SKRIPSI
Oleh:
ERICK YINARTA
200100103
SKRIPSI
Oleh:
ERICK YINARTA
NIM: 200100103
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah disetujui dan disahkan sebagai persyaratan kelulusan untuk
Program Studi Pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Pembimbing
dr. Andi Raga Ginting, M.Ked(PD), Sp. PD,K-R dr. Cindy Chias Arthy, M.Ked(KJ) Sp. KJ
NIP. 198605212017041001 NIP. 198808152018052001
Prof. Dr. dr. Rina Amelia, MARS, Sp. KKLP Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S(K)
NIP. 197604202003122002 NIP. 196605241992031002
iii
Saya menyatakan dengan ini bahwa Skripsi saya yang berjudul “Hubungan Kadar
Bilirubin Total Serum dengan Tingkat Stres Oksidatif pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Rumah Sakit Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan” beserta
seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan
penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika
keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya
siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian
ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau
klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Erick Yinarta
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan karunia-Nya, penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Hubungan
Kadar Bilirubin Total Serum dengan Tingkat Stres Oksidatif pada Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan” yang juga
menjadi salah satu syarat kelulusan pada program studi Pendidikan Dokter di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dapat selesai dengan baik.
Tentunya penulis sadar bahwa ada banyak pihak yang berkontribusi dalam
pelaksanaan penelitian ini, tanpa bantuan dan masukan dari pihak-pihak tersebut,
tidak mungkin bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Sehingga penulis
ingin menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih yang luar biasa kepada:
1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan FK USU,
Dr. dr. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K), Subsp.U.R.L.(K), selaku WD I FK
USU, Dr. dr. Muara Panusunan Lubis, M.Ked(OG), Sp.OG(K), selaku WD II
FK USU, & dr. Inke Diniyanti Lubis, M.Ked(Ped), Sp.A(K) Ph.D., selaku WD
III FK USU.
2. dr. Hidayat, M. Biomed, Dosen Pembimbing Penelitian yang telah
membimbing penulis sehingga tulisan ini dapat selesai, dan telah menyediakan
berbagai keperluan yang terkait dengan penelitian ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan lebih mudah dan hemat, terima kasih atas
segala bantuan dan kebaikan yang telah Dokter berikan.
3. Departemen Biokimia FK USU beserta Laborannya, Kakanda Shafira Mahrani
yang telah mengizinkan dan memfasilitasi peneliti untuk melakukan penelitian
di Laboratorium Biokimia FK USU
4. Rumah Sakit Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan, terutama
kepada instalasi laboratorium rawat jalan, yang dipimpin oleh Dr. dr. Jelita
Siregar M.Ked(ClinPath), Sp.PK(K), beserta staf-stafnya, yaitu Kakanda
Kholida Putri Warni Dasopang, Kakanda Dian Pratita, Kakanda Esti Rahma
Dani, & Abangda Arif Pradana yang telah mengizinkan dan membantu
pengambilan sampel darah pasien dalam penelitian ini
v
5. dr. Andi Raga Ginting, M.Ked(PD), Sp.PD, K-R selaku Ketua Penguji
& dr. Cindy Chias Arthy, M.Ked(KJ), Sp.KJ selaku dosen Anggota Penguji,
atas masukan-masukan berharganya, sehingga tulisan ini dapat menjadi lebih
baik lagi
6. dr. Aridamuriany Dwiputri Lubis M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku Dosen
Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama pre-klinik.
7. dr. M. Irfan Lubis M.Ked(PD), Sp.PD, selaku Dokter Pengawas Penelitian
yang telah mengawasi perkembangan penelitian ini dari awal hingga selesai.
8. Ibu dan alm. Ayah penulis, yang telah mengasuh dan mendidik penulis dari
kecil hingga saat ini, dan telah membiayai seluruh pendidikan penulis,
termasuk penelitian ini, terima kasih atas semua semangat, harapan, dan doa
yang telah diberikan, oleh orang tua maupun kakak dan adik penulis.
9. Kakanda Grace Akwila, Abangda Kevin Ardinata, Abangda Muliawan, dan
Kakanda Felicia Jesslyn yang sudah memberikan banyak masukan dan
pengalaman yang berharga bagi penulis, serta Kakanda Tantri Thahirah
Pasaribu yang telah mengizinkan skripsinya untuk dijadikan referensi.
10. Serta tidak melupakan teman-teman penulis yang telah sangat membantu baik
dalam proses pengerjaan skripsi maupun selama pendidikan pre-klinik,
terutama Winny Chandra yang telah membantu pengerjaan sampel darah, serta
Billy Chandra, Jesselyn Tanoto, Johnson Kannady, dan Alvina Putri Tjan yang
telah membantu dalam banyak hal, serta pastinya, seluruh Keluarga Besar
Motion in Dhamma FK USU, yang telah menjadi rumah saya selama ini.
Penulis juga sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, dan masih
banyak hal yang dapat diperbaiki dan diteliti lagi, meskipun demikian, penelitian
ini merupakaan suatu pengalaman berharga bagi penulis. Akhir kata, mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata maupun perbuatan, semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Penulis
vi
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................. 5
1.3.1. Tujuan Umum ........................................................................... 5
1.3.2. Tujuan Khusus .......................................................................... 5
1.4. Manfaat penelitian ........................................................................... 5
1.4.1. Bagi Peneliti ............................................................................... 5
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan ......................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7
2.1. Kajian Pustaka ................................................................................. 7
2.1.1. Definisi Bilirubin ....................................................................... 7
2.1.2. Metabolisme Bilirubin .............................................................. 8
2.1.3. Pemeriksaan Bilirubin............................................................ 12
2.1.4. Aktivitas Antioksidan Bilirubin ............................................ 13
2.1.5. Definisi Diabetes Melitus Tipe 2 ............................................ 15
2.1.6. Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 ................................... 18
2.1.7. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2 ..................................... 20
2.1.8. Diagnosis Diabetes Melitus tipe 2 .......................................... 27
2.1.9. Komplikasi Kronis Diabetes Melitus tipe 2 .......................... 33
2.1.10. Definisi dan Patofisiologi Stres Oksidatif ............................. 36
2.1.11. Pengukuran Tingkat Stres Oksidatif .................................... 38
2.1.12. Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Tingkat
Stres Oksidatif pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 ........... 40
ix
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
•OH : Hidroksil
1
O2 : Oksigen singlet
ABCC8 : ATP binding cassette subfamily C member 8
ADA : American Diabetes Association
AGEs : Advanced Glycation End Products
AKT : Serine/Threonine Kinase (Protein Kinase B)
AOPP : Advanced Oxidation Protein Products
APGPAT2 : 1-acyl-sn-glycerol-3-phosphate acyltransferase beta
ARAP1 : Arf-GAP with Rho-GAP domain, Ankyrin repeat, and PH domain-
Containing Protein 1
AS160 : Akt substrate of 160 kDa
BSCL : Berardinelli-Seip Congenital Lipodystrophy
CDKAL1 : Cyclin-dependent kinase 5 regulatory subunit-associated protein 1
CDKN2A : Cyclin-dependent kinase inhibitor 2A
CDKN2B : Cyclin-dependent kinase inhibitor 2B
CGL : Congenital generalized lipodystrophy
CH3COOH : Acetic acid
CO : Carbon Monoxide
CRP : C-Reactive Protein
CSF : Cerebrospinal Fluid
DAG : Diacylglycerol
DCCT : Diabetes Control and Complications Trial
DEND : Developmental delay, epilepsy, and neonatal diabetes
DM : Diabetes Melitus
EIF2AK3 : Eukaryotic translation initiation factor 2 alpha kinase 3
FOXO1 : Forkhead box protein O1
FOXP3 : Forkhead box protein P3
FPLD : Familial partial lipodystrophy
G6pc : Glucose-6-Phospatase
GCK : Glucokinase
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi 81
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden 83
Lampiran 3 Ethical Clearance 85
Lampiran 4 Surat Izin Penelitian 86
Lampiran 5 Surat Keterangan Selesai Penelitian 89
Lampiran 6 Master Data Penelitian 90
Lampiran 7 Hasil Olah Data 91
Lampiran 8 Daftar Riwayat Hidup 92
1
BAB 1
PENDAHULUAN
agregasi lintas produk tersebut dapat digunakan sebagai suatu metode pengukuran
tingkat stress oksidatif (Venturini, Simão, dan Dichi, 2015), sebagaimana telah
diusulkan oleh Witko-Sarsat et al. pada tahun 1996, yang berhasil menemukan
metode pemeriksaan tingkat stres oksidatif dengan mengukur kadar dari AOPP di
dalam darah pasien yang mengalami uremia.
