Anda di halaman 1dari 110

HUBUNGAN KADAR BILIRUBIN TOTAL SERUM

DENGAN TINGKAT STRES OKSIDATIF


PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RS PROF. DR. H. CHAIRUDDIN PANUSUNAN LUBIS
MEDAN

SKRIPSI

Oleh:
ERICK YINARTA
200100103

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
i

HUBUNGAN KADAR BILIRUBIN TOTAL SERUM DENGAN TINGKAT


STRES OKSIDATIF PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RS
PROF. DR. H. CHAIRUDDIN PANUSUNAN LUBIS MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Kelulusan


Sarjana Kedokteran (S. Ked.) di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

Oleh:
ERICK YINARTA
NIM: 200100103

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Tingkat Stres


Oksidatif pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RS Prof. dr. H.
Chairuddin Panusunan Lubis Medan
Nama : Erick Yinarta
NIM : 200100103

Skripsi ini telah disetujui dan disahkan sebagai persyaratan kelulusan untuk
Program Studi Pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

Pembimbing

dr. Hidayat, M. Biomed


NIP. 197512202003121001

Ketua Penguji Anggota Penguji

dr. Andi Raga Ginting, M.Ked(PD), Sp. PD,K-R dr. Cindy Chias Arthy, M.Ked(KJ) Sp. KJ
NIP. 198605212017041001 NIP. 198808152018052001

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Kedokteran


Pendidikan dan Profesi Dokter

Prof. Dr. dr. Rina Amelia, MARS, Sp. KKLP Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S(K)
NIP. 197604202003122002 NIP. 196605241992031002
iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya menyatakan dengan ini bahwa Skripsi saya yang berjudul “Hubungan Kadar
Bilirubin Total Serum dengan Tingkat Stres Oksidatif pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Rumah Sakit Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan” beserta
seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan
penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika
keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya
siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian
ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau
klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Desember 2023

Erick Yinarta
iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan karunia-Nya, penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Hubungan
Kadar Bilirubin Total Serum dengan Tingkat Stres Oksidatif pada Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan” yang juga
menjadi salah satu syarat kelulusan pada program studi Pendidikan Dokter di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dapat selesai dengan baik.
Tentunya penulis sadar bahwa ada banyak pihak yang berkontribusi dalam
pelaksanaan penelitian ini, tanpa bantuan dan masukan dari pihak-pihak tersebut,
tidak mungkin bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Sehingga penulis
ingin menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih yang luar biasa kepada:

1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan FK USU,
Dr. dr. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K), Subsp.U.R.L.(K), selaku WD I FK
USU, Dr. dr. Muara Panusunan Lubis, M.Ked(OG), Sp.OG(K), selaku WD II
FK USU, & dr. Inke Diniyanti Lubis, M.Ked(Ped), Sp.A(K) Ph.D., selaku WD
III FK USU.
2. dr. Hidayat, M. Biomed, Dosen Pembimbing Penelitian yang telah
membimbing penulis sehingga tulisan ini dapat selesai, dan telah menyediakan
berbagai keperluan yang terkait dengan penelitian ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan lebih mudah dan hemat, terima kasih atas
segala bantuan dan kebaikan yang telah Dokter berikan.
3. Departemen Biokimia FK USU beserta Laborannya, Kakanda Shafira Mahrani
yang telah mengizinkan dan memfasilitasi peneliti untuk melakukan penelitian
di Laboratorium Biokimia FK USU
4. Rumah Sakit Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan, terutama
kepada instalasi laboratorium rawat jalan, yang dipimpin oleh Dr. dr. Jelita
Siregar M.Ked(ClinPath), Sp.PK(K), beserta staf-stafnya, yaitu Kakanda
Kholida Putri Warni Dasopang, Kakanda Dian Pratita, Kakanda Esti Rahma
Dani, & Abangda Arif Pradana yang telah mengizinkan dan membantu
pengambilan sampel darah pasien dalam penelitian ini
v

5. dr. Andi Raga Ginting, M.Ked(PD), Sp.PD, K-R selaku Ketua Penguji
& dr. Cindy Chias Arthy, M.Ked(KJ), Sp.KJ selaku dosen Anggota Penguji,
atas masukan-masukan berharganya, sehingga tulisan ini dapat menjadi lebih
baik lagi
6. dr. Aridamuriany Dwiputri Lubis M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku Dosen
Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama pre-klinik.
7. dr. M. Irfan Lubis M.Ked(PD), Sp.PD, selaku Dokter Pengawas Penelitian
yang telah mengawasi perkembangan penelitian ini dari awal hingga selesai.
8. Ibu dan alm. Ayah penulis, yang telah mengasuh dan mendidik penulis dari
kecil hingga saat ini, dan telah membiayai seluruh pendidikan penulis,
termasuk penelitian ini, terima kasih atas semua semangat, harapan, dan doa
yang telah diberikan, oleh orang tua maupun kakak dan adik penulis.
9. Kakanda Grace Akwila, Abangda Kevin Ardinata, Abangda Muliawan, dan
Kakanda Felicia Jesslyn yang sudah memberikan banyak masukan dan
pengalaman yang berharga bagi penulis, serta Kakanda Tantri Thahirah
Pasaribu yang telah mengizinkan skripsinya untuk dijadikan referensi.
10. Serta tidak melupakan teman-teman penulis yang telah sangat membantu baik
dalam proses pengerjaan skripsi maupun selama pendidikan pre-klinik,
terutama Winny Chandra yang telah membantu pengerjaan sampel darah, serta
Billy Chandra, Jesselyn Tanoto, Johnson Kannady, dan Alvina Putri Tjan yang
telah membantu dalam banyak hal, serta pastinya, seluruh Keluarga Besar
Motion in Dhamma FK USU, yang telah menjadi rumah saya selama ini.

Penulis juga sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, dan masih
banyak hal yang dapat diperbaiki dan diteliti lagi, meskipun demikian, penelitian
ini merupakaan suatu pengalaman berharga bagi penulis. Akhir kata, mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata maupun perbuatan, semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan 20 November, 2023

Penulis
vi

ABSTRAK

Latar Belakang Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu gangguan metabolik


kronis yang terkait dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan fungsi
insulin, yang dapat menyebabkan kerusakan dan disfungsi multi-organ.
Patofisiologi DM tipe 2 terkait erat dengan pembentukan reactive oxygen species,
yang menyebabkan peningkatan stres oksidatif, yang berperan sangat besar dalam
progresivitas penyakit dan komplikasi pada DM tipe 2, dengan cara merusak
protein penyusun sel. Bilirubin yang selama ini dianggap sebagai zat sisa
metabolisme heme, menurut beberapa penelitian, memiliki hubungan yang
bertolakbelakang dengan kejadian komplikasi pada DM tipe 2, yang kemungkinan
besar disebabkan oleh efek antioksidannya, sehingga potensi bilirubin dalam
menekan tingkat stres oksidatif menarik untuk dikaji lebih dalam. Tujuan
Mengetahui hubungan kadar bilirubin total serum dengan tingkat stres oksidatif
pada pasien DM tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan.
Metode Studi cross-sectional dilakukan pada 73 pasien DM tipe 2 yang melakukan
pemeriksaan glukosa darah di laboratorium rawat jalan RS Prof. dr. H. Chairuddin
Panusunan Lubis Medan dengan Teknik purposive sampling. Darah pasien
kemudian diambil, dan dilakukan analisa spektrofotometri untuk mengukur kadar
bilirubin total serum dan advanced oxidation protein products. Lalu dilakukan uji
statistik Spearman’s rank correlation coefficient untuk menentukan korelasi serta
arah dan kekuatannya. Hasil Uji statistik Spearman’s rank correlation coefficient
menunjukkan hasil ρ = -0,279 dengan p<0,05 Kesimpulan Terdapat hubungan
signifikan yang bersifat monotonik dan negatif antara kadar bilirubin total serum
dengan tingkat stres oksidatif pada pasien DM tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin
Panusunan Lubis Medan.
Kata kunci: Diabetes Melitus Tipe 2, Bilirubin total serum, Stres Oksidatif
vii

ABSTRACT

Background Type 2 Diabetes Melitus is a chronic metabolic disorder that is


associated with hyperglycemia due to interference of insulin function, that could
cause multi-organ damage and dysfunction. Formation of Reactive Oxygen Species
is an integral component of the pathophysiology of T2DM, due to its ability to cause
oxidative stress, that plays a pivotal role in the progression and complications of
T2DM, by damaging the protein component of cells. Bilirubin which is commonly
acknowledged as a by-products of heme metabolism, exhibits an inverse
relationship with T2DM complications, that is hypothesized due to its antioxidant
capability. Therefore, the potential ability of bilirubin to suppress oxidative stress
is intriguing to be investigated. Objectives to determine whether there is an
association between the levels of total serum bilirubin with the degree of oxidative
stress in T2DM patients at Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Hospital in
Medan. Methods A cross-sectional study is conducted on 73 T2DM patients at
Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Hospital in Medan with purposive
sampling technique. Blood of the patients were then collected, and
spectrophotometry analysis was then carried out to measure the level of total serum
bilirubin and advanced oxidation protein products. Spearman’s rank correlation
coefficient was performed to analyze the significance, power and direction of the
correlation between the two variables. Results The spearman’s rank correlation
coefficient resulted in ρ = -0,279 with p value of p<0,05. Conclusion. There was a
significant negative monotonic relationship between the levels of serum total
bilirubin with the degree of oxidative stress in T2DM patients at Prof. dr. H.
Chairuddin Panusunan Lubis Hospital in Medan.
Keywords: Type 2 Diabetes Melitus, Total serum bilirubin, Oxidative stress
viii

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................. 5
1.3.1. Tujuan Umum ........................................................................... 5
1.3.2. Tujuan Khusus .......................................................................... 5
1.4. Manfaat penelitian ........................................................................... 5
1.4.1. Bagi Peneliti ............................................................................... 5
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan ......................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7
2.1. Kajian Pustaka ................................................................................. 7
2.1.1. Definisi Bilirubin ....................................................................... 7
2.1.2. Metabolisme Bilirubin .............................................................. 8
2.1.3. Pemeriksaan Bilirubin............................................................ 12
2.1.4. Aktivitas Antioksidan Bilirubin ............................................ 13
2.1.5. Definisi Diabetes Melitus Tipe 2 ............................................ 15
2.1.6. Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 ................................... 18
2.1.7. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2 ..................................... 20
2.1.8. Diagnosis Diabetes Melitus tipe 2 .......................................... 27
2.1.9. Komplikasi Kronis Diabetes Melitus tipe 2 .......................... 33
2.1.10. Definisi dan Patofisiologi Stres Oksidatif ............................. 36
2.1.11. Pengukuran Tingkat Stres Oksidatif .................................... 38
2.1.12. Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Tingkat
Stres Oksidatif pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 ........... 40
ix

2.2. Kerangka Teori .............................................................................. 43


BAB 3 KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN, DEFINISI
OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS ................................................................ 44
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ........................................................ 44
3.2. Variabel Penelitian ........................................................................ 44
3.2.1. Variabel Independen .............................................................. 44
3.2.2. Variabel Dependen ................................................................. 44
3.3. Definisi Operasional ...................................................................... 44
3.4. Hipotesis .......................................................................................... 45
BAB 4 METODE PENELITIAN ....................................................................... 46
4.1. Desain Penelitian ............................................................................ 46
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 46
4.2.1. Waktu Penelitian .................................................................... 46
4.2.2. Tempat Penelitian ................................................................... 46
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian.................................................... 46
4.3.1. Kriteria Inklusi ....................................................................... 46
4.3.2. Kriteria Eksklusi ..................................................................... 46
4.4. Estimasi Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel......... 47
4.4.1. Besar Sampel ........................................................................... 47
4.4.2. Teknik Pengambilan Sampel ................................................. 47
4.5. Metode dan Alat Pengumpul Data ............................................... 48
4.5.1. Pemeriksaan Glukosa darah .................................................. 48
4.5.2. Pemeriksaan Bilirubin Total Serum ..................................... 49
4.5.3. Pemeriksaan Tingkat Stres Oksidatif ................................... 51
4.6. Aspek Pengukuran Penelitian....................................................... 52
4.7. Alur Penelitian ............................................................................... 53
4.8. Aspek Etik Penelitian .................................................................... 54
4.9. Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 54
4.10. Jadwal dan Biaya Penelitian ......................................................... 55
4.10.1. Jadwal Penelitian .................................................................... 55
4.10.2. Biaya Penelitian ...................................................................... 56
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 57
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian........................................................... 57
5.2. Deskripsi Sampel Penelitian ......................................................... 57
x

5.3. Deskripsi Hubungan Bilirubin Total Serum dengan Glukosa


arah ................................................................................................. 59
5.4. Deskripsi Hubungan Glukosa darah dengan Tingkat Stres
Oksidatif ......................................................................................... 60
5.5. Deskripsi hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan
Tingkat Stres Oksidatif ................................................................. 61
5.6. Pembahasan.................................................................................... 62
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 66
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 66
6.2. Saran ............................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 68
LAMPIRAN
xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Bilirubin Indirek dan Direk 6

Tabel 2.2. Penyebab Spesifik Lain Diabetes Melitus 14


Tabel 2.3. Gen-gen yang Meningkatkan Risiko DM tipe 2 16
Tabel 2.4. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus 27
Tabel 3.1. Definisi Operasional 42
Tabel 4.1. Komposisi Tabung Reaksi Pemeriksaan Bilirubin Total 47
Serum
Tabel 4.2. Komposisi Tabung Reaksi Pemeriksaan AOPP 49
Tabel 4.3. Jadwal Penelitian 53
Tabel 4.4. Biaya Penelitian 54
Tabel 5.1. Karakteristik Sampel Penelitian 58
Tabel 5.2. Korelasi Kadar Bilirubin Total Serum dengan Kadar 59
Glukosa Darah Puasa
Tabel 5.3. Korelasi Kadar Glukosa Darah Puasa dengan Kadar AOPP 60
Tabel 5.4. Korelasi Kadar Bilirubin Total Serum dengan Kadar 61
AOPP
xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pembentukan Bilirubin dari Heme & Konversinya 9


Menjadi Bilirubin Diglukoronida
Gambar 2.2. Skema Metabolisme Bilirubin 10
Gambar 2.3. Aktivitas antioksidan dalam siklus metabolisme bilirubin 12
Gambar 2.4. Faktor Risiko yang Terkait dengan DM Tipe 2 18
Gambar 2.5. Perbandingan Efek Insulin Pada Jaringan Adiposa Sehat 21
dan Hipertrofi
Gambar 2.6. Skema Mekanisme Kerja Insulin 22
Gambar 2.7. Mekanisme Disfungsi Sel Beta Pankreas dan Resistensi 25
Insulin
Gambar 2.8. Patofisiologi DM Tipe 2 25
Gambar 2.9. Manifestasi Klinis DM tipe 2 26
Gambar 2.10. Kerangka Teori Penelitian 41
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 42
Gambar 4.1. Alur Penelitian 51
Gambar 5.1. Gambaran Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan 59
Kadar Glukosa Darah pada sampel penelitian
Gambar 5.2. Gambaran Hubungan Kadar Glukosa Darah dengan Kadar 60
Advanced Oxidation Protein Products pada sampel
penelitian
Gambar 5.3. Gambaran Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan 61
Kadar Advanced Oxidation Protein Products
xiii

DAFTAR SINGKATAN

•OH : Hidroksil
1
O2 : Oksigen singlet
ABCC8 : ATP binding cassette subfamily C member 8
ADA : American Diabetes Association
AGEs : Advanced Glycation End Products
AKT : Serine/Threonine Kinase (Protein Kinase B)
AOPP : Advanced Oxidation Protein Products
APGPAT2 : 1-acyl-sn-glycerol-3-phosphate acyltransferase beta
ARAP1 : Arf-GAP with Rho-GAP domain, Ankyrin repeat, and PH domain-
Containing Protein 1
AS160 : Akt substrate of 160 kDa
BSCL : Berardinelli-Seip Congenital Lipodystrophy
CDKAL1 : Cyclin-dependent kinase 5 regulatory subunit-associated protein 1
CDKN2A : Cyclin-dependent kinase inhibitor 2A
CDKN2B : Cyclin-dependent kinase inhibitor 2B
CGL : Congenital generalized lipodystrophy
CH3COOH : Acetic acid
CO : Carbon Monoxide
CRP : C-Reactive Protein
CSF : Cerebrospinal Fluid
DAG : Diacylglycerol
DCCT : Diabetes Control and Complications Trial
DEND : Developmental delay, epilepsy, and neonatal diabetes
DM : Diabetes Melitus
EIF2AK3 : Eukaryotic translation initiation factor 2 alpha kinase 3
FOXO1 : Forkhead box protein O1
FOXP3 : Forkhead box protein P3
FPLD : Familial partial lipodystrophy
G6pc : Glucose-6-Phospatase
GCK : Glucokinase
xiv

GCKR : Glucokinase regulatory protein


GLUT2 : Glucose Transporter 2
GLUT4 : Glucose Transporter 4
GS : Gilbert Syndrome
GSK3β : Glycogen synthase kinase 3 beta
H2O2 : Hidrogen Peroksida
HbA1C : Hemoglobin A1C
HHEX/IDE : Hematopoietically expressed homeobox/insulin-degrading enzyme
HMOX : Heme Oxigenase
HNF1A : Hepatocyte nuclear factor 1 alpha
HNF1B : Hepatocyte nuclear factor 1 beta
HNF4A : Hepatocyte nuclear factor 4 alpha
IDF : International Diabetes Federation
IL-1β : Interleukin-1 beta
IL-6 : Interleukin-6
IMT : Indeks Massa Tubuh
INSR : Insulin Receptor
IPEX : Immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked
IRs : Insulin Receptor Substrates
KGD : Kadar Gula Darah
KI : Kalium Iodida
KLF14 : Krüppel-like factor 14
KNCJ11 : Potassium inwardly-rectifying channel, subfamily J, member 11
LDL : Low Density Lipoprotein
LMNA : Lamin A/C
MDA : Malondialdehyde
MIDD : Maternally inherited diabetes and deafness
MODY : Maturity-Onset Diabetes of the Young
MPO : Myeloperoxidase
MRP2 : Multidrug resistance-associated protein 2
MtDNA : Mitochondrial DNA
MTNR1B : Melatonin receptor 1B
xv

mTORC2 : mammalian target of rapamycin complex 2


NADPH : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
NGSP : National Glycohemoglobin Standardization Program
NHANES : National Health and Nutrition Examination Survey
NO : Nitric Oxide
NOX : NADPH Oxidase
O2•− : Anion superoksida
OGTT : Oral Glucose Toleance Test
P13K : Phosphatidylinositol 3-kinase
PBS : Phosphate-buffer Saline
Pck1 : Phosphoenolpyruvate carboxykinase 1
PDK1 : Phosphoinositide-dependent kinase-1
PIP2 : Phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate
PIP3 : Phosphatidylinositol 3,4,5-trisphosphate
PKC : Protein kinase C
PNDM : Permanent neonatal diabetes mellitus
PPARG : Peroxisome proliferator-activated receptor gamma
RAGE : Receptor for advanced glycation end products
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
ROS : Reactive Oxygen Species
SLC30A8 : Solute carrier family 30 member 8
TCF7L2 : Transcription factor 7-like 2
TGF- β : Transforming growth factor beta
TNDM : Transient neonatal diabetes mellitus
TNF : Tumor necrosis factor
UDP : Uridine diphosphate
UGT1A1 : UDP glucuronosyltransferase 1 family, polypeptide A1
UPR : Unfolded protein response
VEGF : Vascular endothelial growth factor
WFS1 : Wolfram-Syndrome 1
WHO : World Health Organization
XO : Xanthine Oxidase
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Dokumentasi 81
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden 83
Lampiran 3 Ethical Clearance 85
Lampiran 4 Surat Izin Penelitian 86
Lampiran 5 Surat Keterangan Selesai Penelitian 89
Lampiran 6 Master Data Penelitian 90
Lampiran 7 Hasil Olah Data 91
Lampiran 8 Daftar Riwayat Hidup 92
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan suatu gangguan metabolik kronis, yang banyak


dialami oleh seluruh penduduk dunia. Diabetes melitus ditandai dengan adanya
hiperglikemia yang disebabkan oleh resistensi atau pun defisiensi insulin dengan
berbagai derajat keparahan. Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan kerusakan,
disfungsi, bahkan kegagalan multi organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah (American Diabetes Association, 2014).
Menurut penelitian Seshasai et al., (2011) adanya keadaan diabetes melitus
meningkatkan risiko mortalitas dari penyakit vaskular dan non-vaskular seperti
kanker, penyakit infeksius, penyakit degeneratif, dan penyebab lainnya, mortalitas
tersebut juga terkait secara langsung dengan glukosa darah puasa dengan nilai ≥
100 mg/dL. Penderita diabetes melitus juga memiliki 50%-90% risiko lebih tinggi
untuk mengalami disabilitas baik kehilangan mobilitas, pengurangan kemampuan
beraktivitas harian, dan disabilitas kerja (Gregg dan Menke, 2018)
Diabetes melitus telah menjadi suatu masalah kesehatan yang serius di
seluruh dunia. Menurut International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021,
sebanyak 536,6 Juta (10,5 %) penduduk dunia yang berusia 20-79 tahun mengalami
penyakit diabetes melitus, dengan kematian yang disebabkan oleh diabetes dan
komplikasinya menyentuh angka 6,7 juta jiwa.
Region Asia Tenggara sendiri berada di peringkat ke-3 kawasan dengan
jumlah penderita diabetes usia dewasa (20-79 tahun) tertinggi yaitu 90,2 juta jiwa,
dengan prevalensi 8,7% (International Diabetes Federation, 2021)
Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara, dan ke-5 di dunia
untuk negara dengan jumlah penderita diabetes usia dewasa (20-79 tahun) tertinggi
yaitu sebanyak 19,5 juta penderita dan diproyeksikan pada tahun 2045 angkanya
akan mencapai 28,6 juta penderita (International Diabetes Federation, 2021) Di
Provinsi Sumatera Utara sendiri, pada tahun 2018, terdapat 45.972 orang penderita
diabetes melitus usia ≥15 tahun (Riskesdas, 2018).
2

