Anda di halaman 1dari 82

UNIVERSITAS WARMADEWA

HUBUNGAN KONTROL GULA DARAH PADA PASIEN


DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN DERMATOFITOSIS
DI BRSUD TABANAN BALI

OLEH:
NI WAYAN HEANLY RUSDRAJIANI DEWI
NIM: 1770121046

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
2021
UNIVERSITAS WARMADEWA

HUBUNGAN KONTROL GULA DARAH PADA PASIEN


DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN DERMATOFITOSIS
DI BRSUD TABANAN BALI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

OLEH:
NI WAYAN HEANLY RUSDRAJIANI DEWI
NIM: 1770121046

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
2021
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Ni Wayan Heanly RusdraJiani Dewi
NIM : 1770121046
Menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya saya dan bukan merupakan
duplikasi sebagian atau seluruhnya dari karya orang lain, kecuali bagian yang
sumber informasinya dicantumkan.
Pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab dan saya bersedia menerima sanksi pembatalan skripsi apabila
terbukti melakukan duplikasi terhadap skripsi atau karya ilmiah lain yang sudah
ada.

Denpasar, 25 Juni 2021

Ni Wayan Heanly RusdraJiani Dewi

i
LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal penelitian/skripsi ini telah disetujui untuk diseminarkan

Diajukan oleh:

Ni Wayan Heanly RusdraJiani Dewi


NIM. 1770121046

Pembimbing I

dr. Ni Made Indah Puspasari, SpKK Tanggal: 17 Juli 2021


NIP 197404252002122003

Pembimbing II

dr. Asri Lestarini, M.Sc Tanggal: 17 Juli 2021


NIK 230800264

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Ni Wayan Heanly RusdraJiani Dewi
NIM : 1770121046
Judul proposal penelitian/skripsi : Hubungan Kontrol Gula Darah Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Dengan Dermatofitosis di BRSUD
Tabanan Bali
Tanggal ujian : 17 Juli 2021
lulus ujian proposal penelitian/skripsi dan telah diperbaiki serta disetujui oleh tim
penguji.

Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II

dr. Ni Made Indah Puspasari, SpKK dr. Asri Lestarini, M.Sc


NIP 197404252002122003 NIK 230800264

Penguji,

dr. Made Sudarjana, Sp.KK., M.Biomed, FINSDV., FAADV


NIK 196211061988031010

Mengetahui,
Ketua Program Studi Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Warmadewa

dr. Ni Wayan Winiati, M.Sc


NIK 230800251
Proposal penelitian/Skripsi ini telah diperiksa, diujikan, dan disetujui di hadapan Tim
Penguji Proposal Penelitian Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Warmadewa

iii
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
25 JUNI 2021

Ni Wayan Heanly RusdraJiani Dewi

Hubungan Kontrol Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan
Dermatofitosis di BRSUD Tabanan Bali.

ABSTRAK

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang sering dijumpai


dan prevalensinya meningkat setiap tahunnya. Pasien DM rentan terhadap infeksi
kulit, salah satunya adalah dermatofita. Kadar gula darah yang tidak terkontrol
dapat memperburuk kondisi dermatofitosis. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui hubungan kontrol gula darah terhadap kejadian dermatofitosis pada
pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Penelitian menggunakan desain
observasional analitik dengan pendekatan case control. Jumlah sampel minimal
kasus adalah 35 dan sampel minimal kontrol adalah 35 orang yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian dilakukan di BRSUD Tabanan
pada tahun 2020 – 2021 dengan menggunakan rekam medik yang kemudian
dianalisis secara univariat untuk melihat karakteristik subjek dan perbandingan
proporsi masing-masing kelompok. Uji chi-square digunakan untuk melihat
hubungan antara kontrol gula darah dengan dermatofitosis. Nilai p < 0,05
dikatakan signifikan secara statistik dan nilai p > 0,05 dikatakan tidak signifikan.
Hasil menunjukan, pada kelompok dermatofitosis, mayoritas (45,7%) subjek
penelitian berusia 31-60 tahun dan mayoritas (62,9%) berjenis kelamin laki-laki.
Dermatofitosis yang paling banyak ditemukan adalah tinea kruris dengan proporsi
sebesar 37,1%. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara kontrol gula darah dengan dermatofitosis pada
pasien diabetes melitus tipe 2 (nilai p = 0,454; OR = 1,45). Kesimpulan yang
dapat ditarik bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kontrol gula
darah dengan dermatofitosis pada pasien diabetes melitus tipe 2 di BRSUD
Tabanan.

Kata kunci: Diabetes Melitus, Gula darah, Dermatofitosis, BRSUD Tabanan -


Bali

iv
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
25 JUNI 2021

Ni Wayan Heanly RusdraJiani Dewi

The Relationship between Controlled Blood Sugar in Type 2 Diabetes


Mellitus Patients with Dermatophytosis at Tabanan General Hospital.

ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is a chronic disease and its prevalence is


increasing every year. (DM) patients are prone to skin infections, one of which is
dermatophytes. Uncontrolled blood sugar can worsen the condition of
dermatophytosis. The purpose of this study was to determine the relationship
between blood sugar control and the incidence of dermatophytosis in patients with
type 2 diabetes mellitus. The study used an analytical observational design with
case control design. The minimum sample number of cases is 35 and the minimum
sample of control is 35 people who have met the inclusion and exclusion criteria.
The study was conducted in the Tabanan General Hospital in 2020 – 2021 using
medical records which was then analyzed univariately to see the characteristics of
the subject and the comparison of the proportions of each group. Chi-square was
used to see the relationship between blood sugar control and dermatophytosis.
The p value < 0.05 was said to be statistically significant and the p value > 0.05
was said to be insignificant. The results showed that in the dermatophytosis
group, the majority (45.7%) of the study subjects were aged 31-60 years and the
majority (62.9%) were male. The most common dermatophytosis was tinea cruris
with a proportion of 37.1%. The results of bivariate analysis showed that there
was no significant relationship between blood sugar control and dermatophytosis
in type 2 diabetes mellitus patients (value p = 0.454; OR = 1.45). The conclusion
that can be drawn is that there is no significant relationship between blood sugar
control and dermatophytosis in type 2 diabetes mellitus patients at Tabanan
General Hospital.  

Keywords: Diabetes Mellitus, blood sugar, Dermatophytosis, BRSUD Tabanan -


Bali.

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi

Wasa atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi

ini, yang berjudul “Hubungan Kontrol Gula Darah Pada Pasien Diabetes

Melitus Tipe 2 Dengan Dermatofitosis di BRSUD Tabanan Bali”. Penyusunan

dan penulisan proposal skripsi ini untuk memenuhi persyaratan kelulusan program

Studi Strata I pada jurusan Kedokteran Umum Universitas Warmadewa.

Selama penyusunan Tugas Akhir ini, penulis menyadari bahwa telah

mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu

pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada:

1. Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya

peneliti dapat menyelesaikan proposal skripsi ini tepat pada

waktunya.

2. Bapak dr. I Gusti Ngurah Anom Murdhana,Sp.FK selaku Dekan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa.

3. Ibu dr. Ni Made Indah Puspasari, SpKK selaku dosen pembimbing

I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan

motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.

4. Ibu dr. Asri Lestarini, M. Sc selaku dosen pembimbing II yang telah

banyak memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi kepada

penulis dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.

vi
5. Keluarga dan rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa yang tiada henti

memberikan dukungan dan dorongan kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan

karunia-Nya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan

proposal skripsi ini dan semoga hasil dari tugas akhir ini bermanfaat bagi kita

semua.

Denpasar, 25 Juni 2021

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI

LEMBAR PERNYATAAN........................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii

ABSTRAK .................................................................................................... iv

ABSTRACT .................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 5

1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................ 5

1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 6

1.4.1 Manfaat Akademis ................................................................ 6

1.4.2 Manfaat Bagi Instansi Kesehatan........................................... 6

viii
1.4.3 Manfaat Bagi Dunia Penelitian ............................................ 6

1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat .................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 7

2.1 Diabetes Melitus.............................................................................. 7

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus ...................................................... 7

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus.............................................. 7

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus.................................................. 8

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus................................................ 8

2.1.5 Gejala dan Tanda Diabetes Melitus........................................ 9

2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus..................................................... 10

2.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus.................................................. 10

2.2 Dermatofitosis............................................................................... 11

2.2.1 Definisi Dermatofitosis.......................................................... 11

2.2.2 Klasifikasi Dermatofitosis....................................................... 12

2.2.3 Etiologi Dermatofitosis........................................................... 16

2.2.4 Epidemiologi Dermatofitosis.................................................. 16

2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Dermatofitosis........................... 17

2.2.6 Diagnosis Dermatofitosis........................................................ 18

2.2.7 Patogenesis Dermatofitosis..................................................... 23

2.2.8 Pencegahan Dermatofitosis..................................................... 24

2.2.9 Prognosis Dermatofitosis........................................................ 25

2.3 Hubungan Hasil Lab Gula Darah Pada DM Dengan Dermatofitosis. . 25

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN............ 28

3.1 Kerangka Konsep ........................................................................... 18

ix
3.2 Hipotesis......................................................................................... 28

BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................ 30

4.1 Desain Penelitian ........................................................................... 30

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 30

4.3 Populasi Dan Sampel ...................................................................... 30

4.3.1 Populasi ................................................................................. 30

4.3.2 Sampel ................................................................................... 30

4.3.3 Cara Pemilihan Sampel.......................................................... 31

4.4 Variabel Penelitian ......................................................................... 33

4.5 Definisi Operasional ...................................................................... 33

4.6 Pengumpulan Data ......................................................................... 34

4.7 Pengelolaan Data ............................................................................ 35

4.8 Teknik Analisis Data ...................................................................... 36

BAB V HASIL PENELITIAN ...................................................................... 37

5.1 Analisis Univariat ......................................................................... 37

5.2 Analisis Bivariat ............................................................................ 39

BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................. 41

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 47

7.1 Kesimpulan ................................................................................... 47

7.2 Saran ............................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Dermatofitosis............................................................... 15

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel......................................................... 34

Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Karakteristik ................................. 37

Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Dermatofitosis….................. 38

Tabel 5. Hasil Uji Chi Square........................................................................ 40

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Karakteristik Dermatofita Terbanyak ..........................................18

Gambar 2 Epidermomikosis dan Trikomikosis ............................................23

Gambar 3 Kerangka Teori Penelitian ...........................................................28

Gambar 4 Distribusi Jenis Dermatofitosis ....................................................39

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Time Table

Lampiran 2. Tabel Data

Lampiran 3. Surat Izin Mohon Rekam Medis

Lampiran 4. Surat Keterangan Kelayakan Etik Penelitian kepada BRSUD

Tabanan Bali

Lampiran 5. Analisis Univariat Distribusi Frekuensi Kategori Jenis Kelamin,

Usia, Kontrol Gula Darah, Jenis Dermatofitosis

Lampiran 6. Analisis Bivariat Hubungan antara Kontrol Gula Darah Pada Pasien

Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Dermatofitosis di BRSUD Tabanan Bali

Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan

Lampiran 8. Buku Logbook

xiii
DAFTAR SINGKATAN

ADA : American Diabetes Association

AGEs : Advanced Glycation End Products

DM : Diabetes Melitus

GDP : Gula Darah Puasa

IDF : International Diabetes Federation

IGT : Impaired Glucose Tolerance

IFG : Impaired Fasting Glycaemia

KOH : Potassium Hidroksida

NF-KB : Nuclear Factor KB

PVC : Pityriasis Versicolor

WHO : World Health Organization

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi ketika pankreas tidak

memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara

efektif menggunakan insulin yang dihasilkan (WHO Library, 2016).

