TESIS
Oleh:
IRHASH HASBALLAH
1707601020001
i
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS
Oleh:
IRHASH HASBALLAH
NIM : 1707601020001
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. dr. Azhari Gani, Sp.PD., KKV.,FCIC., Dr. dr. Muhammad Diah, Sp.PD., KKV., FCIC.,
FINASIM FINASIM
NIP. 19631124 199601 1 002 NIP. 19620206 198910 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
ii
PENETAPAN PENGUJI TESIS
1.Pembimbing I:
Dr. dr. Azhari Gani, Sp.PD., KKV.,FCIC., ( )
FINASIM
2.Pembimbing II:
Dr. dr. Muhammad Diah, Sp.PD., KKV., FCIC., ( )
FINASIM
3. Penguji I:
Dr. dr. Fauzi Yusuf., SpPD., KGEH., FACG.,FACP., ( )
FINASIM
4. Penguji II:
dr. Mahriani Sylvawani., SpPD., KR., FINASIM ( )
5. Penguji III:
dr. Desi Salwani., SpPD., KGH ( )
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Tanda tangan :
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul “Hubungan Ketebalan Intima
Media Karotis Terhadap Derajat Keparahan Stenosis Koroner Pada Penderita
Penyakit Jantung Koroner Suku Aceh”. Tesis ini merupakan persyaratan dalam
menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di bidang Ilmu Penyakit Dalam pada
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa
hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Marwan, IPU selaku Rektor Universitas Syiah Kuala, yang
telah memberikan fasilitas dalam terlaksananya penelitian ini.
2. Prof. Dr. dr. Maimun Syukri, Sp.PD., KGH., FINASIM sebagai Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, yang telah memberikan
fasilitas dalam terlaksananya penelitian ini.
3. dr. Isra Firmansyah, Sp.A., Ph.D sebagai Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh, yang telah memberikan fasilitas dalam terlaksananya
penelitian ini.
4. dr. Muhammad Riswan, Sp.PD., KHOM., FINASIM sebagai Kepala
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang telah memberikan
wawasan, kemudahan dan dorongan bagi penulis dalam terlaksananya
penelitian ini.
5. dr. Abdullah, Sp.PD., KGH., FINASIM sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, yang telah
memberikan bimbingan, arahan, kesempatan dan kemudahan bagi penulis
sampai selesainya proposal ini.
6. dr. Vera Abdullah, Sp.PD., KPsi selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, yang telah
memberikan wawasan, arahan, kemudahan dan dukungan bagi penulis
untuk terlaksananya penelitian ini.
v
7. dr. Krishna Wardhana Sucipto, Sp.PD., KEMD., FINASIM sebagai Chief
of The Clinic Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang tidak
henti-hentinya memberikan arahan, motivasi, kepercayaan dan ilmu yang
bermanfaat kepada penulis.
8. Dr. dr. Azhari Gani, Sp.PD., KKV., FCIC., FINASIM sebagai pembimbing
I yang telah memberikan bimbingan, arahan, kesempatan dan kemudahan
bagi penulis hingga selesainya proposal ini.
9. Dr. dr. Muhammad Diah Yusuf, Sp.PD., KKV., FCIC., FINASIM sebagai
pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, kesempatan dan
kemudahan bagi penulis hingga selesainya proposal ini.
10. Dr. dr. Fauzi Yusuf., Sp.PD., KGEH., FACG.,FACP., FINASIM, dr.
Mahriani Sylvawani., Sp.PD., KR., FINASIM dan dr. Desi Salwani,
Sp.PD., KGH selaku penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan saran, sehingga bermamfaat dalam
menyelesaikan tugas akhir ini.
11. Seluruh staf Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang
merupakan guru-guru kami antara lain Prof. Dr. dr. H. Kurnia Fitri Jamil,
M.Kes., Sp.PD., KPTI., FINASIM, dr. Azzaki Abubakar, Sp.PD., KGEH.,
FINASIM, dr. Teuku Mamfaluti, M. Kes., Sp.PD, dr. Hendra Zufry, Sp.PD.,
KEMD., FINASIM, dr. Muhammad Darma Muda Setia, Sp.PD., FINASIM,
dr. Islamuddin Sp.PD, dr. Masra Lena Siregar, Sp.PD., FINASIM, dr. M.
Fuad, Sp.PD., KHOM., FINASIM, dr. Ivan Ramayana, M. Ked (PD).,
Sp.PD, dr. Chacha Marissa Isfandiari, Sp.PD, dr. Eva Musdalita, Sp.PD.,
KR., FINASIM, dr. Price Maya, Sp.PD, dr. Diana Erlita Sp.PD, dr. Agustia
Sukri Ekadamayanti, Sp.PD., KEMD, dr. Desi Magfirah, Sp.PD, dr. Sarah
Firdausa, M.Md. Sc., Sp.PD, dr. Alfi Syahrin, Sp.PD, dr. Siti Adewiah,
Sp.PD., KKV, dr. Suheir Muzakir, Sp.PD, dr. M. Reza Febriliant, Sp.PD,
dr. T. M. Reza Tandi, Sp.PD, dr. Andrie Gunawan, Sp.PD dan yang telah
banyak memberikan arahan, bimbingan kepada saya selama mengikuti
pendidikan.
vi
12. Ayahanda tercinta Drs. Hasballah Yusuf., M.Pd, ibunda tercinta Dra.
Aklima, istri tercinta dr. Wiladatika, anak kami yang tersayang Malik Irhash
dan Shafiyyah Irhash yang telah memberikan dukungan dengan sepenuh
hati selama mengikuti pendidikan.
13. Teman-teman sejawat PPDS Ilmu Penyakit Dalam dan semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu di sini yang telah banyak
memberikan dorongan moril untuk terlaksananya penelitian ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini masih banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai
pihak guna perbaikan di masa mendatang. Harapan penulis semoga tesis ini
bermamfaat bagi penulis sendiri dan masyarakat.
Penulis,
Irhash Hasballah
vii
ABSTRAK
Kata kunci: ketebalan intima media karotis, skor Gensini, penyakit jantung
koroner, suku Aceh
viii
ABSTRACT
ix
DAFTAR ISI
x
3.2 Hipotesis Penelitian ........................................................................... 32
3.3 Variabel Penelitian ............................................................................ 32
3.4 Definisi Operasional .......................................................................... 33
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR ISTILAH
ApoE : Apolipoprotein E
ASE : The American Society of Echocardiography
CAD : Coronary Artery Disease
caps fibrose : Selaput Fibrosa
CRP : C-Reactive Protein
ECA : External Carotid Artery
ESS : Endothelial Shear Stress
eNOS : Endothelial Nitric Oxide Synthase
Fatty streaks : Bercak bercak garis lemak
Form cells : Sel busa
HDL : High Density Lipoprotein
ICA : Internal Carotid Artery
ICAM-1 : Intercellular Adhesion Molecule-1
KIMK : Ketebalan Intima Media Karotis
LAD : Left Anterior Descending
LCCA : Left Common Carotid Artery
LCX : Left Circumflex Artery
LDH : Lactat Dehydrogenase
LDL : Low-Density Lipoprotein
LMCA : Left Main Coronary Artery
MCP-1 : Chemoattractants
MI : Miokardiac Infarc
NO : Nitric Oksida
NF-κB : Nuclear Transcription Factor κb
NSTEMI : Non ST Elevation Miokardiac Infarc
O2- : Anion superoksida
OM : Obstuse Marginal
Ox-LDL : LDL teroksidasi
PDGF : Platelet-Derived Growth Factor
PJK : Penyakit Jantung Koroner
RCA : Right Coronary Artery
RCCA : Right Common Carotid Artery
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
Shear stress : Tegangan geser
SKA : Sindroma Koroner Akut
SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional
SMC : Smooth Muscle Cells
STEMI : ST Elevation Miokardiac Infarc
TNF- α : Tumor Necrosis Factor-Α
TCFA : Thin-Capped Fibroatheromas
UAP : Unstable Angina Pectoris
USG : Ultrasonografi
VCAM : Vascular Cell Adhesion Molecule
VLDL : Very Low Density Lipoprotein
VSMC : Vascular Smooth Muscle Cells
25-OHC : 25-hidroksikolesterol
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di seluruh
dunia.1 Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan bagian dari penyakit
kardiovaskular.2 Survei kesehatan rumah tangga nasional (SKRT) tahun 2012 di
Indonesia menyatakan penyakit jantung sebagai penyebab utama kematian pasien
rawat inap di rumah sakit. Kematian yang disebabkan oleh PJK sebesar 7,13%.
Sementara dari hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2013,
provinsi Aceh menempati urutan kedua tertinggi penderita PJK di Indonesia yaitu
sebesar 0,7 % setelah Sulawesi Tengah sebesar 0,8%.3
Penyakit jantung koroner (PJK) secara patogenesis terjadi karena adanya
aterosklerosis yang merupakan proses inflamasi sistemik dan kronis.4
Aterosklerosis digambarkan sebagai pembuluh darah arteri yang kaku yang
disebabkan oleh disfungsi endotel, inflamasi, dislipidemia, adanya thrombosis pada
dinding vaskular dan juga melibatkan sel-sel imun.5 Beberapa faktor risiko yang
berhubungan dengan gaya hidup modern seperti dislipidemia, merokok, hipertensi,
obesitas, diabetes melitus, kurang olahraga, kecemasan, dan depresi berperan pada
aterosklerosis. Faktor risiko lain yang dinilai juga berperan adalah usia tua, riwayat
keluarga dengan penyakit kardiovaskular, jenis kelamin laki-laki, dan kelainan
genetik.1
Kuller LH melaporkan bahwa gaya hidup, genetik dan interaksi sosial
merupakan faktor resiko aterosklerosis terkait dengan ras dan etnis. Masing masing
ras dan etnis memiliki gaya hidup, genetik dan interaksi sosial yang berbeda. 6
Penerapan gaya hidup sehat berhubungan dengan perubahan beban aterosklerosis
subklinis di usia paruh baya. Menerapkan gaya hidup yang sehat sejak dini dapat
mengurangi risiko terjadinya coronary artery disease (CAD); sebaliknya, perilaku
tidak sehat dapat meningkatkan risiko PJK.7 Faktor genetik, gaya hidup tidak sehat
akan berdampak pada timbulnya dislipidemia, hipertensi, obesitas, diabetes
melitus, kecemasan, dan depresi yang berperan pada aterosklerosis.1
Penyakit jantung koroner (PJK) dengan kondisi stabil diakibatkan oleh
aterosklerosis pada dinding arteri yang bersifat kronik sedangkan yang tidak stabil
1
bersifat akut akibat thrombus, sehingga penilaian kondisi pembuluh darah dapat
menjadi strategi untuk penapisan dan pencegahan.8 Penurunan elastisitas arteri
merupakan tahap awal terjadinya PJK, diikuti dengan perubahan struktural dari
endotel dan penebalan dinding arteri. Salah satunya adalah penebalan pada otot
polos arteri karotis antara lapisan intima dan media atau disebut dengan Ketebalan
intima media karotis (KIMK). KIMK dapat menjadi indeks morfologi untuk
menilai lesi awal pada dinding arteri dan merupakan Langkah awal terjadinya
aterosklerosis vaskular.9,10 Pemeriksaan ketebalan intima media karotis merupakan
sebuah parameter yang telah divalidasi untuk evaluasi aterosklerosis. 11
Pemeriksaan KIMK dengan menggunakan alat ukur Ultrasonografi (USG) B Mode
pada arteri karotis termasuk alat diagnostik non-invasive yang aman dan mudah
tersedia yang memberikan informasi tentang karakteristik arteri karotis dan dapat
digunakan untuk deteksi dini penyakit arteri koroner serta stratifikasi risiko
kejadian kardiovaskular dan stroke.12
Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan pemeriksaan KIMK dapat
berguna untuk menilai progresifitas resiko kardiovaskuler dalam uji klinis. 13
Berdasarkan penelitian oleh Kablak Ziembicka dkk, rata-rata peningkatan KIMK
1.15 mm maka probabilitas perkembangan terjadinya CAD adalah 94%. KIMK
mampu merefleksikan derajat keparahan dan luas lesi aterosklerosis. 10 KIMK juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi aterosklerosis pada pasien dengan angina
pektoris14 dan untuk menilai kompleksitas stenosis pada pasien PJK. 15 Namun,
beberapa penelitian telah menghubungkan kompleksitas stenosis pada PJK dengan
menghubungkan parameter laboratorium. 16,17
Pada pasien PJK penentuan kompleksitas stenosis sangat menentukan
prognostik dari PJK, Sunning dkk menyebutkan skoring kompleksitas stenosis
dapat memprediksi prognosis kardiovaskular selama tindak lanjut jangka panjang
hingga 8 tahun pada pasien CAD.18 Selain itu, dalam beberapa penelitian
sebelumnya, penilaian keparahan stenosis umumnya hanya dinilai dengan jumlah
pembuluh darah dengan stenosis. Penggunaan sistem skor seperti skor Gensini
dapat menilai tidak hanya jumlah pembuluh darah dengan stenosis namun juga
berat dan lokasi stenosis dengan pembobotan masing-masing segmen arteri koroner
2
sehingga lebih representatif. Skor Gensini ≥ 20 menunjukkan adanya stenosis berat
pada arteri koroner.19
Penelitian KIMK pada etnis tertentu sudah dilaporkan di Inggris oleh
Whincup PH dkk. Penelitian dilakukan pada pediatri dan menyebutkan bahwa etnis
atau ras menunjukkan perbedaan ketebalan tunika intima media karotis. Ras kulit
hitam Afrika-Karibia memiliki KIMK lebih tinggi daripada ras Eropa kulit putih.