Dengan tingginya angka tersebut, beban penyakit diabetes melitus terhadap


ekonomi juga sangatlah berat, biaya yang telah dihabiskan untuk menangani pasien
diabetes baik dari dana pribadi, asuransi, atau pun pemerintah di seluruh dunia telah
mencapai angka 966 miliar dolar Amerika. (International Diabetes Federation,
2021).
Diabetes melitus secara konsisten terkait dengan meningkatnya pembentukan
advanced glycation end products (AGEs), yang menjadi salah satu sumber dari
spesies oksigen reaktif (Nowotny et al., 2015), sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan stres oksidatif (Yamagishi et al., 2011). Produksi dari molekul
pengoksidasi yang berlebihan menyebabkan kehilangan sel beta pankreas secara
progresif, sehingga menyebabkan penurunan kadar insulin (Soares et al., 2005),
penurunan kadar insulin merupakan salah satu faktor pencetus penyakit Diabetes
melitus (American Diabetes Association, 2014).
Stres oksidatif juga memegang peran yang cukup besar dalam terjadinya
komplikasi dari diabetes melitus, baik itu komplikasi mikrovaskular maupun
makrovaskular, melalui jalur-jalur metabolik tertentu yang disebabkan oleh
hiperglikemia kronis, seperti, peningkatan produksi AGEs, aktivasi protein kinase
C, dan gangguan jalur poliol (Giacco dan Brownlee, 2010). Jalur-jalur tersebut
berkaitan erat dengan terjadinya peningkatan dari kadar spesies oksigen reaktif
(ROS) dan penurunan dari kadar antioksidan yang pada akhirnya akan
menyebabkan stres oksidatif. Di lain sisi, kadar ROS yang tinggi juga
meningkatkan laju dari jalur-jalur tersebut sehingga mengakselerasi progresivitas
dari komplikasi DM. Hal tersebut mengindikasikan adanya keterkaitan yang saling
mempengaruhi antara stres oksidatif dengan keparahan dari komplikasi DM
(Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).
Stres oksidatif juga dapat memperparah komplikasi dari DM melalui
serangkaian proses yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada sel, sehingga
terjadi disfungsi sel. Salah satunya adalah melalui kerusakan struktur protein sel
akibat stres oksidatif, yang disebabkan oleh terjadinya reaksi antara beberapa jenis
molekul protein penyusun sel dengan suatu ROS sehingga terbentuk Advanced
Oxidation Protein Products (AOPP) atau pun dengan molekul glukosa sehingga
membentuk AGEs (Pizzino et al., 2017). Di mana kadar dari kedua produk hasil
3

agregasi lintas produk tersebut dapat digunakan sebagai suatu metode pengukuran
tingkat stress oksidatif (Venturini, Simão, dan Dichi, 2015), sebagaimana telah
diusulkan oleh Witko-Sarsat et al. pada tahun 1996, yang berhasil menemukan
metode pemeriksaan tingkat stres oksidatif dengan mengukur kadar dari AOPP di
dalam darah pasien yang mengalami uremia.
Selama ini bilirubin dikenal sebagai zat sisa katabolisme heme pada
sirkulasi sistemik, dan walaupun untuk waktu yang cukup lama bilirubin diyakini
sebagai metabolit toksik dari katabolisme heme, penelitian dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan bahwa bilirubin memiliki beberapa efek yang bermanfaat
bagi tubuh manusia, termasuk menangkap dan membuang spesies oksigen reaktif
yang dihasilkan secara berlebihan, efek anti inflamasi, dan pengaruh langsung
terhadap pensinyalan sel (Vítek dan Schwertner, 2007).
Bilirubin total serum selama ini bermanfaat secara klinis untuk menilai
fungsi dari hepar, namun potensi aktivitas anti oksidasi bilirubin juga dapat
dimanfaatkan. Bilirubin dapat mengurangi stres oksidatif (Duman dan Özyurt,
2018), terutama pada membran sel hidrofobik, bilirubin memiliki efek yang lebih
baik dalam menjaga stabilitas membran protein dibandingkan dengan glutation
(Zhong et al., 2019).
Bilirubin juga telah teruji mampu mencegah oksidasi LDL 30 kali lebih baik
dibandingkan analog vitamin E, trolox, selain itu bilirubin juga berkontribusi besar
terhadap kapasitas antioksidan plasma darah, dan memiliki efek anti inflamasi
(Vítek dan Schwertner, 2007).
Bahkan bilirubin juga terbukti dapat mencegah kerusakan sel beta pankreas
yang dipicu oleh stres oksidatif pada keadaan hiperglikemia (Kapitulnik, Benaim,
dan Sasson, 2012). Hal tersebut mengindikasikan potensi kemampuan antioksidan
bilirubin yang cukup poten (Kapitulnik, 2004). Meskipun kadar bilirubin yang
terlalu tinggi dapat bersifat neurotoksik (Watchko dan Tiribelli, 2013), banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang berkebalikan antara kadar
bilirubin serum dengan kejadian komplikasi DM.
Menurut penelitian oleh Ohnaka et al., (2010) bilirubin memiliki efek yang
berlawanan terhadap kadar protein c-reaktif, HbA1C, dan kejadian diabetes melitus
tipe 2 pada subjek yang berusia 50 tahun ke atas. Pada penelitian cross-sectional
4

yang dilakukan pada lebih dari 3.000 subjek, subjek dengan kadar bilirubin yang
tinggi memiliki prevalensi retinopati diabetes empat kali lebih rendah dibandingkan
subjek dengan kadar bilirubin rendah (Yasuda et al., 2011). Menurut National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada 16.000 subjek,
ditemukan bahwa subjek dengan kadar bilirubin di atas 10μmol/L memiliki 20%
risiko yang lebih sedikit untuk mengalami diabetes dibandingkan subjek yang
memiliki kadar bilirubin di bawah nilai cut-off tersebut (Cheriyath et al., 2010).
Bilirubin yang menurut banyak penelitian memiliki kemampuan
antioksidan yang poten, memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan
sebagai faktor prediktor, preventif, bahkan teurapetik terhadap komplikasi akibat
penyakit diabetes melitus yang cukup berkaitan erat dengan adanya stres oksidatif.

Meskipun terdapat beberapa penelitian dari luar negeri yang telah meneliti
potensi dari pemanfaatan bilirubin pada penyakit diabetes melitus, namun penulis
belum dapat menemukan penelitian serupa di Indonesia, terlebih di Sumatera Utara,
sehingga penulis pun tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan
Kadar Bilirubin Total dengan Tingkat Stres Oksidatif pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan”.
5

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan Latar belakang yang telah disampaikan penulis, maka penulis
merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Apakah terdapat
hubungan antara kadar bilirubin total serum dengan tingkat stres oksidatif
pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan
Lubis Medan?”
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
kadar bilirubin total serum dengan tingkat stress oksidatif pada
pasien diabetes melitus tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin
Panusunan Lubis Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun, tujuan khusus dari peneltian ini adalah :
1. Mengetahui gambaran karakteristik pasien DM tipe 2 yang
menjadi responden
2. Mengetahui gambaran kadar bilirubin total serum pada
responden
3. Mengetahui gambaran kadar glukosa darah pada responden
4. Mengetahui gambaran tingkat stress oksidatif pada responden
5. Mengetahui hubungan antara kadar bilirubin total serum dengan
kadar glukosa darah pada responden
6. Mengetahui hubungan antara kadar glukosa darah terhadap
tingkat stress oksidatif pada responden
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Bagi Peneliti
a. Meningkatkan pengetahuan peneliti terhadap potensi korelasi
bilirubin dengan tingkat stress oksidatif pada diabetes melitus.
b. Menambah dan mengembangkan kemampuan peneliti dalam
berpikir kritis, dan mengoperasikan alat-alat laboratorium.
6

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan


a. Penelitian ini diharapkan dapat membuka sudut pandang, serta
menjadi referensi dan sumber data, bagi peneliti selanjutnya
yang tertarik untuk mengembangkan penelitian ini, terutama
mengenai pemanfaatan bilirubin sebagai faktor prediktor,
preventif, dan teurapetik bagi penyakit diabetes melitus.
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka


2.1.1. Definisi Bilirubin
Bilirubin adalah asam tetrapirol dikarboksilik yang terkonjugasi, dan
merupakan pigmen utama bagi empedu, bilirubin merupakan produk akhir
dari katabolisme heme, sebagian besar (80%) bilirubin yang bersirkulasi
berasal dari sel darah merah yang telah usang (McGeary et al., 2003)., selain
itu (20%) bilirubin juga dapat berasal dari sel eritroid yang hancur secara
prematur di dalam sumsum tulang akibat eritropoiesis yang tidak efektif
(Franchini, Targher, dan Lippi, 2010), serta dari degradasi protein-protein
pada jaringan lain yang mengandung heme seperti myoglobin, sitokrom,
katalase, peroksidase, dan triptofan pirolase (Kalakonda, Jenkins, dan John,
2022).
Pada masa hidup sel darah merah yang normal, heme terlepas dari
hemoglobin lalu oleh enzim heme oksigenase diubah menjadi biliverdin
(pigmen hijau) yang akhirnya direduksi oleh enzim biliverdin reduktase
menghasilkan bilirubin (pigmen kuning) (McGeary et al., 2003). Bilirubin
dan metabolitnya, seperti urobilin dan sterkobilin, juga memberikan warna
khas pada feses dan urin (Kalakonda, Jenkins, dan John, 2022).
Bilirubin dapat dikelompokan menjadi 2 jenis, yaitu, bilirubin tak
terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi, dan gabungan dari keduanya
disebut sebagai bilirubin total (Ngashangva, Bachu, dan Goswami, 2018).
Bilirubin terkonjugasi atau biasa disebut juga sebagai bilirubin direk,
disebut demikian karena bilirubin terkonjugasi bereaksi secara cepat atau
langsung dengan reagen pada saat dilakukan pemeriksaan spektrofotometri
karena sifatnya yang larut dalam air (Ferrier dan Harvey, 2014), merupakan
bilirubin yang sudah tidak berikatan dengan albumin, bilirubin direk ini
dikonjugasikan dengan molekul asam glukoronat di dalam hepar oleh enzim
UDP-glukoronosiltransferase (UGT1A1) membentuk bilirubin
8

monoglukoronida yang kemudian menjadi bilirubin diglukoronida (Vítek


dan Schwertner, 2007; Vítek dan Ostrow, 2009).
Bilirubin tak terkonjugasi atau biasa disebut juga sebagai bilirubin
indirek dikarenakan sifatnya yang tidak langsung bereaksi dengan reagen
pada pemeriksaan spektrofotometri karena sifatnya yang hidrofobik,
sehingga untuk mengukur kadar bilirubin indirek, perlu dilakukan
penghitungan selisih antara bilirubin total dengan bilirubin direk (Ferrier
dan Harvey, 2014). Bilirubin indirek merupakan bilirubin yang masih
berikatan dengan albumin, bilirubin indirek ini terbentuk dari reduksi
biliverdin di dalam sistem retikuloendotelial pada proses pemecahan heme
(Vítek dan Schwertner, 2007). Karena sifatnya yang berikatan dengan
albumin, bilirubin indirek tidak dapat keluar dari ruang intravaskuler,
albumin kemungkinan besar berperan dalam transport bilirubin indirek
menuju hepar (Vodret et al., 2015)
Berdasarkan sifatnya, Bilirubin indirek dan direk memiliki perbedaan
satu sama lain yang tercantum dalam tabel 2.1. berikut ini

Tabel 2.1. Perbedaan Bilirubin Indirek dan Direk


(Sacher dan McPherson, 2004)
Bilirubin Indirek Bilirubin Direk
Larut dalam alkohol Tidak larut dalam alkohol
Terikat dengan albumin Tidak terikat dengan albumin
Tidak dijumpai dalam urin Dapat dijumpai dalam urin
Tidak dapat difiltrasi glomerulus Dapat difiltrasi glomerulus
Sulit bereaksi dengan reagen Langsung bereaksi dengan reagen
asam sulfanilat terdiazotasi asam sulfanilat terdiazotasi

2.1.2. Metabolisme Bilirubin


a. Pembentukan Bilirubin Indirek
Pembentukan Bilirubin terkait erat dengan katabolisme heme, proses
tersebut diawali dengan pemecahan heme yang berasal dari sel darah merah,
sel darah merah yang telah berada di dalam sirkulasi selama sekitar 120 hari
akan mengalami degradasi oleh sistem retikuloendotelial di hepar dan limpa
9

(Ferrier dan Harvey, 2014). Heme yang tersusun oleh suatu cincin porfirin,
yaitu, Protoporfirin IX dan ion Fe2+ akan mengalami pemecahan di dalam
makrofag yang dikatalisis dengan enzim heme oksigenase (HMOX) (Dosch,
Imagawa, dan Justric, 2019), dengan adanya Nikotinamid adenin
dinukleotid fosfat (NADPH) dan Oksigen (O2), HMOX mengkatalisasi tiga
kali oksigenasi secara berturut-turut yang menyebabkan terbukanya cincin
porfirin sehingga melepaskan ion-ion Fe2+ dan membentuk rantai
tetrapirolik (Bellarosa dan Tiribelli, 2012) atau dengan kata lain mengubah
bentuk heme siklik untuk menghasilkan biliverdin yang berbentuk linier
(Ferrier dan Harvey, 2014), serta membentuk karbon monoksida (CO) yang
jumlahnya ekuimolar (Kikuchi, Yoshida, dan Noguchi, 2005; Kalakonda,
Jenkins, dan John, 2022).
Ion-ion Fe2+ yang dilepaskan kemudian akan didaur ulang untuk
membentuk heme yang baru, CO akan berfungsi sebagai molekul
pensinyalan lokal (Van dijk et al., 2017) serta memiliki efek anti inflamasi
(Ferrier dan Harvey, 2014). Biliverdin yang dihasilkan pun selanjutnya akan
mengalami reduksi yang dikatalisis oleh enzim bilirubin reduktase yang
dependen terhadap NADPH, menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi atau
indirek, apabila bilirubin yang telah terbentuk terpapar oleh agen oksidatif
maka, dapat terjadi reaksi redoks yang melibatkan enzim bilirubin reduktase
yang akhirnya mengubah bilirubin kembali menjadi biliverdin (Martelanc
et al., 2016).
b. Pembentukan Bilirubin Direk
Bilirubin indirek yang telah terbentuk melalui pemecahan heme akan
dibawa menuju hepar dengan cara berikatan secara non-kovalen dengan
albumin, setelah sampai di hepar, bilirubin akan terlepas dari molekul
albumin yang membawanya, kemudian memasuki sel hepatosit melalui
difusi difasilitasi, lalu berikatan dengan protein intrasel, terutama dengan
protein ligandin (Ferrier dan Harvey, 2014).
Di dalam sel hepatosit, terjadi peningkatan kelarutan bilirubin yang telah
lepas dari albumin melalui proses yang disebut dengan konjugasi, sejalan
dengan penambahan dua molekul asam glukoronat, sehingga menghasilkan
10

bilirubin diglukoronida atau bisa disebut juga sebagai bilirubin


terkonjugasi/direk (Vítek dan Schwertner, 2007; Vítek dan Ostrow, 2009),
reaksi pembentukan bilirubin direk tersebut dikatalisis oleh UDP-
glukoronosiltransferase, dengan menggunakan UDP asam glukoronat
sebagai penyumbang glukoronat (Ferrier dan Harvey, 2014),
Proses konjugasi bilirubin memiliki tujuan utama untuk detoksifikasi
serta eliminasi bilirubin dari dalam tubuh (Kamisako et al., 2000), karena
proses konjugasi ini akan menyebabkan perubahan sifat fisiokimia bilirubin
yang memberinya beberapa sifat khusus, yang paling utama adalah
membuat molekul bilirubin menjadi hidrofilik sehingga dapat ditranspor
menuju kantung empedu tanpa bantuan protein pembawa. Prosen konjugasi
juga meningkatkan ukuran molekul bilirubin, sehingga akibat sifatnya yang
hidrofilik dan ukuran molekul yang besar, bilirubin tidak dapat diserap
kembali oleh mukosa usus halus (Kalakonda, Jenkins, dan John, 2022),
peningkatan kelarutan dari bilirubin juga mengurangi kemampuan bilirubin
untuk berdifusi melewati sawar darah otak (Singh, Koritala, dan Jialal,
2023).
Bilirubin terkonjugasi tersebut selanjutnya akan secara aktif dipindahkan
melawan gradien konsentrasi menuju kanalikuli biliaris lalu menuju
kantung empedu (Ferrier dan Harvey, 2014) dan kemudian akan merembes
masuk ke dalam usus halus (Kalakonda, Jenkins, dan John, 2022) dengan
bantuan multidrug resistance-associated protein 2 (MRP2) yang memompa
bilirubin terkonjugasi tersebut (Jedlitschky, Hoffmann, dan Kroemer,
2006).
c. Pembentukan Urobilin
Bilirubin direk tidak akan mengalami metabolisme apapun di usus halus
proksimal, namun ketika mencapai ileum distal dan kolon, bilirubin direk
akan mengalami reduksi dan hidrolisis secara cepat oleh flora normal kolon
sehingga membentuk urobilinogen (Kalakonda, Jenkins, dan John, 2022),
selanjutnya sebagian besar urobilinogen tersebut akan mengalami oksidasi
oleh flora normal kolon sehingga berubah menjadi sterkobilin yang
memberi warna coklat yang khas pada feses. Sebagian kecil sisa
11

urobolinogen tersebut akan diserap kembali dan masuk ke dalam aliran


darah portal, lalu mengalami siklus urobilinogen enterohepatik di mana
sebagian urobilinogen akan diambil kembali oleh hepar lalu disekresikan
kembali ke empedu, dan sisa urobilinogen akan ditranspor oleh darah
menuju ke ginjal, lalu mengalami oksidasi dan memberi warna kuning khas
pada urin (Ferrier dan Harvey, 2014).

Gambar 2.1. Pembentukan Bilirubin dari Heme & Konversinya Menjadi


Bilirubin Diglukoronida (Ferrier dan Harvey, 2014)
12

Gambar 2.2. Skema Metabolisme Bilirubin (Ferrier dan Harvey, 2014)

2.1.3. Pemeriksaan Bilirubin


Dari berbagai jenis metode pemeriksaan bilirubin total yang telah
digunakan, prinsip pemeriksaan Jendrassik-Gróf telah terbukti menjadi
metode pemeriksaan yang baik untuk pemeriksaan rutin (Klauke, 2018),
dalam prinsip ini, terjadi reaksi van den Bergh (Ferrier dan Harvey, 2014),
di mana bilirubin dalam serum akan direaksikan dengan asam sulfanilat
terdiazotisasi membentuk azopigmen atau azodipirol yang berwarna merah,
yang kemudian dapat diukur dengan spektrofotometer, metode tersebut
dapat digunakan untuk mengukur bilirubin direk, untuk mengukur bilirubin
total, dapat dilakukan penambahan metanol, selisih antara nilai bilirubin
total dengan bilirubin direk akan menghasilkan nilai bilirubin indirek
(Rodwell, 2020).
13

Prinsip pengukuran ini juga dipilih oleh penelitian Committee on


Standards of the American Society for Clinical Chemistry sebagai kandidat
yang terbaik dan paling cocok untuk mengukur kadar bilirubin total dalam
serum (Doumas et al., 1985).
2.1.4. Aktivitas Antioksidan Bilirubin
Salah satu peran fisiologis yang memungkinkan dari bilirubin adalah
kemampuannya untuk menjadi antioksidan, sejak setidaknya tahun 1950-
an, bilirubin terbukti memiliki efek yang mencegah oksidasi lipid seperti
asam linoleat dan vitamin A (Bernhard, Ritzel, dan Steiner, 1954; Beer dan
Bernhard, 1959; Kaufmann dan Garloff, 1961) selain itu ditemukan juga
bahwa kemampuan antioksidan bilirubin melampaui vitamin E terhadap
peroksidasi lipid (Stocker et al., 1987). Kadar bilirubin dalam serum
memiliki kontribusi yang substansial terhadap kapasitas antioksidan total
pada serum, sehingga, bilirubin kemungkinan besar dapat menghambat agen
penyebab stres oksidatif di dalam darah (Sedlak dan Snyder, 2004).
Pada pasien yang mengalami Gilbert Syndrome (GS), yaitu suatu
penyakit diturunkan secara autosomal dominan, di mana terjadi
hyperbilirubinemia ringan akibat berkurangnya kemampuan enzim UDP-
Glukoronsiltransferase untuk mengkatalisis aktivitas konjugasi bilirubin
indirek hingga hanya 30% dari pasien normal, sehingga kadar bilirubin
indirek meningkat (Fretzayas et al., 2011), dapat diamati efek protektif dari
bilirubin (Boon et al., 2014). Pada individu yang mengalami GS, ditemukan
peningkatan Circulating antioxidant status yang signifikan (Bulmer et al.,
2008). Pada tikus Gunn, tikus yang tidak memiliki enzim UDP-
Glukoronsiltransferase sehingga mengalami hyperbilirubinemia, ditemukan
bahwa mayoritas tikus tersebut kebal terhadap cedera oksidatif pada
keadaan hiperoksia (mendapat paparan O2 >95%) (Dennery et al., 1995).
Bilirubin melindungi sel terhadap hidrogen peroksida (H2O2)
konsentrasi tinggi (Sedlak et al., 2009), di mana kemungkinan besar dua
siklus dalam metabolisme bilirubin berperan di dalam perlindungan
bilirubin terhadap stress oksidatif. Ketika terjadi peningkatan stres oksidatif,
akan terjadi siklus reaksi redoks yang meyebabkan oksidasi bilirubin
14

kembali menjadi biliverdin, akibat dari paparan stress oksidatif (Martelanc


et al., 2016), yang kemudian biliverdin tersebut akan diubah kembali
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase (Sedlak dan Snyder,
2004). Siklus kedua yang akan aktif adalah peningkatan aktivitas enzim
biliverdin reduktase juga akan menginduksi aktivitas dari enzim heme
oksigenase, yang juga merupakan antioksidan yang poten, selain karena
peningkatan hemolisis akibat peningkatan stres oksidatif, kedua siklus ini
terikat satu sama lain dan bekerja sebagai respons terhadap stres oksidatif,
dengan melakukan scavenging terhadap spesies oksigen reaktif (ROS) (Kim
dan Park, 2012).

