TESIS
TESIS
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya
dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar Spesialis Onkologi Radiasi pada Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tesis ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai
pada penyusunan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Direktur Umum RSUPN Cipto
Mangunkusumo yang telah memberikan kesempatan berharga sehingga penelitian ini
dapat terlaksana dengan baik dan lancar;
2. Kepala Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo yang telah memberikan
lahan pendidikan dan penelitian yang sangat berharga bagi saya, serta Ketua Program
Studi Onkologi Radiasi FKUI yang telah membimbing dan membantu saya di dalam
berbagai hal selama pendidikan saya sampai tersusunnya tesis ini dengan baik;
3. DR. Dr. Sri Mutya Sekarutami, SpRad(K)OnkRad dan Dr. Sahat Matondang, SpRad(K),
selaku pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk
mengarahkan saya tanpa kenal lelah dalam penyusunan tesis ini;
4. Guru-guru yang saya hormati di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan di
Departemen Radioterapi RSCM Jakarta: Prof. DR. Dr. Soehartati Gondhowiardjo,
SpRad(K)OnkRad, Prof. DR. Dr. H.M.Djakaria, SpRad(K)OnkRad, Dr. Nana Supriana,
SpRad(K)OnkRad, Dr. Irwan Ramli, SpRad(K)OnkRad yang telah membimbing dan
mendidik saya dengan penuh kasih dan kesabaran;
5. Rita Rizny Fitriana Saldy, S. Apt yang memberikan arahan dan bantuan di bidang
statistik dalam penelitian ini;
6. Yang tidak akan pernah terlupakan jasanya, pasien-pasien yang telah memberi
kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang kami
pelajari, serta memberikan dukungan – baik yang disadari maupun tidak disadari –
kepada saya selama masa pendidikan saya;
iv
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang
telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Tujuan: Untuk mengetahui profil pasien kanker rektum di Departemen Radioterapi RSCM.
Metode: Dilakukan penelitian restrospektif deskriptif analitik terhadap 144 pasien kanker
rektum yang menjalani radiasi di Departemen Radioterapi RSCM periode Januari 2009-
Januari 2014, dilihat karakteristik pasien dan tumor. Respons radiasi dinilai menggunakan
metode RECIST 1.1. Hubungan antara OTT dan DTT dengan respons radiasi dinilai dengan
korelasi Spearman dan analisis kesintasan dihitung dengan kurva Kaplan Meier.
Hasil: Pasien laki-laki sebesar 65.9%, median usia 53 (23-81) tahun dengan mayoritas berada
pada kelompok usia 50-59 tahun. Tipe histopatologi terbanyak adalah adenokarsinoma
(88.8%) dan pasien paling banyak datang dengan stadium IIIB (25.0%). Kemoradiasi
dilakukan pada 29.8% pasien, dengan toksisitas radiasi akut terbanyak adalah pada kulit
(derajat I) sebesar 20.1%. Respons radiasi yang dinilai dengan metode RECIST 1.1
menunjukkan respons terbanyak adalah stabil (71.4%). Tidak ditemukan korelasi antara OTT
dan DTT dengan respons radiasi. Dari 118 pasien, didapatkan analisis kesintasan keseluruhan
3 dan 5 tahun masing-masing adalah 65% dan 45% dengan median survival 59 bulan. Pada
kelompok pasien yang menjalani radiasi panjang, analisis kesintasan keseluruhan 3 dan 5
tahun masing-masing adalah masing-masing 91% dan 78%.
Kesimpulan: Karakteristik pasien rektum di Departemen Radioterapi RSCM yang berbeda
dengan berbagai studi sebelumnya hanya usia. Respons radiasi yang paling banyak dijumpai
adalah stabil. Tidak ditemukan korelasi antara OTT dan DTT dengan respons radiasi.
Kata kunci: Profil pasien kanker rektum, respons radiasi, kesintasan keseluruhan.
vii
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah ………………………………………………. 1
1.2. Pertanyaan Penelitian …...……………………………………………. 4
1.3. Tujuan Penelitian …………..………………………………………… 4
1.4. Manfaat Penelitian …..………………………………………………... 5
ix
Tabel 2.1 Sistem klasifikasi stadium pada kanker rektum menurut AJCC …...…. 11
Tabel 2.2 Stadium kanker rektum menurut AJCC (klinis dan patologis) ….……. 12
Tabel 4.1 Karakteristik pasien …………………………………………………… 30
Tabel 4.2 Profil tatalaksana ……………………………………………………… 36
Tabel 4.3 Distribusi OTT pasien radiasi pendek…………………………….…… 39
Tabel 4.4 Distribusi OTT pasien radiasi panjang ...……………………………… 40
Tabel 4.5 Respons radiasi berdasarkan evaluasi RECIST 1.1 …………………… 42
Tabel 4.6 Analisis bivariat karakteristik jenis kelamin, usia, histologi, stadium,
overall treatment time (OTT) dan delayed treatment time (OTT) dengan
respons radiasi ………………………………………………….……... 44
Tabel 4.7 Pola metastasis .......................................................................................... 45
xi
xii
xiii
PENDAHULUAN
Data GLOBOCAN 2012, berdasarkan populasi Indonesia sebesar 122 juta jiwa,
menggambarkan bahwa kanker kolorektum di Indonesia menempati urutan ke-3
kanker yang paling sering dijumpai. Kanker kolorektum lebih banyak ditemukan
pada populasi laki-laki dibandingkan perempuan. Insidennya untuk kedua jenis
kelamin mencapai 2772 per 100,000 penduduk.1
Di Indonesia, data awal tentang insiden kanker kolorektum yang tersedia adalah
hasil studi oleh Sjamsuhidajat (1986) yaitu 1.8 per 100,000.2 Divisi Bedah
Digestif RS Cipto Mangunkusumo mengumpulkan data pasien kanker rektum
tahun 2000-2010 dan mendapatkan angka kejadian pada laki-laki adalah 52% dan
