Oleh :
Zulkarnain Muin
C 111 08 186
Pembimbing :
dr. Sri Asriyani Sp. Rad
1
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Pembimbing,
2
PANITIA SIDANG UJIAN
Anggota I Anggota II
(Dr. dr. Sri Ramadhany, M.Kes) (dr. Muh. Rum Rahim, M.Kes)
3
ABSTRAK
Zulkarnain Muin
“Karakteristik Pasien Labiopalatoskisis Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2012”
( xii + 65 Halaman + 9 Tabel + 8 Lampiran)
4
menurunkan angka kejadian labiopalatoskisis. Bagi masyarakat yang memiliki
anggota keluarga yang menderita kelainan ini agar dapat secepatnya berkonsultasi
dengan tenaga kesehatan sehingga dapat dilakukan pencegahan maupun
penanganan yang lebih baik terhadap kasus labiopalatoskisis
5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian tugas kepaniteraan klinik di
ini masih jauh dari kesempurnaan dan tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya terutama menyampaikan banyak terima
kasih kepada pembimbing saya dr. Sri Asriyani, Sp.Rad yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing saya mulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan, hingga penyelesaiaan skripsi ini. Tidak lupa pula saya mengucapkan
Universitas Hasanuddin
6
5. Bapak Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar beserta seluruh
staf
7. Kedua orang tua saya, Ir. H. Abdul Muin Kalu, MM dan dr. Hj.
Akhirnya, saya harapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Saya menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini,
karenanya kritik dan saran yang membangun saya harapkan demi perbaikan
skripsi ini.
Penulis
7
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………… iv
8
3.1 DASAR PEMIKIRAN VARIABEL YANG DITELITI ………… 24
9
DAFTAR TABEL
10
DAFTAR GAMBAR DAN DIAGRAM
11
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 4 : Surat persetujuan izin penelitian dari Ka. Instalasi Rekam Medik
12
BAB I
PENDAHULUAN
Labiopalatoskisis (celah bibir dan langit-langit, cleft lip and palate (CLP)),
medial, yang merupakan bagian yang membentuk dua segmen intermaxillaris, bila
Insiden labioskisis 2,1 dalam 1000 kelahiran pada etnis Asia, 1:1000 pada
adalah 1:2000. Hampir 50% kasus palatoskisis disertai dengan sindrom kelainan
bawaan lain. Persentase kasus palatoskisis adalah 33% dari seluruh kasus
13
yang merokok pada masa kehamilan dapat penyebabkan peningkatan 2 kali lipat.
Teratogen lain adalah alkohol dan asam retinoid. Kelainan genetik dapat
mengakibatkan sindrom yang mencakup skisis dari palatum primer atau sekunder
saat perkembangannya.2,3
skisis pada labium dan palatum, masih ada masalah lain yang perlu
14
rujukan untuk wilayah Indonesia Timur dengan data rekam medik yang lengkap,
serta masih kurangnya penelitian tentang labiopalatoskisis yang mengambil
sampel di rumah sakit ini.
1.2 RumusanMasalah
kelamin.
sosio-ekonomi pasien.
pasien.
15
5. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut
tipenya.
tindakan.
1. Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi para praktisi
Labiopalatoskisis.
Labiopalatoskisis.
16
Labiopalatoskisis pada khususnya.