Gambar 2.3. Aktivitas antioksidan dalam siklus metabolisme bilirubin


(Kim dan Park, 2012).
15

2.1.5. Definisi Diabetes Melitus Tipe 2


Diabetes melitus merupakan istilah yang diterapkan terhadap
sekelompok gangguan metabolik yang memiliki fenotipe yang sama, yaitu
keadaan hiperglikemi yang kronik yang dapat disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein (Wu et al., 2014). Terdapat
banyak jenis diabetes melitus dan penyebabnya merupakan hasil dari
interaksi kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Berdasarkan etiologinya, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan
hiperglikemi seperti berkurangnya produksi insulin, berkurangnya
kemampuan mencerna glukosa, dan meningkatnya produksi dari glukosa.
Disregulasi metabolik yang berkaitan dengan diabetes melitus
menyebabkan perubahan patofisiologis pada sistem multiorgan, seperti
gagal ginjal, amputasi ekstremitas, kebutaan, serta penyakit kardiovaskular
(Powers, 2010).
Menurut International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021,
Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling banyak
diderita di dunia yaitu sekitar lebih dari 90%, DM tipe 2 memiliki
karakteristik khusus yaitu adanya resistensi insulin serta kelainan sekresi
insulin, biasanya kedua karakteristik ini akan muncul bersamaan, tanpa
memandang karakteristik mana yang muncul terlebih dahulu (Billings dan
Florez, 2010). Di awal perjalanan penyakit, kadar insulin dapat terdeteksi
normal maupun meningkat, sehingga pada awal perjalanan penyakit, bahkan
hingga sepanjang hidup, pasien DM tipe 2 tidak membutuhkan insulin untuk
bertahan hidup (Magliano, Zimmet, dan Shaw, 2015).
Diabetes melitus tipe 2 jarang menunjukkan gejala di awal perjalanan
penyakit karena hiperglikemia yang dsebabkan biasanya tidak cukup parah
untuk menghasilkan manifestasi klinis yang dapat terlihat, sehingga sering
tidak terdiagnosis di awal, faktanya sebanyak 30 – 50% penderita DM tipe
2 tidak terdiagnosis mengalami DM tipe 2, meskipun begitu, semakin
lambat terdiagnosis, maka risiko kerusakan makrovaskular dan
mikrovaskular akan semakin meningkat, komplikasi seperti gangguan
16

pengelihatan, ulkus yang sulit sembuh, penyakit jantung, hingga stroke akan
sangat mungkin untuk terjadi (Gregg et al., 2014).
Kebanyakan pasien DM tipe 2 juga mengalami overweight atau pun
obesitas, hal tersebut terkait dengan patofisiologi DM tipe 2, di mana
keadaan tersebut dapat menyebabkan resistensi insulin, namun pasien
dengan IMT normal juga dapat mengalami resistensi insulin, apabila pasien
tersebut mengalami peningkatan kadar lemak tubuh, yang tersebar secara
predominan di bagian abdomen. Risiko mengalami DM tipe 2 meningkat
seiring usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik, dan risiko DM tipe 2
juga meningkat pada wanita yang pernah mengalami diabetes gestasional
dan orang-orang yang mengalami hipertensi maupun dislipidemi, serta pada
orang-orang dengan ras tertentu (WHO, 1999). DM tipe 2 juga sering
dikaitkan dengan adanya predisposisi genetik dalam keluarga, namun
mekanisme serta gen penyebabnya masih sangat kompleks dan belum dapat
dimengerti terlalu mendalam (Meigs et al., 2008). Meskipun etiologi
spesifik dari DM tipe 2 belum diketahui, pada pasien DM tipe 2 tidak terjadi
destruksi sel pankreas seperti pada DM tipe 1, dan juga tidak mengalami
penyebab spesifik lainnya yang terdapat pada tabel 2.2. berikut ini
Tabel 2.2. Penyebab Spesifik Lain Diabetes Melitus (Magliano et al., 2015)
Defek genetik yang mengganggu fungsi sel beta pankreas
o HNF1A MODY o KCNJ11 PNDM
o HNF4A MODY o KCNJ11 DEND
o HNF1B MODY o 6q24 TNDM
o GCK MODY o ABCC8 TNDM
o WFS1 Wolfram Syndrome o INS PNDM
o FOXP3 IPEX Syndrome o MtDNA 3243 MIDD
o EIF2AK3 Wolcott-Rallison syndrome
Defek genetik yang mengganggu kerja insulin
o INSR Type A Insulin Resistance o PPARG FPLD
o INSR Leprechaunism o APGPAT2 CGL
o INSR Rabson-Mendehall syndrome o BSCL CGL
o LMNA FPLD o Lipoatrophic diabetes
17

Penyakit pankreas eksokrin


o Pankreatopati fibrokalkulus o Neoplasia
o Pankreatitis o Fibrosis kistik
o Trauma o Hemokromatosis
o Pankreatektomi o Lain-lain
Kelainan endokrin
o Sindrom cushing o Glukagonoma
o Aldosteronoma o Hipertiroidisme
o Akromegali o Somatostatinoma
o Feokromositoma o Lain-lain
Drug-induced & Chemical-induced
o Asam nikotinik o Tiazid
o Glukokortikoid o Statin
o Hormon tiroid o aspargin
o Agonis alfa adrenergik o klozapin
o Agonis beta adrenergik o Vacor
o Inhibitor protease o Terapi interferon alfa
o Pentamidin o Lain-lain
Penyebab lainnya
o Infeksi: o Sindrom genetik:
- Rubela kongenital - Sindrom down
- Cytomegalovitus - Penyakit huntington
o Immune-mediated: - Sindrom Klinefelter
- Insulin autoimmune syndrome - Porfiria
- Antibodi reseptor anti-insulin - Sindrom turner
- Sindrom “Stiff person” - Lain-lain
Keterangan: Nomenklatur: Nama gen diikuti oleh sindrom klinis yaitu :
 MODY: Maturity Onset Diabetes of the Young
 MIDD: Maternally Inherited Diabetes and Deafness
 PNDM: Permanent Neonatal Diabetes Mellitus
 DEND: Development Delay Epilepsy
 TNDM: Transient Neonatal Diabetes Mellitus
18

2.1.6. Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2


DM tipe 2 merupakan penyakit yang kompleks dan disebabkan oleh
multifaktor, faktor lingkungan seperti gaya hidup sedentary, pola makan,
dan obesitas berkaitan erat dengan DM tipe 2, faktor genetik juga berperan
sangat besar dalam terjadinya DM tipe 2, di mana anak yang kembar identik
memiliki kemungkinan 60% untuk mengalami DM tipe 2 apabila saudara
kembarnya juga mengalami DM tipe 2 (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013),
anak dengan orang tua yang mengalami DM tipe 2 mengalami peningkatan
risiko untuk mengalami DM tipe 2, apabila kedua orang tua mengalami DM
tipe 2, maka risiko tersebut meningkat hingga 40% (Powers, 2010).
a. Faktor Genetik
Predisposisi genetik memegang peran yang sangat penting dalam
risiko terjadinya DM tipe 2, dalam 1 dekade terakhir, beberapa penelitian
mengenai hubungan genom dengan DM tipe 2 menunjukkan adanya sifat
poligenik dalam perkembangan DM tipe 2 di mana banyak gen-gen yang
ditemukan, meningkatkan risiko DM tipe 2 dengan efek primer terhadap
berkurangnya sekresi insulin, dan sedikit efek yang mengurangi sensitivitas
insulin (Fuchsberger et al., 2016; McCarthy, 2010). Dimas et al. (2014)
mengelompokan varian-varian gen tersebut berdasarkan kemungkinan
mekanisme patofisiologi DM tipe 2 nya, yang akan ditampilkan dalam tabel
2.3. berikut ini.
Tabel 2.3. Gen-gen yang Meningkatkan Risiko DM tipe 2 (Dimas et al., 2014)
Gangguan Sensitivitas Insulin
o PPARG o IRS1
o KLF14 o GCKR
Gangguan Sekresi Insulin
o MTNR1B (Hiperglikemi) o TCF7L2 (Normoglikemi)
o GCK (Hiperglikemi) o CDKAL1(Normoglikemi)
o SLC30A8 (Normoglikemi) o CDKN2A/2B (Normoglikemi)
o HHEX/IDE (Normoglikemi)
Gangguan pengolahan Insulin
o ARAP1
19

Berdasarkan data tersebut, faktor genetik pada DM tipe 2 sangatlah


poligenik, dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menemukan gen-gen
lain yang menyebabkan DM tipe 2. Meskipun demikian, faktor genetik
tersebut tetap dipengaruhi oleh faktor lingkungan, oleh karena interaksi
faktor genetik dengan faktor lingkungan tersebut, DM tipe 2 tidak dapat
disebut sebagai penyakit yang dapat diwariskan, karena faktor genetik DM
tipe 2 dapat dimodulasi oleh faktor lingkungan (dan sebaliknya),
sebagaimana telah ditemukan dari beberapa penelitian observasional dan uji
klinis (Frank, Pearson, dan Florez, 2013).
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sebagai faktor risiko DM tipe 2 dapat mencakup
obesitas, kehidupan sedentari, dan pola makan tidak sehat. Obesitas
(IMT≥30 kg/m2) merupakan faktor risiko lingkungan yang terkuat bagi DM
tipe 2 (Bellou et al., 2018). Terdapat hubungan yang terbalik antara IMT
dengan usia diagnosis DM tipe 2 (Hillier dan Pedula, 2003).
Kehidupan sedentari merupakan faktor risiko lain bagi DM tipe 2,
pada penelitian yang dilakukan oleh Weinstein et al. (2004) ditemukan
bahwa aktivitas fisik dapat mengurangi risiko DM tipe 2 hingga 34%.
Terdapat setidaknya 3 manfaat aktivitas fisik terhadap pencegahan
kejadian DM tipe 2 yaitu, kontraksi otot rangka meningkatkan sirkulasi
darah menuju otot, sehingga meningkatkan ambilan glukosa oleh plasma
(Venkatasamy et al., 2013), selain itu aktivitas fisik juga dapat mengurangi
jumlah lemak intra-abdomen, yang juga merupakan faktor risiko yang
menyebabkan resistensi insulin (Strasser, 2013), dan yang terakhir, aktivitas
fisik dengan intensitas yang moderate telah terbukti meningkatkan ambilan
glukosa hingga 40% (Ross, 2003), Aktivitas fisik meningkatkan ambilan
glukosa, sensitivitas insulin, dan juga dapat memperbaiki inflamasi dan stres
oksidatif yang juga merupakan faktor predisposisi DM tipe 2 (Venkatasamy
et al., 2013)
Pola makan tidak sehat juga menunjukkan hubungan yang sangat
terkait dengan kejadian DM tipe 2, konsumsi daging olahan dan minuman
tinggi gula berkaitan dengan pola hidup yang tidak sehat, yang juga
20

merupakan faktor risiko yang signifikan bagi terjadinya DM tipe 2 seperti


kehidupan sedentari, peningkatan IMT, merokok, dan pola makan yang
tidak sehat (Aune, Ursin, dan Veierød, 2009; Imamura et al., 2015).
Pola makan yang sehat seperti konsumsi whole grain juga
memberikan dampak positif terhadap perkembangan DM tipe 2, selain dapat
mencegah obesitas, konsumsi whole grain juga dapat meningkatkan
sensitivitas insulin, bahan makanan whole grain mengandung kadar serat
yang tinggi, sehingga memperlambat pengosongan lambung, yang
menyebabkan kecepatan pelepasan ke dalam sirkulasi pun melambat, hal ini
menyebabkan berkurangnya respons insulin post-prandial, sehingga dapat
meningkatkan sensitivitas insulin (Aune et al., 2013; Fung et al., 2002), pola
makan yang sehat, yang mencakup pengurangan konsumsi daging merah
dan daging olahan, konsumsi alkohol yang moderat, konsumsi minuman
tinggi gula yang dikurangi, dan konsumsi bahan makanan whole grain, juga
terbukti memberikan faktor protektif bagi kejadian DM tipe 2 (Esposito et
al., 2014).
Faktor risiko lain yang terkait dengan DM tipe 2 dapat dilihat dalam
gambar 2.4.

Gambar 2.4. Faktor Risiko yang Terkait dengan DM Tipe 2 (Bellou et al., 2018).
2.1.7. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2
Patofisiologi DM tipe 2 secara sederhana dapat dijelaskan dengan
21

Adanya malfungsi pada siklus feedback antara kerja insulin dan sekresi
insulin sehingga menyebabkan kadar glukosa yang tinggi di dalam darah
(Stumvoll, Goldstein, dan van Haeften, 2003), hal tersebut berkaitan erat
dengan disfungsi sel beta pankreas dan resistensi insulin (Zheng, Ley, dan
Hu, 2018).
a. Resistensi Insulin
Resistensi insulin merupakan suatu keadaan di mana organ target gagal
untuk merespon secara normal pada insulin, hal tersebut menyebabkan
peningkatan glukoneogenesis di hepar, berkurangnya ambilan glukosa pada
otot, berkurangnya glikolisis, dan meningkatnya oksidasi asam lemak di
dalam hepar (Zheng, Ley, dan Hu, 2018; Cerf, 2013; Kumar, Abbas, dan
Aster, 2013).
Kerja insulin dipengaruhi oleh interaksi dari beberapa molekul, pada
keadaan puasa, respons insulin diatur oleh hormon glukagon,
glukokortikoid, dan katekolamin untuk mencegah hipoglikemia akibat
insulin, rasio antara insulin dengan glukagon berperan besar dalam proses
ini, karena rasio tersebut meningkatkan laju dari fosforilasi enzim-enzim
lain yang berada di dalam siklus pensinyalan insulin, katekolamin dapat
memicu terjadinya lipolisis dan glikogenolisis, dan glukokortikoid dapat
memicu katabolisme otot, glukoneogeneis dan lipolisis, sehingga, apabila
ketiga hormon ini dilepaskan secara berlebihan, dapat memicu terjadinya
resistensi insulin (Nussey & Whitehead, 2001; Petersen & Shulman, 2002).
Terdapat tiga organ ekstra pankreas sensitif insulin utama yang berperan
penting dalam proses resistensi insulin yaitu, otot rangka, jaringan adiposa,
dan hepar, defek pada kerja insulin di jaringan tersebut akan menyebabkan
berkembangnya resistensi insulin sistemik, sehingga dapat menyebabkan
DM tipe 2 (Galicia-Garcia et al., 2020).
Resistensi insulin pada jaringan otot rangka merupakan salah satu
faktor ekstra-pankreas yang penting di dalam perkembangan penyakit DM
tipe 2 (Petersen dan Shulman, 2002), pada keadaan fisiologis, insulin akan
menstimulasi sintesis glikogen otot sebagai salah satu cara meningkatkan
ambilan glukosa dari dalam darah, ambilan glukosa dan pembentukan
22

glikogen otot dipengaruhi oleh enzim glikogen sintase, enzim heksosinase


dan transporter glukosa GLUT4, komponen-komponen tersebut berperan
dalam pengaturan ambilan glukosa dan menjaga kadar glukosa dalam darah
(Satoh, 2014). Mutasi yang menyebabkan berkuranya reseptor insulin atau
pun GLUT4, serta defek dalam siklus pensinyalan insulin akan mengurangi
ambilan glukosa darah ke dalam otot sehingga akan menyebabkan keadaan
hiperglikemi (Czech, 2017). Selain faktor genetik tersebut, faktor
lingkungan juga berperan penting dalam ambilan glukosa oleh otot, faktor
tersebut dapat mencakup aktivitas fisik dan obesitas, aktivitas fisik dapat
meningkatkan aliran darah ke dalam sel otot sehingga meningkatkan
ambilan glukosa, keadaan seperti obesitas juga dapat berperan dalam
menyebabkan resistensi insulin, obesitas terkait erat dengan inflamasi
kronis, di mana banyak penelitian menunjukkan bahwa obesitas dapat
meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi oleh sel adiposit (adipokin) yang
dapat menyebabkan inflamasi sel myosit, gangguan metabolisme sel miosit
sehingga akhirnya menggangu ambilan glukosa oleh otot serta kerja insulin,
dan pada akhirnya akan menyebabkan resistensi insulin (Wu dan
Ballantyne, 2017).
Jaringan Adiposa merupakan jaringan yang dinamis secara metabolik
dan memiliki kemampuan untuk mensintesis banyak senyawa yang aktif
secara biologis untuk menjaga homeostasis sistemik (Coelho et al., 2013),
fungsi dari sel adiposa sangatlah luas, beberapa di antaranya adalah
pengaturan nafsu makan, homeostasis berat badan serta metabolisme
glukosa dan lipid (Rosen dan Spiegelman, 2006). Insulin dapat bekerja pada
jaringan adiposa melalui 2 cara yang berbeda yaitu, menstimulasi ambilan
glukosa dan sintesis trigliserida, dan menghambat hidrolisis trigliserida dan
memicu ambilan asam lemak bebas dan gliserol dari dalam darah
(Gastaldelli et al., 2017), Gangguan respons jaringan adiposa terhadap
insulin, biasanya terkait dengan gangguan kerja GLUT4 (Czech, 2017),
dikenal sebagai resistensi insulin adiposa, yang dapat menyebabkan
meningkatnya lipolisis, gangguan ambilan glukosa, dan meningkatnya
23

pelepasan asam lemak bebas ke dalam darah, bahkan ketika kadar insulin
tinggi (Czech, 2020),
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya massa dan
ukuran jaringan adiposa atau sel adiposit berhubungan dengan gangguan
vaskularisasi, hipoksia, fibrosis, dan inflamasi akibat makrofag (Scherer,
2019). Hipertrofi pada sel adiposit yang berakibat pada hipertrofi sel imun
yang terdapat di dalam jaringan adiposa akan menyebabkan meningkatnya
sitokin pro-inflamasi, meningkatnya sitokin proinflamasi, dan juga
pelepasan sitokin lokal (adipokin) seperti TNF, IL-1β, dan IL-6, akan
memfasilitasi terjadinya inflamasi sistemik tingkat rendah yang kronis, atau
disebut juga sebagai inflamasi metabolik (Roden dan Shulman, 2019).
Inflamasi krosis ini merupakan suatu bagian kunci dalam terjadinya
resistensi insulin, yang akhirnya menyebabkan DM tipe 2 (Maki et al.,
2011). Perbandingan efek insulin terhadap jaringan adiposa yang sehat dan
hipertrofi dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Perbandingan Efek Insulin Pada Jaringan Adiposa Sehat dan
Hipertrofi (Galicia-Garcia et al., 2020)

Di dalam hepar, insulin bukan hanya mengatur produksi atau utilisasi


glukosa, tetapi lebih luas lagi mencakup metabolisme lipid. Pada saat kadar
glukosa meningkat, sel beta pankreas akan melepaskan insulin, dan insulin
24

akan melekat pada reseptor insulin (INSR) yang terdapat di hepar, sehingga
akan menginduksi fosfolirasi pada reseptor tersebut, hal tersebut akan
mengaktifkan Insulin receptor substrates (IRs), yang juga akan mengalami
fosforilasi, kemudian IRs akan mengaktifkan PI3K (Phosphatidyl-inositol-
3-kinase) yang akan memfosforilasi PIP2 (Phospatidylinositol 4,5-
biphosphate), sehingga menghasilkan PIP3 (Phospatidylinositol 3,4,5-
triphosphate), kemudian PIP3 akan mengaktivasi PDK1 (Phosphoinositide-
dependent kinase-1), yang kemudian akan memfosforilasi AKT (protein
kinase B), AKT juga akan difosforilasi oleh mTORC2 (mammalian target
of rapamycin complex 2). Ketika AKT sudah diaktivasi secara penuh, maka
ia akan ambil bagian dalam beberapa proses yang mengatur proses
metabolisme termasuk sintesis glikogen, glukoneogenesis, glikolisis dan
sintesis lipid (Titchenell, Lazar, dan Birnbaum, 2017). Skema mekanisme
kerja insulin dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6. Skema Mekanisme Kerja Insulin