sisanya adalah perempuan. Kelompok usia terbanyak adalah usia 45-53 tahun
(21.8%) dengan mean 50.67 tahun, usia termuda yang didapatkan adalah 18 tahun
dan tertua 86 tahun.3 Sementara dari studi oleh Sudoyo et al. (2013) didapatkan
angka kejadian kanker kolorektum yang lebih tinggi pada laki-laki (53.8%)
dibandingkan perempuan (46.2%), dengan usia terbanyak pada kelompok 51-60
tahun.4
Serupa dengan estimasi global, kanker rektum menempati ukuran ke-4 kematian
karena kanker di Indonesia. Diperkirakan sebanyak 394,000 kematian per tahun
akibat kanker kolorektum terjadi di seluruh dunia.1,5 Kesintasan kanker
kolorektum sangat bergantung kepada stadium saat diagnosis, semakin dini
diagnosis, maka angka kesintasan semakin tinggi. Kesintasan 5 tahun pada kanker
rektum yang masih lokal dapat mencapai 90%, menurun menjadi 70% bila telah
melibatkan regional dan 10% bila telah terjadi metastasis jauh. Angka kesintasan
5 tahun kanker rektum yang telah distandarisasi menurut usia secara global adalah
50-59%.5,6 Tindakan pembedahan memberi hasil yang baik pada kanker
kolorektum stadium awal, namun pada stadium lanjut lokal (T3-4, N+), angka
keberhasilan dari tindakan pembedahan saja turun menjadi 50%. Untuk
meningkatkan hasil akhir, maka perlu dilakukan terapi neoajuvan berupa
kemoradiasi dan kemudan dilanjutkan dengan Total Mesorectal Excision (TME).7
Pengenalan gejala klinis awal yang dapat mengarah kepada kanker rektum perlu
menjadi perhatian setiap tenaga medis. Karena ketepatan diagnosa secara dini
dapat mempengaruhi angka keberhasilan terapi dan kesintasan. Menurut
Kristianto et al., gejala klinis awal yang banyak dijumpai pada pasien kanker
rektum di RSCM adalah perubahan pola defekasi, perdarahan per rektum, dan
feses berlendir.3
Saat ini, terapi multimodalitas berupa kombinasi dari pembedahan, radioterapi dan
kemoterapi, merupakan tatalaksana terpilih pada karsinoma kolorektum.7,8
Berdasarkan berbagai penelitian evidence-based, maka disusunlah suatu protokol
bersama/guidelines, dengan harapan bahwa terapi sesuai protokol tersebut akan
memberikan hasil yang optimal. Namun, dalam pelaksanaannya terapi juga harus
memperhitungkan faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan seperti
komorbiditas pasien, kepatuhan, teknis dan kebijakan pemerintah tentang
pelayanan kesehatan.
Peran radioterapi dalam tatalaksana yang bertujuan kuratif kanker rektum berada
di berbagai tempat. Pertama, pemberian radiasi baik sebelum atau sesudah
pembedahan pada tumor yang resektabel, diharapkan dapat meningkatkan kontrol
lokal dan kesintasan dengan cara mengeradikasi sel-sel tumor subklinis yang tidak
dapat disingkirkan pada pembedahan. Kedua, radiasi preoperatif pada tumor yang
non-resektabel, baik diberikan sendiri atau konkuren dengan kemoterapi,
bertujuan untuk meningkatkan resektabilitas tumor. Ketiga, radiasi pada tumor
Universitas Indonesia
letak rendah dapat meningkatkan preservasi sfingter. Saat ini, peran radiasi
terutama pada masa pre-operatif, dimana efek samping radiasi pre-operatif lebih
dapat ditoleransi. Radiasi post-operatif memberikan efek samping yang lebih
berat, terutama karena lebih banyak usus halus yang masuk ke lapangan radiasi,
selain itu, vaskularisasi pada tumor bed tidak sebaik kondisi pre-operatif/lebih
hipoksik sehingga hasil radiasi kurang optimal.9
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epidemiologi
Data awal tentang insiden kanker kolorektum di Indonesia adalah hasil studi oleh
Sjamsuhidajat (1986) yaitu 1.8 per 100,000.2 Divisi Bedah Digestif RS Cipto
Mangunkusumo mengumpulkan data pasien kanker rektum tahun 2000-2010 dan
mendapatkan angka kejadian pada laki-laki adalah 52% dan sisanya adalah
perempuan. Kelompok usia terbanyak adalah usia 45-53 tahun (21.8%) dengan
mean 50.67 tahun, usia termuda yang didapatkan adalah 18 tahun dan tertua 86
tahun.3 Sementara dari studi oleh Sudoyo et al. (2013) didapatkan angka kejadian
kanker kolorektum yang lebih tinggi pada laki-laki (53.8%) dibandingkan
perempuan (46.2%), dengan usia terbanyak pada kelompok 51-60 tahun.4
American Cancer Society pada tahun 2011 mengeluarkan data bahwa insiden
kanker kolorektum adalah 35 – 40% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Haggar dan Boushey (2009) menyatakan bahwa insiden kanker
kolorektum meningkat setelah usia 40 tahun, serta pada kelompok usia 60-79
tahun, angka kejadian 50% lebih tinggi dibandingkan pada kelompok usia kurang
dari 40 tahun.5
negara maju, sementara 52% kematian karena kanker kolorektum terjadi pada
negara berkembang.1
Serupa dengan estimasi global, kanker rektum menempati urutan ke-4 kematian
karena kanker di Indonesia. Diperkirakan sebanyak 394,000 kematian per tahun
akibat kanker kolorektum terjadi di seluruh dunia.1,5 Kesintasan kanker
kolorektum sangat bergantung kepada stadium saat diagnosis, semakin dini
diagnosis, maka angka kesintasan semakin tinggi. Kesintasan 5 tahun pada
kanker rektum yang masih lokal dapat mencapai 90%, menurun menjadi 70%
bila telah melibatkan regional dan 10% bila telah terjadi metastasis jauh. Angka
kesintasan 5 tahun kanker rektum yang telah distandarisasi menurut usia secara
global adalah 50-59%.5,6
2.2. Anatomi
Rektum merupakan bagian dari usus besar, yang berawal dari perbatasan
rekstosigmoid sampai ke cincin puborektum, sepanjang sekitar 12 – 15 cm.