5. Penelitian ini juga semoga dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan, acuan
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Labiopalatoskisis berasal dari kata labium yang berarti bibir, palatum yang
keduanya. Celah pada labium disebut labioskisis sedangkan celah pada palatum
disebut palatoskisis. Kelainan ini dapat merupakan bagian dari suatu sindrom atau
berdiri sendiri. Defek yang ada akan menyebabkan gangguan produksi suara,
merupakan salah satu defek yang melibatkan banyak disiplin ilmu dalam
penanganannya.1,2,5
2.2. Epidemiologi
kombinasi lebih banyak pada laki-laki, sedangkan palatoskisis saja lebih banyak
pada perempuan. Angka prevalensi celah berbeda untuk tiap ras. Prevalensi
labiopalatoskisis lebih rendah pada kulit hitam dan lebih tinggi pada orang Asia
palatoskisis. Celah unilateral sembilan kali lebih sering daripada celah bilateral,
18
dan terjadi dua kali lebih sering pada sisi kiri dari pada kanan. labiopalatoskisis
memiliki angka kejadian sekitar 1:500-600 kelahiran hidup, dan untuk celah
palatum saja 1 dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi lebih tinggi ditemukan pada
kelompok Asia (1:500) dan lebih rendah pada kelompok kulit hitam (1:2000). 1-5
yang datang untuk berobat ialah ketika usia sudah melebihi batas usia optimal
untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan
secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan
lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech therapy pun tidak
banyak bermanfaat. Hal itu mungkin terjadi karena untuk mendapatkan tindakan
medis dalam hal ini tindakan operasi, penderita labiopalatoskisis harus memenuhi
kriteria Rule of ten yang meliputi Berat badan >10 pon (5 kg), Usia > 10 minggu
2.3. Embriologi
Pada akhir minggu ke-4, processus facialis terbentuk secara primer oleh
sel mesenkim yang berasal dari krista neuralis. Proses pembentukan facial secara
keseluruhan di mulai dengan berpindahnya sel dari regio facial ke sel mesenkim.
Processus maxillaris dapat dikenali di sebelah lateral stomodeum, dan processus
mandibularis di sebelah caudal stomadeum. 7
19
Gambar 1. A. Pandangan dari sisi lateral embrio pada akhir minggu ke-4
menunjukkan posisi dari arkus faringeal. B. Pandangan dari arah frontal embrio
minggu ke 5 menunjukkan processus mandibula dan maxilaris. C. Electron
micrograph embrio manusia dengan usia minggu sama dengan B. 7
Processus frontonasalis dibentuk oleh proliferasi sel mesenkim di sebelah
ventral vesikel otak, merupakan tepi atas stomodeum. Pada kedua sisi dari
processus frontonasalis, muncul penebalan permukaan ektoderm, yaitu plakoda
nasalis, yang berasal dari bagian ventral otak depan. 7
Pada minggu kelima, plakoda nasalis akan berinvaginasi membentuk
cavitas nasalis, setiap cavitas dan placoda nasalis membentuk rigi jaringan.
Processus pada tepi luar dari cavitas merupakan processus nasalis lateral; dan
yang berada pada tepi dalam merupakan processus nasalis medial. 7
20
Gambar 2. Pandangan dari aspek frontal. A. Embrio minggu ke-5. B. Embrio
minggu ke-6. Processus nasalis terpisah secara bertahap dari processus maxillaris.
C. Electron micrograph dari embrio seekor tikus dengan usia minggu sama
dengan B. 7
21
Gambar 3. Aspek frontal dari wajah. A. Embrio minggu ke-7. Processus
maxillaris berfusi dengan processus nasalis medial. B. Embrio minggu ke-10. C.
Electron micrograph dari embrio manusia dengan usia minggu sama dengan A. 7
22
Gambar 4. Segmen intermaxillaris dan processus maxillaris. B. Segmen
intermaxillaris menghasilkan filtrum labium superior, bagial medial dari os
maxillaris dengan keempat gigi insisivus dan palatum triangularis primer. 7
minggu ke-3, manakala terdapat dua gabungan proses yaitu pada minggu
4. Skisis facial tipe non syndromic dan syndromic merupakan dasar genetik
23
Meskipun palatum primer berasal dari segmen intermaxillaris, bagian
utama palatum tetap dibentuk oleh dua lempeng dari processus maxillaris. Pada
