Anda di halaman 1dari 79

ANALISIS POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN

DIABETES MELITUS RAWAT INAP DI RSUD Dr. R.M.


DJOELHAM BINJAI PERIODE JANUARI-MARET 2020

SKRIPSI

OLEH:
EVA WIDYA PANJAITAN
NIM 161501163

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
ANALISIS POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN
DIABETES MELITUS RAWAT INAP DI RSUD Dr. R.M.
DJOELHAM BINJAI PERIODE JANUARI-MARET 2020

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:
EVA WIDYA PANJAITAN
NIM 161501163

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
PENGESAHAN SKRIPSI

ANALISIS POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN


DIABETES MELITUS RAWAT INAP DI RSUD Dr. R.M.
DJOELHAM BINJAI PERIODE JANUARI-MARET 2020

OLEH:
EVA WIDYA PANJAITAN
NIM 161501163
Dipertahankan di Hadapan Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: Desember 2022

Disetujui oleh: Panitia Penguji:


Pembimbing,

Marianne, S.Si.,M.Si.,Apt Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt


NIP 198005202005012006 NIP 197802152008122001

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.


NIP 197802152008122001
Ketua Program Studi Sarjana Farmasi:

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt. Embun Suci Nasution, M.Farm.Klin., Apt.


NIP 197712262008122002 NIP 198012142015042002

Medan, Desember 2022


Disahkan oleh:
Dekan

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.


NIP 197802152008122001

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menjalani penelitian hingga

akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Potensi

Interaksi Obat Pada Pasien Diabetes Melitus Rawat Inap Di RSUD Dr. R.M.

Djoelham Binjai Periode Januari-Maret 2020”. Skripsi ini diajukan sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada

Ibu Marianne, S.Si.,M.Si.,Apt. selaku dosen pembimbing, yang telah

membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan

penulisan skripsi ini berlangsung. Penulis juga berterimakasih kepada Ibu

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt dan Ibu Embun Suci Nasution,

M.Farm.Klin., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran

yang membangun demi kelengkapan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis juga

mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara, Ibu Khairunnisa S.Si., M.Pharm., Ph.D, Apt., yang telah memberikan

fasilitas selama masa pendidikan. Skripsi ini saya persembahkan untuk (Alm) Ibu

saya Nelpi Nursaida Sinaga, SPd selaku orang tua saya yang sudah meninggal

ketika saya masih menempuh pendidikan memasuki awal perkuliahan. Penulis

ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada Ayah

saya, Tardijon M Panjaitan,SH, yang sudah mampu menjadi orang tua tunggal

selama ini dan juga Abang saya David Prabowo Panjaitan, S.STP dan Adik saya

tersayang Maissy Panjaitan atas doa, dukungan dan pengorbanan baik moril

maupun materil selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

iii
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Enni Juliani Saragih

,M.Kep selaku aturang tersayang yang telah membantu, membimbing, serta

memberikan dukungan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada sahabat terkasih Tiwi,

Ayu, Nabila, Sari, Rachel, Asrika dan teman-teman yang telah memberikan

dukungan selama masa perkuliahan, penelitian dan penulisan skripsi ini

berlangsung.

Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis meminta

maaf atas kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi. Penulis bersedia

menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini

bisa memberikan sumbangsih untuk menambah pengetahuan para pembaca dan

berguna untuk ilmu pengetahuan.

Medan, Desember 2022


Penulis,

Eva Widya Panjaitan


NIM 161501163

iv
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Eva Widya Panjaitan

Nomor Induk Mahasiswa : 161501163

Program Studi : Sarjana Farmasi

Judul Skripsi : Analisis Potensi Interaksi Obat Pada Pasien


Diabetes Melitus Rawat Inap Di RSUD
Dr.R.M. Djoelham Binjai Periode Januari-Maret
2020

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah asli karya sendiri

dan bukan plagiat. Apabila dikemudian hari diketahui bahwa skripsi saya tersebut

terbukti plagiat karena kesalahan sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun

oleh Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara. Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam

keadaan sehat

Medan, Desember 2022

Eva Widya Panjaitan


NIM 161501163

v
ANALISIS POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN
DIABETES MELITUS RAWAT INAP DI RSUD Dr. R.M.
DJOELHAM BINJAI PERIODE JANUARI-MARET 2020

ABSTRAK

Latar Belakang: Interaksi obat dapat diartikan sebagai interaksi antara suatu obat
dengan bahan lainnya begitu juga dengan makanan serta bahan lainnya. Kejadian
interaksi obat biasanya terjadi pada pasien yang menerima jumlah terapi obat
lebih dari satu jenis obat atau diakibatkan oleh pasien yang memiliki penyakit
penyerta. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa interaksi obat dapat
mempengaruhi outcome terapi pada pasien diabetes melitus.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya potensi interaksi obat,
tingkat keparahannya, serta melihat faktor yang mempengaruhi potensi interaksi
obat.
Metode: Metode penelitian ini adalah survei deskriptif cross-sectional yang
dilakukan secara retrospektif. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. R.M. Djoelham
Binjai dengan menggunakan rekam medis pasien rawat inap diabetes melitus pada
periode Januari-Maret 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis data
dilakukan secara deskriptif dan menggunakan metode random sampling uji Chi
Square pada program IBM SPSS 20.
Hasil: Penelitian menunjukkan dari 30 rekam medis yang mengalami terjadi
interaksi obat dengan frekuensi interaksi 76,66%. Potensi terjadi interaksi obat
dengan tingkat keparahan terbanyak adalah moderate sebanyak 82 kejadian
(91,11%). Sementara itu faktor yang mempengaruhi potensi interaksi obat
berdasarkan pasien yang menerima terapi obat >5 sebanyak 96 kejadian (68,58%).
Kesimpulan: Terdapat potensi interaksi obat pada pasien diabetes di Instalasi
Rawat Inap RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai periode Januari-Maret 2020 dengan
tingkat keparahan terbanyak moderate. Terdapat hubungan antara jumlah obat
yang digunakan dengan potensi interaksi obat.

Kata kunci: Interaksi obat, diabetes melitus, jumlah obat, RSUD Djoelham
Binjai.

vi
POTENTIAL ANALYSIS OF DRUG INTERACTIONS IN
DIABETES MELLITUS PATIENT AT RSUD Dr. R.M. DJOELHAM
BINJAI JANUARY-MARCH 2020 PERIOD

ABSTRACT

Background: Drug interactions can be defined as interactions between a drug and


other ingredients as well as food. Drug interactions usually occur in patients who
receive more than one type of drug therapy or are caused by patients who have
comorbidities. Previous studies have shown that drug interactions can affect
therapeutic outcomes in patients with diabetes mellitus.
Objective: This study aims to determine the potential for drug interactions, their
severity, and to see the factors that influence the potential for drug interactions.
Methods: The research method is a cross-sectional descriptive survey conducted
retrospectively. The research was conducted at Dr. Hospital. R.M. Djoelham
Binjai using the medical records of inpatients with diabetes mellitus in the
January-March 2020 period who met the inclusion criteria. Data analysis was
carried out descriptively and using the Chi Square test sampling method on the
IBM SPSS 20 program.
Results: The study showed that from 30 medical records, drug interactions
occurred with an interaction frequency of 76.66%. The potential for drug
interactions with the highest severity is moderate with 82 events (91.11%).
Meanwhile, the factors that influence the potential for drug interactions based on
patients receiving drug therapy >5 were 96 events (68.58%).
Conclusion: There is a potential drug interaction in diabetic patients in the
Inpatient Installation of RSUD R.M. Djoelham Binjai for the period January-
March 2020 with the most moderate severity. There is a relationship between the
number of drugs used and the potential for drug interactions.

Keywords: Drug interactions, diabetes mellitus, amount of drugs, RSUD


Djoelham Binjai.

vii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................8
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................11
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................12
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................5
1.3 Hipotesis................................................................................................................5
1.4 Tujuan Penelitian...................................................................................................5
1.5 Manfaat Penelitian.................................................................................................6
1.6 Kerangka Penelitian..............................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................7
2.1 Definisi Interaksi Obat..........................................................................................7
2.2 Mekanisme Interaksi Obat....................................................................................8
2.3 Pasien Yang Rentan Terhadap Interaksi Obat.....................................................11
2.4 Penatalaksaan Interaksi Obat..............................................................................11
2.5 Level Signifikan Klinis Interaksi Obat................................................................12
2.6 Diabetes Melitus..................................................................................................13
2.6.1 Klasifikasi Diabetes Melitus..........................................................................14
2.6.2 Gejala dan Tanda awal...................................................................................15
2.6.3 Diagnosa Diabetes Melitus.............................................................................17
2.6.4 Patofisiologi Diabetes Melitus.......................................................................18
2.6.5 Komplikasi Diabetes Melitus.........................................................................18
2.6.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus.................................................................21
2.6.7 Terapi Farmakologi dan Terapi Non Farmakologi Diabetes Melitus............21
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................................26
3.1 Jenis Penelitian....................................................................................................26
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................................26
3.2.1 Lokasi Penelitian............................................................................................26
3.2.2 Waktu Penelitian............................................................................................26
3.3 Populasi dan Sampel...........................................................................................26
3.4 Instrumen Penelitian............................................................................................27
3.4.1 Sumber Data...................................................................................................27
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data.............................................................................27
3.5 Definisi Operasional............................................................................................28
3.6 Analisis Data.......................................................................................................30
3.7 Bagan Alur Penelitian.........................................................................................31
3.8 Prosedur Penelitian..............................................................................................31
BAB IV.......................................................................................................................33
4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian...............................................................33
4.1.1 Usia.................................................................................................................33
4.1.2 Jenis Kelamin.................................................................................................34
4.1.3 Berdasarkan Jumlah Obat yang Digunakan...................................................36
4.2 Distribusi Frekuensi Potensi Interaksi Obat Antidiabetes...................................37
4.3 Penyakit Penyerta................................................................................................38
4.4 Penggunaan Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus di
RSUD Dr. R.M. DJOELHAM Binjai periode Januari-Maret 2020....................39

viii
4.6 Hubungan Karakteristik Jumlah Obat dengan Kejadian Potensi Interaksi Obat
Antidiabetes.........................................................................................................51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................53
5.1 Kesimpulan..........................................................................................................53
5.2 Saran....................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................54
LAMPIRAN...............................................................................................................57

ix
DAFTAR TABEL
2.1 Level Signifikan...............................................................................................13
2.2 Tipe Insulin......................................................................................................26
4.1 Distribusi responden berdasarkan Usia............................................................35
4.2 Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin............................................37
4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Obat.............................................38
4.4 Persentase tingkat penggunaan obat pada pasien rawat inap Diabetes
Melitus di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Dr. R.M Djoelham Binjai.....39
4.5 Distribusi Frekuensi Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Jumlah Obat..........41
4.6 Potensi Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme dan
Tingkat Keparahan Pada Pasien Diabetes Melitus...........................................42
4.7 Distribusi Potensi Kejadian Interaksi Obat Antidiabetik
Bedasarkan Mekanisme, Tingkat Keparahan, dan Efek Pada
Pasien
dan Manajemen Terapi.....................................................................................43
4.8 Hubungan Jumlah Obat Dan Kejadian Potensi Interaksi Obat Antidiabetik...45

x
DAFTAR GAMBAR

3.1 Bagan alur penelitian potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat
inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD R.M Djoelham Binjai Januari-Maret
2020............................................................................................................31

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis hubungan beberapa variabel bebas terhadap potensi


interaksi obat antidiabetes dengan menggunakan analisis Chi Square
pada program IBM SPSS 20..............................................................62

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Interaksi obat dapat diartikan sebagai interaksi antara suatu obat dengan

bahan lainnya yang mencegah obat tersebut memberikan efek seperti yang

diharapkan. Definisi ini mencakup interaksi obat dengan obat lainnya begitu juga

dengan makanan serta bahan lainnya. Interaksi obat berarti saling pengaruh antar

obat sehingga terjadi perubahan efek. Secara umum, interaksi obat harus dihindari

karena kemungkinan akan terjadi hasil yang buruk atau tidak terduga (Saibi dkk,

2018).

Berdasarkan laporan penelitian dari Gitawati (2008), menyebutkan bahwa

proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat) berkisar antara 2,2%-30%

terjadi pada pasien rawat inap dan 9,2%-70,3% terjadi pada pasien rawat jalan.

Selanjutnya Kurniawati (2020), menyampaikan kejadian interaksi obat tiap

tahunnya di Amerika Serikat, sekitar 195.000 pasien rawat inap, sedangkan di

Meksiko sebanyak 5,6%-63% masalah terkait pengobatan disebabkan oleh

interaksi obat. Dari pemeriksaan pasien rawat inap pada 2011, 49% berhubungan

dengan ≥ 1 potensi interaksi obat – obat (Kurniawati dkk, 2020).