AS160 = Akt Substrate of 160 kDa, GSK3β = Glycogen Synthase Kinase 3 Beta,
FOXO1 = Forhead box protein O1, GLUT4 = Glucose Transporter 4,
GS = Glycogen Synthase, G6pc = Glucose 6 phosphate,
Pck1 = Phospoenolpyruvate Carboxykinase 1 (Galicia-Garcia et al., 2020).
25

Pada keadaan resistensi insulin, kadar insulin dalam darah tidak cukup
untuk memicu kerja insulin yang seharusnya di dalam sel hepar (Meshkani
& Adeli, 2009). Di dalam hepar, resistensi insulin akan menggangu sintesis
glikogen, gagal menekan laju glukoneogenesis, meningkatkan oksidasi
asam lemak, dan meningkatkan sintesis protein pro-inflamatori seperti CRP
dan adipositokin (adipokin), kondisi tersebut yang disertai oleh kondisi lain
seperti stress oksidatif akan memicu terjadinya inflamasi yang akhirnya
kaan memperparah resistensi insulin, sehingga menyebabkan semakin
jauhnya perkembangan penyakit DM tipe 2 (Leclercq et al., 2007).
b. Disfungsi Sel Beta Pankreas
Disfungsi sel beta pankreas menyebabkan sekresi insulin berkurang, hal
tersebut menyebabkan kemampuan tubuh untuk menjaga kadar glukosa
yang fisiologis pun terhambat (Cerf, 2013). Disfungsi sel beta pankreas
menunjukkan ketidakmampuan sel tersebut untuk beradaptasi terhadap
kebutuhan insulin yang tinggi. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi
insulin pada awalnya akan meningkat lebih tinggi dibandingkan kontrol,
peningkatan tersebut merupakan bentuk kompensasi terhadap resistensi
insulin, dan menyebabkan kemampuan untuk mempertahankan kadar
glukosa darah yang normal, namun pada akhirnya kompensasi tersebut akan
tidak cukup, sehingga terjadi hiperglikemia, bersamaan dengan
berkurangnya massa dari sel beta pankreas. Hal tersebut dapat disebabkan
karena penumpukan nutrien seperti glukosa dan asam lemak bebas dapat
menyebabkan stres terhadap Retikulum endoplasma akibat aktivasi
unfolded protein response (UPR) pathway yang menyebabkan apoptosis sel
beta pankreas (Yamamoto et al., 2019).
Lipotoksisitas dan glukotoksisistas yang terjadi pada obesitas, dapat
memicu stres oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas
(Halban et al., 2014). Kerusakan tersebut dapat menyebabkan sekresi
sitokin pro-inflamasi dari sel beta pankreas, yang menyebabkan terjadinya
inflamasi pada pulau pankreas, yang menyebabkan disfungsi sel beta
pankreas hingga akhirnya kematian sel beta pankreas, dan sel beta pankreas
yang mati tersebut akan digantikan oleh amiloid yang terbentuk akibat dari
26

peningkatan sintesis protein proinsulin. Penumpukan dari insulin yang


misfolded dan amiloid tersebut juga akan memediasi pembentukan spesies
oksigen reaktif (ROS) yang akan menyebabkan kerusakan yang lebih lanjut
pada sel beta pankreas (Yamamoto et al., 2019), pada pasien yang sudah
lama mengalami DM tipe 2, akan ditemukan bahwa 90% bagian dari pulau
pankreas sudah digantikan oleh amiloid (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).
Sekresi insulin harus diatur seakurat mungkin untuk mencapai
kebutuhan metabolik, sehingga intergritas dari pulau pankreas harus dijaga,
namun pada keadaan patogenik seperti pada disfungsi sel beta pankreas,
mekanisme tersebut akan menggangu keteraturan pulau pankreas, sehingga
menggangu komunikasi antar sel dalam pulau pankreas, dan menyebabkan
regulasi pelepasan insulin dan glukagon yang buruk, sehingga memperparah
hiperglikemia. Defek pada sintesis proinsulin dan insulin, yang dapat
disebabkan akibat misfolding proinsulin (Liu et al., 2018), atau pun
gangguan mekanisme sekresi insulin, yang dapat disebabkan oleh
berkurangnya ekspresi transporter glukosa GLUT2 yang menganggu
pensinyalan insulin (Hoang Do dan Thorn, 2015), pada disfungsi sel beta
pankreas, dapat menyebabkan disfungsi sekresi insulin yang menjadi dasar
bagi DM tipe 2 (Liu et al., 2018).
Meskipun kedua proses tersebut sama-sama muncul di awal perjalanan
penyakit dan sama-sama berkontribusi terhadap perkembangan penyakit,
biasanya disfungsi sel beta pankreas akan menjadi lebih parah dibandingkan
resistensi insulin, bagaimanapun, ketika kedua karakteristik tersebut
muncul, maka hipeglikemia akan diperkuat sehingga meningkatkan
progesivitas DM tipe 2 (Cerf, 2013; Zheng, Ley, dan Hu, 2018).
Patofisiologi DM tipe 2 secara singkat dapat dilihat pada gambar 2.7. dan
gambar 2.8.
27

Gambar 2.7. Mekanisme Disfungsi Sel Beta Pankreas dan Resistensi Insulin
(Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).

Gambar 2.8. Patofisiologi DM Tipe 2 (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).

2.1.8. Diagnosis Diabetes Melitus tipe 2


a. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda DM tipe 2 sering kali diabaikan oleh banyak orang
karena sifatnya yang kronis, banyak orang tidak menganggap masalah ini
28

serius karena pengaruh dari hiperglikemi tidak akan langsung


bermanifestasi, orang-orang tidak sadar bahwa kerusakan akibat DM tipe 2
dapat mulai terjadi bertahun-tahun sebelum gejalanya muncul, hal ini
sangatlah disayangkan karena apabila tanda dan gejala DM tipe 2 dapat
dikenali lebih awal, maka tatalaksana dapat dilaksanakan lebih awal dan
komplikasi vaskular atau pun organ lainnya dapat dicegah (Ramachandran,
2014).
Pasien dengan DM tipe 2 biasanya akan memiliki karakteristik berikut:
DM terjadi setelah usia 30, mengalami obesitas, belum membutuhkan terapi
insulin pada awal penyakit, dan memiliki kondisi yang berkaitan seperti
resistensi insulin, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dislipidemi atau pun
sindrom ovarium polikistik (Powers, 2010).
Gejala klasik hiperglikemi yaitu, 3P, poliuri (meningkatnya frekuensi
urinasi), polidipsi, dan polifagi, serta penurunan dapat muncul apabila kadar
glukosa darah terlalu tinggi (American Diabetes Association, 2014). Pasien
juga dapat mengalami gejala seperti kelelahan berlebihan, nyeri tubuh
(Ramachandran, 2014), infeksi jamur atau pun bakteri yang superfisial
seperti pada kulit atau pun vagina (Powers, 2010), penyembuhan luka yang
lambat, rasa kebas pada ekstremitas (Goyal dan Jialal, 2022), serta
pandangan yang kabur (Powers, 2010). Gejala lainnya dari DM tipe 2 dapat
dilihat pada gambar 2.9.

Gambar 2.9. Manifestasi Klinis DM tipe 2 (Ramachandran, 2014)


29

b. Pemeriksaan penunjang
Diabetes Melitus dapat ditegakkan diagnosisnya dengan
mengidentifikasi tanda dan gejala dari hiperglikemi yang berhubungan
dengan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, selain itu
DM juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan HbA1C (yang telah
terstandarisasi) ≥ 6.5% , atau pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam ≥ 200
mg/dL pada oral glucose tolerance test dengan 75 g glukosa, dan dengan
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (Pippitt, Li, dan
Gurgle, 2016), namun apabila pemeriksaan tersebut harus diulangi kembali
di hari lain untuk menegakkan diagnosis, jika hasil pemeriksaan tidak
konsisten, atau pun tidak sesuai dengan gejala klinis (ADA, 2014),
pemeriksaan tersebut harus diulangi, atau dapat mencoba alternatif
pemeriksaan yang lain (ADA, 2014).

Kriteria American Diabetes Association (2023) untuk diagnosis


diabetes melitus tertera pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus (ElSayed et al., 2023)
KGD Puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Atau
KGD 2 jam ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) pada pemeriksaan OGTT
Atau
KGD sewaktu ≥ 200mg/dL (11.0 mmol/L) pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemi
(seperti: poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan) atau krisis hiperglikemi
Atau
HbA1C ≥ 6.5%, yang tersertifikasi oleh National Glycohemoglobin Standardization Program
atau terstandarisasi oleh Diabetes Control and Complications reference assay

a. Pemeriksaan HbA1C
HbA1C
menunjukkan nilai persentase dari tingkat glikosilasi (pelekatan
glukosa terhadap suatu protein) dari rantai hemoglobin A1C dan dapat
memperkirakan rerata kadar glukosa darah selama 2 sampai 3 bulan (Cohen,
30

Haggerty, dan Herman, 2010). Pada penegakan diagnosis DM tipe 2,


American Associacion of Clinical Endrocinologist menyarankan untuk
tidak mengutamakan pemeriksaan HbA1C terlebih dahulu, hal tersebut
dikarenakan, meskipun memiliki beberapa keunggulan seperti: pasien tidak
perlu puasa, dapat dilakukan kapan saja, lebih sederhana dibandingkan
pemeriksaan OGTT, dan tidak terlalu bergantung kepada kondisi Kesehatan
ketika darah diambil (kecuali kelainan pada darah) (Pippitt, Li, dan Gurgle,
2016).
Tetapi pemeriksaan HbA1C kurang sensitif dibandingkan pemeriksaan
glukosa darah puasa dan OGTT (AACE, 2010), selain itu kadar HbA1C dan
kadar glukosa rata-rata seseorang dapat tidak berhubungan, misalnya pada
orang yang mengalami anemia hemoliti atau kehilangan darah yang banyak
dapat menurunkan kadar HbA1C, sedangkan pada pasien splenektomi dan
anemia aplastik, di mana usia eritrosit meningkat, kadar HbA1C akan
meningkat (Malkani dan Mordes, 2011; Kilpatrick, Bloomgarden, dan
Zimmet, 2009; Lapolla, Mosca, dan Fedele, 2011).
Oleh karena itu, pemeriksaan HbA1C, terutama yang dilakukan secara
point of care menggunakan darah kapiler, tidak disarankan untuk menjadi
metode diagnosis DM, pemeriksaan HbA1C untuk menegakkan DM harus
dilakukan di laboratorium dan terstandarisasi oleh NGSP atau pun DCCT
reference assay (Pippitt, Li, dan Gurgle, 2016).
b. Pemeriksaan Glukosa
Glukosa merupakan suatu monosakarida yang didapatkan oleh tubuh
melalui asupan makanan dan merupakan sumber energi utama bagi manusia
(Holesh, Aslam, dan Martin, 2022), glukosa dapat masuk ke dalam tubuh
dalam bentuk yang tunggal atau pun berikatan dengan diri sendiri maupun
monosakarida lain seperti fruktosa dan galaktosa membentuk disakarida
seperti maltosa, laktosa, dan sukrosa (Qi dan Tester, 2019), glukosa juga
dapat masuk ke dalam tubuh dalam bentuk yang lebih besar, yaitu
polisakarida yang terdiri atas banyak molekul glukosa seperti amilum,
glikogen, dan selulosa. Molekul-molekul tersebut harus dicerna kembali
agar dapat berubah menjadi bentuk sederhana, yaitu glukosa, fruktosa, atau
31

galaktosa agar dapat diabsorpsi dan dimetabolisme (Holesh, Aslam, dan


Martin, 2022).
Kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh beberapa mekanisme
termasuk glikolisis, glukoneogenesis, glikogenolisis dan glikogenesis,
mekanisme-mekanime tersebut diatur oleh hormon insulin dan glukagon, di
mana insulin dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan memicu proses
glikolisis dan menghambat proses glukoneogenesis (Young, 2005),
sedangkan glukagon akan berefek sebaliknya (Geidl-Flueck dan Gerber,
2017).
Selain insulin dan glukagon, hormon lain yang dapat mempengaruhi
homeostasis glukosa antara lain: hormon inkretin, yang meningkatkan
pelepasan insulin, hormon amylin, yang menurunkan kadar glukosa,
hormon glukokortikoid, yang meningkatkan resistensi insulin dan
glukoneogenesis, hormon tiroid, yang meningkatkan absorpsi glukosa,
glikogenolisis, dan glukoneogenesis, growth hormone, yang menghambat
ambilan glukosa ke dalam sel, dan epinefrin, yang meningkatkan kadar
glukosa dengan menstimulasi glikogenolisis, mengurangi penggunaan
glukosa, serta menstimulasi sekresi glukagon dan menghambat sekresi
insulin (Kuo et al., 2015).
Metode pemeriksaan DM menggunakan glukosa merupakan salah satu
metode yang valid, metode ini mencakup pemeriksan KGD puasa, KGD 2
jam pada pemeriksaan OGTT, dan KGD sewaktu pada pasien yang memiliki
gejala DM (ADA, 2014), Pemeriksaan glukosa darah di laboratorium
biasanya menggunakan sampel darah serum atau pun plasma, dan darah dari
vena direkomendasikan sebagai sampel yang digunakan untuk melakukan
diagnosis diabetes (Sacks et al., 2002).
Pemeriksaan KGD puasa dilakukan dengan menginstruksikan pasien
berupasa terlebih dahulu, dengan kata lain, pasien harus setidaknya 8 jam
tidak mendapatkan asupan kalori, sehingga tidak mempengaruhi hasil
pemeriksaan, kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis DM (Rossi, 2010).
32

Pemeriksaan OGTT dapat digunakan untuk mengukur sensitivitas dan


resistensi insulin, pada pemeriksaan OGTT, pasien datang dengan keadaan
puasa terlebih dahulu, lalu sampel darah puasa diambil dari vena, kemudian
pasien diberikan larutan glukosa 75 gram, dan diperiksa kembali kadar
glukosa darahnya, pemeriksaan ini merupakan standar untuk pemeriksaan
DM, namun memakan waktu dan biaya (Goyal dan Jialal, 2022). lalu pasien
juga harus mengkonsumsi setidaknya 150 gram karbohidrat per hari untuk
3 hari sebelum pemeriksaan (Klein et al., 2021), dan tidak boleh
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menganggu toleransi glukosa seperti
steroid dan tiazid, sehingga pemeriksaan ini lebih sulit dilakukan
dibandingkan pemeriksaan KGD puasa (Goyal dan Jialal, 2022).
KGD sewaktu merupakan pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan
kapan saja, tanpa melakukan puasa terlebih dahulu, pemeriksaan KGD
sewaktu dapat digunakan sebagai metode penegakan diagnosis apabila
pasien muncul dengan gejala klasik hiperglikemi atau pun mengalami krisis
hiperglikemi, apabila keadaan tersebut ada pada pasien, maka diagnosis
dapat ditegakkan dengan KGD sewaktu ≥200 mg/dL (ElSayed et al., 2023).
Apabila diagnosis klinis belum ditegakkan (menggunakan metode
pemeriksaan gejala klinis + KGD sewaktu ≥200 mg/dL), maka diagnosis
harus dilakukan dengan setidaknya dua kali pemeriksaan untuk mencegah
adanya kesalahan dalam laboratorium, baik menggunakan sampel yang
sama atau dua sampel berbeda (Selvin et al., 2018). Pada pemeriksaan yang
menggunakan dua sampel berbeda, sebaiknya pemeriksaan kedua, baik
menggunakan metode pemeriksaan yang sama atau pun berbeda, segera
dilakukan (ElSayed et al., 2023).
Pada pemeriksaan yang menggunakan metode yang sama, apabila
kedua hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif DM, maka pasien dapat
ditegakkan mengalami DM, misalnya pada pemeriksan HbA1C pertama
hasilnya adalah 7.0% dan pada pemeriksaan kedua 6.8%, maka pasien
terkonfirmasi DM, begitu pula pada pemeriksaan pertama dan kedua yang
berbeda, ketika kedua hasil pemeriksaan berada di atas batas diagnosis,
maka pasien juga terkonfirmasi DM. Tetapi, apabila pasien mendapat hasil
33

yang berbeda jauh dari kedua pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang
berada di atas batas diagnosis harus diulangi, dan diagnosis dilakukan
berdasarkan pemeriksaan yang diulangi tersebut (ElSayed et al., 2023).
2.1.9. Komplikasi Kronis Diabetes Melitus tipe 2
DM dapat menjadi suatu penyakit yang sangatlah merusak, karena
metabolisme glukosa yang abnormal dan gangguan metabolik lainnya yang
muncul pada DM akan menyebabkan dampak patologis yang sangat serius
pada hampir seluruh sistem organ di dalam tubuh manusia (Kumar, Abbas,
dan Aster, 2013). Komplikasi kronis dari DM menyebabkan sebagian besar
mortalitas dan morbiditas yang terkait dengan DM. Komplikasi kronis DM
dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu, komplikasi vaskular dan non vaskular
(Powers, 2010).
Komplikasi vaskular mencakup masalah mikrovaskular seperti
kerusakan pada mata, saraf, dan ginjal, atau pun makrovaskular seperti pada
arteri Koroner, arteri perifer, dan otak. Komplikasi non-vaskular mencakup
masalah yang tidak melibatkan pembuluh darah secara langsung seperti
gastroparesis, infeksi, dan perubahan pada kulit (Powers, 2010).
Patogenesis dari komplikasi DM dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, namum, hiperglikemia kronis yang menyebabkan glukotoksisitas
merupakan kontributor terbesar pada patogenesis komplikasi DM (Kumar,
Abbas, dan Aster, 2013), terutama pada komplikasi mikrovaskular (Powers,
2010).
Terdapat beberapa mekanisme hiperglikemia dapat menyebabkan
komplikasi kronis pada DM, antara lain:
a. Pembentukan advanced glycation end products (AGEs)
AGEs terbentuk akibat reaksi antara glukosa dengan kelompok amino
dari protein intraseluler dan ekstraseluler, melalui proses glikosilasi, proses
tersebut akan merubah fungsi dari protein yang mengalami glikosilasi,
menggangu kerja enzim, dan menganggu fungsi reseptor (Chawla et al.,
2016). AGEs dapat berkumpul di beberapa jenis sel dan merubah fungsi dan
struktur intraseluler dan ekstraseluler dari sel tersebut dengan cara berikatan
tidak hanya dengan protein, tetapi juga dengan lipid dan asam nukleat pada
34

sel tersebut, dan berperan dalam banyak jenis komplikasi kronis DM (Singh
et al., 2014), laju pembentukan dari AGEs akan semakin dipercepat dengan
adanya hiperglikemia(Kumar, Abbas, dan Aster, 2013), dan kadar dari
AGEs berbanding lurus dengan kadar glukosa darah (Powers, 2010).
AGEs yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor spesifik (RAGE),
yang biasanya terdapat pada makrofag, sel T, serta pada sel endotel dan otot
polos pembuluh darah, hal tersebut akan menyebabkan pelepasan sitokin
pro-inflamasi dan growth hormone oleh makrofag, dan pembentukan ROS
di sel-sel endotel, meningkatnya aktivitas prokoagulan, dan meningkatnya
proliferasi dari otot polos pembuluh darah. Selain itu, protein yang berikatan
dengan AGEs dapat berikatan dengan protein lain, seperti LDL, sehingga
dapat meningkatkan laju aterosklerosis pada pembuluh darah, atau pun
albumin yang dapt menyebabkan penebalan membran basal yang menjadi
karakteristik mikroangiopati (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013), AGEs juga
dapat menghambat kerja dari Nitric Oxide (NO) sehingga terjadi
pembentukan ROS, dan menyebabkan stres oksidatif (Chawla et al., 2016).
b. Aktivasi dari Protein Kinase C (PKC)
PKC dapat diaktivasi oleh ion kalsium dan diasilgliserol (DAG).
Hiperglikemia intraseluler dapat memicu sintesis dari DAG secara de novo
melalui glikolisis, sehingga mengaktivasi PKC (Kumar, Abbas, dan Aster,
2013), terdapat beberapa efek dari aktivvasi PKC, yaitu, produksi molekul
pro-angiogenik yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF), yang
dapat menyebabkan neurovaskularisasi yang dapat diamati pada keadaan
retinopati diabetik dan produksi molekul profibrogenic seperti transforming
growth factor-β (TGF- β) yang akan menyebabkan penumpukan matriks
ekstrasel dan material membran basal yang akan menyebabkan penebalan
membrane basal sehingga terjadi mikroangiopati (Kumar, Abbas, dan Aster,
2013). Aktivasi PKC akan menyebabkan fosforilasi pada NADPH-oksidase,
sehingga akan meningkatkan produksi dari ROS dan meningkatkan stres
oksidatif (King dan Loeken, 2004).
35