Nilai KIMK Asia Selatan dan Asia lainnya sama dengan ras Eropa kulit putih. Pada
semua ras, KIMK berhubungan positif dengan usia, tekanan darah sistolik dan
diastolik, namun berbanding terbalik dengan kombinasi ketebalan lipatan kulit dan
trigliserida serum.20
Provinsi Aceh yang terletak di ujung barat pulau Sumatera dengan luas
wilayah 55.390 km² yang didiami oleh 8 sub etnis/suku bangsa yang terdiri dari
suku Aceh, Aneuk Jamee, Tamiang, Gayo, Kluet, Singkil, Alas, Simeulu. 21 Setiap
sub etnis/suku di Aceh memiliki budaya, bahasa, dan kuliner yang berbeda. J.J Van
Velde, seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Aceh dan Tapanuli pada tahun
1928 hingga 1949 di dalam bukunya yang berjudul Surat-Surat dari Sumatera
menceritakan bahwa orang Aceh memiliki kebiasaan kenduri setahun sekali dengan
menu berupa nasi, sambal, sayuran kuah, gulai dan daging kambing atau sapi. 22
Makanan tersebut dibuat dengan cita rasa yang khas beserta bumbu yang sangat
kental karena dihasilkan dari perasan santan kental. Sajian makanan tersebut
disertai dengan makanan lainnya seperti martabak, ayam tangkap, kue hingga mie
khas aceh.23 Kebiasaan kenduri hingga sekarang masih berlanjut seperti kenduri
maulid yang dilaksanakan selama 3 bulan dalam setahun, 24 kenduri blang yang
dilaksanakan setiap awal musim tanam padi, 25 kenduri laot yang rutin dilaksanan
setiap tahun,26 dan kenduri kuburan setiap ada orang meninggal. 27
Mengingat tingginya kasus PJK dan rutinnya kebiasaan kenduri dalam
tradisi suku Aceh sehingga berpotensi timbulnya faktor resiko PJK yang
dipengaruhi oleh gaya hidup yang tidak sehat akibat kandungan makanan
masyarakat di provinsi Aceh, Selain itu, pada penelitian sebelumnya dilaporkan
terdapat perbedaan KIMK pada suku tertentu terhadap kejadian PJK sehingga
menarik minat peneliti untuk menilai hubungan ketebalan intima media karotis
terhadap keparahan stenosis koroner dengan skor Gensini pada PJK suku Aceh.
3
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran ketebalan intima media karotis pada penderita PJK suku
Aceh?
2. Bagaimana gambaran keparahan stenosis koroner berdasarkan skor Gensini
pada penderita PJK suku Aceh?
3. Berapa nilai cut-off ketebalan intima media karotis sebagai penanda keparahan
stenosis pada penderita PJK suku Aceh?
4. Bagaimana hubungan antara ketebalan intima media karotis terhadap keparahan
stenosis koroner berdasarkan skor Gensini pada penderita PJK suku Aceh?
4
ketebalan intima media karotis terhadap keparahan stenosis koroner berdasarkan
skor Gensini pada penderita PJK suku Aceh.
1.4.3. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan mamfaat ilmiah
sebagai alat diagnostik praktis dalam menilai keparahan stenosis koroner
berdasarkan skor Gensini pada pasien PJK suku Aceh.
1.4.4. Manfaat Masyarakat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi
bagi masyarakat terutama suku Aceh dalam melakukan pencegahan dan tatalaksana
terbaik bagi pasien PJK suku Aceh.
5
3. Willeit P, Amerika Meta Pasien dengan Pemeriksaan
dkk. analisis faktor resiko PJK KIMK dapat
2020 dengan total memprediksi
sampel 100.667 derajat penurunan
pasien risiko PJK.13
4. Halcox Inggris Kohort Pegawai negeri Fungsi endotel
JPJ, dkk. prospektif sipil yang tidak sistemik
2009 merokok total berhubungan
sampel 213 pasien dengan
perkembangan
penyakit arteri
karotis praklinis
dengan perubahan
KIMK.28
5. Siregar Indonesia Potong 63 pasien dengan KIMK dengan
OM. lintang angina pektoris nilai cut-off 0,55
2019 stabil yang mm dapat
menjalani digunakan sebagai
angiografi koroner penanda derajat
keparahan PJK.29
6. Tito DJ. Indonesia Potong 91 pasien angina KIMK memiliki
2020 lintang pektoris stabil sensitifitas yang
yang menjalani sangat baik
angiografi koroner sebagai prediktor
lesi koroner.30
7. Azriana, Indonesia Kualitatif 4 pasien suku Banyaknya pesta
dkk. 2019 Batak yang pada suku batak,
didiagnosis PJK, 1 yang dihadiri
dokter, dan 1 Raja dengan berbagai
Parhatta suku bentuk makanan
Batak dan minuman,
menyebabkan
kerentanan
terhadap resiko
PJK. 100
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jantung
Jantung adalah organ berotot yang berfungsi sebagai alat untuk terus
memompa darah ke seluruh tubuh. Jantung berada di pusat sistem peredaran darah.
Sistem ini terdiri dari jaringan pembuluh darah, seperti arteri, vena, dan kapiler.
Pembuluh darah ini membawa darah ke dan dari semua area tubuh. 31
Jantung terdiri dari empat ruang yaitu atrium kiri dan kanan serta ventrikel
kiri dan kanan, antara ventrikel dipisahkan oleh septum interventrikular. Atrium
menerima darah dari tubuh (atrium kiri dari paru-paru, atrium kanan dari seluruh
tubuh) dan ventrikel memompa darah ke tubuh (ventrikel kanan ke paru-paru,
ventrikel kiri ke seluruh tubuh). Aliran satu arah dipertahankan di dalam jantung
oleh empat katup yaitu pulmonal, aorta, mitral, dan trikuspid. Katup mitral dan
trikuspid memisahkan atrium dan ventrikel; katup mitral terdiri dari dua daun katup
dan trikuspid terdiri tiga daun katup, dan sebagian distabilkan oleh serat kolagen
tipis (chordae tendineae) yang menghubungkannya ke otot papiler dalam
ventrikel.32
7
Gambar 2.1 Skema Gambaran Anatomi Koroner Normal. 33
A: Skema segmen koroner untuk interpretasi dan pelaporan tomografi koroner.
B: Representasi skematis dari arteri koroner.
C: Plot kutub melingkar dari 17 segmen miokard dengan teritori arteri koroner yang sesuai.
A-1, 2 and 3: Proximal, mid and distal RCA; 4: Right posterior descending artery; 5: Left
main coronary artery; 6, 7 dan 8: Proximal, mid dan distal LAD; 9 dan 10: pertama dan
kedua cabang diagonal; 11: Proximal LCX; 12: First obtuse marginal branch; 13: Mid dan
distal LCX; 14: cabang marginal kedua; 15: Left posterior descending artery; 16: Right
posterior-lateral branch; 17: Ramus intermedius; 18: Left posterior-lateral branch. RCA:
Right coronary artery; LMCA: Left main coronary artery; LAD: Left anterior descending;
LCX: Left circumflex artery
8
2.4 Anatomi dan Histologi Arteri
Arteri dapat dibagi menjadi arteri besar/elastis, arteri sedang dan arteriol.