Selama ini bilirubin dikenal sebagai zat sisa katabolisme heme pada
sirkulasi sistemik, dan walaupun untuk waktu yang cukup lama bilirubin diyakini
sebagai metabolit toksik dari katabolisme heme, penelitian dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan bahwa bilirubin memiliki beberapa efek yang bermanfaat
bagi tubuh manusia, termasuk menangkap dan membuang spesies oksigen reaktif
yang dihasilkan secara berlebihan, efek anti inflamasi, dan pengaruh langsung
terhadap pensinyalan sel (Vítek dan Schwertner, 2007).
Bilirubin total serum selama ini bermanfaat secara klinis untuk menilai
fungsi dari hepar, namun potensi aktivitas anti oksidasi bilirubin juga dapat
dimanfaatkan. Bilirubin dapat mengurangi stres oksidatif (Duman dan Özyurt,
2018), terutama pada membran sel hidrofobik, bilirubin memiliki efek yang lebih
baik dalam menjaga stabilitas membran protein dibandingkan dengan glutation
(Zhong et al., 2019).
Bilirubin juga telah teruji mampu mencegah oksidasi LDL 30 kali lebih baik
dibandingkan analog vitamin E, trolox, selain itu bilirubin juga berkontribusi besar
terhadap kapasitas antioksidan plasma darah, dan memiliki efek anti inflamasi
(Vítek dan Schwertner, 2007).
Bahkan bilirubin juga terbukti dapat mencegah kerusakan sel beta pankreas
yang dipicu oleh stres oksidatif pada keadaan hiperglikemia (Kapitulnik, Benaim,
dan Sasson, 2012). Hal tersebut mengindikasikan potensi kemampuan antioksidan
bilirubin yang cukup poten (Kapitulnik, 2004). Meskipun kadar bilirubin yang
terlalu tinggi dapat bersifat neurotoksik (Watchko dan Tiribelli, 2013), banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang berkebalikan antara kadar
bilirubin serum dengan kejadian komplikasi DM.
Menurut penelitian oleh Ohnaka et al., (2010) bilirubin memiliki efek yang
berlawanan terhadap kadar protein c-reaktif, HbA1C, dan kejadian diabetes melitus
tipe 2 pada subjek yang berusia 50 tahun ke atas. Pada penelitian cross-sectional
4
yang dilakukan pada lebih dari 3.000 subjek, subjek dengan kadar bilirubin yang
tinggi memiliki prevalensi retinopati diabetes empat kali lebih rendah dibandingkan
subjek dengan kadar bilirubin rendah (Yasuda et al., 2011). Menurut National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada 16.000 subjek,
ditemukan bahwa subjek dengan kadar bilirubin di atas 10μmol/L memiliki 20%
risiko yang lebih sedikit untuk mengalami diabetes dibandingkan subjek yang
memiliki kadar bilirubin di bawah nilai cut-off tersebut (Cheriyath et al., 2010).
Bilirubin yang menurut banyak penelitian memiliki kemampuan
antioksidan yang poten, memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan
sebagai faktor prediktor, preventif, bahkan teurapetik terhadap komplikasi akibat
penyakit diabetes melitus yang cukup berkaitan erat dengan adanya stres oksidatif.
Meskipun terdapat beberapa penelitian dari luar negeri yang telah meneliti
potensi dari pemanfaatan bilirubin pada penyakit diabetes melitus, namun penulis
belum dapat menemukan penelitian serupa di Indonesia, terlebih di Sumatera Utara,
sehingga penulis pun tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan
Kadar Bilirubin Total dengan Tingkat Stres Oksidatif pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan”.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
(Ferrier dan Harvey, 2014). Heme yang tersusun oleh suatu cincin porfirin,
yaitu, Protoporfirin IX dan ion Fe2+ akan mengalami pemecahan di dalam
makrofag yang dikatalisis dengan enzim heme oksigenase (HMOX) (Dosch,
Imagawa, dan Justric, 2019), dengan adanya Nikotinamid adenin
dinukleotid fosfat (NADPH) dan Oksigen (O2), HMOX mengkatalisasi tiga
kali oksigenasi secara berturut-turut yang menyebabkan terbukanya cincin
porfirin sehingga melepaskan ion-ion Fe2+ dan membentuk rantai
tetrapirolik (Bellarosa dan Tiribelli, 2012) atau dengan kata lain mengubah
bentuk heme siklik untuk menghasilkan biliverdin yang berbentuk linier
(Ferrier dan Harvey, 2014), serta membentuk karbon monoksida (CO) yang
jumlahnya ekuimolar (Kikuchi, Yoshida, dan Noguchi, 2005; Kalakonda,
Jenkins, dan John, 2022).
Ion-ion Fe2+ yang dilepaskan kemudian akan didaur ulang untuk
membentuk heme yang baru, CO akan berfungsi sebagai molekul
pensinyalan lokal (Van dijk et al., 2017) serta memiliki efek anti inflamasi
(Ferrier dan Harvey, 2014). Biliverdin yang dihasilkan pun selanjutnya akan
mengalami reduksi yang dikatalisis oleh enzim bilirubin reduktase yang
dependen terhadap NADPH, menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi atau
indirek, apabila bilirubin yang telah terbentuk terpapar oleh agen oksidatif
maka, dapat terjadi reaksi redoks yang melibatkan enzim bilirubin reduktase
yang akhirnya mengubah bilirubin kembali menjadi biliverdin (Martelanc
et al., 2016).
b. Pembentukan Bilirubin Direk
Bilirubin indirek yang telah terbentuk melalui pemecahan heme akan
dibawa menuju hepar dengan cara berikatan secara non-kovalen dengan
albumin, setelah sampai di hepar, bilirubin akan terlepas dari molekul
albumin yang membawanya, kemudian memasuki sel hepatosit melalui
difusi difasilitasi, lalu berikatan dengan protein intrasel, terutama dengan
protein ligandin (Ferrier dan Harvey, 2014).
Di dalam sel hepatosit, terjadi peningkatan kelarutan bilirubin yang telah
lepas dari albumin melalui proses yang disebut dengan konjugasi, sejalan
dengan penambahan dua molekul asam glukoronat, sehingga menghasilkan
10
pengelihatan, ulkus yang sulit sembuh, penyakit jantung, hingga stroke akan
sangat mungkin untuk terjadi (Gregg et al., 2014).
Kebanyakan pasien DM tipe 2 juga mengalami overweight atau pun
obesitas, hal tersebut terkait dengan patofisiologi DM tipe 2, di mana
keadaan tersebut dapat menyebabkan resistensi insulin, namun pasien
dengan IMT normal juga dapat mengalami resistensi insulin, apabila pasien
tersebut mengalami peningkatan kadar lemak tubuh, yang tersebar secara
predominan di bagian abdomen. Risiko mengalami DM tipe 2 meningkat
seiring usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik, dan risiko DM tipe 2
juga meningkat pada wanita yang pernah mengalami diabetes gestasional
dan orang-orang yang mengalami hipertensi maupun dislipidemi, serta pada
orang-orang dengan ras tertentu (WHO, 1999). DM tipe 2 juga sering
dikaitkan dengan adanya predisposisi genetik dalam keluarga, namun
mekanisme serta gen penyebabnya masih sangat kompleks dan belum dapat
dimengerti terlalu mendalam (Meigs et al., 2008). Meskipun etiologi
spesifik dari DM tipe 2 belum diketahui, pada pasien DM tipe 2 tidak terjadi
destruksi sel pankreas seperti pada DM tipe 1, dan juga tidak mengalami
penyebab spesifik lainnya yang terdapat pada tabel 2.2. berikut ini
Tabel 2.2. Penyebab Spesifik Lain Diabetes Melitus (Magliano et al., 2015)
Defek genetik yang mengganggu fungsi sel beta pankreas
o HNF1A MODY o KCNJ11 PNDM
o HNF4A MODY o KCNJ11 DEND
o HNF1B MODY o 6q24 TNDM
o GCK MODY o ABCC8 TNDM
o WFS1 Wolfram Syndrome o INS PNDM
o FOXP3 IPEX Syndrome o MtDNA 3243 MIDD
o EIF2AK3 Wolcott-Rallison syndrome
Defek genetik yang mengganggu kerja insulin
o INSR Type A Insulin Resistance o PPARG FPLD
o INSR Leprechaunism o APGPAT2 CGL
o INSR Rabson-Mendehall syndrome o BSCL CGL
o LMNA FPLD o Lipoatrophic diabetes
17
Gambar 2.4. Faktor Risiko yang Terkait dengan DM Tipe 2 (Bellou et al., 2018).