Menurut ADA (American Diabetes Association) Diabetes Melitus tipe

II, yaitu kelainan metabolik yang ditandai dengan kadar gula tinggi

oleh karena resistensi insulin atau defisiensi insulin relatif dan disebut

juga non insulin dependent atau adult onset diabetes. Diabetes Melitus

tipe 2 sering tidak terdiagnosis hingga bertahun – tahun akibat dari

hiperglikemia yang berkembang secara bertahap, sehingga diabetes

melitus tipe 2 merupakan penyakit yang paling banyak diderita dengan

pasien yang memiliki Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Impaired

Fasting Glycaemia (IFG) berisiko tinggi berkembang menjadi DM tipe

2 (American Diabetes Association, 2018).

Menurut International Diabetes Federation (IDF) kejadian DM di

dunia pada tahun 2019 sebesar 463 juta jiwa, yaitu Eropa 59 juta jiwa,

Asia Tenggara 88 juta jiwa, Pasifik Barat 163 juta jiwa, Timur Tengah

dan Afrika Utara 55 juta jiwa. Indonesia menduduki peringkat ke-7 di

dunia dengan prevalensi sebanyak 10,7 juta jiwa (Diabetes Federation

International, 2019). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018

1
2

menyatakan angka prevalensi DM tertinggi terdapat di provinsi

Sulawesi Tengah (5,2 persen), diikuti DKI Jakarta (4,1 persen) dan DI

Yogyakarta (3,7 persen). Sedangkan untuk daerah domisili lebih

banyak penderita DM yang berada di perkotaan 1,9 persen

dibandingkan dengan di pedesaan 1,0 persen (Khairani, 2019).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Bali tahun 2018,

diabetes melitus menjadi penyebab kematian nomor 3 di Bali, dimana

ditemukan 1,5% penduduk berumur diatas 15 tahun menderita diabetes

melitus (Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan

Pengembangan, 2018).

Menurut Winarni and Sutoyo (2002), kurang lebih 30% penderita

DM ternyata mempunyai kelainan kulit sebagai manifestasi dini

penyakit DM yang tersembunyi. Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan

oleh karena sel – sel sasaran insulin gagal dalam merespon insulin

secara normal atau yang lebih dikenal dengan resistensi insulin,

apabila tidak ditangani dengan cepat dan baik, pada perkembangan

selanjutnya akan terjadi kerusakan pada sel β pankreas secara progresif

sehingga menyebabkan defisiensi insulin (Decroli, 2019). Beberapa

manifestasi kulit pada pasien adalah akibat adanya perubahan

metabolik seperti hiperglikemia dan hiperlipidemia, kerusakan

progresif vaskular, neurologis, atau sistem kekebalan tubuh (Namazi

MR, 2009). Gangguan kulit yang paling sering dilaporkan pada pasien

DM adalah infeksi. Sekitar 20,6% pasien didiagnosis menderita infeksi


3

kulit, dimana infeksi jamur lebih banyak daripada infeksi bakteri dan

virus (De Macedo, Nunes and Barreto, 2016a).

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan

kelembaban yang tinggi akan memudahkan berkembangnya jamur,

sehingga banyak ditemukan infeksi oleh jamur (Nasution and Utara,

2005). Penelitian yang dilakukan oleh Wambier et al. pada tahun 2014,

pada 500 pasien DM, terdapat 457 kasus infeksi jamur kulit superfisial

dan didapatkan 307 pasien (67%) menderita dermatofitosis, 131 pasien

(29%) menderita kandidiasis, dan 19 pasien (4%) menderita Pityriasis

Versicolor (PVC) (De Macedo, Nunes and Barreto, 2016b).

Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi

jamur dermatofita yang menyerang jaringan keratin seperti stratum

korneum kulit, rambut, dan kuku pada manusia (Gómez Moyano,

Crespo Erchiga and Martínez Pilar, 2016a). Di Denpasar, golongan

penyakit dermatofitosis menempati urutan kedua setelah dermatitis.

Angka insiden tersebut diperkirakan sama dengan di kota-kota besar

Indonesia lainnya terutama pada daerah pedalaman, angka ini mungkin

akan meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda (Adiguna,

2004).

Infeksi jamur dermatofitosis yang ditemukan pada penderita

diabetes mellitus yaitu: Tinea pedis (kaki atlet/kutu air), Tinea Kruris

(kadas) dan Tinea korporis (kurap) (Bhat, Gupta and Kudyar, 2006).

Tinea pedis merupakan salah satu infeksi yang signifikan terjadi pada

DM disebabkan karena neuropati diabetes pada ekstremitas bawah


4

sebagai lingkungan yang ideal untuk infeksi dermatofitosis,

memungkinkan tinea pedis yang ringan menjadi meluas. Tinea pedis

interdigitalis merupakan dermatofitosis yang paling sering terjadi dan

dapat dibarengi dengan infeksi sekunder (Kafaie and Shojaoddiny-

Ardekani, 2012).

Masih terdapat kontroversi apakah kasus dermatofitosis lebih

sering terjadi pada orang dengan kontrol gula darah yang buruk atau

pada orang dengan gula darah terkontrol. Penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Ajeng Aprilia Dewanti di Surakarta menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara kontrol gula darah dengan kejadian

dermatofitosis pada pasien dengan riwayat diabetes melitus, yaitu

orang dengan gula darah tidak terkontrol beresiko akan mengalami

dermatofitosis sebesar 44,8 kali lebih besar dari orang dengan gula

darah terkontrol( ajeng aprilia Dewanti, 2018). Pada penelitian

Winarni tahun 2002 di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta menunjukkan

bahwa 15 pasien dari kelompok kontrol gula darah yang buruk

mengalami dermatofitosis dan 11 pasien dengan gula darah terkontrol

mengalami dermatofitosis (Winarni, Dwi Retno Adi;Sutoyo, 2010).

Berdasarkan penelitian yang telah ada sebelumnya dan belum

adanya penelitian dan data mengenai kontrol gula darah terhadap

dermatofitosis di daerah Bali, maka dari itu penulis tertarik untuk

mengambil penelitian tentang “Hubungan Gula Darah Terkontrol Pada

Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Dermatofitosis Di BRSUD

Tabanan Bali”.
5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapat rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Apakah Terdapat Hubungan Antara Kontrol Gula

Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Dermatofitosis Di

BRSUD Tabanan Bali?”.

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara

kontrol gula darah dengan kejadian dermatofitosis pada pasien dengan riwayat

diabetes melitus tipe 2 .

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui hubungan jenis kelamin, umur, dan pekerjaan pada subjek

penderita DM terhadap kejadian dermatofitosis.

2. Mengetahui adanya hubungan kontrol gula darah dengan kejadian

dermatofitosis pada pasien dengan riwayat DM.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain :

1.4.1. Manfaat akademis

Sebagai masukan bahan pengetahuan bagi mahasiswa dan pendidikan di

kalangan medis.

1.4.2. Manfaat bagi instansi kesehatan


6

Sebagai acuan atau pedoman bagi Badan Rumah Sakit Umum Daerah

Tabanan Bali, dalam penanganan diabetes melitus tipe 2.

1.4.3. Manfaat bagi dunia penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tambahan dan masukan

bagi pengembangan ilmu kedokteran dan penelitian selanjutnya.

1.4.4. Manfaat bagi masyarakat

Sebagai sumber pengetahuan bagi masyarakat, khususnya penderita DM

tentang risiko terjadinya dermatofitosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan pada

endokrin yang terjadi akibat dari pankreas tidak menghasilkan cukup

insulin (WHO Library, 2016). DM merupakan penyakit yang sering kali

tidak disadari oleh penyandangnya sehingga menyebabkan komplikasi

yang serius (Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan

Pengembangan, 2018). Penyakit diabetes melitus ditandai dengan kadar

glukosa darah (gula darah) yang memiliki nilai batas normal yaitu kadar

glukosa darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar glukosa

darah puasa diatas atau sama dengan 130 mg/dl (Khairani, 2019).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Prevalensi diabetes melitus (DM) sangat tinggi dan cenderung

mengalami peningkatan secara global setiap tahun-nya. Tahun 2014

diperkirakan 422 jiwa orang yang mengalami DM. Peningkatan kejadian

DM dari tahun 1990 – 2014 sekitar 4,7%-8,5% pada populasi (WHO

Library, 2016).

Selama beberapa tahun terakhir, prevalensi diabetes melitus (DM)

meningkat lebih cepat di negara berpenghasilan menengah dan rendah

daripada di negara yang berpenghasilan tinggi. Empat puluh tiga persen

(43%) dari 3,7 kematian yang terjadi sebelum usia 70 tahun disebabkan

7
8

oleh diabetes melitus pada negara – negara yang berpenghasilan

menengah dan rendah (WHO Library, 2016).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus menurut Perkeni (Perkeni, 2011) yaitu :

a. Tipe 1 (destruksi sel β),

b. Tipe 2 (dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif, atau

bisa terjadi keduanya),

c. Diabetes tipe lain,yaitu :

1. Defek genetif fungsi sel β.

2. Defek genetik kerja insulin.

3. Penyakit eksokrin pankreas.

4. Pengaruh obat.

5. Endokrinopati.

6. Imunologi.

7. Infeksi.

8. Sindrom genetik lain.

d. Diabetes Melitus gestasional (Khairani, 2019).

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

A. Patofisiologi DM tipe 1 :

Diabetes Melitus tipe 1 umumnya disebabkan oleh defisiensi

insulin sehingga menyebabkan gangguan metabolisme lipid,

protein, dan glukosa. Pankreas tidak mampu mensekresi dan

mensintesis insulin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup,


9

bahkan sampai tidak adanya sekresi insulin sama sekali sehingga

terjadi kekurangan insulin secara absolut (Ozougwu, 2013).

B. Patofisiologi DM tipe 2 :

Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit paling umum yang diderita

penduduk Indonesia. Resistensi insulin pada otot dan hati serta kegagalan

sel beta pankreas merupakan penyebab terjadinya DM tipe 2. Otot, hati,

sel beta dan organ lain seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),

gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pankreas

(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak

(resistensi insulin) ikut berperan dalam terjadinya gangguan pada

diabetes mellitus tipe 2 (Soelistijo et al., 2015).

2.1.5 Gejala dan Tanda Diabetes Melitus

Diabetes Melitus dapat menimbulkan berbagai gejala dan tanda pada

penderita. Gejala dan tanda – tanda DM dapat digolongkan menjadi

gejala akut dan kronik (Matthew C. Riddle, 2019).

A. Gejala akut Diabetes Melitus :

1. Poliphagia (banyak makan).

2. Polidipsia (banyak minum).

3. Poliuria (banyak kencing).

B. Gejala kronik Diabetes Melitus :

1. Kulit terasa panas.

2. Kebas.

3. Rasa tebal pada kulit.

4. Kulit seperti tertusuk – tusuk.


10

5. Mudah mengantuk.

6. Penglihatan memburuk (buram).

7. Gigi mudah goyah/gampang lepas.

8. Keguguran pada ibu hamil

9. Melahirkan bayi BBLR

2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis dini yang dilakukan pada penderita diabetes melitus

akan menentukan perkembangan penyakit pada penderita. Penderita

DM yang terdiagnosis lambat, akan lebih cepat terkena komplikasi

dan kesehatan akan semakin memburuk (WHO Library, 2016).