Arteri elastis adalah arteri terbesar (diameter 1-2,5 cm) dan terdiri dari sejumlah
besar elastis serta otot polos. Arteri elastis memiliki lumen besar dengan resistansi
yang rendah terhadap aliran darah, dapat mengalami vasodilatasi dan
vasokonstriksi untuk mengakomodasi perubahan volume darah.35
Arteri karotis merupakan arteri sentral yang mirip dengan arteri koroner
dalam sifat anatomis dan kontrol vasomotor. 36 Arteri koroner berfungsi
menyalurkan darah ke jantung, strukturnya terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan
paling dalam (tunika intima), lapisan tengah (tunika media), dan lapisan paling luar
(tunika adventisia atau eksterna).1,37 Aterosklerosis yang terjadi dapat
mempengaruhi struktur dan fungsi ketiga lapisan dinding arteri koroner melalui
berbagai patogenesis.38 Rincian ketiga lapisan dinding arteri dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Tunika intima terdiri dari endotel, jaringan ikat (kolagen, laminin, fibronektin,
dan molekul matriks ekstraseluler lainnya), dan lapisan basal jaringan elastis
yang disebut lamina elastis internal yang memisahkan tunika intima dari tunika
media. Endotelium adalah lapisan sel tunggal tipis yang berfungsi sebagai
permukaan yang langsung berhubungan dengan darah. Karena lokasinya yang
strategis, endotel berperan sebagai pengatur utama homeostasis vaskular
dengan sifat struktural dan fungsionalnya yang bisa berubah sebagai respons
terhadap rangsangan lokal dan sistemik. 1 Sel endotel dapat dengan mudah
dirusak oleh kondisi hipertensi, diabetes atau racun seperti asap rokok, sehingga
dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Endotelium berperan mengatur
aliran darah dan mencegah pembekuan; menghasilkan zat kimia seperti nitric
oksida (NO) yang membantu mengatur aliran darah dengan relaksasi otot polos
pembuluh darah.35
2. Tunika media ditandai dengan adanya lapisan konsentris dari vascular smooth
muscle cells (VSMC) dan matrik ekstraseluler yang kaya elastin. Lapisan ini
adalah penerima terakhir sinyal yang mengatur tonus vaskular dan dipisahkan
dari adventitia oleh lamina elastis eksternal. 1 Pada tunika intima sistem saraf
simpatis yang diaktifkan dapat merangsang serat otot polos berkontraksi,
9
memicu penyempitan pembuluh darah (vasokonstriksi) dan menurunkan aliran
darah. Ketika saraf simpatis terjadi hambatan, serat otot tunika media
mengalami relaksasi, diameter pembuluh darah meningkat sehingga terjadi
vasodilatasi dan aliran darah akan meningkat. 35
3. Tunika adventitia adalah lapisan luar dari dinding pembuluh darah, dan terdiri
dari fibroblas, kolagen, sel mast, ujung saraf, dan vasa vasorum. 1
Gambar 2.2. Struktur dinding arteri. Dinding arteri terdiri dari tiga lapisan: tunika intima
(sel endotel dan membran elastis internal), tunika media (sel otot polos pembuluh darah
dan membran elastis eksternal), dan tunika eksterna (adventitia; mengandung sel jaringan
adiposa perivaskular, sel fibroblast, serat kolagen dan ujung saraf). 37
10
kolagen yang membentuk jaringan longgar dan memberikan perlindungan fisik
terhadap distensi berlebih. Tidak mengherankan, struktur arteri karotis (yaitu
ketebalan dinding, keberadaan plak, kalsifikasi) menunjukkan korelasi yang erat
dengan struktur arteri koroner. Selain kesamaan dalam struktur arteri karotis dan
koroner, kedua arteri juga dapat berbagi jalur yang sama untuk mengatur kondisi
vaskular dan kontrol vasomotor. Untuk alasan ini, arteri karotis merupakan arteri
sentral yang mudah diakses yang dapat berfungsi sebagai penanda pengganti untuk
kesehatan vaskular arteri koroner.36
2.6 Aterosklerosis
2.6.1 Definisi
Aterosklerosis adalah penyakit radang arteri kronis yang kompleks dengan
berbagai patofisiologi.1,38 Aterosklerosis adalah penyakit pembuluh darah arteri
yang ditandai dengan gangguan keseimbangan dan akumulasi abnormal dari lipid,
sel inflamasi, deposit matriks, dan proliferasi sel otot polos di dinding arteri ukuran
sedang dan besar. Akumulasi ini paling sering terdeteksi selama dekade kedua
kehidupan dan berkembang lebih lanjut seiring bertambahnya usia. 39
Aterosklerosis dapat digambarkan sebagai kondisi inflamasi pada arteri
ukuran sedang di tunika intima yang dipercepat oleh faktor risiko seperti hipertensi,
dislipidemia, merokok, diabetes, dan genetika. 40 Perjalanan proses aterosklerosis
(initiation, progression dan complication pada plak aterosklerotik), secara bertahap
berjalan sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah
terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapisan dalam
pembuluh darah, dan dalam perjalanannya pada usia tua dapat berkembang menjadi
bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya
penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh darah. 41
11
Gambar 2.3. Patofisiologi aterosklerosis, diagram yang menunjuk faktor resiko dan
perkembangan aterosklerosis.40
12
koagulasi, fibrinolisis, peradangan dinding pembuluh darah, dan respons terhadap
perubahan hemodinamik.1
Untuk memulai aterosklerosis, endotel juga berperan dalam proses
akumulasi low-density lipoprotein (LDL) pada aterosklerosis. LDL harus melewati
endotel dan berada di subendotel. Peningkatan permeabilitas endotel adalah bagian
dari disfungsi endotel dan prasyarat untuk akumulasi LDL. Beberapa faktor yang
dapat mengganggu fungsi endotel normal, termasuk merokok, dislipidemia,
hipertensi, dan diabetes melitus. Faktor-faktor ini mempengaruhi seluruh arteri,
namun aterosklerosis yang utamanya terjadi di area pembuluh darah tertentu
(daerah melengkung, percabangan, dan persimpangan bercabang) yang terutama
ditandai dengan pola aliran yang terganggu.1
Gambar 2.4. Diagram yang menunjukkan arteri dan pembentukan plak aterosklerotik
asimtomatik.40
13
kaskade inflamasi dan mengaktifkan sel endotel untuk memberi signal perekrutan
dan migrasi monosit. Koeksistensi monosit dan lipid di subendotel menyebabkan
fagositosis oleh monosit dan pembentukan sel busa yang secara bertahap
berkembang menjadi lesi aterosklerotik. 1
14
ateroprotektif atau ateropron. ESS yang rendah mendorong fenotipe sel endotel
ateropron (aktivasi endotel) melalui regulasi ekspresi gen yang naik atau turun.
Mengenai permulaan aterosklerosis, ESS yang rendah meningkatkan regulasi
ekspresi gen yang mengkode reseptor LDL dari membran endotel. ESS yang rendah
berkontribusi pada peningkatan permeabilitas LDL endotel dengan menginduksi
perubahan struktural pada sel yang menghasilkan transisi dari bentuk fusiform ke
poligonal dan pelebaran persimpangan antar sel. Adanya hambatan sel apoptosis
mitosis dan endotel, seiring waktu, LDL di dekat endotel karena rendahnya ESS,
berkontribusi pada peningkatan permeabilitas membran. Jadi, dengan adanya
hiperlipidemia, partikel LDL melewati endotelium dan mulai terakumulasi di dalam
tunika intima.1
Gambar 2.6. Endothelial shear stress (ESS) rendah meningkatkan disfungsi endotel,
transportasi, dan akumulasi subendotelium dari partikel low-density-lipoprotein (LDL).
Retensi hasil LDL dalam modifikasinya menjadi ox-LDL, yang memicu kaskade inflamasi
yang mengaktifkan sel endotel dan menandakan perekrutan dan migrasi monosit. Setelah
melewati endotel, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag, menginternalisasi LDL yang
dimodifikasi, dan membentuk sel busa. Infiltrasi makrofag di dalam kumpulan lipid dan
apoptosis berikutnya menghasilkan perkembangan inti nekrotik kaya lipid yang
dikombinasikan dengan caps fibrosa kolagen membentuk lesi lanjutan yang disebut
fibroatheroma.1
15
Aktivasi endotel meningkatkan aterosklerosis dini tidak hanya dengan
mempengaruhi akumulasi LDL ekstraseluler tetapi juga dengan mengurangi sifat
ateroprotektif dari NO yang dilepaskan dari endotel. Secara khusus, NO yang
disintesis dalam sel endotel normal memodulasi tonus vaskular (mendukung
vasodilatasi), menghambat migrasi leukosit ke intima dengan mengurangi ekspresi
molekul adhesi, dan menurunkan proliferasi VSMC. Sementara aliran darah
laminar meningkatkan regulasi gen yang terlibat dalam produksi NO, aliran laminar
dan ESS yang rendah bertindak dengan cara yang berlawanan. 1 Beberapa kondisi
yang dapat menurunkan bioavailabilitas NO secara nyata adalah akibat peroksidasi
lipid, stres oksidatif, respon inflamasi dan perubahan angiostasis dalam sistem
kardiovaskular, proses ini merupakan salah satu penyebab penting dalam cedera
endotel dan aterosklerosis.44,45
16
disfungsi endotel. Sitokin proinflamasi juga terlibat dalam lesi awal aterosklerosis
dengan menahan ekspresi dan aktivitas eNOS, mengurangi bioavaibilias NO dan
memperburuk apoptosis sel endotel. Ox-LDL mengatur ekspresi molekul adhesi
pada permukaan endotel vaskular dan merangsang sekresi TNF-α melalui aktivasi
NF-κB.44 Ox-LDL menyebabkan disfungsi endotel melalui pelepasan eNOS yang
menghasilkan peningkatan produksi anion superoksida (O2-) namun menurunkan
bioavaibilitas NO. Penurunan bioavailabilitas NO secara nyata dapat terjadi akibat
peroksidasi lipid, stres oksidatif, respon inflamasi dan perubahan angiostasis dalam
sistem kardiovaskular, sebagai salah satu penyebab penting dalam cedera endotel
dan aterosklerosis.44,45
Plak aterosklerotik berhubungan dengan penumpukan kolesterol di dinding
pembuluh darah. High density lipoprotein (HDL) dapat menjadi inhibitor dari ox-
LDL pada eNOS dan stres oksidatif serta peradangan. HDL juga peran sebagai
antiaterosklerosis dan mencegah disfungsi endotel dan mengurangi penebalan
neointimal dengan menghambat proliferasi SMC dan kemudian menunda
timbulnya aterosklerosis memodulasi bioavailabilitas NO. Lipid proinflamasi 25-
hidroksikolesterol (25-OHC) dapat menurunkan kadar NO, meningkatkan produksi
O2, dan menghambat fosforilasi eNOS dan mempercepat perkembangan
atrosklerosis.44
2.6.6 Trombogenesis
Endotelium normal mempertahankan trombosit dalam keadaan istirahat
dengan memproduksi prostasiklin dan NO. Lepasnya lapisan endotel akibat
kerusakan menyebabkan subendotel terhubung dengan darah dan memulai aktivasi
kaskade koagulasi. Sehingga terbentuk lingkungan prokoagulan yang mendukung
pembentukan trombus. Subendotelium melepaskan faktor von Willebrand dan
protein perekat lainnya yang mengikat reseptor glikoprotein Ib (GP Ib) pada
permukaan platelet dan memicu adhesi platelet ke kolagen subendotel. Selanjutnya,
trombosit yang melekat menjadi aktif, mengeluarkan adenosin-difosfat (ADP) dan
jumlah mediator sitokin, thrombocyte derived growth factor, thrombocyte factor-4,
C-reaktif protein, TGF-β, Placental growth factor (PlGF) dan bersama-sama
dengan trombin mempromosikan agregasi trombosit. 42
17
Langkah terakhir dalam proses trombogenesis adalah aktivasi reseptor GP
IIb/IIIa pada permukaan platelet, dan bersama dengan fibrinogen membuat
hubungan yang kuat antar platelet. Dan pada akhirnya mengarah pada pembentukan
trombus. Ini adalah mekanisme pertahanan, untuk melindungi dari pendarahan.