2.1.7. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2
Patofisiologi DM tipe 2 secara sederhana dapat dijelaskan dengan
21
Adanya malfungsi pada siklus feedback antara kerja insulin dan sekresi
insulin sehingga menyebabkan kadar glukosa yang tinggi di dalam darah
(Stumvoll, Goldstein, dan van Haeften, 2003), hal tersebut berkaitan erat
dengan disfungsi sel beta pankreas dan resistensi insulin (Zheng, Ley, dan
Hu, 2018).
a. Resistensi Insulin
Resistensi insulin merupakan suatu keadaan di mana organ target gagal
untuk merespon secara normal pada insulin, hal tersebut menyebabkan
peningkatan glukoneogenesis di hepar, berkurangnya ambilan glukosa pada
otot, berkurangnya glikolisis, dan meningkatnya oksidasi asam lemak di
dalam hepar (Zheng, Ley, dan Hu, 2018; Cerf, 2013; Kumar, Abbas, dan
Aster, 2013).
Kerja insulin dipengaruhi oleh interaksi dari beberapa molekul, pada
keadaan puasa, respons insulin diatur oleh hormon glukagon,
glukokortikoid, dan katekolamin untuk mencegah hipoglikemia akibat
insulin, rasio antara insulin dengan glukagon berperan besar dalam proses
ini, karena rasio tersebut meningkatkan laju dari fosforilasi enzim-enzim
lain yang berada di dalam siklus pensinyalan insulin, katekolamin dapat
memicu terjadinya lipolisis dan glikogenolisis, dan glukokortikoid dapat
memicu katabolisme otot, glukoneogeneis dan lipolisis, sehingga, apabila
ketiga hormon ini dilepaskan secara berlebihan, dapat memicu terjadinya
resistensi insulin (Nussey & Whitehead, 2001; Petersen & Shulman, 2002).
Terdapat tiga organ ekstra pankreas sensitif insulin utama yang berperan
penting dalam proses resistensi insulin yaitu, otot rangka, jaringan adiposa,
dan hepar, defek pada kerja insulin di jaringan tersebut akan menyebabkan
berkembangnya resistensi insulin sistemik, sehingga dapat menyebabkan
DM tipe 2 (Galicia-Garcia et al., 2020).
Resistensi insulin pada jaringan otot rangka merupakan salah satu
faktor ekstra-pankreas yang penting di dalam perkembangan penyakit DM
tipe 2 (Petersen dan Shulman, 2002), pada keadaan fisiologis, insulin akan
menstimulasi sintesis glikogen otot sebagai salah satu cara meningkatkan
ambilan glukosa dari dalam darah, ambilan glukosa dan pembentukan
22
pelepasan asam lemak bebas ke dalam darah, bahkan ketika kadar insulin
tinggi (Czech, 2020),
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya massa dan
ukuran jaringan adiposa atau sel adiposit berhubungan dengan gangguan
vaskularisasi, hipoksia, fibrosis, dan inflamasi akibat makrofag (Scherer,
2019). Hipertrofi pada sel adiposit yang berakibat pada hipertrofi sel imun
yang terdapat di dalam jaringan adiposa akan menyebabkan meningkatnya
sitokin pro-inflamasi, meningkatnya sitokin proinflamasi, dan juga
pelepasan sitokin lokal (adipokin) seperti TNF, IL-1β, dan IL-6, akan
memfasilitasi terjadinya inflamasi sistemik tingkat rendah yang kronis, atau
disebut juga sebagai inflamasi metabolik (Roden dan Shulman, 2019).
Inflamasi krosis ini merupakan suatu bagian kunci dalam terjadinya
resistensi insulin, yang akhirnya menyebabkan DM tipe 2 (Maki et al.,
2011). Perbandingan efek insulin terhadap jaringan adiposa yang sehat dan
hipertrofi dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5. Perbandingan Efek Insulin Pada Jaringan Adiposa Sehat dan
Hipertrofi (Galicia-Garcia et al., 2020)
akan melekat pada reseptor insulin (INSR) yang terdapat di hepar, sehingga
akan menginduksi fosfolirasi pada reseptor tersebut, hal tersebut akan
mengaktifkan Insulin receptor substrates (IRs), yang juga akan mengalami
fosforilasi, kemudian IRs akan mengaktifkan PI3K (Phosphatidyl-inositol-
3-kinase) yang akan memfosforilasi PIP2 (Phospatidylinositol 4,5-
biphosphate), sehingga menghasilkan PIP3 (Phospatidylinositol 3,4,5-
triphosphate), kemudian PIP3 akan mengaktivasi PDK1 (Phosphoinositide-
dependent kinase-1), yang kemudian akan memfosforilasi AKT (protein
kinase B), AKT juga akan difosforilasi oleh mTORC2 (mammalian target
of rapamycin complex 2). Ketika AKT sudah diaktivasi secara penuh, maka
ia akan ambil bagian dalam beberapa proses yang mengatur proses
metabolisme termasuk sintesis glikogen, glukoneogenesis, glikolisis dan
sintesis lipid (Titchenell, Lazar, dan Birnbaum, 2017). Skema mekanisme
kerja insulin dapat dilihat pada gambar 2.6.
Pada keadaan resistensi insulin, kadar insulin dalam darah tidak cukup
untuk memicu kerja insulin yang seharusnya di dalam sel hepar (Meshkani
& Adeli, 2009). Di dalam hepar, resistensi insulin akan menggangu sintesis
glikogen, gagal menekan laju glukoneogenesis, meningkatkan oksidasi
asam lemak, dan meningkatkan sintesis protein pro-inflamatori seperti CRP
dan adipositokin (adipokin), kondisi tersebut yang disertai oleh kondisi lain
seperti stress oksidatif akan memicu terjadinya inflamasi yang akhirnya
kaan memperparah resistensi insulin, sehingga menyebabkan semakin
jauhnya perkembangan penyakit DM tipe 2 (Leclercq et al., 2007).
b. Disfungsi Sel Beta Pankreas
Disfungsi sel beta pankreas menyebabkan sekresi insulin berkurang, hal
tersebut menyebabkan kemampuan tubuh untuk menjaga kadar glukosa
yang fisiologis pun terhambat (Cerf, 2013). Disfungsi sel beta pankreas
menunjukkan ketidakmampuan sel tersebut untuk beradaptasi terhadap
kebutuhan insulin yang tinggi. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi
insulin pada awalnya akan meningkat lebih tinggi dibandingkan kontrol,
peningkatan tersebut merupakan bentuk kompensasi terhadap resistensi
insulin, dan menyebabkan kemampuan untuk mempertahankan kadar
glukosa darah yang normal, namun pada akhirnya kompensasi tersebut akan
tidak cukup, sehingga terjadi hiperglikemia, bersamaan dengan
berkurangnya massa dari sel beta pankreas. Hal tersebut dapat disebabkan
karena penumpukan nutrien seperti glukosa dan asam lemak bebas dapat
menyebabkan stres terhadap Retikulum endoplasma akibat aktivasi
unfolded protein response (UPR) pathway yang menyebabkan apoptosis sel
beta pankreas (Yamamoto et al., 2019).
Lipotoksisitas dan glukotoksisistas yang terjadi pada obesitas, dapat
memicu stres oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas
(Halban et al., 2014). Kerusakan tersebut dapat menyebabkan sekresi
sitokin pro-inflamasi dari sel beta pankreas, yang menyebabkan terjadinya
inflamasi pada pulau pankreas, yang menyebabkan disfungsi sel beta
pankreas hingga akhirnya kematian sel beta pankreas, dan sel beta pankreas
yang mati tersebut akan digantikan oleh amiloid yang terbentuk akibat dari
26
Gambar 2.7. Mekanisme Disfungsi Sel Beta Pankreas dan Resistensi Insulin
(Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).
b. Pemeriksaan penunjang
Diabetes Melitus dapat ditegakkan diagnosisnya dengan
mengidentifikasi tanda dan gejala dari hiperglikemi yang berhubungan
dengan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, selain itu
DM juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan HbA1C (yang telah
terstandarisasi) ≥ 6.5% , atau pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam ≥ 200
mg/dL pada oral glucose tolerance test dengan 75 g glukosa, dan dengan
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (Pippitt, Li, dan
Gurgle, 2016), namun apabila pemeriksaan tersebut harus diulangi kembali
di hari lain untuk menegakkan diagnosis, jika hasil pemeriksaan tidak
konsisten, atau pun tidak sesuai dengan gejala klinis (ADA, 2014),
pemeriksaan tersebut harus diulangi, atau dapat mencoba alternatif
pemeriksaan yang lain (ADA, 2014).
a. Pemeriksaan HbA1C
HbA1C
menunjukkan nilai persentase dari tingkat glikosilasi (pelekatan
glukosa terhadap suatu protein) dari rantai hemoglobin A1C dan dapat
memperkirakan rerata kadar glukosa darah selama 2 sampai 3 bulan (Cohen,
30
yang berbeda jauh dari kedua pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang
berada di atas batas diagnosis harus diulangi, dan diagnosis dilakukan
berdasarkan pemeriksaan yang diulangi tersebut (ElSayed et al., 2023).