Seseorang dengan keluhan klasik (poliuria, poliphagia, polidipsia)

atau keluhan lain seperti, lemas, kesemutan, gatal, pandangan

memburuk, gigi mudah goyah, dll dapat dicurigai terkena diabetes

melitus (Khairani, 2019). Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut

(Khairani, 2019) adalah sebagai berikut :

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl, atau

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Test

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75

gram, atau

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan

keluhan klasik (poliuria, poliphagia, polidipsia), atau

4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode

yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin

Standarization Program (NGSP).


11

2.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus

Menurut (Decroli, 2019) akibat dari hiperglikemia yang terjadi terus

menerus dapat menyebabkan berbagai kerusakan pada sistem tubuh

terutama saraf dan pembuluh darah. Berikut beberapa komplikasi pada

diabetes melitus :

a. Meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke,

b. Terjadinya neuropati,

c. Terjadinya retinopati diabetikum,

d. Gagal ginjal,

e. Kematian.

2.2 Dermatofitosis

2.2.1 Definisi Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah penyakit yang di akibatkan karena jamur dermatofit,

menginvasi jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum

kulit, rambut dan kuku pada manusia dan merupakan golongan mikosis

superfisialis (Widaty S, 2019). Dermatofitosis pada kulit mempunyai

morfologi yang khas, seperti lesi kulit berbatas tegas, terdapat berbagai

wujud kelainan kulit (polimorfi), terdapat rasa gatal, dan bagian tepi lebih

aktif daripada bagian tengahnya (Schwartz, 2015).

Dermatofitosis sering kali disebut infeksi tinea dan diklasifikasikan

menurut bagian tubuh yang kena (tinea kapitis, tinea korporis, tinea kruris,

tinea barbae, tinea pedis, dan tinea unguium). Berdasarkan transmisinya,

dermatofitosis dibedakan menjadi dari manusia ke manusia (antropofilik),

dari hewan ke manusia (zoofilik), dan dari tanah ke manusia (geofilik) serta
12

disebutkan juga organisme penyebab dermatofitosis dibagi dalam tiga

genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton (Widaty S,

2019).

Prevalensi penyakit dermatofitosis di Asia mencapai 35,6% (Gómez

Moyano, Crespo Erchiga and Martínez Pilar, 2016b). Di indonesia,

dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis superfisialis

terbanyak, karena indonesia merupakan negara tropis dan lembab serta

dermatofitosis merupakan masalah utama yang terjadi di negara

berkembang. Berdasarkan urutan kejadian dermatofitosis, tinea korporis

(57%), tinea unguium (20%), tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea

barbae (6%) dan sebanyak 1% merupakan jenis tinea lainnya (Yadav et al.,

2013).

Penelitian yang dilakukan Dedianto, pada geriatri di Poliklinik Kulit dan

Kelamin RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2012-2014 didapatkan

dermatofitosis 74,2% merupakan infeksi jamur pada kulit yang paling sering

dijumpai. Tinea korporis dan tinea kruris merupakan jenis yang paling

banyak dijumpai (Hidajat, Hapsari and Hendrawan, 2014).

2.2.2 Klasifikasi Dermatofitosis

Dermatofitosis dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu : Tinea

kapitis, Tinea korporis, Tinea barbae, Tinea manum dan Tinea pedis, serta

Tinea unguium (Widaty S, 2019).

1. Tinea Kapitis
13

Tinea kapitis merupakan infeksi jamur pada daerah kulit dan rambut

kepala, paling sering terjadi pada anak – anak. Tinea kapitis dapat sering

dijumpai dengan tanda penyebaran eritema dan alopesia pada daerah

yang terkena, terdapat papul yang melebar, pucat dan bersisik. Tinea

kapitis yang tidak diobati dapat bertahan hingga beberapa tahun

tergantung dari organisme yang terlibat (Widaty S, 2019).

2. Tinea Korporis

Tinea korporis merupakan salah satu dermatofitosis tersering yang

terdapat pada bagian tubuh, tungkai, lengan atau leher. Mikroorganisme

penyebab tinea korporis terbanyak adalah Trichophyton rubrum. Pada

tinea korporis dapat ditemukan lesi berwarna merah muda, bersisik,

berbentuk annular dengan tepi yang agak tinggi. Papula folikel, pustula

dapat ditemukan di perbatasan jika infeksi disebabkan oleh organisme

zoofilik atau geofilik. Faktor risiko yang mempengaruhi tinea korporis

antara lain : higienitas yang buruk, iklim yang panas dan lembab, sering

berkeringat, obesitas, kontak langsung dengan sumber infeksi, atau

dipengaruhi oleh beberapa penyakit sistemik seperti penyakit DM,

Cushing syndrome, terapi dengan kortikosteroid oral serta penyakit

infeksi kronis seperti HIV/AIDS (Kresna and Wiratma, 2014).

3. Tinea Kruris

Tinea kruris atau yang sering disebut “jock itch” merupakan infeksi akut

hingga kronis yang terdapat pada lipatan paha, daerah perineum dan

sekitar anus, selain itu juga dapat mencapai perut bagian bawah dan

daerah gluteus (Widaty S, 2019). Tinea kruris memiliki gejala terasa


14

gatal yang berat dan terbakar. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan lesi

eritematosa dengan sisik dan berbatas tegas dimana pada tepi akan

berwarna lebih kemerahan dan meninggi juga bisa terdapat vesikel. Pada

bagian tengah lesi akan tampak central healing dengan ditutupi oleh

skuama halus, dan bila berlanjut akan terjadi hiperpigmentasi. Erosi dan

keluarnya cairan biasanya akibat garukan (Kresna and Wiratma, 2014).

4. Tinea Barbae

Tinea barbae merupakan dermatofitosis yang sering terjadi pada wajah.

Penderita biasanya mengeluh rasa gatal di daerah jenggot, jambang dan

kumis, disertai dengan rambut – rambut yang terkena menjadi putus.

Beberapa organisme penyebab akan menginvasi rambut dan folikel

rambut, sementara yang lain hanya terbatas pada kulit. Tinea barbae

ditandai dengan eritem, papul dan skuama yang mulanya kecil

selanjutnya akan meluas ke arah luar sehingga terbentuk gambaran

polisiklik, dengan bagian tepi aktif. Terdapat lesi eritematous dengan

ditutupi krusta atau abses dengan permukaan yang basah oleh karena

erosi (Widaty S, 2019).

5. Tinea Manum dan Tinea Pedis

Tinea manum merupakan dermatofitosis yang mengenai telapak tangan,

punggung tangan dan sela – sela jari tangan yang cenderung

mempengaruhi satu tangan, meskipun kedua tangan juga bisa

dipengaruhi (Widaty S, 2019). Tinea manum biasanya bersamaan dengan

Tinea pedis yaitu dermatofitosis pada kaki terutama pada sela – sela jari

kaki dan telapak kaki. Tinea pedis memiliki tiga manifestasi klinik, yaitu
15

interdigitalis (infeksi di sela – sela jari terutama pada jari IV dan V),

moccasin foot (melibatkan telapak kaki, tumit, dan tepi kaki), dan bentuk

subakut. Biasanya ditandai dengan telapak tangan menjadi kering,

bersisik, dan terdapat eritematosus. Pada bentuk subakut akan tampak

vesikel atau bula yang dapat pecah hingga menimbulkan infeksi sekunder

(Kresna and Wiratma, 2014).

6. Tinea Unguium

Tinea unguium atau disebut juga “onchomychosis” merupakan

dermatofitosis pada daerah kuku. Terdapat tiga bentuk infeksi yang

sering dijumpai, yaitu subungual distalis, leukonikia trikofita, dan

subungual proksimal (Kresna and Wiratma, 2014). Biasanya ditandai

dengan kuku yang menebal, buram, berubah warna, rusak dan distrofi.

Kuku jari kaki lebih sering terkena daripada kuku jari tangan dan

termasuk dermatofitosis yang sukar untuk disembuhkan (Widaty S,

2019).

Tabel 2.1. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu


dan Jamur Penyebab

Klasifikasi Lokasi Infeksi / Ciri Jamur Penyebab


Dermatofitosis Tertentu
Tinea kapitis Kulit dan rambut kepala Microsporum (beberapa
spesies),
Trichophyton (kecuali T.
Consentricum).
Tinea favosa Berbau seperti tikus T. schoenleinii,
(mousy odor) T. Violaceum (jarang),
M. Gypseum (jarang).
Tinea barbae Dagu dan jenggot T. mentagrophytes,
T. Rubrum,
T. Violaceum,
16

T. Verrucosum,
T. Megnini,
M. Canis.
Tinea korporis Bagian tubuh, tungkai, T. rubrum,
lengan atau leher T. Mentagrophytes,
M. Audouinii,
M. Canis.
Tinea imbrikata Sesunan skuama yang T. consentricum
konsentris
Tinea Kruris Bokong, genitalia, area E. floccosum,
pubis, perineal dan T. Rubrum,
perianal T. Mentagrophytes.
Tinea pedis Lipatan paha, daerah T. rubrum,
perineum dan sekitar anus, T. Mentagrophytes,
daerah perut hingga E. Floccosum.
gluteus
Tinea manum Tangan T. rubrum,
E. Floccosum,
T. Mentagrophytes.
Tinea unguium Kuku jari tangan dan jari T. rubrum,
kaki T. Mentagrophytes.
Sumber : (Rosita and Kurniati, 2008)
2.2.3 Etiologi

Dermatofitosis disebabkan oleh patogen jamur yang melekat pada keratin

dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi (Fitzpatrick et al., 2008).

Terdapat 3 genus penyebab dermatofitosis, yaitu : 22 Trichophyton, 17

Microsporum, dan 2 Epidermophyton. Dari spesies yang telah dikenal, 17

spesies diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum

menginfeksi rambut dan kulit, 11 spesies Trichophyton menginfeksi kuku,

rambut, dan kulit, 1 spesies Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit

dan sangat jarang terjadi pada kuku. Spesies terbanyak yang menjadi

penyebab dermatofitosis di Indonesia, yaitu : Trichophyton rubrum (T.

Rubrum), berdasarkan penelitian di Surabaya pada tahun 2006 – 2007

ditemukan spesies terbanyak yang berhasil dikultur adalah M. Audouinii

(14,6%), T. Rubrum (12,2%), T. Mentagrophytes (4%) dan Trichophyton

tonsurans (6%) (Hay, 2017).


17

Menurut Sobera (2008) penyebab utama dari Tinea kruris adalah

Trichophyton rubrum (90%).

2.2.4 Epidemiologi

Dermatofita atau dalam bahasa yunani disebut “jamur kulit” adalah

tergolong jamur contagious. Dermatofita yang menginfeksi manusia

diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan habitat mereka, yaitu :

1. Anthrophophilic dermatophyte adalah jamur yang dikaitkan dengan

transmisi manusia ke manusia baik melalui kontak langsung maupun

melalui muntahan yang terkontaminasi, jenis dermatofita ini sangat

tergantung pada keratin manusia, contohnya T. rubrum.

2. Zoophilic dermatophyte merupakan jamur yang melakukan transmisi dari

hewan ke manusia melalui kontak langsung atau tidak langsung dari

bagian dari binatang tersebut, contohnya M. canis.