Aktivasi trombosit melibatkan pemicuan jalur pensinyalan internal, sebagai
pelepasan ADP, serotonin, kalsium dan perekrutan lebih banyak trombosit. Namun
terkadang pemicu tersebut menjadi tidak terkontrol dan pembentukan trombus
berujung pada trombosis. Hasil akhirnya adalah oklusi arteri dan kejadian berturut-
turut angina stabil, angina tidak stabil, atau infark miokard. 42
18
2.7 Ketebalan Intima Media Karotis
Pemeriksaan ketebalan intima media karotis pertama sekali diperkenalkan
oleh Pignoli dkk tahun 1980-an. Pada awalnya pignoli dkk menemukan hubungan
yang sangat signifikan antara temuan histologis CCA dan pemeriksaan USG
karotis.47 Saat ini, temuan penebalan tunika intima media arteri karotis telah
digunakan sebagai penanda awal terjadinya aterosklerosis. 48 Konsensus The
American Society of Echocardiography (ASE) 2008 menyebutkan definisi
ketebalan intima media karotis (KIMK) sebagai ketebalan gabungan dari lapisan
intima dan media dari dinding arteri karotis. Pemeriksaan KIMK dilakukan untuk
menilai dinding arteri karotis dengan derajat penyempitan luminal, diperiksa untuk
mengidentifikasi area dengan peningkatan ketebalan dan plak aterosklerotik yang
bukan oklusi, yang mewakili tahap awal cedera arteri dan aterosklerosis.
Peningkatan KIMK mungkin terkait dengan hipertrofi intima atau media atau
keduanya, dan mungkin merupakan respons adaptif terhadap perubahan aliran,
tegangan dinding pembuluh darah, atau diameter lumen. KIMK meningkat dengan
bertambahnya usia, bahkan tanpa adanya aterosklerosis yang jelas atau
tersembunyi, sebagai akibat dari penebalan lapisan intima dan media. 49
19
operator.11 Pengukuran KIMK dengan menggunakan USG mode B sangat
bermamfaat untuk mengidentifikasi dan mengukur beban aterosklerotik dan risiko
PJK.11,49 USG B-mode mempunyai resolusi tinggi dengan transduser linear 7-10
MHz. Transduser frekuensi tinggi ini dapat memperlihatkan anatomi vaskuler.50,51
Banyak penelitian yang melaporkan hubungan KIMK dengan keberadaan
serta progresi lesi aterosklerosis.52 Terdapat pula penelitian yang mendukung
temuan bahwa pemeriksaan KIMK dapat dijadikan indikator adanya aterosklerosis
di tempat lain. Selain itu KIMK arteri karotis komunis dan karotis interna dapat
dijadikan prediktor independen resiko kardiovaskuler.49,53
Gambar 2.8. Skema yang menunjukkan anatomi dan lokasi evaluasi ketebalan dinding
arteri intima-media karotis.51
20
longitudinal. Pengukuran dapat dilaporkan sebagai nilai rata rata KIMK dari CCA
kanan dan kiri atau sebagai nilai rata rata KIMK.47,51
Gambar 2.9 Pemeriksaan USG pada CCA dengan garis tanda kuning adalah batas lumen
dengan intima, sedangkan garis biru adalah batas tunika media dengan tunika adventisia.
Diameter lumen diukur antara garis berwarna biru dan merah muda. 47
Gambar 2.10 Plak karotis, pembentukan plak karotis ekolusen di dekat dinding CCA
kanan. 47
21
Konsensus European Society of Hypertension (ESH) dan European Society of
Cardiology (ESC) tahun 2013 merekomendasikan nilai KIMK ≤ 0,9 mm sebagai
batas nilai normal dan KIMK > 0,9 mm sebagai nilai abnormal. 56,57
22
stres, diet tinggi lemak jenuh, diet rendah antioksidan dan obesitas. 59 Faktor risiko
ada yang dapat dikontrol (dapat dimodifikasi) seperti hipertensi, dislipidemia,
merokok, diabetes, kelebihan berat badan atau obesitas, kurangnya aktivitas fisik,
diet tidak sehat dan stres. Sedangkan yang tidak dapat dikontrol (konvensional)
adalah usia (semakin tua resiko semakin meningkat), jenis kelamin (pria umumnya
berisiko lebih besar terkena penyakit arteri koroner), riwayat keluarga, dan ras.60
Faktor risiko ini dapat memicu beberapa jalur seperti apoptosis sel endotel, ekspresi
molekul adhesi, aktivasi metaloproteinase, induksi proliferasi dan migrasi sel otot
polos, peroksidasi lipid, dan perubahan fungsi vasomotor, yang secara kolektif
menyebabkan PJK.45
Penyakit jantung koroner disebabkan oleh adanya proses aterosklerosis,
sehingga faktor resiko aterosklerosis dan PJK selalu berhubungan. Riwayat
keluarga merupakan salah satu faktor risiko yang kuat untuk terjadinya
aterosklerosis. Risiko meningkat jika bapak atau saudara laki-laki didiagnosis
sebelum usia 55 tahun atau jika ibu atau saudara perempuan didiagnosis sebelum
usia 65 tahun. Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit aterosklerosis akan
meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. 61
Pola diet tidak sehat dapat meningkatkan resiko kejadian aterosklerosis.,
misalnya makanan yang tinggi lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol LDL.
Lemak jenuh ditemukan di beberapa daging, produk susu, coklat, makanan yang
dipanggang, dan makanan goreng dan diproses. Lemak trans ditemukan di beberapa
makanan yang digoreng dan diproses. Kolesterol ditemukan pada telur, daging,
produk susu, makanan yang dipanggang, dan beberapa jenis kerang. Hal ini juga
penting untuk membatasi makanan yang tinggi natrium (garam) dan tambahan gula.
Diet tinggi garam dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi. Tambahan gula
akan memberi kalori tambahan tanpa nutrisi seperti vitamin dan mineral. Hal ini
dapat menyebabkan peningkatan berat badan yang meningkatkan resiko
aterosklerosis.61
Terdapat perbedaan geografi dalam insiden penyakit jantung koroner.
Sejumlah penelitian post mortem menunjukkan adanya perbedaan keterlibatan
intima dengan aterosklerosis pada populasi berbeda, yang menjadi perbincangan
adalah apakah faktor ras ataukah faktor lingkungan. Salah satu penelitian yang
23
dilakukan pada tiga grup ras dalam satu lokasi didapatkan bahwa komunitas orang-
orang kulit hitam menunjukkan kejadian aterosklerosis lebih rendah dibandingkan
komunitas orang-orang kulit putih atau orang-orang Asia. Hal ini masih belum
cukup menggambarkan bahwa hasil tersebut murni hanya oleh faktor ras oleh
karena komunitas orang kulit hitam pada umumnya termasuk kelas sosial yang
rendah, menjelaskan kemungkinan keterlibatan faktor sosial ekonomi. 61
Perbedaan dalam distribusi kejadian penyakit kardiovaskular dan mortalitas
di antara populasi ras dan suku merupakan salah satu tanda paling kuat adanya
peran individu itu sendiri (yaitu genetik dan lingkungan) dan gaya hidup. Perbedaan
pola penyakit antar ras dan kelompok etnis disebabkan oleh faktor genetik, imunitas
yang rendah, dan pilihan gaya hidup tertentu dari diet, merokok dan olahraga. 6
2.8.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan serangkaian anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan pemeriksaan laboratorium petanda
jantung dan treadmill serta kateterisasi jantung.58 Pemeriksaan angiografi koroner
atau kateterisasi jantung yang merupakan gold standard diagnosis PJK.64,65
Pemeriksaan angiografi koroner dilakukan untuk menentukan derajat stenosis arteri
24
koroner. Penyempitan atau stenosis pada arteri koroner adalah salah satu proses dari
PJK yang dapat menyebabkan infark pada miokardium. Angiogram koroner
memberikan informasi lokasi, jumlah dan derajat stenosis pada arteri koroner.65
Untuk mempermudah visualisasi arteri koroner akan dibagi menjadi
beberapa segmen. Stenosis akan diidentifikasi pada segmen yang telah ditentukan
dengan mengevaluasi lebar dari pembuluh darah. Lebar tersebut dievaluasi
sepanjang jalur pembuluh darah dan dilihat apakah terdapat penyempitan atau
perbedaan lebarnya. Adanya perbedaan lebar menandakan pada lokasi tersebut
telah terjadi stenosis. Derajat kuantitatif stenosis arteri koroner pada angiogram
dibagi berdasarkan persentase stenosis.66
Tabel 2.2 Penilaian Stenosis Kuantitatif dan Jenis Stenosis. 65
Grade Deskripsi
0 Normal Tidak adanya plak dan tidak ada stenosis luminal
1 ringan Plak dengan stenosis 20% - 49%
2 sedang Plak dengan stenosis 50% - 69%
3 berat Plak dengan stenosis 70% - 99%
4 total oklusi Lumen total oklusi
25
utama untuk setiap lesi koroner yaitu skor keparahan, faktor pengali wilayah dan
faktor penyesuaian kolateral.19,70 Penggunaan sistem skor seperti skor Gensini
dapat menilai tidak hanya jumlah pembuluh darah dengan stenosis namun juga
berat dan lokasi stenosis dengan pembobotan masing-masing segmen arteri koroner
sehingga lebih representatif. .19
Skor Gensini digunakan untuk menilai derajat keparahan lesi arteri koroner
berdasarkan beratnya lesi serta lokasi anatomis lesi. Secara khusus, lesi
didefinisikan signifikan bila menyebabkan pengurangan ≥ 1% dalam diameter
luminal dengan penilaian visual. Skor yang diberikan berdasarkan derajat lesi: 48
Skor 1 untuk lesi 1-25%
Skor 2 untuk lesi 26-50%
Skor 4 untuk lesi 51-75%
Skor 8 untuk lesi 76-90%
Skor 16 untuk lesi 91-99%
Skor 32 untuk lesi total oklusi
Nilai diatas akan di kalikan sesuai dengan letak/lokasi anatomis lesi arteri
koroner dimana: 48
Dikalikan 5 pada LMCA
Dikalikan 2,5 pada proximal LAD
Dikalikan 1,5 pada mid LAD
Dikalikan 1 pada seluruh segmen RCA; diagonal 1; apical LAD; obstuse
marginal (OM) LCX; Distal LCX dan posterior descending LCX
Dikalikan 0,5 pada segmen diagonal 2 LAD dan postero lateral LCX
Skor Gensini ≥ 20 dikatakan sebagai lesi koroner yang berat. .19
26
menceritakan bahwa orang Aceh memiliki kebiasaan kenduri setahun sekali dengan
menu berupa nasi, sambal, sayuran kuah, dan daging kambing. 22 Kebiasaan ini
hingga sekarang masih berlanjut. Kuliner Aceh terkenal akan rasa gurih dan kaya
rempah.
Suku Aceh (bahasa Aceh: Ureuëng Acèh) adalah nama sebuah suku
penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Provinsi
Aceh, Indonesia. Suku Aceh mayoritas beragama Islam. Bahasa yang dituturkan
adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia
Barat dan berkerabat dekat dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam
dan Kamboja. Suku Aceh sesungguhnya merupakan keturunan berbagai suku,
kaum, dan bangsa yang menetap di tanah Aceh. Pengikat kesatuan budaya suku
Aceh terutama dalam bahasa, agama, dan adat khas Aceh. 71
Berdasarkan perkiraan terkini, jumlah suku Aceh mencapai 3.526.000 jiwa,
yang sebagian besar bertempat tinggal di Provinsi Aceh, Indonesia. Sedangkan
menurut hasil data sensus BPS 2010 oleh Aris Ananta dkk, jumlah suku Aceh di
Indonesia adalah sebanyak 3.404.000 jiwa.72
Suku Aceh pada masa pra-modern hidup secara matrilokal dan komunal.