kedua tonjolan ini, yaitu lempeng palatina muncul di minggu ke-6 perkembangan
dan mengarah ke bawah secara oblik pada sisi kanan dan kiri lingua. Pada minggu
horizontal di atas lingua dan berfusi membentuk palatum sekunder. Pada bagian
palatum sekunder. Saat lempeng-lempeng dari palatina berfusi, pada waktu yang
bersamaan septum nasalis tumbuh ke bawah dan bersatu dengan permukaan atas
Gambar 5. Potongan frontal kepala pada embrio minggu ke-7. Lingua mengarah
24
terlihat. C. Electron micrograph dari seekor tikus dengan usia minggu sama
Teori fusi dan teori klasik menyatakan bahwa labioskisis terjadi akibat
medialis. Skema proses terjadinya fusi adalah sebagai berikut, teori penetrasi
Gabungan teori fusi dan teori penetrasi mesoderm diajukan pertama kali oleh
Patten.7
berperan adalah dua macam regulator pertumbuhan yaitu TGFα dan β. TGFα
adalah suatu mitogen kuat, yang berperan di dalam aktivasi enzim Cyclin
Dependent Kinase 1 (CDK 1) pada fase G1 siklus sel yang akan masuk ke fase
sintesis, dan selanjutnya terjadilah pembelahan sel. Oleh karena itu apabila
tersebut maka pertumbuhan jaringan mesoderm disana juga akan terhambat, dan
terjadi kegagalan fusi tersebut sehingga terbentuklah celah pada daerah tersebut. 7
2.4. Etiologi
oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Artinya, faktor genetik
25
menyebabkan gangguan perkembangan pada tahap awal kehamilan.1,5,7
individu yang mengalami kelainan celah. Pada celah bibir dan kombinasi, juga
terdapat variasi derajat keparahan dan lateralisasi anomali. Proporsi paling tinggi
terdapat pada kelompok wanita dengan celah bilateral dan proporsi terkecil adalah
pola genetik, seperti autosomal resesif, autosomal dominan, dan x-linked, yang
anak dengan celah adalah 1:600-700. Seperti yang telah dijelaskan, etiologi
kelainan ini masih belum jelas. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu
munculnya fenotif berupa kelainan celah, antara lain: konsumsi alkohol pada
periode embrional. Beberapa bahan teratogen seperti fenitoin, asam retinoid, dan
beberapa agen anestetik juga dapat memicu terjadinya kelainan ini. Ibu yang
terkait-x yang menunjukkan adanya mutasi pada gen TBX22. Ekspresi gen
TBX22 pada lempeng palate berperan dalam proses penyatuan. Mutasi pada gen
Gen lain yang juga berperan adalah MSX1 dan TGFB3 yang terbukti
26
menyebabkan kelainan celah pada uji coba hewan pengerat. Terakhir, beberapa
gen yang telah ditemukan berkaitan dengan kelainan labiopalatoskisis adalah gen
faktor lingkungan masih sulit dipahami, baik pada kelainan sindrom maupun
nonsindrom. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pencegahan baik berupa skrining
genetik maupun menghindari berbagai faktor risiko yang telah terbukti berkaitan
2.5. Klasifikasi
derajat, lokasi dan variasi kondisi celah. Klasifikasi yang dibuat sudah seharusnya
tersebut adalah klasifikasi dengan sistem LAHSHAL dari Otto Kriens yang
Celah atau skisis komplit labium, alveolus, palatum durum dan palatum
mole dideskripsikan dengan huruf kapital LAH dan S, sedangkan bila skisis
inkomplit dituliskan dengan huruf kecil. Skisis mikro dapat ditulis dengan
labium, alveolar, dan palatum komplit bilateral. Contoh lain, lahSh menunjukkan
labioskisis inkomplit unilateral kanan dan alveolus, dengan skisis komplit palatum
27
Gambar 6. Tipe labioskisis: (a) unilateral inkomplit, (b) unilateral komplit, (c)
bilateral komplit.1
Gambar 7. Tipe palatoskisis: (a) inkomplit, (b) unilateral komplit, (c) bilateral
komplit.1
inkomplit. Dikatakan komplit bila skisis mencapai dasar hidung (nasal floor) dan
inkomplit bila di bagian cranial dari skisis tersebut masih terdapat kulit dan
mukosa, tetapi tanpa lapisan otot dan jaringan mesodermal lain (simonart's
28
band).1,3
Palatoskisis.12
Pada skisis palatum molle tunggal yang selalu memiliki defek di bagian tengah,
tidak terlalu tampak adanya skisis pada palatum mole, namun muskulus dektra
dan sinistranya tidak menyatu sehingga akan tampak adanya uvula bifida.