2.1.9. Komplikasi Kronis Diabetes Melitus tipe 2
DM dapat menjadi suatu penyakit yang sangatlah merusak, karena
metabolisme glukosa yang abnormal dan gangguan metabolik lainnya yang
muncul pada DM akan menyebabkan dampak patologis yang sangat serius
pada hampir seluruh sistem organ di dalam tubuh manusia (Kumar, Abbas,
dan Aster, 2013). Komplikasi kronis dari DM menyebabkan sebagian besar
mortalitas dan morbiditas yang terkait dengan DM. Komplikasi kronis DM
dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu, komplikasi vaskular dan non vaskular
(Powers, 2010).
Komplikasi vaskular mencakup masalah mikrovaskular seperti
kerusakan pada mata, saraf, dan ginjal, atau pun makrovaskular seperti pada
arteri Koroner, arteri perifer, dan otak. Komplikasi non-vaskular mencakup
masalah yang tidak melibatkan pembuluh darah secara langsung seperti
gastroparesis, infeksi, dan perubahan pada kulit (Powers, 2010).
Patogenesis dari komplikasi DM dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, namum, hiperglikemia kronis yang menyebabkan glukotoksisitas
merupakan kontributor terbesar pada patogenesis komplikasi DM (Kumar,
Abbas, dan Aster, 2013), terutama pada komplikasi mikrovaskular (Powers,
2010).
Terdapat beberapa mekanisme hiperglikemia dapat menyebabkan
komplikasi kronis pada DM, antara lain:
a. Pembentukan advanced glycation end products (AGEs)
AGEs terbentuk akibat reaksi antara glukosa dengan kelompok amino
dari protein intraseluler dan ekstraseluler, melalui proses glikosilasi, proses
tersebut akan merubah fungsi dari protein yang mengalami glikosilasi,
menggangu kerja enzim, dan menganggu fungsi reseptor (Chawla et al.,
2016). AGEs dapat berkumpul di beberapa jenis sel dan merubah fungsi dan
struktur intraseluler dan ekstraseluler dari sel tersebut dengan cara berikatan
tidak hanya dengan protein, tetapi juga dengan lipid dan asam nukleat pada
34
sel tersebut, dan berperan dalam banyak jenis komplikasi kronis DM (Singh
et al., 2014), laju pembentukan dari AGEs akan semakin dipercepat dengan
adanya hiperglikemia(Kumar, Abbas, dan Aster, 2013), dan kadar dari
AGEs berbanding lurus dengan kadar glukosa darah (Powers, 2010).
AGEs yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor spesifik (RAGE),
yang biasanya terdapat pada makrofag, sel T, serta pada sel endotel dan otot
polos pembuluh darah, hal tersebut akan menyebabkan pelepasan sitokin
pro-inflamasi dan growth hormone oleh makrofag, dan pembentukan ROS
di sel-sel endotel, meningkatnya aktivitas prokoagulan, dan meningkatnya
proliferasi dari otot polos pembuluh darah. Selain itu, protein yang berikatan
dengan AGEs dapat berikatan dengan protein lain, seperti LDL, sehingga
dapat meningkatkan laju aterosklerosis pada pembuluh darah, atau pun
albumin yang dapt menyebabkan penebalan membran basal yang menjadi
karakteristik mikroangiopati (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013), AGEs juga
dapat menghambat kerja dari Nitric Oxide (NO) sehingga terjadi
pembentukan ROS, dan menyebabkan stres oksidatif (Chawla et al., 2016).
b. Aktivasi dari Protein Kinase C (PKC)
PKC dapat diaktivasi oleh ion kalsium dan diasilgliserol (DAG).
Hiperglikemia intraseluler dapat memicu sintesis dari DAG secara de novo
melalui glikolisis, sehingga mengaktivasi PKC (Kumar, Abbas, dan Aster,
2013), terdapat beberapa efek dari aktivvasi PKC, yaitu, produksi molekul
pro-angiogenik yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF), yang
dapat menyebabkan neurovaskularisasi yang dapat diamati pada keadaan
retinopati diabetik dan produksi molekul profibrogenic seperti transforming
growth factor-β (TGF- β) yang akan menyebabkan penumpukan matriks
ekstrasel dan material membran basal yang akan menyebabkan penebalan
membrane basal sehingga terjadi mikroangiopati (Kumar, Abbas, dan Aster,
2013). Aktivasi PKC akan menyebabkan fosforilasi pada NADPH-oksidase,
sehingga akan meningkatkan produksi dari ROS dan meningkatkan stres
oksidatif (King dan Loeken, 2004).
35
dan merubah basa nukleotida, menyebabkan ikatan silang pada DNA dan
mengoksidasi deoksiribosa (Sharifi-Rad, 2020).
Oleh karena efek negatif yang dapat disebabkan oleh ROS, yaitu,
Stres Oksidatif dapat merusak sel, maka tubuh memliki mekanisme
pertahanan sendiri terhadap stress oksidatif, yaitu, melalui adanya
antioksidan, seperti, vitamin C, Vitamin E, dan Glutation, serta ada juga
enzim-enzim yang dapat meningkatkan laju reaksi antioksidan seperti enzim
katalase, superoksida dismutase, dan peroksidase (Valko, Leibfritz, dan
Moncol, 2007). Antioksidan dapat mencegah kerusakan akibat stres
oksidatif melalui beberapa mekanisme, antara lain: Menginhbisi produksi
molekul oksidan, menangkap molekul oksidan, mengubah molekul oksidan
yang toksik menjadi molekul yang lebih kurang toksik, mencegah produksi
metabolit toksik dan mediator inflamasi oleh ROS, mencegah penyebaran
molekul oksidan, memperbaiki jaringan yang rusak, dan juga meningkatkan
sistem pertahanan antioksidan endogen. Mekanisme-mekanisme tersebut
saling berkontribusi untuk mencegah stres oksidatif (Adwas et al., 2019)
kerusakan atau penghambatan dari enzim-enzim tersebut atau pun
pendukung seperti kofaktornya, dapat menyebabkan stress oksidatif yang
dapat merusak sel dan menyebabkan lisis pada sel (Valko, Leibfritz, dan
Moncol, 2007).
2.1.11. Pengukuran Tingkat Stres Oksidatif
Semua jenis biomolekul dapat mengalami kerusakan akibat stress
oksidatif yang disebabkan oleh ROS, oleh karena itu, berbagai biomarker
dapat digunakan untuk mengukur tingkat ROS dan stress oksidatif pada
tubuh, dan lebih dari itu, biomarker-biomarker tersebut juga dapat
mengidentifikasi sumber dari ROS (Tsukahara, 2007). Secara singkat
biomarker stress oksidatif dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu, molekul yang
terbentuk akibat modifikasi ROS, dan konsumsi atau induksi enzim atau
antioksidan (Toyokuni, 1999). Pemeriksaan dengan biomarker
memungkinkan pemeriksaan yang menggunakan cairan eksresi tubuh
seperti darah, urin, CSF, dan cairan bronkoalveolar, memungkinkan
39
Siklus Konversi
Hiperglikemia
Bilirubin-Biliverdin
Pembentukan AGEs
Efek
↑ROS Gangguan jalur poliol Mikroangiopati
scavenging ROS
Aktivasi Protein Kinase C
Komplikasi
Diabetes
Keterangan:
: Mencegah
: Menyebabkan
BAB 3
KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN, DEFINISI
OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
3.4. Hipotesis
Kadar Bilirubin Total Serum memiliki hubungan yang berbanding terbalik
(faktor protektif) terhadap Tingkat Stres Oksidatif pada pasien DM tipe 2 di
Rumah Sakit Prof. Dr. Chairuddin Panusunan Lubis Medan.