Mereka tinggal di permukiman yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-
gampong membentuk mukim. Masa keemasan budaya Aceh dimulai pada abad ke-
16, seiring kejayaan kerajaan Islam Aceh Darussalam, dan kemudian mencapai
puncaknya pada abad ke-17. Suku Aceh pada umumnya dikenal sebagai pemegang
teguh ajaran agama Islam, dan juga sebagai pejuang militan dalam melawan
penaklukan kolonial Portugis dan Belanda.72
Istilah ras atau suku memiliki beragam definisi yang biasa digunakan untuk
menggambarkan sekelompok orang yang memiliki karakteristik morfologis
tertentu. Sebagian besar penulis telah mempelajari bahwa ras adalah istilah yang
tidak ilmiah, yang hanya dapat memiliki arti biologis jika manusia sepenuhnya
homogen atau 'ras murni', seperti pada beberapa spesies hewan. Kondisi ini,
bagaimanapun, tidak pernah ditemukan pada manusia. Genom manusia terdiri dari
25.000 gen. Perbedaan yang paling nyata (warna kulit, tekstur rambut, bentuk
hidung) ditentukan oleh genetik.73
27
Studi terbaru menggunakan kuesioner untuk membandingkan akurasi
klasifikasi suku melalui laporan diri responden dan persepsi peneliti. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa persepsi peneliti tentang ras responden lebih akurat
untuk kulit hitam dan putih, sedangkan untuk ras lain, dalam banyak kasus, peneliti
sering meragukan ras seseorang dan mengklasifikasikannya sebagai "tidak
diketahui". Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ras dan/atau suku individu
harus diperoleh dengan laporan sendiri dan bukan melalui pandangan peneliti
karena klasifikasi etno-rasial yang dilaporkan sendiri terbukti lebih akurat.73
Pengertian suku bangsa menurut Ruhimat seperti yang dikutip oleh Hanafri
dam Oktapiani adalah satu kesatuan sosial yang terikat oleh kesadaran terhadap
kesatuan budaya yang dikuatkan oleh adanya kesatuan bahasa. Selain itu, suku
bangsa juga terikat dengan kesatuan geografis. 74
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas jelas dan sulitnya
membedakan suku Aceh berdasarkan warna kulit dan rambut karena sangat
beragam, bahwa yang dimaksud dengan suku aceh adalah orang-orang yang secara
geografis menempati wilayah di propinsi Aceh yang sama dan terikat dengan
kesatuan agama, budaya, dan bahasa yang diperoleh berdasarkan pengakuan dari
individu tersebut.
28
kolesterol lipoprotein densitas rendah, dan merokok. Selain itu peningkatan KIMK
juga berkaitan dengan diabetes dan level fibrinogen. Bukti perkembangan dari
KIMK dapat memprediksi kejadian PJK, infark miokard, dan stroke.76
Terdapat efek predominan akibat tekanan darah terhadap struktur dan fungsi
dari arteri besar pada pasien dengan sindrom metabolik. Studi sebelumnya
menyebutkan bahwa ketebalan lemak mesentrika, preperitoneal, dan subkutan yang
dinilai berdasarkan USG menunjukkan hubungan signifikan dengan KIMK. Dapat
diketahui juga bahwa obesitas pada saat remaja menyebabkan gangguan pada
tekanan darah dan peningkatan KIMK. 76
Proses peningkatan KIMK menyebabkan stenosis koroner diawali dengan
faktor risiko seperti obesitas, merokok, kadar LDL yang tinggi dan faktor usia yang
mengakibatkan perubahan secara structural dari vaskular di arteri karotis.76
Penurunan elastisitas arteri merupakan tahap awal terjadinya penyakit PJK, diikuti
dengan perubahan struktur dari endotel, dan reaksi inflamasi dan adipositokin. 9
Adipositokin merupakan produk jaringan lemak yang mempengaruhi sistem
vaskular dan berdampak terhadap endotel karotis. Selain itu, reaksi inflamasi
terutama akibat Tumor Necrosis Factor-α juga diduga berkorelasi terhadap
peningkatan KIMK.76 KIMK merupakan indeks morfologi yang menilai lesi awal
pada dinding arteri dan merupakan jendela terjadinya aterosklerosis vaskular
sistemik.9 Sehingga jika sudah terjadi peningkatan KIMK, ini merupakan
representasi dari proliferasi sel otot polos vaskular, pertumbuhan matriks ekstral sel
serta formasi plak aterosklerosis. 10,77 Jika sudah terjadi pembentukan plak
aterosklerosis pada dinding arteri dapat mengakibatkan stenosis lumen, sehingga
volume plak pada arteri dapat merefleksikan derajat dari stenosis akibat
aterosklerosis. 78
Pada penelitian oleh Guoxing dkk di Cina pada tahun 2014 menemukan
bahwa tingkat keparahan stenosis arteri berdasarkan skor Gensini berhubungan
langsung terhadap KIMK.9 Menurut Holaj dkk, KIMK secara langsung
berhubungan dengan jumlah arteri koroner yang mengalami aterosklerosis sehingga
dapat menjadi prediktor yang baik untuk PJK. Peningkatan KIMK arteri karotis
merupakan gambaran awal aterosklerosis pada koroner. 79 Lorenz dkk juga
menyatakan bahwa KIMK merupakan indikator yang baik untuk kejadian
29
kardiovaskular di masa depan, dan perubahan kecil pada KIMK dapat merubah
progres perkembangan dari kejadian kardioserebrovaskular.13 Kablak-Ziembicka
dkk melakukan studi angiografi koroner dan USG karotis pada 558 kasus dan
melaporkan bahwa KIMK meningkat seiring dengan lesi arteri koroner. Mereka
menemukan bahwa rata-rata peningkatan KIMK 1.15 mm, maka probabilitas
perkembangan PJK adalah 94%. KIMK merefleksikan derajat, perluasan dan
keparahan lesi aterosklerosis.10
Aterosklerosis karotis dan perifer berhubungan erat dengan tingkat
insidensi dan mortalitas penyakit kardioaskular, sehingga temuan patologis dari
arteri perifer dapat digunakan untuk memperkirakan lesi arteri koroner. Penilaian
KIMK merupakan pemeriksaan non invasive, praktis dan dapat dilakukan secara
luas, sehingga metode ini menjadi sangat bermanfaat untuk identifikasi
aterosklerosis subklinis dan mempercepat dilakukannya intervensi dini. 9
30
2.11 Kerangka Teoritis Penelitian
Angiografi Koroner
31
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
Keterangan :
= Variabel Independen
= Variabel Dependen
32
3.4 Definisi Operasional Penelitian
Definisi operasional penelitian ini disajikan pada tabel berikut:
33
BAB IV
METODOLOGI
34
3. Pasien suku Aceh yang berdomisili di provinsi Aceh dan mempunyai
silsilah keluarga 2 generasi garis keturunan suku Aceh
4. Pasien dalam kondisi stabil
5. Telah mendapatkan penjelasan mengenai alur penelitian dan bersedia
mengikuti prosedur penelitian yang telah ditentukan (telah menandatangani
lembar kesediaan mengikuti penelitian)
Keterangan:
N = Besar sampel
Zα = Deviasi baku alfa, ditetapkan 5%, hipotesis satu arah, maka Zα = 1,64
Zβ = Deviasi baku beta, ditetapkan 10%, maka Zβ = 1,28
r = Korelasi minimal yang dianggap bermakna, 0,4
35
4.3.6. Metode Sampling
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik sampling berupa
consecutive sampling. Consecutive sampling termasuk dalam teknik non-
probability sampling dimana semua subjek yang datang secara berurutan akan
dijadikan sampel penelitian hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.
36
4.5. Kerangka Operasional Penelitian
Kriteria Inklusi
Consecutive Sampling
Pengolahan Data
Analisis Data
Hasil Penelitian
37
atas penjelasan peneliti terkait penelitian ini, calon responden sebagai sampel
penelitian kemudian menandatangani informed consent tersebut.
2. Prinsip berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence).
Peneliti melaksanakan penelitian sesuai prosedur penelitian guna mendapatkan
hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subjek dan dapat
diaplikasikan sesuai keilmuan (beneficence) dan peneliti meminimalkan
dampak yang merugikan bagi subjek (non-maleficence). Untuk menjaga
kerahasiaan responden maka peneliti tidak mencantumkan nama responden.
3. Prinsip Keadilan (justice).
Pada penelitian ini mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap
orang (sebagai pribadi otonomi) sama dengan moral yang benar dan layak
dalam memperoleh haknya, peneliti memberi kesempatan yang sama untuk
membagi jadwal untuk ikut berpartisipasi dalam intervensi berupa pelatihan
dengan mengikuti prinsip keadilan (justice) dan memberi kesempatan yang
sama dalam diskusi saat pemberian intervensi berupa pelatihan.
38
5. Entry, data yang sudah diseleksi dimasukkan ke dalam komputer untuk
dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan menggunakan program SPSS
guna dianalisis secara deskriptif dan analitik.
4.8. Analisis Data
Data penelitian ini akan di uji dan disajikan secara univariat, dan bivariat.
Data yang diperoleh akan disajikan menggunakan tabel dan grafik. Analisis bivariat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji Chi Square.
Uji alternatif adalah Sommer’sd Gamma dengan tingkat kepercayaan 95%.81
39
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
40
tinggi dibandingkan KIMK kanan (0,97 mm). Rata-rata KIMK subjek penelitian
adalah 0,99 mm, yaitu diatas batas normal KIMK (<0,9 mm). Nilai rata-rata skor
Gensini adalah 61,61 dan subjek dengan skor Gensini ≥20 (78,4%) lebih banyak
dibandingkan mereka dengan keparahan stenosis koroner yang lebih ringan
(25,5%).
41
5.2 Hubungan KIMK Terhadap Skor Gensini Penderita PJK Suku Aceh
Penelitian ini menilai hubungan KIMK terhadap keparahan stenosis koroner
yang dinilai menggunakan skor Gensini. Tabel 5.2 menunjukkan hasil analisis
dengan uji Chi Square, dimana didapatkan hubungan yang bermakna (p<0,05).