29
Klasifikasi labiopalatoskisis berdasarkan variasi dan pola genetik, yaitu:
- Palatoskisis nonsindrom
- Palatoskisis sindromik
gambar berikut:
2.6. Penatalaksanaan
30
ditanggulangi bersama-sama interdisipliner. Ahli bedah plastik melakukan
pembedahan pada cacat yang ada, ahli THT mengobati masalah telinga, speech
therapist membantu bicara yang benar, orthodontist mengatur rahang dan gigi
yang biasanya dilakukan menjelang tumbuhnya gigi permanen, pekerja sosial dan
dan Hb>10g%.
tahun
31
Tabel 1. Perencanaan tahapan penatalaksanaan pasien labiopalatoskisis
32
Salah satu teknik untuk koreksi labiopalatoskisis adalah teknik modifikasi
Millard. Teknik modifikasi Millard merupakan teknik yang digunakan secara luas,
terutama untuk memperbaiki labioskisis bilateral. Teknik ini juga dapat digunakan
Gambar 10. Tehnik modifikasi Millard. Tepi-tepi celah antara labium dan nasal
diinsisi (A dan B). Bagian bawah cavum nasi dijahit (C). Bagian superior dari
jaringan labium ditutup (D), dan jahitan diperpanjang hingga menutup seluruh
33
sisi faring dan dirotasikan ke atas untuk memperkecil terbukanya palatum,
sehingga akan memungkinkan penutupan palatum molle. Metode ini lebih baik
pada pola penutupan sirkular atau koronal, karena tidak mengganggu gerakan
celah yang meliputi maxillaris anterior. Dengan adanya union dari os akan
oronasal, dan untuk mendorong erupsi gigi. Bone-grafting pada pasien yang
sekunder (2 tahap). Material graft dapat diperoleh dari hip, costae, fibula, atau
keuntungan yang dicapai dalam menutup celah maxillaris jauh lebih besar
- Paska bedah, feeding dilakukan dengan menggunakan ujung dot lembut yang
dipotong ujungnya.
- Bayi perlu dihospitalisasi untuk pemberian cairan intravena hingga intake oral
memungkinkan dilakukan
- Jahitan hams tetap bersih dengan berkumur / dilusi larutan hidrogen peroksida
34
pada hari ke-5 paskaoperasi.
2.7. Prognosis
dimodifikasi atau disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini
melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki
35
BAB III
KERANGKA KONSEP
kelamin, status sosial, suku, umur pkontak pertama dengan tenaga medis, faktor
keluarga, umur penderita saat kontak pertama dengan dokter, riwayat penyakit
ketersediaan data dari rekam medik pasien, dengan tetap mengingat kepentingan
Oleh karena keterbatasan waktu dan tempat penelitian, maka penelitian ini
36
3.2 Kerangka Konsep
Tipe
Labiopalatoskisis
Jenis kelamin
Status
sosioekonomi
Suku
Riwayat keluarga
Riwayat penyakit
penyerta
Tindakan
Riwayat Ibu
konsumsi obat-
obat saat hamil
: variabel independen
: diteliti
: tidak diteliti
37
3.3 Definisi Operasional dan kriteria objektif
I. Labioskisis
38
II. Palatoskisis
III. Labiopalatoskisis
39
5. Unilateral, inkomplit, kanan : gabungan dari labioskisis
pasien.
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
c. Cara ukur : mencatat jenis kelamin yang tercantum pada rekam medik
ke dalam tabel.
1. Laki-laki
2. Perempuan
3.3.3. Suku
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
c. Cara ukur : mencatat suku yang tercantum pada rekam medik ke dalam
40
tabel.
1. Makassar
2. Bugis
3. Toraja
4. Mandar
5. Lainnya
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
1. Sendiri/Jamsostek (swasta)
2. Askes (PNS)
3. Jamkesmas/jamkesda/askeskin/gakin
41
3.3.5. Umur Kontak Pertama dengan Dokter / Tenaga Medis
medis.
d. Hasil ukur:
1. 0-3 bulan
2. 4-6 bulan
3. 7-12 bulan
4. 1-5 tahun
5. 5-10 tahun
6. > 10 tahun
42
langsung, yang tercatat dalam rekam medik pasien.
h. Hasil ukur:
Labiopalatoskisis
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
c. Cara ukur : mencatat riwayat penyakit apa saja yang tercantum pada
- Gizi Buruk
43
-Lain-lain
3.3.8. Tindakan
f. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
g. Cara ukur : mencatat tindakan apa saja yang tercantum pada rekam
44
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Juli 2013.