Hasil penelitian lainnya tentang kasus interaksi obat di Rumah Sakit dr.

Sardjito Yogyakarta menunjukkan bahwa interaksi obat pada pasien rawat jalan

ditemukan 125 interaksi obat terdiri dari 48 kasus interaksi obat-obat dan 77 kasus

interaksi obat-makanan dengan pola interaksi obat farmakokinetik 36%,

farmakodinamik 16% dan 48% unknown (Rahmawati dkk, 2006). Dampak dari

interaksi obat tidak saja dapat mempengaruhi hasil terapi namun juga dapat

1
membahayakan tubuh pasien (Noviani dan Nurilawati, 2017). Untuk itu menjadi

hal sangat penting bagi tenaga kesehatan terutama dokter dan Apoteker untuk

lebih memperhatikan dan memonitoring kejadian interaksi obat pada pasien yang

menerima polifarmasi, pasien usia lanjut, pasien dengan penyakit kronis (Saibi

dkk., 2018). Dengan demikian dapat mencegah terjadinya interaksi berbahaya

antar obat, yang berarti jumlah dan tingkat keparahan yang diakibatkan terjadinya

interaksi obat dapat dikurangi (Noviani dan Nurilawati, 2017). Lebih lanjut Saibi

dkk., (2018) menyebutkan salah satu kelompok pasien yang perlu mendapat

perhatian adalah pasien diabetes melitus.

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang terjadi karena gangguan

metabolism pada organ pankreas yang ditandai dengan peningkatan gula darah

yang disebut dengan kondisi hiperglikemia yang disebabkan karena menurunnya

jumlah insulin dari pankreas (Isnaini dan Ratnasari, 2018). Dampak dari tingginya

glukosa dalam darah menyebabkan kerusakan di berbagai jaringan dalam tubuh,

mengarah pada berkembangnya kecacatan dan komplikasi kesehatan yang

mengancam jiwa (Refdanita dan Maisarah,2017). Menurut American Diabetes

Association (ADA) tahun 2022, klasifikasi DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM

gestasional, dan DM tipe lain. Namun jenis DM yang paling umum yaitu DM tipe

1 dan DM tipe 2.

Diabetes Melitus tipe-1 (DMT1) adalah kelainan sistemik akibat terjadinya

gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan

ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas baik oleh proses autoimun maupun

idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin

yang rendah mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan

2
protein (Yati dan Bambang, 2017). Menurut Marzel (2021), bila kerusakan sel

beta pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul kerusakan

sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar

penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses autoimun dan sebagian

kecil non autoimun.

Diabetes Melitus tipe 2 adalah sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak

peka atau sudah resisten terhadap insulin (insulin resistance) sehingga glukosa

tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran darah

(Putri dan Isfandiari, 2013). Sementara itu Menurut Fatimah (2015), penyebab

dari Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat

berubah misalnya jenis kelamin, umur dan faktor genetik yang kedua adalah

faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok tingkat pendidikan,

pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa

Tubuh, lingkar pinggang dan umur.

International Diabetes Federation (IDF) menyatakan, data prevalensi

diabetes melitus di dunia pada tahun 2019 diperkirakan 9,3% (463 juta orang),

naik menjadi 10,2% (578 juta) pada tahun 2030 dan 10,9% (700 juta) pada tahun

2045 (IDF, 2019). Pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat 7 sebagai

negara dengan penyandang diabetes melitus terbanyak di dunia dan diperkirakan

akan naik peringkat 6 pada tahun 2040 (Perkeni, 2019).

Menurut Putri dan Isfandri (2013), yang dikutip dari data World Health

Organisation (WHO), Indonesia merupakan urutan ke-4 terbesar dalam jumlah

penderita diabetes melitus di dunia. Pada tahun 2006 jumlah penderita diabetes

melitus di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari jumlah tersebut baru 50%

3
penderita yang sadar mengidap dan sekitar 30% diantaranya melakukan

pengobatan rutin. Faktor lingkungan dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti

makan berlebihan, berlemak, kurang aktivitas dan stress berperan sangat besar

sebagai pemicu diabetes melitus (Putri dan Isfandiari, 2013).

Peresepan obat dalam jumlah banyak polifarmasi pada pasien diabetes

melitus dapat meningkatkan potensi interaksi obat baik yang bersifat sedang

maupun parah yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien

(Cahyaningsih,2020). Selanjutnya Rasdianah, (2021) menyebutkan interaksi obat

yang terjadi pada pasien diabetes melitus menyebabkan tidak terkontrolnya kadar

glukosa darah sehingga mempengaruhi efek terapi dari obat yang di berikan serta

kualitas bagi hidup pasien. Kejadian interaksi obat akan semakin meningkat

dengan penggunaan obat yang lebih banyak dari berbagai komplikasi penyakit,

sehingga ketika keefektifan obat berkurang akan berdampak pada tidak

tercapainya kadar glukosa darah. Pengendalian kadar glukosa darah yang ketat

mampu mengurangi mortalitas penyakit diabetes mellitus.

Hasil survei awal penulis di RSUD Djoelham Binjai melalui wawancara

dengan divisi/unit apotik diperoleh informasi bahwa kejadian interaksi obat juga

ditemukan di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai. Namun hingga saat ini belum

pernah dilakukan penelitian interaksi obat secara retrospektif pada pasien diabetes

melitus rawat inap di rumah sakit tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas

penulis tertarik untuk melakukan analisis potensi interaksi obat secara retrospektif

pada penderita diabetes melitus.

4
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

a. Apakah ada poteni interaksi obat pada pasien diabetes melitus rawat inap

di RSUD Dr.R.M. Djoelham Binjai?

b. Bagaimana tingkat keparahan interaksi obat pada pasien diabetes melitus

rawat inap RSUD Dr.R.M. Djoelham Binjai?

c. Apakah jumlah obat mempengaruhi terjadinya potensi interaksi obat pada

pasien diabetes melitus rawat inap di RSUD Dr.R.M. Djoelham Binjai?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, maka hipotesis dari

penelitian ini adalah:

a. Terdapat potensi interaksi obat pada pasien diabetes melitus rawat inap di

RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai.

b. Tingkat keparahan interaksi obat pada pasein diabetes melitus RSUD Dr.

R.M. Djoelham Binjai meliputi major, moderate, minor.

c. Jumlah terapi obat mempengaruhi potensi interaksi obat pada pasien

rawat inap diabetes melitus di RSUD. Dr. R.M. Djoelham Binjai.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian hipotesis di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

a. Mengetahui potensi interaksi obat pada pasien diabetes melitus rawat inap

di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai.

5
b. Mengetahui tingkat keparahan interaksi obat pada pasein diabetes melitus

di RSUD Dr .R.M. Djoelham Binjai.

c. Mengetahui faktor jumlah terapi obat yang mempengaruhi potensi

interaksi obat pada pasien rawat inap diabetes melitus.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

a. Terhadap peneliti, dapat menambah pengetahuan peneliti tentang kejadian

potensi interaksi obat diabetes.

b. Terhadap masyarakat, memperoleh gambaran frekuensi potensi interaksi

obat pada pasien diabetes melitus.

c. Terhadap rumah sakit, diharapkan dari hasil penelitian dapat digunakan

untuk bahan evaluasi mengenai pelaksanaan pengobatan pasien diabetes

melitus.

1.6 Kerangka Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka dapat disusun kerangka

pikir penelitian ini sebagai berikut:

Variabel bebas Variabel Terikat Parameter

Karakteristi Potensi interaksi:


Potensi
k pasien: -Frekuensi Interaksi
interaksi
obat -Mekanisme Interaksi
- Jumlah obat
- Tingkat
- Usia pasien
keparahan
- Jenis
interaksi
Kelami
n
- Diagnos
a Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat berarti saling pengaruh antar obat sehingga terjadi perubahan

efek. Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya

obat di keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi,

distribusi, metabolisme atau biotransformasi, dan eliminasi. Dalam proses

tersebut, bila berbagai macam obat diberikan secara bersamaan dapat

menimbulkan suatu interaksi. Beberapa obat sering diberikan secara bersamaan

pada penulisan resep, maka harus diperhatikan mungkin terdapat obat yang

kerjanya berlawanan. Obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah,

memperpanjang atau memperpendek kerja obat kedua. Interaksi obat harus lebih

diperhatikan, karena interaksi obat pada terapi obat dapat menyebabkan kasus

yang parah karena ada kerusakan pada pasien (Noviani dan Nurilawati, 2017).

Interaksi obat merupakan suatu peristiwa dimana ketika obat diberikan

secara bersamaan, obat tersebut memberikan reaksi terhadap obat lainnya

sehingga kerja atau efek obat bisa berkurang, bertambah atau tidak memberikan

efek sama sekali (Hanutami dan Dandan, 2019). Menurut (Handayani, 2019)

Interaksi obat merupakan bagian dari drug related problem yaitu masalah terkait

obat, interaksi obat ini dapat mengganggu pencapaian hasil terapi yang diinginkan

(Handayani, 2019).

Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat berubah akibat adanya obat lain

makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang

dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki

7
(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan

efek samping obat dan atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam

plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan

hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di

pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya interaksi baru antar obat akan

semakin sering terjadi (Gitawati, 2008). Berkaitan dengan itu interaksi obat juga

dapat mempengaruhi keadaan klinis pasien dan dapat meningkatkan toksisitas

pada pengobatan atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi, efek suatu

obat di dalam tubuh yang diubah oleh adanya obat yang lain sehingga

menyebabkan interaksi obat (Rahmawaty, 2020).

2.2 Mekanisme Interaksi Obat

Berdasaran Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengerian mekanisme adalah

cara kerja atau sebagai sebuah pandangan yang menggambarkan interaksi antar

beberapa bagian yang ada dalam suatu sistem tertentu.

Mekanisme interaksi obat dapat terjadi dengan berbagai cara yakni:

A. Interaksi Farmasetik (Pharmaceutical Incompatibility)

Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas, farmasetik bersifat

langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi,

perubahan warna, tidak terdekteksi (invisibile), yang selanjutnya menyebabkan

obat menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbonisilin dengan gentamisin terjadi

inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrose 5% terjadi presipitasi; amfoterisinin B

dengan larutan NaCl fisiologik sehingga terjadi presiptasi (Nila, 2013). Obat obat

dapat menjadi inaktif atau terjadi endapan bila tidak tercampur didalam syringe,

atau cairan infus, atau darah sebelum diberikan pada pasien.Fenitoin dan

8
thiopental dapat terjadi endapan kalau dilarutkan dengan larutan yang tidak tepat.

Hidrokortison dapat menyebabkan inaktivasi penisilin, heparin, atau kanamisin

bila diberikan bersama sama (Nah, 2007).

B. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi dalam proses farmakokinetik yaitu absorpsi, distribusi,

metabolism dan eksresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar

plasma obat. Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat

tidak dapat diekstrapolasikan atau tidak berlaku untuk obat lainnya meskipun

masih dalam satu kelas terapi yang disebabkan karena adanya perbedaan sifat

fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda (Nila, 2013).

1. Interaksi proses absorpsi

Absorpsi obat oral tergantung dari beberapa faktor misalnya formulasi

obat, pKa, dan kelarutan obat dalam lemak yang harus selalu dipertimbangkan

dengan hal lain misalnya aliran daerah splanknikus, Ph intestinal, motilitas, flora

bakteri usus, dan kapasitas metabolic traktus gastrointestinal (Nah, 2007).

a. Perubahan Ph Gastrointestinal

Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat

terjadi melalui beberapa cara yaitu:

- Secara langsung, sebelum absorpsi

- Terjadi perubahan Ph cairan gastrointestinal misalnya peningkatan pH

karena adanya penghambat H₂ , ataupun penghambat proton-proton akan

menurunkan absorpsi basa-basa lemah dan akan meningkatkan absorpsi

obat obat asam lemah

- Penghambatan transport aktif gastrointestinal

9
- Adanya perubahan flora usus dan efek makanan (Gitawati,2008).

b. Motilitas gastrointestinal

Obat lebih banyak dan lebih cepat diabsorpsi di usus halus dibandingkan

di lambung. Karena pada saat penggosongan lambung dapat mempengaruhi

kecepatan absropsi obat lain yang diberikan dalam waktu yang bersamaan

(Nah, 2007).

2. Interaksi pada distribusi obat

Interaksi terjadi bila satu obat menggeser obat lainnya dari ikatan

proteinnya, sehingga dapat meningkatkan peningkatan kadar plasma obat yang

tergeser antara obat yang bersifat sangat asam misalnya NSAID dengan obat lain

misalnya antidiabetik oral (Nah, 2007).