0,88 mm
Sensitivitas: 62,5% 0,05 0,503-0,879
Spesifisitas: 81,8%
AUC: 69,1%
5.3 Pembahasan
Dari total 51 subjek penelitian ini, 86,3% diantaranya adalah laki-laki. Ini
menunjukkan bahwa insidensi PJK suku Aceh lebih banyak dijumpai pada laki-
42
laki. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, KIMK merupakan salah satu
prediktor yang baik untuk mendeteksi dan menilai keparahan PJK. Hal ini didukung
oleh penelitian Geeta dkk, yang menyimpulkan bahwa KIMK laki-laki (0,68 mm)
lebih tinggi dibandingkan perempuan (0,59 mm).83 Latheef dkk juga mendapatkan
hasil yang serupa, dimana rata-rata KIMK pria (1,11 mm) lebih tinggi dibandingkan
wanita (0,91 mm).84 Namun, penelitian lain oleh Liu dkk menemukan bahwa KIMK
diatas 1 mm dikaitkan dengan peningkatan risiko PJK yang lebih tinggi pada
perempuan (lima kali lipat) dibandingkan laki-laki (dua kali lipat).85
Selain jenis kelamin, usia juga mempengaruhi KIMK. Rata-rata usia subjek
penelitian ini adalah 57,41 tahun dengan rata-rata KIMK 0,99 mm. Telah diketahui
bahwa KIMK meningkat sekitar 0,01-0,02 mm setiap tahun penambahan usia.86
Penelitian Geeta dkk membuktikan ini dengan membagi kelompok usia subjeknya
menjadi <30 tahun, 31-45 tahun, 46-60 tahun, dan >60 tahun. Hasilnya, didapatkan
bahwa KIMK terendah didapatkan pada kelompok usia di bawah 30 tahun (0,43
mm) dan tertinggi didapatkan pada kelompok usia di atas 60 tahun (0,790 mm).83
Semua subjek dalam penelitian ini memiliki setidaknya satu komorbid yang
menyertai PJK dimana hipertensi (43,2%), dislipidemia (26,1%), dan diabetes
melitus (18,2%) menduduki tiga peringkat teratas. Selain itu, mayoritas pasien juga
merupakan perokok (70,6%). Temuan serupa didapatkan oleh Latheef dkk, dimana
rata-rata KIMK lebih tinggi pada pria, perokok, pasien dengan hipertensi,
dislipidemia, dan diabetes melitus.84 Studi ARIRANG di Korea Selatan
menemukan bahwa KIMK berkorelasi dengan usia tua, IMT tinggi, jenis kelamin
laki-laki, kadar kolesterol tinggi, dan riwayat diabetes melitus. 87
Penelitian Zielinski dkk juga menyimpulkan bahwa pengukuran KIMK
penting untuk dilakukan pada pasien yang didiagnosis hipertensi dan PJK, karena
KIMK merupakan prediktor yang kuat dan independen terhadap komplikasi
kardiovaskular, seperti infark miokard, stroke, dan kematian. 88 Pada studi potong
lintang oleh Pradono dkk tentang faktor determinan PJK di Bogor, didapatkan
bahwa stroke dikaitkan dengan risiko 3,5 kali lipat, hipertensi 1,6 kali lipat, diabetes
melitus 1,2 kali lipat, dan obesitas 1,2 kali lipat dengan PJK. Pengurangan asupan
gula, garam, dan kalori dapat mencegah terjadinya PJK. 89
43
Hasil Analisa statistik menggunakan uji Chi Square menunjukkan hubungan
yang bermakna antara KIMK dengan dengan skor Gensini pada penderita PJK suku
Aceh. Hasil ini didukung oleh berbagai penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya, yang menunjukkan bahwa pengukuran KIMK dengan USG dapat
berperan dalam stratifikasi risiko PJK, berkorelasi kuat dengan coronary computed
90
tomography angiography (salah satu alat diagnostik utama PJK), memiliki
korelasi linear antara KIMK dan tingkat keparahan PJK, serta memiliki korelasi
yang kuat antara aterosklerosis arteri karotis dengan aterosklerosis arteri koroner.84
Geeta dkk menemukan bahwa KIMK semakin besar seiring dengan
banyaknya jumlah arteri yang tersumbat. Hasil penelitian mereka menunjukkan
bahwa KIMK pada CAD1VD 0.58 mm, CAD2VD 0.71 mm dan CAD3VD 0.93
mm, yaitu jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (0.46 mm).91 Latheef
dkk juga menemukan bahwa KIMK pasien dengan PJK yang terkonfirmasi
angiografi (1,32 mm) lebih tinggi dibandingkan pada pasien dengan arteri koroner
normal (0,73 mm). KIMK juga meningkat dengan banyaknya jumlah arteri koroner
yang tersumbat, yaitu CAD1VD (0,89 mm), CAD2VD (1,13 mm), dan CAD3VD
(1,34 mm).84 Namun, Verma dkk tidak menemukan hubungan yang signifikan
antara KIMK dan skor Gensini (p=0,89), meskipun KIMK lebih tinggi pada
kelompok PJK (0,83 mm). Mereka menyimpulkan bahwa KIMK hanya merupakan
prediktor independen PJK, namun tidak terkait dengan tingkat keparahan PJK yang
dinilai dengan skor Gensini.92
Pengukuran USG pada morfologi karotis juga dikaitkan dengan tingkat risiko
yang berbeda, seperti yang ditunjukkan Salonen dkk dalam penelitiannya. Mereka
menemukan bahwa adanya perubahan struktural pada arteri karotis komunis atau
bulbus karotis dikaitkan dengan risiko 3,29 kali lipat, peningkatan KIMK dengan
2,17 kali lipat, plak karotis kecil dengan 4,15 kali lipat, dan plak besar (yang dapat
menyebabkan stenosis) dengan 6,71 kali lipat dari infark miokard akut
dibandingkan dengan pria yang tidak memiliki perubahan struktural pada dinding
arteri karotis.93 Zielinski dkk menemukan bahwa hampir 99% subjek mereka
dengan "KIMK rendah" (<1,13 mm) bertahan hidup selama 5 tahun, dibandingkan
78% dengan "KIMK tinggi" (>1,13 mm). Karena menunjukkan perubahan yang
lambat, KIMK menunjukkan "beban aterosklerotik keseluruhan" dan
44
mencerminkan risiko kematian dan kejadian kardiovaskular lainnya, bahkan ketika
intervensi terapeutik berhasil memperbaiki faktor risiko umum. 88
Berbagai penelitian yang menilai KIMK memiliki beberapa perbedaan
dalam kelengkapan penilaian KIMK, yaitu jumlah segmen arteri karotis yang
dinilai, jenis pengukuran yang digunakan, jumlah sudut pencitraan yang digunakan,
apakah plak termasuk hitungan KIMK atau tidak, asosiasi risiko versus prediksi
risiko, dan titik cut-off yang berubah-ubah untuk KIMK dan plak untuk
memprediksi risiko. Tinjauan yang dilakukan oleh Naqvi dkk menyimpulkan
bahwa pengukuran KIMK arteri karotis komunis bersama dengan penilaian plak di
semua segmen karotis muncul sebagai fokus pencitraan ultrasonografi arteri karotis
untuk prediksi risiko penyakit kardiovaskular. 94 Penelitian yang dilakukan oleh
Polak dkk mencoba membandingkan nilai KIMK pada dinding dekat dan jauh dari
arteri karotis komunis. Hasilnya menunjukkan bahwa KIMK dinding jauh dari
arteri karotis komunis merupakan prediktor yang baik terhadap kejadian CAD,
sedangkan kombinasi pengukuran KIMK dinding dekat dan jauh dapat lebih baik
melacak perubahan faktor risiko.95
Hasil analisis diagnostik penelitian ini menunjukkan nilai cut-off 0,88 mm,
area under the curve (AUC) 69,1%, sensitivitas 62,5%, dan spesifisitas 81,8%.
Penelitian oleh Kumar dkk yang menilai ketebalan jaringan lemak epikardial
(KJLE) dan KIMK untuk mendeteksi CAD menemukan bahwa KIMK memiliki
sensitivitas 83,6% dan spesifisitas 80,3%. 96 Sebuah meta-analysis yang menilai 22
penelitian yang memenuhi syarat, mendapatkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas
gabungan KIMK untuk diagnosis CAD adalah 68% dan 70%. Disimpulkan bahwa
nilai cut-off 1 mm terbukti menjadi kriteria diagnostik yang jauh lebih akurat untuk
CAD (sensitivitas: 66%; spesifisitas: 79%; AUC: 80%). 85
Penelitian-penelitian mengenai hubungan antara suku/ras dengan CAD
telah banyak dilakukan di seluruh dunia. Selain faktor genetik, faktor budaya dapat
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi risiko berbagai jenis penyakit,
termasuk CAD. Studi Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis (META) dengan
populasi pasien diabetes melitus yang belum didiagnosis dengan penyakit
aterosklerotik, didapatkan bahwa KIMK kelompok orang Cina lebih kecil
dibandingkan suku lainnya, yang menandakan bahwa orang Asia memiliki risiko
45
infark miokard lebih rendah pada pasien diabetes melitus dibandingkan orang kulit
putih. Namun, angka kalsium arteri koroner (penanda kalsifikasi) antara orang kulit
putih, kulit hitam, Hispanik, dan Cina tidak berbeda secara signifikan. 97 Penelitian
lain yang dilakukan oleh Pursnani dkk merupakan studi cohort retrospektif dengan
follow-up 10 tahun yang membagi kelompok ras/suku menjadi kulit putih, kulit
hitam, Hispanik, Asia Selatan, Asia Timur, Asia yang tidak terklasifikasi, dan
kelompok multi etnis. Didapatkan bahwa suku Asia Selatan memiliki adjusted odd
ratio (aOR) = 2,04 untuk memprediksi luaran kardiovaskular, hanya lebih rendah
dari diabetes melitus, dengan aOR = 3,11. 98
Di Indonesia, studi kasus kontrol oleh Kandou dkk mengenai hubungan
makanan etnis pada suku Minahasa di Sulawesi Utara dan kejadian PJK, didapatkan
bahwa rata-rata komposisi asam lemak jenuh pada makanan etnis Minahasa
berkisar 0,01-10,46% food per 100 gram. Konsumsi makanan Minahasa dengan
frekuensi ≥2 kali/bulan memiliki risiko PJK 4,43 kali lebih besar dibandingkan
mereka dengan frekuensi ≤1 kali/bulan.99 Penelitian lain yang dilakukan oleh
Azriana dkk pada suku batak merupakan penelitian kualitatif studi etnografi tentang
gaya hidup suku Batak yang menderita PJK. Suku Batak memiliki banyak pesta dan
acara adat yang dihadiri tanpa mengontrol makanan yang dikonsumsi. Makanan
yang sering disajikan umumnya khas Batak, seperti saksang, jambar, dan tango-
tanggo. Makanan khas Batak sebagian besar merupakan olahan daging babi,
meskipun ada juga yang menggunakan daging sapi dan kerbau. 100
Pada kedua penelitian di atas, sebagian besar makanan yang diteliti
merupakan olahan daging babi, dimana makanan tersebut bertentangan dengan
budaya di Aceh dimana sebagian besar penduduknya adalah Muslim. Meskipun
demikian, makanan Aceh juga memiliki kadar asam lemak jenuh yang tinggi,
sehingga dapat dikaitkan dengan PJK.99
Hal ini didukung oleh dua penelitian yang dilakukan pada RSUD Zainoel
Abidin dan RSU Meuraxa Banda Aceh. Kedua penelitian itu menyimpulkan bahwa
masyarakat Aceh memiliki konsumsi asam lemak jenuh dan natrium yang tinggi
sehingga memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian PJK. Konsumsi
natrium berlebih berkaitan dengan hipertensi dan konsumsi asam lemak berlebihan
dapat mengakibatkan penimbunan lemak di pembuluh darah, keduanya berkaitan
46
dengan patofisiologi PJK.101 Bukti tersebut didukung oleh temuan Iskandar dkk
menyimpulkan bahwa kadar kolesterol dan trigliserida darah merupakan faktor
yang paling berpengaruh terhadap PJK.102
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, orang Aceh memiliki tradisi kenduri
dengan menu yang tinggi akan kadar asam lemak. Kebiasaan suatu suku, terutama
kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun, sulit untuk diubah. Masyarakat
juga menganggap bahwa budaya dan adat harus selalu dipatuhi sebagai bentuk
hormat terhadap para leluhur. Karena budaya dan adat tidak dapat diubah, yang
harus diubah adalah gaya hidup dan kemampuan untuk mengontrol makanan dan
minuman yang dikonsumsi selama pesta.100
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan
dengan metode cross sectional sehingga penelitian hanya dilakukan dalam satu
kesempatan. Populasi pada penelitian ini masih sangat terbatas sehingga data yang
didapatkan terbatas pada kejadian yang ditemukan. Pengukuran KIMK pada
penelitian ini masih menggunakan perhitungan manual, sehingga hasil yang
didapatkan tidak seakurat perhitungan otomatis.