c. Gangguan pada Polyol Pathway


Pada jaringan yang tidak membutuhkan insulin untuk transpor glukosa
(misalnya: saraf, lensa, ginjal, pembuluh darah), hiperglikemia dapat
menyebabkan meningkatnya glukosa yang dimetabolisme oleh enzim
aldosa reduktase menjadi sorbitol yang merupakan suatu poliol,
meningkatnya konsentrasi sorbitol dapat menggangu osmolalitas sel,
menghasilkan ROS, dan menyebabkan disfungsi pada sel lain. Sorbitol yang
telah terbentuk kemudian akan diubah menjadi fruktosa, melalui reaksi yang
mengunakan NADPH sebagai kofaktor, NADPH sebenarnya juga
dibutuhkan dalam reaksi pembentukan glutation yang direduksi, dengan
berkurangnya NADPH akibat meningkatnya aktivitas poliol pathway, maka
kadar glutation yang merupakan suatu antioksidan juga akan berkurang
sehingga stres oksidatif pun akan meningkat (Kumar, Abbas, dan Aster,
2013; Powers, 2010).
Ketiga mekanisme tersebut dapat menyebabkan perubahan dari struktur
mikrovaskular, akibat penebalan dari pembuluh-pembuluh darah kecil, yang
menyebabkan mikroangiopati, perubahan ini akan menyebabkan kehilangan
fungsi dari jaringan yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut,
hipertensi, penyembuhan luka yang lama, dan hipoksia jaringan. Keadaan
mikroangiopati tersebut, yang juga diikuti oleh meningkatnya stress
oksidatif akan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah pada ginjal,
retina, kulit, dan otot rangka, yang kemudian akan menyebabkan komplikasi
mikrovaskular seperti nefropati, retinopati, dan neuropati (Chawla et al.,
2016; Kumar, Abbas, dan Aster, 2013; Powers, 2010).
Pasien DM dengan komplikasi mikrovaskular memiliki laju
pembentukan aterosklerosis yang meningkat, yang pada akhirnya akan
memuncak menjadi kejadian serebrovaskular dan kardiovaskular, yang
merupakan komplikasi makrovaskular, dan juga kematian dini (kalofoutis
et al., 2007). Keterlibatan aterosklerosis pada arteri perifer serta neuropati,
terutama pada ekstremitas bawah, ditambah dengan buruknya penyembuhan
luka akibat mikroangiopati dapat menyebabkan ulkus diabetikum, yang
36

dapat berujung kepada amputasi ekstremitas bawah meningkat (Kumar,


Abbas, dan Aster, 2013; Powers, 2010).
Pasien DM juga sering mengalami komplikasi non vaskular, dan yang
paling sering adalah infeksi, pada pasien DM akan dijumpai infeksi yang
lebih sering dan parah, penyebabnya adalah buruknya sirkulasi darah pada
pasien DM akibat komplikasi vaskular, serta gangguan pada kerja sistem
imun akibat hiperglikemia (Casqueiro et al., 2012; Powers, 2010).
Pada pasien DM juga dapat dijumpai manifestasi komplikasi pada kulit,
selain komplikasi vaskular seperti lambatnya penyembuhan luka dan
pembentukan ulkus, komplikasi non vaskular yang dapat muncul salah
satunya adalah achantosis nigricans yang sering terjadi akibat resistensi
insulin yang menyebabkan meningkatnya kadar insulin, sehingga
meningkatkan kadar insulin like growth factor-1 yang menyebabkan
hiperkeratosis pada kulit, yang kemudian menjadi hiperpigmentasi,
terutama pada kulit di bagian leher. (Powers, 2010; Hermanns-Lê, Scheen,
dan Piérard, 2004).
Komplikasi non-vaskular pada DM yang juga dapat dijumpai adalah
gastroparesis, atau pengosongan lambung yang terhambat, gastroparesis
dapat terjadi pada DM akibat disfungsi sistem saraf otonom dan enterik,
yang disebabkan karena neuropati diabetik, yang akan menyebabkan
berkurangnya kontraksi dari antrum, terganggunya koordinasi antara
kontraksi antrum dan duodenum, serta spasme pada otot pilorik, pada
akhirnya akan memperlambat pengosongan lambung, yang akan
memberikan efek mual, muntah dan kembung pada pasien (Aswath et al.,
2022).
2.1.10. Definisi dan Patofisiologi Stres Oksidatif
Stres oksidatif merupakan suatu keadaan di mana terjadi
ketidakseimbangan antara laju pembentukan dan peleburan dari ROS, hal
ini biasa disebabkan oleh produksi dari ROS yang berlebihan sehingga
berefek pada terjadinya oksidasi dari berbagai molekul biologis, yang
menyebabkan kerusakan pada jaringan Stres oksidatif biasanya meningkat
pada keadaan yang patologis seperti obesitas, diabetes, hipertensi, dan
37

dislipidemi, dan faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya seperti pada


perokok (Fujii, Nakai, dan Fukagawa, 2011).
Molekul-molekul seperti superoksida (O2•−), hidrogen peroksida
(H2O2), Hidroksil (•OH), dan oksigen singlet (1O2), merupakan spesies
oksigen reaktif (ROS), ROS sebenarnya merupakan produk yang dihasilkan
dari beberapa jenis proses metabolik (Pizzino et al., 2017). Kehadiran ROS
sebenarnya diperlukan dalam berbagai proses metabolik seperti fosforilasi,
aktivasi faktor transkripsi, diferensiasi, apoptosis, dan respons imun, proses
tersebut membutuhkan ROS, meskipun dalam kadar yang rendah
(Rajendran, et al., 2014). hal tersebut berkaitan juga dengan pengaruh yang
disebabkan oleh peningkatan kadar ROS, yang kemudian akan
menunjukkan pengaruh yang merugikan, karena akan menyebabkan stres
oksidatif, yang kemudian mengakitbatkan kerusakan pada struktur
penyusun sel seperti protein, lipid, dan asam nukleat (Sato, et al., 2014; Wu
et al., 2013), yang akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi sel
yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dari
sel, sehingga pada akhirnya terjadi disfungsi sel dan gangguan dalam
proses-proses vital di dalamnya (Sharifi-Rad, 2020).
Kadar ROS yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada
membran lipid dan meningkatkan permeabilitas dari sel lipid, melalui proses
peroksidasi lipid, proses tersebut akan meneyebabkan kerusakan dari
membran sel dan lipoprotein, proses tersebut juga akan menyebabkan
pembentukan malondialdehid (MDA) dan Diena terkonjugasi, yang
memiliki efek sitotoksik dan mutagenic, dikarenakan stress oksidatif
merupakan proses yang radikal dan berantai, proses peroksidasi ini akan
menyebar dengan cepat dan mempengaruhi jaringan lipid yang luas, dan
dapat diperparah pada kondisi obesitas (Pizzino et al., 2017). Sedangkan
pada protein, kerusakan akibat stress oksidatif melibatkan perubahan dari
asam amino situs spesifik, pemecahan rantai peptida, reaksi agregasi lintas
produk (seperti pembentukan AGEs), perubahan aktivitas elektrik,
inaktivasi enzim, dan kemungkinan proteolisis (Ayala et al., 2014). ROS
juga dapat merusak DNA dengan cara, memecah untaian DNA, merusak
38

dan merubah basa nukleotida, menyebabkan ikatan silang pada DNA dan
mengoksidasi deoksiribosa (Sharifi-Rad, 2020).
Oleh karena efek negatif yang dapat disebabkan oleh ROS, yaitu,
Stres Oksidatif dapat merusak sel, maka tubuh memliki mekanisme
pertahanan sendiri terhadap stress oksidatif, yaitu, melalui adanya
antioksidan, seperti, vitamin C, Vitamin E, dan Glutation, serta ada juga
enzim-enzim yang dapat meningkatkan laju reaksi antioksidan seperti enzim
katalase, superoksida dismutase, dan peroksidase (Valko, Leibfritz, dan
Moncol, 2007). Antioksidan dapat mencegah kerusakan akibat stres
oksidatif melalui beberapa mekanisme, antara lain: Menginhbisi produksi
molekul oksidan, menangkap molekul oksidan, mengubah molekul oksidan
yang toksik menjadi molekul yang lebih kurang toksik, mencegah produksi
metabolit toksik dan mediator inflamasi oleh ROS, mencegah penyebaran
molekul oksidan, memperbaiki jaringan yang rusak, dan juga meningkatkan
sistem pertahanan antioksidan endogen. Mekanisme-mekanisme tersebut
saling berkontribusi untuk mencegah stres oksidatif (Adwas et al., 2019)
kerusakan atau penghambatan dari enzim-enzim tersebut atau pun
pendukung seperti kofaktornya, dapat menyebabkan stress oksidatif yang
dapat merusak sel dan menyebabkan lisis pada sel (Valko, Leibfritz, dan
Moncol, 2007).
2.1.11. Pengukuran Tingkat Stres Oksidatif
Semua jenis biomolekul dapat mengalami kerusakan akibat stress
oksidatif yang disebabkan oleh ROS, oleh karena itu, berbagai biomarker
dapat digunakan untuk mengukur tingkat ROS dan stress oksidatif pada
tubuh, dan lebih dari itu, biomarker-biomarker tersebut juga dapat
mengidentifikasi sumber dari ROS (Tsukahara, 2007). Secara singkat
biomarker stress oksidatif dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu, molekul yang
terbentuk akibat modifikasi ROS, dan konsumsi atau induksi enzim atau
antioksidan (Toyokuni, 1999). Pemeriksaan dengan biomarker
memungkinkan pemeriksaan yang menggunakan cairan eksresi tubuh
seperti darah, urin, CSF, dan cairan bronkoalveolar, memungkinkan
39

pemantauan stres oksidatif secara in vivo, yang tidak mungkin dilakukan


pada pemeriksaan invasif (Tsukahara, 2007).
Pada jenis pertama, yaitu molekul yang terbentuk akibat modifikasi
ROS, seiring dengan meningkatnya ROS, maka kadar molekul tersebut akan
meningkat, sebagian dari molekul tersebut dapat segera dibuang ataupun
diperbaiki, namun sisanya akan tetap berada di dalam tubuh baik secara
intraselular ataupun ekstraselular, sebagaimana telah disebutkan, target
utama dari kerusakan akibat stress oksidatif adalah membran lipid, protein,
dan asam nukleat, maka molekul yang terbentuk tersebut akan berkaitan
dengan struktur tersebut (Tsukahara, 2007). Beberapa molekul yang
termasuk dalam bagian ini adalah, antara lain: Malonilaldehid (MDA)
sebagai produk hasil oksidasi lipid, Advanced Glycation End Products
(AGEs) sebagai produk hasil oksidasi asam nukleat, dan Advanced
Oxidation Protein Products (AOPP) sebagai hasil oksidasi dari protein
(Marrocco, Altieri, dan Peluso, 2017).
Untuk Jenis kedua, yaitu konsumsi atau induksi enzim/antioksidan,
pada keadaan paparan ROS, molekul tersebut akan mengalami perubahan
atau pun melebur, sehingga menunjukkan penurunan dari aktivitas atau
kuantitas setelah paparan ROS (Tsukahara, 2007), secara khusus, komponen
yang mengalami perubahan akibat adanya stres oksidatif dapat digunakan
untuk mengukur tingkat stres oskidatif, komponen-komponen tersebut dapat
terdiri dari enzim antioksidan seperti superoksida dismutase, katalase,
glutation peroksidase dan glutation reduktase, serta enzim penghasil ROS
seperti, NADPH oksidase (NOX), Myeloperoksidase (MPO), Xantin
oksidase (XO), dan NOS (Nitric oxide) (Marrocco, Altieri, dan Peluso,
2017).
Salah satu metode yang sederhana dan dapat digunakan untuk
mengukur tingkat stres oksidatif adalah pengukuran Advanced Oxidation
Protein Products (AOPP), pada tahun 1996, AOPP, ditemukan sebagai
biomarker stres oksidatif yang novel pada pasien dengan uremia kronis
(Witko-Sarsat et al., 1996). AOPP merupakan salah satu metode yang
paling tepat dalam mengukur tingkat stress oksidatif pada pasien sindroma
40

metabolik, AOPP terbentuk akibat stress oksidatif yang disebabkan oleh


oksidan yang mengalami kloraminasi, seperti asam hipoklorit dan kloramin.
AOPP memiliki struktur yang mirip dengan AGEs dan memiliki efek yang
mirip dengan AGEs, AOPP juga dapat dijadikan sebagai penanda awal pada
pasien DM dan Sindroma metabolik, hal tersebut dikarenakan menurut
beberapa penelitian AOPP lebih terkait dengan sindroma metabolik
dibanding biomarker oksidatif lainnya, terutama apabila berkaitan dengan
metabolisme glukosa, karena pembentukan AOPP dan AGEs berasal dari
sumber yang sama, yaitu disebabkan oleh keadaan hiperglikemia
(Venturini, Simão, dan Dichi, 2015). Pemeriksaan AOPP ini dapat
dilakukan dengan spektrofotometri, pada plasma darah yang dilarutkan
dalam buffer fosfat dengan pH 7.4, pada absorbansi 200 sampai 400 nm,
dan diberikan kalibrasi dengan kloramin-t yang apabila bereaksi dengan
kalium iodida dapat mengabsorbsi pada absorbansi 340 m, dan pada
akhirnya akan diberikan asam asetat untuk menghentikan reaksi, lalu diukur
dengan spektrofotometer (Witko-sarsat et al., 1996).

2.1.12. Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Tingkat Stres


Oksidatif pada pasien Diabetes Melitus tipe 2
Diabetes melitus yang ditandai dengan hiperglikemia kronis hampir
selalu disertai oleh kerusakan, disfungsi, dan pada akhirnya kegagalan dari
berbagai organ dan jaringan, hal tersebut berkaitan erat dengan munculnya
komplikasi mikrovaskular (Retinopati, Nefropati, Neuropati) dan
makrovaskular (Penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, dan
penyakit serebrovaskular). pada saat ini, ada bukti kuat bahwa hiperglikemi
merupakan awal dari terjadinya komplikasi vaskular pada DM, dan dalam
perjalanan penyakitnya, apabila hiperglikemia tidak terkontrol, maka kadar
ROS yang dihasilkan juga akan semakin tinggi, sehingga menyebabkan
stres oksidatif juga memegang peran yang sangat penting dalam patogenesis
dari komplikasi DM, mekanisme yang mengaitkan DM dengan stres
oksidatif berkaitan dengan metabolisme lemak dan lipid (Darenskaya,
Kolesnikova, dan Kolesnikov, 2021), sehingga dapat disimpulkan bahwa
41

ada beberapa proses metabolik yang dapat menyebabkan produksi ROS


pada keadaan hiperglikemi, yaitu antara lain, Pembentukan AGEs, aktivasi
PKC, dan gangguan pada jalur poliol, proses-proses tersebut telah dikenal
sebagai rute metabolik yang berbahaya pada DM (Nogueira-Machado dan
Chaves, 2008).
Dalam perjalan terjadinya komplikasi DM, Jalur-jalur yang telah
disebutkan di atas memiliki hubungan timbal balik dengan ROS, di mana
selain jalur-jalur tersebut dapat menyebabkan terjadinya mikroangiopati dan
produksi ROS yang menyebabkan komplikasi pada DM (Kumar, Abbas,
dan Aster, 2013), di sisi lain produksi ROS yang berlebihan akan semakin
meningkatkan aktivitas rute metabolik tersebut sehingga memperburuk
kondisi klinis pada pasien yang mengalami komplikasi (Chawla et al.,
2016), ROS juga akan menonaktifkan dua enzim anti-aterosklerosis yaitu
nitrogen oksida sintase endotel dan prostasiklin sintase sehingga
meningkatkan risiko ateroskleoris yang sudah meningkat pada pasien DM
(Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).
Tingkat stres oksidatif yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan
pada membran sel, terutama pada struktur lipid, protein, dan DNA, sehingga
merusak fungsi sel. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan pada lipid
melalui proses peroksidasi lipid, merusak DNA dengan memodifikasi basa
nukleotida, dan merusak protein melalui proses reaksi agregasi lintas produk
(Pizzino et al., 2017), yang karena itu pemeriksaan AGEs dan AOPP dapat
digunakan untuk pemeriksaan tingkat stres oksidatif karena keduanya
terbentuk akibat proses tersebut (Venturini, Simão, dan Dichi, 2015),
tingkat stres oksidatif dapat meningkat apabila sistem antioksidan tidak
dapat mengimbangi produksi ROS (Valko, Leibfritz, dan Moncol, 2007),
ditambah pada pasien diabetes, kadar antioksidan dapat menurun akibat
aktivasi dari jalur poliol yang menyebabkan penurunan kadar antioksidan
glutation (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013; Powers, 2010).
Oleh Karena komplikasi dari diabetes sangat berkaitan erat dengan
stres oksidatif, bahkan memiliki dua peran, yaitu bukan hanya berperan
sebagai penyebab manifestasi dari komplikasi DM, namun juga berperan
42

dalam laju perburukan komplikasi DM karena sifatnya yang dapat


mengaktivasi berbagai jalur metabolik yang berperan dalam menyebabkan
ataupun memperparah komplikasi dari DM (Darenskaya, Kolesnikova, dan
Kolesnikov, 2021), maka bilirubin, yang merupakan suatu antioksidan yang
poten (kapitulnik, 2004), memiliki potensi untuk mencegah maupun
mengurangi efek dari komplikasi dari DM, sebagaimana telah ditunjukkan
oleh penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Yasuda et al. (2011)
bahwa pada peningkatan kadar bilirubin dapat mencegah progesivitas
retinopati diabetik, di mana subjek dengan kadar bilirubin rendah memiliki
risiko empat kali lebih tinggi mengalami retinopati diabetik dibanding yang
memiliki kadar bilirubin tinggi.
Bilirubin dapat menjadi faktor protektif dari stres oksidatif melalui
terjadinya siklus redoks yang aktif ketika terjadi peningkatan stres oksidatif
dan melibatkan siklus konversi bilirubin menjadi biliverdin dan sebaliknya,
secara bolak-balik, yang di dalamnya bekerja juga enzim biliverdin
reduktase dan heme oksigenase yang juga merupakan antioksidan, dan
dalam siklus konversi tersebut, akan terjadi scavenging ROS (Kim dan Park,
2012). Mekanisme kerja antioksidan bilirubin mirip dengan cara kerja
glutation (Marrocco, Altieri, dan Peluso, 2017), yang dapat mengalami
penurunan kadar akibat peningkatan aktivasi jalur poliol pada DM (Kumar,
Abbas, dan Aster, 2013; Powers, 2010). Dengan demikian, kemampuan
antioksidan bilirubin dapat melindungi sel dari stres oksidatif dan mencegah
atau mengurangi keparahan dari komplikasi vaskular pada pasien DM
(Inoguchi, Sonoda, dan Maeda, 2016).
43

2.2. Kerangka Teori

Bilirubin Diabetes Melitus

Siklus Konversi
Hiperglikemia
Bilirubin-Biliverdin

Pembentukan AGEs
Efek
↑ROS Gangguan jalur poliol Mikroangiopati
scavenging ROS
Aktivasi Protein Kinase C

Antioksidan Stres Oksidatif

Kerusakan Kerusakan Kerusakan Agregasi lintas


lemak DNA protein produk

Disfungsi Sel AOPP

Komplikasi
Diabetes

Keterangan:
: Mencegah
: Menyebabkan

Gambar 2.10. Kerangka Teori Penelitian


44

BAB 3
KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN, DEFINISI
OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka konsep
penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel independen Variabel dependen

Kadar bilirubin total Tingkat stres oksidatif


serum pada pasien pada pasien diabetes
diabetes melitus tipe 2 melitus tipe 2
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Variabel Penelitian


3.2.1. Variabel Independen
Variabel Independen atau bebas dari penelitian ini adalah kadar
bilirubin total serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit
Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan.
3.2.2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau terikat dari penelitian ini adalah tingkat stres
oksidatif pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Prof. dr. H.
Chairuddin Panusunan Lubis Medan.
3.3. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Bilirubin Total Spektrof- Spektrofotometri Absorbansi Rasio
total penjumlahan -otometer dengan prinsip dalam satuan nm
serum kadar bilirubin dengan Jendrassik-Gróf yang kemudian
direk dan indirek absorbansi dikonversi
yang terkandung 540 nm menjadi mg/dL,
dalam darah. dengan nilai
normal 0,1-1,2
mg/dL
45

Glukosa Kadar glukosa Spektrof- Spektrofotometri Absorbansi Rasio


Darah yang terkandung -otometer dengan prinsip dalam satuan nm
Puasa di dalam darah dengan Reaksi Trinder yang kemudian
pasien yang telah absorbansi dikonersi
menjalani puasa 500 nm menjadi mg/dL
selama 8-12 jam dengan
interpretasi:
normal ≤126
mg/dL
(ADA, 2023).
Tingkat Kadar hasil Spektrofo- Spektrofotometri Absorbansi Rasio
stres agregasi lintas -tometer dengan prinsip dalam satuan nm
oksidatif produk akibat dengan Witko-Sarsat yang kemudian
stres oksidatif, absorbansi dikonversi
dalam penelitian 340 nm menjadi μmol/L
ini advanced ekuivalen
oxidation protein kloramin-T
products dengan nilai
normal ≤ 29
μmol/L
(Sunaiba, M. et
al., 2015)

3.4. Hipotesis
Kadar Bilirubin Total Serum memiliki hubungan yang berbanding terbalik
(faktor protektif) terhadap Tingkat Stres Oksidatif pada pasien DM tipe 2 di
Rumah Sakit Prof. Dr. Chairuddin Panusunan Lubis Medan.
46

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan
pendekatan potong lintang (cross-sectional)

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian


4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan terhitung setelah hari seminar
proposal hingga seminar hasil pada bulan juni hingga desember 2023.
4.2.2. Tempat Penelitian
Pengambilan sampel serum akan dilakukan di Rumah Sakit Prof. dr.
H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan dan untuk pemeriksaan sampel akan
dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang akan di teliti dalam penelitian ini adalah pasien
diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan
Lubis Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berikut.