3. Interaksi obat pada metabolism

Metabolism pada obat dapat menyebabkan perpanjangan respon obat

dengan terjadinya toksisitas sehingga perlu diperhatikan beberapa obat yang dapat

merupakan inhibitor dari metabolisme obat lain misalnya simetidin, diltiazem,

sulfinpirazon, beberapa sulfonamide, isoniazid, alcohol, metronidazol dan

allopurinol (Nah, 2007).

C. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi Farmakodinamik merupakan interaksi yang terjadi akibat efek obat

aditif, sinergis atau antagonis. Apabila dua obat yang sama atau tidak sama maka

efek kombinasi dari kedua obat tersebut dapat menjadi aditif, sinergis atau

antagonis (Kee dan Hayes, 1996).

10
2.3 Pasien Yang Rentan Terhadap Interaksi Obat

Menurut Noviani dan Nurilawati (2017), efek dan tingkat keparahan

interaksi obat dapat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain. Adapun

faktor yang dapat mempengaruhi terjadi nya interaksi obat pada pasien antara

lain:

a) Pasien dengan lanjut usia

b) Pasien yang menerima jumlah terapi obat lebih dari satu jenis obat

c) Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati

d) Pasien dengan penyakit akut

e) Pasien dengan penyakit yang tidak stabil

f) Pasien yang memiliki karakteristik metabolisme tertentu

g) Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter

Berkaitan dengan hal tersebut reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang

terjadi pada pasien lanjut usia lebih tinggi karena beberapa sebab, antara lain:

- Pasien lanjut usia menggunakan banyak obat karena penyakit kronik dan

banyaknya penyakit penyerta.

- Banyak dari pasien lanjut usia melakukan pengobatan mandiri dengan obat

bebas, memakai obat yang diresepkan untuk masalah kesehatan yang lain,

menggunakan obat yang diberikan oleh beberapa dokter.

- Perubahan-perubahan fisiologis yang berikatan dengan komposisi penuaan

seperti pada gastrointestinal, jantung dan sirkulasi, hati dan ginjal dan

perubahan ini mempengaruhi respon farmakologi terhadap obat.

2.4 Penatalaksaan Interaksi Obat

Hal pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat yang dapat dilakukan

adalah waspada terhadap pasien yang mendapatkan obat-obatan yang mungkin

11
dapat berinteraksi dengan obat lain. Langkah berikutnya adalah memberitahu

dokter dan mendiskusikan berbagai langkah yang dapat diambil untuk

meminimalkan berbagai efek samping obat yang kemungkinan dapat terjadi.

Pencegahan yang dapat dilakukan dalama penatalaksanaan interaksi obat yaitu:

a) Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika resiko interaksi obat lebih besar dibandingkan manfaatnya, maka harus

dipertimbangkan untuk menggunakan obat pengganti.

b) Menyesuaikan dosis

Apabila efek interaksi obat meningkatkan atau mengurapi terapi obat, maka

perlu dilakukan perubahan dosis pada salah satu atau kedua obat untuk

mengimbangi peningkatan atau penurunan efek obat tersebut.

c) Memantau pasien

Adanya pemberian kombinasi obat saling berinteraksi, maka diperlukan

pemantaun.Dilakukan pemantauan atau tidak nya tergantung dari berbagai

faktor misalnya penyakit penyerta yang diderita pasien, karakteristik pasien,

waktu timbulnya interaksi mulai dari menggunakan obat dan waktu awal

penggunaan obat tersebut.

d) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

Jika interaksi obat tidak memberikan efek terapi klinis, atau jika kombinasi

obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal,

pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan (Fradgley, 2003).

2.5 Level Signifikan Klinis Interaksi Obat

Clinical significance adalah derajat interaksi obat dimana obat yang

berinteraksi akan mengubah kondisi pasien. Clinical significance dikelompokkan

12
berdasarkan keparahan dan dokumentasi interaksi yang terjadi. Level signifikan

menurut Tatro (2006) terdapat pada tabel:

Tabel 2.1 Level Signifikan


Level Keparahan Dokumentasi

1 Mayor Suspected, Probable, Established

2 Moderat Suspected, Probable, Established

3 Minor Suspected, Probable, Established

4 Mayor atau Moderat Suspected, Probable, Established

5 Minor Possible
Mayor, Moderat, Minor Unlikely

Terdapat 5 macam dokumentasi interaksi, yaitu establish (interaksi sangat

mantap terjadi), probable (interaksi obat dapat terjadi), suspected (interaksi obat

diduga terjadi), possible (interaksi obat belum dapat terjadi), unlikely

(kemungkinan besar interaksi obat tidak terjadi). Derajat keparahan akibat

interaksi diklasifikasikan menjadi minor (dapat diatasi dengan baik), moderat

(efek sedang, dapat menyebabkan kerusakan organ), mayor (efek fatal, dapat

menyebabkan kematian) (Tatro, 2006).

2.6 Diabetes Melitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang terjadi karena gangguan

metabolism pada organ pankreas yang ditandai dengan peningkatan gula darah

yang disebut dengan kondisi hiperglikemia yang disebabkan karena menurunnya

jumlah insulin dari pankreas (Isnaini dan Ratnasari, 2018). Insulin adalah hormon

yang dihasilkan pankreas, sebuah organ di samping lambung. Hormon ini

melekatkan dirinya pada reseptor-reseptor yang ada pada dinding sel. Insulin

bertugas untuk membuka reseptor pada dinding sel agar glukosa memasuki sel.

Sel-sel tersebut mengubah glukosa menjadi energi yang diperlukan tubuh untuk

13
melakukan aktivitas. Insulin membantu menyalurkan gula ke dalam sel agar

diubah menjadi energi.Jika jumlah insulin tidak cukup, maka terjadi penimbunan

gula dalam darah sehingga menyebabkan diabetes (Nugroho, 2012). Berkaitan

dengan hal itu menurut (Hardianto, 2020), diabetes diklasifikasikan menjadi

diabetes melitus tipe 1 (DMT1), diabetes melitus tipe 2 (DMT2), gestasional.

2.6.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Gayatri, dkk (2019), klasifikasi diabetes mellitus yang dikutip dari

American Diabetes Association (2016) ada tiga tipe yaitu:

1. DM Tipe I

DM tipe 1 merupakan DM dengan pankreas sebagai pabrik insulin tidak

dapat atau kurang mampu memproduksi insulin.Selain itu terjadi perusakan sel-sel

pankreas yang memproduksi insulin, hal ini dapat terjadi karena faktor keturuanan

(genetik) maupun reaksi alergi. Akibatnya, insulin dalam tubuh kurang atau tidak

sama ada sama sekali dan gula akan menumpuk dalam peredaran darah karena

tidak dapat diangkut ke dalam sel. Sebagai konsekuensi dari keadaan tersebut,

insulin harus disuplai dari luar tubuh . Oleh karena itu, DM tipe 1 biasa disebut

juga dengan Insulin Dependent Diabete Mellitus (IDDM). Penyakit ini biasanya

muncul pada usia anak-anak atau remaja, baik berjenis kelamin laki-laki maupun

perempuan. Sampai saat ini DM Tipe 1 tidak dapat dicegah dan hanya dapat

diobati dengan injeksi insulin. Apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat

terhadap gula darah dan injeksi insulin maka akan terjadi ketosis dan diabetic

ketoachidosis sehingga dapat menyebabkan koma bahkan kematian

(Gayatri,2019).

14
2. DM Tipe II

DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

merupakan jenis DM yang paling sering terjadi terjadi di masyarakat

dibandingkan dengan DM tipe 1. Pada DM tipe 2, sel-sel β pankreas tidak rusak,

meskipun hanya sedikit yang normal dan dapat digunakan untuk mensekresi

insulin Akan tetapi, kualitas insulinnya buruk dan tidak dapat berfungsi dengan

baik sehingga glukosa dalam darah meningkat Kemungkinan lainnya adalah sel-

sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka/berkurangnya sensitivitas

terhadap insulin atau sudah resisten terhadap insulin (resistensi insulin/insulin

(adanya efek respon jaringan terhadap insulin) Akibatnya, insulin tidak dapat

bekerja dengan baik dan glukosa akhirnya tertimbun dalam peredaran darah

Selain itu, DM tipe 2 ini dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun faktor gaya

hidup/lingkungan (Gayatri, 2019).

3. DM Tipe Gestasional

DM gestasional adalah DM yang terjadi pada masa kehamilan.DM

Gestasional disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi insulin

dalam jumlah yang mamadahi selama masa kehamilan (Gayatri, 2019).

2.6.2 Gejala dan Tanda awal

Tanda-tanda penyakit diabetes diantaranya cepat haus, sering buang air

kecil, lekas lelah, dan berat badan menurun meskipun nafsu makan tetap tinggi.

Dalam kondisi yang lebih parah, gejala yang ditimbulkan dapat berupa pandangan

mata kabur, bila ada luka sulit untuk sembuh dan impotensi pada pria. Gejala khas

yang sering timbul dan dikeluhkan oleh penderita diabetes melitus dikenal sebagai

berikut:

15
a. Trias poli yaitu:

- Poliuria, yaitu banyaknya kencing akibat hiperglikemia, maka terjadilah

penambahan bentuk air kemih dengan jelas penarikan cairan ke sel-sel

tubuh.

- Polidipsia, yaitu banyak minum. Sebenarnya keluhan ini merupakan

reaksi tubuh akan adanya poliuria yang menyebabkan kekurangan

cadangan air tubuh.

- Poliphagia, yaitu nafsu makan bertambah, karena karbohidrat tidak dapat

digunakan karena jumlah insulin tidak dapat menjamin proses

metabolisme glukosa.

b. Lemas, ini akibat karbohidrat yang keluarnya bersama urine maka tubuh

kekurangan kalori.

c. Berat badan menurun, oleh karena gula yang ada pada darah tidak dapat

dioksidasi, maka terpaksa menghasilkan tenaga, sehingga tubuh kehilangan

lemak yang mengakibatkan penderita menjadi kurus.

d. Polineuritis, yaitu rasa gatal-gatal seluruh tubuh, seperti diketahui untuk

metabolisme karbohidrat diperlukan vitamin B1, dimana vitamin B1 digunakan

sebagai co-enzim, karena kadar gula yang meningkat.

e. Hyperglikemia, yaitu kadar gula tubuh meningkat karena tubuh kekurangan

insulin, sehingga glukosa dirubah menjadi glikogen (Nugroho, 2012).

Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM

Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa

tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi.

Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari

16
luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,

hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf

(Perkeni, 2015).

2.6.3 Diagnosa Diabetes Melitus

Pada umumnya pasien yang di diagnosis klinis diabetes melitus akan

mengalami keluhan khas diabetes melitus yaitu berupa poliuria, polidipsia,

polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

Keluhan lain yang mungkin akan dialami pasien penderita diabetes antara lain

badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi.

pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita (Depkes, 2005).

Berikut merupakan kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut Perkeni,

(2021):

Adapun hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria

DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa antara 100-125 mg/Dl dan pemeriksaan TTGO glukosa

plasma 2 jam < 140 mg/dL

b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma

2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/Dl dan glukosa plasma puasa <

100mg/Dl

c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1ⅽyang menunjukkan angka 5,7-6,4%

17
2.6.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

a) Diabetes Melitus Tipe I

Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena gangguan produksi insulin akibat

kerusakan sel β pankreas.Patofisiologinya yakni adanya reaksi autoimun

akibat peradangan pada sel β. Hal ini menyebabkan timbulnya antibodi

terhadap sel β yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel

β) dengan antibodi ICA yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel

β. Selain karena autoimun, diabetes tipe 1 juga bisa disebabkan virus

cocksakie, rubella, citomegalo virus (CMV), herpes dan lain-lain. Pada

penderita diabetes tipe 1 umumnya terdiagnosa pada usia muda (Ernawati,

2012).

b) Diabetes Melitus Tipe II

Diabetes tipe 2 terjadi oleh karena kerusakan molekul insulin atau

gangguan reseptor insulin yang mengakibatkan kegagalan fungsi insulin

untuk mengubah glukosa menjadi energi.Pada dasarnya pada diabetes tipe

2 jumlah insulin dalam tubuh adalah normal bahkan jumlahnya bisa

meningkat, namun karena jumlah reseptor insulin pada permukaan sel

berkurang menyebabkan glukosa yang masuk kedalam sel lebih sedikit.

Hal tersebut akan terjadi kekurangan jumlah glukosa dan kadar glukosa

menjadi tinggi didalam pembuluh darah (Ernawati, 2012).

