Anda di halaman 1dari 107

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN D TERHADAP KADAR LDL DAN


KADAR HDL PASIEN GERIATRI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE
2 DAN SARKOPENIA

TESIS

Oleh
KIKI MAHARANI
S961302004

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
2018
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

TESIS

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN D TERHADAP KADAR HDL DAN


KADAR LDL PASIEN GERIATRI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE
2 DAN SARKOPENIA

KIKI MAHARANI
S961302004

Pembimbing
dr. Fatichati Budiningsih, Sp.PD-K.Ger,FINASIM
Prof. Dr. dr. HM Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH, FINASIM
Drs. Sumardi, MM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
2018

ii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

iii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

iv
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Telah diuji pada :


Hari …..

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : DR. dr. Arief Nurudhin Sp. PD KR,
FINASIM
Anggota :

1. dr. Fatichati Budiningsih, Sp.PD-


K.Ger,FINASIM

2.Prof. Dr. dr. HM Bambang


Purwanto, Sp.PD-KGH, FINASIM

3. Drs. Sumardi, MM

v
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

Bismillahirrahmanirrahim
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”

Karya tulis ini kupersembahkan...


Untuk Orang tua, kakak, dan suami tercinta yang selalu memberikan doa.
Dan untuk guru dan pembimbing, serta teman sejawat dan seluruh civitas
akademik

Sasarlah bulan. Jika kau meleset, kau mungkin akan mengenai

bintang

( W. Clement Stone )

vi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Alhamdulillaahirabbil’aalamin penulis panjatkan ke hadirat Allah


SWT atas segala limpahan kasih sayang, rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penyusunan tesis yang berjudul: “Pengaruh pemberian vitamin D terhadap kadar
HDL dan kadar LDL pasien geriatri dengan DM tipe 2 dan sarkopenia ” ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penelitian ini untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh Gelar Spesialis Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan

penghargaan yang tinggi kepada:

1. Yang terhormat, Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam

melaksanakan program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.

2. Yang terhormat, Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kemudahan dan

dukungan kepada penulis selama menjalani pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.

3. Yang terhormat, dr. Endang Agustinar, M.Kes sebagai Direktur RSUD Dr.

Moewardi beserta seluruh jajaran staf direksi yang telah berkenan dan mengijinkan

untuk menjalani program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.

4. Yang terhormat, Prof. Dr. HM. Bambang Purwanto, dr., SpPD, KGH,

FINASIM selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr

Moewardi dan Pembimbing II yang telah memberikan ijin, bimbingan dan

pengarahan dalam penyusunan usulan tesis ini, serta memberikan kemudahan penulis

dalam melaksanakan program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.

5. Yang terhormat, dr. Wachid Putranto, SpPD-KGH,FINASIM selaku Ketua

Program Studi PPDS I Ilmu Penyakit Dalam, yang telah membimbing dan

vii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memberikan pengarahan, bimbingan dan koreksi penulis dalam melaksanakan

penyusunan tesis, selama program pendidikan Pascasarjana dan PPDS I Ilmu

Penyakit Dalam.

6. Yang terhormat, dr. Fatichati Budiningsih, SpPD-KGer,FINASIM selaku

Pembimbing I yang telah memberikan ijin, bimbingan dan pengarahan dalam

penyusunan usulan tesis ini.

7. Yang terhormat, Dr. dr. Arief Nurudhin, SpPD-KR,FINASIM selaku Penguji,

yang telah membimbing dan memberikan pengarahan, bimbingan dan koreksi penulis

dalam melaksanakan penyusunan tesis, selama program pendidikan PPDS I Ilmu

Penyakit Dalam.

8. Yang terhormat, Drs. Sumardi, MM selaku pembimbing/ konsultan statistik

penelitian, yang dengan kesabaran telah membimbing dan memberikan pengarahan

dalam penyusunan usulan tesis.

9. Yang terhormat, Seluruh Staf Pengajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD

Dr Moewardi Surakarta. Prof. Dr. HA Guntur Hermawan, dr., SpPD-KPTI FINASIM

(alm), Prof.Dr. Zainal Arifin Adnan,dr., SpPD-KR,FINASIM, Prof.Dr. Djoko

Hardiman, dr., SpPD-KEMD FINASIM(Alm), dr. Suradi Maryono, SpPD-KHOM

FINASIM, dr. Sumarmi Soewoto SpPD-KGER FINASIM, dr. Tatar Sumandjar,

SpPD-KPTI FINASIM, dr. Tantoro Harmono, SpPD-KGEH FINASIM(Alm), dr. Tri

Yuli Pramana SpPD-KGEH FINASIM, dr. Supriyanto Kartodarsono, SpPD-KEMD

FINASIM, dr. Supriyanto Muktiatmojo, SpPD FINASIM(alm), dr. Dhani Redhono,

SpPD-KPTI FINASIM, dr. Wachid Putranto, SpPD-KGH FINASIM, dr. Arifin,

SpPD-KIC FINASIM, dr. Fatichati Budiningsih, SpPD-KGer FINASIM, dr. Agung

Susanto,SpPD FINASIM, dr. Arifin SpPD KIC FINASIM, dr. Agus Joko S,SpPD

viii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KAI FINASIM, dr. Yulyani Werdiningsih, SpPD FINASIM, dr.Sri Marwanta SpPD

Mkes, dr.Aritantri D SpPD MSc, dr. Bayu Basuki Wijaya SpPD Mkes, dr. R.Satriyo

SpPD Mkes, dr. Evi Nurhayatun SpPD Mkes, dr. Eva N SpPD Mkes, dr. Ratih Tri K

SpPD, dr. Yudhi Hadjianto Sp.PD Mkes, dr. Agus Jati, Sp.PD, dr. Nurhasan Agung,

SpPD Mkes, dr. Aryo Suseno, SpPD Mkes, dan dr. Ratih Arianita, SpPD Mkes, dr.

Didik Prasetyo, Sp.PD Mkes, dan dr. Warigit Dri Atmoko, Sp.PD Mkes yang telah

memberi dorongan, bimbingan dan bantuan dalam segala bentuk sehingga penulis

bisa menyelesaikan penyusunan tesis.

10. Yang terhormat, Orangtuaku Tercinta bpk.Suprapto dan ibu hj Sri Widajati,

kakak-kakakku Hadi Setiyono dan Novi Ristanto dan suamiku tersayang, yang

telah memberikan kasih sayang dan semangat dengan sabar dan tulus memberikan

dorongan moril dan materiil dalam penyelesaian tesis ini dan proses menjalani

program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam

13. Seluruh teman sejawat seperjuangan Residen Ilmu Penyakit Dalam yang telah

memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis dalam penelitian ini dan selama

menjalani pendidikan.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah

membantu penulis baik dalam menjalani pendidikan maupun dalam persiapan

penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan tesis ini masih banyak

terdapat kekurangan, untuk itu penyusun mohon maaf dan sangat mengharapkan

saran serta kritik dalam rangka perbaikan penulisan tesis ini.

Surakarta, April 2018

ix
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penulis

x
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

RINGKASAN

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN D TERHADAP KADAR LDL DAN


KADAR HDL PASIEN GERIATRI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE
2 DAN SARKOPENIA

KIKI MAHARANI

Telah diketahui bahwa pada geriatri cenderung terjadi defisiensi vitamin D.

Vitamin D berhubungan dengan kelemahan otot, dan sarkopenia ini sering terjadi

pada usia lanjut. Sarkopenia ditandai dengan penurunan jumlah serabut otot dan

peningkatan jumlah lemak dalam otot. Sarcopenia berperan pada terjadinya

resistensi insulin pada usia lanjut, hal ini karena otot skelet adalah tempat utama

penyimpanan glukosa oleh karena aksi insulin. Resistensi insulin sendiri

merupakan salah satu mekanisme terjadinya diabetes mellitus pada usia lanjut.

Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin

D dengan kejadian DM tipe 2. Suplementasi vitamin D3 aktif akan meningkatkan

kadar vitamin D3 dalam tubuh, sehingga diharapkan akan menurunkan resistensi

insulin, meningkatkan kadar megalin, dan menurunkan adiponectin. Pada

akhirnya diharapkan dalam peningkatan kadar HDL, penurunan kadar LDL, dan

terjadi penurunan resiko aterosklerosis.

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental dengan

metode randomized controlled trial. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan pada

poliklinik geriatri Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta. Teknik

pengambilan sampel dengan simple random sampling. Subyek yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi diambil sebanyak 30 orang secara acak dengan

metode simple random sampling kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu

xi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kelompok uji dan kelompok kontrol masing-masing n=15. Selama penelitian

berlangsung, regimen terapi tidak dirubah. Pada kelompok uji diberikan vitamin D

1200 IU/hari, diminum 3x400 IU setelah makan dan selama 30 hari. Dimana

kelompok kontrol diberikan plasebo kemudian dilakukan monitoring tiap 2

minggu. Data disajikan dalam bentuk mean ± SD kemudian dianalisis

menggunakan SPSS 22 for windows dengan nilai p < 0,05 dianggap signifikan

secara statistik.

Hasil perhitungan uji beda 2 mean dengan uji t untuk sampel independent antar

variable delta-ldl menunjukkan bahwa variabel perubahan itu (delta-ldl) berbeda

secara meyakinkan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Namun untuk

variabel delta-hdl menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan pada derajat

signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Sehingga dapat diartikan terdapat

pengaruh Pemberian Suplementasi Vitamin D terhadap Kadar LDL pada pasien

Geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia,sedangkan Pemberian

Suplementasi Vitamin D terhadap Kadar HDL pada pasien Geriatri dengan

Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia tidak dapat dibuktikan kebenarannya

secara meyakinkan.

xii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Latar Belakang: Proses menua menyebabkan terjadinya degenerasi dan


kemunduran struktur anatomi serta fungsional pada berbagai sistem organ tubuh.
Disfungsi endotel pada pasien DM berhubungan dengan resistensi insulin, yang
akan mengakibatkan kelainan profil lipid yang khas dengan kadar trigliserid yang
tinggi, LDL-C yang tinggi dan HDL-C yang rendah. Sarkopenia merupakan
fenomena kompleks dengan etiologi multifaktorial. vitamin D sebagai nutrisi yang
berperan penting pada sarkopenia dan kekuatan massa otot. pemberian vitamin D
terdapat beberapa hubungan langsung dan tidak langsung pada penyakit jantung
dan pengaruh yang kuat dalam metabolisme lipid terutama LDL dan HDL.

Tujuan:Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin D


terhadap kadar HDL dan kadar LDL pasien geriatri dengan DM tipe 2 dan
sarkopenia.

Metode:suatu rancangan penelitian eksperimental dengan metode randomized


controlled trial. Penelitian dilakukan selama 1 bulan di poliklinik geriatri RSUD
Dr.Moewardi. Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 30
orang secara acak dengan metode simple random sampling lalu dibagi menjadi
dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol masing-masing
n=15. Selama penelitian, regimen terapi tidak dirubah. Pada kelompok perlakuan
diberikan vitamin D 1200 IU/hari, diminum 3x400 IU setelah makan dan selama
30 hari. Data disajikan dalam bentuk mean ± SD kemudian dianalisis
menggunakan SPSS 22 for windows dengan nilai p < 0,05 dianggap signifikan
secara statistik.

Hasil: Hasil perhitungan uji beda 2 mean dengan uji t untuk sampel independent
antara variable delta-LDL pada kelompok perlakuan (4,27±15,68) dan kelompok
kontrol (-11,93± 17,19), menunjukkan bahwa perbedaan variabel perubahan itu
(delta-LDL) pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berbeda secara
meyakinkan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Namun untuk variabel
delta-HDL pada kelompok perlakuan ( -2,60 ± 9,41) dan pada kelompok kontrol (
2,93± 4,77), menunjukkan perbedaan variable perubahan itu (delta-HDL) yang
tidak signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Sehingga
dapat diartikan terdapat pengaruh Pemberian Suplementasi Vitamin D terhadap
Kadar LDL pada pasien Geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia,
namun tidak terdapat pengaruh pemberian vitamin D terhadap kadar HDL pada
pasien Geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia .

Kesimpulan: Pemberian Suplementasi Vitamin D terbukti dapat mempengaruhi


penurunan Kadar LDL pada pasien Geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan
Sarkopenia. Sedangkan Pemberian Suplementasi Vitamin D tidak terbukti dapat
menurunkan kadar HDL secara signifikan pada pasien Geriatri dengan Diabetes
Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia.
Kata kunci: Geriatri, Sarkopenia, Vitamin D, Kadar LDL dan HDL

xiii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kiki Maharani. S961302004. Pengaruh pemberian vitamin D terhadap kadar HDL


dan kadar LDL pasien geriatri dengan DM tipe 2 dan Sarkopenia. THESIS.
Pembimbing I: dr. Fatichati Budiningsih,SpPD,KGer,FINASIM. Pembimbing II:
Prof. Dr. dr. HM Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH, FINASIM. Program Studi
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRACT

Background: Aging process will lead to degeneration and regression of


anatomical structures and function in various organ systems. Endothelial
dysfunction in patient with diabetes mellitus (DM) is associated with insulin
resistance, resulting typical lipid profile abnormality as shown as high triglyceride
levels, high LDL-C and low HDL-C. Sarcoopenia is a complex phenomenon with
multifactorial etiology. vitamin D as a nutrient that plays an important role in
sarcopenia and muscle mass strength. Administration of vitamin D have some
direct and indirect correlation to heart disease and a strong effect in lipid
metabolism, especially on LDL and HDL.

Aim: This study aims to determine the effect of vitamin D toward HDL and LDL
levels of geriatric patients with type 2 DM and sarcopenia.

Method: It was an experimental design study with randomized controlled trial


method. The study was conducted for 1 month in geriatric clinic of Dr.Moewardi
Hospital. 30 subjects who met the inclusion and exclusion criteria were randomly
divided with simple random sampling method into two groups: treatment group
and control group (n = 15). During the study, the therapeutic regimen was not
altered. The treatment group were given vitamin D 1200 IU / day under dose
3x400 IU after meals for 30 days. Data presented in mean ± SD then analyzed
using SPSS 22 for windows with p value <0,05 were considered statistically
significant.

Result: The result of difference test of 2 mean with t test for independent sample
between delta-LDL variable in treatment group (4,27 ± 15,68) and control group
(-11,93 ± 17,19), showed that difference of variable of change (delta-LDL) in the
treatment group and the control group were signifantly different at a 5 percent
significance level (p <0.05). However, for the delta-HDL variable in the treatment
group (-2.60 ± 9.41) and in the control group (2.93 ± 4.77), it showed no
significant change in the delta-HDL variable at a 5 percent significance degree
(p> 0.05). So it can be interpreted that there is an effect of Supplementation of
Vitamin D on LDL Levels in Geriatric patients with Type 2 Diabetes Mellitus and
Sarkopenia, but there is no effect of vitamin D on HDL levels in Geriatric patients
with Type 2 Diabetes Mellitus and Sarkopenia.

Conclusion: Vitamin D supplementation has been shown to influence the


decrease in LDL levels in Geriatric patients with Type 2 Diabetes Mellitus and
Sarkopenia. While Vitamin D Supplementation is not proven to significantly

xiv
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

reduce HDL levels in Geriatric patients with Diabetes Mellitus Type 2 and
Sarkopenia.
Keywords: Geriatrics, Sarcoopenia, Vitamin D, LDL and HDL levels
Kiki Maharani. S961302004. Effect of vitamin D on HDL and LDL levels of
geriatric patients with type 2 DM and sarcoopenia. THESIS. Advisor I: dr.
Fatichati Budiningsih, SpPD, KGer, FINASIM. Advisor II: Prof. Dr. dr. HM
Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH, FINASIM. Internal Medicine Program of
University of Sebelas Maret Surakarta.

xv
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Efek aterogenik pada diabetes .............................................................. 11


Gambar 2.2. Resistensi insulin dan produksi ROS mitokondria ............................... 14
Gambar 2.3. Terjadinya resistensi insulin akibat stres oksidatif ............................... 16
Gambar 2.4. Produksi ROS terinduksi hiperglikemia pada rantai transpor electron
Mitokondria ............................................................................................................... 18
Gambar 2.5. Jalur utama kerusakan akibat hiperglikemia ......................................... 20
Gambar 2.6. Hiperglikemia meningkatkan flux melalui jalur polyol........................ 21
Gambar 2.7. Jalur AGEs ............................................................................................ 23
Gambar 2.8. Hiperglikemia yang menyebabkan aktivasi jalur Protein Kinase-C ..... 25
Gambar 2.9. Jalur hexosamine .................................................................................. 26
Gambar 2.10. Metabolisme Lipoprotein pada resistensi insulin ............................... 33
Gambar 2.11. Dinamika lipid di dalam sel adiposa ................................................... 34
Gambar 2.12. kejadian aterosklerosis akibat hyperlipidemia .................................... 36
Gambar 2.13. Kebutuhan Vitamin D ......................................................................... 40
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian........................................................... 48
Gambar 4.1. Jadwal penelitian .................................................................................. 56
Gambar 4.2. Alur penelitian ...................................................................................... 59
Gambar 5.1. Perbandingan kadar LDL dan kadar HDL sebelum dan sesudah Pemberian
suplementasi vitamin D kelompok perlakuan dan kontrol.......................................... 75

xv
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 2.13. Kebutuhan Vitamin D ................................................................. ......... 31


Tabel 4.1. Jadwal Penelitian ......................................................................... ......... 43
Tabel 5.1. Perbandingan Jenis Kelamin, pendidikan, dan penyakit lain pasien
(HT, Jantung, OA) kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.......... 65
Tabel 5.2. Pengujian Homogenitas variable karakteristik demografis dan klinis
yang bersifat kuantitatif pada kelompok dan kelompok kontrol.......... 67
Tabel 5.3. Perbandingan kadar LDL dan kadar HDL pada Kelompok Perlakuan
dan kelompok kontrol pada kondisi sebelum pemberian vitamin D..... 70
Tabel 5.4. Perbandingan kadar LDL dan kadar HDL pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol pada kondisi sesudah pemberian suplementasi
vitamin D.............................................................................................. 71
Tabel 5.5. Perbandingan Kadar LDL dan kadar HDL sebelum dan sesudah
pemberian suplementasi vitamin D pada kelompok kontrol................. 73
Tabel 5.6. Perbandingan kadar LDL dan kadar HDL sebelum dan sesudah
permberian suplementasi vitamin D pada kelompok perlakuan........... 74
Tabel 5.7. Perbandingan delta LDL dan delta HDL pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol........................................................................... 77

xvi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR SINGKATAN

AGEs :Advance Glycation End Products


AKG : angka kecukupan gizi
ADA : American Diabetes Association
ATP : Adenosin Triphosphat
AR : Aldose reduktase
CO2 : carbon Dioxide
CaBP : Calsium Binding Protein
DM : Diabetes Mellitus
DNA : Deoxyribonucleic Acid
DHC : dehydroxholesterol
DAG : Diasilgliserol
DEXA : dual-energy X-ray absorptiometry
ERK : extracellular signa-related kinase
EWGSOP : The European Working Group on Sarcopenia in Older People
FFA : Free Fatty Acid
FADH2 : Flavin adenine dinucleotide
GFAT : glutamin: fruktosa-6 fosfat amidotransferase
HDL : High Density Lipoprotein
iNOS :inducible Nitric Oxide Syntase
HMB : hydroxy-methyl-butyrate
IDF : International Diabetes Federation
ICAM-1 : E-Selectin, Intercellular Adhesion Molecule-1
LDL : Low Density Lipoprotein
MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase
NO :Nitric Oxide
NAD+ : Nicotinamide Adenine Dinuclotide
NADPH : Nicotinamide Adenine Dinuclotide Phosphate
NFκB : Nucleus factor κ-Betta
NADH :nicotinamide adenine dinucleotide
PKV : resiko penyakit kardiovasculer

xvii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PKC : Protein Kinase C


PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1
PGI2 : Prostacyclin/Prostaglandin I-2
PTH : Paratiroid Hormon
ROS : Reactive Oxygen Species
RNS : reactive nitrogen species
SREBP : sterol regulation element binding promoteor
SOD : superoxide dismutase
SDG : Sorbitol Dehidrogenase
SP1 : Spesific Protein 1
SPPB : short physical performance battery
TCA :Tricarboxylic acid
TRAP : total radical-trapping antioxidant parameter
TGF-β : Tumor Growth Factor
VLDL : Very Low Density Lipoprotein
VCAM-1 :Vascular Cell Adhesion Molecules-1
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
VLDL : Very Low-density Lipoprotein
VDR : reseptor vitamin D
WHO : World Health Organization

xviii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pasien geriatri adalah orang tua berusia 60 tahun ke atas yang memiliki

penyakit majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani,

dan atau kondisi sosial yang bermasalah. Pada proses menua terjadi degenerasi

dan kemunduran struktur anatomi dan fungsional berbagai sistem dan organ

tubuh, misalnya penurunan fungsi organ dan sistem kondusif syaraf, metabolisme

basal, volume cairan tubuh, indeks kardiak, kapasitas vital paru dan fungsi ginjal

(Harun, 2007).

Populasi usia lanjut akan terus bertambah sehingga diprediksi pada tahun

2035, komposisi penduduk antara usia muda dengan usia lanjut mempunyai

perbandingan 4:1. Peningkatan populasi lanjut usia tersebut menyebabkan

insidensi diabetes Mellitus dan resiko penyakit kardiovasculer (PKV) akan

meningkat seiring dengan peningkatan usia. Masalah tersebut semakin

berkembang karena PKV merupakan penyebab kematian terbesar pada usia lanjut,

terutama di negara-negara berkembang (Lakatta, 2004; Dharmojo, 2006).

Diabetes mellitus telah mempengaruhi jutaan penduduk di belahan dunia,

dan angkanya semakin bertambah terus menerus dan mencapai jumlah yang

mengkawatirkan. Diperkirakan angka yang ditunjukkan jumlah penderita diabetes

di dunia akan meningkat sampai 366 juta pada tahun 2030 (Wild, 2004). Dinegara

Amerika Serikat diperkirakan 9% populasi dewasa telah menderita diabetes

(Greggew, 2007). Di Indonesia diperkirakan terjadi kenaikkan `jumlah penderita

1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diabetes mellitus dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 213 juta pada

tahun 2030 (WHO, 2000). Penelitian menunjukkan bahwa modifikasi factor

penyebab penyakit kardiovaskuler, seperti dislipidemia, diabetes, hipertensi, dan

obesitas akan menurunkan risiko pada penyakit kardiovaskuler (Shao et al, 2011).

Diabetes Melitus tipe 2 merupakan sindrom yang heterogen yang ditandai

dengan hiperglikemi kronik akibat interaksi berbagai faktor lingkungan dengan

gen-gen diabetogenik. Interaksi kedua faktor tersebut menimbulkan berbagai

kombinasi gangguan sel β dan resistensi insulin. (Haney PM et al., 2010).