46
BAB 4
METODE PENELITIAN
z × p × (1 − p)
n=
e
Keterangan:
n = besar sampel
z = nilai distribusi normal berdasarkan confidence interval
p = prevalensi/proporsi
e = margin of error
Prevalensi diabetes melitus di Rumah Sakit Prof. dr. H. Chairuddin
Panusunan Lubis Medan pada tahun 2022 adalah 5%, nilai confidence
interval yang digunakan adalah 95% sehingga nilai z adalah 1,96, serta
margin of error yang digunakan adalah 5%. Oleh karena itu, maka besar
sampel yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah:
, × , ×( , )
n= = 72,99 ≈ 73 sampel
,
4.4.2. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling, di mana sampel yang akan diambil harus
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dan sampel tersebut akan diambil
hingga memenuhi jumlah sampel minimal, dengan alur sebagai berikut:
1. Penjelasan dan tanda tangan Informed consent
2. Pengambilan sampel darah vena mediana cubiti pasien yang telah
menjalani puasa sebanyak 2 ml
3. Analisis kadar bilirubin total serum pasien, jika tidak sesuai kriteria
inklusi, maka pasien tidak dijadikan sampel, dan akan dicari pasien
baru untuk menjadi sampel pengganti
4. Jika pasien telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi maka pasien
dapat menjadi sampel, dan dapat dilanjutkan analisis kadar AOPP
48
b. Bahan:
Aquadest
Reagen T-BIL
Reagen T-NIT
Sampel serum
c. Prosedur:
1. Memakai sarung tangan
2. Mempersiapkan spektrofotometer dengan absorbansi 0 nm
dengan aquadest
3. Mempersiapkan 3 buah tabung reaksi yang telah dilabeli
dengan label sampel blanko, dan sampel
4. Melakukan pipet ke dalam tabung reaksi sejumlah:
Tabel 4.1. Komposisi tabung reaksi pemeriksaan
bilirubin total serum
Sampel Sampel Blanko
Reagen T-BIL 1 mL 1 mL
Reagen T-NIT 40 μL -
Analisis data
Kesimpulan
Laporan akhir
Bulan
No Nama Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Penyelesaian Proposal
Penelitian
2. Ujian Seminar Proposal
Penelitian
3. Revisi Proposal
4. Pengurusan Ethical
Clearance Ke Komisi Etik
Peneltian Kesehatan USU
5. Pengambilan data
6. Input, analisis, dan
interpretasi data hasil
penelitian
7. Persiapan penulisan
Laporan Hasil
8. Ujian Skripsi
9. Persiapan Manuskrip
10. Pengiriman Manuskrip ke
Jurnal
56
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambar 5.1. Gambaran Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Kadar
Glukosa Darah pada sampel penelitian ρ = -0,08; p = 0,944 (p>0,05)
Dari hasil analisis sampel ditemukan bahwa, rerata kadar AOPP pada
sampel pasien adalah sebesar 112,78 ± 90 μmol/L, dengan rerata kadar glukosa
darah sebesar 157,32 ± 37,72 mg/dL.
Gambar 5.3. Gambaran Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Kadar
Advanced Oxidation Protein Products: ρ = -0,279; p = 0,017 (p<0,05)
Tabel 5.4. Korelasi Kadar Bilirubin Total Serum dengan Kadar AOPP
AOPP
Bilirubin Total Serum ρ = -0,279
p = 0,017 (p<0,05)
n = 73
Uji Korelasi Spearman
Pada uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, ditemukan bahwa data Kadar
AOPP dan Kadar Bilirubin Total Serum tidak berdistribusi normal, dengan p =
0,04 dan p = 0,28 (p<0,05), sehingga dilakukan Uji Spearman’s Rank Correlation
Coefficient didapatkan bahwa terdapat korelasi monotonik negatif (ρ = -0,279)
yang signifikan (p<0,05) antara kadar bilirubin total serum dengan kadar
advanced oxidation protein products. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika
terjadi peningkatan dari kadar bilirubin, kadar AOPP menurun, namun korelasi
tersebut bersifat lemah (0,2 ≤ ρ ≤ 0,39).
62
5.6. Pembahasan
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa, pada pasien yang menjadi sampel,
lebih banyak penderita DM yang berjenis kelamin perempuan, yaitu sejumlah 38
orang (52,1%), data ini sedikit berbeda, meskipun tidak terlalu jauh, dibandingkan
data dari Riskesdas Sumut 2018, di mana tidak ada perbedaan yang signifikan
antara jumlah penderita DM berjenis kelamin laki-laki (50,1%) dan perempuan
(49,9%), namun pada data tersebut juga disebutkan bahwa prevalensi DM pada
perempuan (1,78%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (1,21%).
Perbedaan data tersebut bisa jadi disebabkan karena jumlah sampel yang tidak
terlalu besar, atau pun dikarenakan setting penelitian yang dilakukan di rumah
sakit, sebagaimana menurut penelitian Mesa (2018) di Inggris, laki-laki dengan
diabetes melitus tipe 2 lebih jarang melakukan follow up terhadap penyakitnya,
dibandingkan dengan wanita, begitu pula menurut penelitian Rasdianah et al. pada
tahun 2016 di Indonesia yang menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan berobat
pada pasien DM lebih tinggi pada pasien yang berjenis kelamin perempuan.
Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa, sampel pasien DM tipe 2 yang
paling banyak berasal dari rentang umur 50-60 tahun (52,1%), hal ini sesuai
dengan data pasien DM tipe 2 di seluruh dunia pada tahun 2021, yaitu, pasien DM
tipe 2 yang paling banyak adalah yang memiliki rentang umur 55-59 tahun (18%)
diikuti oleh umur 50-54 tahun (17%) (International Diabetes Federation, 2021).
Data pada penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan juga menunjukkan hal
serupa, di mana proporsi kasus diabetes melitus tipe 2 paling banyak diderita oleh
kelompok umur 51-65 tahun (58%) (Sinaga, M., 2020).
Sedangkan untuk kadar bilirubin total serum pada sampel pasien DM tipe 2
dalam penelitian ini, ditemukan bahwa nilai reratanya adalah 0,656 ± 0,3 mg/dL,
jumlah sampel terbanyak terdapat pada kelompok dengan rentang kadar bilirubin
total serum >0,8 mg/dL.
Berdasarkan hasil uji statistik spearman’s rank correlation coefficient, tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kadar bilirubin total serum dengan kadar
glukosa darah puasa (ρ = -0,08; p>0,05), yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara kadar bilirubin total serum degan kadar glukosa
darah pada sampel penelitian ini, hal ini sesuai dengan penelitian oleh Wei et al.,
63
pada tahun 2021 terhadap data sekunder di Amerika Serikat yang juga
menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan yang berarti antara kadar
bilirubin total serum dengan glukosa darah puasa pada pasien DM tipe 2,
penelitian oleh Oda dan Aizawa (2015) pada pria dan wanita Jepang juga
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar bilirubin
total serum dengan peningkatan kadar glukosa darah.
Sedangkan pada penelitian oleh Jo et al., (2011), ditemukan adanya
hubungan negatif yang signifikan antara kadar bilirubin total serum dengan kadar
glukosa darah puasa pada populasi pria dan wanita di Korea, namun hubungan
tersebut bersifat sangat lemah dengan koefisien korelasi yang bernilai r = -0,052
pada kelompok pria dan r = -0,085 pada kelompok wanita.
Hasil yang tidak konsisten di beberapa penelitian ini mengindikasikan
bahwa mekanisme perlindungan oleh bilirubin pada pasien DM bekerja melalui
efek anti-oksidasi dan anti-inflamasinya, bukan dengan cara mempengaruhi kadar
glukosa darah (Wei et al., 2021). Hal tersebut juga sejalan dengan sifat bilirubin
yang memang merupakan suatu antioksidan yang poten (Kapitulnik, 2004), dan
bekerja dengan cara melakukan scavenging terhadap ROS (Kim dan Park, 2012).
yang dapat dihasilkan melalui pembentukan dari AGEs yang berkaitan erat
dengan kadar AOPP (Venturini, Simão, dan Dichi, 2015).
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kadar glukosa darah pada pasien DM dengan tingkat stres
oksidatif yang diukur dengan menggunakan AOPP. Hal tersebut ditunjukkan
melalui uji statistik spearman’s rank correlation coefficient yang menunjukkan
P >0,05 (0,114) dan r = -0,187. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Kalousová
et al., di Republik Ceko pada tahun 2001, di mana tidak ditemukan hubungan
antara AOPP terhadap kadar glukosa darah pada pasien DM tipe 1 dan tipe 2.
Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian oleh Sánchez et al., 2017 di
Meksiko juga menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kadar
AOPP dan glukosa darah puasa pada populasi orang muda yang sehat.