2.6.5 Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes mellitus sebagian besar disebabkan ole faktor genetik dan

lingkungan atau gaya hidup seseorang. Selain itu, faktor lingkungan sosial dan

18
pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berkontribusi terhadap kesakitan diabetes

melitus dan komplikasinya (Rosyada dkk., 2015).

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi,

berdasarkan (Perkeni, 2021) dan (Widodo, 2014) komplikasi terdiri dari :

a) Komplikasi akut

- Hiperglikemia

Hiperglikemia ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi

(300-600 mg dL) (Perkeni, 2021). Hiperglikemia yang dimaksud disini adalah

suatu keadaan dimana kadar gula darah tiba-tiba melonjak. Hal ini disebabkan

antara lain oleh stress, infeksi dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia

ditandai dengan polyuria polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah, dan

pandangan kabur. Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan

kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina.

Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan

metabolisme yang berbahaya antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic

Ketoacidosis), yang dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia

dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat (Widodo, 2014).

- Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan penurunan kadar glukosa darah < 70 mg/Dl

(Perkeni, 2021). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang

dapat dialami 1-2 kali per minggu, kadar gula darah yang terlalu rendah

menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi

bahkan dapat mengalami kerusakan (Fatimah, 2015). Serangan hipoglikemia

ditandai dengan perasaan pusing, lemas, gemetar, mata berkunang-kunang,

19
keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Hal ini terjadi

apabila dosis obat anti diabetes atau insulin terlalu tinggi, makan terlalu sedikit,

olahraga terlalu berat, minum alkohol atau depresi (Widodo,2014).

b) Komplikasi Kronis

- Komplikasi Mikrovaskuler

Komplikasi ini terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Komplikasi

mikrovaskuler yang timbul antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati.

Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi

oleh faktor genetic. Untuk berkembang kearah komplikasi mikrovaskular,

tergantung lamanya (durasi) sakit dan tingkat keparahan diabetes. Satu-satunya

cara untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi

mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat.

Pengendalian yang paling intensif ialah dengan menggunakan suntikan insulin

(Widodo, 2014).

- Komplikasi Makrovaskuler

Komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita

diabetes adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan

penyakit pembuluh darah perifer Komplikasi makrovaskular lebih sering timbul

pada DM tipe 2, yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia atau

kegemukan, walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe

1. Kombinasi dari penyakitpenyakit tersebut dikenal dengan sebutan Sindroma

Metabolik. Penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita diabetes, maka

pencegahan komplikasi terhadap jantung sangat penting dilakukan, termasuk

pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes

20
sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg.

Penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan

berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak

merokok, dan mengurangi stress (Widodo, 2014).

2.6.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan diabetes bertujuan untuk menurunkan morbiditas dan

mortalitas, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu

menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah

kemungkinan terjadinya komplikasi. Ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan

diabetes, pertama adalah pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah

pendekatan dengan obat. Penatalaksanaan tanpa obat berupa edukasi, terapi gizi

dan latihan jasmani.Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan

belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi

obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya (Widodo, 2014).

2.6.7 Terapi Farmakologi dan Terapi Non Farmakologi Diabetes Melitus

Menurut Perkeni (2015), terapi farmakologis diberikan bersama dengan

pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis

terdiri dari obat oral dan suntikan dan berikut merupakan obat anti-hiperglikemia

berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi 6 golongan yaitu:

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin

oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan

berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi

hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati dan ginjal) (Perkeni, 2015).

21
2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,

dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini

terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid

(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara

oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi

hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah

hipoglikemia (Perkeni, 2015).

3. Biguanida

Golongan obat biguanida mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan

perifer. Obat yang merupakan golongan biguanida adalah Metformin. Metformin

merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM Tipe 2. Dosis

metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60

ml/menit/1,73 m2), adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan

kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,

PPOK, gagal jantung. Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran

pencernaan seperti halnya gejala dyspepsia (Perkeni, 2015).

4. Tiazolidindion (TZD).

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated

Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di

sel otot, lemak dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi

insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan

22
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal

jantung karena dapat memperberat edema/retensi cairan (Perkeni, 2015).

5. Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus

halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah

makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan :

GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.

Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam

usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Contoh obat golongan ini adalah

Acarbose (Perkeni, 2015).

6. Insulin

Insulin diberikan kepada pasien yang mengalami

i. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic

ii. Penurunan berat badan yang cepat

iii. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

iv. Krisis Hiperglikemia

v. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

vi. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

vii. Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali

dengan perencanaan makan

viii. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

ix. Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO dan Kondisi perioperatif sesuai

dengan indikasi. (Perkeni, 2015).

23
Menurut (Perkeni, 2015) Jenis dan lama kerja insulin berdasarkan lama kerja,

insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

a. Insulin kerja cepat (rapid-acting insulin) digunakan pada waktu makan,

mulai bekerja dalam 15 menit, bekerja maksimal dalam sekitar 1 jam,

efeknya bertahan hingga 4 jam

b. Insulin kerja pendek (short-acting insulin), digunakan pada waktu makan,

mulai bekerja dalam waktu 30 menit, bekerja maksimal dalam 2 hingga 3

jam, efek bertahan hingga 6 jam

c. Insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin), digunakan sehari

sekali, bekerja maksimal 4 hingga 8 jam setelah injeksi, efeknya bertahan

hingga 18 jam, jika diinjeksikan sebelum tidur, insulin akan bekerja

maksimal pada dini hari, yaitu saat insulin paling dibutuhkan

d. Insulin kerja panjang (long-acting insulin), menurunkan kadar glukosa

secara bertahap, efeknya dapat bertahan hingga 24 jam

e. Insulin kerja ultra panjang (ultra long-acting insulin), digunakan sehari

sekali, efeknya dapat bertahan lebih dari 24 jam terakhir

f. Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat

dengan menengah (Premixed insulin). Jenis dan lama kerja umumnya

digunakan 2 atau 3 kali sehari sebelum waktu makan.

g. Adapun efek samping terapi insulin yaitu terjadinya hipoglikemia, reaksi

alergi terhadap insulin.

24
Tabel 2.2 Tipe Insulin
Tipe Insulin Onset Puncak Durasi Durasi
(jam) (jam) maksimun (jam)
Rapid acting 15-30 min 1-2 3-5 5-6
Novorapid 15-30 min 1-2 3-4 4-6
Humalog 15-30 min 1-2 3-4 5-6
Apidral
Short acting
Regular 30-60 min 2-3 3-6 6-8
Intermediate
acting
NPH 2-4 jam 4-6 8-12 14-8
Long acting
Levemir 2 jam 6-9 14-24 24
Lantus 4-5 jam - 22-24 24

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskriptif cross sectional, yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan, observasi atau pengambilan

data sekaligus pada waktu tertentu. Pengambilan data dilakukan secara

retrospektif dimana peneliti mengkaji informasi atau mengumpulkan data, serta

melakukan analisis data yang telah lalu (Notoatmodjo, 2010)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai yang berlokasi di

Jl. Sultan Hasanuddin No. 9 Binjai Kota. Lokasi ini dipilih karena berdasarkan

pertimbangan RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai merupakan rumah sakit rujukan

dan merupakan rumah sakit kelas B.

3.2.2 Waktu Penelitian

Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli 2022 dengan

pengumpulan data pasien periode Januari-Maret 2020.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini diperoleh dari rekam medis pasien rawat inap

diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai periode

Januari-Maret 2020 sebanyak 30 Rekam Medis. Pada survei pasien yang terdata

penderita diabetes melitus periode Januari-Maret 2020 sebanyak 93 rekam medis

namun data rekam medis yang digunakan sebagai sampel hanya 30 rekam medis

dikarenakan keterbatasan penelitian.

26
Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi adalah

kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat

diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).

Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:

1) Kriteria inklusi

a. Rekam Medis pasien rawat inap RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai dengan

diagnosa penyakit diabetes melitus 2 periode Januari-Maret 2020.

b. Rekam Medis yang memuat: data pasien (nama, jenis kelamin, usia),

diagnosa penyakit, data penggunaan obat pada pasien diabetes melitus tipe

1 dan 2.

c. Mendapat terapi ≥ 5 obat.

2) Kriteria eksklusi

a. Data rekam medis pasien lengkap tetapi tidak dapat terbaca.

b. Data rekam medis pasien yang tidak lengkap.

3.4 Instrumen Penelitian

3.4.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu laporan pemakaian obat pasien rawat

inap diabetes melitus tipe 1 dan 2 di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai pada

periode Januari– Maret 2020.

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan jumlah rekam medis maka dapat diketahui jumlah populasi

penelitian sebanyak 93 rekam medis, lalu ditentukan sampel yang memenuhi

kriteria inklusi, sampel yang telah ditetapkan kemudian dikumpulkan yaitu

sebanyak 30 rekam medis. Pemindahan data yang diperlukan dari tiap laporan

27
pemakaian obat dipindahkan ke lembar pengumpulan data (Lampiran 1).

.Pengumpulan data dilakukan dengan simple random sampling secara

retrospective yaitu berupa pengamatan atau gambaran mengenai subjek penelitian

yang meneliti data kebelakang. Data yang dikumpulkan merupakan rekam medis

pasien rawat inap diabetes melitus tipe 1 dan 2 di RSUD Dr. R.M. Djoelham

Binjai pada periode Januari – Maret 2020 berdasarkan jenis kelamin, usia,

diagnosis penyakit, jumlah obat per pasien, jenis obat di RSUD Dr. R.M.

Djoelham Binjai. Data interaksi obat antidiabetes yang diambil dari data obat

yang diberikan pada pasien dari awal masuk hingga keluar rumah sakit, dimana

pada resep terdapat obat antidiabetes, jika terdapat keberulangan resep maka

diambil satu jenis.

3.5 Definisi Operasional

a. Subyek penelitian adalah laporan pemakaian obat pasien rawat inap

dengan diagnosis penyakit diabetes melitus tipe 1 dan 2 di RSUD Dr.

R.M. Djoelham Binjai pada periode Januari – Maret 2020.

b. Penyakit diabetes melitus tipe 1 adalah suatu kumpulan gejala klinis yang

timbul oleh karena adanya autoimun yang menyebabkan sel beta pankreas

tidak dapat memproduksi insulin.

c. Penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah suatu kumpulan gejala klinis

(sindroma klinis) yang timbul oleh karena adanya peningkatan kadar

glukosa darah kronis akibat kekurangan insulin maupun menurunnya

kepekaan reseptor insulin.

d. Rekam medis adalah berkas berisi catatan dan dokumen tentang pasien

yang berisi identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan medis lain pada

28
sarana pelayanan kesehatan untuk rawat jalan, rawat inap baik dikelola

pemerintah maupun swasta.

e. Periode pengamatan adalah suatu rentang waktu untuk menentukan

besarnya insidensi pada periode tersebut.

f. Potensi interaksi obat antidiabetes adalah potensi obat antidiabetes dengan

obat antidiabetes atau dengan obat lain untuk berinteraksi sedemikian rupa

sehingga efektivitas atau toksisitas salah satu atau lebih obat berubah.

g. Persentase kejadian potensi interaksi antidiabetes adalah persentase

potensi interaksi obat antidiabetes yang ditemukan pada subjek penilitian.

h. Usia subjek dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir,

kelompok usia ditentukan menjadi 35-44 tahun, 45-54 tahun, 55- 64 tahun,

65-74 tahun, dan ≥75 tahun.

i. Jenis obat adalah obat antidiabetes yang berpotensi interaksi.

j. Mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah

secara farmakokinetik, farmakodinamik atau unknown.

k. Tingkat keparahan interaksi obat adalah minor, moderate, atau major.

l. Interaksi farmakokinetik adalah salah satu obat mengubah tingkat

absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain yang diberi secara

bersamaan.

m. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana suatu obat menginduksi

perubahan respon pasien terhadap obat lain tanpa mengubah

farmakokinetik obat lain.

n. Unknown adalah kejadian interaksi obat yang telah tercatat dalam literatur

tetapi mekanisme interaksinya belum diketahui secara jelas.

29
o. Tingkat keparahan minor memiliki efek ringan, kemungkinan dapat

mengganggu tetapi seharusnya tidak secara signifikan mempengaruhi hasil

terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan.

p. Tingkat keparahan moderate menyebabkan penurunan status klinis pasien.

Pengobatan tambahan, rawat inap, atau diperpanjang dirawat di rumah

sakit mungkin diperlukan.

q. Tingkat keparahan major secara potensial mengancam jiwa atau dapat

menyebabkan kerusakan permanen.

3.6 Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian akan dianalisis secara deskriptif.