Secara umum, rektum dibagi lagi menjadi tiga bagian dan masing-masing
sepanjang 5 cm. Bagian yang pertama yaitu rektum sepertiga atas yang
dibungkus oleh peritoneum di bagian anterior dan kedua sisinya. Sepertiga
tengah rektum yang terletak lebih menjorok ke dalam pelvis, hanya bagian
anteriornya yang terbungkus peritoneum, membentuk batas posterior dari rongga
rektovesikal atau kantung rektouteri. Sementara, sepertiga bawah rektum tidak
dilapisi oleh peritoneum dan terletak sangat dekat dengan struktur-struktur di
sekitarnya, termasuk tulang pelvis. Tumor yang terletak di bagian distal ini tidak
memiliki barrier/penghalang serosa yang dapat menghambat invasi ke jaringan
sekitarnya, sehingga reseksi sulit untuk dilakukan.8
Pendarahan rektum disuplai dari arteri tektal superior, media dan inferior yang
saling beranastomosis. Drainase limfatik regional dari tumor di rektum meliputi
perirektum, presakral dan iliaka interna.8
Universitas Indonesia
Dari berbagai studi yang telah dikerjakan selama ini, telah dilaporkan berbagai
faktor risiko dari kanker kolorektum, baik genetik maupun lingkungan, yaitu
usia, jenis kelamin, riwayat kanker kolorektum pada keluarga, indeks massa
tubuh (IMT), konsumsi daging olahan dan alkohol berlebih, rokok, serta
rendahnya konsumsi serat dan asam folat. Dari berbagai faktor risiko tersebut,
yang memiliki kaitan kuat dengan risiko kanker kolorektum adalah pertambahan
usia, jenis kelamin laki-laki, konsumsi alkohol berlebih dan rokok.8,15,16
Diet tinggi lemak, rendah serat dan konsumsi alkohol secara eksesif dikaitkan
dengan perkembangan neoplasia kolorektum. Zat nitrosamin dan amino
heterosiklik merupakan karsinogen yang beredar di darah dan dihubungkan
dengan mutasi pada APC dan KRAS. Konsumsi alkohol memiliki kontribusi
Universitas Indonesia
Banyak dari kanker kolorektum terlambat didiagnosa, karena gejala klinis yang
ditampilkan bersifat non-spesifik, seperti perubahan pola defekasi, nyeri perut
yang intermiten, mual dan muntah. Gejala-gejala lain yang sering dijumpai
adalah keluarnya darah segar atau lendir bersama feses, tenesmus, pengecilan
diameter serta volume feses, serta nyeri di daerah perianal dan presakral bila
sudah tahap lanjut. Manifestasi klinis terutama ditentukan oleh lokasi dari
tumor.8,18
Perubahan dari pola defekasi yang mengarah kepada kanker rektum adalah:18
Kristianto et al. mengumpulkan tiga gejala klinis awal yang paling banyak
dijumpai di Divisi Bedah Digestif RSCM yaitu perubahan pola defekasi
(95,7%), perdarahan per rektum (85,3%), dan feses berlendir (68,2%).3
Universitas Indonesia
2.5. Diagnosis
Tatalaksana kanker rektum dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik yang
menyeluruh. Selain menggali keluhan utama dan keluhan lain yang menyertai,
riwayat penyakit dahulu dan keluarga serta perjalanan penyakit perlu diketahui.
Pemeriksaan colok dubur dapat mencapai 7-8 cm dari anocutan line (ACL),
dengan penilaian meliputi ukuran tumor, lokasi atau jarak dari ACL, ulserasi,
fiksasi tumor terhadap jaringan sekitar dan fungsi sphincter. Pemeriksaan pelvis
harus dilakukan pada perempuan untuk mengetahui keterlibatan vagina.
Pemeriksaan darah meliputi hematologi dasar dengan fungsi hati dan kadar CEA.
Kadar CEA yang mengalami penurunan atau normalisasi pada pasien yang
menjalani kemoradiasi, merupakan faktor prognostik yang baik dari keberhasilan
terapi.7,8
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Sistem klasifikasi stadium pada kanker rektum menurut AJCC:21
Universitas Indonesia
Definisi stadium
Tabel 2.2. Stadium kanker rektum menurut AJCC (klinis dan patologis) 21
2.7. Tatalaksana
2.7.1. Pembedahan
Universitas Indonesia
Secara umum, dikenal beberapa teknik reseksi pada kanker rektum yang lazim
digunakan, yaitu eksisi transanal untuk kanker rektum stadium dini, yaitu tumor
yang berukuran kecil (<3 cm), dalam jarak 8 cm dari anal verge, berdiferensiasi
baik dan kurang dari 30% sirkumferen lumen rektum. Teknik lain adalah Low
Anterior Resection (LAR) untuk tumor letak tinggi yang masih memungkinkan
preservasi sfingter, dan Abdominoperineal Resection (APR) untuk tumor letak
rendah dan sudah melibatkan sfingter atau muskulus levator. Satu hal yang juga
penting adalah untuk preservasi syaraf otonom daerah pelvis agar
meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan kandung kemih.18
Sejak Abel memperkenalkan teknik Total Mesorectal Excision (TME) pada 1931
dan disebarluaskan oleh Heald pada tahun 1979, teknik ini diadopsi secara
internasional menjadi standar pembedahan dalam tatalaksana kanker rektum.