47
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini didapatkan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Rata-rata KIMK pada penderita PJK stabil suku Aceh adalah 0,99 mm.
2. Rata-rata skor Gensini penderita PJK stabil suku Aceh adalah 61,61.
3. Nilai cut-off KIMK untuk menilai keparahan stenosis koroner penderita PJK
suku Aceh adalah 0,88 mm.
4. Setelah diuji menggunakan uji Chi Square ditemukan hubungan yang bermakna
antara KIMK dan keparahan stenosis koroner pada penderita PJK suku Aceh
dengan nilai p value 0,01 (p < 0,05 dianggap bermakna secara statistik).
6.2 Saran
Adapun beberapa saran dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan studi dengan populasi yang lebih besar untuk menguatkan bukti
penilaian KIMK sebagai prediktor PJK.
2. Perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
ketebalan intima media karotis dan pada penderita penyakit jantung koroner
suku Aceh
3. Perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
derajat keparahan stenosis pada penderita penyakit jantung koroner suku Aceh
48
DAFTAR PUSTAKA
11. Naik V, Gamad RS, Bansod PP. Carotid artery segmentation in ultrasound
images and measurement of intima-media thickness. Bio Res Int.
2013;2013:1–10.
12. Darabian S, Hormuz M, Latif MA, Pahlevan S, Budoff MJ. The role of
carotid intimal thickness testing and risk prediction in the development of
coronary atherosclerosis. Curr Atheroscler Rep. 2013;15(3):1–6.
49
13. Willeit P, Tschiderer L, Allara E, Reuber K, Seekircher L, Gao L, et al.
Carotid Intima-Media Thickness Progression as Surrogate Marker for
Cardiovascular Risk. Circulation. 2020 Aug 18;142:621–42.
14. Cho SH, Jeong MH, Park IH, Choi JS, Yoon HJ, Kim KH, et al. Endothelial
dysfunction, increased carotid artery intima-media thickness and pulse wave
velocity, and increased level of inflammatory markers are associated with
variant angina. J Cardio. 2009;54:183–91.
16. Kuyumcu MS, Kuyumcu A, Yayla Ç, Özbay MB, Ünal S, Açar B, et al. The
relationship between nesfatin-1 levels and SYNTAX score in patients with
non-ST segment elevation myocardial infarction. Acta Cardiol Sin.
2018;34(5):386–93.
19. Gensini GG. More meaningful scoring system for determining the severity
of coronaary artery disease. Am J Cardiol. 1983;52:606.
20. Whincup PH, Nightingale CM, Owen CG, Rapala A, Bhowruth DJ, Prescott
MH, et al. Ethnic differences in carotid intima-media thickness between UK
children of black African-Caribbean and white European origin. Stroke.
2012;43(7):1747–54.
21. Ibrahim T. Adat Istiadat Propinsi Aceh. In: Proyek Penelitian Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan; 1977. p. 14.
22. Velde JJV. Surat-Surat dari Sumatera. Jakarta: Pustaka Azet; 1987. 9 p.
24. Nurdin A. Integrasi agama dan budaya: Kajian tentang tradisi maulod dalam
masyarakat Aceh. Elharaqah Jurnal Budaya Islam. 2016;18:1–18.
50
26. Apriana E. Kearifan Lokal Masyarakat Aceh Dalam Konservasi Laut.
Serambi Saintia. 2016;4(1–66).
28. Halcox JPJ, Donald AE, Ellins E, Witte DR, Shipley MJ, Brunner EJ, et al.
Endothelial function predicts progression of carotid intima-media thickness.
Circulation. 2009;119(7):1005–12.
29. Siregar OM. Tebal Intima-Media Arteri Karotis Sebagai Penanda Keparahan
Pada Penyakit Jantung Koroner. Universitas Sumata Utara; 2019.
30. Titi DJ. Ketebalan tunika intima karotis sebagai prediktor lesi koroner pada
pasien Angina pektoris stabil. Universitas Andalas; 2020.
34. Danielle Sethi;, Gofur; EM, Munakomi. S. Anatomy, Head and Neck,
Carotid Arteries. StatPearls. 2021;
36. Peace A, Van Mil A, Jones H, Thijssen DHJ. Similarities and Differences
Between Carotid Artery and Coronary Artery Function. Curr Cardio Rev.
2018;14(4):254–63.
37. Zhao Y, Vanhoutte PM, Leung SWS. Vascular nitric oxide: Beyond eNOS.
J Phar Sci. 2015 Oct;129(2):83–94.
51
41. Muchid A, Umar F, Chusun, Purnama NR, Istiqomah SN, Masrul, et al.
Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus
Sindrom Koroner Akut. In: Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit
Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Kementrian Kesehatan RI;
2006.
43. Linton MF, Yancey PG, Davies SS, Jerome G, Linton EF, Song WL, et al.
The Role of Lipids and Lipoproteins in Atherosclerosis. NCBI Bookshelf.
2019;
44. Chen J yi, Ye Z xin, Wang X fen, Chang J, Yang M wen, Zhong H hua, et
al. Nitric oxide bioavailability dysfunction involves in atherosclerosis. J Bio
Phar. 2018;97:423–8.
45. Panth N, Paudel KR, Parajuli K. Reactive Oxygen Species : A Key Hallmark
of Cardiovascular Disease. Adv Med. 2016;2016:9152732.
46. Alwi I. Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi. In: PAPDI. Edisi VI. Jak;
2016. p. 1457–74.
48. Coskun U, Yildiz A, Esen OB, Baskurt M, Cakar MA, Kilickesmez KO, et
al. Relationship between carotid intima-media thickness and coronary
angiographic findings: A prospective study. Card Ultrasound. 2009;7(1):1–
5.
49. Stein JH, Korcarz CE, Hurst RT, Lonn E, Kendall CB, Mohler ER, et al. Use
of Carotid Ultrasound to Identify Subclinical Vascular Disease and Evaluate
Cardiovascular Disease Risk: A Consensus Statement from the American
Society of Echocardiography Carotid Intima-Media Thickness Task Force
Endorsed by the Society for Vascular. J Am Soc Echocardiogr.
2008;21(2):93–111.
50. Golemati S, Tegos TJ, Sassano A, Nikita KS, Nicolaides AN. Echogenicity
of B-mode sonographic images of the carotid artery: work in progress. J
Ultrasound Med. 2004;(5):659–69.
52
53. Finn A V, Kolodgie FD, Virmani R. Correlation between carotid
intimal/medial thickness and atherosclerosis: A point of view from
pathology. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2010;30(2):177–81.
55. Sharma K, Blaha MJ, Blumenthal RS, Musunuru K. Clinical and Research
Applications of Carotid Intima-Media Thickness. Am J Cardiol.
2009;103(9):1316–20.
60. Hajar R. Risk Factors for Coronary Artery Disease: Historical Perspectives.
Heart Views. 2017;18(3):109–14.
62. Buja LM, Willerson JT. Clinicopathologic correlated of acute ischemic heart
disease syndromes. Am J Cardiol. 2001;47:343.
53
65. Kirişli HA, Schaap M, Metz CT, Dharampal AS, Meijboom WB,
Papadopoulou SL, et al. Standardized evaluation framework for evaluating
coronary artery stenosis detection, stenosis quantification and lumen
segmentation algorithms in computed tomography angiography. Med Image
Anal. 2013;17(8):859–76.
66. Nandhu Kishore AH, Jayanthi VE. Automatic stenosis grading system for
diagnosing coronary artery disease using coronary angiogram. Int J
Biomedical Engineering and Technology. 2019;31(3):260–77.
67. Cakar MA, Sahinkus S, Aydin E. Relation between the GRACE score and
severity of atherosclerosis in acute coronary syndrome. J Cardio.
2014;63(1):24–8.
69. Metwally YG, Sedrak HK, Shaltout IF. The relationship between coronary
artery severity and insulin resistance in patients with impaired glucose
tolerance and metabolic syndrome. Egypt J Intn Med. 2020;32:21.
70. Rampidis GP, Benetos G, Benz DC, Giannopoulos AA, Buechel RR. A
guide for Gensini Score calculation. Atherosclerosis J. 2019;287:181–3.
74. Hanafri MI, Oktapiani S. Aplikasi pengenalan peta Indonesia, adat istiadat,
dan suku bangsa. Jurnal Sisfotek Global. 2013;3(2):13.
76. Kotsis VT, Stabouli S V., Papamichael CM, Zakopoulos NA. Impact of
obesity in intima media thickness of carotid arteries. Obesity.
2006;14(10):1708–15.
54
media thickness in patients with coronary artery disease. Int Ang.
2020;39(5):433–42.
78. Suzuki T, Wang W, Wilsdon A, Butler KR, Adabag S, Griswold ME, et al.
Carotid intima-media thickness and the risk of sudden cardiac death: The
ARIC study and the CHS. J Ame Heart Assoc. 2020;9(19):1–11.
79. Holaj R, Spácil J, Petrásek J, Malík J. Relation of the thickness of the intima
and media of the common carotid artery, atherosclerotic plaque in the
carotids and manifestations of atherosclerosis in the vessels of the lower
extremity in comparison to coronary atherosclerosis. Cas Lek Cesk.
1998;30(23):716–20.
80. Dahlan MS. Besar sampel aksis koleratif. In: Besar sampel dalam penelitian
kedokteran dan kesehatan. 4th ed. Jakarta: Epidemiologi Indonesia; 2016. p.
88–91.
83. Geeta, Savita, Pachar B, Nahta P, Khatri JK. Predictive value of ultrasound
assessed carotid and femoral intima media thickness in coronary artery
disease and its relation with age and gender. Journal of Indian College of
Cardiology. 2015 Mar;5(1):9–14.
87. Youn YJ, Lee NS, Kim JY, Lee JW, Sung JK, Ahn SG, et al. Normative
values and correlates of mean common carotid intima-media thickness in the
Korean rural middle-aged population: The atherosclerosis RIsk of rural areas
iN Korea general population (ARIRANG) study. Journal of Korean Medical
Science. 2011 Mar;26(3):365–71.