Meningkatnya kadar glukosa darah yang tidak terkontrol menyebabkan

komplikasi kerusakan ginjal, retina, syaraf, dan pembuluh darah. Faktor resiko

yang berperan untuk terjadinya komplikasi adalah hiperglikemia, dislipidemia,

hipertensi, merokok, hiperhomosistein dan disfungsi endotel.

Lanjut usia sering mengalami atherosclerosis sub klinis. (Shao et al, 2011).

Terjadinya atherosclerosis ini sesuai dengan peningkatan faktor risiko

kardiovaskuler, salah satunya adalah gangguan lipid. Penelitian di Padang

menunjukkan pada lanjut usia prevalensi dislipidemia meningkat, 56,1 % lanjut

usia mengalami hiperkolesterolemia, dan prevalensi LDL yang tinggi sebanyak

64,6% (Kamso et al., 2008).

Proporsi populasi usia 60 tahun di indonesia melebihi 12% pada tahun

2020. Kondisi ini dihubungkan dengan peningkatan dalam jumlah besar orang

menderita diabetes (Wild, 2004). Studi kesehatan ABC menunjukkan bahwa pada

orang usia lanjut dengan diabetes tipe 2 berhubungan dengan cepat hilangnya

kekuatan otot kaki dan kualitas otot atau yang disebut dengan

sarcopenia.Sarkopenia berasal dari bahasa Yunani sarx (otot) dan penia

2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(kehilangan); yang berarti kehilangan massa otot. Istilah itu pertama kali

diperkenalkan oleh Irwin Rosenberg pada tahun 1988. Sarkopenia merupakan

sindrom yang ditandai dengan berkurangnya massa otot rangka serta kekuatan

otot secara progresif dan menyeluruh.

Sarkopenia umumnya diiringi inaktivitas fisik, penurunan mobilitas, cara

berjalan yang lambat, dan enduransi fisik yang rendah. Sarkopenia merupakan

kondisi yang dapat terjadi pada usia lanjut yang sehat. The European Working

Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP), diagnosis sarkopenia dapat

ditegakkan bila didapatkan setidaknya dua dari tiga kriteria berikut: massa otot

rendah, kekuatan otot buruk, dan performa fisik yang kurang.

Orang usia lanjut cenderung terjadi defisiensi vitamin D (Gloth, 2005).

Mekanisme defisiensi vitamin D pada lanjut usia melalui beberapa mekanisme

antara lain : asupan vitamin D yang menurun, berkurangnya paparan sinar

matahari, penurunan ketebalan kulit, gangguan absorbs usus, gangguan

hidroksilasi vitamin D di hati dan ginjal (Holick, 2005). Setiati et al menunjukkan

bahwa prevalensi defisiensi vitamin D pada usia lanjut sebesar 35,1%. Rendahnya

kadar vitamin D memiliki risiko 4 kali lipat untuk menjadi frailty. Suplementasi

vitamin D pada usia lanjut dengan defisiensi vitamin D bermanfaat untuk

mencegah sarkopenia, penurunan status fungsional, dan risiko jatuh (Setiati,

2007). Vitamin D berhubungan dengan kelemahan otot, dan sarkopenia ini sering

terjadi pada usia lanjut (Jansenn et al, 2010). Sarkopenia ditandai dengan

penurunan jumlah serabut otot dan peningkatan jumlah lemak dalam otot (Solerte

et al, 2008). Sarkopenia berperan pada terjadinya resistensi insulin pada usia

lanjut, hal ini karena otot skelet adalah tempat utama penyimpanan glukosa oleh

3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

karena aksi insulin. Resistensi insulin sendiri merupakan salah satu mekanisme

terjadinya diabetes mellitus pada usia lanjut (Lee et al, 2015). Beberapa penelitian

juga menunjukkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D dengan kejadian

DM tipe 2 (Mattilla et al, 2007). Vitamin D berperan pada produksi insulin dan

sensitivitas insulin (Palomer et al, 2008).. Vitamin D secara langsung menurunkan

resistensi insulin melalui pengaruhnya pada metabolism kalsium dan fosfor, juga

melalui peningkatan translasi gen reseptor insulin (Maestro et al, 2009).

Pada Keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan

adiposa akan menjadi aktif sehingga terjadi lipolisis trigliserida dan jaringan

adiposa semakin meningkat, dan akan mehasilkan FFA yang berlebihan. Pada

resistensi insulin akan sangat kaya akan trigliserida yang disebut dengan VLDL

kaya trigliserida atau VLDL besar (Kwiterovich, 2009; Malloy, 2008).

Vitamin D diketahui menurun kadarnya pada lanjut usia dan berhubungan

dengan kejadian DM tipe 2 dan sarkopenia, selain itu vitamin D secara langsung

dan tidak langsung berpengaruh pada metabolisme lipid. Oleh karena itu peneliti

ingin meneliti pengaruh pemberian vitamin D terhadap kadar HDL dan kadar

LDL pasien geriatri dengan DM tipe 2 dan sarkopenia.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Adakah pengaruh pemberian Vitamin D terhadap kadar HDL pasien

geriatri dengan Diabetes Melitus tipe 2 dan sarkopenia?

1.2.2. Adakah pengaruh pemberian Vitamin D terhadap penurunan kadar

LDL pasien geriatri dengan Diabetes Melitus tipe 2 dan sarkopenia?

4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1.3. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Membuktikan dan mengetahui pengaruh pemberian Vitamin D terhadap

kadar HDL dan kadar LDL pasien geriatri dengan Diabetes Melitus tipe 2

dan sarkopenia.

1.4.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1.Untuk menganalisis efek pengaruh pemberian Vitamin D

terhadap kadar HDL pasien geriatri dengan Diabetes Melitus tipe

2 dan sarkopenia.

1.3.2.2.Untuk menganalisis efek pengaruh pemberian Vitamin D

terhadap penurunan kadar LDL pasien geriatri dengan Diabetes

Melitus tipe 2 dan sarkopenia

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

1.4.1.1. Memberikan bukti ilmiah mengenai pengaruh pemberian

Vitamin D terhadap kadar HDL dan kadar LDL pasien geriatri

dengan Diabetes Melitus tipe 2 dan sarkopenia..

1.4.1.2. Sebagai bahan infomasi untuk melakukan penelitian lanjutan

mengenai Vitamin D pada lanjut usia.

1.4.2. Manfaat Terapan

1.4.2.1. Vitamin D sebagai terapi tambahan dalam terapi dislipidemia

pasien geriatri dengan Diabetes Melitus tipe 2 dan sarkopenia.

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1.4.2.2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian, meningkatkan

status fungsional, serta meningkatkan kualitas hidup pasien

geriatri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. A. Geriatri

2.1.1. Proses Menua

Menua atau aging adalah suatu proses menghilangnya secara


perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita (Dharmojo, 2006).
Aging merupakan proses alamiah yang terjadi terus menerus dan
dimulai sejak manusia dilahirkan. Terdapat banyak definisi proses menua,
namun teori yang paling banyak dianut saat ini adalah teori radikal bebas
dan teori telomer. Teori radikal bebas menyatakan proses menua terjadi
akibat akumulasi radikal bebas yang merusak DNA, protein, lipid, glikasi
non-enzimatik, dan turn over protein. Kerusakan di tingkat selular
akhirnya menurunkan fungsi jaringan dan organ(Chodzko et al., 2009).
Teori telomer menyatakan hilangnya telomer secara progresif
menyebabkan proses menua. Telomer merupakan sekuens DNA yang
terletak di ujung kromosom yang berfungsi mencegah pemendekan
kromosom selama replikasi DNA. Telomer akan memendek setiap kali sel
membelah. Bila telomer terlalu pendek maka sel berhenti membelah dan
menyebabkan replicative senescence (Warner et al., 2010). Masalah umum
pada proses menua adalah penurunan fungsi fisiologis dan kognitif yang
bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada kondisi
sakit. Laju dan dampak proses menua berbeda pada setiap individu karena
dipengaruhi faktor genetik serta lingkungan.(Chodzko et al., 2009;Warner
et al., 2010). Proses menua mengakibatkan penurunan fungsi sistem organ
seperti sistem sensorik, saraf pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan
sistem respirasi. Selain itu terjadi pula perubahan komposisi tubuh, yaitu
penurunan massa otot, peningkatan massa dan sentralisasi lemak, serta

6
library.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

peningkatan lemak intramuskular. Perlu diingat bahwa perubahan fisik


yang berhubungan dengan proses menua normal bukanlah penyakit.
Individu yang menunjukkan karakteristik menua dikatakan mengalami
usual aging, sedangkan individu yang tidak atau memiliki sedikit
karakteristik menua disebut successful aging .(Warner et al., 2010).
Produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal
bebas) dapat bereaksi dengan berbagai komponen penting selular termasuk
protein, DNA, lipid dan menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi
namun bertahan lama dan mengganggu sel lainnya. Proses menua terjadi
karena adanya kerusakan sel karena radikal bebas merusak sel lainnya
(Setiati, 2006).

2.1.2. Fisiologi proses menua

Secara umum dapat dikatakan pada proses menua terdapat


kecenderungan terjadi penurunan kapasitas fungsional baik pada tingkat
seluler maupun tingkat organ. Akibat penurunan kapasitas tersebut, orang
yang lanjut usia tidak dapat merespon terhadap berbagai rangsangan,
internal maupun eksternal, selektif yang dapat dilakukan oleh orang yang
lebih muda (Setiati, 2006). Hal tersebut disampaikan oleh Walker Cannon
pada tahun 1940 tentang masalah hemostenosis. Dalam konsep ini
dinyatakan bahwa hemostenosis merupakan karakteristik pada penuaan.
Hemostenosis adalah fisiologi penuaan yang berupa keadaan penguranga
cadangan homeostasis yang terjadi seiring dengan peningkatan usia pada
setiap sistem organ. Menurunnya kapasitas berespon terhadap lingkungan
internal cenderung membuat orang usia lanjut sulit menjaga kestabilan
status fisik dan kimiawi atau memelihara homeostasis tubuh (Setiati,
2006).
Seiring dengan bertambahnya usia jumlah cadangan untuk
menghadapi perubahan akan berkurang. Setiap perubahan terhadap
homeostasis merupakan pergerakan menjauhi keadaan dasar(baseline) dan
semakin besar perubahan yang terjadi maka akan semakin besar cadangan
fisiologi yang diperlukan untuk kembali pada homeostasis. Disisi lain
library.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

dengan berkurangnya cadangan fisiologis, maka seseorang usia lanjut akan


mencapai suatu keadaan (yang disebut precipice) yang dapat berupa
keadaan sakit ataupun kematian.
Perubahan yang berjalan semakin lanjut dan semakin progresif
akan menimbulkan gangguan (impairment), kemudian menjadi
ketidakmampuan (disability) yang berlanjut menjadi disfungsi dan
akhirnya timbul rintangan (handicap), proses itu akan mengarah pada
penyakit (disease) (Sumarni dan Guntur, 2008).
2.2. Diabetes Melitus tipe 2 pada usia lanjut

2.2.1. Definisi.

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, DM


merupakan suatukelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya (Perkeni, 2011). Sedangkan menurut WHO 1980,
DM merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Perkeni, 2006).
2.2.2. Prevalensi

Penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan


peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di dunia. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes
Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah
penderita DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun
2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, keduanya
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali
lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011).
Data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun diperkirakan pada
tahun 2030 akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan
diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes daerah urban dan 8,1
juta daerah rural (Perkeni, 2011). Peningkatan prevalensi DM tipe 2
library.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

memberikan risiko komplikasi lebih awal. Faktor yang berperan terhadap


peningkatan kejadian DM tipe 2 meliputi perbedaan etnik, kurangnya
aktifitas fisik, pertambahan usia, obesitas dan riwayat keluarga (Hardy dan
Bell, 2004)

2.2.3. DM tipe 2 dan atherosclerosis

Pada penderita DM terjadi percepatan proses aterosklerosis yang


diterangkan pada gambar 2.1, dimana perbandingan aterektomi koroner
pada subyek nondiabetik dan diabetik terjadi peningkatan prosentase dari
total area yang ditempati oleh jaringan lipid-rich atheromatous dan
peningkatan insiden thrombus. Infiltrasi Makrofag meningkat mendekati 2
kali pada subyek diabetik (Feener dan Dzau, 2006).

Gambar 2.1. Efek aterogenik pada diabetes melitus (Feener dan Dzau, 2006).

Disfungsi endotel pada pasien DM berhubungan dengan resistensi


insulin, menunjukkan peranannya sebagai penyebab awal perkembangan
terjadinya aterosklerosis. Adanya disfungsi endotel dapat diukur dengan
mendeteksi kadar endhotelial soluble adhesion molecules di sirkulasi
darah. Rangsangan proinflamasi tertentu menimbulkan ekspresi molekul-
molekul adhesi seperti E-Selectin, Intercellular Adhesion Molecule-1
(ICAM-1), dan Vascular Cell Adhesion Molecules-1 (VCAM-1) pada
library.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

permukaan sel-sel endotel (Song et al., 2007). ICAM-1 dan VCAM-1


berhubungan dengan molekul yang termasuk dalam golongan
imunoglobulin. Molekul-molekul ini merupakan ligand untuk integritas
leukosit dan digunakan untuk menstabilisasi perlekatan leukosit pada
dinding endotel dan terlibat dalam interaksi seluler pada jaringan
(Albertini et al., 2008).
Ekspresi VCAM-1 diduga hanya di dalam sel-sel endotel, tetapi
juga ditemukan pada sel-sel dendritik, makrofag jaringan, dan sel-sel epitel
tubulus ginjal. Disisi lain, E-Selectin hanya ditemukan pada sel endotel
yang teraktivasi, sehingga hal ini berbeda dengan molekul adhesi yang
lain. Sel endotel melepaskan E-Selectin setelah terjadinya aktivasi invitro.
Interaksi antara E-Selectin dan VCAM-1 dan ligand-ligandnya mendasari
perpindahan sel-sel leukosit pada dinding pembuluh darah yang
mengalami proses inflamasi (Song et al., 2007; Albertini et al., 2008).
Bentuk terlarut dari E-Selectin dan VCAM-1 bisa ditemukan dalam
darah orang normal. Beberapa dari marker ini meningkat signifikan pada
pasien-pasien yang mengalami suatu inflamasi, seperti pada penyakit DM
dan keganasan. Aktivasi jalur Advance Glycation End Products (AGEs)
pada DM telah menunjukkan adanya peningkatan ekspresi E-Selectin dan
VCAM-1 (Albertini et al., 2008).
Hiperglikemi, peningkatan asam lemak bebas, dislipidemi, dan
resistensi insulin meningkatkan produksi ROS, AGEs, dan mengaktifasi
Protein Kinase C (PKC), menurunkan bioavailabilitas dari NO, potensi
vasodilatasi, antiinflamasi, dan efek antitrombotik, sehingga terjadi
penurunan fungsi endotel dan vasokonstriksi, inflamasi, dan trombosis.
Penurunan NO dan peningkatan endothelin-1 (ET-1) dan konsentrasi
angiotensin II (AT II) akan meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
migrasi sel otot polos vaskuler (Albertini et al., 2008).
Disfungsi endotel dan resistensi insulin terjadi akibat suatu
glukotoksisitas dan lipotoksisitas serta adanya inflamasi yang berhubungan
dengan metabolik dan penyakit kardiovaskuler (Muniyappa et al., 2007).
Disfungsi endotel adalah suatu gambaran dan adanya keterkaitan dengan
library.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

resistensi insulin. Individu yang aterosklerosis mempunyai gangguan


disfungsi endotel vasodilator endotel dan aktifitas insulin (Tesfamariam
dan cohen, 1992)
Penelitian San Antonio Heart Study pada laki-laki tanpa diabetes
atau dengan gangguan toleransi glukosa didapatkan hasil bahwa dengan
resistensi insulin yang tinggi akan meningkatkan risiko kardiovaskular 2,5
kali lipat. Meskipun telah dilakukan perbaikan pada faktor risiko
kardiovaskular, LDL-C, HDL-C, Trigliserida, tekanan darah sistolik dan
merokok, subjek yang resisten insulin masih memiliki 2 kali lipat
peningkatan risiko penyakit jantung. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar risiko penyakit kardiovaskular disebabkan adanya resistansi insulin.
Resistensi insulin meningkatkan keluaran asam lemak bebas / Free Fatty
Acid (FFA) dari adiposit ke sel endotel pada arteri, yang ditunjukkan
secara skematik pada Gambar 3. Dalam sel endotel makrovaskuler terjadi
peningkatan fluks FFA oksidasi oleh mitokondria, tetapi tidak dalam sel
endotel mikrovaskuler. Karena asam lemak β-oksidasi dan FFA oksidasi
dari asetil KoA oleh siklus Tricarboxylic acid (TCA) akan menghasilkan
donor elektron yang sama (nicotinamide adenine dinucleotide (NADH)
dan Flavin adenine dinucleotide (FADH2)) dihasilkan oleh oksidasi
glukosa, peningkatan FFA oksidasi mengakibatkan mitokondria
memproduksi ROS berlebih dengan mekanisme seperti hiperglikemia.
Kejadian hiperglikemia dan peningkatan ROS diakibatkan FFA
mengaktifkan jalur AGEs, PKC, hexosamin, dan NFκB (Brownlee, 2005).
library.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.2. Resistensi insulin dan produksi ROS mitokondria (Brownlee, 2005)
Resistensi insulin meningkatkan keluaran Free Fatty Acid (FFA) dari adiposit ke
sel endotel pada arteri.

a. Stress oksidatif
Pasien yang terdapat gangguan disfungsi endotel akan dapat meningkatkan
risiko kardiovaskular. Kehilangan aktivitas biologis dari endotel dapat
menurunkan kadar NO dan mengakibatkan peningkatan ekspresi faktor
protrombotik, adhesi molekuler proinflamasi, sitokin dan faktor-faktor
kemotaktik. Sitokin dapat menurunkan bioaktifitas dari NO, meningkatkan
produksi ROS. ROS menurunkan aktifitas NO secara langsung melalui sel endotel
dan secara tidak langsung melalui inducible Nitric Oxide Syntase (iNOS) atau
Guanylyl Cyclase (Spagnol et al, 2007).
Stress oksidatif menandakan adanya suatu ketidakseimbangan antara
produksi radikal bebas yang berlebihan dengan kapasitas pertahanan antioksidan
tubuh yang menurun, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh.
Komplikasi diabetes akan menurunkan total radical-trapping antioxidant
parameter (TRAP) plasma, dan merusak pertahanan antioksidan alami pada
plasma. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada pasien diabetes kadar reduced
gluthathione, Vitamin C dan Vitamin E yang rendah, dan penanda stres oksidatif
(oxidise-LDL (ox-LDL) dan isoprostane urin) akan naik. Glikolisis dan siklus
Kreb menghasilkan energi yang ekuivalen untuk mendorong sintesis Adenosin
Triphosphat (ATP) mitokondria, sebaliknya hasil samping fosforilasi oksidatif
mitokondria (termasuk radikal bebas, dan anion superoksid) juga ditingkatkan
oleh kadar glukosa tinggi, otooksidasi glukosapun menaikkan radikal bebas. Stres
oksidatif dapat mengakibatkan: (1) menurunkan kadar NO, (2) merusak protein
sel, (3) adhesi lekosit pada endotel meningkat sedang fungsinya sebagai barrier
akan terhambat. ROS mempunyai kemampuan secara langsung menimbulkan
kerusakan makromolekul seluler, dan berperan penting dalam meregulasi ekspresi
gen. ROS mampu mengaktifkan berbagai stress sensitive intracellular signaling
pathways seperti Nucleus factor κ-Betta (NFκB), p38 MAP Kinase, NH2-terminal
jun kinase (JNK/SAPK), PKC, AGE / Receptor –AGE (RAGE), Sorbitol dan
lainnya (Buse et al.,2008 ; Newsholme, 2008).
library.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.3. Terjadinya resistensi insulin akibat stres oksidatif (Newsholme,


2008). Lamanya Kadar plasma glukosa yang tinggi dan FFA akan mengakibatkan
peningkatan produksi (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) yang
menginduksi aktivasi berbagai stres protein kinase diaktifkan seperti JNK, p38,
dan IKKβ. Protein kinase tersebut akan merangsang phosphorylateserin pada
insulin receptor substrate-1(IRS-1). Selain itu, IKKβ menyebabkan aktivasi
NFκB yang akan meningkatkan iNOS mengekspresikan NO produksi. NO dapat
menginduksi IRS-1S-nitrosylation. Efek ini mengakibatkan resistensi insulin di
hati, otot rangka dan jaringan adiposa.

Pada hiperglikemia akan terjadi produksi ROS dalam jumlah besar,


diakibatkan adanya oksidasi glukosa dalam intrasel yang dimulai dengan glikolisis
di sitoplasma serta menghasilkan NADH dan piruvat. Jumlah NADH sitoplasma
dapat mengimbangi rantai elektron transpor mitokondrial dan dapat mereduksi
piruvat menjadi laktat, yang keluar dari sel untuk menyediakan substrat
glukoneogenesis hepatik. Piruvat ditransport ke mitokondria, dioksidasi melalui
siklus TCA untuk menghasilkan carbon Dioxide (CO2), H2O, empat molekul
NADH, dan satu molekul FADH2. NADH dan FADH2 mitokondria akan
menghasilkan energi untuk produksi ATP lewat fosforilasi oksidatif rantai
elektron. Aliran elektron melalui rantai transport elektron mitokondrial melewati
empat Inner membrane–associated enzyme complexes, ditambah cytochrome-c
dan karier mobile yaitu ubiquinone. NADH yang dihasilkan oksidasi glukosa
sitosol dan siklus TCA mitokondria akan mentrasfer elektron ke NADH :
ubiquinone oxidoreductase (Complex I). (Brownlee, 2005; Brownlee et al., 2008).
Complex I mentransfer elektron ke ubiquinone. Ubiquinone dapat juga
tereduksi oleh elektron yang diberikan donated dehidrogenase yang mengandung
library.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

FADH2, termasuk succinate : ubiquinone oxidoreductase (Complex II) dan


glycerol-3-phosphate dehydrogenase. Elektron dari ubiquinone akan tereduksi dan
ditransfer ke ubiquinol : cytochrome-c oxidoreductase (Complex III) oleh
ubisemiquinone radical–generating Q Cycle. Transpor elektron kemudian melalui
cytochrome-c, cytochrome-c oxidase (Complex IV), hingga molekul oksigen.
Transfer elektron melalui komplek I, III, dan IV menghasilkan gradien proton
yang akan memicu ATP synthase (Complex V). Ketika perbedaan potensial
electrochemical yang dihasilkan gradien proton tinggi, umur superoxide-
generating electron transport intermediates seperti ubisemiquinone akan
diperpanjang. (Mayes dan Botham, 2003; Brownlee, 2005; Brownlee et al., 2008).
Rantai transport elekron dalam mitokondria secara sederhana digambarkan
sebagai berikut. Ketika glukosa dimetabolisme melalui siklus Krebs akan
dihasilkan donor elektron dalam bentuk NADH dan FADH2. Elektron dari NADH
masuk ke kompleks I sedangkan FADH2 ke kompleks II, kemudian berturut-turut
menuju koenzim Q, kompleks III, sitokrom C, kompleks IV dan terakhir ke
molekul O2 yang akan direduksi menjadi air. Rangkaian reaksi tersebut
merupakan pompa proton yang menyebabkan perbedaan gradien. Perbedaan
gradien tersebut menimbulkan energi yang memutar ATP sintase sehingga
terbentuk ATP, hal ini dijelaskan pada gambar 2.4 (Brownlee, 2005; Brownlee et
al., 2008).