Prinsip dari tindakan Total Mesorectal Excision (TME) meliputi pengangkatan
tumor secara en bloc dan jaringan mesorektum di sekitarnya, yaitu jaringan yang
melingkari rektum di dalam fascia dan berisi struktur limfatik perirektum.22
Dengan teknik ini, angka rekurensi lokal dilaporkan menurun secara signifikan
dari 40% sampai kurang dari 10%, meskipun tanpa terapi neoajuvan atau
ajuvan.23
2.7.2. Radioterapi
Universitas Indonesia
meningkatkan kontrol lokal dan menurunkan rekurensi lokal, dan yang ketiga
adalah meningkatkan kemungkinan preservasi sfingter. Saat ini radioterapi
terutama berperan pada masa pre-operatif, karena efek samping radiasi pre-
operatif lebih dapat ditoleransi. Setelah pembedahan, lebih banyak usus halus
yang turun ke rongga pelvis karena ada kekosongan yang timbul pasca reseksi,
sehingga volume usus halus yang masuk ke dalam lapangan radiasi lebih besar
dan menimbulkan efek samping radiasi yang lebih berat. Selain itu, telah terjadi
perubahan vaskularisasi pada tumor bed sehingga kondisi menjadi lebih hipoksik,
dimana kondisi hipoksik dapat mengakibatkan hasil radiasi yang kurang optimal.
Shivnani et al (2007) melaporkan bahwa pemberian kemoradiasi neoajuvan
meningkatkan angka preservasi sfingter secara signifikan dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang masih dapat ditoleransi.9,25
Standar pemberian radioterapi sebagai neoajuvan saat ini terutama pada kanker
rektum stadium lanjut lokal, yaitu radiasi panjang dengan dosis total 46-50 Gy
diberikan dalam 1.8-2.0 Gy per fraksi, konkuren dengan kemoterapi.
Rekomendasi interval antara radiasi panjang preoperatif dengan tindakan
pembedahan adalah 6-8 minggu, dimana diharapkan tumor memiliki kesempatan
untuk downstaging dan inflamasi pasca radiasi sudah mereda, sementara jaringan
parut yang dipicu radiasi belum sempat terbentuk. Radiasi pendek diberikan
preoperatif sebanyak 25 Gy dengan 5 Gy per fraksi dan operasi harus
dilaksanakan segera setelah radiasi. Jarak ideal antara hari terakhir radiasi pendek
dengan operasi adalah 2-5 hari untuk meningkatkan respons dan menurunkan
komplikasi pembedahan, namun Glimelius (2014) menyatakan bahwa komplikasi
operasi masih dapat ditoleransi dalam 4 minggu.24,26
Universitas Indonesia
Baker et al. (2012) melaporkan hasil studi dari German Rectal Cancer Study
Group yang membandingkan pemberian kemoradiasi pre-operatif dan post-
operatif pada kanker rektum T3-4 atau N+, bahwa kemoradiasi pre-operatif
memberikan overall survival 5 tahun sebesar 76% dengan rekurensi lokal 6%
dalam 5 tahun. 27
Universitas Indonesia
2.7.3. Kemoterapi
Pasien dengan kanker rektum stadium II-III berisiko tinggi untuk mengalami
kekambuhan lokal dan sistemik. Terapi adjuvan harus bertujuan menanggulangi
kedua masalah tersebut. Sebagian besar penelitian tentang pemberian radioterapi
pra- dan pasca bedah saja dapat menurunkan angka kekambuhan lokal tetapi
tidak bermakna dalam angka kesintasan. Pemberian 5-FU bersama radioterapi
adalah efektif dan dapat dianggap sebagai terapi standar, dimana pengobatan
neoajuvan kombinasi radiasi dan kemoterapi sebelum pembedahan juga
menghasilkan angka kegagalan lokal (local failure rates) yang lebih rendah,
disamping sasaran pengobatan lain seperti masa bebas penyakit dan kesintasan
secara keseluruhan.25
Universitas Indonesia
Penilaian respons tumor terhadap terapi dapat dilakukan secara klinis melalui
pemeriksaan rectal touché/RT, secara patologis atau secara radiologis
berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) atau Response
Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) 1.1, dengan berdasarkan
gambaran radiologi sebelum (baseline) dan minimal 4 minggu sesudah terapi.32
Pemilihan RECIST 1.1 sebagai metode evaluasi respons terapi secara radiologis
saat ini sudah digunakan secara luas di dunia oleh institusi akademis, industri dan
studi-studi ilmiah karena protokolnya yang dianggap sederhana dan seragam
sehingga mengurangi perbedaan interpretasi. Fitur RECIST 1.1 adalah ukuran
minimal lesi yang diukur, pemilihan jumlah lesi untuk diukur (maksimal 5 lesi
Universitas Indonesia
per organ, maksimal 10 bila lebih dari 1 organ) dan penggunaan satu dimensi
(dimensi terbesar) untuk pengukuran beban tumor.32
2.8.3. Pemantauan/Follow-up
Universitas Indonesia
Pemberian radiasi dalam terapi kanker rektum memberi keuntungan dalam hal
kontrol lokal dalam kesintasan. Studi oleh Enriquez-Navascués et al.(2011)
menyatakan bahwa pemberian radiasi pendek preoperatif dapat menurunkan
angka rekurensi lokal sampai 9%, dibandingkan operasi saja sebesar 23%. Selain
itu, pemberian radiasi pendek yang dikombinasikan dengan kemoterapi
meningkatkan angka kesintasan 5 tahun menjadi 58%. Sementara, rekurensi lokal
setelah kemoradiasi lebih kecil (8%) dibandingkan pemberian radiasi panjang
saja tanpa kemoterapi (17%).37
Yu et al.(2008) melaporkan bahwa dua pertiga (78%) rekurensi lokal pada kanker
rektum setelah kemoradiasi terjadi di dalam lapangan radiasi, dimana 80%
dijumpai di daerah pelvis bawah atau presakral, sementara sisanya dijumpai di
tepi lapangan radiasi, yaitu dalam jarak 1 cm ke dalam atau ke luar lapangan
radiasi.38
Universitas Indonesia
Kanker Rektum
Terapi
-Bedah
- Radioterapi
- Kemoterapi
- Hipoksia
- Proliferasi
- Angiogenesis
- Apoptosis
: tidak dianalisis
Universitas Indonesia
Kanker Rektum
Karakteristik pasien:
- Usia
- Jenis kelamin Faktor risiko:
- Perujuk - Pola hidup: rokok, alkohol,
diet
Karakteristik tumor: - Riwayat penyakit dahulu
- Histologi - Riwayat keganasan keluarga
- Stadium
TERAPI
Universitas Indonesia
METODOLOGI PENELITIAN
Subyek penelitian diambil dengan metode total sampling dari catatan rekam
medis serta data pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan kriteria inklusi.