55
88. Zielinski T, Dzielinska Z, Januszewicz A, Rynkun D, Makowiecka Ciesla
M, Tyczynski P, et al. Carotid Intima-Media Thickness as a Marker of
Cardiovascular Risk in Hypertensive Patients With Coronary Artery
Disease. American Journal of Hypertension. 2007 Oct;20(10):1058–64.
91. Geeta, Khatri JK, Singh M, Pahuja K, Singh J. The usefulness of B-mode
ultrasound scan and correlation of carotid intima-media thickness with extent
and severity of coronary artery disease. J Anat Soc India. 2014;63:S21–5.
94. Naqvi TZ, Lee MS. Carotid Intima-Media Thickness and Plaque in
Cardiovascular Risk Assessment. 2014.
95. Polak JF, Szklo M, O’Leary DH. Associations of Coronary Heart Disease
with Common Carotid Artery Near and Far Wall Intima-Media Thickness:
The Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis. Journal of the American Society
of Echocardiography. 2015 Sep 1;28(9):1114–21.
97. Carnethon MR, Bertoni AG, Shea S, Greenland P, Ni H, Jacobs DR, et al.
Racial/Ethnic Differences in Subclinical Atherosclerosis Among Adults
With Diabetes The Multiethnic Study of Atherosclerosis [Internet]. 2005.
Available from: http://diabetesjournals.org/care/article-
pdf/28/11/2768/568183/zdc01105002768.pdf
98. Pursnani S, Merchant M. South Asian ethnicity as a risk factor for coronary
heart disease. Atherosclerosis. 2020 Dec 1;315:126–30.
99. Kandou GD. Makanan Etnik Minahasa dan Kejadian Penyakit Jantung
Koroner. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2009;4(1).
56
100. Azriana A, Handini MC, Sirait A. Gaya Hidup Suku Batak yang Menderita
Penyakit Jantung Koroner (Studi Ethnografi di RSUD dr. Pirngadi Medan
Tahun 2018). Jurnal Ilmiah Kohesi. 2019;3(3).
101. Khazanah W, Sri Mulyani N, Siti Novia Rahma C, Gizi Politeknik Kesehatan
Kemenkes Aceh J, Soekarno-Hatta J, Besar A. Konsumsi natrium, lemak
jenuh dan serat berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner di
rumah sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 2019;7(1).
57
Lampiran 1. Persetujuan Etik Penelitian
58
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian
59
Lampiran 3. Penjelasan Sebelum Persetujuan
1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Ketebalan Intima
Media Karotis terhadap Keparahan Stenosis Koroner Berdasarkan Skor Gensini
pada Penderita Penyakit Jantung Koroner Stabil Suku Aceh
60
3. Alasan memilih Bapak/Ibu/ Sdr(i)
Pasien dipilih karena sesuai dengan kriteria inklusi yaitu : Usia ≥ 18 tahun,
diagnosis penyakit jantung koroner berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang rekam jantung (elektrokardiografi) dan dilakukan
kateterisasi jantung yaitu percutaneous coronary intervention (PCI)
4. Prosedur penelitian
Pemeriksaan USG Doppler arteri karotis akan dilakukan oleh Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Konsultan Kardiovaskular. Alat USG yang digunakan merupakan
USG Doppler B Mode dengan Probe Linear. Hasil pengukuran dalam satuan
milimeter (mm) akan dicatat sebagai ketebalan tunika intima media karotis kanan
dan kiri. Semua biaya pemeriksaan ditanggung sepenuhnya oleh peneliti
5. Risiko, efek samping dan tatalaksananya
Kemungkinan yang akan terjadi pada saat pengukuran USG Doppler arteri karotis
adalah rasa tidak nyaman akibat penggunaan jeli setelah pemeriksaan. Apabila
terdapat rasa tidak nyaman akibat pengunaan jeli setelah pemeriksaan maka peneliti
akan melakukan pembersihan jeli dengan tissue basah dan tissue kering.
6. Manfaat
Kompensasi yang diberikan kepada subjek penelitian berupa minuman sari kacang
hijau sebagai upaya untuk menambah asupan nutrisi bagi pasien dengan penyakit
pembuluh darah termasuk di dalamnya kelainan yang berkaitan dengan pembuluh
darah koroner.
8. Pembiayaan
61
9. Kerahasiaan
Data yang didapat hanya disimpan di komputer peneliti saja dan data akan di ubah
dalam bentuk kode sehingga kerahasiaan subjek penelitian dapat dirahasiakan.
10. Kewajiban subyek penelitian
Bapak/Ibu/Sdr(i) yang telah bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini memiliki
kewajiban untuk memberikan data baik pribadi maupun terkait dengan kondisi
kesehatan dengan sejujur-jujurnya untuk memastikan kesahihan dari hasil
penelitian.
11. Hak untuk menolak dan mengundurkan diri
Hormat Saya,
(dr.Irhash Hasballah)
62
Lampiran 4. Lembar Pernyataan Kesedian Menjadi Responden
63
Lampiran 5. Profil Subjek Penelitian
I. ANAMNESIS PRIBADI
1. Nama :
2. Umur : thn
3. Jenis kelamin :L/P
4. Alamat :
5. No. Tlp :
6. Pekerjaan :
7. Pendidikan :
II. ANAMNESIS SUKU ACEH
1. Menguasai Bahasa Aceh : Ya / Tidak
2. Menguasai Bahasa Suku di Aceh : ………….
3. Ayah Suku Aceh : Ya / Tidak
4. Ibu Suku Aceh : Ya / Tidak
5. Kedua Orang Tua dari Ayah Suku Aceh : Ya / Tidak
6. Kedua Orang Tua dari Ibu Suku Aceh : Ya / Tidak
7. Mengikuti adat / kebiasaan Suku Aceh : Ya / Tidak
64
IV. PEMERIKSAAN JASMANI
1. Keadaan Gizi
- BB : Kg
- TB : Cm
- IMT : Kg/m2
2. Tanda Vital
- Sensorium :
- Tekanan darah : mmHg
- Frekuensi nadi : x/menit
- Frekuensi pernafasan : x/menit
0
- Temperatur : C
3. Pemeriksaan Fisik
- Kepala :
- Leher :
- Thorak depan :
- Thorak belakang :
- Jantung :
- Abdomen :
- Hepar/Lien/Ren :
- Ekstremitas :
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Darah Rutin Hb :
Leukosit :
Hematokrit :
Trombosit :
LED :
Diftell :
Kimia Darah : Kolesterol total :
Kolesterol LDL :
Kolesterol HDL :
65
Trigliserida :
Ureum :
Kreatinin :
2. Hasil pembacaan Elektrokardiografi :
3. Hasil pembacaan Ekokardiografi :
4. Hasil kateterisasi jantung
- LM :
- LAD :
- LCx :
- RCA :
- Kesimpulan :
5. Hasil Pemeriksaan KIMK
- RCCA
D1 : mm
D1 : mm
D1 : mm
Mean : mm
- LCCA
D1 : mm
D1 : mm
D1 : mm
Mean : mm
- Mean KIMK : mm
66
Lampiran 6. Hasil Analisa Statistik
Total 91 100.0
Komorbid
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Diabetes Mellitus 16 17.6 18.2 18.2
Hipertensi 38 41.8 43.2 61.4
Dislipidemia 23 25.3 26.1 87.5
Total 91 100.0
Riwayat Merokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Ya 36 39.6 70.6 70.6
Total 91 100.0
67
Riwayat Keluarga CAD
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Ya 11 12.1 21.6 21.6
Total 91 100.0
Total 91 100.0
Total 91 100.0
68
Gensini Score
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Ringan 11 12.1 21.6 21.6
Total 91 100.0
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Valid N (listwise) 51
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 6.802 1 .009
N of Valid Cases 51
69
ROC Curve
Case Processing Summary
Gensini Score Valid N (listwise)
Positivea 40
Negative 11
Missing 40
Larger values of the test result
variable(s) indicate stronger
evidence for a positive actual state.
a. The positive actual state is Berat.
70
Coordinates of the Curve
Test Result Variable(s): Mean CIMT
Positive if Sensitivity 1 - Specificity
Greater Than or
Equal Toa
-.4800 1.000 1.000
.5250 1.000 .909
.5650 .975 .818
.6250 .925 .818
.6650 .925 .727
.7000 .900 .727
.7350 .875 .727
.7700 .850 .636
.7950 .825 .636
.8100 .800 .545
.8350 .775 .545
.8550 .700 .455
.8650 .675 .455
.8850 .625 .182
.9200 .575 .182
.9450 .525 .182
.9700 .500 .182
1.0150 .475 .182
1.0450 .450 .182
1.0600 .400 .182
1.0850 .375 .182
1.1100 .325 .182
1.1750 .325 .091
1.2400 .300 .091
1.2700 .275 .091
1.2950 .250 .091
1.3100 .200 .091
1.3350 .175 .091
1.3600 .150 .091
1.3850 .125 .091
1.4100 .100 .091
1.4250 .075 .091
1.4550 .050 .091
1.5150 .025 .091
1.6600 .000 .091
2.7700 .000 .000
71
The test result variable(s): Mean CIMT has at
least one tie between the positive actual state
group and the negative actual state group.
a. The smallest cutoff value is the minimum
observed test value minus 1, and the largest
cutoff value is the maximum observed test value
plus 1. All the other cutoff values are the averages
of two consecutive ordered observed test values.
72
Lampiran 7. Biodata Peneliti
CURICULUM VITAE
I. Data Pribadi
Nama : dr. Irhash Hasballah
Tempat / tanggal lahir : Kota Bakti, 22 Oktober 1985
Status : Peserta PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran– Univ. Syiah Kuala
Alamat : Jl. T. Iskandar, Lor. T. Mahmud, No. 3 Desa
Ceurih Kec. Ulee Kareng Banda Aceh
Telpon/HP : +62 853 6004 0902
73
2. Peserta Simposium Aceh Internal Medicine Symposia (AIMS) 2017.
Banda Aceh, 14-16 September 2017.
3. Peserta Kongres Nasional XVII Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam. Surakarta 2018.
4. Panitia & Peserta Workshop dan Simposium pada Konferensi Kerja
Nasional PPHI-PGI-PEGI in conjunction with the 2nd Aceh Gastro
Entero Hepatology Update. Banda Aceh, 19 – 22 Juli 2018.
5. Panitia & Peserta Workshop dan Simposium pada Pertemuan Ilmiah
Tahunan - Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PIT-PERNEFRI). Banda
Aceh, 18 – 20 Oktober 2018.
6. Panitia & Peserta Workshop dan Simposium The 3 rd Aceh
Endocrinology and Diabetes Update 2019. Banda Aceh, 14-16
February 2019.
7. Peserta Kongres Nasional dan Pertemuan Ilmiah Nasional PGI-PEGI-
PPHI 2019. Palembang. 11-12 September 2019.
8. Panitia & Peserta Simposium The 18th National Brain and Heart
Symposium in conjunction with Aceh Internal Medicine Symposia
(AIMS) 2019. Banda Aceh, 28 November – 1 Desember 2019.
74