, beaker glass dan kertas saring whatman No.42.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan standar insektisida
klorpirifos, buffer fosfat, metanol dan aquabides, asam asetat, NH4OH 1M, diklorometan,
sayursayuran yaitu kembang kol, sawi putih dan kubis.
Tabel3.1. Konsentrasi klorpirifos dalam sayur-sayuran yang telah dikeringkan

No. Sampel [Klorpirifos] µg/kg


1 Kubis 0,131 ± 0,008
2 Kembang Kol 0,013 ± 0,005
3 Sawi Putih 0,109 ± 0,009

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi klorpirifos dalam


sayursayuran dengan menggunakan HPLC yang sebelumnya dioptimasi parameter
kromatografiknya yang dilanjutkan dengan penentuan kinerja analitik sehingga diperoleh
kondisi yang optimal untuk analisis. Kadar klorpirifos dari masing-masing sampel dapat
dilihat pada Tabel 3.1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu klorpirifos dapat terdeteksi dalam
sayur-sayuran, sehingga perlu menjadi pertimbangan bagi para konsumen dan pihak
berwenang tentang keberadaan dan penggunaan senyawa ini. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tehnik HPLC dapat
digunakan untuk menentukan residu klorpirifos dalam sayur-sayuran dengan ketepatan
dan keakuratan yang tinggi, sehingga tehnik HPLC ini layak digunakan untuk analisis
rutin senyawa klorpirifos dalam berbagai sampel.

3.2. Menggunakan GC-MS (Gas Chromatography - Mass Spectrometry)


Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juli 2015. Objek penelitian ini adalah
sayuran yang hendak diteliti yaitu sayuran kol/kubis, tomat, wortel, dan kacang panjang.
Pemeriksaan residu pestisida dilakukan di Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Residu Pestisida Berdasarkan pemeriksaan yang diperoleh dari
Laboratorium, dari 4 sampel sayuran dengan menggunakan kromatografi gas terlihat pada
tabel 3.2

15
Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Residu Pestisida Pada Sayuran
Jenis Bahan Aktif
Sampel BMR Ket.
D K P T
TM < 0,5 - - 0,0188 - MS
W < 0,5 - - - -
KP < 0,5 - - - - MS
KB < 0,5 - - 0,098 - MS

Catatan :
TM : Tomat W : Wortel KP : Kacang Panjang KB : Kubis
D : Dimetoat K : Klorpirifos P : Profenofos T : Triazofos
MS : Memenuhi Syarat

Berdasarkan Tabel 3.2. di atas dapat dilihat sampel sampel sayuran tomat terdapat
residu pestisida dengan bahan aktif profenofos sebesar 0,0188 mg/kg, pada sampel
sayuran jenis wortel dan kacang panjang residu pestisida tidak terdeteksi, dan pada
sampel sayuran jenis kubis terdapat residu pestisida dengan bahan aktif klorpirifos
sebesar 0,098 mg/kg. Meskipun kadar residu pestisida dalam sayuran masih berada
dibawah BMR, namun tidak menutup kemungkinan seseorang untuk mengalami
gangguan kesehatan jika terpapar terus menerus.
Organofosfat memiliki waktu paruh di salam tubuh selama 10-12 hari, yang
kemudiann akan diekresikan lewat urine. Menurut Munarso (2009), tidak terdeteksinya
beberapa residu pestisida ada 2 kemungkinan, yaitu memang tidak ada/tidak digunakan
jenis pestisida yang mengandung bahan aktif yang diuji; atau bahan aktif tersebut tidak
terdapat lagi pada sayuran yang telah dipanen.
Maksimal pestisida berada pada tanaman 7 hari sebelum panen sedangkan waktu
paruh pestisida organofosfat adalah 10- 16 jam akibatnya pestisida organofosfat mungkin
telah hilang pada waktu panen. Residu insektisida organoposphat yang terdapat pada
sayuran masuk kedalam tubuh manusia melalui mulut, maka dapat memberikan pengaruh
terhadap kesehatan manusia. Dampak terhadap konsumen umumnya berbentuk keracunan
kronis yang tidak langsung dirasakan. Namun, dalam waktu lama bisa menimbulkan
gangguan. Gejala keracunan ini baru kelihatan setelah beberapa bulan atau tahun
kemudian.