22
Karena penelitian ini menggunakan metode total sampling, maka jumlah sampel
didapat secara kolektif berdasarkan data rekam medik dalam kurun waktu Januari
2009 sampai Januari 2014.
Semua pasien kanker rektum yang sudah tegak melalui PA dan menjalani
radiasi di Departemen Radioterapi RSCM
Universitas Indonesia
Variabel yang dinilai untuk studi deskriptif pada penelitian ini adalah: usia, jenis
kelamin, asal perujuk, stadium tumor, ukuran tumor (T), kelenjar getah bening
(N), jenis histopatologi, overall treatment time,delayed treament time, toksisitas
radiasi akut pada kulit, toksisitas radiasi lanjut pada kulit, toksisitas akut pada
saluran cerna bagian bawah, toksisitas radiasi lanjut pada saluran cerna bagian
bawah, respons radiasi berdasarkan pencitraan pre dan post-terapi, rekurensi
lokal, metastasis jauh.
Untuk analisis kesintasan, variabel dependen adalah usia, jenis kelamin dan
stadium. Sedangkan variabel independen adalah kejadian kematian.
Universitas Indonesia
3. Kanker rektum Kanker pada daerah rektum yang sudah tegak diagnosisnya
melalui pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan tumor
yang diambil melalui biopsi atau spesimen pembedahan.
7. Radiasi panjang Radiasi yang diberikan pre-operatif dengan dosis total 46-
50 Gy, diberikan dalam 1.8-2.0 Gy per fraksi, 5 kali dalam
seminggu.
8. Radiasi pendek Radiasi yang diberikan pre-operatif dengan dosis 5x5 Gy.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Rekam medis
tidak dapat
ditelusuri
Input data
karakteristik
Eksklusi
Rekurensi lokal
Metastasis jauh
Toksisitas radiasi
OTT
Tabel
karakteristik:
Usia
Analisis data:
Jenis kelamin
RS perujuk Respons radiasi
Jenis PA Resektabilitas pasca
Stadium radiasi
DTT Korelasi OTT dan
DTT dengan respons
radiasi
Universitas Indonesia
Sejak Januari 2009 sampai dengan Januari 2014 tercatat jumlah pasien kanker
rektum di Departemen Radioterapi RSCM adalah 220 pasien. Sebanyak 76
pasien di antaranya tidak dapat ditemukan rekam mediknya, sehingga hanya 144
pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 26 pasien dari 144 pasien
tersebut dikirim ke Departemen Radioterapi RSCM sudah dengan metastasis dan
tidak diikutkan dalam tahap analisis kesintasan dan respons radiasi. Dari 118
pasien yang datang tanpa metastasis, 12 pasien tidak menyelesaikan radiasi dan
106 pasien lainnya menjalani radiasi komplit, dimana 86 pasien menjalani radiasi
panjang dan 20 pasien radiasi pendek.
Pada penelitian ini, didapatkan usia rerata pasien adalah 52.5 tahun, dengan
mayoritas pasien berada pada rentang usia 50-59 tahun (30.6%), dan median usia
53 tahun. Usia termuda yang didapatkan adalah 23 tahun dan yang tertua adalah
86 tahun. Hasil yang agak berbeda ditampilkan oleh data dari Divisi Bedah
Digestif RSCM yaitu kelompok usia terbanyak adalah usia 45-53 tahun (21.8%)
dengan mean 50.67 tahun, usia termuda yang didapatkan adalah 18 tahun dan
28
Sebanyak 63 pasien (43.7%) dikirim dari dalam RSCM yaitu bagian Bedah,
Bedah Digestif dan Interna, sementara 81 pasien (56.23%) dikirim dari luar
RSCM, baik dari rumah sakit di Jakarta, luar Jakarta dan luar Indonesia.
Sebanyak 18 pasien (12.5%) mengaku menjalani terapi alternatif sebelum dikirim
ke Departemen Radioterapi RSCM.
Pola perujukan pasien kanker rektum pada penelitian ini menunjukkan bahwa
pasien lebih banyak pasien dikirim dari luar RSCM, yaitu sebanyak 81 pasien, 5
pasien dikirim dari RS di luar Jakarta, 2 pasien dikirim dari luar Indonesia dan
sisanya sebanyak 74 pasien dikirim dari RS swasta di Jakarta yang tidak
memiliki fasilitas radioterapi. Sementara, pasien yang dikirim dari dalam RSCM
berjumlah 63 pasien, 7 pasien dikirim oleh bagian Penyakit Dalam dan 56
lainnya dikirim dari bagian Bedah/Bedah Digestif. Hal ini dapat sejalan dengan
telah terlaksananya terapi multimodalitas dalam tatalaksana kanker rektum,
namun juga menampilkan adanya distribusi fasilitas kesehatan yang belum
merata di Indonesia.