4.3.1 Populasi
45
4.3.2 Sampel
Desember 2012.
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti. Kemudian akan diisi sesuai
46
pasien Labiopalatoskisis dalam periode yang telah ditentukan dikumpulkan untuk
memperoleh rekam medik pasien tersebut di bagian Rekam Medik RSUP Dr.
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram
Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah:
medik, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas
47
yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya.
48
BAB V
GAMBARAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
49
Kegawat Daruratan, Urologi, Kanker, Jantung, Lipid, dan Endokrin beserta
pelayanan penunjangnya.
Pada tahun 1947 didirikan Rumah Sakit dengan meminjam 2 (dua) bangsal
Rumah Sakit Jiwa yang telah berdiri sejak tahun 1942 sebagai bangsal bedah dan
penyakit dalam yang merupakan cikal bakal berdirinya Rumah sakit Umum
(RSU) Dadi.
Pada tahun 1957 RSU Dadi yang berlokasi di jalan Lanto Dg. Pasewang No.
43 Makassar sebagai Rumah Sakit Pemda Tingkat I Sulawesi Selatan dan pada
tahun 1993 menjadi Rumah Sakit dengan klasifikasi B. Pengembangan RSU
dipindahkan ke Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Makassar, berdekatan dengan
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Pada tahun 1994 RSU Dadi berubah menjadi Rumah Sakit vertikal milik
Departemen Kesehatan dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.
Wahidin Sudirohusodo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No.
540/SK/VI/1994 sebagai Rumah Sakit kelas A dan sebagai Rumah Sakit
Pendidikan serta sebagai Rumah Sakit Rujukan tertinggi di Kawasan Timur
Indonesia.
Pada tanggal 10 Desember 1995 RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
ditetapkan menjadi Rumah Sakit unit Swadana dan pada tahun 1998 dikeluarkan
Undang-undang No. 30 tahun 1997 berubah menjadi Unit Pengguna Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan terbitnya peraturan Pemerintah R.I. No. 125 tahun 2000, RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo beralih status kelembagaan menjadi Perusahaan Jawatan
(Perjan), yang berlangsung selama lima tahun dan berakhir pada tahun 2005.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang
pengelolaaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor : 1243/MenKes/SK/VII/2005 tanggal 11 agustus 2005
tentang penetapan 13 Eks Rumah Sakit PERJAN menjadi UPT DEPKES dengan
50
penerapan pola PPK-BLU, dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
1677/MenKes/Per/XII/2005 tentang Organisasi dan tata kerja RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar, maka sejak tahun januari tahun 2006 kelembagaan
RSWS berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Depkes dengan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum.
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo memiliki fasilitas dan kemampuan
menyelenggarakan hampir semua jenis pelayanan kedokteran baik spesialis
maupun subspesialis, sehingga layak menjadi pusat layanan rujukan di kawasan
timur Indonesia. Luas lahan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo adalah 8,4 HA
serta luas bangunan 39.246 m2.
Kapasitas tempat tidur berjumlah 659 buah terdiri dari kelas utama 50 buah,
kelas I 63 buah, kelas II 164 buah, dan kelas III 299 buah, serta 50 tempat tidur
dialokasikan di pelayanan lainnya seperti Intensif 43 buah, Intermediate 30 buah,
dan kamar isolasi sebanyak 10 buah tempat tidur.
Pada tahun 2009 RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo membangun Private
Care Centre (PCC) yang merupakan pengembangan pelayanan kelas VIP dari
Ruang Paviliun Palem dan Paviliun Sawit. Daya tampung 2 Ruang VIP tersebut
sangat terbatas yakni hanya menampung 50 tempat tidur, di gedung PCC
bertambah menjadi 90 tempat tidur. Selain PCC juga melakukan pengembangan 5
centre unggulan lainnya, yaitu: Cardiac Centre, Gastroenterohepatologi Centre,
Intensive Care Centre, Infection Centre, dan Mother and Child Centre.