4.3.1. Kriteria Inklusi


1. Pasien diabetes melitus dewasa.
2. Kadar bilirubin dalam rentang fisiologis
3. Pasien bersedia menandatangani informed consent setelah
mendapat penjelasan mengenai penelitian.
4. Pasien menjalani puasa sebelum pengambilan darah
4.3.2. Kriteria Eksklusi
1. Pasien sedang mengalami penyakit hati, empedu, maupun
penyakit lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia
2. Pasien mengalami penyakit sistemik parah seperti kanker, gagal
ginjal atau gagal jantung
3. Atlet profesional atau amatir
47

4.4. Estimasi Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


4.4.1. Besar Sampel
Estimasi besarnya sampel yang akan diobservasi dalam penelitian
ini, berdasarkan jenis penelitian yaitu cross-sectional, maka dapat dihitung
dengan rumus Cochran, yaitu:

z × p × (1 − p)
n=
e
Keterangan:
n = besar sampel
z = nilai distribusi normal berdasarkan confidence interval
p = prevalensi/proporsi
e = margin of error
Prevalensi diabetes melitus di Rumah Sakit Prof. dr. H. Chairuddin
Panusunan Lubis Medan pada tahun 2022 adalah 5%, nilai confidence
interval yang digunakan adalah 95% sehingga nilai z adalah 1,96, serta
margin of error yang digunakan adalah 5%. Oleh karena itu, maka besar
sampel yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah:
, × , ×( , )
n= = 72,99 ≈ 73 sampel
,
4.4.2. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling, di mana sampel yang akan diambil harus
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dan sampel tersebut akan diambil
hingga memenuhi jumlah sampel minimal, dengan alur sebagai berikut:
1. Penjelasan dan tanda tangan Informed consent
2. Pengambilan sampel darah vena mediana cubiti pasien yang telah
menjalani puasa sebanyak 2 ml
3. Analisis kadar bilirubin total serum pasien, jika tidak sesuai kriteria
inklusi, maka pasien tidak dijadikan sampel, dan akan dicari pasien
baru untuk menjadi sampel pengganti
4. Jika pasien telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi maka pasien
dapat menjadi sampel, dan dapat dilanjutkan analisis kadar AOPP
48

4.5. Metode dan Alat Pengumpul Data


4.5.1. Pemeriksaan Glukosa darah
Alat dan Bahan:
a. Alat:
 Spektrofotometer
 Vortex mixer
 Tip
 Tabung reaksi
 Gelas beaker
 Stopwatch
 Sarung tangan
b. Bahan:
 Aquadest
 Reagen R1 (Monoreagen): Buffer fosfat 100 mmol/L dengan
pH 7.5, glucose oksidase > 10 KU/L, Peroksidase > 2 KU/L,
4-Aminooantipyrine 0.5 mmol/L, dan phenol 5mmol/L
 Standar: Standar glukosa 100 mg/dL (5,55 mmol/L)
 Sampel serum
c. Prosedur:
1. Memakai sarung tangan
2. Mempersiapkan spektrofotometer dengan absorbansi 0 nm
dengan aquadest
3. Mempersiapkan reagen R1 dan standar
4. Mempersiapkan 3 buah tabung reaksi yang telah dilabeli
blanko, standar, dan sampel
5. Melakukan pipet ke dalam tabung reaksi sejumlah: (lihat
tabel 4.1.)
49

Tabel 4.1. Komposisi tabung reaksi pemeriksaan glukosa


Blanko Standar Sampel
R1 1,0 mL 1,0 mL 1,0 mL
Aquadest 10 μL - -
Standar - 10 μL -
Sampel - - 10 μL

6. Homogenkan cairan dengan menggunakan vortex mixer


kemudian inkubasikan selama 10 menit pada suhu ruangan atau
5 menit pada suhu 37 ºC
7. Membaca absorbansi larutan menggunakan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 500 nm
8. Mencatat absorbansi masing-masing larutan kemudian hitung
kadar glukosa dengan menggunakan rumus:
A sampel
Kadar Glukosa = 𝑥 C standar mg/dL
A standar
Keterangan:
A = Nilai absorbansi
C = Konsentrasi
4.5.2. Pemeriksaan Bilirubin Total Serum
Alat dan Bahan:
a. Alat:
 Spektrofotometer
 Vortex mixer
 Tip
 Tabung reaksi
 Gelas beaker
 Stopwatch
 Sarung tangan
50

b. Bahan:
 Aquadest
 Reagen T-BIL
 Reagen T-NIT
 Sampel serum
c. Prosedur:
1. Memakai sarung tangan
2. Mempersiapkan spektrofotometer dengan absorbansi 0 nm
dengan aquadest
3. Mempersiapkan 3 buah tabung reaksi yang telah dilabeli
dengan label sampel blanko, dan sampel
4. Melakukan pipet ke dalam tabung reaksi sejumlah:
Tabel 4.1. Komposisi tabung reaksi pemeriksaan
bilirubin total serum
Sampel Sampel Blanko
Reagen T-BIL 1 mL 1 mL
Reagen T-NIT 40 μL -

5. Menghomogenkan cairan menggunakan vortex mixer


kemudian diinkubasikan selama 5 menit
6. Menambahkan sebanyak 100 μL sampel serum darah pasien
pada kedua tabung.
7. Homogenkan lalu Inkubasikan selama 10 menit
8. Membaca nilai absorbansi sampel blanko menggunakan
spektrofotometer dengan Panjang gelombang 546 nm
9. Membaca nilai absorbansi sampel menggunakan
spektrofotometer dengan Panjang gelombang 546 nm
10. Mencatat absorbansi kemudian dihitung dengan persamaan

Kadar Bilirubin = 𝐴𝑠 − 𝐴𝑏 𝑥 13 mg/dL


Keterangan:
As = Absorbansi sampel
Ab =Absorbansi sampel blanko
51

4.5.3. Pemeriksaan Tingkat Stres Oksidatif


Untuk menilai tingkat stres oksidatif, dalam penelitian ini akan
dilakukan pemeriksaan terhadap Advanced Oxidation Protein Products
(AOPP).
Alat dan Bahan
a. Alat:
 Spektrofotometer
 Vortex mixer
 Tip
 Tabung reaksi
 Gelas beaker
 Stopwatch
 Sarung tangan
b. Bahan:
 Phosphate buffer saline pH 7,4
 Kalium iodida 1,16 M
 Asam asetat
 Kloramin-T
 Aquadest
 Sampel serum
c. Prosedur:
1. Memakai sarung tangan
2. Mempersiapkan spektrofotometer dengan absorbansi sebesar
340 nm
3. Mempersiapkan 3 buah tabung standar yang telah dilabeli
sampel, blanko, dan standar
4. Melakukan pipet ke dalam tabung reaksi sejumlah:
(Lihat tabel 4.2.)
52

Tabel 4.2. Komposisi tabung reaksi pemeriksaan AOPP

Blanko Standar Sampel


PBS 300 μL - 300 μL
KI 10 μL 10 μL 10 μL
CH3COOH 20 μL 20 μL 20 μL
Kloramin T - 300 μL -
Sampel - - 30 μL

5. Menghomogenkan cairan menggunakan vortex mixer


kemudian diinkubasikan selama 5 menit
6. Membaca nilai absorbansi dengan Panjang gelombang 340
nM
7. Mencatat nilai absorbansi masing-masing tabung kemudian
hitung dengan persamaan:
As − Ab
Kadar AOPP = x C Standar μmol/L
A standar
Keterangan:
As = Absorbansi sampel
Ab = Absorbansi sampel blanko
C = Konsentrasi

4.6. Aspek Pengukuran Penelitian

Pengukuran hubungan kadar bilirubin total serum dengan tingkat stres


oksidatif pada pasien diabetes melitus tipe 2 dalam penelitian ini akan dilakukan
dengan membandingkan kadar bilirubin total serum terhadap kadar Advanced
Oxidation Protein Products (AOPP) dengan sampel serum yang diambil dari
pasien diabetes melitus tipe 2.
53

4.7. Alur Penelitian

Survei awal penelitian

Pengajuan Ethical Clearance (EC)

Pengambilan sampel darah pasien


diabetes melitus tipe 2

Pemeriksaan kadar bilirubin total serum dan


Advanced Oxidation Protein Products (AOPP)
menggunakan Spektrofotometer

Analisis data

Kesimpulan

Laporan akhir

Gambar 4.1. Alur Penelitian


54

4.8. Aspek Etik Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapatkan izin berupa Ethical
Clearance yang diterbitkan oleh Komite Etik Pelaksanaan Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera untuk memastikan penelitian ini sesuai
dengan hukum dan etika yang berlaku. Ethical clearance dan Informed consent
juga akan dilampirkan dalam penelitian ini.

4.9. Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh dari setiap pemeriksaan kadar bilirubin total serum
yang merupakan variabel independen akan dianalisis hubungannya dengan
variabel dependen yaitu, kadar Advanced Oxidation Protein Products (AOPP)
menggunakan aplikasi statistik dari computer. Uji yang dilakukan adalah uji
Pearson correlation coefficient dan apabila distribusi data tidak normal maka akan
dilakukan uji Spearman’s rank correlation coefficient.
55

4.10. Jadwal dan Biaya Penelitian


4.10.1. Jadwal Penelitian
Seluruh agenda yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini
diperkirakan akan sesuai dengan jadwal yang tertera di tabel 4.3. warna
hijau menandakan kegiatan yang telah terlaksana dan warna kuning
menandakan kegiatan yang belum dilaksanakan.

Tabel 4.3. Jadwal penelitian

Bulan
No Nama Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Penyelesaian Proposal
Penelitian
2. Ujian Seminar Proposal
Penelitian
3. Revisi Proposal
4. Pengurusan Ethical
Clearance Ke Komisi Etik
Peneltian Kesehatan USU
5. Pengambilan data
6. Input, analisis, dan
interpretasi data hasil
penelitian
7. Persiapan penulisan
Laporan Hasil
8. Ujian Skripsi
9. Persiapan Manuskrip
10. Pengiriman Manuskrip ke
Jurnal
56

4.10.2. Biaya Penelitian


Perkiraan biaya yang akan dikeluarkan untuk melakukan penelitian
ini akan tercantum dalam tabel 4.4.
Tabel 4.4. Biaya Penelitian

No Uraian Banyak Harga Satuan Total


Reagen Bilirubin Total
1. 2 pak Rp400.000,00 Rp800.000,00
Rajawali Nusindo
Reagen Glukosa
2. Glory® Diagnostics 2 pak Rp250.000,00 Rp500.000,00
2 x 50 ml
Phosphate Buffer Saline
3. 1 botol Rp39.000,00 Rp39.000,00
pH 7,4
4. Kloramin-T trihidrat 5 gram Rp8.500,00 Rp42.500,00
5. Asam Asetat glasial 1 botol Rp70.000,00 Rp70.000,00
6. Kalium iodida 5 gram Rp10.000,00 Rp50.000,00
7. Tip biru 1 pak Rp50.000,00 Rp50.000,00
8. Tip kuning 1 pak Rp50.000,00 Rp50.000,00
9. Tabung Plain 1 pak Rp85.000,00 Rp85.000,00
10. Microtube 1 pak Rp65.000,00 Rp65.000,00
11. Sarung tangan nitril 1 pak Rp45.000,00 Rp45.000,00
12. Percetakan Rp275.000,00 Rp275.000,00
13. Biaya Tidak Terduga 10% Rp207.100,00
Rp 2.278.600,00
Total
57

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Prof. dr. H. Chairuddin
Panusunan Lubis Medan yang beralamat di Jalan Dr. Mansyur 66, Kelurahan
Merdeka, Kec. Medan Baru, Kota Medan, selama periode 10 Agustus 2023 hingga
10 Oktober 2023. Pengambilan sampel darah pasien dilakukan di Instalasi
Laboratorium Rawat Jalan di Rumah sakit tersebut. pengambilan sampel dibantu
oleh 2 orang petugas laboratorium, yang kemudian diolah menjadi serum darah di
Laboratorium Patologi Klinik rumah sakit tersebut.
5.2. Deskripsi Sampel Penelitian
Penelitian ini spesifik mengambil sampel pasien DM tipe 2 di Laboratorium
Rawat Jalan RS Prof. dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan, di mana, setiap
ada pasien DM tipe 2 yang melakukan pemeriksaan darah, maka peneliti akan
meminta 1 tabung darah pasien tersebut, dengan melakukan informed consent
terlebih dahulu. Jumlah sampel yang diperlukan adalah sebanyak 73 sampel serum
pasien DM tipe 2, dan jumlah sampel yang berhasil diperoleh adalah sebanyak 73
sampel.
Karakteristik individu yang menjadi sampel dalam penelitian ini,
berdasarkan umur dan jenis kelaminnya dapat dilihat pada Tabel 5.1.
58

Tabel 5.1. Karakteristik Sampel Penelitian


Frekuensi (n=73) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-Laki 35 47,9%
Perempuan 38 52,1%
Umur (58)
<50 9 12,3%
50-60 38 52,1%
>60 26 35,6%
Glukosa Darah
(157,32 ± 37,72 mg/dL)
Normoglikemi 14 19,2%
Hiperglikemi 59 80,8%
Bilirubin Total Serum
(0,656 ±0,3 mg/dL)
<0,4 mg/dL 19 26,0%
0,4-0,8 mg/dL 23 31,5%
>0,8 mg/dL 31 42,5%
AOPP
(112,78 ± 90 μmol/L)
≤29 μmol/L 16 21,9%
>29 μmol/L 57 78,1%

Dari 73 Sampel yang didapatkan, 38 orang (52,1%) di antaranya adalah


perempuan, dengan rentang umur terbanyak adalah usia 50-60 tahun yaitu
sebanyak 38 individu (52,1%), dan berdasaran hasil spektrofotometri, mayoritas
dari pasien yang menjadi sampel pada penelitian ini mengalami hiperglikemia,
yaitu sebanyak 59 orang pasien (80,8%), dalam penelitian ini ditemukan juga,
sebanyak 31 orang pasien (42,5%) memiliki kadar bilirubin sebesar >0,8 mg/dL
dengan rerata kadar bilirubin pada sampel sebesar 0,656 ± 0,3 mg/dL, serta
mayoritas pasien memiliki kadar AOPP, sebagai penanda stress oksidatif, yang
melewati batas normal (>29 μmol/L), yaitu sebanyak 57 orang (78,1%).
59

5.3. Deskripsi Hubungan Bilirubin Total Serum dengan Glukosa arah


Dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa kadar rata-rata glukosa darah
pada sampel pasien adalah 157,32 ± 37,72 mg/dL, sedangkan rerata kadar
bilirubin total serum pada sampel adalah 0,656 ± 0,3 mg/dL.

Gambar 5.1. Gambaran Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Kadar
Glukosa Darah pada sampel penelitian ρ = -0,08; p = 0,944 (p>0,05)

Tabel 5.2. Korelasi Kadar Bilirubin Total Serum dengan


Kadar Glukosa Darah Puasa
Glukosa Darah Puasa
Bilirubin Total Serum ρ = -0,08
p = 0,944 (p>0,05)
n = 73
Uji Korelasi Spearman
Dikarenakan distribusi data tidak normal untuk kadar glukosa darah puasa
dan kadar bilirubin setelah dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dengan
p = 0,28 & p = 0,10 (p<0,05), maka dilakukan uji statistic Spearman’s Rank
Correlation Coefficient, dan terlihat bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara kadar bilirubin total serum dengan kadar glukosa darah puasa (ρ = -0,08;
p>0,05).
60

5.4. Deskripsi Hubungan Glukosa darah dengan Tingkat Stres Oksidatif

Dari hasil analisis sampel ditemukan bahwa, rerata kadar AOPP pada
sampel pasien adalah sebesar 112,78 ± 90 μmol/L, dengan rerata kadar glukosa
darah sebesar 157,32 ± 37,72 mg/dL.

Gambar 5.2. Gambaran Hubungan Kadar Glukosa Darah dengan Kadar


Advanced Oxidation Protein Products pada sampel penelitian
ρ = -0,187; p = 0,114 (p>0,05)
Tabel 5.3. Korelasi Kadar Glukosa Darah Puasa dengan Kadar AOPP
AOPP
Glukosa Darah Puasa ρ = -0,187
p = 0,114 (p>0,05)
n = 73
Uji Korelasi Spearman
Data kadar AOPP dan kadar glukosa darah puasa pada pasien tidak
berdistribusi normal berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, dengan p
value yang menunjukkan hasil, p = 0,04 dan p = 0,10 (p<0,05), sehingga uji
statistik Spearman’s Rank Correlation Coefficient pun dilakukan, dan terlihat
bahwa tidak ditemukan korelasi yang signifikan (ρ = -0,187; p>0,05) antara kadar
Glukosa darah dengan Kadar AOPP yang mengukur tingkat stress oksidatif.
61

5.5. Deskripsi hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Tingkat


Stres Oksidatif

Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa kadar rerata dari Advanced


Oxidation Protein Products adalah 112,78 ± 90 μmol/L, dengan kadar bilirubin
total serum rata-rata sebesar 0,656 ± 0,3 mg/dL.

Gambar 5.3. Gambaran Hubungan Kadar Bilirubin Total Serum dengan Kadar
Advanced Oxidation Protein Products: ρ = -0,279; p = 0,017 (p<0,05)
Tabel 5.4. Korelasi Kadar Bilirubin Total Serum dengan Kadar AOPP
AOPP
Bilirubin Total Serum ρ = -0,279
p = 0,017 (p<0,05)
n = 73
Uji Korelasi Spearman
Pada uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, ditemukan bahwa data Kadar
AOPP dan Kadar Bilirubin Total Serum tidak berdistribusi normal, dengan p =
0,04 dan p = 0,28 (p<0,05), sehingga dilakukan Uji Spearman’s Rank Correlation
Coefficient didapatkan bahwa terdapat korelasi monotonik negatif (ρ = -0,279)
yang signifikan (p<0,05) antara kadar bilirubin total serum dengan kadar
advanced oxidation protein products. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika
terjadi peningkatan dari kadar bilirubin, kadar AOPP menurun, namun korelasi
tersebut bersifat lemah (0,2 ≤ ρ ≤ 0,39).
62