Dalam kepustakaan, faktor risiko kanker rektum yang memiliki kaitan erat
dengan kejadian kanker rektum adalah pertambahan usia, jenis kelamin laki-laki,
rokok dan konsumsi alkohol berlebih.8,15,16 Faktor risiko lain yang dikumpulkan
pada penelitian ini adalah faktor genetik berupa riwayat keganasan pada
keluarga, riwayat merokok, konsumsi alkohol dan pola diet. Sebanyak 23 pasien
(15.9%) memiliki riwayat keganasan pada keluarga. Tidak didapatkan data
mengenai jenis keganasan maupun derajat kedekatan dari keluarga yang
Universitas Indonesia
Peran obesitas sebagai faktor risiko kanker rektum belum tegak. Beberapa studi
belum dapat menemukan hubungan yang kuat antara obesitas dengan kanker
rektum, walaupun untuk beberapa jenis kanker, seperti kanker ovarium, obesitas
merupakan faktor risiko.16 Karena hal ini masih merupakan suatu kontroversi,
maka pada penelitian ini dicoba dilakukan penghitungan Indeks Massa Tubuh
(IMT) dari seluruh pasien kanker rektum di Departemen Radioterapi RSCM
untuk melihat jumlah pasien kanker rektum yang obesitas. Dari 144 pasien,
hanya 98 pasien yang memiliki data tinggi badan dan berat badan. Hasilnya
menunjukkan bahwa obesitas, berdasarkan skor IMT >30%, hanya didapatkan
pada dua pasien (2.1%). Jumlah pasien terbanyak berada pada kelompok berat
badan normal/normoweight yaitu 62 pasien (63.3%), diikuti kelompok berat
badan kurang/underweight 21 pasien (21.4%) dan kelompok berat badan
berlebih/overweight sebanyak 13 pasien (13.2%). Maka pada penelitian ini, dapat
dilihat bahwa hanya 2.1% pasien obesitas yang merupakan bagian dari kelompok
pasien kanker kolorektal. Tentu saja hal ini belum menyimpulkan tidak adanya
hubungan antara obesitas dengan kanker rektum, karena studi ini hanya bersifat
deskriptif. Untuk menemukan hubungannya, diperlukan studi lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Karakteristik n(=144) %
Jenis kelamin
Laki-laki 95 65.9
Perempuan 49 34.1
Usia
<40 tahun 25 17.4
40 – 49 tahun 32 22.2
50 – 59 tahun 44 30.6
60 – 69 tahun 26 18.1
> 70 tahun 17 11.8
Perujuk
RSCM 63 43.7
Luar RSCM 81 56.3
Faktor Risiko
Riwayat keganasan pada keluarga 23 15.9
Merokok* 41 28.5
Kombinasi keduanya 8 5.6
Alkohol 2 1.4
Indeks Massa Tubuh/IMT (n=98)
<18.5 21 21.4
18.5 – 24.9 62 63.3
25.0 – 29.9 13 13.2
>30.0 2 2.1
Gejala Klinis Awal
Perubahan pola defekasi 93 64.6
Perdarahan 92 63.9
Nyeri 57 39.6
Jenis Histopatologi
Adenokarsinoma 128 88.8
Signet ring cell 5 3.5
Karsinoma sel skuamosa 5 3.5
Adenoskuamosa 1 0.7
Limfoma 1 0.7
Tidak diketahui jenisnya 4 2.8
Stadium Tumor
I 9 6.2
IIA 19 13.2
IIB 25 17.4
IIC 1 0.7
IIIA 4 2.8
IIIB 36 25.0
IIIC 15 10.4
IVA 20 13.9
IVB 6 4.2
Tidak diketahui 9 6.2
Jarak Tumor dengan anocutan line (ACL)
<5.0 cm 42 29.1
5.1 – 10 cm 17 11.8
Tidak diketahui 85 59.1
Universitas Indonesia
Gejala awal dari kanker rektum tidak spesifik, yang banyak disebutkan adalah
perubahan pola defekasi berupa perubahan frekuensi, bentuk dan konsistensi
feses, nyeri di perut atau perianal yang konstan maupun intermiten, serta
keluarnya darah dan lendir dari lubang anus, baik bersama feses maupun tidak.2,7
Studi oleh Kristianto et al., (2011) menemukan gejala klinis awal yang banyak
dijumpai pada pasien kanker rektum di Divisi Bedah Digestif RSCM adalah
perubahan pola defekasi (95.7%), perdarahan rektal (85.3%), dan feses berlendir
(68.2%).3 Pada penelitian ini, ditampilkan tiga terbanyak dari gejala klinis awal
yang dikeluhkan oleh pasien yaitu perubahan pola defekasi yang dikeluhkan oleh
93 pasien (64.6%), diikuti oleh perdarahan pada 92 pasien (63.9%) dan nyeri
pada 57 pasien (39.6%).(gambar 4.3) Hal ini menampilkan kesesuaian dengan
data dari Divisi Bedah Digestif RSCM mengenai dua gejala klinis awal yang
paling banyak dijumpai pada kanker rektum, yaitu perubahan pola defekasi dan
perdarahan.
Data karakteristik pasien dapat dilihat lebih lengkap pada tabel 4.1.