Tetapi hasil yang kontradiktif ditemukan pada penelitian Boyacı, Yiğitbaşı,
dan Ankarali di Turki pada tahun 2021, di mana kadar glukosa darah puasa
memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap tingkat stres oksidatif, namun
64
pada penelitian tersebut juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi tingkat
stress oksidatif seperti resistensi insulin dan kadar HbA1C. Selain itu, faktor lain
yang mempengaruhi tingkat stress oksidatif (kadar AOPP) pada penderita diabetes
adalah durasi mengalami penyakit, di mana terjadi peningkatan kadar AOPP dan
AGEs seiring bertambah lamanya seseorang mengalami DM tipe 2 (Heidari et al.,
2020). Namun dalam penelitian ini tidak berhasil didapatkan data mengenai
resistensi insulin, kadar HbA1C, maupun durasi pasien mengalami diabetes
melitus tipe 2, sehingga kemungkinan beberapa faktor yang tidak terdata tersebut
juga berpengaruh terhadap tingkat stress oksidatif (kadar AOPP).
Pada uji statistic spearman’s rank correlation coefficient ditemukan adanya
hubungan monotonic negatif yang signifikan (ρ = -0,279; p<0,05) antara kadar
bilirubin total serum dengan tingkat stress oksidatif yang diwakili oleh kadar
AOPP pada pasien DM tipe 2 yang menjadi sampel penelitian ini, hal ini sesuai
dengan yang dihipotesiskan, di mana terdapat hubungan negatif antara kadar
bilirubin total serum dengan tingkat stres oksidatif pada pasien DM tipe 2.
Sehingga ketika kadar bilirubin meningkat, tingkat stress oksidatif akan menurun,
sehingga risiko komplikasi pada DM tipe 2 juga pastinya akan berkurang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Erkus et al. di Turki pada
tahun 2018 yang menunjukkan bahwa kadar bilirubin total serum lebih tinggi pada
pasien dengan kontrol gula darah yang baik dibandingkan yang buruk. Kontrol
gula darah yang buruk terkait dengan tingkat keparahan pada DM tipe 2, yang
juga saling mempengaruhi dengan stres oksidatif (Kumar, Abbas, dan Aster,
2013).
Berdasarkan penelitian Shawki et al. pada tahun 2021 di Mesir, ditemukan
juga bahwa kadar bilirubin total serum juga memiliki hubungan yang negatif
dengan kadar malondialdehid (MDA), yang menunjukkan bahwa peningkatan
kadar bilirubin total serum akan berpengaruh terhadap penurunan tingkat stress
oksidatif (Gaweł et al., 2004).
Penelitian dari Vítek et al., (2022) menunjukkan bahwa peningkatan kadar
bilirubin total serum berkaitan dengan peningkatan TAS (Total Antioxidant
Status), dan pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa kadar bilirubin total
serum yang secara signifikan lebih rendah pada kelompok pasien dengan berbagai
65
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:
1. Karakteristik pasien yang menjadi sampel penelitian, lebih banyak yang
berjenis kelamin perempuan (52,1%), sedangkan yang berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 47,9%, dengan rentang usia yang terbanyak adalah
50-60 tahun (52,1%), diikuti oleh rentang usia >60 tahun (35,6%), dan
rentang usia <50 tahun (12,3%).
2. Nilai rata-rata kadar bilirubin total serum pada sampel penelitian ini
adalah sebesar 0,656 ± 0,3 mg/dL.
3. Gambaran kadar glukosa darah pada pasien yang menjadi sampel
menunjukkan rerata kadar glukosa sebesar 157,32 ± 37,72 mg/dL.
4. Gambaran tingkat stres oksidatif pada penelitian ini yang
direpresentasikan dengan nilai kadar Advanced Oxidation Protein
Products menunjukkan nilai rata-rata sebesar 112,78 ± 90 μmol/L,
dengan 57 orang pasien (78,1%) memiliki kadar AOPP di atas normal
(>29 μmol/L)
5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar bilirubin total
serum dengan kadar glukosa darah pada pasien yang menjadi sampel
(ρ = -0,08; p>0,05).
6. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar glukosa darah
dengan tingkat stress oksidatif pada pasien yang mejadi sampel
(ρ = -0,187; p>0,05).
7. Terdapat hubungan monotonik negatif (ρ = -0,279; p<0,05) yang
signifikan antara kadar bilirubin total serum dengan tingkat stres
oksidatif pada pasien DM tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin
Panusunan Lubis Medan.
67
6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti kepada peneliti berikutnya yang
ingin melakukan penelitian yang berkaitian dengan peneliti ini:
1. Penambahan jumlah sampel sehingga data yang didapatkan bisa lebih
mewakili gambaran yang sebenarnya, dapat dilakukan juga penambahan
durasi pengambilan sampel di rumah sakit
2. Mengelompokan sampel penelitian berdasarkan ada tidaknya
komplikasi, membuat kelompok yang sehat, serta mengelompokan
sampel penelitian berdasarkan durasi pasien mengalami DM tipe 2,
sehingga dapat dianalisis lebih dalam apakah bilirubin total serum dapat
menjadi faktor protektif terhadap stres oksidatif pada pasien DM tipe 2,
bukan hanya melihat ada tidaknya hubungan.
3. Jika memungkinkan, menggunakan Assay-Kit yang sudah
terstandarisasi (bermerk) pada pemeriksaan AOPP, sehingga
mempermudah analisis serta mencegah terjadinya kerusakan dan
kesalahan konsentrasi pada reagen.
4. Melanjutkan penelitian ini dengan menambahkan analisis terhadap
kadar HbA1C yang mewakili kontrol gula darah, karena mengukur
kontrol gula darah selama 3 bulan, dan juga durasi pasien mengalami
DM tipe 2, Resistensi Insulin, serta Indeks Massa Tubuh yang juga
berpengaruh terhadap tingkat stres oksidatif.
68
DAFTAR PUSTAKA
Bernhard, K., Ritzel, G., and Steiner, K., 1954. On A Biological Significance of
Bile Pigments: Bilirubin and Biliverdin as Antioxidants for Vitamin A and
Essential Fatty Acids. Helv. Chim. Acta.
Boon, A.-C., Bulmer, A.C., Coombes, J.S., and Fassett, R.G., 2014. Circulating
Bilirubin and Defense Against Kidney Disease and Cardiovascular Mortality:
Mechanisms Contributing to Protection in Clinical Investigations. Am. J.
Physiol. Renal Physiol. 307: F123-36.
Boyacı I., Yiğitbaşı T., Ankaralı H., 2021. Is Oxidative Stress a Consequence of
Hyperglycemia? Or is Hyperglycemia the Consequence of Oxidative Stress?
Or are Both Caused by Insulin Resistance? Int. Arch. Endocrinol. Clin. Res.
Bulmer, A.C., Blanchfield, J.T., Toth, I., Fassett, R.G., and Coombes, J.S., 2008.
Improved Resistance to Serum Oxidation in Gilbert’s Syndrome: A
Mechanism for Cardiovascular Protection. Atherosclerosis 199: 390–396.
Casqueiro, Juliana, Casqueiro, Janine, and Alves, C., 2012. Infections in Patients
with Diabetes Mellitus: A Review of Pathogenesis. Indian J. Endocrinol.
Metab. 16 Suppl 1: 27-36.
Cerf, M.E., 2013. Beta Cell Dysfunction and Insulin Resistance. Front. Endocrinol.
(Lausanne). 4: 37.
Chawla, A., Chawla, R., and Jaggi, S., 2016. Microvasular and Macrovascular
Complications in Diabetes Mellitus: Distinct or Continuum? Indian J.
Endocrinol. Metab. 20: 546–551.
Cheriyath, P., et al., 2010. High Total Bilirubin as a Protective Factor for Diabetes
Mellitus: An Analysis of NHANES Data From 1999 - 2006. J. Clin. Med.
Res. 2: 201–206.
Coelho, M., Oliveira, T., and Fernandes, R., 2013. Biochemistry of Adipose Tissue:
An Endocrine Organ. Arch. Med. Sci. 9: 191–200.
Cohen, R.M., Haggerty, S., and Herman, W.H., 2010. Hba1c for The Diagnosis of
Diabetes and Prediabetes: Is It Time for a Mid-Course Correction? J. Clin.
Endocrinol. Metab.
Czech, M.P., 2020. Mechanisms of Insulin Resistance Related to White, Beige, and
Brown Adipocytes. Mol. Metab. 34: 27–42.
70
Darenskaya, M.A., Kolesnikova, L.I., and Kolesnikov, S.I., 2021. Oxidative Stress:
Pathogenetic Role in Diabetes Mellitus and Its Complications and
Therapeutic Approaches to Correction. Bull. Exp. Biol. Med. 171: 179–189.