Gambar 2.4. Produksi ROS terinduksi hiperglikemia pada rantai transpor elektron
mitokondria (Brownlee dkk, 2008) produksi ROS dalam jumlah besar akibat dari
library.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

adanya oksidasi glukosa dalam intrasel. NADH yang dihasilkan oksidasi glukosa
sitosol dan siklus TCA mitokondria memberikan elektron ke NADH : ubiquinone
oxidoreductase (Complex I) kemudian ke ubiquinone dilanjutkan ke succinate :
ubiquinone oxidoreductase (Complex II) dan glycerol-3-phosphate
dehydrogenasedan ke ubiquinol : cytochrome-c oxidoreductase (Complex III)
oleh ubisemiquinone radical–generating Q Cycle. Transpor elektron kemudian
melewati cytochrome-c, cytochrome-c oxidase (Complex IV). Isoform
mitokondrial dari superoxide dismutase (SOD) mendegradasi radikal bebas
oksigen ini menjadi hidrogen peroksida, yang akan dikonversi menjadi H2O dan
O2 oleh enzim lain.

Pada sel hewan yang menderita diabetes dengan kadar glukosa tinggi,
diman glukosa yang dioksidasi di siklus TCA lebih banyak, sehingga mendorong
lebih banyak donor elektron (NADH and FADH2) ke rantai transpor elektron
transpor. Akibatnya, gradien voltase melalui membran mitokondrial akan
meningkat hingga ambang batas kritikal tercapai. Saat itu transfer elektron di
dalam complex III dihambat, mengakibatkan elektrons kembali ke coenzyme Q,
yang mendonasikan elektron ke molekul oksigen dan menghasilkan superoksida
sesuai gambar 2.3. Isoform mitokondrial dari superoxide dismutase (SOD)
mendegradasi radikal bebas oksigen ini menjadi hidrogen peroksida, dan akan
dikonversi menjadi H2O dan Oxygen (O2) oleh enzim lain (Brownlee, 2005)

b. Empat Jalur Utama Kerusakan Akibat Hiperglikemia

Hiperglikemia dapat mengganggu sistem transportasi glukosa, baik di


dalam maupun diluar sel. Hiperglikemia kronik pada pasien dengan DM tipe akan
mengakibatkan peningkatan stres oksidatif melalui 4 mekanisme yaitu :
meningkatnya polyol pathway flux, pembentukan AGEs, peningkatan aktivasi
PKC, hexosamine pathway flux dan aldose reduktase (Brownlee, 2005;
Newsholme et al., 2007). Produksi ROS yang berlebihan menyebabkan
ketidakseimbangan antara ROS (oksidan) dengan scavenger system (antioksidan)
dan berlanjut dengan terpicunya empat mekanisme komplikasi DM seperti pada
gambar 5 (Van-den Oeven et al., 2010).
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.5. Jalur utama kerusakan akibat hiperglikemia (Brownlee, 2005)


Peningkatan kadar glukosa dalam darah akan mengakbatkan peningkatan
superoksida melalui 4 jalur yaitu polyol, AGEs, PKC, hexosamin

1) Jalur polyol

Jalur polyol, yang ditunjukkan secara skematik pada Gambar 6, berfokus


padaenzim Aldose reduktase (AR). Aldose reduktase aktif bila konsentrasi
glukosa dalam sel melebihi nilai hiperglikemia tertentu. Aldosa reduktase
menggunakan kofaktor Nicotinamide Adenine Dinuclotide Phosphate (NADPH)
untuk mereduksi glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dioksidasi menjadi
fruktosa melalui Sorbitol Dehidrogenase (SDG). Reaksi ini menggunakan
Nicotinamide Adenine Dinuclotide (NAD+) sebagai kofaktor. NADPH juga
merupakan kofaktor yang esensial untuk regenerasi antioksidan intraseluler yang
penting, reduced glutathione. Menurunnya NADPH sel akibat fluks AR sangat
mengganggu terbentuknya NO di sel endotel dan mengubah imbangan redoks.
Peningkatan fluks lewat SDG menaikkan rasio NADH/NAD+ yang berpotensi
mengganggu aktivitas enzim selanjutnya. Rasio yang meningkat ini penting untuk
diperhatikan sebab keadaan ini akan menghambat glyceraldehyde-3-phosphate
dehydrogenase (untuk membentuk piruvat/ laktat) dan mempercepat produksi a-
glycerol-3-phosphate, satu prekursor DAG yang merangsang PKC dan
meningkatnya jalur poliol menurunkan mioinositol. Ada 3 keterangan mengapa
mioinositol pada diabetes rendah, yaitu adanya glukosa berkompetisi dengan
library.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

mioinositol dalam hal uptake, adanya sorbitol menghambat transpor mioinositol


dan adanya uptake mioinositol (yang Na-dependent) dihambat oleh naiknya
konsentrasi Na+ intrasel. Dengan mengurangi jumlah glutathione, jalur polyol
meningkatkan kerentanan terhadap stres oksidatif intraselular (Brownlee, 2005 ;
Newsholme et al., 2007).

Gambar 2.6. Hiperglikemia meningkatkan flux melalui jalur polyol (Brownlee,


2005) Ada 3 keterangan mengapa mioinositol pada diabetes ini rendah: (a)
glukosa berkompetisi dengan mioinositol dalam hal uptake,(b) sorbitol
menghambat transpor mioinositol dan (c) uptake mioinositol (yang Na-dependent)
dihambat oleh naiknya konsentrasi Na+ intrasel. Dengan mengurangi jumlah
glutathione, jalur polyol meningkatkan kerentanan terhadap stres oksidatif
intraselular

2) Jalur AGE

AGE adalah kelompok produk yang dihasilkan glikasi nonenzimatik


dengan protein yang beragam dalam struktur kimiawinya. Terbentuknya AGE
dapat merusak sel karena mengganggu struktur protein intrasel dan esktrasel
seperti kolagen. AGE dapat mengubah faal sel dengan mengikat reseptor RAGE,
satu reseptor transmembran, kelompok "immunoglobulin superfamily of proteins".
Ikatan ini merangsang sinyal Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK), PKC,
ROS, produksi sitokin inflamasi dan faktor pertumbuhan. Reseptor lain seperti
macrophage scavenger receptor, P60, P90 dan galectin-3 akan mengikat AGE.
Pada endotel mikrovaskuler manusia, AGEs menghambat produksi prostasiklin
dan menginduksi Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) dan akibatnya
agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin yang mengakibatkan terjadinya trombosis.
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Urutannya sebagai berikut AGE menjadi  RAGE  stres oksidatif dan


penurunan Prostacyclin/Prostaglandin I-2 (PGI2), meningkatnya PAI-1, dimana
keduanya dipengaruhi oleh adanya cAMP. Mikrotrombus yang dirangsang oleh
AGE berakibat hipoksia lokal, meningkatkan angiogenesis dan akhirnya progresi
mikroangiopati (Yamagishi, 1998). Secara garis besar terdapat 3 mekanisme
kerusakan yang diakibatkan AGE, yaitu : (1) modifikasiprotein intrasel yang
penting, seperti protein yang terlibat dalam regulasitranskirpsi gen, (2) Prekursor
AGE dapat berdifusi keluardari sel danmemodifikasi molekul matriks ekstrasel di
sekitarnya, mengakibatkan perubahan signal antara matriks dan sel dan
mengakibatkan disfungsi selular, (3) Prekursor AGE berdifusi keluar dari sel
danmemodifikasiprotein sirkulasi pada darah seperti albumin. Protein sirkulasi
yang termodifikasi dapat melekat pada reseptor AGE dan dengan
mengaktivasikannya mengakibatkan produksi sitokin inflamasi dan faktor
pertumbuhan yang berbuah kerusakan vaskular (Brownlee, 2005).

Gambar 2.7. Jalur AGEs (Brownlee, 2005) mekanisme kerusakan yang


diakibatkan AGE, yaitu : (1) modifikasiprotein intrasel yang penting, misalnya
protein yang terlibat dalam regulasitranskirpsi gen, (2) Prekursor AGE dapat
berdifusi keluardari sel danmemodifikasi molekul matriks ekstrasel di sekitarnya,
mengakibatkan perubahan signal antara matriks dan sel dan mengakibatkan
disfungsi selular, (3) Prekursor AGE berdifusi keluar dari sel
danmemodifikasiprotein sirkulasi pada darah seperti albumin
library.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

3) Jalur protein kinase C (PKC)

Diasilgliserol (DAG) merupakan kofaktor penting untuk mengaktifkan


isoform klasik protein kinase-C,-β,-δ,-α dan PKC adalah molekul sinyal yang
banyak berperan dalam faal vaskuler seperti permiabilitas, vasodilatasi, aktivasi
endotel, sinyal pertumbuhan. Pospholipase-C mengaktifkan pembentukan PKC
dengan cara merangsang kalsium dan kadar DAG. Keadaan patologis bisa
ditemukan pada diabetes karena glycolitic pathway flux meningkatkan
glyceraldehide-3-phospatase intrasel, sintesis DAG dan aktivasi PKC. Disamping
itu PKC dan DAG secara indirek dapat diaktivasi ROS dan AGE (Mario, 2003 ;
Sheetz, 2006). Aktivasi PKC pada diabetes dan hiperglikemi berkorelasi dengan
naiknya DAG di jaringan vaskular (retina, aorta, jantung dan glomerulus) dan di
jaringan bukan vaskuler (hati dan otot) tetapi tidak disusunan saraf, sentral
maupun perifer. Dengan menaikkan kadar glukosa dari 100 menjadi 400 mg/dl,
maka dalam 3-5 hari, terlihat DAG naik secara maksimal di sel retina, aorta dan
otot polos (Gabrielle, 2001). PKC terdapat di SSP, spinal cord,otot skelet, sistem
hemopoietik, sel β pankreas, monosit, otak, retina, ginjal dan jantung (Way,
2001). Meningkatnya aksi PKC pada pembuluh retina, ginjal dan saraf
menyebabkan kerusakan vaskuler dengan cara : (a) permeabilitas meningkat (b)
disregulasi NO sintase yang menghasilkan Enos (c) terjadi adhesi lekosit (d)
gangguan aliran darah (e) induksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
dan Tumor Growth Factor(TGF-β)), angiogenesis, permeabilitas dan sinyal
(VEGF dan Endothelin-1 (ET-1). (f) menaikkan aktivitas Na+-K+-ATPase (g)
kontraktilitas, kontraksi dan koagulasi meningkat sehingga kemungkinan
restenosispun naik. (h) penebalan membran basal yang berperan pada alur sinyal,
khususnya yang menggunakan MAP kinase dari nuclear transcription factor
(Brownlee, 2005).
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.8. Hiperglikemia yang menyebabkan aktivasi jalur Protein Kinase-C


(Brownlee, 2005) Peningkatan aksi PKC pada pembuluh retina, ginjal dan saraf
menyebabkan kerusakan vaskuler dengan cara : (a) permeabilitas meningkat
(b)disregulasi NO sintase yang menghasilkan Enos (c) terjadi adhesi lekosit (d)
gangguan aliran darah (e) induksi growth factors (VEGF, TGF-β), angiogenesis,
permeabilitas dan sinyal (VEGF, ET-1). (f) menaikkan aktivitas Na+-K+-ATPase
(g) kontraktilitas, kontraksi dan koagulasi meningkat sehingga kemungkinan
restenosispun naik. (h) penebalan membran basal yang berperan pada alur sinyal,
khususnya yang menggunakan MAP kinase dari nuclear transcription factor.

4) Jalur Hexosamine
Ketika kadar glukosa tinggi di dalam sel, sebagian besar glukosa yang
dimetabolisme melalui glikolisis, pertama akan menjadi glukosa-6 fosfat,
kemudian fruktosa-6 fosfat, dan kemudian sisanya akan melalui jalur glikolitik.
Pada beberapa dari fruktosa-6-fosfat akan dialihkan ke jalur sinyal di mana enzim
yang disebut GFAT (glutamin: fruktosa-6 fosfat amidotransferase) mengubah
fruktosa-6 fosfat menjadi glucosamine-6 fosfat dan akhirnya menjadi uridin
difosfat (UDP) danN-asetil glukosamin. Setelah itu N-asetil glukosamin akan
diletakkan ke residu serin dan treonin dari faktor transkripsi, seperti proses
fosforilasi, dan over-modifikasi oleh glukosamin ini sering menyebabkan
perubahan patologis dalam ekspresi gen (Brownlee, 2005).
Meningkatnya modifikasi dari faktor transkripsi Spesific Protein 1 (SP1)
mengakibatkan peningkatan ekspresi Transforming Growth Faktor-β1 (TGFβ1)
dan PAI-1, yang keduanya merusak pembuluh darah pada diabetes. Hexosamine
adalah faktor yang berperan dalam patogenesis komplikasi diabetes, telah
ditunjukkan dalam kelainan ekspresi gen sel glomerulus akibat kejadian
hiperglikemia dan disfungsi kardiomiosit yang diinduksi hiperglikemia dalam
percobaan kultur sel. Dalam plak arteri karotid dari subyek dengan DM tipe 2,
library.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

modifikasi protein sel endotel oleh jalur hexosamine juga meningkat secara
signifikan (Brownlee, 2005).

Gambar 2.9. Jalur hexosamine (Brownlee, 2005)

c. Jalur Radikal Bebas pada Resistensi Insulin dan Diabetes Mellitus


Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik berupa atom maupun
molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan pada lapisan luarnya atau
memiliki satu atau lebih elektron bebas (Droge, 2002). Atom atau molekul dengan
elektron bebas ini dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dan beberapa
fungsi fisiologis seperti membunuh virus dan bakteri. Namun oleh karena
mempunyai tenaga yang sangat tinggi, zat ini juga dapat merusak jaringan normal
bila jumlahnya terlalu banyak. Oleh karena radikal bebas sangat reaktif, maka
mempunyai spesifitas kimia yang rendah sehingga dapat bereaksi dengan berbagai
molekul lain, seperti protein, lemak, karbohidrat, dan DNA. Untuk mendapatkan
stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli dalam
waktu lama dan segera berikatan dengan bahan sekitarnya. Radikal bebas akan
menyerang molekul stabil terdekat dan mengambil elektron, zat yang terambil
elektronnya akan menjadi radikal bebas juga sehingga akan memulai suatu reaksi
berantai, yang akhirnya terjadi kerusakan sel tersebut (Droge, 2002).

2.3. Sarkopenia

Sarkopenia berasal dari bahasa Yunani sarx (otot) dan penia (kehilangan);
yang berarti kehilangan massa otot. Istilah itu pertama kali diperkenalkan oleh
Irwin Rosenberg pada tahun 1988. Sarkopenia merupakan sindrom yang ditandai
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

dengan berkurangnya massa otot rangka serta kekuatan otot secara progresif dan
menyeluruh. Sarkopenia umumnya diiringi inaktivitas fisik, penurunan mobilitas,
cara berjalan yang lambat, dan enduransi fisik yang rendah. Sarkopenia
merupakan kondisi yang dapat terjadi pada usia lanjut yang sehat. Walaupun
sarkopenia terutama terjadi pada usia lanjut, terdapat kondisi lain yang dapat
menyebabkan sarkopenia pada dewasa muda, seperti malnutrisi, gaya hidup
sedenter, keganasan, dan cachexia. Sarkopenia dimulai saat usia 40-50 tahun dan
melaju sekitar 0,6% setiap tahun berikutnya. Penurunan massa otot dengan laju
tersebut biasanya belum memiliki dampak buruk, namun ketika otot tidak
digunakan seperti pada kondisi sakit penurunan massa otot memberikan dampak
buruk.( Narici et al., 2010)
Sarkopenia merupakan fenomena kompleks dengan etiologi multifaktorial.
Proses terjadinya sarkopenia melibatkan interaksi sistem saraf tepi dan sentral,
hormonal, status nutrisi, imunologis, dan aktifitas fisik yang kurang. Pada tingkat
molekular, sarkopenia disebabkan penurunan kecepatan sintesis protein otot
dan/atau peningkatan pemecahan protein otot yang tidak proporsional. Proses
neuropati paling berpengaruh karena bertanggungjawab pada degenerasi saraf
motor alfa yang mensarafi serabut otot dan menyebabkan kehilangan motor unit (
Narici et al., 2010). Menurut The European Working Group on Sarcopenia in
Older People (EWGSOP), diagnosis sarkopenia dapat ditegakkan bila didapatkan
setidaknya dua dari tiga kriteria berikut: massa otot rendah, kekuatan otot buruk,
dan performa fisikyang kurang. Penurunan massa otot adalah massa otot kurang
dari 2 kali standar deviasi referensi populasi laki-laki atau perempuan dewasa
muda yang sehat di daerah tersebut. Kriteria diagnosis tersebut sulit diterapkan di
Indonesia karena belum ada data normatif besaran massa otot pada populasi
dewasa muda serta data referensi kekuatan otot pada berbagai kelompok usia dan
jenis kelamin. Selain itu, hingga kini belum ada standar teknik pengukuran
besaran massa otot untuk usia lanjut.
Teknik yang dianggap sebagai baku emas adalah pemeriksaan dual-energy
X-ray absorptiometry (DEXA). Teknik lainnya adalah bioelectric impedans,
computed tomography, magnetic resonance imaging, serta pengukuran ekskresi
kreatinin urin, pengukuran antropometri dan aktivasi netron. Pengukuran kekuatan
library.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

otot yang direkomendasikan oleh EWGSOP adalah mengukur kekuatan genggam


tangan sedangkan performa fisik dapat diukur dengan skoring short physical
performance battery (SPPB) yang merupakan penjumlahan skor dari 3 tes:
kecepatan berjalan biasa 4 menit, keseimbangan, dan tes duduk berdiri. Alternatif
pengukuran lainnya adalah tes berjalan 6 menit, tes timed go-up and go, dan tes
kekuatan menaiki tangga. Salah satu cara deteksi dini sarkopenia adalah
penurunan kecepatan berjalan yakni kurang dari 0,8 meter/ detik pada tes jalan 4
menit (Morley et al., 2008)
Sarkopenia memiliki peran penting pada patogenesis dan etiologi sindrom
frailty.Frailty merupakan sindrom klinis yang disebabkan akumulasi proses
menua, inaktivitas fisik akibat tirah baring lama dan turunnya berat badan, nutrisi
yang buruk, gaya hidup serta lingkungan yang tidak sehat, penyakit penyerta,
polifarmasi serta genetik dan jenis kelamin perempuan. Faktor tersebut saling
berkaitan membentuk siklus dan menyebabkan malnutrisi kronis disertai
disregulasi hormonal, inflamasi dan faktor koagulasi. Kondisi sarkopenia
menyebabkan penurunan kapasitas fisik sehingga usia lanjut membutuhkan usaha
yang jauh lebih besar untuk melakukan aktivitasfisik tertentu dibanding usia
muda. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan down regulation sistem fisiologis
tubuh terutama kardiovaskular dan muskuloskeletal sehingga kondisi sarkopenia
menjadi semakin berat. Perubahan itu menurunkan laju resting metabolism dan
total energy expenditure yang merupakan gambaran khas malnutrisi kronis. Siklus
frailty terus berputar dan akhirnya menyebabkan disabilitas serta ketergantungan.
Kriteria diagnosis sindrom frailty menurut The Frailty Task Force dari
American Geriatric Society adalah bila terdapat tiga dari lima gejala berikut:
penurunan berat badan yang tidak diinginkan (4-5 kg dalam 1 tahun); kelelahan
yang disadari sendiri; kelemahan (kekuatan genggam tangan <20% pada tangan
dominan); kecepatan berjalan yang kurang; dan penurunan aktivitas fisik (<20%
pengeluaran kalori). (Setiati, 2013; Rockwood et al., 2000)
Pencegahan dan tatalaksana yang tepat terhadap sarkopenia dan frailty
merupakan salah satu upaya untuk memertahankan dan memerbaiki kualitas hidup
usia lanjut. Mekanisme sarkopenia yang multifaktorial menyebabkan tatalaksana
sarkopenia juga harus dilakukan secara holistik. Upaya pencegahan yang dapat
library.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

dilakukan adalah asupan diet protein, vitamin & mineral yang cukup, serta olah
raga teratur. Perlu pemantauan rutin kemampuan dasar seperti berjalan,
keseimbangan, fungsi kognitif, pencegahan infeksi dengan vaksin, serta antisipasi
kejadian yang dapat menimbulkan stres misalnya pembedahan elektif dan
reconditioning cepat setelah mengalami stres dengan renutrisi dan fisioterapi
individual (Setiati, 2011).Nutrisi yang berperan pada sarkopenia adalah protein,
vitamin D, antioksidan, selenium, vitamin E, dan C. Protein merupakan nutrisi
utama yang berperan pada sarkopenia. Asupan protein yang dianjurkan untuk
orang dewasa adalah 0,8 g/kg berat badan/hari. Orang usia lanjut umumnya
mengonsumsi protein kurang dari angka kecukupan gizi (AKG). Penelitian
multisenter di 15 propinsi di Indonesia mendapatkan bahwa 47% usia lanjut
mengonsumsi protein kurang dari 80% AKG. Proporsi protein yang adekuat
merupakan faktor penting; bukan dalam jumlah besar pada sekali makan (Setiati et
al., 2013).Hal penting lainnya adalah kualitas protein yang baik, yaitu protein
sebaiknya mengandung asam amino esensial. Leusin adalah asam amino esensial
dengan kemampuan anabolisme protein tertinggi sehingga dapat mencegah
sarkopenia. Leusin dikonversi menjadi hydroxy-methyl-butyrate (HMB).
Suplementasi HMB meningkatkan sintesis protein dan mencegah proteolisis.
Nutrisi kedua yang berperan penting pada sarkopenia dan kekuatan massa
otot adalah vitamin D. Orang usia lanjut berisiko mengalami defisiensi vitamin D
mendapatkan prevalensi defisiensi vitamin D pada usia lanjut sebesar 35,1%.
Rendahnya kadar vitamin D memiliki risiko 4 kali lipat untuk menjadi frailty.
Suplementasi vitamin D padausia lanjut dengan defisiensi vitamin D bermanfaat
untuk mencegah sarkopenia, penurunan status fungsional, dan risiko jatuh (Setiati
et al., 2007). Sumber vitamin D banyak didapatkan pada ikan salmon, tuna, dan
makarel. Pajanan sinar matahari juga merupakan salah satu sumber vitamin D,
namun letak geografis, waktu berjemur, kandungan melanin dalam kulit, dan
penggunaan tabir surya dapat memengaruhi kandungan vitamin D. Salah satu
bentuk vitamin D adalah cholecalciferolyang merupakan analog vitamin D non-
endogen. cholecalciferolbermanfaat untuk mencegah jatuh, meningkatkan
keseimbangan, fungsi dan kekuatan otot.(Richy et al., 2008).
library.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Faktor lain yang berperan penting pada sarkopenia adalah aktivitas fisik.
Aktivitas fisik dapat menghambat penurunan massa dan fungsi otot dengan
memicu peningkatan massa dan kapasitas metabolik otot sehingga memengaruhi
energy expenditure, metabolise glukosa, dan cadangan protein tubuh. Resistance
training merupakan bentuk latihan yang paling efektif untuk mencegah sarkopenia
dan dapat ditoleransi dengan baik pada orang tua. Program resistance training
dilakukan selama 30 menit setiap sesi, 2 kali seminggu (Richy et al., 2008).Untuk
mencegah sarkopenia juga diperlukan asupan protein yang adekuat. Kedua
intervensi tersebut harus berjalan beriringan, karena pemberian nutrisi tanpa
aktivitas fisik dapat menyebabkan overfeeding, yang akan dikonversi menjadi
lemak, sehingga justru membahayakan. Aktivitas fisik tanpa asupan nutrisi yang
adekuat menyebabkan keseimbangan protein negatif dan menyebabkan degradasi
otot (Sullivan et al.,, 2009).Kombinasi resistance training dengan intervensi
nutrisi berupa asupan protein yang cukup dengan kandungan leusin, khususnya
HMB yang adekuat, merupakan intervensi terbaik untuk memelihara kesehatan
otot orang usia lanjut (Setiati et al., 2013). Hal terpenting yang perlu digarisbawahi
adalah sarkopenia merupakan faktor kunci dalam patogenesis frailty pada usia
lanjut serta merupakan kondisi yang dapat dimodifikasi. Oleh karena itu peran
nutrisi dan aktivitas fisik menjadi modalitas utama dalam pencegahan serta
tatalaksana sarkopenia dan frailty.