3. Geophilic dermatophyte merupakan jamur yang melakukan transmisi dari

tanah ke manusia dengan cara sporadis atau paparan langsung sehingga

dapat menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang. Jenis

dermatofita ini memakan sisa – sisa keratin dan dapat menginfeksi

keratin dari hewan atau manusia, contohnya M. gypseum (Gómez

Moyano, Crespo Erchiga and Martínez Pilar, 2016).

2.2.5 Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Dermatofitosis

Timbulnya dermatofitosis pada kulit dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1. Faktor umur dan jenis kelamin


18

Jenis kelamin, usia dan ras adalah faktor epidemiologi terpenting, dimana

prevalensi jenis kelamin laki – laki lebih banyak menderita dermatofita

dari wanita.

2. Faktor suhu dan kelembaban

Faktor ini sangat berpengaruh terhadap timbulnya dermatofita pada

manusia, biasanya terlihat pada lokasi yang yang tertutup atau pada sela

– sela jari dan paha.

3. Keadaan sosial dan kurangnya kebersihan

Pada golongan sosial dan ekonomi yang rendah, lebih banyak terdapat

insidensi penyakit dermatofita. Serta kurangnya kebersihan lingkungan,

personal higienitas juga dapat mendukung terjadinya dermatofita pada

kulit yang lebih parah.

4. Faktorcvirulensi

Faktor yang terpenting adalah kemampuan spesies jamur menghasilkan

keratinisasi dan mencerna keratin di kulit. Serta bergantung pada habitat

jamur dermatofita, apakah jamur anthropofilik, zoofilik, atau geofilik

(Gómez M. et al, 2016).

2.2.6 Diagnosis

Penegakkan diagnosis dermatofitosis didasarkan pada anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Tetapi pada umumnya

dilakukan secara klinis dan diperkuat dengan kultur, dan pemeriksaan dengan

lampu wood pada spesies tertentu (Widaty S, 2019).

Pada pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan KOH (potassium

hidroksida) 10 – 20%, tampak dermatofita yang memiliki hifa bersekat dan


19

bercabang tanpa adanya konstriksi dan terdapat septa. Pemeriksaan kultur tetap

diperlukan untuk identifikasi, karena pada pemeriksaan kultur semua spesies

dermatofita nampak identik (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Karakteristik Dermatofita Terbanyak

Morfologi Koloni Gambaran Keterangan


Mikroskopik
Epidermophyton floccosum Koloni : seperti bulu datar
dengan lipatan dan warna
kuning kehijauan, kuning
kecoklatan.

Gambaran mikroskopik : tidak


ada mitokondria, beberapa
dinding tipis dan tebal,
mitokondria berbentuk gada.

Microsporum audouinii Koloni : datar dan berwarna


putih keabuan dengan celah
radial yang lebar. Pada celah
PDA berwarna pink-salmon.

Gambaran mikroskopik :
terminal klamidokonidia dan
hifa berbentuk seperti sisir.

Koloni : datar, berwarna putih


hingga kuning, kasar dan
berambut, celah radial rapat,
PDA berwarna kuning.

Gambaran mikroskopik :
sejumlah dinding tebal dan
mikrokonidia bergerigi dengan
20

M.canis knob pada ujungnya.

M.gypseum Koloni : datar dan granuler


dengan pigmen coklat.

Gambaran mikroskopik :
sejumlah mikrokonidia
berdinding tipis tanpa knob.

Trichophyton Koloni : berwarna putih hingga


krem dengan permukaan seperti
tumpukan kapas, pada PDA
tidak terdapat pigmen.

Gambaran mikroskopik :
mentagrophytes mikrokonidia bergerombol
membentuk air mata, terkadang
hifa spiral.

Trichophyton rubrum Koloni : berwarna putih


bertumpuk di tengah dan
berwarna maroon pada tepinya,
PDA berwarna merah cheri.

Gambaran mikroskopik :
beberapa mikrokonidia
berbentuk air mata, dengan
sedikit makrokonidia yang
berbentuk pensil.
21

T.schoenleinii Koloni : berbentuk timbunan


atau lipatan keputihan

Gambaran mikroskopik : hifa


dengan knob berbentuk tanduk
rusa, banyak klamidokonidia

T.tonsurans Koloni : bagian tengan seperti


kulit sepatu, berwarna putih
hingga kuning dan maroon.

Gambaran mikroskopik :
sejumlah konidia beraneka
bentuk

T. verrucosum Koloni : kecil dan bertumpuk,


kadang datar, berwarna putih
hingga abu kekuningan.

Gambaran mikroskopik : rantai


klamidia pada SDA,
makrokonidia yang panjang dan
tipis seperti ekor tikus.

Koloni : seperti lilin dan


bertumpuk, berwarna merah
keunguan.

Gambaran mikroskopik : hifa


irreguler dengan
T.Violaceum klamidokonidia diantaranya,
SDA tidak terdapat mikro atau
makrokonidia.

Keterangan : PDA = Potato Dextrose Agar, media pertumbuhan jamur pada kultur
22

SDA = Sabouraud Dextrose Agar, media pertumbuhan jamur pada kultur


Sumber : (Rosita and Kurniati, 2008).
2.2.7 Patogenesis

Dermatofita memiliki enzim seperti keratinolytic protease, lipase, dan

lain sebagainya yang membantu invasi ke kulit, rambut, kuku, dan juga

memanfaatkan keratin sebagai sumber gizi untuk hidup. Terjadinya infeksi

dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu : perlekatan pada keratinosit,

penetrasi melewati dan diantara sel, serta pembentukan respon pejamu (Gambar

2.2). Fase penting dermatofita menginfeksi adalah terikatnya dermatofita dengan

jaringan keratin yang diikuti oleh invasi dan pertumbuhan elemen myocelial

(Rosita and Kurniati, 2008).

Gambar 2.2. Epidermomikosis dan trikomikosis. Epidermomikosis (A),

dermatofit (titik dan garis merah) memasuki stratum korneum dengan merusak

lapisan tanduk dan juga menyebabkan respon radang (titik hitam sebagai sel – sel

radang) yang berbentuk eritema, papula, dan fasikulasi. Sedangkan pada

trikomikosis pada batang rambut (B), ditunjukkan titik merah, menyebabkan


23

rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut, akan

memberikan respon nudul, pustukasi folikel, dan pembentukan abses.

Sumber : (Rosita and Kurniati, 2008).

Untuk dapat menimbulkan penyakit, jamur harus dapat mempertahankan

pertahanan tubuh spesifik dan non spesifik atau pertahanan alami. Jamur harus

punya kemampuan melekat pada kulit dan mukosa penjamu dan menyesuaikan

diri dengan suhu dan keadaan biokimia penjamu untuk berkembang biak dan

menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Tanda – tanda peradangan yakni

kemerahan, panas, pembengkakan dan alopesia dapat ditemukan di daerah

terinfeksi. Penyebab dari peradangan atau inflamasi akibat dari adanya

kontaminasi daerah yang belum terinfeksi, sehingga patogen berpindah dan

menyebabkan lesi seperti cincin. Pada Tinea kruris dapat menular secara langsung

melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau secara tidak langsung

dari barang atau benda yang terinfeksi (Winarni, Dwi Retno Adi;Sutoyo, 2010).

2.2.8 Pencegahan

Perkembangan infeksi dermatofitosis diperberat oleh karena faktor

kelembaban, panas dan maserasi. Jika faktor – faktor ini tidak dilakukan

pengontrolan atau tidak diatasi, akan memungkinkan proses penyembuhan

semakin lambat (Widaty S, 2019).

Menurut Boel (2003), terdapat beberapa pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Alas kaki harus pas dan tidak terlalu ketat

2. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih dengan air

panas
24

3. Daerah Intertrigo atau daerah antara jari – jari sesudah mandi harus

dikeringkan dan diberi bedak pengering atau bedak antifungal

4. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan memakai kaos dari bahan katun

agar dapat menyerap keringat.

2.2.9 Prognosis

Menurut (permenkes, 2014), pasien dengan imunokompeten umumnya

memiliki prognosis bonam (baik), sedangkan pasien dengan imunokompromais

akan menjadi dubia ad bonam (ragu – ragu). Apabila faktor yang memperberat

dari dermatofitosis dapat dihilangkan dengan melakukan pencegahan, umumnya

penyakit ini dapat hilang sempurna (Boel, 2003).

2.3. Hubungan Hasil Laboratorium Gula Darah Pada DM Dengan

Dermatofitosis

Dermatofitosis merupakan penyakit yang terjadi akibat adanya infeksi jamur

yang menginvasi jaringan keratin (Yadav et al., 2013). Penelitian World Health

Organization (WHO) didapatkan insiden pada infeksi dermatofitosis terdapat 20%

orang dari seluruh dunia mengalami infeksi tinea korporis yang merupakan tipe

paling dominan dan diikuti oleh tinea kruris, tinea pedis, dan onikomikosis

(Winarni, Dwi Retno Adi;Sutoyo, 2010).

Perubahan kulit pada penderita diabetes melitus terjadi melalui beberapa

mekanisme. Studi in vitro menyatakan bahwa diabetes melitus tidak hanya

memberikan efek negatif secara langsung melalui kadar glukosa patologis, tetapi

juga memberikan efek negatif secara tidak langsung yaitu dengan terbentuknya

AGEs (Advanced Glycation End Products) yang bekerja dengan berinteraksi dan

mempengaruhi fungsi biologis sejumlah protein intra dan ekstraseluler seperti


25

kolagen tipe 1, reseptor epidermal growth factor dan juga mengaktivasi sitokin

proinflamasi yaitu NF-KB (nuclear factor KB) sehingga AGEs akan

menyebabkan peningkatan stress oksidatif intraseluler, termasuk pembentukan

ROS atau Reactive Oksigen Species (Gkogkolou and Böhm, 2014). Kadar glukosa

patologis juga dapat menyebabkan vasodilatasi in vivo dengan cara apoptosis sel

endotel dan menghambat sintesis nitrat oksida sintase. Selanjutnya, kadar glukosa

patologis menekan kemotaksis dan fagositosis pada berbagai tipe sel imun

alamiah (De Macedo, Nunes and Barreto, 2016b). AGEs merupakan salah satu

jalur yang terlibat dalam mekanisme komplikasi diabetes melitus, termasuk

komplikasi kelainan kulit dengan merubah sifat kolagen yang ada pada kulit

sehingga mengakibatkan berkurangnya kelenturan dan kelarutan dan

meningkatkan kekakuan. AGEs juga berperan dalam pengembangan fibrosis pada

diabetes melitus, penuaan kulit dan imunosupresi terkait DM. Perubahan yang

terjadi pada membran sel, limfosit, dan makrofag akan menyebabkan terjadinya

perubahan fungsi imunitas pada penderita diabetes melitus (Karmila, 2019).