Dennery, P.A., McDonagh, A.F., Spitz, D.R., Rodgers, P.A., and Stevenson, D.K.,
1995. Hyperbilirubinemia Results in Reduced Oxidative Injury in Neonatal
Gunn Rats Exposed to Hyperoxia. Free Radic. Biol. Med. 19: 395–404.
Dimas, A.S., et al., 2014. Impact of Type 2 Diabetes Susceptibility Variants on
Quantitative Glycemic Traits Reveals Mechanistic Heterogeneity. Diabetes
63: 2158–2171.
Dosch, A.R., Imagawa, D.K., and Jutric, Z., 2019. Bile Metabolism and
Lithogenesis: An Update. Surg. Clin. North Am. 99: 215–229.
Doumas, B.T., et al., 1985. Candidate Reference Method for Determination of Total
Bilirubin in Serum: Development and Validation. Clin. Chem. 31: 1779–
1789.
Duman, H. and Özyurt, S., 2018. Low Serum Bilirubin Levels Associated with
Subclinical Atherosclerosis in Patients with Obstructive Sleep Apnea. Interv.
Med. Appl. Sci. 10, 179–185.
ElSayed, N.A., et al., Association, on behalf of the A.D., 2022. Introduction and
Methodology: Standards of Care in Diabetes—2023. Diabetes Care 46: S1–
S4.
Erkus, E. et al., 2018. Serum bilirubin level is associated with diabetic control in
type 2 diabetes mellitus. Blood, Heart and Circulation. 2. 1-2.
10.15761/BHC.1000132.
Esposito, K., Chiodini, P., Maiorino, M.I., Bellastella, G., Panagiotakos, D., and
Giugliano, D., 2014. Which Diet for Prevention of Type 2 Diabetes? A Meta-
Analysis of Prospective Studies. Endocrine 47: 107–116.
Faradilla, M.A., Siregar, Y., & Dalimunthe, D., 2017. Penurunan Bilirubin
Meningkatkan Oksidasi Lipoprotein A Pada Nefropati Diabetik. Jurnal
Kedokteran Syah Kuala.
Franchini, M., Targher, G., and Lippi, G., 2010. Serum Bilirubin Levels and
Cardiovascular Disease Risk: A Janus Bifrons? Adv. Clin. Chem. 50: 47–63.
71
Franks, P.W., Pearson, E., and Florez, J.C., 2013. Gene-Environment and Gene-
Treatment Interactions in Type 2 Diabetes: Progress, Pitfalls, And Prospects.
Diabetes Care 36: 1413–1421.
Fretzayas, A., Moustaki, M., Liapi, O., and Karpathios, T., 2012. Gilbert Syndrome.
Eur. J. Pediatr. 171: 11–15.
Fuchsberger, C., et al., 2016. The genetic architecture of type 2 diabetes. Nature
536: 41–47.
Fujii, H., Nakai, K., and Fukagawa, M., 2011. Role of Oxidative Stress and Indoxyl
Sulfate in Progression of Cardiovascular Disease in Chronic Kidney Disease.
Ther. Apher. Dial. 15: 125–128.
Fung, T.T., et al., 2002. Whole-Grain Intake and The Risk Of Type 2 Diabetes: A
Prospective Study in Men. Am. J. Clin. Nutr. 76: 535–540.
Galicia-Garcia, U., et al., 2020. Pathophysiology of Type 2 Diabetes Mellitus. Int.
J. Mol. Sci. 21.
Gastaldelli, A., Gaggini, M., and DeFronzo, R.A., 2017. Role of Adipose Tissue
Insulin Resistance in the Natural History of Type 2 Diabetes: Results from
the San Antonio Metabolism Study. Diabetes 66: 815–822.
Gaweł, S., Wardas, M., Niedworok, E., & Wardas, P., 2004. Dialdehyd malonowy
(MDA) jako wskaźnik procesów peroksydacji lipidów w organizmie
[Malondialdehyde (MDA) as a lipid peroxidation marker]. Wiadomosci
lekarskie (Warsaw, Poland : 1960), 57(9-10), 453–455.
Giacco F and Brownlee M. 2010. Oxidative Stress and diabetic complications. Circ
Res. 107(9): 1058–1070.
Goyal R and Jialal I. 2022. Diabetes Mellitus Type 2-NCBI Bookshelf, National
Center for Biotechnology Information. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513253/ [Accessed 2 May 2023]
Gregg, E.W., et al., 2014. Changes in Diabetes-Related Complications in The
United States, 1990-2010. N. Engl. J. Med. 370: 1514–1523.
Gregg, E.W. and Menke, A., 2018. Diabetes and Disability. In: Diabetes in
America. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases,
Bethesda 3: 1–15.
72
Halban, P.A., et al., 2014. β-cell failure in type 2 diabetes: postulated mechanisms
and prospects for prevention and treatment. J. Clin. Endocrinol. Metab. 99:
1983–1992.
Harvey Ph. D, R.A., 2011. Lippincott’s illustrated reviews: Biochemistry, 5th ed.
Wolters Kluwer Health, Philadelphia.
Heidari, F., Rabizadeh, S., Rajab, A., Heidari, F., Mouodi, M., Mirmiranpour, H.,
Esteghamati, A., & Nakhjavani, M., 2020. Advanced glycation end-products
and advanced oxidation protein products levels are correlates of duration of
type 2 diabetes. Life sciences, 260, 118422.
Hermanns-Lê, T., Scheen, A., and Piérard, G.E., 2004. Acanthosis Nigricans
Associated with Insulin Resistance: Pathophysiology and Management. Am.
J. Clin. Dermatol. 5: 199–203.
Hillier, T.A. and Pedula, K.L., 2003. Complications in Young Adults with Early-
Onset Type 2 Diabetes: Losing the Relative Protection of Youth. Diabetes
Care 26: 2999–3005.
Holesh, J.E., Aslam, S., and Martin, A., 2023. Physiology, Carbohydrates-
Statpearls-NCBI Bookshelf, National Center for Biotechnology Information.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459280/
[Accessed 3 May 2023]
Imamura, F., et al., 2015. Consumption Of Sugar Sweetened Beverages, Artificially
Sweetened Beverages, And Fruit Juice and Incidence of Type 2 Diabetes:
Systematic Review, Meta-Analysis, and Estimation of Population
Attributable Fraction. BMJ 351: h3576.
Inoguchi, T., Sonoda, N., and Maeda, Y., 2016. Bilirubin as an important
physiological modulator of oxidative stress and chronic inflammation in
metabolic syndrome and diabetes: a new aspect on old molecule. Diabetol.
Int.
International Diabetes Federation, 2021. IDF Diabetes Atlas. 10th edn. Brussels.
Available at: https://www.diabetesatlas.org.Jedlitschky.
Jo, J., Yun, J. E., Lee, H., Kimm, H., & Jee, S. H., 2011. Total, direct, and indirect
serum bilirubin concentrations and metabolic syndrome among the Korean
population. Endocrine, 39(2), 182–189.
73
Jedlitschky, G., Hoffmann, U., and Kroemer, H.K., 2006. Structure and Function
of The MRP2 (ABCC2) Protein and Its Role in Drug Disposition. Expert
Opin. Drug Metab. Toxicol. 2: 351–366.
Kalakonda A, Jenkins BA, and John S. 2022. Physiology, Bilirubin-StatPearls-
NCBI Bookshelf, National Center for Biotechnology Information. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470290/?report=classic
[Accessed 20 April 2023].
Kalofoutis, C., Piperi, C., Kalofoutis, A., Harris, F., Phoenix, D., and Singh, J.,
2007. Type II Diabetes Mellitus and Cardiovascular Risk Factors: Current
Therapeutic Approaches. Exp. Clin. Cardiol. 12: 17–28.
Kamisako, T., et al., 2000. Recent Advances in Bilirubin Metabolism Research:
The Molecular Mechanism of Hepatocyte Bilirubin Transport and Its Clinical
Relevance. J. Gastroenterol. 35: 659–664.
Kapitulnik, J., 2004. Bilirubin: An Endogenous Product of Heme Degradation with
Both Cytotoxic and Cytoprotective Properties. Mol. Pharmacol. 66: 773–779.
Kapitulnik, J., Benaim, C., and Sasson, S., 2012. Endothelial Cells Derived from
the Blood-Brain Barrier and Islets of Langerhans Differ in their Response to
the Effects of Bilirubin on Oxidative Stress Under Hyperglycemic
Conditions. Front. Pharmacol. 3: 131.
Kauffmann, H. and Garloff, H., 1961. Pro- And Antioxidants in Lipid Research II:
On Naturally Occurring Antioxidants, 1. A report. Fette Seifen Anstrichm.