2.4. Metabolisme lemak pada geriatri dengan DM tipe 2 dan sarcopenia

Diabetes Melitus dan sindrom metabolik mempunyai kelainan dasar yang


sama yaitu resistensi insulin. Metabolisme lipoprotein sedikit berbeda dengan
pasien tanpa adanya resistensi insulin (Malloy, 2004). Pada Keadaan resistensi
insulin, hormon sensitive lipase di jaringan adiposa akan menjadi aktif sehingga
terjadi lipolisis trigliserida dan jaringan adiposa semakin meningkat, dan akan
mehasilkan FFA yang berlebihan. FFA memasuki aliran darah, sebagian akan
digunakan menjadi energi dan sebagian lagi akan dibawa menuju ke hati sebagai
bahan baku pembentukan trigliserid. FFA di hati akan menjadi trigliserida
kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Pada resistensi insulin akan sangat kaya
library.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

akan trigliserida yang disebut dengan VLDL kaya trigliserida atau VLDL besar
(Kwiterovich, 2000; Malloy, 2004).
Sirkulasi trigliserida pada VLDL akan bertukar dengan kolesrterol ester
dari LDL-C, sehingga terbentuk LDL-C yang kaya akan trigliserida. Trigliserida
yang terkandung dalam LDL-C akan terhidrolisis oleh enzim hepatic lipase
sehingga terbentuk small dense LDL. Pada resistensi insulin enzim hepatic lipase
akan semakin meningkat. Pada sd-LDL ini akan mudah teroksidasi dan bersifat
aterogenik. Trigliserid VLDL juga akan bertukar dengan kolesterol ester dari
HDL dan menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi kaya akan trigliserid,
sehingga akan mudah dikatabolisme oleh ginjal dan menurunkan kadar HDL.
Pada resistensi insulin, mekanisme ini akan mengakibatkan kelainan profil lipid
yang khas dengan kadar trigliserid yang tinggi, LDL-C yang tinggi dan HDL-C
yang rendah. (Kwiterovich, 2000; Malloy, 2004).

Gambar 2.10. Metabolisme Lipoprotein pada resistensi insulin (Kwiterovich


PO, 2000) Resistensi insulin akan dapat meningkatkan kadar VLDL besar dan
meningkatkan kadara sd-LDL dan menurunkan kadar HDL-C sehigga terjadi
dislipidemia pada DM tipe 2

Asam-asam lemak akan disimpan jika tidak diperlukan untuk memenuhi


kebutuhan energi. Tempat penyimpanan utama asam lemak adalah jaringan
adiposa. Adapun tahap-tahap penyimpanan tersebut adalah: Asam lemak
ditransportasikan dari hati sebagai kompleks VLDL. Asam lemak kemudian
diubah menjadi trigliserida di sel adiposa untuk disimpan. Gliserol 3-fosfat
dibutuhkan untuk membuat trigliserida. Ini harus tersedia dari glukosa. Akibatnya,
library.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

kita tak dapat menyimpan lemak jika tak ada kelebihan glukosa di dalam tubuh
(Kwiterovich, 2000).
Pada DM tipe 2 akan berhubungan dengan peningkatan kadar FFA dalam
plasma, yang mampu menyebabkan kejadian resistensi insulin. Proses lipolisis
dari triasil gliserol pada jaringan adiposit akan menyebabkan peningkatan
kadar FFA dan gliserol di jaringan adiposit. Peningkatan TNF α pada adiposit
berhubungan dengan peningkatan FFA plasma dan mengurangi sensitifitas insulin
pada pasien DM dengan obesitas. TNFα merangsang lipolisis secara kronik
melalui aktifasi extracellular signa-related kinase (ERK) 1 dan 2(Ren et al.,
2006).

Gambar 2.11. Dinamika lipid di dalam sel adiposa (Kwiterovich, 2000).


Tahap-tahap sintesis dan degradasi trigliserida, dimana glukosa dari liver dan
VLDL dari liver akan dirubah menjadi asetil CoA menjadi trigliserida dan akan
dijadikan gilserol dan asam lemak ke liver kembali dalam regulasi normal

Pada pasien DM tipe 2 terdapat penurunan kadar endogen dari eNOS (Lin
et al., 2002). eNOS akan berperan terhadap pengaturan tonus vaskuler, aktifitas
platelet, adhesi leukosit dan perkembangan atherosklerosis (Synow et al., 2005).
Peningkatan konsentrasi ADMA disebebakan oleh akubat peningkatan sisntesis
dan penurunan degradasi (Stuhlinger et al., 2002). Meningkatnya ADMA pada
pasien DM tipe 2 akan berkontribusi pada penyakit kardiovaskuler. Peningkatan
kadar plasma ADMA juga akan terjadi pada hiperkolesterolemia pada kelinci dan
pasien dengan occlusive vascular disease atau hiperkolesterolemia (Fonseca et al.,
2004).
Dislipidemia adalah salah satu faktor risiko utama untuk penyakit
kardiovaskular pada DM. Karakteristik dislipidemia pada diabetes adalah
library.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

konsentrasi trigliserida plasma yang tinggi, konsentrasi kolesterol HDL rendah


dan peningkatan konsentrasi partikel LDL-kolesterol kecil padat. Perubahan lipid
berhubungan dengan DM dikaitkan dengan peningkatan keluaran FFA sekunder
untuk resistensi insulin (Mooradian, 2009).
Hiperlipidemia dan faktor risiko lain yang diduga menyebabkan kerusakan
endotel. Sel busa dari plak ateromatosa berasal dari makrofag dan selotot polos,
makrofag melalui reseptor lipoprotein antara lain Very Low-density Lipoprotein
(VLDL) dan LDLyang mengenali perubahan reseptor scavenger (misalnya, LDL
teroksidasi), dan dari sel-sel otot polos melalui mekanisme yang belum diketahui.
Lipid ekstraseluler berasal dari insudation dari lumen pembuluh darah, terutama
di hadapan hiperkolesterolemia, dan juga dari foam cell mengalami degenerasi.
Akumulasi kolesterol dalam plak mencerminkan ketidakseimbangan antara
pemasukan dan pengeluaran HDL kolesterol mungkin jelas membantu dari
akumulasi tersebut. Sel otot polos bermigrasi ke intima, berkembang biak,dan
menghasilkan matriks ekstraseluler, termasuk kolagen dan proteoglikan. (Kummar
et al., 2005).

Gambar 2.12. Kejadian aterosklerosis akibat hiperlipidemia (Kummar et al.,


2005).
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

2.5. Vitamin D

Vitamin D berbentuk kristal putih yang tidak larut di dalam air, tetapi larut
di dalam minyak dan zat-zat pelarut lemak. Vitamin ini tahan terhadap panas dan
oksidasi. Penyinaran ultraviolet mula-mula menimbulkan aktivitas vitamin D,
tetapi bila terlalu kuat dan terlalu lama terjadi pengrusakan dari zat-zat yang aktif
tersebut (Norman et al., 2008).
Vitamin D yang dikenal sebagai vitamin sinar matahari, mungkin diakui
sebagai hormon autokrin dan parakrin untuk mengatur fungsi biologis selain dari
efek klasik pada tulang dan homeostasis kalsium. Sebagian besar penelitian yang
berkembang menyatakan vitamin D yang memiliki bentuk aktif calcitriol (1,25-
dihidroxyvitaminD3 [ 1,25 (OH)2D3] ) adalah hormon secosteroid yang mengikat
reseptor vitamin D (VDR), anggota dari superfamili reseptor inti untuk hormon
steroid, hormon tiroid, dan asam retinoat. Ligan VDR mengatur kalsium dan
metabolisme tulang, proliferasi dan diferensiasi sel kontrol dan sebagai
imunoreguler. Efek imunoregulator terutama pada kekurangan vitamin D. Data
epidemiologis menunjukkan hubungan yang signifikan antara kekurangan vitamin
D dan peningkatan kejadian atau resiko penyakit autoimun dan kardiovaskuler
serta beberapa kanker. Selain itu, peran imunomodulator dari vitamin D pada
asma dan gangguan alergi lainnya semakin diakui. Berdasarkan peran penting
vitamin D dan VDR dalam sistem kekebalan tubuh menjadi target terapi yang
mendapatkan minat besar dari praktisi kesehatan (Norman, 2008)
Proses sintesis dari vitamin D melalui beberapa proses dalam tubuh.
Vitamin D3 diproduksi di lapisan basal dan suprabasal dari kulit dengan
pembelahan fotolitik dari 7-dehydroxholesterol (7-DHC). Pada paparan sinar
matahari, 7DHC akan mengabsorbsi sinar ultra violet (280 sampai 315 nm) dan
membentuk precalciferol (previtamin D3) pada kulit. Precalciferol (previtamin
D3) akan membentuk kolekalsiferol (vitamin D3) melalui konversi panas. Baik
vitamin D yang terbentuk pada kulit maupun vitamin D yang diabsorbsi dari usus
akan dihidroksilasi pada rantai karbon 25 di liver, membentuk clacidiol(25
(OH)D) oleh liver 25-hydroxylase, CYP2R1 dan CYP27A1. (25 (OH)D) ini
merupakan metabolit utama dari vitamin D di sirkulasi tubuh dan berguna untuk
menunjukkan status dari vitamin D di tubuh. Selanjutnya (25 (OH)D) akan
library.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

dilakukan hidroxilasi di sel tubulus proximal ginjal membentuk kalsitriol (1,25-


dihidoxy vitamin D3 yang dianggap sebagai vitamin D aktif. (valdivielso et al.,
2006).
Vitamin D merupakan satu-satunya vitamin yang diketahui berfungsi
sebagai prohormon. Vitamin D mengalami dua kali hidroxilasi untuk
mendapatkan aktifitasnya sebagai hormon. Pertama dihidroxilasi pada C25 yang
terjadi di dalam sel hati, kemudian hidroxilasi kedua pada C1 yang terjadi di
ginjal. 1,25dihydroxi calciferolmerupakan hormon yang mengatur sintesa protein
yang mentransfer kalsium ke dalam sel, disebut Calsium Binding Protein CaBP)
(Norman, 2008).
Vitamin D memiliki fungsi klasik (calcemic function) dan non klasik (non
calcemic function). Fungssi klasik yaitu fungsi vitamin D dalam hal absorbs
kalsium, pembentukan tulang. Sedangkan fungsi noncalesemik adalah fungsinya
dalam imunoregulator. Fungsi klasik vitamin D adalah sebagai berikut (Deluca et
al., 2001):
a. Meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfat di dalam usus. Untuk
penyerapan kalsium yang baik, diperlukan perbandingan yang sesuai
dengan tersedianya fosfat di dalam makanan. Perbandingan yang baik
adalah 1:1, penyerapan kalsium akan terganggu bila perbandingan tersebut
di bawah 1:4. Pada perbandingan kalsium dan fosfat yang sesuai, vitamin
D mengingatkan penyerapan kalsium, penyerapan kalsium ke dalam sel
usus dilaksanakan melalui mekanisme Ca-binding protein (CaBP), yang
sintesanya diatur oleh hormon1,25dihydroxi calciferol.
b. Mendorong pembentukan garam-garam kalsium di dalam jaringan yang
memerlukan. Garam kalsium diperlukan di beberapa jaringan untuk
memperkuat struktur jaringan tersebut misalnya pada tulang-tulang dan
gigi-geligi, yaitu garam karboant dan garam fosfat, juga fluoride daro
kalsium, garam kalsium di dalam jaringan keras terdapat dalam suatu
keseimbangan dinamis dengan kondisi cairan tubuh, artinya terkadi suatu
fluks yang sama antara kalsium yang masuk ke jaringan keras dengan yang
keluar dari jaringan tersebut.
library.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

c. Prekursor provitamin D yang secara relatif kaku dengan struktur 4 cincin,


dimasukkan ke dalam lipid bilayer di membran plasma. Selama produksi
previtamin D pada paparan radiasi UVB matahari, cincin B membuka dan
menjadi struktur yang kurang kaku, yang mungkin menyebabkan
permeabilitas membran meningkat dan memudahkan penyerapan terutama
ion kalsium. Di hati dan ginjal metabolitnya diaktivasi menjadi 1,25
dihydroxi D (OH(2D3), yang merupakan bentuk fisiologis aktif vitamin
D. Beberapa efek imunoregulator untuk 1,25 (OH)2D3 telah diidentifikasi,
terutama difokuskan pada kegiatan downregulatory Th1 (yaitu mekanisme
kekebalan klasik dalam (rheumatoid arthritis ) (Cutolo, 2007)

Kebutuhan akan vitamin D belum diketahui dengan pasti, karena vitamin


D ini dapat disintesa dari jenis kolesterol tertentu yang terdapat di dalam jaringan
di bawah kulit. Namun demikian diperkirakan bahwa konsumsi 1200 IU sehari
sudah mencukupi kebutuhan terutama pada pasien geriatri dan semua jenis
kelamin.

Gambar 2.13. Kebutuhan Vitamin D (Querfeld dan Mak, 2010)

Kadar serum 25(OH)D digunakan untul menilai status vitamin D dalam


tubuh. Dikatakan defisiensi vitamin D, jika kada serum 25(OH)D <20ng/ml dan
dikatakan insufisiensi vitamin D jika kadarnya <30 ng/ml. Targer pemberian
vitamin D untuk mencapai kadar serum 25(OH) paling tidak 30 ng/ml, atau dalam
rentang normal 40-80 ng/ml dan dikatakan toksik jika >150 ng/ml. Gejala dari
hipervitaminosis D meliputi fatig, mual, muntah dan kelemahan. Tetapi vitamin D
berasala dari sinar matahari tidak dapat menyebabkan toksisitas, diantaranya yang
library.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

sering terjadi adalah Resiko hiperkalsemia dan hiperfosfatemia (Querfeld dan


Mak, 2010)
Sebuah meta-analisis oleh Bischoff-Ferrari yang bertujuan untuk melihat
efektivitas tambahan cholecalciferol untuk mencegah patah tulang menyimpulkan
bahwa 700-800 IU / hari, mencapai konsentrasi sekitar 24 ng / mL, mengurangi
risiko patah tulang. Analisis yang sama menemukan risiko jatuh relatif berkurang
sebesar 19% dengan dosis tambahan dari 700-1000 IU vitamin D / hari (Pfeifer et
al., 2009). Pada 242 orang lanjut usia dengan pemberian 500 mg kalsium atau 500
mg kalsium ditambah 400 IU cholecalciferol saat sarapan dan makan malam
untuk satu tahun dan akan menghasilkan perubahan yang signifikan untuk
kekuatan otot, meningkatkan waktu up-n-go tes, dan memperbaiki keseimbangan
tubuh dan resiko jatuh, mengamati peningkatan kekuatan otot pada usia lanjut
setelah mengkonsumsi suplementasi kalsium dan cholecalciferol, independen dari
aktivitas fisik (Pfeifer et al., 2009). Dengan demikian diperkirakan bahwa
konsumsi 700-1200 IU sehari sudah mencukupi kebutuhan terutama pada pasien
geriatri dan semua jenis kelamin. (Moreira-Pfrimer et al., 2009)
Pada tahun 2011, Institute of Medicine (IOM) dan Endocrinology Society
keduanya membuat kesimpulan,berkaitan dengan klasifikasi defisiensi vitamin D.
IOM menyatakan bahwa konsentrasivitamin D 20 ng / mL memadai untuk
kesehatan tulang. Menurut Endocrine Society merekomendasikan konsentrasi
vitamin D minimal 30 ng / mL dan dianggap sebagai bukti jika vitamin D dapat
mencegah turunnya konsentrasi PTH, yang berhubungan dengan kematian dan
gagal jantung (Catharine ross et al., ;Holick et al., 2011). American Dietetic
Association (sekarang disebut Akademi Nutrisi dan Diet) mendukung IOM
pedoman dari vitamin D Konsentrasi ≥20 ng / mL untuk memberikan kesehatan
tulang yang optimal (Ross et al., 2011). Kedua IOM dan perhimpunan Endokrin
mengatakan pemberian 25OHD tidak lebih dari 100 ng / mL karena untuk
mencegah intoksikasi vitamin D tetapi beberapa peneliti vitamin D percaya bahwa
tidak ada efek yang merugikan dengan tingkat calcidiol hingga 150 ng / mL
(Holick et al., 2007)..
Sebagai kita ketahui bahwa asupan rutin 100 IU akan meningkatkan kadar
darah sekitar 1 ng / mL, meskipun terjadi kenaikan konsentrasi darah tergantung
library.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

pada awal nilai-nilai darah serta karakteristik lain dan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi vitamin D (Fungsi misalnya ginjal dan jumlah metabolisme
jaringan adiposa (Anderson et al., 2010). Kekurangan suplemen vitamin D
memiliki pengaruh peningkatan konsentrasi calcidiol lebih tinggi. IOM
menyebutkan dalam literatur yang berkaitan dengan kadar kalsium dan vitamin D
menyimpulkan bahwa status vitamin D bukan masalah besar dan Perkiraan Rata-
rata Kebutuhan (EAR) dari 400 IU / hari bagi kebanyakan orang satu tahun dan
lebih tua dan Recommended Dietary Allowance (RDA) lebih dari 600 IU / hari
bagi kebanyakan orang dewasa, kecuali bagi mereka berusia >70 tahun, yang
diberi RDA dari 800 IU / hari (catharine ross et al., 2011). Hal ini
direkomendasikan oleh Endocrine Society bahkan Hingga 10.000 IU / hari untuk
orang dewasa yang sudah terbukti defisiensi vitamin D (Catharine ross et al.,;
Holick et al., 2011).