Evaluasi data interaksi obat dilakukan secara teoritik dengan studi literatur seperti

Drug Interaction Fact Tatro dan Stockley’s Drug Interaction, serta digunakan

juga situs internet yang terpercaya yaitu Medscape dan Drugs.com. Analisis data

menggunakan metode statistik deskriptif meliputi persentase frekuensi potensi

interaksi obat antidiabetes secara keseluruhan, mekanisme potensi interaksi obat

baik yang mengikuti mekanisme interaksi farmakokinetik, farmakodinamik dan

unknown, serta ditentukan jenis-jenis obat antidiabetes yang sering berinteraksi

dan tingkat keparahannya. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan

program Microsoft Excel 2010, kemudian disajikan dalam bentuk tabel.

Hubungan variabel penelitian dianalisis dengan metode Chi Square menggunakan

program aplikasi IBM SPSS Statistics 20.

30
3.7 Bagan Alur Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa proses sebelum pada akhirnya data

disajikan. Proses penyajian data tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Laporan Pemakaian Obat Pasien Rawat Inap


Diabetes Melitus Januari–Maret 2020.

Laporan Pemakaian Obat Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus yang Mendapat Obat A

Potensi Interaksi Obat Profil


Antidiabetes
Penggunaan Obat
Karakteristik
Antidiabetes
Subjek Penelitian

Tidak Ada Ada Potensi


Potensi Interaksi Interaksi Jenis Kelamin
Usia
Analisis Data Jumlah Obat
Penyakit
penyerta
Persentase
Obat Yang Sering Berpotensi
Mekanisme
Tingkat Keparahan Potensi Interaksi
Potensi Interaksi Potensi Interaksi

Penarikan Kesimpulan

Gambar 3.1 Bagan alur penelitian potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien
rawat inap diabetes melitus di RSUD R.M Djoelham Binjai Januari–Maret 2020.

3.8 Prosedur Penelitian

Adapun cara kerja dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Pengurusan izin

Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara untuk

melakukan penelitian di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai. Menghubungi Direktur

Utama RSUD RM Djoelham Binjai untuk mendapatkan izin penelitian dan

pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.

31
b. Survei awal

Proses survei ini dimulai dari observasi laporan di Sub Bagian Rekam Medik

untuk kasus-kasus dengan diagnosis diabetes melitus di RSUD Dr. R.M.

Djoelham Binjai pada periode Januari–Maret 2020. Dari data Sub Bagian Rekam

Medik digunakan untuk mengumpulkan laporan penggunaan obat pasien.

c. Pembuatan lembar pengumpulan data

Pembuatan lembar pengumpulan data ini bertujuan untuk memudahkan

pengumpulan data dari rekam medik. Lembar pengumpulan data berisikan: nama

pasien, umur pasien, jenis kelamin, diagnosis, data obat yang digunakan.

d. Pelaksanaan pengambilan data

Proses pengambilan data dilakukan dengan cara mencatat data-data yang

dibutuhkan dari rekam medik dan laporan pemakaian obat per pasien yang telah

meemnuhi kriteria inklusi ke lembar pengumpul data.

e. Analisis Data

Menganalisis data yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari

penelitian yang telah dilakukan.

32
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan rekam medis pada pasien rawat inap

diabetes melitus periode Januari–Maret 2020 didapatkan 93 rekam medis namun

yang digunakan pada penelitian ini 30 rekam medis DM tipe II yang memenuhi

kriteria inklusi.

4.1.1 Usia

Menurut Kemenkes RI pada tahun 2018, pengelompokan pasien diabetes

melitus rawat inap dilakukan dengan membagi pasien menjadi 6 kelompok usia

yaitu 25-34 tahun35-44 tahun, 45-54 tahun, 55-64 tahun, 65-74 tahun, ≥75 tahun.

Pasien dikelompokan untuk mengetahui prevalensi pasien diabetes melitus rawat

inap periode Januari-Maret 2020. Berdasarkan data yang diperoleh pasien diabetes

melitus di ruang rawat inap RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai pada periode

Januari-Maret 2020 distribusi responden berdasarkan usia yang diteliti secara

garis besar ditunjukkan pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan usia


Usia Jumlah Rekam Medis Persentase (%)
(n=30)
35-44 1 3,33
45-54 9 30
55-64 13 43,33
65-74 6 20
≥75 1 3,33
Total 30 100

Berdasarkan Tabel 4.1 distribusi responden berdasarkan usia, dapat

diketahui bahwa responden terbanyak adalah kelompok usia 55-64 tahun yaitu

sebanyak 13 rekam medis (43,33%) dan responden yang paling sedikit adalah

33
kelompok usia 35-44 tahun dan ≥75 yaitu sebanyak 1 orang (3,33%). Proses

menua akan menyebabkan adanya perubahan fungsi sel beta pankreas sebagai

penghasil hormon insulin, sehingga insulin kurang mencukupi untuk metabolisme

karbohidrat ataupun dapat disebabkan karena adanya resistensi insulin sehingga

sel tidak dapat terbuka untuk pintu masuk insulin/ tetap tertutup akibatnya glukosa

tidak dapat masuk sel untuk keperluan metabolisme, sehingga glukosa darah

meningkat (Mildawati et al., 2019; Eben dan Astrid, 2019).

Kelompok usia 40 tahun ke atas memang merupakan kelompok usia yang

berisiko tinggi mengalami DM dan penyakit jantung. Selain itu diet yang buruk,

peningkatan berat badan, kebiasaan merokok, dan kurang aktivitas merupakan

faktor risiko DM yang banyak terjadi pada kelompok tersebut. Semakin

meningkatnya usia seseorang maka gangguan toleransi glukosa juga akan semakin

meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia maka resiko

terjadinya komplikasi neuropati semakin meningkat. Namun, hal ini tidak

menutup kemungkinan kejadian neuropati perifer dapat dirasakan penderita

diabetes yang masih muda (Mildawati et al., 2019; Eben dan Astrid, 2019).

4.1.2 Jenis Kelamin

Berdasarkan dari 30 rekam medis yang menggunakan obat antidiabetes,

memperoleh gambaran umum yang dominan antara lain jenis kelamin perempuan

(53,33%). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin yang diteliti secara

garis besar ditunjukkan pada Tabel 4.2

34
Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Rekam Persentase (%)
medis (n=30)
Perempuan 16 53,33
Laki-laki 14 46,67
Total 30 100

Berdasarkan Tabel 4.2 distribusi responden berdasarkan jenis kelamin,

dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah jenis kelamin perempuan yaitu

sebanyak 16 orang (53,33%) dan responden yang paling sedikit adalah jenis

kelamin laki-laki yaitu sebanyak 14 orang (46,67%). Hasil penelitian ini sejalan

dengan yang dilaporkan oleh Eben dan Astrid (2019) bahwa mayoritas responden

pasien yang menggunakan obat antidiabetes dalam resepnya, berjenis kelamin

perempuan sebanyak 27 orang (67,5%).

Menurut Apsari, dkk (2018) prevalensi kejadian DM pada wanita lebih

tinggi daripada laki-laki karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan

IMT (indeks masa tubuh) yang lebih besar dan mendekatnya masa menopause

menyebabkan distribusi lemak tubuh lebih mudah terakumulasi akibat proses

hormonal. Peningkatan masa lemak yang dipengaruhi oleh hormon salah satunya

hormon estrogen pada wanita yang menyebabkan perubahan metabolisme

akumulasi lemak yang dimana pada peningkatan lemak juga dipengaruhi oleh

penggunaan kontrasepsi hormonal yang menyebabkan tingginya kadar estrogen

dan progesteron dalam darah. Sedangkan progeston akan menyebabkan penurunan

jumlah dan afinitas reseptor insulin terhadap glukosa serta meningkatkan jumlah

kortisol bebas sehingga kadar glukosa darah akan meningkat.

Lebih lanjut Eben dan Astrid (2019) menyampaikan penyakit DM lebih

banyak dialami oleh perempuan dari pada laki-laki. Hal tersebut dikarenakan tiga

35
faktor. Faktor pertama, kadar kolestrol HDL, LDL, dan trigliserida lebih tinggi

pada perempuan dari pada laki-laki. Jumlah lemak pada laki-laki dewasa berkisar

antara 15-20% dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20-25%. Faktor

kedua, tingginya kadar kolestrol HDL, LDL, dan trigliserida pada perempuan

dapat menyebabkan penurunan sensitivitas insulin. Faktor ketiga, mekanisme

protektif pada dinding pembuluh darah perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki

sehingga dapat memperparah penyumbatan pembuluh darah.

4.1.3 Berdasarkan Jumlah Obat yang Digunakan

Berdasarkan dari 30 rekam medis terdapat 140 hari terapi penggunaan obat

dengan rata-rata 4-5 hari selama menjalani rawat inap. Berikut ini adalah data

jumlah obat yang digunakan pada pasien diabetes melitus di instalasi rawat inap

RSUD Djoelham Binjai periode Januari–Maret 2020. Jumlah obat yang digunakan

merupakan seluruh jumlah obat yang diresepkan pada pasien diabetes melitus

pada penggunaan obat saat menjalani rawat inap.

Tabel 4.3 Distribusi Jumlah Obat yang Digunakan pada Pasien Diabetes
Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Djoelham Binjai periode
Januari–Maret 2020.
Jumlah Obat Jumlah(n=140) %
<5 44 31,43
>5 96 68,57
Total 140 100

Berdasarkan Tabel 4.3 distribusi responden berdasarkan jumlah obat

perhari yang diterima oleh pasien, dapat diketahui bahwa responden terbanyak

adalah >5 jumlah obat yaitu sebanyak 96 (68,57%) dan responden yang paling

sedikit adalah <5 jumlah obat yaitu sebanyak 44 (31,43%). Semakin banyak

jumlah obat maka semakin tinggi potensi kejadian interaksi obat dengan

persentase 70% (Handayani, 2019).

36
Hal tersebut sesuai dengan penelitian (Poluan dkk, 2020) jumlah obat

perhari yang diterima oleh pasien diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Gunung

Maria Tomohon, sebanyak 16 pasien (34,78%) menerima <5 obat perhari dan 30

pasien (65,22%) menerima >5 obat perhari dimana hal tersebut tidak dapat

dihindari karena selain digunakan untuk mengendalikan kadar gula darah, obat-

obat tersebut juga digunakan sebagai upaya pengendalian dari beberapa

komplikasi yang muncul pada penderita DM.

4.2 Distribusi Frekuensi Potensi Interaksi Obat Antidiabetes

Berdasarkan analisis terhadap 30 rekam medis, ditemukan adanya potensi

interaksi obat. Gambaran umum kejadian potensi interaksi obat berdasarkan

jumlah obat ditunjukkan pada Tabel 4.5

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Potensi Interaksi Obat Bedasarkan Jumlah Obat
Total = 30
Karakter subjek Tidak
Berpotensi
(Jumlah Obat) % Berpotensi %
Interaksi
Interaksi
≥ 5 obat 16 53,33 3 10
< 5 obat 7 23,33 4 13,33
Total 23 76,66 7 23,33

Berdasarkan sampel yang berjumlah 30 rekam medis yang menggunakan

obat antidiabetes dalam resepnya, diperoleh 76,33% jumlah obat dalam resep

yakni ≥5 mengalami potensi interaksi. Menurut Laili dan Probosiwi (2019) kadar

gula yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan komplikasi seperti

mengakibatkan kegagalan fungsi pada organ mata, ginjal, saraf, jantung dan

pembuluh darah, penyakit mental, bahkan kematian. Salah satu upaya

menghindari terjadinya komplikasi dibutuhkan pengetahuan dan kepatuhan dalam

37
penggunaan obat sehingga terjadinya keberhasilan dalam terapi pengobatan

diabetes mellitus.

Penderita diabetes melitus merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya

komplikasi. Adanya komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita d iabetes

melitus mengakibatkan penggunaan polifarmasi. Polifarmasi merupakan

penggunaan obat sebanyak 5 atau ≥5 pada suatu kondisi yang bertujuan untuk

menghindari perkiraan reaksi efek samping dari penggunaan obat yang lain

(Nazhilah dkk, 2015).

4.3 Penyakit Penyerta

Berdasarkan dari 30 rekam medis pasien RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai

diperoleh 14 jenis penyakit penyerta dimana yang paling banyak adalah penyakit

hipertensi ( 21,74%) seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.3

Tabel 4.5 Distribusi responden berdasarkan penyakit penyerta

No Penyakit penyerta Jumlah Persentase


1 Hipertensi 5 21,74
2 Jantung 3 13,04
3 Pneumonia 2 8,69
4 TB Paru 2 8,69
5 Stroke 2 8,69
6 Asma Bronkial 1 4,35
7 Tumor 1 4,35
8 Gangren Diabetikum 1 4,35
9 Orteoartiitis 1 4,35
10 Anemia 1 4,35
11 Hiperglikemia 1 4,35
12 Abses Diabetikum 1 4,35
13 Ulkus Diabetikum 1 4,35
14 Sepsis Pneumonia 1 4,35
Total 23 100

Berdasarkan Tabel 4.5 distribusi responden berdasarkan penyakit

penyerta, dapat diketahui bahwa penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi

yaitu sebanyak 5 pasien (21,74%).