51
5.3.2. Misi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
52
BAB VI
HASIL PENELITIAN
Januari 2011 – 31 Desember 2012 yang memiliki rekam medik. Total sampel
sebagai berikut.
53
Tabel 2. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan jenisnya di RSUP.
2012.
54
Labioskisis bilateral/unilateral
5
4
3
Labioskisis
2
bilateral/unilateral
1
0
Bilateral Unilateral
Diagram (a). Distribusi pasien Labioskisis berdasarkan letaknya (bilateral atau unilateral)
Labioskisis Unilateral
3.5
3
2.5
2
1.5 Labioskisis Unilateral
1
0.5
0
Unilateral Dekstra Unilateral Sinistra
Diagram (b). Distribusi pasien Labioskisis unilateral berdasarkan letaknya (dekstra atau
sinistra)
55
Pada table 2 didapatkan Labiopalatoskisis tipe bilateral komplit paling
sering terjadi dibandingkan dengan jenis skisis lainnya. Berdasarkan diagram (a),
labioskisis unilateral lebih sering terjadi pada bagian sinistra daripada bagian
dekstra.
Palatoskisis Bilateral/Unilateral
8
4 Palatoskisis
Bilateral/Unilateral
2
0
Bilateral Unilateral
Diagram (c). Distribusi pasien Palatoskisis berdasarkan letaknya (bilateral atau unilateral)
Palatoskisis Unilateral
7
6
5
4
3 Palatoskisis Unilateral
2
1
0
Unilateral Dekstra Unilateral Sinistra
Diagram (d). Distribusi pasien Palatoskisis Unilateral berdasarkan letaknya (dekstra atau
sinistra)
56
Labiopalatoskisis Bilateral/Unilateral
40
35
30
25
20 Labiopalatoskisis
15 Bilateral/Unilateral
10
5
0
Bilateral Unilateral
unilateral)
Labiopalatoskisis Unilateral
30
25
20
15
Labiopalatoskisis Unilateral
10
0
Unilateral Dekstra Unilateral Sinistra
atau sinistra)
Berdasarkan diagram (c) dan (e) di atas, dapat dilihat bahwa pada jenis
(a) dimana jenis skisis unilateral lebih sering terjadi dibandingkan skisis bilateral.
57
Pada diagram (d) dan (f) juga menunjukkan hasil yang sama dengan diagram (b)
yang menyatakan bahwa skisis unilateral lebih sering terjadi pada bagian sinistra
Desember 2012.
58
Tabel 4. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Status Sosial di
Desember 2012.
orang (72,6%).
59
Tabel 5. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Suku di RSUP.
2012.
berdasarkan suku adalah, 12 orang suku Makassar (16,4%), 6 orang suku Bugis
(8,2%), 2 orang suku Toraja (2,7%), 4 orang suku Mandar (5,5%), 5 orang suku
60
Tabel 6. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Umur Kontak
berdasarkan umur kontak pertama adalah, 15 orang (20,5%) mulai berobat pada
usia 0-3 bulan, 9 orang (12,3%) pada umur 4-6 bulan, 14 orang (19,2%) pada
umur 7-12 bulan, 21 orang (28,8%) pada usia 1-5 tahun, 10 orang (13,7%) pada
usia 5-10 tahun, dan 4 orang (5,5%) pada usai >10 tahun. Tidak ada sampel yang
61
Tabel 7. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Adanya Riwayat
62
Tabel 8. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Adanya Riwayat
63
Tabel 9. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Tindakan
tindakan operasi. Tidak ada sampel yang tidak memiliki keterangan di rekam
64
BAB VII
PEMBAHASAN
persentase labiopalatoskisis di dunia, lebih tinggi dari kasus skisis lainnya yakni
sebanyak 46%, diikuti palatoskisis sebanyak 33%, dan labioskisis sebanyak 21%.