2.6. Peran Vitamin D pada metabolism lemak

Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak yang berfungsi sebagai
hormon steroid dan bisa diperoleh dari diet atau disintesis secara endogen dengan
paparan ultra-violet B(UVB) cahaya. Hal ini ditemukan dalam makanan alami
(misalnya lemak ikan) buatan dalam makanan yang diperkayaproduk (misalnya
susu), atau diperoleh dalam bentuk suplemen. Suplemen mungkin
dalamperencana atau bentuk jamur yang diturunkan, vitamin D2 (ergocalciferol)
atau vitamin D3 (cholecalciferol).
Kedua bentuk efektif meningkatkan konsentrasi serum 25OHD,
penyimpanan bentuk vitamin D, dan akan disebut vitamin D (Holick et al., 2008).
Biosintesis endogen vitamin D dari 7-dehydrocholesterol terjadi di dermisdan
epidermis dengan paparan sinar UVB dalam panjang gelombang optimum (antara
290-320 nanometer) dan dengan demikian tergantung pada jumlah kulit terkena,
pigmentasi kulit, penggunaan tabir surya, dan usia (Maclauglin et al., 1982).
Vitamin D dan metabolitnya dibawa ke hepar melalui vitamin D yang mengikat
protein (DBP), dimana hidroksilasi pertama yang 25OHD atau calcidiol, terjadi
terutama oleh cara enzim CYP27A1. 25OHD adalah yang paling umum
digunakan dan paling efektif pengukuran status vitamin D (A.Catharine Ross et
al., 2011). Kedua hidroksilasi ke fisiologis yang aktif 1,25 (OH) 2D, atau
library.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

calcitriol, terjadi terutama di ginjal oleh CYP27B1, lain anggota superfamili


sitokrom P450 (Holick MF, 2007). Langkah aktivasi ini bergantung pada
pengambilan kompleks calcidiol-VBP dalam ginjal oleh protein reseptor
endocytotic megalindan cubilin, yang DBP adalah ligan afinitas tinggi (Nykjaer A
et al., 1999). 1,25 (OH) 2D memiliki afinitas tinggi untuk reseptor vitamin D
(VDR) dan bentuk-bentuk kompleks VDR-calcitriol heterodimer dengana retinoic
X reseptor (RXR). Bersama-sama mengikat unsur vitamin respon D (VDRE),
berada pada promotor gen terbanyak, dan berperan sebagai ligan yang
mengaktifkan faktor transkripsi untuk mengaktifkan atau menekan ekspresi gen,
seperti bahwa untuk kalsium reseptor saluran di usus kecil. CYP27B1 diregulasi
oleh hormon paratiroid (PTH), kalsium, fosfat, kalsitonin, dan pertumbuhan
fibroblast Faktor 23, ini akan berbanding terbalik dengan 1,25 (OH)2D untuk hasil
terakhirnya. Konsentrasi 1,25 (OH)2D secara langsung terkait dengan kalsium dan
fosfor homeostasis dan tidak ada hubungannya langsung dengan status vitamin D.
VDR ditemukan cukup merata seluruh tubuh dan jaringan extrarenal
mengekspresikan gen untuk CYP27B1 diantaranya untuk megalin dan cubilin.
Adanya jaringan seluler diperlukan untuk aktivasi penyerapan dan selanjutnya
vitamin D luar ginjal terkait peran vitamin D dalam parakrin dan fungsi autokrin
(Zehder et al., 2001). Hal ini tidak mengherankan bahwa beberapa jaringan yang
dikenal untuk mengekspresikan VDR, CYP27B1, megalin dan cubilin adalah
yang terlibat dalam kondisi penyakit defisiensi vitamin D termasuk otak, prostat,
payudara, pembuluh darah, dan sel-sel kekebalan tubuh (Semba et al., 2009;
Holick MF, 2007). Mengakibatkan beberapa studi epidemiologi telah
menunjukkan antara status vitamin D yang rendah dan meningkatnya risiko
kematian dini khususnya untuk penyakit kardiovaskular, kanker jenis tertentu, dan
penyakit pernafasan(Wang TJ et al., 2008;Zittermann A et al., 2012)
Ada beberapa hubungan langsung dan tidak langsung antara status vitamin
D dan penyakit jantung dan pengaruh yang kuat antara kesehatan kardiometabolik
dan status vitamin D mungkin berkontribusi pada risiko yang lebih tinggi dari
semua penyebab kematian akibat defisiensi vitamin D(Wang TJ et al., 2008).
Vitamin D diketahui mengatur renin, yang terkenal manfaatnya untuk penyakit
hipertensi, tetapi juga merupakan faktor risiko independen untuk morbiditas dan
library.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

mortalitas (Verma S et al., 2011;Li YC et al., 2002). Renin dikaitkan dengan


perkembangan trombus dan hipertrofi ventrikel kiri secara menetap di tekanan
darah (Probstfield JL et al., 2010). Selain itu, 25OHD yang rendah pada individu
dengan obesitas dan diabetes, dan vitamin D telah dikenal antiinflamasi, yang
semuanya bisa memodulasi kesehatan kardiometabolik( Alele JD et al., 2013).
Tingkat PTH langsung dipengaruhi oleh status vitamin D dan juga telah dikaitkan
dengan obesitas, hipertensi, gagal jantung, dan resiko kematian meningkat (Semba
et al., 2009). Tidak diragukan jika hubungan antara penyakit kardiovaskular dan
status vitamin D adalah multifaktorial, namun satu penjelasan potensial bisa
menjadi afiliasi dari konsentrasi serum lipid dengan status vitamin D. Selain itu
telah ditemukan hubungan antara konsentrasi cadangan vitamin D dan lipid
serum, tetapi hasil telah berbeda (Wang H et al., 2012). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menentukan apakah atau ada hubungan antara 25OHD dan
dislipidemia dalam Kelompok sehat usia lanjut..
Terdapat perbedaan yang signifikan dan menguntungkan antara HDL dan
TG bagi mereka yang menpunyai status vitamin D yang tinggi. Sebuah review
oleh kelompok yang sama menyimpulkan bahwa HDL dan vitamin D memiliki
hubungan paling sederhana. 20 publikasi melaporkan hubungan positif antara
vitamin tingkat D dan HDL(Jorde et al., 2010). Selain menemukan perbedaan
yang signifikan secara statistik kami menemukan perbedaan klinis yang signifikan
cukup besar untuk memodulasi risiko penyakit kardiovaskular Rasio TG: HDL
adalah alat yang berguna untuk mengidentifikasi risiko CVD, dan TG lebih tinggi:
HDL dikaitkan dengan partikel padat LDL aterogenik. Ini adalah karena adanya
peningkatan jumlah TG VLDL, yang menghasilkan partikel LDL padat setelah
lipolisis. jumlah TG yang tinggi dan HDL merupakan indikator dari perubahan
glukosa dan metabolisme lipid dan berhubungan dengan resistensi insulin dan
disfungsi sel beta. Akibatnya, penderita diabetes berada pada risiko tinggi bila
kadar TG HDL yang tinggi dan diketahui memiliki cadangan D vitamin lebih
rendah (Cordero A et al., 2009).
Megalin adalah bagian reseptor LDL yang dikenal dengan nama gp-330.
Kadar kolesterol plasma dan LDL berhubungan erat dengan variasi genetic
megalin. Apoliprotein M adalah lipocain pada pre HDL, kilomikron, LDL, dan
library.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

VLDL yang menggunakan megalin sebagai reseptornya. Ekspresi mRNA megalin


dipengaruhi kadar vitamin D, Kadar vitamin D yang rendah menyebabkan
ekspresi megalin menurun, dan terjadi peningkatan kadar LDL (Marzolo, 2011).

Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi adiponectin di lemak visceral


dipengaruhi oleh kadar vitamin D. Vitamin D berperan pada ekspresi gen
adiponectin (Yared et al 2009). Selain itu vitamin D berperan sebagai regulator
negative renin, di mana enzim renin akan merangsang produksi adiponectin
(Budelescu et al. 2014). Kadar adiponectin berhubungan dengan aktifitas enzim
hepatic lipase dengan melalui sterol regulation element binding promoteor
(SREBP) sebagai control enzim hepatic lipase. Enzim hepatic lipase berbanding
terbalik dengan kadar HDL dengan melalui mekanisme hidrolisis fosfolipid dan
trgliserid sehingga mengkonversi HDL, dan secara langsung berperan pada uptake
HDL oleh reseptornya (Schneider et al, 2005).

Demikian pula, vitamin D diketahui memiliki efek menguntungkan pada


sensitivitas insulin dan fungsi sel beta pancreas (Nykjaer A et al., 1999).
Didapatkan konsentrasi glukosa puasa yang lebih tinggi dan rasio TG HDL yang
rendah pada mereka dengan konsentrasi vitamin D yang lebih tinggi. Megalin dan
cubilin diperlukan untukfiltrasi dari vitamin D, kompleks DBP dalam ginjal dan
kekurangan vitamin D menyebabkan insufisiensi renal (Nykjaer A et al.,
1999;Anderson RL et al., 2010). Megalin adalah salah satu reseptor LDL dan
memiliki afinitas tinggi untuk apolipoprotein-B yang mengandung lipoprotein.
Apolipoprotein A-I, HDL, adalah ligan untuk cubilin. Oleh karena itu, megalin
dan cubilin penting untuk aktivasi penyerapan vitamin D dan memiliki
kemampuan untuk menghapus lipoprotein dari peredaran. Gantinya,Ekspresi
megalin diatur oleh vitamin D (Christensen et al., 2002).
Adiponektin adalah sitokin yang dilepaskan dari adiposit yang kaitannya
dengan massa lemak dimana dikenal untuk meningkatkan HDL yang bersamaan
memiliki peran menguntungkan bagi konsentrasi VLDL dan LDL(Izadi V, 2013).
Kadar vitamin D dikaitkan dengan peningkatan adiponektin dan intervensi diet
yang dirancang untuk meningkatkan status vitamin D bersamaan dengan
peningkatan adiponektin(Vaidya A, 2012).
library.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Konseptual

Gambar 2.14. Kerangka Konseptual Penelitian


library.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

Keterangan :

1. : menghambat 5. : menurunkan

2. : mengaktivasi 6. : meningkatkan
(Vitamin D3)

3. :meningkatkan 7. : menurunkan
(vitamin D3)

4. : :variabel tergantung 8. : variabel bebas

Keterangan Bagan Kerangka Konseptual

Orang usia lanjut cenderung terjadi defisiensi vitamin D (Gloth, 2005).


Mekanisme defisiensi vitamin D pada lanjut usia melalui beberapa mekanisme
antara lain : asupan vitamin D yang menurun, berkurangnya paparan sinar
matahari, penurunan ketebalan kulit, gangguan absorbs usus, gangguan
hidroksilasi vitamin D di hati dan ginjal (Holick, 2005). Vitamin D berhubungan
dengan kelemahan otot, dan sarkopenia ini sering terjadi pada usia lanjut (Jansenn
et al., 2002). Sarkopenia ditandai dengan penurunan jumlah serabut otot dan
peningkatan jumlah lemak dalam otot (Solerte et al., 2008). Sarcopenia berperan
pada terjadinya resistensi insulin pada usia lanjut, hal ini karena otot skelet adalah
tempat utama penyimpanan glukosa oleh karena aksi insulin. Resistensi insulin
sendiri merupakan salah satu mekanisme terjadinya diabetes mellitus pada usia
lanjut (Lee et al., 2015). Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya hubungan
antara defisiensi vitamin D dengan kejadian DM tipe 2 (Mattilla et al., 2007).
Vitamin D berperan pada produksi insulin dan sensitivitas insulin (Palomer et al.,
2008).. Vitamin D secara langsung menurunkan resistensi insulin melalui
pengaruhnya pada metabolism kalsium dan fosfor, juga melalui peningkatan
translasi gen reseptor insulin (Maestro et al., 2003).
Pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin sehingga dapat mengakibatkan
hiperglikemia. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan ROS
melalui tiga mekanisme, yaitu: meningkatnya aktivitas fosforilasi oksidatif,
uncouple eNOS yang meningkat dan peningkatan aktivitas NADPH oksidase.
ROS yang berlebihan akan menyebabkan aktifasi dari NFĸβ. Aktivasi NFĸβ akan
library.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-
8. IL-6 berperan pada efluks HDL ke dalam makrofag melalui jalur SRBI dan
ABCG1 sehingga kadar HDL dalam darah menurun (Robert, 2011). TNF-α
mempunyai sifat merusak reseptor protein. Salah satu yang dirusak adalah
reseptor LDL di dalam hati sehingga kadar LDL dalam darah akan meningkat

Pada DM mempunyai kelainan dasar adanya resisitensi insulin.


Metabolisme lipoprotein sedikit berbeda dengan pasien tanpa adanya resistensi
insulin. Pada Keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan
adiposa akan menjadi aktif sehingga terjadi lipolisis trigliserida dan jaringan
adiposa semakin meningkat, dan akan mehasilkan FFA yang berlebihan. FFA
memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan menjadi energi dan sebagian lagi
akan dibawa menuju ke hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. FFA di
hati akan menjadi trigliserida kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Pada
resistensi insulin akan sangat kaya akan trigliserida yang disebut dengan VLDL
kaya trigliserida atau VLDL besar. Sirkulasi trigliserida pada VLDL akan bertukar
dengan kolesrterol ester dari LDL-C, sehingga terbentuk LDL-C yang kaya akan
trigliserida. Trigliserida yang terkandung dalam LDL-C akan terhidrolisis oleh
enzim hepatic lipase sehingga terbentuk small dense LDL. Pada resistensi insulin
enzim hepatic lipase akan semakin meningkat. Pada sd-LDL ini akan mudah
teroksidasi dan bersifat aterogenik. Trigliserid VLDL juga akan bertukar dengan
kolesterol ester dari HDL dan menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi
kaya akan trigliserid, sehingga akan mudah dikatabolisme oleh ginjal dan
menurunkan kadar HDL. Pada resistensi insulin, mekanisme ini akan
mengakibatkan kelainan profil lipid yang khas dengan kadar trigliserid yang
tinggi, LDL-C yang tinggi dan HDL-C yang rendah (Rashid et al., 2003). HDL
yang rendah berkontribusi terhadap peningkatan kadar LDL sehingga
meningkatkan resiko atherosclerosis.

Megalin adalah bagian reseptor LDL yang dikenal dengan nama gp-330.
Kadar kolesterol plasma dan LDL berhubungan erat dengan variasi genetic
megalin. Apoliprotein M adalah lipocain pada pre HDL, kilomikron, LDL, dan
VLDL yang menggunakan megalin sebagai reseptornya. Ekspresi mRNA megalin
library.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

dipengaruhi kadar vitamin D, Kadar vitamin D yang rendah menyebabkan


ekspresi megalin menurun, dan terjadi peningkatan kadar LDL (Marzolo, 2011).

Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi adiponectin di lemak visceral


dipengaruhi oleh kadar vitamin D. Vitamin D berperan pada ekspresi gen
adiponectin (Yared et al., 2009). Selain itu vitamin D berperan sebagai regulator
negative renin, di mana enzim renin akan merangsang produksi adiponectin
(Budelescu et al., 2014). Kadar adiponectin berhubungan dengan aktifitas enzim
hepatic lipase dengan melalui sterol regulation element binding promoteor
(SREBP) sebagai control enzim hepatic lipase. Enzim hepatic lipase berbanding
terbalik dengan kadar HDL dengan melalui mekanisme hidrolisis fosfolipid dan
trgliserid sehingga mengkonversi HDL, dan secara langsung berperan pada uptake
HDL oleh reseptornya (Schneider et al., 2005).

Suplementasi vitamin D3 aktif akan meningkatkan kadar vitamin D3


dalam tubuh, sehingga diharapkan akan menurunkan resistensi insulin,
meningkatkan kadar megalin, dan menurunkan adiponectin. Pada akhirnya
diharapkan dalam peningkatan kadar HDL, penurunan kadar LDL, dan terjadi
penurunan resiko aterosklerosis.

A. Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh pemberian Vitamin D terhadap peningkatan kadar HDL
pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe II dan sarkopenia?
2. Ada pengaruh pemberian Vitamin D terhadap kadar LDL pada pasien
geriatri dengan diabetes melitus tipe II dan sarkopenia?
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

Gambar 2.14. Kerangka Konseptual Penelitian

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Keterangan :

1. : menghambat 5. : menurunkan

2. : mengaktivasi 6. : meningkatkan

3. :meningkatkan 7. : menurunkan

(vitamin D3) (vitamin D3)

4. : :variabel tergantung 8. 8. : variabel bebas

Keterangan Bagan Kerangka Konseptual

Orang usia lanjut cenderung terjadi defisiensi vitamin D (Gloth, 2005).

Mekanisme defisiensi vitamin D pada lanjut usia melalui beberapa mekanisme

antara lain : asupan vitamin D yang menurun, berkurangnya paparan sinar

matahari, penurunan ketebalan kulit, gangguan absorbs usus, gangguan

hidroksilasi vitamin D di hati dan ginjal (Holick, 2005). Vitamin D berhubungan

dengan kelemahan otot, dan sarkopenia ini sering terjadi pada usia lanjut (Jansenn

et al., 2002). Sarkopenia ditandai dengan penurunan jumlah serabut otot dan

peningkatan jumlah lemak dalam otot (Solerte et al., 2008). Sarcopenia berperan

pada terjadinya resistensi insulin pada usia lanjut, hal ini karena otot skelet adalah

tempat utama penyimpanan glukosa oleh karena aksi insulin. Resistensi insulin

sendiri merupakan salah satu mekanisme terjadinya diabetes mellitus pada usia

lanjut (Lee et al., 2015). Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya hubungan

antara defisiensi vitamin D dengan kejadian DM tipe 2 (Mattilla et al., 2007).

Vitamin D berperan pada produksi insulin dan sensitivitas insulin (Palomer et al.,

2008).. Vitamin D secara langsung menurunkan resistensi insulin melalui

8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pengaruhnya pada metabolism kalsium dan fosfor, juga melalui peningkatan

translasi gen reseptor insulin (Maestro et al., 2003).

Pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin sehingga dapat mengakibatkan

hiperglikemia. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan ROS

melalui tiga mekanisme, yaitu: meningkatnya aktivitas fosforilasi oksidatif,

uncouple eNOS yang meningkat dan peningkatan aktivitas NADPH oksidase.

ROS yang berlebihan akan menyebabkan aktifasi dari NFĸβ. Aktivasi NFĸβ akan

menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-

8. IL-6 berperan pada efluks HDL ke dalam makrofag melalui jalur SRBI dan

ABCG1 sehingga kadar HDL dalam darah menurun (Robert, 2011). TNF-α

mempunyai sifat merusak reseptor protein. Salah satu yang dirusak adalah

reseptor LDL di dalam hati sehingga kadar LDL dalam darah akan meningkat

Pada DM mempunyai kelainan dasar adanya resisitensi insulin.

Metabolisme lipoprotein sedikit berbeda dengan pasien tanpa adanya resistensi

insulin. Pada Keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan

adiposa akan menjadi aktif sehingga terjadi lipolisis trigliserida dan jaringan

adiposa semakin meningkat, dan akan mehasilkan FFA yang berlebihan. FFA

memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan menjadi energi dan sebagian lagi

akan dibawa menuju ke hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. FFA di

hati akan menjadi trigliserida kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Pada

resistensi insulin akan sangat kaya akan trigliserida yang disebut dengan VLDL

kaya trigliserida atau VLDL besar. Sirkulasi trigliserida pada VLDL akan bertukar

dengan kolesrterol ester dari LDL-C, sehingga terbentuk LDL-C yang kaya akan

trigliserida. Trigliserida yang terkandung dalam LDL-C akan terhidrolisis oleh

9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

enzim hepatic lipase sehingga terbentuk small dense LDL. Pada resistensi insulin

enzim hepatic lipase akan semakin meningkat. Pada sd-LDL ini akan mudah

teroksidasi dan bersifat aterogenik. Trigliserid VLDL juga akan bertukar dengan

kolesterol ester dari HDL dan menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi

kaya akan trigliserid, sehingga akan mudah dikatabolisme oleh ginjal dan

menurunkan kadar HDL. Pada resistensi insulin, mekanisme ini akan

mengakibatkan kelainan profil lipid yang khas dengan kadar trigliserid yang

tinggi, LDL-C yang tinggi dan HDL-C yang rendah (Rashid et al., 2003). HDL

yang rendah berkontribusi terhadap peningkatan kadar LDL sehingga

meningkatkan resiko atherosclerosis.

Megalin adalah bagian reseptor LDL yang dikenal dengan nama gp-330.

Kadar kolesterol plasma dan LDL berhubungan erat dengan variasi genetic

megalin. Apoliprotein M adalah lipocain pada pre HDL, kilomikron, LDL, dan

VLDL yang menggunakan megalin sebagai reseptornya. Ekspresi mRNA megalin

dipengaruhi kadar vitamin D, Kadar vitamin D yang rendah menyebabkan

ekspresi megalin menurun, dan terjadi peningkatan kadar LDL (Marzolo, 2011).

Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi adiponectin di lemak visceral

dipengaruhi oleh kadar vitamin D. Vitamin D berperan pada ekspresi gen

adiponectin (Yared et al., 2009). Selain itu vitamin D berperan sebagai regulator

negative renin, di mana enzim renin akan merangsang produksi adiponectin

(Budelescu et al., 2014). Kadar adiponectin berhubungan dengan aktifitas enzim

hepatic lipase dengan melalui sterol regulation element binding promoteor

(SREBP) sebagai control enzim hepatic lipase. Enzim hepatic lipase berbanding

terbalik dengan kadar HDL dengan melalui mekanisme hidrolisis fosfolipid dan

10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

trgliserid sehingga mengkonversi HDL, dan secara langsung berperan pada uptake

HDL oleh reseptornya (Schneider et al., 2005).

Suplementasi vitamin D3 aktif akan meningkatkan kadar vitamin D3

dalam tubuh, sehingga diharapkan akan menurunkan resistensi insulin,

meningkatkan kadar megalin, dan menurunkan adiponectin. Pada akhirnya

diharapkan dalam peningkatan kadar HDL, penurunan kadar LDL, dan terjadi

penurunan resiko aterosklerosis.

3.2 Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh pemberian Vitamin D terhadap peningkatan kadar HDL

pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe II dan sarkopenia?

2. Ada pengaruh pemberian Vitamin D terhadap penurunan kadar LDL pada

pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe II dan sarkopenia?

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental dengan metode

randomized controlled trial.

4.2. Tempat

Poliklinik geriatri Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi sasaran:

Pasien Geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 dan sarkopenia

4.3.2. Populasi sumber:

Pasien Geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 dan sarkopenia kontrol

rutin tiap bulan di Poli Geriatri RSUD dr. Moewardi Surakarta.

4.3.3. Sampel:

Diambil secara acak pada pasien Geriatri dengan diabetes melitus tipe 2

dan sarkopenia yang berobat di lusi dan eksklusi serta bersedia ikut

dalam penelitian dengan menandatangani blangko persetujuan atau

inform concern.

4.4. Besar Sampel

Penentuan besar sampel (sample size) melibatkan parameter tingkat kesalahan

(error term) atau α dan tingkat kekuatan pengujian (power test) atau 1 - β.

Formulasi besar sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (Dahlan

2009; Santjaka 2011)

53
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

( Z1  Z1 ) 2  2
n
2
Karena untuk kelompok sampel berpasangan berlaku: δ2 = σ2 = 1, sehingga:

n  (Z1  Z1 )2

maka dengan kondisi diatas, penelitian ini menggunakan ukuran sampel minimal

adalah:

n = (1,96 + 1,282)2 = 10,51 dibulatkan menjadi 11.

dimana:

n : besarnya sampel.

Z1-α : nilai standar normal tingkat kesalahan, jika α = 0,05 maka

Z1-α = 1,96.

Z1-β : nilai standar normal power test, jika 1 - β = 0,90 maka:

Z1-β = 1,282.

δ : selisih yang diinginkan (difference of interest)

σ : besarnya penyimpangan (standar deviasi) yang bisa ditolerir.

Dengan demikian sampel minimal dalam penelitian ini adalah 11 responden

dalam setiap kelompok. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan

mempertimbangkan kemungkinan terjadi drop out maka ditetapkan angka drop

out sebesar 10%. Dengan mempertimbangkan minimal besar sampel dan drop

out maka diambil sampel sebesar 15 pasien geriatri (n=15 pasien untuk tiap

kelompok) sehingga besar sampel telah cukup memadai dan memenuhi

54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

formulasi besar sampel. Teknik pengambilan sampel dengan simple random

sampling

Kriteria inklusi:

1. Usia > 60 tahun

2. Diabetes mellitus tipe 2 yang sudah rutin mendapatkan obat diabetes

3. Sarkopenia, didapatkan dengan pengukuran Handgrip dan BIA

4. Pasien bersedia berpartisipasi ditandai dengan informed consent.

Kriteria Eksklusi :

1. Infeksi

2. Keganasan/kanker

3. Gagal ginjal kronik

4. Gagal jantung

5. Subyek mengkonsumsi multivitamin dan mineral

6. Alergi obat vitamin D

Variabel perancu : usia, BMI, kadar gula, pengobatan dislipidemia, jenis

kelamin, tekanan darah, penggunaan obat diabetes dan hipertensi

4.5.Identifikasi Variabel

4.5.1. Variabel tergantung:

4.5.1.1. Kadar HDL

4.5.1.2. Kadar LDL

4.5.2. Variabel bebas:

Vitamin D3

4.6. Definisi Operasional

55
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 4.1. Definisi Operasional Variabel

Parameter Definisi Alat Satuan Skala

Ukur Data Data

HDL high density lipoprotein yang metode mg/dL Rasio

berfungsi untuk menyerap kadar kimiawi

kolesterol yang berlebihan dalam kolorimetrik

darah. Nilai normal laki-laki>40

mg/dL, wanita>45 mg/dL

LDL low density lippoprotein adalah metode mg/dL Rasio

kolesterol yang bertugas kimiawi

mendistribusikan kolesterol dari liver kolorimetrik

ke sel – sel di seluruh tubuh. Nilai

normal<130 mg/dL

Vitamin D3 Kalsitriol adalah prohormon yang - 1200 Nomi

berperan dalam homeostasis kalsium mg nal

dan fosfor

4.7. Waktu

Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini selama 5 bulan dengan jadwal

penelitian sebagai berikut.