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki kelembaban

dan suhu yang tinggi, sehingga memungkinkan jamur untuk tumbuh lebih cepat

dan lebih gampang ditemukan (Pravitasari, Hidayatullah and Nuzula, 2019). Pada

penelitian yang dilakukan di PoliKlinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado menunjukkan bahwa dari 4.099 kasus didapatkan 153 (3,7%)

kasus dermatofitosis, dengan persentase yang diperoleh, yaitu: tinea kruris dengan

54 kasus (35,3%) diikuti oleh tinea korporis 50 kasus (32,7%), tinea kapitis 11

kasus (7,2%), tinea unguium dan onikomikosis dengan 8 kasus (5,3%), serta tinea

pedis et manum 4 kasus (2,6%) di dapatkan juga lokasi kombinasi dari tinea
26

korporis et kruris dan tinea kruris et korporis dengan 26 kasus (17,0%) (Sondakh,

Pandaleke and Mawu, 2016). Pada pasien penderita diabetes melitus lebih sering

terkena infeksi kulit daripada mereka yang tanpa diabetes melitus, terlepas dari

jenis DM (Winarni, Dwi Retno Adi;Sutoyo, 2010). Penelitian yang dilakukan di

Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2012, dari 60 sampel penelitian

diperoleh 7 (11,7%) pasien diantaranya dengan DM dan 53 (88,3%) pasien tanpa

DM. Pada pasien dermatofitosis didapatkan 6 (20%) pasien dengan DM dan 24

(80%) tidak DM, sedangkan pasien non-dermatofitosis didapatkan 1 (3,3%)

pasien dengan DM dan 29 (96,7%) tidak DM (susilowati, 2012). Menurut Goyal

(2010), kelainan kulit pada penderita diabetes melitus sangat berkorelasi dengan

kontrol gula darah. Kerentanan penderita DM terhadap infeksi jamur, ditambah

dengan kontrol gula darah yang buruk membuat infeksi semakin memburuk,

sering rekuren, dan sangat sulit disembuhkan dibandingkan dengan penderita DM

yang memiliki riwayat kontrol gula darah yang baik (Winarni and Sutoyo, 2002).
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Bebas
 Kontrol Gula Darah (X)
Variabel Perancu
Faktor Terkendali :
 Umur
 Jenis kelamin
 Ras

Faktor Tak Terkendali :


 Suhu dan Kelembapan
 Sosio ekonomi
 Virulensi
Variabel Terikat
Dermatofitosis (Y)

Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian

Keterangan
Variabel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :

3.2 Hipotesis Penelitian

Adapun Hipotesa dari penelitian ini adalah :

H0 : Tidak terdapat hubungan antara kontrol gula darah pada pasien diabetes

melitus tipe 2 dengan dermatofitosis di BRSUD Tabanan Bali.

27
28

H1: Terdapat hubungan antara kontrol gula darah pada pasien diabetes melitus

tipe 2 dengan dermatofitosis di BRSUD Tabanan Bali.


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional analitik dengan

desain penelitian case control study. Data yang diambil dari penelitian ini adalah

data sekunder yang berasal dari rekam medis pasien di BRSUD Tabanan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di BRSUD Tabanan pada bulan April Tahun 2021 –

bulan Juni Tahun 2021.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat ke

PoliKlinik Kulit dan Kelamin BRSUD Tabanan.

4.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah rekam medis dari pasien yang berobat di

PoliKlinik Kulit dan Kelamin BRSUD Tabanan dengan riwayat DM tipe 2

pada periode Juni 2020 – Juni 2021. Keseluruhan sampel dipilih berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu sampel dengan kriteria :

a. Kelompok Kasus

Kriteria Inklusi :

- Pasien yang berkunjung ke PoliKlinik Kulit dan Kelamin BRSUD

Tabanan

29
30

- Pasien yang memiliki data kontrol gula darah puasa (GDP) dan

riwayat Diabetes Melitus tipe 2

- Pasien dengan dermatofitosis

Kriteria Ekslusi :

- Catatan rekam medis pasien tidak lengkap.

e. Kriteria Kontrol

Kriteria Inklusi :

- Pasien yang berkunjung ke PoliKlinik Kulit dan Kelamin BRSUD

Tabanan

- Pasien yang memiliki data kontrol gula darah puasa (GDP) dan

riwayat Diabetes Melitus tipe 2

- Pasien tanpa dermatofitosis atau diagnosis di luar dermatofitosis

Kriteria Ekslusi :

- Catatan rekam medis pasien tidak lengkap.

4.3.3 Cara Pemilihan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability

sampling dengan metode consecutive sampling yaitu populasi dengan

kriteria inklusi dan eksklusi. Rumus besar sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rumus penelitian analitik skala kategorik tidak

berpasangan sebagaimana dikutip dalam (Sastroasmoro, 2015) :

(Zα√ 2 PQ + Zβ√ P1 Q 1+ P 2 Q2 )2
n=
=
Keterangan : (P1 – P2)2

n = Besar sampel

Zα = Standar deviasi pada kesalahan tipe I (1,96)


31

Zβ = Standar deviasi pada kesalahan tipe II (0,84)

P1 = Besar proposi kejadian dermatofitosis dengan kontrol

gula darah pada DM yang nilainya diambil dari pustaka (0,448) (A.

A. Dewanti, 2018)

P2 = Besar proporsi pasien dermatofitosis (0,148) (judgement

peneliti)

Q1 = 1 – P1 (0,552)

Q2 = 1 – P2 (0,852)

P1 – P2 = Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna yang

ditentukan peneliti sebesar 30% (Sastroasmoro, 2015).

Q = 1 – P (0,702)

P = Proporsi total  (P1 + P2)/2 = 0,298

Zα√ 2 PQ + Zβ√ P1 Q 1+ P 2 Q2 2
n1 = n2 =
P1 – P2

= 1,96√ 2 x 0,298 x 0,702+ 0,84√ 0,448 x 0,552+0,148 x 0,852 2

0,3

= 1,96√ 2 x 0,298 x 0,702+ 0,84√ 0,448 x 0,552+0,148 x 0,852 2

0,3

= 1,96√ 2(0,209)+ 0,84√ 0,247+0,126 2

0,3

= 1,96√ 0,418+ 0,84√ 0,373 2

0,3

= 1,96(0,646)+ 0,84(0,610) 2

0,3
32

= 1,266+ 0,512 2

0,3

= 1,778 2

0,3

3,161
=
0,009

n = 35

Hasil dari perhitungan dapat disimpulkan bahwa jumlah sampel kelompok

kasus dan kontrol yang akan diambil adalah 70 rekam medis, dimana n1 = n2

sehingga jumlah sampel kelompok kasus adalah 35 dan sampel kelompok kontrol

35

4.4 Variabel Penelitian

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kontrol gula darah, dengan

kriteria :

- GDP terkontrol : 80 – 130 mg/dL

- GDP tidak terkontrol : > 130 mg/dL

b. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah dermatofitosis.

c. Variabel perancu dalam penelitian ini adalah :

- Terkendali : usia, jenis kelamin, ras.

- Tak Terkendali : suhu dan kelembaban, sosio ekonomi, virulensi.

4.5 Definisi operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


33

Tabel 1. Definisi operasional variabel

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil ukur Skala

1 Kontrol gula Keteraturan pengukuran Rekam medis a. Gula darah Kategorik

darah rata – rata kadar gula hasil ukur GDP terkontrol :

darah pada pasien DM pada pasien DM jika GDP 80 –

dalam 3 bulan terakhir 130 mg/dL

(American Diabetes b. Gula darah

Association, 2018) tidak

terkontrol :

jika GDP >

130 mg/dL

2 Kejadian Infeksi jamur superfisial Rekam medis 1.Terjadi Nominal

Dermatofitosis yang disebabkan oleh yang memuat kejadian dikotomik

jamur dermatofita, yang diagnosis pasien dermatofitosis

memiliki kemampuan dengan 2.Tidak terjadi

melekat pada keratin dermatofitosis kejadian

sebagai sumber nutrisi dermatofitosis

4.6 Pengumpulan data

Adapun langkah-langkah pengumpulan data dari penelitian ini adalah:

1. Membuat surat permohonan kelayakan etik dan penelitian di bagian

akademik FKIK Warmadewa

2. Membuat surat permohonan izin untuk melihat rekam medis penyakit kulit

di BRSUD Tabanan.

3. Mengirim surat permohonan izin ke BRSUD Tabanan.


34

4. Mencari dan melakukan pencatatan data dengan diagnosis penyakit kulit

dan catatan tentang riwayat DM tipe 2 pada rekam medis pasien yang

berkunjung ke PoliKlinik Kulit dan Kelamin BRSUD Tabanan.

5. Data dibedakan menjadi dermatofitosis dan non dermatofitosis, kemudian

diamati kadar gula darah puasa (GDP) pada kedua kelompok termasuk

terkontrol atau tidak terkontrol.

4.7 Pengelolaan Data

Semua data dicatat dalam status penelitian,dikumpulkan kemudian diolah

dengan menggunakan program Statistic Package for Social Science (SPSS) for

window. Pengolahan data pada penelitian ini melalui empat tahap yaitu :

1. Editing

Editing adalah kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir check

list dan memeriksa kembali data yang didapat.

2. Coding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan. Kegunaan coding adalah untuk mempermudah

pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat memasukan data.

3. Processing

Setelah semua data terisi penuh dan juga sudah melewati coding,

kemudian langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat

dianalisis. Processing data dilakukan dengan cara memasukan data yang

diperoleh ke program komputer.

4. Cleaning
35

Cleaning (pembersihan data) adalah kegiatan pengecekan kembali data

yang sudah dimasukan apakah ada kesalahan atau tidak.

4.8 Teknik Analisis Data

a. Analisis Univariat

Data dianalisis secara univariat menggunakan komputer dengan bantuan

program Statistic Package for Social Science (SPSS) di komputer.

Analisis ini digunakan untuk melihat persentase frekuensi dan proporsi

dari masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel bebas maupun

variabel terikat. Hasil dari analisis ini akan ditampilkan dalam bentuk

narasi, tabel, dan grafik.

b. Analisis Bivariat

Sedangkan analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara

variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik :

Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square, untuk melihat

hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan hasil penelitian

dinyatakan bermakna bila p <0,05 dan dinyatakan tidak bermakna bila p

>0,05 (Sastroasmoro, 2015).


BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian yang telah dilaksanakan di BRSUD Tabanan, Bali pada bulan

Desember 2020 - Februari 2021. Dari penelitian didapatkan sampel sebanyak 70

orang yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subyek penelitian. Pada subyek

dibagi menjadi dua kelompok yaitu kasus dan kontrol. Dari penelitian tersebut

didapatkan data sebagai berikut :

5.1 Analisis Univariat

Berdasarkan hasil pengumpulan data menggunakan rekam medis di

BRSUD Tabanan dengan jumlah sampel 70 didapatkan gambaran karakteristik

usia, jenis kelamin, gula darah, dan jenis dermatofitosis seperti pada tabel

dibawah ini :

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Karakteristik

Tabel 1 berikut menunjukkan distribusi sampel berdasarkan masing-

masing karakteristik.

Variabel Non Dermatofitosis Dermatofitosis


N = 35 N = 35

Usia

0 – 30 tahun 18 (51,4%) 11 (31,4%)

31 – 60 tahun 11 (31,4%) 16 (45,7%)

61 – 90 tahun 6 (17,1%) 8 (22,9%)

Jenis Kelamin

Laki – laki 15 (42,9%) 22 (62,9%)

Perempuan 20 (57,1%) 13 (37,1%)

36
37

Gula Darah

Terkontrol 24 (68,5%) 21 (60%)

Tidak Terkontrol 11 (31,4%) 14 (40%)

Tabel di atas menunjukkan bahwa responden dengan persentase

mengalami dermatofitosis tertinggi adalah pada kelompok usia 31 – 60 tahun

dimana sebanyak 59,3% responden mengalami dermatofitosis. Sedangkan

responden dengan persentase mengalami dermatofitosis terendah adalah pada

kelompok usia 0 – 30 tahun yaitu sebanyak 37,9% responden mengalami

dermatofitosis. Pada kelompok non dermatofitosis, paling banyak diderita oleh

pasien usia 0 – 30 tahun. Dari tabel jenis kelamin, sebanyak 59,5% responden

laki-laki mengalami dermatofitosis. Sedangkan sebanyak 39,4% responden

perempuan mengalami dermatofitosis. Sehingga dari keseluruhan responden, jenis

kelamin laki – laki lebih banyak pada kelompok dermatofitosis daripada non

dermatofitosis. Berdasarkan kontrol gula darah, responden yang mengalami

dermatofitosis pada kelompok gula darah terkontrol adalah sebanyak 46,7%.