38
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Hongdiyanto, dkk

(2014) bahwa mayoitas responden pasien dengan penyakit penyerta terbanyak

terjadi adalah hipertensi yakni 18 pasien (58,1%). Penyakit DM dengan kadar gula

yang tinggi dapat merusak organ dan jaringan pembuluh darah serta dapat

terbentuknya aterosklerosis, hal tersebut menyebabkan arteri menyempit dan sulit

mengembang sehhingga dapat memicu terjadinya hipertensi. Penyakit hipertensi

lebih banyak 1,5 sampai 3 kali lipat dapat ditemukan pada penderita diabetes

melitus dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes melitus.

Penyakit penyerta pada DM tipe 2 yang terbanyak selain hipertensi adalah

jantung sebanyak 3 pasien (13,04%). Menurut Yuliani, dkk (2014) yang dikutip

dari American Heart Association ( 2012), paling kurang 65% penderita DM

meninggal akibat penyakit jantung atau stroke. Selain itu, orang dewasa yang

penderita DM berisiko dua sampai empat kali lebih besar terkena penyakit jantung

dari pada DM tipe 2 sangat kompleks dan diakitkan dengan adanya aterosklerosis

yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain hipertensi, hiperglikemia,

dislipidemia, merokok, riwayat keluarga dan obesitas.

4.4 Penggunaan Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus

di RSUD Dr. R.M. DJOELHAM Binjai periode Januari-Maret 2020.

Persentase penggunaan obat antidiabetes di RSUD Dr. R.M. Djoelham

Binjai Januari-Maret 2020 yang diambil dari 30 rekam medis. Penggunaan obat

antidiabetes ditunjukkan oleh Tabel 4.6.

39
Tabel 4.6 Persentase penggunaan obat diabetes melitus pada pasien rawat inap
Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Dr. R.M. Djoelham
Binjai periode Januari-Maret 2020

No Nama Obat Jumlah %


Penggunaan
1 Metformin 19 31,66
2 Glimepiride 15 25

3 Pioglitazone 12 20
4 Insulin Lantus 2 3,33
5 Insulin Apidra 2 3,33
6 Insulin Novomix 4 6,66
7 Acarbose 4 6,66
8 Gliquidone 1 1,66
9 Insulin Levemir 1 1,66
Jumlah 60 100
Berdasarkan Tabel 4.4. menunjukkan bahwa penggunaan obat antidiabetes

yang paling banyak adalah metformin sebanyak (31,66%), diikuti glimepirid

(25%), pioglitazone (20%), sedangkan paling sedikit adalah gliquidone (1,66%)

dan Insulin levemir (1,66%). Penggunaan metformin cukup tinggi karena secara

farmakologis penggunaan obat metformin dapat menghasilkan kontrol glukosa

darah yang intensif serta dapat meningkatkan sensitivitas pada insulin perifer dan

hepatik penderita DMT2 (Riwu et al., 2015).

Demikian juga dengan American Diabetes Association (ADA) dan

American Association of Clinical Endocrinologists and American College of

Endocrinology (AACE) merekomendasikan pengobatan pada DMT2 dapat

dimulai dengan pemberian metformin sebagai obat antidiabetes lini pertama

apabila glukosa darah dengan intervensi gaya hidup tidak terkontrol. Sedangkan

40
komponen pengelolaan DM Tipe 1 meliputi pemberian insulin, pengaturan

makan, olah raga, edukasi, dan pemantauan mandiri (Yati dan Bambang, 2017).

Tabel 4.7 Persentase penggunaan obat-obatan lain yang diberikan bersamaan


dengan obat diabetes melitus pada pasien rawat inap Diabetes Melitus di RSUD
Dr. R.M. Djoelham Binjai

No Nama Obat Jumlah Persentase (%)

1 Ceftriaxone 21 12,00
2 Ondansentron 17 9,71
3 Ranitidine 14 8,00
4 Omeprazole 11 6,28
5 Bisoprolol 8 4,57
6 Paracetamol 7 4,00
7 Adalat oros 6 3,43
8 Aspilet 6 3,43
9 Keterolac 5 2,86
10 Gabapentin 5 2,86
11 Ambroxol syr 4 2,28
12 Ksr 4 2,28
13 Candesartan 4 2,28
14 Citicolin 4 2,28
15 Cefotaxime 4 2,28
16 Novalgin 4 2,28
17 Antasida syr 3 1,71
18 Sucralfat syr 3 1,71
19 Vitamin B Complex 3 1,71
20 Azitromicin 2 1,14
21 Allopurinol 2 1,14
22 Clopidogrel 2 1,14
23 Concor 2 1,14
24 Codein 2 1,14

41
25 Neurodex 2 1,14
26 Spironolakton 2 1,14
27 Lansoprazole 2 1,14
28 Atorvastatin 1 0,57
29 Aminophilin 1 0,57
30 Asam mefenamat 1 0,57
31 Alprazolam 1 0,57
32 Betahistine 1 0,57
33 Flunarizin 1 0,57
34 Fenofibrate 1 0,57
35 Phenetoin 1 0,57
36 Piracetam 1 0,57
37 Retaphyl 1 0,57

38 Ramipril 1 0,57

39 Resperidone 1 0,57

40 Dexamethasone 1 0,57

41 Digoxin 1 0,57

42 Cetirizine 1 0,57

43 Captopril 1 0,57

44 New Diatab 1 0,57

45 Sandepril 1 0,57

46 Salbutamol 1 0,57

47 Vitamin C 1 0,57

48 Tramadol 1 0,57

49 Tanapres 1 0,57

50 Loperamide 1 0,57

42
51 Levofloxacin 1 0,57

52 Lamipril 1 0,57

Total 175 100

Berdasarkan tabel 4.7 distribusi berdasarkan penggunaan obat obatan lain

yang diberikan bersamaan dengan obat diabetes menunjukkan bahwa dari 175

jumlah obat terdapat 54 jenis obat lain yang digunakan bersamaan dengan obat

antidiabetes. Obat lain yang paling banyak digunakan bersamaan dengan obat

antidiabetes adalah ceftriaxone sebanyak 21 ( 12,06%), Ondansentron sebanyak

17 (9,71%), dan Ranitidine sebanyak 14 (8,00%).

Ceftriaxone merupakan salah satu antibiotik golongan sefalosporin generasi

ketiga yang umumnya aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi kurang aktif

dibandingkan dengan golongan sefalosporin generasi pertama. Sebagai antibiotik

empiris, pemberian hendaknya disesuaikan dengan bakteri yang ada pada masing-

masing perawatan. Pemilihan antibiotik mempertimbangkan pada hasil kultur dan

uji sensitivitas agar antibiotik dapat menargetkan bakteri patogen penyebab

infeksi. Terapi empiris merupakan pemberian awal terapi yang diberikan sebelum

hasil kultur dan sensitivitas tes keluar. Tingginya terapi empiris dikarenakan uji

kultur bakteri dan hasil kultur membutuhkan waktu empat sampai tujuh hari,

sedangkan pengobatan harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur.

Sehingga diperlukan evaluasi terhadap penggunaan antibiotik empiris terhadap

kultur bakteri. Selain itu, dapat mengetahui jenis bakteri yang menjadi penyebab

serta pola sensitivitas bakteri

4.5 Analisis Kejadian Potensi Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan

Mekanisme dan Tingkat Keparahan pada Pasien Diabetes Melitus

Berdasarkan analisis data dari 30 rekam medis yang mengalami interaksi


43
obat dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Potensi Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme dan Tingkat
Keparahan pada Pasien Diabetes Melitus
Potensi Interaksi Kategori Jumlah Presentase (%)
Tingkat Keparahan Mayor - -
Moderate 82 91,11
Minor 8 8,89
Mekanisme Farmakodinamik 56 62,22
Farmakokinetik 25 27,77
Unknown 9 10
Total 90 100

Berdasarkan Tabel 4.8. menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus

paling banyak berpotensi mengalami mekanisme interaksi farmakodinamik

44
sebesar 62,22% sedangkan berdasarkan tingkat keparahan yang paling banyak

adalah pada tingkatan moderate sebesar 91,11%.

Berikut ini adalah hasil analisis interaksi obat pada pasien diabetes melitus

di instalasi rawat inap RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai pada periode Januari–

Maret 2020.

Tabel 4.9 Distribusi Potensi Kejadian Interaksi Obat Antidiabetik Berdasarkan


Mekanisme, Tingkat Keparahan, dan Efek pada Pasien dan
Manajemen Terapi

Mekanisme Obat A Obat B Jumlah Tingkat Efek interaksi Manajemen


Potensi Interaksi keparahan terapi
Obat
Farmakodinamik Metformin Glimepiride 6 Moderate Pemberian metformin Pengaturan
dan glimepiride secara dosis dan
bersamaan dapat kontrol KGD
meningkat kan resiko secara teratur,
hipoglikemia pantau tanda-
tanda
hipoglikemia

Farmakokinetik Metformin Adalat oros 5 Moderate Nifedipine Pemantuan


(Nifedipin) menurunkan efek tandatanda
metformin dengan hipoglikemia.
antagonisme Tidak
farmakodinamik diperlukan
dapat meningkatkan pencegahan
risiko asidosis laktat. khusus.
(Absorpsi)

Farmakodinamik Glimepiride Furosemid 5 Moderate Furosemid dapat Tidak


mengganggu kontrol diperlukan
glukosa darah karena pencegahan
dapat menyebabkan khusus. Tandai
hiperglikemia tanda-tanda
terjadi
hiperglikemia
Farmakodinamik Glimepiride Bisoprolol 5 Moderate Bisoprolol dapat Kontrol KGD
meningkatkan risiko secara teratur,
hipoglikemia. pantau tanda-
tanda
hiperglikemia
Farmakodinamik Insulin Metformin 4 Moderate Pemberian kombinasi Pengaturan
lantus metformin dengan dosis dan
insulin dapat kontrol KGD
meningkatkan resiko secara teratur,
hipoglikemia pantau tanda-
tanda
hipoglikem ia
Farmakodinamik Metformin Keterolac 3 Moderate Keterolac dapat Pemantauan
berpotensi risiko fungsi ginjal.
asidosis laktat terkait Penyesuaian
dengan penggunaan dosis pada
metformin sehingga pasien dengan
menyebabkan gangguan
penurunan fungsi ginjal. Pasien
ginjal. harus

45
menguhubungi
dokter apabila
mengalami
gejala asidosis
laktat seperti
malaise,
gangganguan
pernafasan.
Farmakodinamik Glimepiride Aspilet 3 Moderate Aspirin mengurangi Pengaturan
kadar glukosa pada dosis dan
plasma dan kontrol KGD
meningkatkan sekresi secara teratur,
glimepiride. pantau .
Pemgaturan
dosis pada
glimepiride dan
permantuan
anda-tanda
hipoglikemia
Farmakodinamik Metformin Dexametasone 2 Moderate Deksametason Pemantuan
menurunkan efek ketat pada
metformin dengan terapi
antagonisme dexametason.
farmakodinamik yang Pengaturan
dapat menyebabkan dosis pada
hiperglikemia dan antidiabetik.
intoleransi glukosa.
Farmakodinamik Metformin Aspilet 2 Moderate Obat antiinflamasi Pengaturan
nonsteroid (NSAID) dosis
dapat meningkatkan antidiabetik dan
risiko asidosis laktat kontrol KGD
yang terkait dengan secara teratur.
penggunaan Pertimbangkan
metformin. terapi
alternative
dengan
paracetamol.
Farmakodinamik Acarbose Furosemid 2 Moderate Furosemid dapat Pemantuan
mengganggu kontrol ketat pada
glukosa darah karena KGD
dapat menyebabkan pasien.cdan
hiperglikemia. pantau tanda-
tanda
hiperglikemia
seperti rasa
haus yang
berlebihan dan
frekuensi buang
air kecil yang
terlalu kecil
Farmakodinamik Insulin Glimepiride 2 Moderate Pemberian kombinasi Pemantuan
lantus glimepiride dengan ketat KGD
insulin dapat pasien secara
meningkatkan resiko teratur. Pantau
hipoglikemia tanda-tanda
hipoglikemia
Farmakodinamik Metformin Phenytoin 1 Moderate Fenitoin menurunkan Pemantuan
efek metformin ketat KGD,
dengan antagonisme pantau tanda-
melalui mekanisme tanda
farmakodinamik. hiperglikem
Farmakodinamik Metformin Insulin 1 Moderate Metformin dapat Pemantuan
novomix meningkatkan efek ketat KGD
hipoglikemik insulin pasien,
novomix dengan perhatiakan
meningkatkan tanda-tanda
mekanisme kontrol hipoglikemia
selular oleh insulin
Farmakodinamik Metformin Insulin levemir 1 Moderate Metformin dapat Pemantuan
meningkatkan efek ketat KGD
hipoglikemik insulin pasien,
detemir dengan perhatiakan
meningkatkan tanda-tanda