DESEMBER JANUARI FEBRUARI MARET APRIL

2017 2017 2018 2018 2018

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

56
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pesan reagen Olah


Penelitian Pelaporan
Sampling Run in periode data

Gambar 4.1. Jadwal penelitian

4.8. Cara Kerja

Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diambil sebanyak

30 orang secara acak dengan metode simple random sampling kemudian dibagi

menjadi dua kelompok yaitu kelompok uji dan kelompok kontrol masing-masing

n=15. Proses pengambilan sampel dan membaginya menjadi dua kelompok

menggunakan program komputer Open Epi versi 2.3. Selama penelitian

berlangsung, regimen terapi tidak dirubah.

4.8.1. Perlakuan:

4.8.1.1. Kelompok uji: Vitamin D 1200 IU/hari, diminum 3x400 IU

setelah makan dan selama 30 hari.

4.8.2. Kelompok kontrol: diberikan plasebo

4.8.3. Monitoring:

4.8.1.1. Dilakukan monitoring tiap dua minggu untuk mengetahui efek

samping yang timbul dengan wawancara dan pemeriksaan fisik.

4.8.1.2. Bila ada indikasi akan dilanjutkan dengan pemeriksaan

laboratorium

4.8.1.3. Dilakukan penghitungan jumlah obat tiap kali kontrol, dikatakan

patuh bila jumlah obat yang minum 90 – 110 % (Krysiak et al.,

2010).

4.8.1.4. Selama perlakuan, subyek akan dieksklusi bila terdapat salah

satu dari berikut ini; kepatuhan minum obat < 80% atau > 120%,

57
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

efek samping serius dari obat yang diteliti dan masuk rumah

sakit.

4.8.4. Tindakan bila ada efek samping:

4.8.1.1. Penanganan efek samping (gatal-gatal, sulit bernafas

pembengkakan wajah, lidah atau bibir, sembelit, nyeri dada,

atau tenggorokan) sesuai indikasi.

4.8.1.2. Melaporkan kejadian tersebut ke Komisi Etik secepatnya.

4.8.5. Teknik pengambilan sampel dan penanganan spesimen:

4.8.1.3. Pemeriksaan kadar lipid LDL dan HDL, dilakukan sebelum dan

sesudah perlakuan di laboratorium RSUD dr. Moerwardi

Surakarta.

4.8.1.4. Dilakukan pengambilan darah, melalui vena antecubiti pada

ruangan yang tenang dengan temperatur terkontrol (24 – 25 0C)

antara jam 07.00 – 10.00 oleh dokter patologi klinik

laboratorium RSUD dr. Moerwardi Surakarta

4.8.1.5. Persiapan pasien (untuk pemeriksaan pasien harus puasa selama

8-12 jam sebelum diambil darah)

4.9. Teknik Analisis Data

Data disajikan dalam bentuk mean ± SD kemudian dianalisis

menggunakan SPSS 22 for windows dengan nilai p < 0,05 dianggap signifikan

secara statistik. Digunakan uji beda mean. Untuk mengetahui beda mean antara

kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah perlakuan digunakan uji t

sampel independen bila distribusi data normal (bila tidak normal digunakan uji

58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mann whitney). Untuk mengetahui beda mean antara sebelum dengan sesudah

perlakuan dalam satu kelompok digunakan uji t sampel berpasangan bila

distribusi data normal (bila tidak normal digunakan uji wilcoxon).

59
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4.10 Alur Penelitian

Geriatri

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Randomisasi

Kelompok Uji Kelompok Kontrol

Sebelum perlakuan:
Sebelum perlakuan: HDL, LDL
HDL, LDL

Terapi standart DM Terapi standart tanpa


tipe 2 + Vitamin D Vitamin D
1200 IU (30 hari)
(30 hari)

Setelah perlakuan: Setelah perlakuan:


HDL, LDL HDL, LDL

Analisis Statistik

Gambar 4.2. Alur penelitian

60
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Objek Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh suplementasi vitamin D

terhadap Kadar LDL dan Kadar HDL pada Pasien Geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2

dan Sarkopenia. Obyek penelitian berjumlah 30 orang dibagi dalam dua kelompok sampel

yaitu kelompok sampel perlakuan yang diberi suplemen Vitamin D dan kelompok sampel

kontrol yang tidak diberi suplemen vitamin D. Objek penelitian pada kelompok sampel

kontrol ini diberikan plasebo. Masing-masing kelompok yaitu kelompok perlakuan maupun

kelompok kontrol berjumlah 15 orang.

Sebelum melakukan analisis lebih lanjut, lebih dahulu dijelaskan karakteristik objek

penelitian untuk masing-masing kelompok sampel. Selain deskripsi singkat tentang

karakteristik objek penelitian, sekaligus dilihat sejauh mana tingkat homogenitas karakteristik

obyek penelitian itu berdasarkan kelompok sampel. Karakteristik penelitian yang berupa

variabel kualitatif, uji homogenitas dilakukan menggunakan uji Chi Square. Karakteristik

penelitian yang berupa variabel-variabel kuantitatif, uji homogenitas dilakukan menggunakan

uji beda 2 mean dimana jenis ujinya didasarkan pada distribusi data variabel karakteristik itu.

Jika distribusi data variabel bersifat normal, maka uji beda 2 mean menggunakan jenis analisis

statistik parametrik yaitu uji t untuk beda 2 mean sampel independent. Namun apabila

distribusi data bersifat tidak normal, maka uji beda 2 mean menggunakan jenis analisis

statistik non parametrik yaitu uji Mann-Whitney. Pengujian normalitas data untuk variabel

kuantitatif dilakukan dengan uji Shapiro Wilk.

60
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Variabel-variabel karakteristik yang bersifat kualitatif dalam penelitian ini adalah jenis

kelamin, pendidikan, caregiver (status bertempat tinggal), dan jenis-jenis penyakit yang

menyertai (HT, Jantung, dan OA). Dengan demikian karena variabel-variabel karakteristik itu

merupakan variabel kualitatif, uji homogenitasnya menggunakan uji Chi Square. Hasil uji

homogenitas variabel karakteristik jenis kelamin, pendidikan, caregiver, dan jenis-jenis

penyakit yang menyertai (HT, Jantung, dan OA) menunjukkan bahwa variable-variabel itu

ternyata homogen antara kelompok sampel perlakuan yang menerima pemberian vitamin D

dan kelompok sampel yang tidak menerima pemberian vitamin D.

Nilai chi kuadrat uji homogenitas variabel jenis kelamin didapatkan sebesar 0,240

dengan probabilitas sebesar 0,624 (p > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan proporsi jenis

kelamin laki-laki atau perempuan antara kelompok perlakuan yang menerima suplementasi

Vitamin D dan kelompok kontrol yang tidak menerima suplementasi Vitamin D (plasebo).

Dengan kata lain proporsi jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok yang

menerima suplementasi Vitamun D dan kelompok control yang tidak menerima suplementasi

Vitamin D adalah sama atau homogen.

Pada kelompok perlakuan yang menerima pemberian suplementasi Vitamin D proporsi

pasien laki-laki hanya sebesar 20,0 persen dan selebihnya proporsi pasien perempuan yaitu

sebesar 80,0 persen. Komposisi proporsi jenis kelamin laki-laki maupun perempuan itu pada

kelompok kontrol tidak sama persis dengan kelompok perlakuan, dimana proporsi laki-laki

adalah sebesar 13,3 persen dan proporsi perempuan sebesar 86,7 persen.

Nilai chi kuadrat uji homogenitas variabel Caregiver (status bertempat tinggal pasien)

didapatkan sebesar 0,267 dengan probabilitas sebesar 0,875 (p > 0,05) yang berarti tidak ada

perbedaan proporsi status bertempat tinggal pasien antara kelompok perlakuan yang

61
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menerima pemberian suplementasi Vitamin D dan kelompok kontrol. Dengan kata lain

proporsi status pasien yang bertempat tinggal sendiri, atau bersama istri/ suami, ataupun

bersama anak/ cucu/ keluarga pada kelompok perlakuan yang menerima suplementasi Vitamin

D dan yang tidak menerima suplementasi Vitamin D adalah cenderung sama atau homogen.

Pada kelompok perlakuan yang menerima pemberian suplementasi Vitamin D proporsi

pasien yang bertempat tinggal sendiri adalah sebesar 20,0 persen, bersama istri/ suami sebesar

33,3 persen dan selebihnya proporsi pasien yang bertempat tinggal bersama anak/ cucu/

keluarga yaitu sebesar 46,7 persen. Komposisi proporsi pasien pada kelompok kontrol

menurut status tempat tinggal sedikit berbeda dengan kelompok perlakuan, dimana pasien

yang bertempat tinggal sendirian mencapai 13,3 persen; kemudian yang bertempat tinggal

bersama istri/ suami sebesar 33,3 persen dan selebihnya pasien yang bertempat tinggal

bersama anak/ cucu/ keluarga yang lain sebesar 53,3 persen.

Nilai chi kuadrat uji homogenitas variabel Pendidikan didapatkan sebesar 2,286

dengan probabilitas sebesar 0,319 (p > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan proporsi tingkat

pendidikan pasien antara kelompok perlakuan yang menerima pemberian suplementasi

Vitamin D dan kelompok kontrol. Dengan kata lain proporsi status pasien yang berpendidikan

dasar, menengah, dan tinggi pada kelompok perlakuan yang menerima suplementasi Vitamin

D dan yang tidak menerima suplementasi Vitamin D adalah cenderung sama atau homogen.

Pada kelompok perlakuan yang menerima pemberian suplementasi Vitamin D proporsi

pasien yang berpendidikan dasar adalah sebesar 46,7 persen dan yang berpendidikan

menengah sebesar 40,0 persen, kemudian selebihnya berpendidikan tinggi yaitu sebesar 13,3

persen. Komposisi proporsi pasien pada kelompok kontrol menurut tingkat pendidikan sedikit

berbeda dengan kelompok perlakuan, dimana pasien yang berpendidikan dasar mencapai 46,7

62
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

persen dan yang berpendidikan menengah mencapai 20,0 persen kemudian selebihnya pasien

yang berpendidikan tinggi yaitu sebesar 33,3 persen.

Nilai chi kuadrat uji homogenitas variabel Penyakit Lain Pasien untuk penyakit HT

didapatkan sebesar 0,136 dengan probabilitas sebesar 0,713 (p > 0,05) yang berarti tidak ada

perbedaan proporsi keberadaan penyakit HT pada pasien antara kelompok perlakuan yang

menerima pemberian suplementasi Vitamin D dan kelompok kontrol. Dengan kata lain

proporsi penyakit HT pasien yang positif dan negatif pada kelompok perlakuan yang

menerima suplementasi Vitamin D dan yang tidak menerima suplementasi Vitamin D adalah

cenderung sama atau homogen.

Pada kelompok perlakuan yang menerima pemberian suplementasi Vitamin D proporsi

pasien yang positif HT sebesar 53,3 persen dan selebihnya yaitu sebesar 46,7 persen negatif.

Komposisi proporsi pasien pada kelompok kontrol menurut keberadaan penyakit HT sedikit

berbeda dengan kelompok perlakuan, dimana pasien yang positif HT mencapai 60,0 persen

dan selebihnya yaitu sebesar 40,0 persen negatif.

Nilai chi kuadrat uji homogenitas variabel Penyakit Lain Pasien untuk penyakit

Jantung didapatkan sebesar 0,001 dengan probabilitas sebesar 1,00 (p > 0,05) yang berarti

tidak ada perbedaan proporsi keberadaan penyakit Jantung pada pasien antara kelompok

perlakuan yang menerima pemberian suplementasi Vitamin D dan kelompok kontrol. Dengan

kata lain proporsi penyakit Jantung pasien yang positif dan negatif pada kelompok perlakuan

yang menerima suplementasi Vitamin D dan yang tidak menerima suplementasi Vitamin D

adalah cenderung sama atau homogen. Bahkan komposisi keberadaan penyakit Jantung antar

kedua kelompok sampel tersebut yaitu kelompok perlakuan dan kontrol persis sama.

63
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada kelompok perlakuan yang menerima pemberian suplementasi Vitamin D proporsi

pasien yang positif Jantung sebesar 46,7 persen dan selebihnya yaitu sebesar 53,3 persen

negatif. Komposisi proporsi pasien pada kelompok kontrol menurut keberadaan penyakit

Jantung persis sama dengan kelompok perlakuan, dimana pasien yang positif Jantung

mencapai 46,7 persen dan selebihnya yaitu sebesar 53,3 persen negatif.

Nilai chi kuadrat uji homogenitas variabel Penyakit Lain Pasien untuk penyakit OA

didapatkan sebesar 0,600 dengan probabilitas sebesar 0,439 (p > 0,05) yang berarti tidak ada

perbedaan proporsi keberadaan penyakit OA pada pasien antara kelompok perlakuan yang

menerima pemberian suplementasi Vitamin D dan kelompok kontrol. Dengan kata lain

proporsi penyakit OA pasien yang positif dan negatif pada kelompok perlakuan yang

menerima suplementasi Vitamin D dan yang tidak menerima suplementasi Vitamin D adalah

cenderung sama atau homogen.

Pada kelompok perlakuan yang menerima pemberian suplementasi Vitamin D proporsi

pasien yang positif OA sebesar 40,0 persen dan selebihnya yaitu sebesar 60,0 persen negatif.

Komposisi proporsi pasien pada kelompok kontrol menurut keberadaan penyakit OA sedikit

berbeda dengan kelompok perlakuan, dimana pasien yang positif OA mencapai 26,7 persen

dan selebihnya yaitu sebesar 73,3 persen negatif.

Berdasarkan hasil uji homogenitas variabel karakteristik yang bersifat kualitatif

dengan menggunakan analisis chi kuadrat tersebut dapat ditegaskan bahwa semua variebal

karakteristik kualitatif pasien yaitu Jenis Kelamin, Caregiver (Status Bertempat Tinggal),

Pendidikan, dan Penyakit Lain Pasien (HT, Jantung, OA) memiliki komposisi proporsi yang

sama atau tidak berbeda antara kelompok perlakuan yang mendapat pemberian suplementasi

Vitamin D dan kelompok kontrol.

64
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Hasil pengujian homogenitas atas variable karakteristik kualitatif yang sudah

dijelaskan diatas itu dapat diringkas dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 5.1.

Perbandingan Jenis Kelamin, Caregiver, Pendidikan dan Penyakit Lain Pasien (HT, Jantung,

OA) Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Klp Perlakuan Klp Kontrol Uji Chi Square


Variabel
n % n % Χ2 P value

Jenis Kelamin

a. Laki-laki 3 20,0 2 16,7


0,240 0,624
b. Perempuan 12 80,0 13 83,3

Caregiver

a. Sendiri 10 90,9 8 72,7

b. Istri/Suami 1 9,1 3 27,3 1,222 0,269

c. Anak/Cucu/Kel Lain

Pendidikan

a. Dasar 7 46,7 7 46,7

b. Menengah 6 40,0 3 20,0 2,286 0,319

c. Tinggi 2 13,3 5 33,3

Penyakit Lain HT

a. Positif 8 53,3 9 60,0


0,136 0,713
b. Negatif 7 46,7 6 40,0

Penyakit Lain Jantung

65
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a. Positif 7 46,7 7 46,7


C 1,000
b. Negatif 8 53,3 8 53,3

Penyakit Lain OA

a. Positif 6 40,0 4 26,7


0,600 0,439
b. Negatif 9 60,0 11 73,3

Selain Jenis Kelamin, Caregiver, Pendidikan dan Penyakit Lain Pasien (HT, Jantung,

OA) sebagai karakteristik sampel yang bersifat kualitatif, pengujian homogenitas juga

dilakukan terhadap variabel karakteristik yang bersifat kuantitatif yaitu karakteristik

demografis umur dan karakteristik klinis yang meliputi IMT, Up & Go Test, Jumlah Penyakit,

GDP, dan 2PP. Sebelum dilakukan pengujian homogenitas atas variable-variabel karakteristik

yang bersifat kuantitatif tersebut lebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data variabel

karakteristik tersebut. Setelah masing-masing variabel diuji normalitas datanya, kemudian

dilanjutkan uji homogenitas variabel itu pada kelompok sampel perlakuan yang menerima

pemberian suplementasi Vitamin D dan kelompok kontrol yang tidak menerima pemberian

suplementasi Vitamin D dengan uji beda 2 (dua) mean (rata-rata). Hasil pengujian normalitas

data didapatkan bahwa semua variabel karakteristik yang memiliki distribusi data yang

bersifat normal. Maka pengujian homogenitas atas variabel-variabel tersebut dapat digunakan

uji beda 2 (dua) mean uji t untuk sampel independent (tidak berhubungan).

Berdasarkan deskripsi dan hasil pengujian homogenitas variabel karakteristik yang

bersifat kuantitatif tersebut di atas didapatkan bahwa semua variabel karakteristik bersifat

homogen karena perbedaan rata-rata variabel-variabel karakteristik tersebut pada dua

kelompok sampel perlakuan yaitu kelompok yang menerima pemberian suplementasi Vitamin

66
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

D dan kelompok kontrol yang menerima pemberian plasebo tidak signifikan pada derajat

signifikansi 5 persen (p > 0,05). Dengan demikian variabel-variabel karakteristik Umur, IMT,

Up & Go Test, Jumlah Penyakit Pasien yang Lain (HT, Jantung, OA), GDP, dan 2PP yang

diuji menggunakan uji beda dua mean uji t untuk sampel independent semuanya bersifat

homogen.

Deskripsi dan Hasil Pengujian Homogenitas variabel karakteristik demografis dan

klinis yang bersifat kuantitatif meliputi umur, imt, up & go test, jumlah penyakit, GDP, dan

2PP dalam penelitian ini dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 5.2.

Pengujian Homogenitas Variabel Karakteristik Demografis dan Klinis yang Bersifat

Kuantitatif pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol.

Klp Perlakuan Kelompok Kontrol Uji Beda 2 Mean

Variabel Std Rata- Std


Rata-rata Nilai Statistik P value
Deviasi rata Deviasi

Umur 68,80 3,55 68,33 4,19 t = 0,329 0,744

IMT 25,11 3,22 26,20 3,49 t = -0,892 0,380

Up & Go Test 0,33 0,28 0,27 0,04 t = 1,390 0,175

Jumlah Penyakit 2,33 1,23 2,33 1,05 t = 0,001 1,000

GDP 181,13 69,35 172,53 45,69 t = 0,401 0,691

2PP 219,13 99,46 181,13 61,22 t = 1,260 0,218

67
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dengan demikian untuk selanjutnya analisis penelitian ini dapat dilanjutkan pada

pengujian variabel utama yaitu menguji pengaruh pemberian suplementasi Vitamin D

terhadap variable utama Kadar LDL dan Kadar HDL.

5.2. Pengujian Variabel Utama

Pembuktian hipotesis ada perbedaan pengaruh pemberian suplementasi Vitamin D

terhadap Kadar LDL dan Kadar HDL dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1. Menguji beda 2 mean variabel kadar LDL dan kadar HDL antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol untuk masing-masing kondisi sebelum dan sesudah pemberian

suplementasi Vitamin D dengan uji beda 2 mean sampel independent. Dengan langkah ini

diharapkan pada kondisi setelah pemberian suplementasi Vitamin D akan terjadi

perbedaan mean yang signifikan antara kelompok perlakuan yang menerima suplementasi

Vitamin D dan kelompok kontrol yang plasebo, sedangkan pada kondisi sebelum

pemberian suplementasi Vitamin D tidak terjadi perbedaan mean kelompok perlakuan

yang menerima suplementasi Vitamin D dan kelompok kontrol yang menerima plasebo,

karena kondisi ini sama-sama belum diberikan suplementasi Vitamin D.

2. Menguji beda 2 (dua) mean Kadar LDL dan Kadar HDL sebelum dan sesudah dilakukan

pemberian suplementasi Vitamin D untuk masing-masing kelompok sampel dengan uji

beda 2 (dua) mean untuk sampel berpasangan. Dengan langkah ini diharapkan pada

kelompok perlakuan yang menerima suplementasi Vitamin D akan terjadi perbedaan yang

signifikan, sedangkan pada kelompok kontrol yang menerima plasebo tidak terjadi

perbedaan yang meyakinkan (signifikan).

3. Menguji beda 2 mean variabel perubahan Kadar LDL (delta-LDL) dan perubahan Kadar

HDL (delta-HDL) dengan uji beda 2 mean untuk sampel independent. Dengan langkah ini

68
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diharapkan ada perbedaan signifikan beda 2 mean kedua variabel perubahan tersebut

(delta-LDL dan delta-HDL) antar kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, karena

kelompok perlakuan diharapkan mengalami perubahan meyakinkan setelah perlakuan

pemberian suplementasi Vitamin D sedangkan kelompok kontrol tidak mengalami

perubahan yang signifikan setelah menerima pemberian plasebo.

Sebelum dilakukan pengujian beda 2 mean itu, terlebih dahulu juga dilakukan pengujian

normalitas data variabel utama untuk memastikan jenis uji statistik yang akan digunakan

untuk pengujian beda 2 mean dimaksud.

Langkah Pertama, variable kadar LDL pada kelompok perlakuan dan kelompok

control pada kondisi sebelum perlakuan berdistribusi tidak normal, maka uji beda 2 mean

kadar LDL kelompok perlakuan yang menerima suplementasi Vitamin D dan kelompok

kontrol yang menerima plasebo tersebut menggunakan uji beda 2 mean uji Mann Whitney.

Hasil pengujian beda 2 mean kelompok perlakuan dan kelompok kontrol untuk variable kadar

LDL pada kondisi sebelum pemberian suplementasi Vitamin D menunjukkan hasil pengujian

yang tidak signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p > 0,05). Dengan demikian variable

kadar LDL untuk kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada kondisi sebelum pemberian

suplementasi Vitamin D tidak berbeda secara meyakinkan atau sama.