Universitas Indonesia
100
80
60
40
65.9% 34.1%
20
0
Laki-laki Perempuan
50
45
40
35
30
25
20
15
10
17.4% 22.2% 30.6% 18.1% 11.8%
5
0
< 40 th 40-49 th 50-59 th 60-69 th > 70 th
100
90
80
70
60
50
40
64.6% 63.9% 39.6%
30
20
10
0
Perubahan pola defekasi Perdarahan Nyeri
Gambar 4.3. Gejala klinis awal yang paling banyak dikeluhkan (n=98).
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini, data karakteristik tumor yang diambil adalah jenis
histopatologi berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi, serta stadium dan status
TNM tumor yang didapat secara klinis maupun patologis.
Lebih dari 80-90% kanker rektum adalah adenokarsinoma. Tipe histologi lainnya
adalah signet ring cell, karsinoma sel skuamosa, adenoskuamosa dan lainnya.8,18
Pada penelitian ini, data histopatologi yang dapat ditelusuri berjumlah 135 kasus
dan, sesuai dengan literatur, yang terbanyak adalah adenokarsinoma yaitu 119
(88.1%). Tipe histologi lain yang dijumpai adalah signet ring cell sebanyak 5
kasus (3.7%), karsinoma sel skuamosa 5 kasus (3.7%), limfoma 1 kasus (0.7%),
adenoskuamosa 1 kasus (0.7%) dan yang lainnya sebanyak 4 kasus (3.0%).
(gambar 4.4) Data ini sama dengan hasil studi dari Kristianto et al. (2011) bahwa
tipe histologi yang paling banyak dijumpai di Divisi Bedah Digestif RSCM
adalah adenokarsinoma sebesar 71.6%.3
88.8%
Persentase
Pasien paling banyak berada pada stadium IIIB sebanyak 25 pasien (26.6%),
diikuti stadium IVA sebanyak 17 pasien (18.1%), stadium IIA 11 pasien (11.7%),
stadium IIB 12 pasien (12.8%), stadium IIIC 11 pasien (11.7%), stadium I 8
Universitas Indonesia
pasien (8.5%), stadium IIC 2 pasien (2.1%) dan stadium IIA 2 pasien
(2.1%).(Gambar 4.5). Menurut staging TNM, ukuran T (tumor) yang paling
banyak dijumpai adalah T4 (43.7%), status N (kelenjar getah bening) adalah N1
(22.2%) dan M (penyebaran jauh) adalah M0 (75.7%).
Data lain tentang tumor yang dapat dikumpulkan adalah jarak tumor dari
anocutan line (ACL). Rektum terbagi menjadi 3 daerah yang akan
mempengaruhi tatalaksananya kelak. Dari 59 pasien, sebanyak 42 pasien (71.2%)
tumornya berjarak <5.1 cm dari ACL atau letak rendah, sementara 17 pasien
(28.8%) tumornya berada dalam rentang 5.1-10 cm dari ACL atau mid-rektal.
Studi oleh Chiang et al. (2014) menyatakan bahwa kanker rektum letak rendah
memiliki angka kesintasan 5 tahun dan kesintasan bebas penyakit yang lebih
rendah (masing-masing 47.25% dan 44.07%) dibandingkan dengan pasien
dengan tumor di mid-rektal (masing-masing 63.46% dan 60.22%) dan tumor di
Universitas Indonesia
rektal bagian atas (masing-masing 73.91% dan 71.87%). Dikatakan pula bahwa
lokasi tumor merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap rekurensi lokal
maupun metastasis ke paru, tulang dan kelenjar getah bening (KGB).38
Hal-hal yang berkaitan dengan tatalaksana pasien ditampilkan pada tabel 4.2.
Data-data yang dikumpulkan adalah pelaksanaan radiasi berdasarkan waktu dan
tujuannya, kemoradiasi, teknik dan pesawat radiasi yang digunakan, Delayed
Treatment Time (DTT), Overall Treatment Time (OTT), toksisitas radiasi akut
serta riwayat kemoterapi dan operasi sebelum dan sesudah radiasi.
Data mengenai teknik radiasi diambil pada pasien yang menjalani radiasi kuratif,
baik radiasi panjang maupun pendek, dan yang tersedia (terdapat keterangan)
berjumlah 107 kasus. Teknik radiasi yang paling banyak digunakan adalah teknik
konvensional whole pelvis AP-PA sebanyak 45 kasus (42.1%), kemudian teknik
3D-CRT sebanyak 43 kasus (40.2%), box system sebanyak 12 kasus (11.1%),
IMRT sebanyak 6 kasus (5.6%). Dan satu pasien (1.0%) menjalani brakiterapi
implan sebagai booster radiasi.
Pada pengumpulan data tentang pesawat radiasi, diambil data dari seluruh
sampel yang ada. Data mengenai pesawat radiasi yang tersedia berjumlah 138
kasus. Dari 4 pesawat radiasi yang dioperasikan di Departemen Radioterapi
RSCM, pesawat Synergy Platform paling banyak digunakan yaitu pada 48 kasus
(34.8%), diikuti oleh Co-60 pada 38 kasus (27.5%), Synergy-S pada 28 kasus
(20.3%) dan Varian pada 24 kasus (17.4%).