sering terjadi dalam penelitian ini. Namun jenis skisis unilateral ditemukan lebih
banyak jika dibandingkan dengan skisis bilateral. Dimana Skisis unilateral sinistra
65
Hal di atas sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa skisis
unilateral sembilan kali lebih sering daripada skisis bilateral, dan terjadi dua kali
lebih sering pada unilateral sinistra daripada dekstra.1,5,7 Belum ada literatur yang
tersebut diduga dapat terjadi karena pembuluh darah yang memperdarahi facial
dekstra lebih dekat dengan jantung sehingga facial dekstra mendapat perfusi yang
berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Hal ini sesuai
pasien laki-laki. Namun untuk tipe palatoskisis lebih sering ditemukan pada
pasien perempuan. Penyebab mengapa palatoskisis lebih sering terjadi pada anak
lempeng palatina pada embrio perempuan lebih lambat 1 minggu sehingga waktu
66
7.3. Status Sosial Ekonomi
labiopalatoskisis adalah masyarakat yang kurang mampu. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyebutkan bahwa kelainan ini dapat disebabkan oleh asupan
nutrisi ibu yang tidak adekuat saat hamil yang sering terjadi pada masyarakat
kurang mampu. Hal ini juga berhubungan dengan penanganan yang terlambat
3,9
akibat kondisi ekonomi dari pasien. Hasil di atas juga sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan diketahui bahwa alasan
keadaan sosial ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang
masih kurang.8
7.4. Suku
menderita labiopalatskisis ialah suku Makassar. Hal ini menunjukan bahwa suku
suku Makassar, namun hal tersebut tidak dapat menggambarkan secara utuh
pengaruh suku terhadap kelainan ini, karena masih banyaknya sampel dalam
penelitian ini yang tidak memiliki data terkait suku pasien di dalam rekam
mediknya. Dalam beberapa refensi juga tidak diketahui secara pasti suku bangsa
67
insiden labiopalatoskisis terbanyak di benua Asia dengan insiden sebanyak 2,1
1,2
dalam 1000 kelahiran pada etnis Asia. Insiden bibir sumbing di Indonesia
Tenggara Timur antara April 1986 sampai Nopember 1987 melakukan operasi
pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun
hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di
Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden
diperoleh kategori umur terbanyak ialah pada usia 1-5 tahun. Dari hasil tersebut
rata-rata orangtua atau keluarga pasien baru mengantar anaknya yang sakit ke
dokter terbanyak pada usia 1-5 tahun. Hal tersebut sesuai dengan kepustakaan
dokter umumnya sudah melewati usia optimal untuk dilakukan tindakan operasi
berdasarkan Kriteria Rule Of Ten yang dijadikan pedoman untuk anak-anak yang
akan dioperasi, yang mana kriteria tersebut mencakup: Usia > 10 minggu
(3bulan), Berat badan >10 pon, Hemoglobin >10g%. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan juga menunjukkan hasil yang sama,
68
dimana diketahui bahwa alasan terbanyak anak penderita labiopalatoskisis
terlambat (berumur antara 5-15 tahun) untuk dioperasi adalah keadaan sosial
ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang masih kurang. 2,8
tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf
tetap tidak sempurna, tindakan speech therapy pun tidak banyak bermanfaat. Ada
penyakit ini dan cara untuk mengobatinya, serta mungkin keadaan ekonomi yang
untuk berobat.8,16
hasil terbanyak ialah pasien tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita
penyakit yang sama dengan penderita dengan. Hal ini berbeda dengan
keluarga yang menderita penyakit yang sama, karena dalam suatu penyakit
individu tertentu yang mana hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor resiko
69
masih banyaknya sampel dalam penelitian ini yang tidak memiliki data terkait
Kolkata Area, India, menemukan bahwa anak-anak dari orang tua dengan
seorang anak dilahirkan dengan clefts tapi orangtua tidak memiliki Sumbing,
risiko clefts di saudara biologis adalah 2-8 persen. Resiko clefts saudara biologis
dan masa depan anak-anak meningkat untuk 15-20% jika orang tua serta dua
anak-anak memiliki clefts. Anak-anak yang tidak memiliki sejarah keluarga dari
clefts berada pada risiko 0,14% dilahirkan dengan bibir sumbing dan/atau langit-
langit.
ini ialah menderita gangguan genetik lain seperti hydrocephalus dan atresia ani.