Variable kadar HDL kelompok perlakuan pada kondisi sebelum pemberian

suplementasi Vitamin D memiliki distribusi normal, namun pada kelompok kontrol

berdistribusi normal. Setelah dilakukan pengujian normalitas data Variabel kadar HDL

dengan semua sampel (kelompok perlakuan dan kelompok control) ternyata didapatkan

bahwa distribusi data variabel kadar HDL adalah normal. Untuk itu maka uji beda 2 mean

kadar HDL kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tersebut menggunakan uji beda 2

69
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mean uji t untuk sampel independent. Hasil pengujian beda 2 mean kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol untuk variable Kadar HDL pada kondisi sebelum pemberian suplementasi

Vitamin D menunjukkan hasil pengujian yang signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p

< 0,05). Dengan demikian variable kadar HDL untuk kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol pada kondisi sebelum pemberian suplementasi Vitamin D berbeda secara meyakinkan

atau tidak sama. Perbandingan nilai rata-rata dan standar deviasi variabel kadar LDL dan

kadar HDL itu adalah sebagai berikut:

Tabel 5.3.

Perbandingan Kadar LDL dan Kadar HDL pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

pada Kondisi Sebelum Pemberian Vitamin D

Klp Perlakuan Klp Kontrol Uji Beda 2 Mean

Variabel Rata-rata Std Rata-rata Std Nilai P value

Deviasi Deviasi Statistik

Kadar LDL 135,73 30,59 135,93 23,59 Z = -0,394 0,713

Kadar HDL 53,00 12,64 45,07 6,42 t = 2,167 0,039*

Keterangan: ** Signifikan pada derajat signifikan sebesar 1 persen.

* Signifikan pada derajat signigikansi sebesar 5 persen.

Selanjutnya variable kadar LDL pada kelompok perlakuan yang menerima

suplementasi Vitamin D pada kondisi setelah pemberian suplementasi Vitamin D berdistribusi

70
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

normal, demikian pula pada kelompok kontrol yang menerima plasebo juga berdistribusi

normal. Maka uji beda 2 mean variabel Kadar LDL pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol sesudah pemberian suplementasi Vitamin D tersebut menggunakan uji beda 2 mean

uji t untuk sampel independent. Sementara variable Kadar HDL pada kelompok perlakuan

maupun kelompok kontrol pada kondisi sesudah pemberian suplementasi Vitamin D

keduanya juga berdistribusi normal, maka uji beda 2 mean variabel Kadar HDL kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol sesudah pemberian suplementasi Vitamin D tersebut

menggunakan uji beda 2 mean uji t untuk sampel independent.

Tabel 5.4.

Perbandingan Kadar LDL dan Kadar HDL pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

pada Kondisi Sesudah Pemberian Suplementasi Vitamin D.

Klp Perlakuan Klp Kontrol Uji Beda 2 Mean

Variabel Rata-rata Std Rata-rata Std Nilai P value

Deviasi Deviasi Statistik

Kadar LDL 131,47 20,34 147,87 27,01 t = -1,879 0,071

Kadar HDL 55,60 11,94 42,13 7,58 t = 3,688 0,001**

Keterangan : ** Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen.

Hasil pengujian beda 2 mean kelompok perlakuan yang menerima pemberian

suplementasi vitamin D dan kelompok kontrol yang menerima pemberian plasebo untuk

variable Kadar LDL pada kondisi sesudah pemberian suplementasi Vitamin D menunjukkan

hasil pengujian yang tidak signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05),

sementara untuk variabel Kadar HDL menunjukkan hasil yang signifikan pada derajat

signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Hal itu berarti setelah pemberian suplementasi
71
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Vitamin D, pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol hanya terjadi perbedaan pada

variable Kadar HDL tetapi pada variabel kadar LDL tidak berbeda secara meyakinkan

(signifikan).

Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan bahwa “Ada pengaruh

Pemberian Suplementasi Vitamin D terhadap Kadal LDL pada pasien Geriatri dengan

Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia”, tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara

meyakinkan. Namun untuk hipotesis kedua yang menyatakan bahwa “Ada pengaruh

Pemberian Suplementasi Vitamin D terhadap Kadar HDL pada pasien Geriatri dengan

Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia” dapat dibuktikan kebenarannya secara meyakinkan.

Langkah kedua, variable Kadar LDL sebelum pemberian suplementasi Vitamin D

pada kelompok kontrol berdistribusi tidak normal, namun setelah pemberian suplementasi

Vitamin D berdistribusi normal, maka uji beda 2 mean untuk sampel berpasangan sebelum

dan sesudah pemberian suplementasi Vitamun D itu dapat dilakukan dengan uji beda 2 mean

uji Willcoxon. Sementara variavel Kadar HDL sebelum pemberian suplementasi Vitamin D

pada kelompok kontrol beristribusi normal, namun sesudah perlakuan berdistribusi normal ,

sehingga uji beda 2 mean untuk sampel berpasangan juga dilakukan dengan beda dua mean

uji Willcoxon.

Hasil pengujian beda 2 mean atas variabel Kadar LDL sebelum dan sesudah

pemberian suplementasi Vitamin D pada kelompok kontrol menghasilkan beda yang

signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Sementara pengujian beda 2

mean atas variabel Kadar HDL sebelum dan sesudah pemberian suplementasi Vitamin D pada

kelompok kontrol juga menghasilkan beda yang signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5

persen (p < 0,05). Hal itu menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang tidak diberi

72
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

suplementasi Vitamin D Kadar LDL meningkat secara meyakinkan, dan kadar HDL

mengalami penurunan secara meyakinkan.

Tabel 5.5

Perbandingan Kadar LDL dan Kadar HDL Sebelum dan Sesudah Pemberian Suplementasi

Vitamin D pada Kelompok Kontrol.

Sebelum Sesudah Uji t Beda 2 Mean

Variabel Rata-rata Std Rata-rata Std Nilai P value

Deviasi Deviasi Statistik

Kadar LDL 135,93 23,59 147,87 27,01 Z = -2,272 0,023*

Kadar HDL 45,07 6,42 42,13 7,58 Z = -2,110 0,035*

Keterangan: ** Signifikan pada derajat signifikansi sebesar 1 persen.

* Signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen.

Selanjutnya variable Kadar LDL sebelum pemberian suplementasi Vitamin D pada

kelompok perlakuan berdistribusi normal, namun setelah pemberian suplementasi Vitamin D

justru berdistribusi normal, maka uji beda 2 mean untuk sampel berpasangan sebelum dan

sesudah pemberian suplementasi Vitamun D itu dapat dilakukan dengan uji beda 2 mean uji

Willcoxon. Sementara variavel Kadar HDL sebelum maupun sesudah pemberian suplementasi

Vitamin D pada kelompok perlakuan keduanya beristribusi normal, sehingga uji beda 2 mean

itu dapat dilakukan dengan uji t untuk sampel berpasangan.

Hasil pengujian beda 2 mean atas variabel Kadar LDL sebelum dan sesudah

pemberian suplementasi Vitamin D pada kelompok perlakuan menghasilkan perbedaan yang

tidak signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Sementara pengujian
73
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

beda 2 mean atas variabel Kadar HDL sebelum dan sesudah pemberian suplementasi Vitamin

D pada kelompok perlakuan juga menghasilkan perbedaan yang juga tidak signifikan pada

derajat signifikans sebesar 5 persen (p > 0,05).

Tabel 5.6.

Perbandingan Kadar LDL dan Kadar HDL Sebelum dan Sesudah Pemberian Suplementasi

Vitamin D pada Kelompok Perlakuan.

Sebelum Sesudah Uji t Beda 2 Mean

Variabel Rata-rata Std Rata-rata Std Nilai P value

Deviasi Deviasi Statistik

Kadar LDL 135,73 30,59 131,47 20,34 Z = -0,939 0,348

Kadar HDL 53,00 12,64 55,60 11,94 t = -1,070 0,303

Keterangan: ** Signifikan pada Derajat Signifikansi 1 persen.

* Signifikan pada Derajat Signifikansi 5 persen.

Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan bahwa “Ada pengaruh

Pemberian Suplementasi Vitamin D terhadap Kadar LDL pada pasien Geriatri dengan

Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia”, tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara

meyakinkan. Demikian pula dengan hipotesis kedua yang menyatakan bahwa “Ada pengaruh

Pemberian Suplementasi Vitamin D terhadap Kadar HDL pada pasien Geriatri dengan

Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia” juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara

meyakinkan. Perbandingan rata-rata variabel Kadar LDL dan Kadar HDL sebelum dan

sesudah menerima suplementasi Vitamin D pada masing-masing kelompok sampel dapat

digambarkan sebagai berikut:

74
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

150 60
145 147.87 50
53.00 55.60
140 40 45.07 42.13
135 30
135.93 135.73
130 20
131.47
125 10
120 0
Klp Kontrol Klp Perlakuan Klp Kontrol Klp Perlakuan

Kadar LDL Kadar HDL

Gambar 5.1.

Perbandingan Kadar LDL dan Kadar HDL Sebelum dan Sesudah Pemberian Suplementasi

Vitamin D pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol

Langkah Ketiga, pembuktian hipotesis pertama dan kedua itu juga dapat dilakukan

dengan menggunakan pengujian atas variabel perubahan Kadar LDL (delta-LDL) dan

perubahan Kadar HDL (delta-HDL). Variabel perubahan Kadar LDL (delta-LDL) merupakan

selisih Kadar LDL sebelum perlakuan pemberian suplementasi Vitamin D dengan Kadar LDL

sesudah perlakuan pemberian suplementasi Vitamin D, sedangkan variabel perubahan kadar

HDL (delta-HDL) merupakan selisih Kadar HDL sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan

pemberian Suplementasi Vitamin D. Maka apabila rata-rata variabel perubahan (delta) itu

positif menunjukkan adanya penurunan setelah ada perlakuan, dan sebaliknya jika rata-rata

variabel perubahan (delta) itu negatif berarti setelah ada perlakuan variabel itu mengalami

peningkatan.

75
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Variabel delta-ldl pada kelompok kontrol memiliki data yang berdistribusi normal,

sementara pada kelompok perlakuan memiliki distribusi data tidak normal. Namun pengujian

normalitas data variabel delta-LDL untuk seluruh sampel (kontrol dan perlakuan) didapatkan

bahwa variabel delta-LDL berdistribusi normal. Sehingga pengujian beda 2 mean delta-LDL

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat menggunakan uji beda 2 mean uji t untuk

sampel independent. Variabel delta-HDL pada kelompok kontrol maupun perlakuan memiliki

data berdistribusi normal, sehingga uji beda 2 mean variabel delta-HDL kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan dapat mengunakan uji beda 2 mean uji t untuk sampel independent.

Hasil perhitungan uji beda 2 mean dengan uji t untuk sampel independent antar variable

delta-LDL menunjukkan bahwa variabel perubahan itu (delta-LDL) berbeda secara

meyakinkan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Namun untuk variabel delta-HDL

menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p >

0,05). Sehingga hipotesis pertama yang menyatakan bahwa : “Ada pengaruh Pemberian

Suplementasi Vitamin D terhadap Kadar LDL pada pasien Geriatri dengan Diabetes Melitus

Tipe 2 dan Sarkopenia”, dapat dibuktikan kebenarannya secara meyakinkan. Dan hipotesis

kedua yang menyatakan bahwa “Ada pengaruh Pemberian Suplementasi Vitamin D terhadap

Kadar HDL pada pasien Geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia” tidak

dapat dibuktikan kebenarannya secara meyakinkan.

76
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 5.7.

Perbandingan Delta-ldl dan Delta-hdl pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol.

Klp Perlakuan Klp Kontrol Uji Beda 2 Mean

Variabel Rata-rata Std Rata-rata Std Nilai P value

Deviasi Deviasi Statistik

Delta-ldl 4,27 15,68 -11,93 17,19 t = -2,616 0,008**

Delta-hdl -2,60 9,41 2,93 4,77 t = -2,031 0,055

Keterangan : * Signifikan pada Derajat Signifikansi 5 persen.

** Signifikan pada Derajat Signifikansi 1 persen.

77
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Pendekatan Prinsip Ontologi

Proses menua menyebabkan terjadinya degenerasi dan kemunduran struktur anatomi

serta fungsional pada berbagai sistem organ tubuh. Proses degenerasi ini menyebabkan berbagai

penyakit majemuk termasuk diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskuler (PKV). Diabetes

Melitus tipe 2 merupakan sindrom yang heterogen yang ditandai dengan hiperglikemi kronik

akibat interaksi berbagai faktor lingkungan dengan gen-gen diabetogenik. Interaksi kedua faktor

tersebut menimbulkan berbagai kombinasi gangguan sel β dan resistensi insulin. (Haney PM et

al., 2001).

Disfungsi endotel pada pasien DM berhubungan dengan resistensi insulin, menunjukkan

peranannya sebagai penyebab awal perkembangan terjadinya aterosklerosis. Terjadinya

atherosclerosis ini sesuai dengan peningkatan faktor risiko kardiovaskuler, salah satunya adalah

gangguan lipid. Disfungsi endotel dan resistensi insulin terjadi akibat suatu glukotoksisitas dan

lipotoksisitas serta adanya inflamasi yang berhubungan dengan metabolik dan penyakit

kardiovaskuler (Muniyappa et al., 2007).

Diabetes Melitus dan sindrom metabolik mempunyai kelainan dasar yang sama yaitu

resistensi insulin. Metabolisme lipoprotein sedikit berbeda dengan pasien tanpa adanya

resistensi insulin (Malloy, 2004). Pada Keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di

jaringan adiposa akan menjadi aktif sehingga terjadi lipolisis trigliserida dan jaringan adiposa

semakin meningkat, dan akan mehasilkan FFA yang berlebihan. FFA memasuki aliran darah,

sebagian akan digunakan menjadi energi dan sebagian lagi akan dibawa menuju ke hati sebagai

78
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bahan baku pembentukan trigliserid. Pada resistensi insulin, mekanisme ini akan

mengakibatkan kelainan profil lipid yang khas dengan kadar trigliserid yang tinggi, LDL-C

yang tinggi dan HDL-C yang rendah. (Kwiterovich, 2000; Malloy, 2004).

Sarkopenia merupakan fenomena kompleks dengan etiologi multifaktorial. Proses

terjadinya sarkopenia melibatkan interaksi sistem saraf tepi dan sentral, hormonal, status nutrisi,

imunologis, dan aktifitas fisik yang kurang. Pada tingkat molekular, sarkopenia disebabkan

penurunan kecepatan sintesis protein otot dan/atau peningkatan pemecahan protein otot yang

tidak proporsional. Proses neuropati paling berpengaruh karena bertanggungjawab pada

degenerasi saraf motor alfa yang mensarafi serabut otot dan menyebabkan kehilangan motor

unit ( Narici et al., 2010). Nutrisi yang berperan penting pada sarkopenia dan kekuatan massa

otot adalah vitamin D. Orang usia lanjut berisiko mengalami defisiensi vitamin D mendapatkan

prevalensi defisiensi vitamin D pada usia lanjut sebesar 35,1%. Suplementasi vitamin D

padausia lanjut dengan defisiensi vitamin D bermanfaat untuk mencegah sarkopenia, penurunan

status fungsional, dan risiko jatuh (Setiati et al., 2007).

Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak yang berfungsi sebagai hormon

steroid dan bisa diperoleh dari diet atau disintesis secara endogen dengan paparan ultra-violet

B(UVB) cahaya. Ada beberapa hubungan langsung dan tidak langsung antara status vitamin D

dan penyakit jantung dan pengaruh yang kuat antara kesehatan kardiometabolik (Wang TJ et

al., 2008). Vitamin D diketahui mengatur renin, yang terkenal manfaatnya untuk penyakit

hipertensi, tetapi juga merupakan faktor risiko independen untuk morbiditas dan mortalitas

(Verma S et al., 2011;Li YC et al., 2002). Selain itu, 25OHD yang rendah pada individu dengan

obesitas dan diabetes, dan vitamin D telah dikenal antiinflamasi, yang semuanya bisa

memodulasi kesehatan kardiometabolik( Alele JD et al., 2013). Tidak diragukan jika hubungan

79
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

antara penyakit kardiovaskular dan status vitamin D adalah multifaktorial, namun satu

penjelasan potensial bisa menjadi afiliasi dari konsentrasi serum lipid dengan status vitamin D.

Terdapat perbedaan yang signifikan dan menguntungkan antara HDL dan TG bagi

mereka yang menpunyai status vitamin D yang tinggi. 20 publikasi melaporkan hubungan

positif antara vitamin tingkat D dan HDL(Jorde et al., 2010) . Jumlah TG yang tinggi dan HDL

merupakan indikator dari perubahan glukosa dan metabolisme lipid dan berhubungan dengan

resistensi insulin dan disfungsi sel beta. Akibatnya, penderita diabetes berada pada risiko tinggi

bila kadar TG HDL yang tinggi dan diketahui memiliki cadangan D vitamin lebih rendah

(Cordero A et al., 2009). Megalin adalah bagian reseptor LDL yang dikenal dengan nama gp-

330. Ekspresi mRNA megalin dipengaruhi kadar vitamin D, Kadar vitamin D yang rendah

menyebabkan ekspresi megalin menurun, dan terjadi peningkatan kadar LDL (Marzolo, 2011).

Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi adiponectin di lemak visceral dipengaruhi oleh

kadar vitamin D. Vitamin D berperan pada ekspresi gen adiponectin (Yared et al 2009). Kadar

adiponectin berhubungan dengan aktifitas enzim hepatic lipase dengan melalui sterol regulation

element binding promoteor (SREBP) sebagai control enzim hepatic lipase. Enzim hepatic lipase

berbanding terbalik dengan kadar HDL dengan melalui mekanisme hidrolisis fosfolipid dan

trgliserid sehingga mengkonversi HDL, dan secara langsung berperan pada uptake HDL oleh

reseptornya (Schneider et al, 2005). Demikian pula, vitamin D diketahui memiliki efek

menguntungkan pada sensitivitas insulin dan fungsi sel beta pancreas (Nykjaer A et al., 1999).

Didapatkan konsentrasi glukosa puasa yang lebih tinggi dan rasio TG HDL yang rendah pada

mereka dengan konsentrasi vitamin D yang lebih tinggi.

80
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6.2. Pendekatan Prinsip Epistomologi

1. Pengaruh pemberian Vitamin D terhadap kadar HDL pasien geriatri dengan Diabetes

Melitus tipe 2 dan sarkopenia.

Pembuktian hipotesa pertama bahwa apakah ada pengaruh pemberian vitamin D

terhadap kadar HDL pasien geriatri dengan diabetes mellitus tipe 2 dan sarkopenia tidak

menunjukkan korelasi yang signifikan. Hasil pengujian beda 2 mean atas variabel kadar

HDL sebelum dan sesudah pemberian suplementasi Vitamin D pada kelompok kontrol

juga menghasilkan beda yang signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p <

0,05). Hal itu menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang tidak diberi

suplementasi Vitamin D kadar HDL mengalami penurunan secara meyakinkan. Hasil

pengujian beda 2 mean atas variabel kadar HDL sebelum dan sesudah pemberian

suplementasi Vitamin D pada kelompok perlakuan juga menghasilkan perbedaan yang

juga tidak signifikan pada derajat signifikans sebesar 5 persen (p > 0,05). Hal ini berarti

bahwa dengan pemberian suplementasi vitamin D maka kadar HDL pasien geriatric

dengan diabetes mellitus tipe 2 tidak mengalami perubahan secara signifikan.

Secara teori terdapat perbedaan yang signifikan dan menguntungkan antara HDL dan

TG bagi mereka yang menpunyai status vitamin D yang tinggi. Sebuah review

menyimpulkan bahwa HDL dan vitamin D memiliki hubungan paling sederhana dan

terdapat 20 publikasi melaporkan hubungan positif antara vitamin tingkat D dan

HDL(Jorde et al., 2010). Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi adiponectin di lemak

visceral dipengaruhi oleh kadar vitamin D. Vitamin D berperan pada ekspresi gen

adiponectin (Yared et al 2009). Selain itu vitamin D berperan sebagai regulator negative

renin, di mana enzim renin akan merangsang produksi adiponectin (Budelescu et al.

81
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2014). Kadar adiponectin berhubungan dengan aktifitas enzim hepatic lipase dengan

melalui sterol regulation element binding promoteor (SREBP) sebagai control enzim

hepatic lipase. Enzim hepatic lipase berbanding terbalik dengan kadar HDL dengan

melalui mekanisme hidrolisis fosfolipid dan trgliserid sehingga mengkonversi HDL, dan

secara langsung berperan pada uptake HDL oleh reseptornya (Schneider et al, 2005).

Meskipun demikian studi kami memberikan bukti berkebalikan dengan teori dan dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan ulang akan manfaat suplementasi vitamin D

terhadap kadar HDL pasien geriatric dengan diabetes mleitus tipe 2 dan sarkopenia. Hal

ayang serupa nampak pada penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Wang dkk yang

mengevaluasi efek suplementasi vitamin D terhadap lemak darah dan disimpulkan

bahwa suplementasi vitamin D dapat menningkatkan konsentrasi kolesterol LDL tetapi

tidak mempengaruhi kolesterol HDL secara signifikan (Wang et al, 2012). Penelitian

lain oleh Chiu dkk juga menunjukkan adanya korelasi negative antara kaddar 25(OH)D

dengan kadar kolesterol LDL tetapi tidak ditemukan hubungan antara kadara 25(OH)D

dengan kadar LDL (Shivaprakash dan Joseph, 2014).

2. Pengaruh pemberian Vitamin D terhadap penurunan kadar LDL pasien geriatri dengan

Diabetes Melitus tipe 2 dan sarkopenia

Pembuktian hipotesa kedua bahwa apakah ada pengaruh pemberian vitamin D terhadap

kadar LDL pasien geriatri dengan diabetes mellitus tipe 2 dan sarkopenia menunjukkan

korelasi yang signifikan. Hal ini berarti bahwa dengan pemberian suplementasi vitamin

D maka kadar HDL pasien geriatri dengan diabetes mellitus tipe 2 mengalami

perubahan secara signifikan.

82
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Megalin adalah bagian reseptor LDL yang dikenal dengan nama gp-330. Kadar

kolesterol plasma dan LDL berhubungan erat dengan variasi genetic megalin.

Apoliprotein M adalah lipocain pada pre HDL, kilomikron, LDL, dan VLDL yang

menggunakan megalin sebagai reseptornya. Ekspresi mRNA megalin dipengaruhi kadar

vitamin D, Kadar vitamin D yang rendah menyebabkan ekspresi megalin menurun, dan

terjadi peningkatan kadar LDL (Marzolo, 2011).