Persentase tersebut lebih kecil apabila dibandingkan dengan responden yang

mengalami dermatofitosis pada kelompok gula darah tak terkontrol yaitu

sebanyak 56%.

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Dermatofitosis

Adapun distribusi sampel berdasarkan jenis dermatofitosis adalah sebagai

berikut.

Frekuensi
Jenis Dermatofitosis Persentase
N = 35
Tinea Kruris 13 37,1 %
Tinea Kruris et Korporis 2 5,7 %
38

Tinea Korporis 6 17,1 %


Tinea Unguium 6 17,1 %
Tinea Pedis 2 5,7 %
Tinea Fasialis 2 5,7 %
Tinea Korporis et Kruris 2 5,7 %
Tinea Kapitis 1 2,9 %
Tinea Fasialis et Korporis 1 2,9%

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden terbanyak adalah responden dengan

dermatofitosis Tinea Kruris yaitu sebesar 37,1%. Sedangkan responden paling

sedikit adalah responden dengan dermatofitosis Tinea Kapitis dan Tinea Fasialis

et Korporis yaitu sebesar 2,9%.

Distribusi Jenis Dermatofitosis


5.70% 2.90% 2.90%
5.70%
37.10%
5.70%

17.10%

17.10%

5.70%

Tinea Kruris Tinea Kruris et Korporis Tinea Korporis


Tinea Unguium Tinea Pedis Tinea Fasialis
Tinea Korporis et Kruris Tinea Kapitis Tinea Fasialis et Korporis

5.2 Analisis Bivariat

1. Uji Chi Square

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara gula

darah terkontrol pada pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Dermatofitosis,


39

dilakukan pengujian Chi Square pada tingkat signifikan 5%. Adapun hasil analisis

yang dilakukan dengan bantuan SPSS adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil Uji Chi Square

Dermatofitosis
OR (95%
Gula Darah Non P-Value
Dermatofitosis CI)
Dermatofitosis
Terkontrol 24 21
1,455 0,454
Tak Terkontrol 11 14

Dari tabel tersebut diketahui hasil uji chi – square untuk mengetahui

hubungan gula darah terkontrol pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan

dermatofitosis, hasil uji tersebut didapatkan p-value 0,454. Dimana hasil tersebut

berarti kurang dari nilai kritis yaitu sebesar 0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gula darah terkontrol

dengan dermatofitosis.
BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain case control yang

melibatkan 70 orang penderita diabetes untuk kemudian dibagi ke dalam dua

kelompok yaitu kelompok yang menderita dermatofitosis sebagai kelompok kasus

dan kelompok yang tidak menderita dermatofitosis sebagai kelompok kontrol

dengan jumlah masing-masing 35 orang. Tidak dilakukan matching usia dan jenis

kelamin antara subjek penelitian pada masing-masing kelompok tersebut. Pada

kelompok non dermatofitosis, mayoritas (51,4%) subjek penelitian berusia < 30

tahun dan mayoritas (57,1%) berjenis kelamin perempuan. Sedangkan pada

kelompok dermatofitosis, mayoritas (45,7%) subjek penelitian berusia 31-60

tahun dan mayoritas (62,9%) berjenis kelamin laki-laki. Data demografi tersebut

hanya merupakan gambaran karakteristik subjek penelitian ini dan tidak

menunjukkan gambaran proporsi usia dan jenis kelamin penderita diabetes

ataupun dermatofitosis di BRSUD Tabanan.

Hasil penelitian ini mendapati bahwa terdapat 9 jenis dermatofitosis yang

ditemukan pada kelompok kasus dan 3 jenis diantaranya merupakan kasus

dermatofitosis kombinasi. Dermatofitosis yang paling banyak ditemukan adalah

tinea kruris dengan proporsi sebesar 37,1%, disusul oleh tinea korporis dan tinea

unguium dengan proporsi masing-masing sebesar 17,1%. Tinea pedis dan tinea

fasialis menempati posisi berikutnya dengan proporsi masing-masing sebesar

5,7%, serta terakhir tinea kapitis dengan proporsi sebesar 2,9%. Data ini juga

40
41

merupakan distribusi jenis dermatofitosis yang terbatas pada penelitian ini saja

dan tidak dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi dermatofitosis di

RSUD Tabanan karena desain penelitian ini menggunakan desain case control.

Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa pada pasien diabetes yang tidak

mengalami dermatofitosis, mayoritas memiliki kadar gula darah yang terkontrol.

Hasil serupa didapatkan pada pasien diabetes yang mengalami dermatofitosis,

yaitu mayoritas memiliki kadar gula darah yang terkontrol. Hasil analisis

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kontrol gula

darah dengan dermatofitosis pada pasien diabetes (nilai p = 0,454; OR = 1,45).

Hasil ini sejalan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dogan (2020).

Penelitian dengan desain case control yang melibatkan 167 orang pasien tersebut

bertujuan untuk mengetahui apakah diabetes melitus berhubungan dengan

kejadian onikomikosis dan tinea pedis. Salah satu hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kontrol gula darah dengan

kejadian onikomikosis dan tinea pedis (p = 0,155) (Dogan, 2020). Sebuah

penelitian yang dilakukan oleh Kuvandik (2007) dan Romano (2001) juga

mendapatkan hasil yang sejalan. Penelitian yang dilakukan oleh Kuvandik dengan

100 orang pasien dan penelitian Romano dengan 171 orang pasien menunjukkan

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kontrol gula darah dengan

dermatofitosis (p > 0,05) (Kuvandik et al., 2007) (Romano et al., 2001).

Hasil berbeda ditunjukkan pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Yasemin (2016). Penelitian dengan desain case control yang melibatkan 600

orang pasien tersebut bertujuan untuk mengetahui prevalensi tinea pedis dan

onikomikosis, faktor predisposisi perkembangannya pada pasien dengan diabetes


42

melitus (DM) tipe 2. Penelitian tersebut mendapati bahwa onikomikosis dan tinea

pedis secara signifikan berhubungan dengan diabetes (Yasemin et al., 2017). Hasil

berbeda juga dapat ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Akkus (2016).

Penelitian dengan desain cross sectional yang melibatkan 227 orang pasien

tersebut bertujuan untuk mengetahui frekuensi onikomikosis dan/atau tinea pedis

pada pasien diabetes, serta efek pada perkembangan komplikasi kronis ulkus kaki

diabetik. Penelitian tersebut mendapati bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara peningkatan HbA1c dengan kejadian onikomikosis dan tinea pedis (p

<0,05). Dermatofitosis pada jari kaki, telapak kaki, dan kuku jari kaki

berhubungan dengan peningkatan risiko ulkus kaki diabetik (Akkus et al., 2016).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fajriansyah (2020) juga

menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian dengan desain

case control yang melibatkan 54 orang pasien tersebut bertujuan untuk

mengetahui hubungan kejadian tinea korporis dengan diabetes melitus di

poliklinik dermatologi dan venerologi RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.

Penelitian tersebut mendapati bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

kejadian tinea korporis dengan diabetes melitus dimana kondisi gula darah yang

tinggi (hiperglikemia) menyebabkan penurunan fungsi leukosit, sehingga

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (p = 0,001, r = 0,424) (Fajriansyah,

2020). Hasil yang juga kontradiktif dengan penelitian ini dapat ditemukan pada

penelitian yang dilakukan oleh Dewanti (2018). Penelitian dengan desain cross

sectional yang melibatkan 64 orang pasien tersebut bertujuan untuk mengetahui

hubungan kontrol gula darah dengan frekuensi kejadian dermatofitosis pada

penderita diabetes. Penelitian tersebut mendapati bahwa terdapat hubungan yang


43

bermakna antara kontrol gula darah dengan frekuensi dermatofitosis pada pasien

diabetes (p = 0,007) (Dewanti, 2018).

Secara teori, pasien diabetes yang memiliki kadar gula darah tidak

terkontrol merupakan faktor risiko dermatofitosis, sehingga akan berpengaruh

terhadap frekuensi dermatofitosis. Kondisi hiperglikemik yang berkepanjangan

mempengaruhi mekanisme imunoregulator, seperti penurunan fungsi leukosit,

yakni penurunan kemampuan fagositosis, penurunan aktivitas bakterisid, dan

penurunan kemampuan adherence pada sel PMN yang mana merupakan proses

proteksi terhadap patogen. Tingginya kadar glukosa darah secara kronis juga

sangat mempengaruhi homeostasis kulit dengan menghambat proliferasi dan

migrasi keratinosit, biosintesis protein, menginduksi apoptosis sel endotel,

penurunan sintesis oksida nitrat, dan gangguan fagositosis, serta kemotaksis dari

sel imun. Perubahan pada membran sel, limfosit, dan makrofag menyebabkan

terjadinya perubahan fungsi imunitas pada penderita DM, sehingga pasien DM

sering terkena infeksi jamur maupun mikroorganisme lainnya, membuat infeksi

cenderung lebih berat, rekuren, dan sulit disembuhkan (De Macedo et al., 2016).

Sebanding dengan infeksi bakteri, perubahan kulit yang disebabkan oleh

hiperglikemia merupakan predisposisi infeksi mikologi. Infeksi yang disebabkan

oleh dermatofita juga sering terjadi pada penderita diabetes. Karena tinea pedis

dikaitkan dengan retakan mikroskopis pada kulit, penyakit ini juga akan

meningkatkan risiko terjadinya infeksi bakteri sekunder yang dapat menyebabkan

ulkus. Akibatnya, tinea harus didiagnosis dan diobati dengan hati-hati pada

penderita diabetes (Lima et al., 2017). Penurunan imunitas bawaan pada penderita

diabetes dapat berkontribusi dalam meningkatkan kemungkinan jamur patogen


44

lebih aktif dengan daya virulensi tinggi menyebabkan melekatnya mikroba

tersebut pada sel untuk meningkatkan prevalensi infeksi. Adanya defek imunitas

disertai dengan neuropati menyebabkan daya tahan kulit terhadap infeksi patogen,

terutama jamur, menjadi berkurang (Al-Nasrawi, 2021).

Ketidaksesuaian hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dengan

beberapa penelitian sebelumnya dan dengan teori yang ada diduga disebabkan

oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan standar klasifikasi gula darah yang

terkontrol dan tidak terkontrol antara penelitian ini dengan beberapa penelitian

sebelumnya. Penelitian ini menggunakan patokan hasil pemeriksaan GDP,

sementara beberapa penelitian sebelumnya menggunakan patokan HbA1c; (2)

perbedaan karakteristik dasar antara subjek penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya, seperti usia, jenis kelamin, lama menderita diabetes, neuropati, obat

diabetes yang digunakan, personal hygiene, dan berbagai faktor lainnya yang

tidak diteliti oleh penelitian ini. Berbagai kondisi ini menjadi variabel perancu

penelitian; (3) perbedaan kondisi lingkungan antara penelitian ini dengan

beberapa penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan

pembanding penelitian ini dilakukan di Turki yang memiliki iklim relatif lebih

sejuk dengan kelembaban yang lebih kering daripada Indonesia, sehingga akan

mempengaruhi pertumbuhan dermatofita; dan (4) adanya faktor penyebab lain

yang memiliki hubungan atau pengaruh yang lebih kuat terhadap terjadinya

dermatofitosis.