46
mekanisme kontrol hipoglikemia
selular oleh insulin
Farmakodinamik Metformin Ramipril 1 Moderate Ramipril Perhatikan
meningkatkan tanda-tanda
sensitivitas metformin hipoglikemia

Farmakodinamik Metformin Levofloxacin 1 Moderate Levofloxacin dapat Pemantuan


mengakibatkan KGD pasien
gangguanhomeostatis dan pantau
glukosa darah yang tanda-tanda
berasal dari efek hipoglikemia
saluran kalium
sensitive ATP sel beta
pancreas yang
mengatur seksresi
insulin
Farmakodinamik Acarbose Dexametasone 1 Moderate Deksametason dapat Pengaturan
meningkatkan KGD dosis secara
pasien secara ketat dan pantau
antagonisme tanda
hiperglikemia
Farmakodinamik Glimepiride Captopril 1 Moderate Ace inhibitor dapat Pantau tanda-
meningkatkan risiko tanda
hipoglikemia dengan hipoglikemia
meningkatkan
sensitivitas insulin
Farmakodinamik Glimepiride Keterolac 1 Moderate Ketorolac Pemantuan
meningkatkan efek ketat tandatanda
glimepirid melalui hipoglikemia,
mekanisme yang tidak pengaturan
diketahui. Beresiko dosis
hipoglikemia. antidiabetik
Keterolac dapat
meningkatkan risiko
hipoglikemia dengan
meningkatkan
sensitivitas insulin
Farmakodinamik Glimepiride Antasida 1 Moderate Meningkatkan Pemantuan
absorpsi glimepiride. kontrol KGD
Beresiko efek secara teratur,
hipoglikemik. Pengaturan
dosis
antidiabetik,
pantau tanda-
tanda
hipoglikemia

Farmakodinamik Dexametasone 1 Moderate Dexametason dapat Efek


mengganggu kontrol dexanetason
glukosa darah karena harus dipantau
dapat menyebabkan pada pasien
hiperglikemia diabetes,
Pengaturan
dosis
antidiabetik
sesuai
kebutuhan.
Farmakodinamik Pioglitazone Dexametasone 1 Moderate Deksametason Pemantuan
menurunkan efek KGD pasien,
pioglitazone dengan pantau tanda-
antagonisme tanda
farmakodinamik. hiperglikemia
Farmakodinamik Pioglitazone Levofloxacin 1 Moderate Levofloxacin Pemantuan
meningkatkan efek KGD pasien,
pioglitazone dengan pantau tanda-
sinergisme tanda
farmakodinamik. hipoglikemia

47
Farmakodinamik Pioglitazone Sucralfat 1 Moderate Sucralfat dapat Pengaturan
mengganggu efek dosis
pioglitazone yang antidiabetik
dapat menyebabkan pantau tanda-
resiko hiperglikemia tanda
hiperglikemia
Farmakodinamik Insulin Furosemid 1 Moderate Furosemid dapat Pengaturan
levemir mengganggu kontrol dosis dan
glukosa darah karena kontrol KGD
dapat menyebabkan secara teratur,
hiperglikemia pantau tanda-
tanda
hiperglikemia

Farmakodinamik Insulin Furosemid 1 Moderate Furosemid dapat Pengaturan


novomix mengganggu kontrol dosis dan
glukosa darah karena kontrol KGD
dapat menyebabkan secara teratur,
hiperglikemia pantau tanda-
tanda
hiperglikemia
Farmakodinamik Insulin Glimepiride 1 Moderate Pemberian kombinasi Pemantuan
novomix glimepiride dengan ketat kontrol
insulin dapat KGD secara
meningkatkan risiko teratur, pantau
hipoglikemia. tanda-tanda
hipoglikemia
Farmakodinamik Insulin Metformin 1 Moderate Insulin dapat Pemantuan
apidra meningkatkan resiko ketat kontrol
hipoglikemia bila KGD secara
dikombinasikan teratur, pantau
bersamaan dengan tanda-tanda
metformin hipoglikemia
Farmakokinetik Metformin Ranitidine 12 Moderate Ranitidin akan Dosis
meningkatkan metformin
level/efek metformin sebaiknya
melalui penurunan diturunkan,
klirens ginjal. pantau gejala
(Eksresi) asidosis laktat.
Farmakokinetik Glimepiride Ranitidine 7 Moderate Ranitidin dapat Pengaturan
meningkatkan dosis
konsentrasi plasma antidiabetik dan
sulfonilurea dan kontrol KGD
meningkatkan efek secara teratur,
hipoglikemik pantau tanda-
(Metabolisme) tanda
hipoglikemia
Farmakokinetik Glimepiride Omeprazole 3 Minor Penghambat pompa Pemantuan
proton dapat KGD pasien
meningkatkan secara teratur ,
konsentrasi pantau
sulfonilurea, dan tandatanda
meningkatkan efek hipoglikemia
hipoglikemik.
(Metabolisme)
Farmakokinetik Glimepiride Fenofibrate 2 Moderate Genofibrate Pemantuan
meningkatkan efek ketat dan
glimepiride melalui kontrol KGD
pengikatan protein secara teratur,
plasma. Dengan pantau tanda-
meningkatkan risiko tanda
hipoglikemia. hipoglikemia
(Metabolisme).

48
Farmakokinetik Metformin Meloxicam 1 Moderate Meloxicam dapat Pemantuan
meningkatkan fungsi ginjal
konsentrasi plasma dan pemantuan
metformin yang dapat ketat gejala
berpotensi risiko asidosis laktat.
asidosis laktat. Hentikan
(Eksresi) pemberian
metformin jika
dicurigai
asidosis laktat
Unknown Metformin Furosemid 5 Minor Furosemide dapat Pengaturan
meningkatkan kontrol KGD
konsentrasi plasma secara teratur,
metformin yang dapat pantau tanda-
berpotensi risiko tanda asidosis
asidosis laktat. laktat
(EKSRESI)
Unknown Insulin Pioglitazone 3 Moderate Pemberian Pasien yang
lantus pioglitazone dengan memiliki
insulin dapat riwayat
meningkatkan risiko penyakit
edema dibandingkan jantung harus
dengan insulin saja. dipantau secara
Mekanismenya tidak ketat dan pantau
diketahui gejala gagal
jantung . Pantau
tanda-tanda
hipoglikemia
Unknown Metformin Captopril 1 Moderate Captopril dapat Pantau gejala
meningkatkan efek hipoglikemia
metformin melalui saat memulai
mekanisme yang tidak terapi ACE
diketahui. Berisiko inhibitor
hipoglikemia.

Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui mekanisme interaksi pada jenis kejadian

interaksi obat lebih banyak pada mekanisme interaksi farmakodinamik antara obat

metformin dengan glimepiride, sedangkan interaksi farmakokinetik antara obat

metformin dengan ranitidine, dan interaksi unknown antara metformin dengann

furosemide.

Mekanisme potensi interaksi yang paling banyak ditemukan pada

penelitian ini yakni farmakodinamik. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nurlaelah et al., (2015) yang melaporkan hasil persentase jenis

interaksi obat dengan mekanisme farmakodinamik paling besar.

Pada hasil penelitian ini mekanisme farmakodinamik paling banyak terjadi

kombinasi terapi antara metformin dan glimepiride. Menurut Poluan , dkk (2018)

Penggunaan Metformin dan Glimepiride secara bersamaan dapat berpotensi

meningkatkan risiko hipoglikemia atau gula darah rendah. Agar kedua obat

49
tersebut dapat digunakan dengan aman, perlu dilakukan pemantauan gula darah.

Berhubungandengan hal tersebut Kombinasi metformin dan glimepirid secara

signifikan dapat menurunkan glukosa darah puasa, glukosa darah post prandial,

kadar HbA1c, dan kadar Hcy (homocysteine) (Furdiyanti, dkk 2017).

Mekanisme interaksi metformin dan ranitidine terjadi secara

farmakokinetik. Ranitidin dapat mengurangi pembersihan ginjal metformin

dengan menghambat sekresi metformin ditubular ginjal sehingga kadar plasma

metformin dapat meningkat dan dapat meningkatkan efek farmakologisnya.

Pemberian kedua obat ini tidak perlu dihindari namun harus dilakukan lagi

penyesuaian dosis terhadap ranitidine dan metformin, serta diberikan jeda pada

waktu pemberian obat (Rasdianah dkk, 2021). Berkaitan dengan hal tersebut

Pradifta (2019) , menyebutkan penggunaan metformin bersama dengan ranitidin

dapat meningkatkan efek metformin, yang dapat menyebabkan kondisi yang

mengancam jiwa yang disebut asidosis laktat yang dapat menyebabkan

kelemahan, meningkatkan kantuk, denyut jantung lambat, nyeri otot, sesak napas,

sakit perut, merasa pusing dan pingsan.

Sementara itu Menurut Rahmawaty dan Putri (2020) penggunaan terapi

furosemide dengan metformin pada penelitian ini terjadi mekanisme unknown,

dapat meningkatkan efek dari metformin sehingga dapat menimbulkan

hipoglikemia. Metformin dan furosemide diekskresi pada tubular ginjal sehingga

metformin dan furosemide akan bersaing pada transportasi umum tubular yang

berpotensi menyebabkan efek metformin meningkat.

Berdasarkan Tabel 4.7 interaksi obat paling banyak ditemukan pada

tingkat keparahan moderate 91,11%. Pada tingkat keparahan moderate dapat

50
menyebabkan penurunan status klinis pasien dan mungkin memerlukan

pengobatan tambahan (Tatro, 2009). Kategori signifikansi 2 memiliki keparahan

moderat yang menimbulkan efek dapat mengakibatkan terjadinya penurunan

status klinik pasien sehingga dibutuhkan terapi tambahan atau perawatan di rumah

sakit. (Stockley, 2008).

4.6 Hubungan Karakteristik Jumlah Obat dengan Kejadian Potensi

Interaksi Obat Antidiabetes

Untuk melihat hubungan antara karakteristik subjek penelitian dengan

kejadian potensi interaksi obat Antidiabetes maka digunakan Descriptive

Statistics Crosstabs menggunakan uji Chi Square Test berdasarkan Correction

Pearson Chi Square dengan toleransi kesalahan sebesar 5% (α 0,05) dan

Confidence Interval sebesar 95%

Tabel 4.10 Hubungan Jumlah Obat Dan Kejadian Potensi Interaksi Obat
Antidiabetes

Potensi Interaksi (n= 140)


Tidak Total % p
Jumlah Berpotensi
% Berpotensi %
Obat interaksi
Interaksi
≥ 5 obat 80 83,3 16 16,7 96 100 0,000
< 5 obat 19 43,2 25 56,8 44 100

Berdasarkan Tabel 4.10 Hubungan jumlah obat dan potensi interaksi obat,

maka diketahui jumlah obat<5 berpotensi interaksi obatsebesar 19 (43,2%) obat

dan dengan kategori tidak ada potensi interaksi obat sebesar 25 (56,8%) obat.

jumlah obat >5 dengan kategori ada potensi interaksi obat sebesar 80 (83,3%)

obat dan dengan kategori tidak ada potensi interaksi obat sebesar 16 (16,7%) obat.

Setelah dilakukan analisis Descriptive Statistics Crosstabs menggunakan

uji Chi Square Tes maka berdasarkan Correction Pearson Chi Square didapatkan

51
nilai p value sebesar 0,000 yang berarti p value 0,000<α 0,05. Dengan demikian

maka Ha dalam penelitian ini dapat dinyatakan adanya hubungan yang bermakna

antara variabel jumlah obat dan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes

dinyatakan diterima dan Ho ditolak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahmawaty

(2020) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah obat dengan

kejadian potensi interaksi obat dengan nilai p= 0,010 (P<0,05).

Terdapatnya hubungan antara jumlah obat dengan terjadinya potensi

interaksi obat menjadi lebih tinggi seiring dengan semakin banyak nya jumlah

obat yang diresepkan (Handayani, 2019). Hal ini pun membuktikan kemungkinan

terjadinya interaksi obat lebih tinggi dalam terjadinya kompleksitas obat-obat

yang diresepkan. Stockley (2009) menyebutkan bahwa kompleksnya terapi yang

diperlukan memaksa banyaknya penggunaan berbagai kombinasi obat

(polifarmasi) yang cenderung akan meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat.