Hasil pengujian beda 2 mean atas variabel Kadar LDL sebelum dan sesudah

pemberian suplementasi Vitamin D pada kelompok kontrol menghasilkan beda yang

signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Hal itu menunjukkan

bahwa pada kelompok kontrol yang tidak diberi suplementasi Vitamin D Kadar LDL

meningkat secara meyakinkan. Hasil pengujian beda 2 mean atas variabel Kadar LDL

sebelum dan sesudah pemberian suplementasi Vitamin D pada kelompok perlakuan

menghasilkan perbedaan yang tidak signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen

(p > 0,05). Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa : “Ada pengaruh Pemberian

Suplementasi Vitamin D terhadap Kadar LDL pada pasien Geriatri dengan Diabetes

Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia”, dapat dibuktikan kebenarannya secara meyakinkan.

6.3. Pendekatan Prinsip Aksiologi

Berdasarkan prinsip aksiologi, secara keseluruhan manfaat hasil penelitian ini adalah

pada geriatri dengan diabetes mellitus dan sarkopenia yang mendapatkan suplementasi vitamin

D mempunyai pengaruh yang signifikan dengan kadar LDL tetapi tidak cukup signifikan untuk

mempengaruhi kadar HDL. Hal ini menunjukkan fungsi penting dari vitamin D adalah untuk

83
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menurunkan resistensi insulin, meningkatkan kadar megalin, dan menurunkan adiponectin.

Pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan kadar LDL.

Sehingga dari penelitian ini karena kadar vitamin D mempengaruhi kadar LDL maka uji

klinis suplemen vitamin D untuk menurunkan kadar LDL akan diperlukan mengingat hanya

terdapat sedikit penelitian suplemen D diberbagai populasi dengan hasil yang beragam.

6.4. Nilai Kebaruan Penelitian

Nilai-nilai kebaruan dari penelitian ini adalah:

A. Solusi baru. Kerangka konsep dari hasil penelitian ini merupakan solusi baru

bahwa suplementasi vitamin D pada pasien geriatri dengan diabetes mellitus tipe 2

dan sarkopenia dapat menurunkan kadar LDL sehingga diharapkan dapat menjadi

alternatif terapi baru.

B. Strategi baru. Hasil penelitian ini memberikan suatu informasi bahwa pada pasien

geriatri dengan diabetes mellitus tipe 2dan sarkopenia beresiko mengalami

peningkatan kadar LDL yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi dan

memperburuk kondisi pasien sehingga diharapkan dengan pembrian suplementasi

vitamin D dapat mencegah hal tersebut.

C. Perspektif baru. Hasil penelitian ini dapat digunakan, dikembangkan lebih lanjut

dalam usaha mencegah timbulnya berbagai komplikasi pasien geriatri dengan

diabetes mellitus tipe 2 dan sarkopenia terutama yang didasari oleh gangguan

metabolisme lemak.

D. Kondisi baru. Suplemen vitamin adalah terapi baru dan merupakan suplementasi

pada geriatri

84
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6.5. Keterbatasan Penelitian

1. Karakteristik sampel penelitian relative homogen dalam hal ras dan etnis, berpotensi

membatasi generalisasi atau validitas temuan eksternal namun meningkatkan validitas

internal.

2. Ukuran populasi memberi kekuatan tambahan pada validitas internal

85
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB VII

PENUTUP

7.1. Kesimpulan

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemberian suplemen vitamin D terbukti dapat menurunkan kadar LDL pada pasien

Geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia

2. Pemberian suplemen vitamin D tidak terbukti secara signifikan terhadap peningkatan

kadar HDL pada pasien Geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan Sarkopenia

7.2. Saran

Dalam penelitian ini kami memberikan saran:

1. Kepada peneliti yang akan melakukan penelitian lanjutan sebaiknya waktu pemberian

suplementasi vitamin D pada penelitian yang perlu ditambah.

2. pemberian suplemen dan obat-obatan yang telah dikonsumsi dapat menimbulkan bias

pada hasil pemeriksaan.

86
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Albertini JP, Valensi P, Lormeau B, Aurousseau MH, Ferriere F, Attal JR, et al. 2008.
Elevated Concentration of Soluble E-Selectin and Vascular Cell Adhesion
Molecule-1 in NIDDM. Diabetes care J 21(6):1008-12
Anderson RL, Ternes SB, Strand KA, Rowling MJ. Vitamin D homeostasis is
compromised due to increased urinary excretion of the 25-
hydroxycholecalciferolvitamin D-binding protein complex in the Zucker
diabetic fatty rat. Am. J. Physiol. -Endocrinol. Metab. 2010;299(6):E959–E967.
A. Catharine Ross, Christine L. Taylor, Ann L. Yaktine, and Heather B. Del Valle,
Editors; Committee to Review Dietary Reference Intakes for Vitamin D and
Calcium; Institute of Medicine. Dietary Reference Intakes for Calcium and
Vitamin D.Washington, D.C.: The National Academies Press; 2011.
Bischoff-Ferrari HA WW. Fracture prevention with vitamin d supplementation: A
meta-analysis of randomized controlled trials. JAMA. 2005;293(18):2257–
2264.
Boyle JP, Honeycutt AA, Narayan KM, et al. Projection of Diabetes Burden through
2050: Impact of Changing Demography and Disease Prevalence in the U.S.
Diabetes Care. 2001; 24(11): 1936–1940
Brownlee M. 2005. The Pathologiy of Diabetic Complications- A Unifying
mechanism. Diabetes 24:1615-25
Brownlee M, Aiello LP, Cooper ME, Vinik AI, Nesto RW and Boulton JM. 2008.
Complication of Diabetes Mellitus. In HM. Kronenberg, S. Melmed, KS.
Polonsky and PR. Larsen (editors). Williams Textbook of Endocrinology, 11 th
Ed, Saunders Elsevier, Canada, pp 1417-31
Brunzell JD, Davidson M, Furberg CD, Goldberg RB, Howard BV, Stein JH, et al.
2004. Lipoprotein Management in Patient with Cardiometabolic Risk. Journal
of the American College of Cardiology vol 51(15) : 1512-24
Boger RH, Sydow K, Borlak J, Thum T, Lenzen H Schubert B, Tsikas D, Bode-Boger
SM. 2000. LDL Cholesterol Upregulates Syntesis of Asymmetrical
Dimethylarginin in Human Endhothelial Cells: Involvement of S-
Edenosylmethionine-Dependent Methyltransferase. Circ Res 87: 99-105
Breslavsky A, Frand J, Matas Z, Boaz M, Barnea Z, Shargorodsky M. Effect of high
doses of vitamin D on arterial properties, adiponectin, leptin and glucose
homeostasis in type 2 diabetic patients. Clin. Nutr. 2013;in press.
Ceriello A dan Moitz E. 2004. Is Oxidative Stress the Pathogenic Mechanism
underlying Insulin Resistance, Diabetes and cardiovascular disease? The
Common Soil hypothesis revisited. Arterioscler Rhromb Vasc Biol 24: 816-23
Cesari M, Penninx BW, Pahor M, et al. Inflammatory Markers and Physical
Performance in Older Persons: the in CHIANTI Study. The Journals of
Gerontology Series A: Biological Sciences and Medical Sciences. 2004; 59(3):
242–248

87
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Chien M-Y, Huang T-Y, Wu Y-T. Prevalence of sarcopenia estimated using


bioelectrical impedance analysis prediction equation in community-dwelling
elderly people in Taiwan. J Am Geriatr Soc. 2008;561:1710-15
Chodzko-Zajko, Ringel, Miller R. Biology of aging and longevity. In: Halter BJ,
Ouslander JG Tiinneti ME, Studenski S, Higj KP, Asthana K, editors.
Hazzard’s geriatric medicines and gerontology. 6th ed. New York: McGraw-
Hill Health Professions Divisons; 2009.
Calvo MS, Whiting SJ, Barton CN. Vitamin D fortification in the United States and
Canada: current status and data needs. Am. J. Clin. Nutr. 2004;80(6
Suppl):1710S–6S.
Chonchol M, Kendrick J, Targher G. 2011. Extra-skeletal effects of vitamin
Ddeficiency in chronic kidney disease. Ann Med; 43:273-82.
Deluca HF dan Cantorna MT. 2001. Vitamin D: its role and uses hi immunology.
TheFASEB Journal, vol. 15 no. 14 2579-2585
Dusso AS. 2011. Vitamin D and Renal Disease. In: Feldman DP, J.W.; Adams, J.S.,ed.
Vitamin D.Amsterdam: Elsevier Inc.,: 1325-57.
Drodge W. 2002. Free radical in the Physiological Control of cell Function. Physiol
Rev 82 : 47-95
De Rekeneire N, Resnick HE, Schwartz AV, et al. Diabetes is Associated with
Subclinical Functiona Limitation in Nondisabled Older Individuals: The ealth,
Aging, and Body Composition Study. Diabetes Care. 2003; 26(12): 3257–
3263.
Dharmojo B,2006. Penyakit kardivaskuler pada usia lanjut. Dalam: Boedhi-Dharmojo,
Martono H (ed). Buku Ajar Geriatri. Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI : p 3-
13
Dharmojo B, 2006. Teori Proses Menua. Dalam: Boedhi-Dharmojo, Martono H (ed).
Buku Ajar Geriatri. Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 262-84
Feener EP dan Dzau VJ. 2006. Pathogenesis of Cardiovascular Disease In Diabetes.
In R. Kahn, GC. Weir, GL. King, AC. Moses, RJ. Smith and AM. Jacobson
(eds). Joslin’s Diabetes Mellitus, 14th Ed, Lippincott Williams and Wilkins,
Boston, Massachucets, Pp 868-84
Guntur A, Sumarmi S, 2008. Ciri-ciri penyakit lanjut usia. Dalam: martono H.hirlan,
Gassem MH, Rahayu RA, Mupangati YM. Temu Ilmiah Geriatri Semarang
2008.p 373-77
Grupta A, Sabatine M, Lilly LS, 2003. Acute Coronary Syndrome. In: Lilly LS.(ed).
Pathophysiology of Heart Disease. The 3 ed. Philadelpia: Lippincott William &
Wilkins. P157-85.
Guntur H. 2000. Imunopatobilogi Sepsis dan Penatalaksanaannya. Presentasi
pengukuhan guru besar FK UNS Juli 2003.
Guntur H. 2008. Koagulasi Intravaskuler Diseminata. Dalam SIRS, Sepsis dan Syok
Septik. UNS Press, Surakarta, Pp 95-104.

88
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Guntur H. 2002. Peran Asam Folat sebagai vitamin dan pengobatan supportif. PIT
PAPDI, Yogyakarta.
Guyton HC dan Hall JE. 2006. Lipid Metabolism. Guton and Hall Textbook of medical
Physiology 68:819-27
Gloth FM III, Gundberg CM, Hollis BW, Haddad JG, Tobin JD. 2005. Vitamin D
deficiency in homebound elderly persons. JAMA 2005;274: 1683–6.
Gregg EW, Beckles GL, Williamson DF, et al. Diabetes and Physical Dis-Ability
Among U.S. Adults. Diabetes Care. 2000; 23(9): 1272–1277.
Hardy LR, dan Bell RA. 2004.A Epidemiological Perspective on Ttpe 2 Diabetes
among Adult Maen. Diabetes Spectrum 17 : 208-14
Holick MF, Binkley NC, Bischoff-Ferrari HA, Gordon CM, Hanley DA, Heaney RP,
Murad MH, Weaver CM. Evaluation, Treatment, and Prevention of Vitamin D
Deficiency: an Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J. Clin.
Endocrinol. Metab.2011;96(7):1911–1930.
Haffner SM, Lehto S, Ronnemaa T, Pyorala K, Laakso M. 1998. Mortality from
Coronary Heart Disease in Subjects with type 2 Diabetes and Nondiabetic
Subjects with and without Prior Myocadial Infarction. The New England
Journal of Medicinevol 339: 229-34
Holick MF. 2005. Environmental factors that influence the cutaneous production of
vitamin D. Am J Clin Nutr 2005;61(suppl):638S–45S.
Holick MF, MacLaughlin JA, Clark MB, Holick SA, Potts JT, Anderson RR, Blank
IH, Parrish JA, Elias P. Photosynthesis of Previtamin D3 in Human Skin and
the Physiologic Consequences. Science. 1980;210(4466):203–205.
Heaney RP. 2008. Vitamin D in Health and Disease. Clin JAm Soc nephrol. 3(5):
pp1535-41.
Holick MF. 2007. Vitamin D deficiency. NEnglJMed; 357:266-81
Holick MF. Vitamin D Deficiency. N. Engl. J. Med. 2007;357(3):266–281.
Jones G. Pharmacokinetics of vitamin D toxicity. Am. J. Clin. Nutr. 2008;88(2):582S-
586S.
Judd SE dan Tangpricha V. 2011. Vitamin d therapy and cardiovascular health.
CurrHypertens Rep\ 13:187-91
Janssen HC, Samson MM, Verhaar HJ. 2002. Vitamin D deficiency, muscle function,
and falls in elderly people. Am J Clin Nutr April 2002 vol. 75 no. 4 611-615
Jessup M, Brozena S, 2003. Heath Failure. Review Article. N engl J Med; 348:2007-
18.
Kamso S, Purwantyastuti, Juwita R. 2002. Dislipidemia di kota Padang. Makara
Kesehatan. Vol 2. No. 2. Desember 2002.
Kamen DL dan Tangpricha V. 2010.Vitamin D and molecular actions on the
immunesystem: modulation of innate and autoimmunity. J Mol Med (Berl);
88:441-50.

89
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Lee SW, Youm Y, Lee WJ, Choi W, Chu SH, Park YR, et al. 2015. Appendicular
Skeletal Muscle Mass and Insulin Resistance in an Elderly Korean Population:
The Korean Social Life, Health and Aging Project-Health Examination Cohort.
Diabetes Metab J. 2015 Feb; 39(1): 37–45
Lehmann B, Meurer M. Vitamin D metabolism. Dermatol. Ther. 2010;23(1):2–12.
Mattila C, Knekt P, Mannisto S. Serum 25- hydroxyvitamin D concentration and
subsequent risk of type 2 diabetes. Diabetes Care. 2007;30:2569–2570. doi:
10.2337/dc07-0292.
Morley HE. Sarcopenia: diagnosis and treatment. J Nutr Health Aging. 2008;12:452-6
Muniyappa R, Montagnani M, Kon Koh K, and Quon MJ. 2007. Cardiovascular
Action of Insulin. Endocrine Review 28(5):463-91
Mehrotra R, Kermah D, Budoff M, Salusky IB, Mao SS, Gao YL, et al.
2008.Hypovitaminosis D in chronic kidney disease. Clin J Am Soc
Nephrol;3:1144-51;
Melamed ML, Astor B, Michos ED, Hostetter TH, Powe NR, Muntner P. 2009. 25-
hydroxyvitamin D levels, race, and the progression of kidney disease. J AmSoc
Nephrol 20:2631-9;
Maestro B, Molero S, Bajo S. Transcriptional activation of the human insulin
receptorgene by 1, 25-dihydroxyvitamin D(3) Cell bio-chemfunct.
2002;20:227–232.
Moreira-Pfrimer LDF, Pedrosa MAC, Teixeira L, Lazaretti-Castro M. Treatment of
Vitamin D Deficiency Increases Lower Limb Muscle Strength in
Institutionalized Older People Independently of Regular Physical Activity: A
Randomized Double-Blind Controlled Trial. Ann. Nutr. Metab.
2009;54(4):291–300.
Nykjaer A, Dragun D, Walther D, Vorum H, Jacobsen C, Herz J, et al. 2009.
Anendocytic pathway essential for renal uptake and activation of the steroid
25-(OH) vitamin D3. Cell; 96:507-15;
Norman, A.W. 2008. From vitamin D to hormone D: fundamentals of the vitamin
Dendocrine system essential for good health. Am J Clin Nutr. 88(2): p. 491S-
499.
Narici M, Mafulli N. Sarcopenia: characteristics, mechanism, and functional
significance. British Med Bulletin. 2010;95:139-59.
Otten JJ, Hellwig JP, Meyers LD. 2006.Vitamin D. In: Dietary Reference Intakes:The
Essential Guide to Nutrient Requirements. Washington, DC:
NationalAcademies Press.
PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta, h 1-8.
PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta, h 1-12.
Purnomo S. 2003. Oksidan, antioksidan dan radikal bebas. Symposium oksidan dan
antioksidan, Surabaya.

90
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Palomer X, Gonzalez-Clemente JM, Blanco-Vaca F, Mauricio D. Role of vitamin D in


the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Diabetes Obes Metab.
2008;10:185–197. doi: 10.1111/j.1463-1326.2007.00710.
Pfeifer M, Begerow B, Minne HW, Suppan K, Fahrleitner-Pammer A, Dobnig
H.Effects of a long-term vitamin D and calcium supplementation on falls and
parameters of muscle function in community-dwelling older individuals.
Osteoporos. Int. J. Establ.Result Coop. Eur. Found. Osteoporos. Natl.
Osteoporos. Found. Usa. 2009;20(2):315–322.
Rockwood K, Hogan DB, MacKnight C. Conceptualisation and measurement of frailty
in elderly people. Drugs Aging. 2000;17:295-302.
Ross AC, Manson JE, Abrams SA, Aloia JF, Brannon PM, Clinton SK, Durazo-Arvizu
RA, Gallagher JC, Gallo RL, Jones G, Kovacs CS, Mayne ST, Rosen CJ,
Shapses SA. The 2011 Dietary Reference Intakes for Calcium and Vitamin D:
What Dietetics Practitioners Need to Know. J. Am. Diet. Assoc.
2011;111(4):524–527.
Richy F. Dukas L, Schacht E. Differential effects of D-hormone analogs and native
vitamin D on the risk of falls: a comparative meta-analysis. Calcif Tissue Int.
2008;82:02-107.
Robert J, Lehner M, Frank S, Perisa D, Eckardstein AV, Rohrer L. 2011. Interleukin 6
Stimulates Endothelial Binding and Transport of High-Density Lipoprotein
Through Induction of Endothelial Lipase. American Heart Association
Rashid S, Watanabe T, Sakaue T, LewisG. 2003. Mechanisms of HDL lowering in
insulin resistant, hypertriglyceridemic states: the combined effect of HDL
triglyceride enrichment and elevated hepatic lipase activity. Clinical
Biochemistry 36 (2003) 421–429
Shao H, Chen LQ, Xu J. 2011. Treatment of dyslipidemia in the elderly. J Geriatr
Cardiol. 2011 Mar; 8(1): 55–64.
Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S,
Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative
disease in elderly: update in diagnostic & management. Jakarta; Perhimpunan
Gerontologi Medik Indonesia; 2011:69-75.
Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R. Predictors and scoring system for health-
related quality of life in an Indonesian community-dwelling elderly population.
Acta Med Indones. 2011;43(4):237-42.
Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Yudho MN, Purwoko Y, et al. Profile of
nutrient intake in urban metropolitan and urban non-metropolitan Indonesia
elderly population and factors associated with energy intake: multi-centre
study. In press. 2013.
Setiati S, Oemardi M, Sutrisna B, Supartondo. The role of ultraviolet-B from sun
exposure on 25(OH)D and parathyroid hormone level in elderly women in
Indonesia. Asian J Gerontol Geriatr. 2007;2:15-22.

91
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sullivan DH, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Halter JB, Ouslander JG. Tinetti
ME. Studenski S, High KP, Astana S (editors). Hazzard’s geriatric medicine
and gerontology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2009.p.439-57
Setiati S, Seto E, Sumantri S. A pilot study of sarcopenia in elderly outpatient Cipto
Mangunkusumo Hospital Jakarta. In press. 2013.
Setiati S, Oemardi M, Sutrisna B, Supartondo. The role of ultraviolet-B from sun
exposure on 25(OH)D and parathyroid hormone level in elderly women in
Indonesia. Asian J Gerontol Geriatr. 2007;2:15-22. 28. Richy F. Dukas L,
Schacht E. Differential effects of D-hormone analogs and native vitamin D on
the risk of falls: a comparative meta-analysis. Calcif Tissue Int. 2008;82:02-
107.
Shivaprakash NC, Joseph RB. Relationship between serum 25-hydroxy vitamin D
levels and plasma glucose and lipid levels in pediatric patients in rural hospital.
IJSS. 2014; 1(4): 24-31.
Solerte SB, Gazzaruso C, Bonacasa R, Rondanelli M, Zamboni M, Basso C, et al.
Nutritional supplements with oral amino acid mixtures increases whole-body
lean mass and insulin sensitivity in elderly subjects with sarcopenia. Am J
Cardiol. 2008;101(11A):69E–77E.
Santjaka A. 2011. Teknik sampling. dalam : Sigit H, Abay F (editors). Statistik untuk
penelitian kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika. Edisi I. Pp: 50-66
Van Etten RW, de Koning EJP, Verhaar MC, Gaillard CAJM and Rabelink TJ. 2002.
Impaired NO-dependent vasodilatation in patient with Type II (non Insulin-
dependent) diabetes mellitus is restored by acute administration of folate.
Diabetologia, 45 :1004-10
Visser M, Pahor M, Taaffe DR, et al. Relationship of Interleukin 6 and Tumor
Necrosis Factor awith Muscle Mass and Muscle Strength in Elderly Men and
Women: The Health ABC Study. Journal of Gerontology Series A: Biological
Sciences and Medical Sciences. 2002; 57(5): M326-M332
Wang H, Xia N, Yang Y, Peng D-Q. Influence of vitamin D supplementation on
plasma lipid profiles: A meta-analysis of randomized controlled trials. Lipids
Health Dis. 2012;11:42. doi:10.1186/1476-511X-11-42.
Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, and King H. Global Prevalence of Diabetes:
Estimates for the Year 2000 and Projections for 2030. Diabetes Care. 2004;
27(5): 1047–1053.
Warner HR, Sierra F, Thompson LV. Biology of aging. In: Fillit HM, Rockwood K,
Woodhouse K, editors. Brocklehurst’s textbook of geriatric medicine and
gerontology. 7th ed. New York: Saunders; 2010.
Wolf G. 2004. The discovery of vitamin D: the contribution of Adolf Windaus. JNutr
134 (6): 1299-302.
Yazdanyar, Newman BA. 2009. The Burden of Cardiovascular Disease in the Elderly:
Morbidity, Mortality, and Costs. Clin Geriatr Med. 2009 Nov; 25(4): 563–vii.

92
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Yan Chiou Ku, Mu En Liu, Chang Sheng Ku, Shoa L. 2013. Relationship
BetweenVitamin D Defficiency and Cardiovascular Disease. World J Cardiol.
5(9):pp 337-46.
Zittermann A, lodice S, Pilz S, Grant WB, Bagnardi V, Gandini S. 2012. Vitamin
Ddeficiency and mortality risk in the general population: a meta-analysis
ofprospective cohort studies. AmJClin Nutr; 95:91-100.

93

Anda mungkin juga menyukai