16
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa tehnik HPLC dapat digunakan untuk menentukan residu klorpirifos dalam
sayur-sayuran dengan ketepatan dan keakuratan yang tinggi, sehingga tehnik HPLC ini
layak digunakan untuk analisis rutin senyawa klorpirifos dalam berbagai sampel.
Hasil penelitian diperoleh data bahwa sampel sayuran tomat terdapat residu pestisida
dengan bahan aktif profenofos sebesar 0,0188 mg/kg, dan pada sampel sayuran jenis
kubis terdapat residu pestisida dengan bahan aktif klorpirifos sebesar 0,098 mg/kg. Kadar
residu pestisida yang terdapat pada sayur tomat dan kubis masih berada dibawah Batas
Maksimum Residu Pestisida (BMR) berdasarkan SNI 7313:2008, yaitu <0,5 mg/kg.
Sebagian besar konsumen berada pada kategori pengetahuan sedang (61,5%) sikap
sedang (625%) dan tindakan sedang (83,3%).

4.2 Saran
Dalam hal ini diharapkan kepada konsumen untuk lebih teliti dalam memilih sayur
dan buahan, kepada petani dalam menggunakan pestisida sesuai aturan yang telah
ditetapkan, dan kepada pemerintah, Dinkes, dan BPOM agar selalu melakukan
pemeriksaan terhadap hasil panen sebelum dipasarkan dan juga memberikan sosialisasi
kepada petani tentang cara penggunaan pestisida yang baik.
Konsumen agar tetap mencuci sayuran sebelum di konsumsi dengan menggunakan
sabun sayur dan membilas menggunakan air yang mengalir.

17
DAFTAR PUSTAKA

CHEN Jian-hang, YE Yu-fei, CHENG Xue-mei, LI Liang,WU Chun-mei (Dongguan Agricultural


Test and Supervise Institution,Dongguan 523086,China).(2011).Determination of Pestiside
Multi- Residues in Onion, Leek and Ginger by Dispersive Solid-Phase Extraction and
GC/MS. Journal of Chinese Mass Spectrometry Society, 2011-06

Fernando S, Maria S, T. Colomina, Elena H. H. (2016, January). Organophosphate Pesticide


Exposure and Neurodegeneration. Journal of Science Direct, (74) 417-426
doi.org/10.1016/j.cortex.2015.10.003

Mei Liu, Arshad Khan, Zhifei Wang, Yuan Liu, GaojianYang, Yan Deng, Nongyue He. (2019,
April). Aptasensors for Pesticide Detection. Biosensors and Bioelectronics. (130) 174-184
doi.org/10.1016/j.bios.2019.01.006

Mustapha F.A, J.Dawood, G.A Mohammed, S. Albaho Vimala, Y.D Binson, M.Thomas. (2017, J
anuary). Pesticide Risk Behaviors and Factors Influencing Pesticide use Among Farmers
in Kuwait. Journal of Science Direct, (574) 490-498

Nichola J. Hawkins, Chris Bass, Andrea Dixon.(2019).The Evolutionary Origins of Pesticide


Resistance. Biological Reviews. (94) 135–155. doi: 10.1111/brv.12440

Samantha L. Rumschlag, Neal T. Halstead, Jason T. Hoverman, Thomas R. Raffel, Hunter J.


Carrick, Peter J. Hudson.(2019, June).Effects of Pesticides on Exposure and Susceptibility
to Parasites can be Generalised to Pesticide Class and Type in Aquatic Communities.
Ecology Letters. (22) 962-972 doi.org/10.1111/ele.13253

18

Anda mungkin juga menyukai