5.6. Pembahasan
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa, pada pasien yang menjadi sampel,
lebih banyak penderita DM yang berjenis kelamin perempuan, yaitu sejumlah 38
orang (52,1%), data ini sedikit berbeda, meskipun tidak terlalu jauh, dibandingkan
data dari Riskesdas Sumut 2018, di mana tidak ada perbedaan yang signifikan
antara jumlah penderita DM berjenis kelamin laki-laki (50,1%) dan perempuan
(49,9%), namun pada data tersebut juga disebutkan bahwa prevalensi DM pada
perempuan (1,78%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (1,21%).
Perbedaan data tersebut bisa jadi disebabkan karena jumlah sampel yang tidak
terlalu besar, atau pun dikarenakan setting penelitian yang dilakukan di rumah
sakit, sebagaimana menurut penelitian Mesa (2018) di Inggris, laki-laki dengan
diabetes melitus tipe 2 lebih jarang melakukan follow up terhadap penyakitnya,
dibandingkan dengan wanita, begitu pula menurut penelitian Rasdianah et al. pada
tahun 2016 di Indonesia yang menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan berobat
pada pasien DM lebih tinggi pada pasien yang berjenis kelamin perempuan.
Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa, sampel pasien DM tipe 2 yang
paling banyak berasal dari rentang umur 50-60 tahun (52,1%), hal ini sesuai
dengan data pasien DM tipe 2 di seluruh dunia pada tahun 2021, yaitu, pasien DM
tipe 2 yang paling banyak adalah yang memiliki rentang umur 55-59 tahun (18%)
diikuti oleh umur 50-54 tahun (17%) (International Diabetes Federation, 2021).
Data pada penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan juga menunjukkan hal
serupa, di mana proporsi kasus diabetes melitus tipe 2 paling banyak diderita oleh
kelompok umur 51-65 tahun (58%) (Sinaga, M., 2020).
Sedangkan untuk kadar bilirubin total serum pada sampel pasien DM tipe 2
dalam penelitian ini, ditemukan bahwa nilai reratanya adalah 0,656 ± 0,3 mg/dL,
jumlah sampel terbanyak terdapat pada kelompok dengan rentang kadar bilirubin
total serum >0,8 mg/dL.
Berdasarkan hasil uji statistik spearman’s rank correlation coefficient, tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kadar bilirubin total serum dengan kadar
glukosa darah puasa (ρ = -0,08; p>0,05), yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara kadar bilirubin total serum degan kadar glukosa
darah pada sampel penelitian ini, hal ini sesuai dengan penelitian oleh Wei et al.,
63

pada tahun 2021 terhadap data sekunder di Amerika Serikat yang juga
menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan yang berarti antara kadar
bilirubin total serum dengan glukosa darah puasa pada pasien DM tipe 2,
penelitian oleh Oda dan Aizawa (2015) pada pria dan wanita Jepang juga
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar bilirubin
total serum dengan peningkatan kadar glukosa darah.
Sedangkan pada penelitian oleh Jo et al., (2011), ditemukan adanya
hubungan negatif yang signifikan antara kadar bilirubin total serum dengan kadar
glukosa darah puasa pada populasi pria dan wanita di Korea, namun hubungan
tersebut bersifat sangat lemah dengan koefisien korelasi yang bernilai r = -0,052
pada kelompok pria dan r = -0,085 pada kelompok wanita.
Hasil yang tidak konsisten di beberapa penelitian ini mengindikasikan
bahwa mekanisme perlindungan oleh bilirubin pada pasien DM bekerja melalui
efek anti-oksidasi dan anti-inflamasinya, bukan dengan cara mempengaruhi kadar
glukosa darah (Wei et al., 2021). Hal tersebut juga sejalan dengan sifat bilirubin
yang memang merupakan suatu antioksidan yang poten (Kapitulnik, 2004), dan
bekerja dengan cara melakukan scavenging terhadap ROS (Kim dan Park, 2012).
yang dapat dihasilkan melalui pembentukan dari AGEs yang berkaitan erat
dengan kadar AOPP (Venturini, Simão, dan Dichi, 2015).
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kadar glukosa darah pada pasien DM dengan tingkat stres
oksidatif yang diukur dengan menggunakan AOPP. Hal tersebut ditunjukkan
melalui uji statistik spearman’s rank correlation coefficient yang menunjukkan
P >0,05 (0,114) dan r = -0,187. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Kalousová
et al., di Republik Ceko pada tahun 2001, di mana tidak ditemukan hubungan
antara AOPP terhadap kadar glukosa darah pada pasien DM tipe 1 dan tipe 2.
Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian oleh Sánchez et al., 2017 di
Meksiko juga menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kadar
AOPP dan glukosa darah puasa pada populasi orang muda yang sehat.
Tetapi hasil yang kontradiktif ditemukan pada penelitian Boyacı, Yiğitbaşı,
dan Ankarali di Turki pada tahun 2021, di mana kadar glukosa darah puasa
memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap tingkat stres oksidatif, namun
64

pada penelitian tersebut juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi tingkat
stress oksidatif seperti resistensi insulin dan kadar HbA1C. Selain itu, faktor lain
yang mempengaruhi tingkat stress oksidatif (kadar AOPP) pada penderita diabetes
adalah durasi mengalami penyakit, di mana terjadi peningkatan kadar AOPP dan
AGEs seiring bertambah lamanya seseorang mengalami DM tipe 2 (Heidari et al.,
2020). Namun dalam penelitian ini tidak berhasil didapatkan data mengenai
resistensi insulin, kadar HbA1C, maupun durasi pasien mengalami diabetes
melitus tipe 2, sehingga kemungkinan beberapa faktor yang tidak terdata tersebut
juga berpengaruh terhadap tingkat stress oksidatif (kadar AOPP).
Pada uji statistic spearman’s rank correlation coefficient ditemukan adanya
hubungan monotonic negatif yang signifikan (ρ = -0,279; p<0,05) antara kadar
bilirubin total serum dengan tingkat stress oksidatif yang diwakili oleh kadar
AOPP pada pasien DM tipe 2 yang menjadi sampel penelitian ini, hal ini sesuai
dengan yang dihipotesiskan, di mana terdapat hubungan negatif antara kadar
bilirubin total serum dengan tingkat stres oksidatif pada pasien DM tipe 2.
Sehingga ketika kadar bilirubin meningkat, tingkat stress oksidatif akan menurun,
sehingga risiko komplikasi pada DM tipe 2 juga pastinya akan berkurang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Erkus et al. di Turki pada
tahun 2018 yang menunjukkan bahwa kadar bilirubin total serum lebih tinggi pada
pasien dengan kontrol gula darah yang baik dibandingkan yang buruk. Kontrol
gula darah yang buruk terkait dengan tingkat keparahan pada DM tipe 2, yang
juga saling mempengaruhi dengan stres oksidatif (Kumar, Abbas, dan Aster,
2013).
Berdasarkan penelitian Shawki et al. pada tahun 2021 di Mesir, ditemukan
juga bahwa kadar bilirubin total serum juga memiliki hubungan yang negatif
dengan kadar malondialdehid (MDA), yang menunjukkan bahwa peningkatan
kadar bilirubin total serum akan berpengaruh terhadap penurunan tingkat stress
oksidatif (Gaweł et al., 2004).
Penelitian dari Vítek et al., (2022) menunjukkan bahwa peningkatan kadar
bilirubin total serum berkaitan dengan peningkatan TAS (Total Antioxidant
Status), dan pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa kadar bilirubin total
serum yang secara signifikan lebih rendah pada kelompok pasien dengan berbagai
65

jenis aterosklerosis dibandingkan yang tidak, dan pada kelompok aterosklerosis


ditemukan bahwa kadar stres oksidatif dan inflamasi jauh lebih tinggi
dibandingkan kelompok yang sehat.
Hal yang senada juga ditemukan pada penelitian di RSUP H. Adam Malik
oleh Faradilla, M., Siregar, Y., dan Dalimunthe, D. (2017), yang menunjukkan
bahwa kadar bilirubin total serum lebih tinggi pada kelompok DM tipe 2 tanpa
nefropati diabetik dibandingkan pada yang mengalami nefropati diabetik.
Penelitian oleh Yasuda et al. di Jepang, pada tahun 2011 juga menunjukkan bahwa
pasien DM tipe 2 dengan kadar bilirubin total serum pada kuartil tertinggi,
memiliki prevalensi retinopatik diabetik lebih rendah dibandingkan pada pasien
dengan tiga kuartil yang lebih rendah.
Hasil yang konsisten antara penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas
semakin menegaskan bahwa bilirubin total serum berkaitan dengan tingkat stres
oksidatif, di mana aktivitas antioksidasi pada bilirubin dapat menurunkan kadar
ROS sehingga juga menurunkan kadar dari stres oksidatif, dan pengaruh dari
penurunan stres oksidatif tersebut juga berpengaruh terhadap penurunan kejadian
komplikasi akibat DM tipe 2.

5.7. Keterbatasan dan Kekurangan Penelitian


Dalam penelitian ini, data mengenai jenis dan keparahan komplikasi, durasi
mengalami DM tipe 2, Resistensi Insulin, serta Indeks Massa Tubuh tidak berhasil
didapatkan, sehingga hal tersebut juga berpengaruh terhadap nilai korelasi yang
signifikan namun tidak terlalu kuat (ρ = -0,279; p<0,05), karena tingkat stres
oksidatif juga dapat dipengaruhi oleh durasi penyakit (Heidari et al., 2020) dan
jenis serta keparahan komplikasi (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).
66

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:
1. Karakteristik pasien yang menjadi sampel penelitian, lebih banyak yang
berjenis kelamin perempuan (52,1%), sedangkan yang berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 47,9%, dengan rentang usia yang terbanyak adalah
50-60 tahun (52,1%), diikuti oleh rentang usia >60 tahun (35,6%), dan
rentang usia <50 tahun (12,3%).
2. Nilai rata-rata kadar bilirubin total serum pada sampel penelitian ini
adalah sebesar 0,656 ± 0,3 mg/dL.
3. Gambaran kadar glukosa darah pada pasien yang menjadi sampel
menunjukkan rerata kadar glukosa sebesar 157,32 ± 37,72 mg/dL.
4. Gambaran tingkat stres oksidatif pada penelitian ini yang
direpresentasikan dengan nilai kadar Advanced Oxidation Protein
Products menunjukkan nilai rata-rata sebesar 112,78 ± 90 μmol/L,
dengan 57 orang pasien (78,1%) memiliki kadar AOPP di atas normal
(>29 μmol/L)
5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar bilirubin total
serum dengan kadar glukosa darah pada pasien yang menjadi sampel
(ρ = -0,08; p>0,05).
6. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar glukosa darah
dengan tingkat stress oksidatif pada pasien yang mejadi sampel
(ρ = -0,187; p>0,05).
7. Terdapat hubungan monotonik negatif (ρ = -0,279; p<0,05) yang
signifikan antara kadar bilirubin total serum dengan tingkat stres
oksidatif pada pasien DM tipe 2 di RS Prof. dr. H. Chairuddin
Panusunan Lubis Medan.
67

6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti kepada peneliti berikutnya yang
ingin melakukan penelitian yang berkaitian dengan peneliti ini:
1. Penambahan jumlah sampel sehingga data yang didapatkan bisa lebih
mewakili gambaran yang sebenarnya, dapat dilakukan juga penambahan
durasi pengambilan sampel di rumah sakit
2. Mengelompokan sampel penelitian berdasarkan ada tidaknya
komplikasi, membuat kelompok yang sehat, serta mengelompokan
sampel penelitian berdasarkan durasi pasien mengalami DM tipe 2,
sehingga dapat dianalisis lebih dalam apakah bilirubin total serum dapat
menjadi faktor protektif terhadap stres oksidatif pada pasien DM tipe 2,
bukan hanya melihat ada tidaknya hubungan.
3. Jika memungkinkan, menggunakan Assay-Kit yang sudah
terstandarisasi (bermerk) pada pemeriksaan AOPP, sehingga
mempermudah analisis serta mencegah terjadinya kerusakan dan
kesalahan konsentrasi pada reagen.
4. Melanjutkan penelitian ini dengan menambahkan analisis terhadap
kadar HbA1C yang mewakili kontrol gula darah, karena mengukur
kontrol gula darah selama 3 bulan, dan juga durasi pasien mengalami
DM tipe 2, Resistensi Insulin, serta Indeks Massa Tubuh yang juga
berpengaruh terhadap tingkat stres oksidatif.
68

DAFTAR PUSTAKA

American Association of Clinical Endocrinologists Board of Directors and


American College of Endocrinologists Board of Trustees, 2010. American
Association of Clinical Endocrinologists/American College of
Endocrinology Statement on The Use of Hemoglobin A1c for the Diagnosis
of Diabetes. Endocr. Pract. 16: 155–156.
American Diabetes Association, 2014. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus, Diabetes Care, 37(1). doi: 10.2337/dc14-S081
Aswath GS, Foris LA, and Aswath AK, et al. 2022. Diabetic Gastroparesis-NCBI
Bookshelf, National Center for Biotechnology Information. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430794/ [Accessed 3 May 2023]
Aune, D., Ursin, G., and Veierød, M.B., 2009. Meat Consumption and The Risk of
Type 2 Diabetes: A Systematic Review and Meta-analysis of Cohort Studies.
Diabetologia 52: 2277–2287.
Aune, D., Norat, T., Romundstad, P., and Vatten, L.J., 2013. Whole Grain and
Refined Grain Consumption and The Risk of Type 2 Diabetes: A Systematic
Review and Dose-Response Meta-Analysis of Cohort Studies. Eur. J.
Epidemiol. 28: 845–858.
Ayala, A., Muñoz, M.F., and Argüelles, S., 2014. Lipid Peroxidation: Production,
Metabolism, And Signaling Mechanisms of Malondialdehyde And 4-
Hydroxy-2-Nonenal. Oxid. Med. Cell. Longev. 2014, 360438.
Beer, H. and Bernhard, K., 1959. The Effect of Bilirubin and Vitamin E on The
Oxidation of Unsaturated Fatty acids by ultraviolet irradiation. Chimia
(Aarau).
Bellarosa, C. and Tiribelli, C., 2012. Disturbances of Bilirubin Metabolism. In:
Textbook of Clinical Gastroenterology and Hepatology. John Wiley & Sons,
Ltd: 706–712.
Bellou, V., Belbasis, L., Tzoulaki, I., and Evangelou, E., 2018. Risk Factors for
Type 2 Diabetes Mellitus: An Exposure-Wide Umbrella Review of Meta-
Analyses. PLoS One 13: e0194127.
69

Bernhard, K., Ritzel, G., and Steiner, K., 1954. On A Biological Significance of
Bile Pigments: Bilirubin and Biliverdin as Antioxidants for Vitamin A and
Essential Fatty Acids. Helv. Chim. Acta.
Boon, A.-C., Bulmer, A.C., Coombes, J.S., and Fassett, R.G., 2014. Circulating
Bilirubin and Defense Against Kidney Disease and Cardiovascular Mortality:
Mechanisms Contributing to Protection in Clinical Investigations. Am. J.
Physiol. Renal Physiol. 307: F123-36.
Boyacı I., Yiğitbaşı T., Ankaralı H., 2021. Is Oxidative Stress a Consequence of
Hyperglycemia? Or is Hyperglycemia the Consequence of Oxidative Stress?
Or are Both Caused by Insulin Resistance? Int. Arch. Endocrinol. Clin. Res.
Bulmer, A.C., Blanchfield, J.T., Toth, I., Fassett, R.G., and Coombes, J.S., 2008.
Improved Resistance to Serum Oxidation in Gilbert’s Syndrome: A
Mechanism for Cardiovascular Protection. Atherosclerosis 199: 390–396.
Casqueiro, Juliana, Casqueiro, Janine, and Alves, C., 2012. Infections in Patients
with Diabetes Mellitus: A Review of Pathogenesis. Indian J. Endocrinol.
Metab. 16 Suppl 1: 27-36.
Cerf, M.E., 2013. Beta Cell Dysfunction and Insulin Resistance. Front. Endocrinol.
(Lausanne). 4: 37.
Chawla, A., Chawla, R., and Jaggi, S., 2016. Microvasular and Macrovascular
Complications in Diabetes Mellitus: Distinct or Continuum? Indian J.
Endocrinol. Metab. 20: 546–551.
Cheriyath, P., et al., 2010. High Total Bilirubin as a Protective Factor for Diabetes
Mellitus: An Analysis of NHANES Data From 1999 - 2006. J. Clin. Med.
Res. 2: 201–206.
Coelho, M., Oliveira, T., and Fernandes, R., 2013. Biochemistry of Adipose Tissue:
An Endocrine Organ. Arch. Med. Sci. 9: 191–200.
Cohen, R.M., Haggerty, S., and Herman, W.H., 2010. Hba1c for The Diagnosis of
Diabetes and Prediabetes: Is It Time for a Mid-Course Correction? J. Clin.
Endocrinol. Metab.
Czech, M.P., 2020. Mechanisms of Insulin Resistance Related to White, Beige, and
Brown Adipocytes. Mol. Metab. 34: 27–42.
70

Darenskaya, M.A., Kolesnikova, L.I., and Kolesnikov, S.I., 2021. Oxidative Stress:
Pathogenetic Role in Diabetes Mellitus and Its Complications and
Therapeutic Approaches to Correction. Bull. Exp. Biol. Med. 171: 179–189.
Dennery, P.A., McDonagh, A.F., Spitz, D.R., Rodgers, P.A., and Stevenson, D.K.,
1995. Hyperbilirubinemia Results in Reduced Oxidative Injury in Neonatal
Gunn Rats Exposed to Hyperoxia. Free Radic. Biol. Med. 19: 395–404.
Dimas, A.S., et al., 2014. Impact of Type 2 Diabetes Susceptibility Variants on
Quantitative Glycemic Traits Reveals Mechanistic Heterogeneity. Diabetes
63: 2158–2171.
Dosch, A.R., Imagawa, D.K., and Jutric, Z., 2019. Bile Metabolism and
Lithogenesis: An Update. Surg. Clin. North Am. 99: 215–229.
Doumas, B.T., et al., 1985. Candidate Reference Method for Determination of Total
Bilirubin in Serum: Development and Validation. Clin. Chem. 31: 1779–
1789.
Duman, H. and Özyurt, S., 2018. Low Serum Bilirubin Levels Associated with
Subclinical Atherosclerosis in Patients with Obstructive Sleep Apnea. Interv.
Med. Appl. Sci. 10, 179–185.
ElSayed, N.A., et al., Association, on behalf of the A.D., 2022. Introduction and
Methodology: Standards of Care in Diabetes—2023. Diabetes Care 46: S1–
S4.
Erkus, E. et al., 2018. Serum bilirubin level is associated with diabetic control in
type 2 diabetes mellitus. Blood, Heart and Circulation. 2. 1-2.
10.15761/BHC.1000132.
Esposito, K., Chiodini, P., Maiorino, M.I., Bellastella, G., Panagiotakos, D., and
Giugliano, D., 2014. Which Diet for Prevention of Type 2 Diabetes? A Meta-
Analysis of Prospective Studies. Endocrine 47: 107–116.
Faradilla, M.A., Siregar, Y., & Dalimunthe, D., 2017. Penurunan Bilirubin
Meningkatkan Oksidasi Lipoprotein A Pada Nefropati Diabetik. Jurnal
Kedokteran Syah Kuala.

Franchini, M., Targher, G., and Lippi, G., 2010. Serum Bilirubin Levels and
Cardiovascular Disease Risk: A Janus Bifrons? Adv. Clin. Chem. 50: 47–63.
71

Franks, P.W., Pearson, E., and Florez, J.C., 2013. Gene-Environment and Gene-
Treatment Interactions in Type 2 Diabetes: Progress, Pitfalls, And Prospects.
Diabetes Care 36: 1413–1421.
Fretzayas, A., Moustaki, M., Liapi, O., and Karpathios, T., 2012. Gilbert Syndrome.
Eur. J. Pediatr. 171: 11–15.
Fuchsberger, C., et al., 2016. The genetic architecture of type 2 diabetes. Nature
536: 41–47.
Fujii, H., Nakai, K., and Fukagawa, M., 2011. Role of Oxidative Stress and Indoxyl
Sulfate in Progression of Cardiovascular Disease in Chronic Kidney Disease.
Ther. Apher. Dial. 15: 125–128.
Fung, T.T., et al., 2002. Whole-Grain Intake and The Risk Of Type 2 Diabetes: A
Prospective Study in Men. Am. J. Clin. Nutr. 76: 535–540.
Galicia-Garcia, U., et al., 2020. Pathophysiology of Type 2 Diabetes Mellitus. Int.
J. Mol. Sci. 21.
Gastaldelli, A., Gaggini, M., and DeFronzo, R.A., 2017. Role of Adipose Tissue
Insulin Resistance in the Natural History of Type 2 Diabetes: Results from
the San Antonio Metabolism Study. Diabetes 66: 815–822.
Gaweł, S., Wardas, M., Niedworok, E., & Wardas, P., 2004. Dialdehyd malonowy
(MDA) jako wskaźnik procesów peroksydacji lipidów w organizmie
[Malondialdehyde (MDA) as a lipid peroxidation marker]. Wiadomosci
lekarskie (Warsaw, Poland : 1960), 57(9-10), 453–455.
Giacco F and Brownlee M. 2010. Oxidative Stress and diabetic complications. Circ
Res. 107(9): 1058–1070.
Goyal R and Jialal I. 2022. Diabetes Mellitus Type 2-NCBI Bookshelf, National
Center for Biotechnology Information. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513253/ [Accessed 2 May 2023]
Gregg, E.W., et al., 2014. Changes in Diabetes-Related Complications in The
United States, 1990-2010. N. Engl. J. Med. 370: 1514–1523.
Gregg, E.W. and Menke, A., 2018. Diabetes and Disability. In: Diabetes in
America. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases,
Bethesda 3: 1–15.
72

Halban, P.A., et al., 2014. β-cell failure in type 2 diabetes: postulated mechanisms
and prospects for prevention and treatment. J. Clin. Endocrinol. Metab. 99:
1983–1992.
Harvey Ph. D, R.A., 2011. Lippincott’s illustrated reviews: Biochemistry, 5th ed.
Wolters Kluwer Health, Philadelphia.
Heidari, F., Rabizadeh, S., Rajab, A., Heidari, F., Mouodi, M., Mirmiranpour, H.,
Esteghamati, A., & Nakhjavani, M., 2020. Advanced glycation end-products
and advanced oxidation protein products levels are correlates of duration of
type 2 diabetes. Life sciences, 260, 118422.
Hermanns-Lê, T., Scheen, A., and Piérard, G.E., 2004. Acanthosis Nigricans
Associated with Insulin Resistance: Pathophysiology and Management. Am.
J. Clin. Dermatol. 5: 199–203.
Hillier, T.A. and Pedula, K.L., 2003. Complications in Young Adults with Early-
Onset Type 2 Diabetes: Losing the Relative Protection of Youth. Diabetes
Care 26: 2999–3005.
Holesh, J.E., Aslam, S., and Martin, A., 2023. Physiology, Carbohydrates-
Statpearls-NCBI Bookshelf, National Center for Biotechnology Information.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459280/
[Accessed 3 May 2023]
Imamura, F., et al., 2015. Consumption Of Sugar Sweetened Beverages, Artificially
Sweetened Beverages, And Fruit Juice and Incidence of Type 2 Diabetes:
Systematic Review, Meta-Analysis, and Estimation of Population
Attributable Fraction. BMJ 351: h3576.
Inoguchi, T., Sonoda, N., and Maeda, Y., 2016. Bilirubin as an important
physiological modulator of oxidative stress and chronic inflammation in
metabolic syndrome and diabetes: a new aspect on old molecule. Diabetol.
Int.
International Diabetes Federation, 2021. IDF Diabetes Atlas. 10th edn. Brussels.
Available at: https://www.diabetesatlas.org.Jedlitschky.
Jo, J., Yun, J. E., Lee, H., Kimm, H., & Jee, S. H., 2011. Total, direct, and indirect
serum bilirubin concentrations and metabolic syndrome among the Korean
population. Endocrine, 39(2), 182–189.
73