Kikuchi, G., Yoshida, T., and Noguchi, M., 2005. Heme oxygenase and heme
degradation. Biochem. Biophys. Res. Commun. 338: 558–567.
Kilpatrick, E.S., Bloomgarden, Z.T., and Zimmet, P.Z., 2009. Is Haemoglobin A1c
a Step Forward for Diagnosing Diabetes? BMJ 339: b4432.
Kim, S.Y. and Park, S.C., 2012. Physiological Antioxidative Network of The
Bilirubin System in Aging and Age-Related Diseases. Front. Pharmacol. 3:
45.
King, G.L. and Loeken, M.R., 2004. Hyperglycemia-Induced Oxidative Stress in
Diabetic Complications. Histochem. Cell Biol. 122: 333–338.
Klauke, R., Kytzia, H.-J., Weber, F., Grote-Koska, D., Brand, K., and Schumann,
G., 2018. Reference Measurement Procedure for Total Bilirubin in Serum Re-
74
Pippitt, K., Li, M., and Gurgle, H.E., 2016. Diabetes Mellitus: Screening and
Diagnosis. Am. Fam. Physician 93: 103–109.
Pizzino, G., et al., 2017. Oxidative Stress: Harms and Benefits for Human Health.
Oxid. Med. Cell. Longev.
Powers, A.C., 2010. Diabetes Melitus. In: Jameson, J.L. (Ed.), Harrison’s
Endrocinology. McGraw-Hill Professional: 267–313.
Qi, X., and Tester, R.F., 2019. Fructose, Galactose and Glucose - In Health and
Disease. Clin. Nutr. ESPEN 33: 18–28.
Rajendran, P., et al., 2014. Antioxidants and human diseases. Clin. Chim. Acta.
436: 332–347.
Ramachandran, A., 2014. Know The Signs and Symptoms of Diabetes. Indian J.
Med. Res.
Rao Kondapally Seshasai, S., et al., 2011. Diabetes mellitus, fasting glucose, and
risk of cause-specific death. N. Engl. J. Med. 364: 829–841.
Rasdianah, N., Martodiharjo, S., Andayani, T.M., dan Hakim, L., 2016, Gambaran
Kepatuhan Pengobatan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia
Riskesdas, 2018. Laporan Provinsi Sumatera Utara Riskesdas 2018, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Available at:
https://dinkes.sumutprov.go.id/unduhan/downloadfile?id=1810.
Roden, M., and Shulman, G.I., 2019. The Integrative Biology of Type 2 Diabetes.
Nature 576: 51–60.
Rodwell, V.W., Bender, D.A., Botham, K.M., Kennelly, P.J., and Weil, P.A., 2020.
Biokimia Harper, 31st ed. EGC Indonesia.
Sacher, R.A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, 11th ed.
EGC, Jakarta.
Rosen, E.D., and Spiegelman, B.M., 2006. Adipocytes as Regulators of Energy
Balance and Glucose Homeostasis. Nature 444: 847–853.
Ross, R., 2003. Does Exercise Without Weight Loss Improve Insulin Sensitivity?
Diabetes Care.
Rossi, G., 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Recenti Prog.
Med. 101: 274–276.
77
Sacks, D.B., Bruns, D.E., Goldstein, D.E., Maclaren, N.K., McDonald, and J.M.,
Parrott, M., 2002. Guidelines and Recommendations for Laboratory Analysis
in The Diagnosis and Management of Diabetes Mellitus. Clin. Chem. 48:
436–472.
Sato, H. et al., 2013. Differential Cellular Localization of Antioxidant Enzymes in
The Trigeminal Ganglion. Neuroscience 248: 345–358.
Satoh, T., 2014. Molecular Mechanisms for The Regulation of Insulin-Stimulated
Glucose Uptake by Small Guanosine Triphosphatases in Skeletal Muscle and
Adipocytes. Int. J. Mol. Sci. 15: 18677–18692.
Scherer, P.E., 2019. The Many Secret Lives of Adipocytes: Implications for
Diabetes. Diabetologia 62: 223–232.
Sedlak, T.W., Saleh, M., Higginson, D.S., Paul, B.D., Juluri, K.R., and Snyder,
S.H., 2009. Bilirubin and Glutathione Have Complementary Antioxidant and
Cytoprotective Roles. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 106: 5171–5176.
Sedlak, T.W. and Snyder, S.H., 2004. Bilirubin Benefits: Cellular Protection By A
Biliverdin Reductase Antioxidant Cycle. Pediatrics 113: 1776–1782.
Selmeci, L., Seres, L., Antal, M., Lukács, J., Regöly-Mérei, A., and Acsády, G.,
2005. Advanced Oxidation Protein Products (AOPP) for Monitoring
Oxidative Stress in Critically Ill Patients: A Simple, Fast and Inexpensive
Automated Technique. Clin. Chem. Lab. Med. 43: 294–297.
Selvin, E., Wang, D., Matsushita, K., Grams, M.E., and Coresh, J., 2018. Prognostic
Implications of Single-Sample Confirmatory Testing for
Undiagnosed Diabetes: A Prospective Cohort Study. Ann. Intern. Med. 169:
156–164.
Sharifi-Rad, M. et al., 2020. Lifestyle, Oxidative Stress, and Antioxidants: Back
and Forth in the Pathophysiology of Chronic Diseases. Front. Physiol.
Shawki, H. A., Elzehery, R., Shahin, M., Abo-Hashem, E. M., & Youssef, M. M.,
2020. Evaluation of some oxidative markers in diabetes and diabetic
retinopathy. Diabetology international, 12(1).
Sinaga, M., 2020 Gambaran karakteristik Demokratif Struktur Sosial Pasien
Diabetes Melitus Di Rumah Sakit RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun
2020.
78
Venkatasamy, V.V., Pericherla, S., Manthuruthil, S., Mishra, S., and Hanno, R.,
2013. Effect of Physical Activity on Insulin Resistance, Inflammation and
Oxidative Stress in Diabetes Mellitus. J. Clin. Diagn. Res. 7: 1764–1766.
Venturini, D., Simão, A.N.C., and Dichi, I., 2015. Advanced Oxidation Protein
Products Are More Related to Metabolic Syndrome Components Than
Biomarkers of Lipid Peroxidation. Nutr. Res. 35: 759–765.
Villalpando Sánchez, D. C., Alvarez Aguilar, C., & Gómez García, A., 2017.
Advanced oxidation protein products and their relationship with
cardiovascular risk factors in young apparently healthy people. Productos
avanzados de oxidación proteica (PAOP) y su relación con los factores de
riesgo cardiovascular en jóvenes aparentemente sanos. Clinica e
investigacion en arteriosclerosis: publicacion oficial de la Sociedad
Espanola de Arteriosclerosis, 29(5), 209–215.
Vítek, L. et al., 2022. Serum Bilirubin and Markers of Oxidative Stress and
Inflammation in a Healthy Population and in Patients with Various Forms of
Atherosclerosis. Antioxidants (Basel, Switzerland), 11(11), 2118.
Vítek, L. and Ostrow, J.D., 2009. Bilirubin Chemistry and Metabolism; Harmful
and Protective Aspects. Curr. Pharm. Des. 15: 2869–2883.
Vítek, L. and Schwertner, H.A., 2007. The Heme Catabolic Pathway and Its
Protective Effects on Oxidative Stress-Mediated Diseases. Adv. Clin. Chem.
43: 1–57.
Vodret, S. et al., 2015. Albumin Administration Prevents Neurological Damage and
Death in A Mouse Model of Severe Neonatal Hyperbilirubinemia. Sci. Rep.
5: 16203.
Watchko, J.F. and Tiribelli, C., 2013. Bilirubin-Induced Neurologic Damage--
Mechanisms and Management Approaches. N. Engl. J. Med. 369: 2021–
2030.
Wei, Y., Liu, C., Lai, F. et al., 2021 Associations between serum total bilirubin,
obesity and type 2 diabetes. Diabetol. Metab. Syndr.
Weinstein, A.R. et al., 2004. Relationship Of Physical Activity vs Body Mass Index
with Type 2 Diabetes in Women. JAMA 292: 1188–1194.
80
LAMPIRAN
Lampiran 1
Dokumentasi Penelitian
Pengambilan sampel darah & serum Persiapan Reagen Bilirubin
Lampiran 2
Lembar Persetujuan Responden
(Informed Consent)
84
85
Lampiran 3
Ethical Clearance
86
Lampiran 4
Surat Izin Penelitian
87
Lampiran 5
Surat Keterangan Selesai Penelitian
90
Lampiran 6
Master Data Penelitian
91
Lampiran 7
Hasil Olah Data
Uji Normalitas
92
Lampiran 8
Daftar Riwayat Hidup