Faktor penyebab terjadinya dermatofitosis sangat beragam, tetapi secara

sederhana dapat dikelompokkan menjadi personal hygiene dan alat pelindung diri.

Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi (2020) melaporkan bahwa higiene


45

perorangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dermatofitosis

(Riyadi et al., 2020). Penelitian Darung (2017) melaporkan bahwa pengetahuan

serta perilaku hidup bersih dan sehat juga berhubungan dengan dermatofitosis

(Darung, 2017). Sementara itu, beberapa pekerjaan memiliki risiko lebih besar

untuk mengalami dermatofitosis, yaitu pekerjaan yang membuat seseorang

terpaksa berada di tempat yang kotor dan lembab. Salah satu contoh penelitian

yang meneliti permasalahan ini adalah penelitian Siregar (2018). Penelitian

tersebut melaporkan bahwa penggunaan alat pelindung diri dapat mengurangi

risiko terjadinya dermatofitosis pada pekerja penjual ikan basah di pasar nelayan

(Siregar, 2018). Penelitian lain oleh Rusdin (2016) terhadap pekerja kebersihan

sampah pun mendapati bahwa penggunaan sepatu boots dapat menurunkan risiko

terjadinya tinea (Rusdin, 2019).


BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dari 70 responden dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada kelompok dermatofitosis 45,7% subjek penelitian berusia 31 – 60

tahun dan mayoritas 62,9% berjenis kelamin laki – laki. Sedangkan pada

kelompok non dermatofitosis 51,4% subjek penelitian berusia < 30 tahun

dan 57,1% berjenis kelamin perempuan.

2. Dermatofitosis yang paling banyak ditemukan adalah tinea kruris dengan

proporsi sebesar 37,1%, disusul oleh tinea korporis dan tinea unguium

sebesar 17,1%. Tinea pedis dan tinea fasialis menempati posisi berikutnya

dengan proporsi masing – masing sebesar 5,7%, serta tinea kapitis dengan

proporsi sebesar 2,9%.

3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kontrol gula darah dengan

dermatofitosis pada pasien diabetes melitus tipe 2. Dari analisis bivariat

yang dilakukan didapatkan nilai ρ value = 0,454.

7.2 Saran

Hal-hal yang dapat disarankan dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagi penderita diabetes melitus tipe 2 diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan tentang tatalaksana dan pengendalian diabetes mellitus

tipe 2 agar tidak mengalami komplikasi. Serta lebih rutin memonitor

46
47

kadar gula darah sesuai jadwal yang ditetapkan agar tidak terjadi

peningkatan.

2. Bagi tenaga kesehatan, institusi yang terkait dan pemerintah diharapkan

untuk rutin melakukan edukasi pada pasien diabetes melitus tipe 2

tentang penyakit kulit yang dapat menyertai terutama penyakit

dermatofitosis, agar pasien diabetes mellitus lebih sadar akan

pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungannya.

3. Bagi peneliti berikutnya disarankan untuk bisa menyempurnakan

penelitian ini dengan meneliti faktor-faktor lain yang bisa

mempengaruhi timbulnya dermatofitosis.

4. Bagi peneliti berikutnya disarankan pada pemeriksaan kadar gula darah

dalam penelitian kontrol kadar gula darah dengan dermatofitosis

sebaiknya dilakukan pemeriksaan HbA1C, karena HbA1C merupakan

parameter yang digunakan dalam melihat kontrol gula darah dalam

jangka waktu yang lebih panjang.


DAFTAR PUSTAKA

Akkus, G., Evran, M., Gungor, D., Karakas, M., Sert, M., & Tetiker, T. (2016).
Tinea pedis and onychomycosis frequency in diabetes mellitus patients
and diabetic foot ulcers: A cross sectional - Observational study. Pakistan
Journal of Medical Sciences, 32(4), 903.
https://doi.org/10.12669/pjms.324.10027
Al-Nasrawi, H. (2021). Cutaneous Mycoses among Diabetes Patients. Annals of
the Romanian Society for Cell Biology, 25(4), 10949–10956. Diambil dari
http://annalsofrscb.ro
American Diabetes Association (2018) ‘Standard medical care in diabetes 2018’,
The journal of clinical and applied research and education. doi:
10.2337/dc18-Sint01.
Bhat, Y. J., Gupta, V. and Kudyar, R. P. (2006) ‘Cutaneous manifestations of
diabetes mellitus’, International Journal of Diabetes in Developing
Countries, 26(4), pp. 152–155. doi: 10.1159/000095488.
Darung, M. (2017). Hubungan Antara Pengetahuan Dan Phbs Dengan Kejadian
Tinea Pedis Pada Pemulung Skripsi. Skripsi-2018. Jakarta: Universitas
Trisakti. Diambil dari
http://repository.trisakti.ac.id/usaktiana/index.php/home/detail/detail_kole
ksi/7/SKR/th_terbit/00000000000000095231/2017
Decroli, E. (2019) Diabetes Melitus Tipe 2, Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Dewanti, A. A. (2018) ‘Hubungan Kontrol Gula Darah Dengan Kejadian
Dermatofitosis Pada Pasien Dengan riwayat diabetes mellitus di rumah
sakit umum daerah Dr Moewardi Surakarta’, Hubungan Kontrol Gula
Darah Dengan Kejadian Dermatofitosis Pada Pasien Dengan riwayat
diabetes mellitus di rumah sakit umum daerah Dr Moewardi Surakarta, 2,
pp. 227–249. Available at: http://eprints.ums.ac.id/60075/12/NASKAH
PUBLIKASI-AJENG.pdf.
De Macedo, G. M. C., Nunes, S. and Barreto, T. (2016a) ‘Skin disorders in
diabetes mellitus: An epidemiology and physiopathology review’,
Diabetology and Metabolic Syndrome. doi: 10.1186/s13098-016-0176-y.
De Macedo, G. M. C., Nunes, S. and Barreto, T. (2016b) ‘Skin disorders in
diabetes mellitus: An epidemiology and physiopathology review’,
Diabetology and Metabolic Syndrome. BioMed Central, 8(1), pp. 1–8. doi:
10.1186/s13098-016-0176-y.

48
49

Diabetes Federation International (2019) IDF Diabetes Atlas Ninth edition 2019,
International Diabetes Federation. Available at: http://www.idf.org/about-
diabetes/facts-figures.
Dogan, E. (2020). Is Diabetes mellitus a risk factor for onychomycosis and tinea
pedis? Cumhuriyet Medical Journal, 42(3), 359–365.
https://doi.org/10.7197/cmj.757045
Fajriansyah, M. R. (2020). Hubungan Kejadian Tinea Korporis dengan Diabetes
Melitus di Poliklinik Dermatologi dan Venerologi RSUD Dr.Saiful Anwar
Malang. Malang.
Fitzpatrick, T. B. et al. (2008) Fitzpatrick’s dermatology in general medicine
[electronic resource], McGrawHills AccessMedicine Clinical library.
Gkogkolou, P. and Böhm, M. (2014) ‘Hauterkrankungen bei diabetes mellitus’,
JDDG - Journal of the German Society of Dermatology, 12(10), pp. 847–
864. doi: 10.1111/ddg.12424.
Gómez Moyano, E., Crespo Erchiga, V. and Martínez Pilar, L. (2016a)
‘Dermatofitosis’, Piel, 31(8), pp. 546–559. doi:
10.1016/j.piel.2016.03.009.
Gómez Moyano, E., Crespo Erchiga, V. and Martínez Pilar, L. (2016c)
‘Dermatofitosis’, Piel. doi: 10.1016/j.piel.2016.03.009.
Hay, R. (2017) ‘Superficial fungal infections’, Medicine (United Kingdom). doi:
10.1016/j.mpmed.2017.08.006.
Hidajat, D., Hapsari, Y. and Hendrawan, I. W. (2014) ‘Di Poliklinik Kulit Dan
Kelamin Rsu Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode 2013-2014’, 6(4), p.
2014.
Kafaie, P. and Shojaoddiny-Ardekani, A. (2012) ‘Skin Manifestations of Diabetes
Mellitus’, Iranian Journal of Diabetes and Obesity. Iranian Journal of
Diabetes and Obesity, 4(2), pp. 91–98. Available at:
http://ijdo.ssu.ac.ir/article-1-85-en.html (Accessed: 17 May 2020).
Karmila, I. D. (2019) ‘Manifestasi Dermatologis Pada Diabetes Melitus’,
Manifestasi Dermatologis Pada Diabetes Melitus.
Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan (2018) ‘Hasil
Utama Riset Kesehatan Dasar’, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, pp. 1–100. doi: 1 Desember 2013.
Khairani (2019) ‘Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018’, Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, pp. 1–8.
Kresna, M. and Wiratma, Y. (2014) ‘Laporan Kasus Tinea Kruris Pada Penderita’,
Laporan Kasus Tinea Kruris pada penderita Diabetes Mellitus, pp. 1–7.
Lima, A. L., Illing, T., Schliemann, S., & Elsner, P. (2017). Cutaneous
50

Manifestations of Diabetes Mellitus: A Review. American Journal of


Clinical Dermatology, 18(4), 541–553. https://doi.org/10.1007/s40257-
017-0275-z
Matthew C. Riddle, M. (2019) ‘ADA. Standards of Medical Care in Diabetes -
2019’, American Diabetes Association.
Namazi MR, Y. G. (2009) ‘No Title’, Diabetes mellitus. In: Dermatological Signs
of Internal Disease., 4th Ed, pp. 189-198.
Nasution, M. A. and Utara, U. S. (2005) ‘Mikologi dan Mikologi Kedokteran
Beberapa Pandangan Dermatologis’, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, pp. 1–15.
Ozougwu, O. (2013) ‘The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2
diabetes mellitus’, Journal of Physiology and Pathophysiology, 4(4), pp.
46–57. doi: 10.5897/jpap2013.0001.
Permenkes (2014) ‘PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA 2014’, Gait and Posture. doi:
10.1016/j.gaitpost.2018.03.005.
Pravitasari, N., Hidayatullah, T. A. and Nuzula, A. F. (2019) ‘Profil
Dermatofitosis Superfisialis Periode Januari – Desember 2017 Di Rumah’,
Jurnal Saintika Medika, 15(1), pp. 25–32.
Putri, A. I. and Astari, L. (2017) ‘Profil dan Evaluasi Pasien Dermatofitosis’,
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 29(2), pp. 135–141. doi:
http://dx.doi.org/10.20473/bikkk.V29.2.2017.135-141.
Riyadi, E., Batubara, D. E., & Pratiwi Lingga, F. D. (2020). Hubungan Higiene
Perorangan Dengan Angka Kejadian Dermatofitosis. JURNAL PANDU
HUSADA, 1(4), 204. https://doi.org/10.30596/jph.v1i4.5307
Romano C, Massai L, Asta F, Signorini AM. Prevalence of dermatophytic skin
and nail infections in diabetic patients. Mycoses 2001; 44: 83-86.
Rosita, C. and Kurniati (2008) ‘Etiopatogenesis Dermatofitosis ( Etiopathogenesis
of Dermatophytoses )’, Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
20(318), pp. 243–250.
Rovid Spickler, A. (2013) ‘Dermatophytosis Ringworm, Tinea’, The Center for
Food Security and Public Health, (March), pp. 1–13.
Rusdin, F. M. (2019). Hubungan lama dan perilaku pemakaian sepatu boots
terhadap tinea pedis pada pekerja. SKRIPSI-2018. Jakarta: Universitas
Trisakti. Diambil dari
http://repository.trisakti.ac.id/usaktiana/index.php/home/detail/detail_kole
ksi/7/SKR/th_terbit/00000000000000097168/2016
Sastroasmoro, prof. D. dr. S. (2015) Dasar - Dasar Metodelogi Klinis.
51