Jedlitschky, G., Hoffmann, U., and Kroemer, H.K., 2006. Structure and Function
of The MRP2 (ABCC2) Protein and Its Role in Drug Disposition. Expert
Opin. Drug Metab. Toxicol. 2: 351–366.
Kalakonda A, Jenkins BA, and John S. 2022. Physiology, Bilirubin-StatPearls-
NCBI Bookshelf, National Center for Biotechnology Information. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470290/?report=classic
[Accessed 20 April 2023].
Kalofoutis, C., Piperi, C., Kalofoutis, A., Harris, F., Phoenix, D., and Singh, J.,
2007. Type II Diabetes Mellitus and Cardiovascular Risk Factors: Current
Therapeutic Approaches. Exp. Clin. Cardiol. 12: 17–28.
Kamisako, T., et al., 2000. Recent Advances in Bilirubin Metabolism Research:
The Molecular Mechanism of Hepatocyte Bilirubin Transport and Its Clinical
Relevance. J. Gastroenterol. 35: 659–664.
Kapitulnik, J., 2004. Bilirubin: An Endogenous Product of Heme Degradation with
Both Cytotoxic and Cytoprotective Properties. Mol. Pharmacol. 66: 773–779.
Kapitulnik, J., Benaim, C., and Sasson, S., 2012. Endothelial Cells Derived from
the Blood-Brain Barrier and Islets of Langerhans Differ in their Response to
the Effects of Bilirubin on Oxidative Stress Under Hyperglycemic
Conditions. Front. Pharmacol. 3: 131.
Kauffmann, H. and Garloff, H., 1961. Pro- And Antioxidants in Lipid Research II:
On Naturally Occurring Antioxidants, 1. A report. Fette Seifen Anstrichm.
Kikuchi, G., Yoshida, T., and Noguchi, M., 2005. Heme oxygenase and heme
degradation. Biochem. Biophys. Res. Commun. 338: 558–567.
Kilpatrick, E.S., Bloomgarden, Z.T., and Zimmet, P.Z., 2009. Is Haemoglobin A1c
a Step Forward for Diagnosing Diabetes? BMJ 339: b4432.
Kim, S.Y. and Park, S.C., 2012. Physiological Antioxidative Network of The
Bilirubin System in Aging and Age-Related Diseases. Front. Pharmacol. 3:
45.
King, G.L. and Loeken, M.R., 2004. Hyperglycemia-Induced Oxidative Stress in
Diabetic Complications. Histochem. Cell Biol. 122: 333–338.
Klauke, R., Kytzia, H.-J., Weber, F., Grote-Koska, D., Brand, K., and Schumann,
G., 2018. Reference Measurement Procedure for Total Bilirubin in Serum Re-
74

Evaluated and Measurement Uncertainty Determined. Clin. Chim. Acta. 481:


115–120.
Klein, K.R., Walker, C.P., McFerren, A.L., Huffman, H., Frohlich, F., and Buse,
J.B., 2021. Carbohydrate Intake Prior to Oral Glucose Tolerance Testing. J.
Endocr. Soc. 5: bvab049.
Kumar, V., Abbas, A., Aster, J.C., 2013. Robbins basic pathology, 9th ed.
Ringgold, Inc., Portland
Kuo, T., McQueen, A., Chen, T.-C., and Wang, J.-C., 2015. Regulation of Glucose
Homeostasis by Glucocorticoids. Adv. Exp. Med. Biol. 872: 99–126.
Lapolla, A., Mosca, A., and Fedele, D., 2011. The General Use of Glycated
Haemoglobin for The Diagnosis of Diabetes and Other Categories of Glucose
Intolerance: Still A Long Way to Go. Nutr. Metab. Cardiovasc. Dis. 21: 467–
475.
Leclercq, I.A., Da Silva Morais, A., Schroyen, B., Van Hul, N., and Geerts, A.,
2007. Insulin Resistance in Hepatocytes and Sinusoidal Liver Cells:
Mechanisms and Consequences. J. Hepatol. 47: 142–156.
Liu, M. et al., 2018. Biosynthesis, Structure, and Folding of The Insulin Precursor
Protein. Diabetes. Obes. Metab. 20 Suppl 2, 28–50.
Magliano, D.J., Zimmet, P., and Shaw, J.E., 2015. Classification of Diabetes
Mellitus and Other Categories of Glucose Intolerance. In: International
Textbook of Diabetes Mellitus. John Wiley & Sons, Ltd: pp. 1–16.
Maki, K.C.et al., 2011. Validation of Insulin Sensitivity and Secretion Indices
Derived from The Liquid Meal Tolerance Test. Diabetes Technol. Ther. 13:
661–666.
Malkani, S. and Mordes, J.P., 2011. Implications of Using Haemoglobin A1C for
Diagnosing Diabetes Mellitus. Am. J. Med. 124: 395–401.
Marrocco, I., Altieri, F., and Peluso, I., 2017. Measurement and Clinical
Significance of Biomarkers of Oxidative Stress in Humans. Oxid. Med. Cell.
Longev. 2017: 6501046.
Martelanc, M., Žiberna, L., Passamonti, S., and Franko, M., 2016. Application of
High-Performance Liquid Chromatography Combined with Ultra-Sensitive
75

Thermal Lens Spectrometric Detection for Simultaneous Biliverdin and


Bilirubin Assessment at Trace Levels in Human Serum. Talanta 154: 92–98.
McCarthy, M.I., 2010. Genomics, Type 2 Diabetes, and Obesity. N. Engl. J. Med.
363: 2339–2350.
McGeary, R.P., Szyczew, and A.J., Toth, I., 2003. Biological Properties and
Therapeutic Potential of Bilirubin. Mini Rev. Med. Chem. 3: 253–256.
Meigs, J.B., et al., 2008. Genotype Score in Addition to Common Risk Factors for
Prediction of Type 2 Diabetes. N. Engl. J. Med. 359: 2208–2219.
Mesa, M. S., 2018 Health Care Disparities Between Men and Women with Type 2
Diabetes. Prev Chronic Dis.
Meshkani, R. and Adeli, K., 2009. Hepatic Insulin Resistance, Metabolic Syndrome
and Cardiovascular Disease. Clin. Biochem. 42: 1331–1346.
Ngashangva, L., Bachu, V., and Goswami, P., 2019. Development of New Methods
for Determination of Bilirubin. J. Pharm. Biomed. Anal. 162: 272–285.
Nogueira-Machado, J.A., and Chaves, M.M., 2008. From Hyperglycemia to AGE-
RAGE Interaction on The Cell Surface: A Dangerous Metabolic Route for
Diabetic Patients. Expert Opin. Ther. Targets 12: 871–882.
Nowotny, K., Jung, T., Höhn, A., Weber, D., and Grune, T., 2015. Advanced
Glycation End Products and Oxidative Stress in Type 2 Diabetes Mellitus.
Biomolecules 5: 194–222.
Nussey, S. and Whitehead, S., 2001. Endrocinology : An Intergrated Approach.
Oxford: BIOS Scientific Publishers.
Oda, E., & Aizawa, Y., 2013. Total bilirubin is inversely associated with metabolic
syndrome but not a risk factor for metabolic syndrome in Japanese men and
women. Acta diabetologica.
Ohnaka, K. et al., 2010. Inverse Associations of Serum Bilirubin with High
Sensitivity C-Reactive Protein, Glycated Hemoglobin, And Prevalence of
Type 2 Diabetes in Middle-Aged and Elderly Japanese Men and Women.
Diabetes Res. Clin. Pract. 88: 103–110.
Petersen, K.F., Shulman, and G.I., 2002. Pathogenesis Of Skeletal Muscle Insulin
Resistance in Type 2 Diabetes Mellitus. Am. J. Cardiol. 90: 11G-18G.
76

Pippitt, K., Li, M., and Gurgle, H.E., 2016. Diabetes Mellitus: Screening and
Diagnosis. Am. Fam. Physician 93: 103–109.
Pizzino, G., et al., 2017. Oxidative Stress: Harms and Benefits for Human Health.
Oxid. Med. Cell. Longev.
Powers, A.C., 2010. Diabetes Melitus. In: Jameson, J.L. (Ed.), Harrison’s
Endrocinology. McGraw-Hill Professional: 267–313.
Qi, X., and Tester, R.F., 2019. Fructose, Galactose and Glucose - In Health and
Disease. Clin. Nutr. ESPEN 33: 18–28.
Rajendran, P., et al., 2014. Antioxidants and human diseases. Clin. Chim. Acta.
436: 332–347.
Ramachandran, A., 2014. Know The Signs and Symptoms of Diabetes. Indian J.
Med. Res.
Rao Kondapally Seshasai, S., et al., 2011. Diabetes mellitus, fasting glucose, and
risk of cause-specific death. N. Engl. J. Med. 364: 829–841.
Rasdianah, N., Martodiharjo, S., Andayani, T.M., dan Hakim, L., 2016, Gambaran
Kepatuhan Pengobatan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia
Riskesdas, 2018. Laporan Provinsi Sumatera Utara Riskesdas 2018, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Available at:
https://dinkes.sumutprov.go.id/unduhan/downloadfile?id=1810.
Roden, M., and Shulman, G.I., 2019. The Integrative Biology of Type 2 Diabetes.
Nature 576: 51–60.
Rodwell, V.W., Bender, D.A., Botham, K.M., Kennelly, P.J., and Weil, P.A., 2020.
Biokimia Harper, 31st ed. EGC Indonesia.
Sacher, R.A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, 11th ed.
EGC, Jakarta.
Rosen, E.D., and Spiegelman, B.M., 2006. Adipocytes as Regulators of Energy
Balance and Glucose Homeostasis. Nature 444: 847–853.
Ross, R., 2003. Does Exercise Without Weight Loss Improve Insulin Sensitivity?
Diabetes Care.
Rossi, G., 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Recenti Prog.
Med. 101: 274–276.
77

Sacks, D.B., Bruns, D.E., Goldstein, D.E., Maclaren, N.K., McDonald, and J.M.,
Parrott, M., 2002. Guidelines and Recommendations for Laboratory Analysis
in The Diagnosis and Management of Diabetes Mellitus. Clin. Chem. 48:
436–472.
Sato, H. et al., 2013. Differential Cellular Localization of Antioxidant Enzymes in
The Trigeminal Ganglion. Neuroscience 248: 345–358.
Satoh, T., 2014. Molecular Mechanisms for The Regulation of Insulin-Stimulated
Glucose Uptake by Small Guanosine Triphosphatases in Skeletal Muscle and
Adipocytes. Int. J. Mol. Sci. 15: 18677–18692.
Scherer, P.E., 2019. The Many Secret Lives of Adipocytes: Implications for
Diabetes. Diabetologia 62: 223–232.
Sedlak, T.W., Saleh, M., Higginson, D.S., Paul, B.D., Juluri, K.R., and Snyder,
S.H., 2009. Bilirubin and Glutathione Have Complementary Antioxidant and
Cytoprotective Roles. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 106: 5171–5176.
Sedlak, T.W. and Snyder, S.H., 2004. Bilirubin Benefits: Cellular Protection By A
Biliverdin Reductase Antioxidant Cycle. Pediatrics 113: 1776–1782.
Selmeci, L., Seres, L., Antal, M., Lukács, J., Regöly-Mérei, A., and Acsády, G.,
2005. Advanced Oxidation Protein Products (AOPP) for Monitoring
Oxidative Stress in Critically Ill Patients: A Simple, Fast and Inexpensive
Automated Technique. Clin. Chem. Lab. Med. 43: 294–297.
Selvin, E., Wang, D., Matsushita, K., Grams, M.E., and Coresh, J., 2018. Prognostic
Implications of Single-Sample Confirmatory Testing for
Undiagnosed Diabetes: A Prospective Cohort Study. Ann. Intern. Med. 169:
156–164.
Sharifi-Rad, M. et al., 2020. Lifestyle, Oxidative Stress, and Antioxidants: Back
and Forth in the Pathophysiology of Chronic Diseases. Front. Physiol.
Shawki, H. A., Elzehery, R., Shahin, M., Abo-Hashem, E. M., & Youssef, M. M.,
2020. Evaluation of some oxidative markers in diabetes and diabetic
retinopathy. Diabetology international, 12(1).
Sinaga, M., 2020 Gambaran karakteristik Demokratif Struktur Sosial Pasien
Diabetes Melitus Di Rumah Sakit RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun
2020.
78

Singh A, Koritala T, and Jialal I. 2023. Unconjugated Hyperbilirubinemia-


StatPearls-NCBI Bookshelf, National Center for Biotechnology Information.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549796/
[Accessed 20 April 2023].
Singh, V.P., Bali, A., Singh, N., and Jaggi, A.S., 2014. Advanced Glycation End
Products and Diabetic Complications. Korean J. Physiol. Pharmacol. Off. J.
Korean Physiol. Soc. Korean Soc. Pharmacol. 18; 1–14.
Soares, A.F. et al., 2005. Effects Of Oxidative Stress on Adiponectin Secretion and
Lactate Production In 3T3-L1 Adipocytes. Free Radic. Biol. Med. 38: 882–
889.
Stocker, R., Yamamoto, Y., McDonagh, A.F., Glazer, A.N., and Ames, B.N., 1987.
Bilirubin Is an Antioxidant of Possible Physiological Importance. Science
235: 1043–1046.
Strasser, B., 2013. Physical Activity in Obesity and Metabolic Syndrome. Ann. N.
Y. Acad. Sci. 1281: 141–159.
Stumvoll, M., Goldstein, B.J., and van Haeften, T.W., 2005. Type 2 Diabetes:
Principles of Pathogenesis and Therapy. Lancet (London, England) 365:
1333–1346.
Sunaiba, M. et al. 2015. Analytical method comparison of advanced oxidation
protein products (AOPP) with modified AOPP. International Journal of
Clinical Biochemistry and Research 2: 5-12.
Toyokuni, S., 1999. Reactive Oxygen Species-Induced Molecular Damage And Its
Application In Pathology. Pathol. Int. 49: 91–102.
Tsukahara, H., 2007. Biomarkers For Oxidative Stress: Clinical Application In
Pediatric Medicine. Curr. Med. Chem. 14: 339–351.
Valko, M., Leibfritz, D., Moncol, J., Cronin, M.T.D., Mazur, M., and Telser, J.,
2007. Free Radicals and Antioxidants in Normal Physiological Functions and
Human Disease. Int. J. Biochem. Cell Biol. 39: 44–84.
van Dijk, R. et al., 2017. Biliverdin Reductase Inhibitors Did Not Improve Severe
Unconjugated Hyperbilirubinemia In Vivo. Sci. Rep. 7: 1646.
79

Venkatasamy, V.V., Pericherla, S., Manthuruthil, S., Mishra, S., and Hanno, R.,
2013. Effect of Physical Activity on Insulin Resistance, Inflammation and
Oxidative Stress in Diabetes Mellitus. J. Clin. Diagn. Res. 7: 1764–1766.
Venturini, D., Simão, A.N.C., and Dichi, I., 2015. Advanced Oxidation Protein
Products Are More Related to Metabolic Syndrome Components Than
Biomarkers of Lipid Peroxidation. Nutr. Res. 35: 759–765.
Villalpando Sánchez, D. C., Alvarez Aguilar, C., & Gómez García, A., 2017.
Advanced oxidation protein products and their relationship with
cardiovascular risk factors in young apparently healthy people. Productos
avanzados de oxidación proteica (PAOP) y su relación con los factores de
riesgo cardiovascular en jóvenes aparentemente sanos. Clinica e
investigacion en arteriosclerosis: publicacion oficial de la Sociedad
Espanola de Arteriosclerosis, 29(5), 209–215.
Vítek, L. et al., 2022. Serum Bilirubin and Markers of Oxidative Stress and
Inflammation in a Healthy Population and in Patients with Various Forms of
Atherosclerosis. Antioxidants (Basel, Switzerland), 11(11), 2118.
Vítek, L. and Ostrow, J.D., 2009. Bilirubin Chemistry and Metabolism; Harmful
and Protective Aspects. Curr. Pharm. Des. 15: 2869–2883.
Vítek, L. and Schwertner, H.A., 2007. The Heme Catabolic Pathway and Its
Protective Effects on Oxidative Stress-Mediated Diseases. Adv. Clin. Chem.
43: 1–57.
Vodret, S. et al., 2015. Albumin Administration Prevents Neurological Damage and
Death in A Mouse Model of Severe Neonatal Hyperbilirubinemia. Sci. Rep.
5: 16203.
Watchko, J.F. and Tiribelli, C., 2013. Bilirubin-Induced Neurologic Damage--
Mechanisms and Management Approaches. N. Engl. J. Med. 369: 2021–
2030.
Wei, Y., Liu, C., Lai, F. et al., 2021 Associations between serum total bilirubin,
obesity and type 2 diabetes. Diabetol. Metab. Syndr.
Weinstein, A.R. et al., 2004. Relationship Of Physical Activity vs Body Mass Index
with Type 2 Diabetes in Women. JAMA 292: 1188–1194.
80

Witko-Sarsat, V. et al., 1996. Advanced Oxidation Protein Products as A Novel


Marker of Oxidative Stress in Uremia. Kidney Int. 49: 1304–1313.
World Health Organization, 1999. Diagnosis And Classification of Diabetes
Mellitus, In: Definition, Diagnosis and Classification Of Diabetes Mellitus
And Its Complications: Report Of A WHO Consultation. World Health
Organization.
Wu, H. and Ballantyne, C.M., 2017. Skeletal Muscle Inflammation and Insulin
Resistance in Obesity. J. Clin. Invest. 127: 43–54.
Wu, J.Q., Kosten, T.R., and Zhang, X.Y., 2013. Free Radicals, Antioxidant Defense
Systems, And Schizophrenia. Prog. Neuropsychopharmacol. Biol. Psychiatry
46: 200–206.
Wu, Y., Ding, Y., Tanaka, Y., and Zhang, W., 2014. Risk Factors Contributing to
Type 2 Diabetes and Recent Advances in The Treatment and Prevention. Int.
J. Med. Sci. 11: 1185–1200.
Yamagishi, S., Maeda, S., Matsui, T., Ueda, S., Fukami, K., and Okuda, S., 2012.
Role of Advanced Glycation End Products (Ages) and Oxidative Stress in
Vascular Complications in Diabetes. Biochim. Biophys. Acta 1820: 663–671.
Yasuda, M. et al., 2011. High Serum Bilirubin Levels and Diabetic Retinopathy:
The Hisayama Study. Ophthalmology 118: 1423–1428.
Young, A., 2005. Effects on Plasma Glucose and Lactate. Adv. Pharmacol. 52:
193–208.
Zheng, Y., Ley, S.H., and Hu, F.B., 2018. Global Aetiology and Epidemiology of
Type 2 Diabetes Mellitus and Its Complications. Nat. Rev. Endocrinol. 14:
88–98.
Zhong, P., Sun, D., Wu, D., and Liu, X., 2019. Total Bilirubin Is Negatively Related
to Diabetes Mellitus in Chinese Elderly: A Community Study. Ann. Transl.
Med. 7: 474.
81

LAMPIRAN
Lampiran 1
Dokumentasi Penelitian
Pengambilan sampel darah & serum Persiapan Reagen Bilirubin

Persiapan Reagen AOPP

Persiapan Reagen Glukosa Pemipetan Reagen & Sampel

Homogenisasi Pemeriksaan Spektrofotometri


82

Hasil Analisis Spektrofotometri

Pemeriksaan AOPP Pemeriksaan Glukosa Pemeriksaan Bilirubin


83

Lampiran 2
Lembar Persetujuan Responden
(Informed Consent)
84
85

Lampiran 3
Ethical Clearance
86

Lampiran 4
Surat Izin Penelitian
87

Surat Izin Penelitian


Rumah Sakit Prof. Dr. H. Chairuddin Panusunan Lubis Medan
88
89

Lampiran 5
Surat Keterangan Selesai Penelitian
90

Lampiran 6
Master Data Penelitian
91

Lampiran 7
Hasil Olah Data

Tabel Frekuensi Uji Korelasi

Uji Normalitas
92

Lampiran 8
Daftar Riwayat Hidup

Nama : Erick Yinarta


Tempat/Tanggal Lahir : Stabat / 12 Juni 2002
Alamat : Jalan Perniagaan No. 90 H Stabat, Langkat
Riwayat Pendidikan : 1. TK Swasta Ahmad Yani Binjai (2005-2008)
2. SD Swasta Ahmad Yani Binjai (2008-2014)
3. SMP Swasta Methodist Binjai (2014-2017)
4. SMA Swasta Methodist Binjai (2017-2020)
5. S1 Pendidikan Dokter FK USU (2020-Sekarang)
Riwayat Pelatihan : 1. Manajemen Mahasiswa Baru (MMBFK USU
(2020)
2 Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa
School of Kastrad (LKMM SOK-Lokal) FK USU
(2021)
3. Workshop Hecting MIND FK USU (2022)
4. Workshop Basic Life Support MIND FK USU (2022)
5. M-Class & Workshop Basic Life Support MIND FK
USU (2023)
6. M-Class Pembacaan EKG MIND FK USU (2023)
93

Riwayat Organisasi : 1. Anggota KMB USU (2020-Sekarang)


2. Anggota Departemen Kewirausahaan
Pemerintahan Mahasiswa FK USU (2021-2022)
3. Anggota Divisi Pengabdian Masyarakat
Motion in Dhamma FK USU (2021-2022)
4. Sekretaris Departemen Pengabdian Masyarakat
Motion in Dhamma FK USU (2022-2023)
5. Anggota Divisi Financial and Partnership AMSA-
USU (2022-2023)
6. Ketua Motion in Dhamma Fakultas Kedokteran USU
(2023-Sekarang)

Anda mungkin juga menyukai