Hal ini sedikit berbeda dengan kepustakaan yang mengatakan umumnya penyakit
penyerta yang diderita oleh pasien labiopalatoskisis ialah gizi buruk dan
makanan melalui oral pada pasien labiopalatoskisis yang tidak maksimal (fungsi
mengisap terganggu), sehingga nutrisi yang diserap oleh tubuh juga ikut
berkurang. Karena fungsi isap yang terganggu juga dapat menyebabkan masalah
70
jika orangtua tidak mengerti cara pemberian makanan pada pasien
aspirasi.6,10
Namun data tersebut di atas tidak dapat memberikan gambaran yang pasti
banyaknya sampel dalam penelitian ini yang tidak memiliki data terkait riwayat
7.8. Tindakan
beranggapan bahwa pasien yang datang harus memenuhi kriteria Rule of Ten
operasi karena dari hasil mengenai usia kontak pertama dengan dokter yang juga
diteliti dalam penelitian ini didapatkan usia kontak pertama dengan dokter ialah
antara usia 1-5 tahun, yang mana usia tersebut sudah memenuhi kriteria untuk
71
BAB VIII
8.1. Kesimpulan
sebagai berikut:
dekstra.
Selain itu, status sosial yang dominan adalah masyarakat yang kurang
ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat
tidak tercapai.
72
sebagian besar data sekunder (rekam medik) tidak mencantumkan suku,
operasi.
8.2. Saran
1. Kepada masyarakat
dan menerapkan pola hidup yang sehat sehingga dapat menurunkan angka
Kedua, khususnya kepada bagian Bedah Plastik RSWS dan seluruh dokter
73
ataupun riwayat keluarga, dan riwayat penyakit penyerta lebih digali sehingga
Penyuluhan dan edukasi tentang pentingnya pola hidup sehat terutama ibu
hamil bagi masyarakat perlu dilakukan untuk mencegah dan mengurangi angka
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Supit L, Prasetyono TO. Cleft lip and palate review: Epidemiology, Risk
3. Juniper RP, Smith WP. Cleft Lip and Palate. Developmental abnormalities
of the face, palate, jaws, and teeth. In Bailey Surgical Textbook. 2001.
P.403-6.
5. Hopper RA, Cutting C, Grayson B. Cleft Lip and Palate. In Grabb and
75
surgery department. Armed Forces Institute of Dentistry, Rawalpindi,
9. Stainer P, Moore GE. Genetics of cleft lip and palate: syndromic genes
http://www.med.umich.edu/lrc/coursepages/m1/embryology/embryo/09facean
dpharynx.htm
11. Yu W, et al. Cleft lip and palate genetics and application in early
10.4103/0970-0358.57185
12. Freitas, et al. Rehabilitative treatment of cleft lip and palate: experience of
(HRAC/USP) - Part 1: overall aspects. J. Appl. Oral Sci. vol.20 no.1 Bauru
http://dx.doi.org/10.1590/S1678-77572012000100003
76
13. Stoll C, et al. Analysis of polymorphic TGFB1 codons 10, 25, and 263 in a
German patient group with non-syndromic cleft lip, alveolus, and palate
compared with healthy adults. BMC Medical Genetics 2004, 5:15 [cited on
2350/5/15
14. Lilja J. Cleft Lip and Palate Surgery. Scandinavian Journal of Surgery 92:
269–273, 2003.
15. Gulli LF,et al. Cleft Lip Repair. In Encyclopedia of Surgey. 2012 [cited on
Fi/Cleft-Lip-Repair.html
16. Jagomagi T, Soots M, Saag M. Epidemiologic factors causing cleft lip and
17. Bermudez L, Lizarraga AK, Carter V. How and Why Cleft Occur..
77
LAMPIRAN FORMAT KUISIONER PENELITIAN
4 Suku 1. Makassar
2. Bugis
3. Toraja
4. Mandar
5. Lainnya