Schwartz, R. (2015) ‘Color Atlas and synopsis of pediatric dermatology’, Indian


Journal of Dermatology. doi: 10.4103/0019-5154.169156.
Siregar, M. (2018). HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE DAN PENGGUNAAN
ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DENGAN TIMBULNYA
DERMATOFITOSIS PADA PEKERJA PENJUAL IKAN BASAH DI
PASAR MARELAN KOTA MEDAN TAHUN 2018. Medan. Diambil dari
http://repository.helvetia.ac.id
Soelistijo, S. A. et al. (2015) Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015, Perkeni. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.
Somolinos AL, Sànchez JL. Prevalence of dermatophytosis in patients with
diabetes. J Am Acad Dermatol 1992; 26: 408-410.
Sondakh, C. E. E. J., Pandaleke, T. A. and Mawu, F. O. (2016) ‘Profil
dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Januari – Desember 2013’, e-CliniC. doi:
10.35790/ecl.4.1.2016.12134.
WHO Library (2016) ‘Global Report on Diabetes’, Isbn, 978, pp. 6–86. Available
at: http://www.who.int/about/licensing/.
Winarni, Dwi Retno Adi;Sutoyo, S. (2010) ‘Review on dermatomycosis:
pathogenesis and treatment’, Natural Science, 02(07), pp. 726–731. doi:
10.4236/ns.2010.27090.
Winarni, D. R. A. and Sutoyo, S. S. (2002) ‘Dermatofistosis Pada Dm 2 Pengruh
Kadar Gula, Obes, Ugm.Pdf’, Berkala Ilmu Kedokteran, pp. 21–29.
Yadav, A. et al. (2013) ‘Optimization and Isolation of Dermatophytes from
Clinical Samples and In Vitro Antifungal Susceptibility Testing By Disc
Diffusion Method’, Research & Reviews: Journal of Microbiology and
Biotechnology, 2(3), pp. 19–34. Available at: http://www.rroij.com/open-
access/optimization-and-isolation-of-dermatophytes-from-clinical-
samples-and-in-vitro-antifungal-susceptibility-testing-by-disc-diffusion-
method.php?aid=34373.
Yasemin, O., Qoraan, I., Oz, A., & Balta, I. (2017). Prevalence and epidemiology
of tinea pedis and toenail onychomycosis and antifungal susceptibility of
the causative agents in patients with type 2 diabetes in Turkey.
International Journal of Dermatology, 56(1), 68–74.
https://doi.org/10.1111/ijd.13402
16

LAMPIRAN

53
54

Lampiran 1. Time Table

Bulan
No. Kegiatan
Jan–Agst 20 Sept – Nov 20 Des 20 – Feb 21 Mar - Mei 21 Jun – Jul 21 Jul – Agst 21
1 Menyusun Proposal
2 Mengajukan Etik
3 Mengumpulkan Data
4 Menganalisis Data
5 Menyusun Skripsi
6 Ujian Skripsi
55

Lampiran 2. Tabel Pengambilan Data

No Nomor Tanggal Inisial Jenis Usia Kontrol Diagnosis


Rekam Periksa Pasien Kelamin Gula
Medis Darah

KASUS

1 750853 10-24-2020 MS P 60 tahun 91 mg/dL Tinea Kruris

2 039393 05-14-2020 DS P 37 tahun 125 mg/dL Tinea Kruris

3 098751 08-13-2018 KS L 59 tahun 116 mg/dL Tinea Kruris


Tinea Kruris et
4 159031 02-27-2020 AN L 19 tahun 91 mg/dL Korporis

5 252762 08-30-2018 IS P 51 tahun 92 mg/dL Tinea Korporis


6 051736 08-18-2018 IS L 60 tahun 106 mg/dL Tinea Korporis
7 092924 08-13-2018 NS L 64 tahun 106 mg/dL Tinea Kruris
8 356584 27-03-2018 PR L 8 tahun 87 mg/dL Tinea Kapitis
9 707042 17-04-2018 BA L 60 tahun 120 mg/dL Tinea Kruris
Tinea Kruris et
10 076451 19-04-2018 NS P 55 tahun 103 md/dL korporis
56

11 586255 12-03-2018 AS P 2 tahun 122 mg/dL Tinea Unguium


12 707229 20-04-2018 AW L 24 tahun 104 mg/dL Tinea Pedis
13 687834 05-03-2018 DD L 26 tahun 129 mg/dL Tinea Kruris
Tinea Korporis et
14 660925 17-01-2018 KC L 54 tahun 124 mg/dL Kruris
15 637317 03-07-2018 ME P 39 tahun 122 mg/dL Tinea Fasialis
16 720803 07-01-2019 GK L 12 tahun 233 mg/dL Tinea Unguium
Tinea Fasialis et
17 543585 28-12-2019 KS P 54 tahun 153 mg/dL korporis, kruris
18 072680 29-04-2019 NM P 19 tahun 318 mg/dL Tinea Korporis
19 487401 09-07-2019 KS L 58 tahun 200 mg/dL Tinea Pedis
20 710017 14-10-2019 MD L 34 tahun 120 mg/dL Tinea Kruris
21 225879 03-05-2019 NS L 63 tahun 279 mg/dL Tinea Korporis
22 039971 29-03-2019 DW L 68 tahun 252 mg/dL Tinea Kruris
23 186525 09-12-2019 MN L 29 tahun 104 mg/dL Tinea Korporis
24 299333 04-03-2020 IS L 68 tahun 318 mg/dL Tinea Fasialis
25 361521 06-01-2020 KS L 59 tahun 166 mg/dL Tinea Kruris
26 051751 14-08-2018 MS L 65 tahun 148 mg/dL Tinea Korporis
57

27 550825 26-09-2018 PS L 40 tahun 125 mg/dL Tinea Kruris


Tinea koporis et
28 393382 05-05-2018 EL P 5 tahun 211 mg/dL kruris
29 534881 20-07-2018 KS P 50 tahun 120 mg/dL Tinea Unguium
30 514875 25-09-2020 BW L 23 tahun 166 mg/dL Tinea Unguium
31 035468 13-03-2018 GR P 70 tahun 129 mg/dL Tinea Unguium
32 371029 03-01-2018 KM L 25 tahun 154 mg/dL Tinea Kruris
33 386148 22-05-2018 NM P 54 tahun 220 mg/dL Tinea Unguium
34 207490 07-05-2019 KS P 69 tahun 104 mg/dL Tinea Kruris
35 092924 13-08-2018 IS L 63 tahun 233 mg/dL Tinea Kruris
KONTROL
1 720104 12-19-2018 KC P 21 tahun 128 mg/dL Pitiriasis Versikolor
2 713448 08-01-2018 KB L 55 tahun 116 mg/dL Candidiasis Oral
3 267916 09-01-2018 NL P 23 tahun 91 mg/dL Pitiriasis Versikolor
Candidiasis
4 261791 02-01-2018 GD P 17 tahun 108 mg/dL Intertriginosa
Candidiasis
5 098780 05-01-2018 MS P 62 tahun 123 mg/dL Intertriginosa
6 085154 03-01-2018 KS P 63 tahun 116 mg/dL Candidiasis Oral
58

Candidiasis
7 699420 05-03-2018 IM L 5 bulan 126 mg/dL Intertriginosa
8 616923 05-05-2018 NA P 9 tahun 124 mg/dL Pitiriasis Versikolor
9 560119 29-06-2018 PD P 50 tahun 109 mg/dL Pitiriasis Versikolor
10 391453 31-01-2018 KA L 8 tahun 129 mg/dL Pitiriasis Versikolor
11 611893 23-05-2018 AB L 4 tahun 122 mg/dL Pitiriasis Versikolor
Candidiasis
12 142057 17-07-2018 WY P 45 tahun 104 mg/dL Intertriginosa
13 376771 07-05-2018 PS L 35 tahun 81 mg/dL Pitiriasis Versikolor
14 201794 04-02-2019 PK L 15 tahun 124 mg/dL Pitiriasis Versikolor
15 727775 14-05-2019 MS P 60 tahun 279 mg/dL Pitiriasis Versikolor
16 081715 13-03-2019 SY P 50 tahun 126 mg/dL Candidiasis Oral
17 717905 21-01-2020 KS P 2 tahun 170 mg/dL Pitiriasis Versikolor
Candidiasis
18 733494 23-11-2019 TN P 4 bulan 220 mg/dL Intertriginosa
Candidiasis
19 360094 13-04-2019 NM L 40 tahun 148 mg/dL Intertriginosa
Dermatitis Kontak
20 425061 15-02-2020 PC L 30 tahun 169 mg/dL Alergi
Dermatitik Kontak
21 754151 12-12-2020 GK L 1 tahun 279 mg/dL Iritan
59

22 442859 28-10-2020 HI L 21 tahun 120 mg/dL Vitiligo


23 715958 20-12018 NA P 47 tahun 116 mg/dL Vitiligo
24 634579 11-06-2020 AD P 8 bulan 154 mg/dL Keratitis Seboroik
25 740635 27-12-2020 PS L 20 tahun 124 mg/dL Vitiligo
26 747435 14-07-2020 NE P 18 tahun 92 mg/dL Vitiligo
Dermatitis Kontak
27 377835 18-11-2020 WK L 90 tahun 106 mg/dL Alergi
28 737323 10-09-2020 AJ L 7 tahun 104 mg/dL Skabies
Dermatitik Kontak
29 749626 09-09-2020 ML P 24 tahun 200 mg/dL Iritan
30 205817 13-05-2020 IK L 79 tahun 148 mg/dL Other Pruritus
Lichen Simplex
31 475217 28-05-2019 NS P 33 tahun 116 mg/dL Chronicus
Dermatitis Kontak
32 092924 17-12-2019 IS L 63 tahun 200 mg/dL Alergi
33 028822 16-10-2018 WY P 68 tahun 104 mg/dL Psoriasis Vulgaris
34 000820 04-12-2019 DL P 52 tahun 307 mg/dL Keratitis Seboroik
35 054415 15-20-2018 NM P 38 tahun 109 mg/dL Dermatitis Seboroik
56

Lampiran 3. Surat Izin Rekam Medis


57

Lampiran 4. Surat Keterangan Kelayakan Etik Penelitian Kepada Kepala BRSUD


Tabanan Bali.
58
59

Lampiran 5. Analisis Univariat Distribusi Frekuensi Kategori Usia, Jenis kelamin,


Gula darah, dan Jenis dermatofitosis
60
61

Lampiran 6. Analisis Bivariat Hubungan Kontrol Gula Darah Pada Pasien


Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Dermatofitosis di BRSUD Tabanan Bali dengan
Uji Chi-Square.
62

Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan

Dokumentasi kegiatan pada saat pengambilan data rekam medis di BRSUD


Tabanan Bali.
63

Lampiran 8. Buku Logbook

Anda mungkin juga menyukai