52
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di instalasi rawat inap RSUD Dr. R.M. Djoelham

Binjai yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan:

a. Terdapat potensi interaksi obat pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD

Dr. R.M. Djoelham Binjai. Sedangkan pada pasien dengan diagnosa diabetes

melitus tipe 1 pada periode januari-maret 2020 tidak ditemukan.

b. Tingkat keparahan interaksi obat Mayor sebanyak 0 potensi kejadian,

Moderate sebanyak 82 potensi kejadian dengan persentase 91,11% dan Minor

sebanyak 8 kejadian potensi kejadian dengan persentase 8,89%.

c. Terdapat hubungan bermakna antara jumlah obat dengan potensi interaksi

obat.

5.2 Saran

1. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan pengkajian interaksi

obat secara prospektif pada peresepan pasien diabetes melitus disertai

wawancara terkait terapi yang diberikan dokter dan penjelasan oleh apoteker.

2. Sebaiknya bagi pihak rumah sakit agar lebih memperhatikan penggunaan

antibiotik yang rasional untuk mencegah dan meminimalisirkan infeksi yang

terjadi selama perawatan dirumah sakit.

53
DAFTAR PUSTAKA

America Diabetes Association. 2019. Classification And Diagnosis Of Diabetes:


Standasrds Of Medical Care In Diabetes. Diabetes Care.40(1).
Bukhoriah, S. 2019. Kajian Interaksi Obat Pada Diabetes Melitus Tipe 2 Ditinjau
Dari Outcome Terapi Di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo.
Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Cahyaningsih, I., Wicaksono, W.A. 2020.Penilaian Risiko Interaksi Obat Pada
Pasien Dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Farmasi Klinik
Indonesia.9(1).
Departemen Kesehatan Ri. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta.
Ermawati, T. 2012. Periodontitis Dan Diabetes Melitus. Jurnal Kedokteran Gigi.
9(3).
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2 Jurnal Majority. 4(5).
Gayatri, R.W., Kistianita, A.N., Virrizqi,V.S., Sima, A.P. 2019. Diabetes Melitus
Dalam Era 4.0. Malang: Wineka Medika.
Gitawati, R. 2008. Interaksi Obat Dan Beberapa Imlikasinya. Media Litbang
Kesehatan.18(4).
Handayani, K., Saibi, Y. 2019. Potensi Interaksi Obat Pada Resep Pasien
Diabetes Melitus Rawat Jalan Di Rs X Jakarta Pusat. Phamaceutical And
Biomedical Sciences Journal. 1(1).
Hanutami, B., Dandan, K.L. Identifikasi Potensi Interaksi Antar Obat Pada Resep
Umum Di Apotek Kimia Farma 58 Kota Bandung Bulan April 2019.
Farmaka.17(2).
Hardianto, D. Telaah Komprehensif Diabetes Melitus: Klasifikasi, Gejala,
Diagnosis, Pencegahan, Dan Pengobatan. Jurnal Bioteknologi & Biosains
Indonesia.7(2).
Isnaini, N., Ratnasari. 2018. Faktor Risiko Mempengaruhi Kejadian Diabetes
Mellitus Tipe Dua. Jurnal Keperawatan Dan Kebidanan Aisyiyah. 14(1).
Kee, J.L. Dan Hayes, E.R.,1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta: Buku Kedokteran.
Kementerian Kesehatan Ri. 2018. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.
Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Ri.
Kurniawati, F., Yasin, N. M., Dina, A., Atana, S., Hakim, S. N. 2020.Kajian
Adverse Drug Reactions Terkait Interaksi Obat Di Bangsal Rawat Inap
Rumah Sakit Akademik Ugm. Jurnal Manajemen Dan Pelayanan
Kefarmasian. 10(4).
Laili, N. F., & Probosiwi, N. (2019).Gambaran Pola Peresepan Obat Anti
Diabetes Oral Pada Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas Sukorame
Kediri. Java Health Jounal, 6(2).
Marzel, R. 2021. Terapi Pada Dm Tipe 1. Jurnal Penelitian Perawat
Professional.3(1).

54
Mildawati., Diani, N., Wahid, A. 2019. Hubungan Usia, Jenis Kelamin Dan
Lama Menderita Diabetes Dengankejadian Neuropatiperifer Diabetik.
Caring Nourshing Journal.3(2).
Nah, Y.K. 2007.Interaksi Obat Yang Penting Di Klinik.Meditek.15(39).
Nazilah, K., Rachmawati, E., Subagijo, P.B. 2017. Identifikasi Drug Related
Problems (Drps) Pada Terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat
Inap Rsd Dr. Soebandi Jember Periode Tahun 2015. Jurnal Pustaka
Kesehatan. 5(3).
Nila, A., Halim, M. Dasar Dasar Farmakologi 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan
Da Kebudayaan
Noviani, N., Nurilawati, V. 2017. Farmakologi. Jakarta: Pusat Pendidikan
Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Nugroho, S. Pencegahan Dan Pengendalian Diabetes Melitus Melalui Olahraga.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga. 9(1).
Nurlaelah, I., Mukaddas, A., & Faustine, I. (2015). Kajian Interaksi Obat Pada
Pengobatan Diabetes Melitus (Dm) Dengan Hipertensi Di Instalasi Rawat
Jalan Rsud Undata Periode Maret-Juni Tahun 2014. Jurnal Farmasi
Galenika (Galenika Journal Of Pharmacy)(E-Journal)
Oktaviana, S., Fadraersada,J., Rusli,R. 2016. Karakteristik Dan Pengobatan
Pasien Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Aji Batara Agung Dewa
Sakti.Prosiding Seminar National Kefarmasian Ke-3.
Perkeni. (2021). Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Di Indonesia . Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Pradifta, R., Alifiar, I., Fatwa, M.N. 2019. Kajian Interaksi Obat Antifiabetik
Dengan Obat Lain Pada Pasien Diabetes Melitus Rawat Inap Di RSUD dr.
Soekardjo Tasikmalaya. Journal Of Pharmacopolium. 2(2).
Putra, R. J.S., Achmad, A., P.H.H. 2017.Kejadian Efek Samping Potensial Terapi
Obat Anti Diabetes Pasien Diabetes Melitus Berdasarkan Algoritma
Naranjo.Pharmaceutical Journal Of Indonesia. 2(2).
Putri, N.H.K., Isfandirari, M. A. 2013. Hubungan Empat Pilar Pengendalian Dm
Tipe 2 Dengan Rerata Kadar Gula Darah. Jurnal Berkala Epidemiologi.
1(2).
Rahmawati, F., Handayani, R., Gosal. V. 2006. Kajian Retrospektif Interaksi Obat
Di Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta.Majalah Farmasi
Indonesia.17(4).
Rahmawaty, A., Hidayah, P.H. 2020. Hubungan Drug Related Problems (Drps)
Kategori Interaksi Obat Pada Penggunaan Obat Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2. Cendekia Journal Of Pharmacy Stikes Cendekia Utama Kudus.
4(1).
Rasdianah, N., Thomas, N. A., Gani, A. S. W. 2021. Interaksi Obat Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Penyakit Penyerta Di Rumah Sakit
Otanaha Kota Gorontalo. Indonesian Journal Of Pharmaceutical
Education. 1(1).

55
Refdanita., Maisarah. 2017. Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Instalasi Rawat Jalan Salah Satu Rumah Sakit Di Jakarta
Selatan. Saintech Farma. 10(1).
Riwu, M., Subarnas, A., Lestari, K. 2015. Korelasi Faktor Usia, Cara Minum, Dan
Dosis Obat Metformin Terhadap Risiko Efek Samping Pada Penderita
Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.4(3).
Saibi, Y., Hasan, D., Shaqila, V. 2018. Potensi Interaksi Obat Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit X Tangerang Selatan. Jurnal
Manajemen Dan Pelayanan Kefarmasian. 8(3).
Stockley, 2008.Stockley’s Drug Interaction, 8th Edition. Pharmaceutical Press.,
London
Tatro D.S. 2006. Drug Interaction Fact, Fifth Edition, Facts And Comparisons A.
California :Wolter Kluwer Company.
Tatro, D. (2009). Drug Interaction Facts.Editor: David S. Tatro. St. Louis,
Missouri :Facts And Comparisons.
Widodo, F.Y. 2014.Pemantauan Penderita Diabetes Mellitus.Jurnal Ilmiah
Kedokteran. 3(2).
Yati, N.P., Tridjaja, B. 2017. Diagnosis Dan Tata Laksanan Diabetes Melitus Tpe-
1 Pada Anak Dan Remaja.Ikatan Dokter Anak Indonesia.

56
LAMPIRAN

Hasil analisis hubungan beberapa variabel bebas terhadap potensi interaksi obat
antidiabetes dengan menggunakan analisis Chi Square pada program IBM SPSS
20
Crosstabs Jumlah Obat – Potensi Interaksi Obat

JUMLAH OBAT * POTENSI INTERAKSI Crosstabulation


POTENSI INTERAKSI
ADA TIDAK ADA Total
JUMLAH OBAT <5 Count 19 25 44
% within JUMLAH OBAT 43.2% 56.8% 100.0%
>5 Count 80 16 96
% within JUMLAH OBAT 83.3% 16.7% 100.0%
Total Count 99 41 140
% within JUMLAH OBAT 70.7% 29.3% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 23.487 a


1 .000
Continuity Correction b
21.589 1 .000
Likelihood Ratio 22.629 1 .000
Fisher's Exact Test
.000 .000
Linear-by-Linear
23.320 1 .000
Association
N of Valid Cases 140

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,89.
b. Computed only for a 2x2 table

57
58
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
Jalan Tri Dharma No.5-Pintu 4, Kampus USU Medan 20155 Telepon : 061-8223558, Faksimile : 061-8219775
Laman :

Nomor : /UN5.2.1.11.2.3/KRK/2021
Perihal : Persetujuan Judul Penelitian Skripsi

Yth. Sdr. Eva Widya Panjaitan


Mahasiswa Program Studi Sarjana
Farmasi Fakultas Farmasi USU
Medan

Dengan hormat, sehubungan dengan formulir pengajuan Judul Penelitian Skripsi yang diajukan oleh
mahasiswa Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi USU, yang tersebut di bawah ini:

Nama : Eva Widya


Panjaitan NIM161501163

dan telah disetujui oleh Sdr. Marianne, M.Si., Apt., selaku Pembimbing Skripsi mahasiswa yang
bersangkutan, dengan ini kami sampaikan bahwa judul penelitian skripsi di bawah ini:

“Analisis Potensi Interaksi Obat pada Pasien Diabetes Melitus Rawat Inap RSUD Dr. R.M. Djoelham
Binjai Periode Januari 2020-Desember 2020”

pada prinsipnya dapat disetujui. Berkenaan dengan hal tersebut, turut disampaikan bahwa selama
melaksanakan penelitian skripsi sebagai Mahasiswa Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi USU,
Saudara harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
dan mengikuti protokol pencegahan penyebaran Virus Corona (Covid-19).

Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik diucapkan terima kasih.

Ketua Program Studi


Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi USU,

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt.


NIP 197712262008122002
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
Jalan Tri Dharma No.5-Pintu 4, Kampus USU Medan 20155 Telepon : 061-8223558, Faksimile : 061-8219775
Laman :

Nomor : 4632/UN5.2.1.11.2.3/KRK/2022
Perihal : Persetujuan Judul Penelitian Skripsi

Yth. Sdr. Eva Widya Panjaitan


Mahasiswa Program Studi Sarjana Farmasi
Fakultas Farmasi USU
Medan

Dengan hormat, sehubungan dengan formulir pengajuan Judul Penelitian Skripsi yang diajukan oleh
mahasiswa Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi USU, yang tersebut di bawah ini:

Nama : Eva Widya Panjaitan


NIM 161501163

dan telah disetujui oleh Sdr. Marianne, M.Si., Apt., selaku Pembimbing Skripsi mahasiswa yang
bersangkutan, dengan ini kami sampaikan bahwa judul penelitian skripsi di bawah ini:

“Analisis Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Diabetes Melitus Rawat Inap di RSUD Dr. R.M.Djoelham
Binjai Periode Januari-Maret 2020”

pada prinsipnya dapat disetujui. Berkenaan dengan hal tersebut, turut disampaikan bahwa selama
melaksanakan penelitian skripsi sebagai Mahasiswa Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi USU,
Saudara harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
dan mengikuti protokol pencegahan penyebaran Virus Corona (Covid-19).

Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik diucapkan terima kasih.

10 November 2022 Ketua Program Studi


Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi USU,

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt.


NIP 197712262008122002

Anda mungkin juga menyukai