Universitas Indonesia
Variabel n(=144) %
Peran Radiasi dalam Tatalaksana
Radiasi pendek pre-operatif (5x5 Gy) 20 13.9
Radiasi panjang pre-operatif (23-25x1.8-2.0 Gy) 79 54.8
Radiasi definitif (pasien menolak operasi) 1 0.6
Radiasi inkomplit (pada radiasi panjang) 13 9.1
Radiasi paliatif (pada kasus nyeri dan perdarahan) 26 18.1
Keterangan radiasi tidak ada 5 3.5
Kemoradiasi
Ada 43 29.8
Tidak ada data 103 70.2
Teknik Radiasi
WP AP-PA 45 31.2
Box system 12 8.3
3D-CRT 43 29.8
IMRT 6 4.2
Brakiterapi implan 1 0.8
Tidak ada data 37 25.7
Penggunaan Jenis Pesawat Radiasi
Cobalt-60 38 26.4
Varian 24 16.7
Synergy-Platform 48 33.3
Synergy-S 28 19.4
Tidak ada data 6 4.2
Delayed Treatment Time (DTT)
< 14 hari 74 51.4
> 14 hari 67 46.5
Tidak ada data 3 2.1
Toksisitas Radiasi Akut
Kulit
Derajat I 18 12.5
Derajat II 8 5.5
Derajat III 1 0.8
Tidak ada data 117 81.2
Saluran Cerna Bawah
Derajat I 4 2.8
Derajat II 1 0.7
Tidak ada data 139 96.5
Riwayat Kemoterapi
Pre-radiasi 5 3.5
Post-radiasi 6 4.1
Tidak diketahui waktunya 19 13.2
Tidak ada data 114 79.2
Riwayat Pembedahan Pasca-radiasi
Pasca radiasi panjang 7 4.9
Pasca radiasi pendek 7 4.9
Tidak ada data 130 90.2
Riwayat Pembedahan Pre-radiasi
Biopsi + kolostomi 52 36.1
LAR 7 4.8
APR 1 0.8
Laparotomi 3 2.1
Tidak diketahui 81 56.2
Universitas Indonesia
sebesar 46-50 Gy dengan pemberian 1.8-2.0 Gy per fraksi, kecuali pada pasien
yang mendapat dosis total 36 Gy karena radiasi dihentikan akibat toksisitas akut
pada saluran cerna bawah yang dirasakan berat oleh pasien, dan pasien yang
mendapat 66 Gy adalah pasien yang menolak operasi pasca radiasi 50 Gy,
8,18,24
sehingga diberikan booster dengan IMRT sampai total 66 Gy.
Pada penelitian ini, dikumpulkan data mengenai delayed treatment time atau
waktu tunggu, yaitu waktu yang dibutuhkan pasien untuk memulai radiasi,
dihitung sejak pasien mendaftar di Departemen Radioterapi RSCM sampai
tanggal radiasi pertama. Data yang terkumpul menunjukkan sebaran data yang
tidak normal yang ditampilkan di gambar 4.5, dengan nilai minimal 1 hari dan
nilai maksimal 98 hari, dengan nilai rata-rata adalah 19 + 18 hari. Sesuai
kesepakatan bersama di Departemen Radioterapi RSCM, delayed treatment time
ideal adalah < 14 hari, didapatkan 73 pasien (52.1%) memiliki delayed treatment
time < 14 hari. Sementara sisanya sejumlah 67 pasien (47.9%) harus menunggu >
14 hari untuk memulai radiasi.
Universitas Indonesia
Hari
Dari 67 pasien tersebut, 6 pasien tercatat waktu tunggunya >60 hari. Untuk
pasien dengan waktu tunggu lebih dari 60 hari, setelah ditelusuri kembali
datanya, penyebab keterlambatan sekian lama terutama disebabkan oleh faktor
pasien yang tidak segera datang ke DRT mengikuti rujukan dari dokter
sebelumnya, karena faktor biaya yang tidak mencukupi, lama dan berbelitnya
proses mengajukan jaminan pembiayaan maupun faktor psikologis. Hal lainnya
adalah kondisi klinis pasien yang menyebabkan pasien harus dirawat di rumah
sakit atau menghentikan aktivitas sementara dan tinggal di rumah. Faktor di luar
pasien dengan yang menyebabkan keterlambatan dapat disebabkan oleh daftar
tunggu yang panjang akibat kerusakan pesawat radiasi, pasien yang sudah
mendaftar di DRT namun kemudian menjalani kemoterapi neoajuvan, atau untuk
pasien dengan radiasi pendek, faktor jadwal tunggu operasi yang panjang.
Pengambilan data OTT dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang
menjalani radiasi pendek dan kelompok radiasi panjang. Waktu yang dicatat
adalah sejak hari radiasi pertama sampai radiasi terakhir.
Universitas Indonesia
Pada kelompok radiasi panjang, waktu yang ideal untuk radiasi komplit yang
ditetapkan pada penelitian ini, sesuai dosis total 50 Gy yang diberikan dalam 25
fraksi adalah 35 hari. Meskipun demikian, belum ada kesepakatan secara
internasional tentang OTT ideal untuk kanker rektum. Dalam penelitian ini,
tercatat jumlah pasien yang menjalani radiasi panjang yang komplit adalah 86
pasien. Sebanyak 25 pasien (29.1%) memiliki OTT < 35 hari, sementara sisanya
sejumlah 61 pasien (70.9%) memiliki OTT >35 hari. Nilai OTT minimal adalah
28 hari, maksimal 168 hari, dengan nilai rata-rata 48 + 3 hari.
Data toksisitas radiasi akut dapat dikumpulkan sebanyak 29 kasus (20.1%) dari
total 144 pasien. Pada penelitian ini, fokus toksisitas radiasi akut yang
dikumpulkan adalah yang terjadi pada kulit dan saluran cerna bagian bawah. Dari
Universitas Indonesia
28 toksisitas radiasi akut pada kulit, mayoritas adalah derajat I berupa eritema
dan hiperpigmentasi di area radiasi pada 18 pasien (66.7%), derajat II berupa
deskuamasi ringan-basah pada 8 pasien (29.6%) dan satu pasien (3.7%)
mengalami toksisitas radiasi akut pada kulit derajat III yaitu deskuamasi basah
yang cukup luas disertai nyeri yang memerlukan analgesik.
Toksisitas radiasi akut pada saluran cerna bagian bawah didapatkan pada 6
pasien. Sebanyak 5 pasien (83.3%) mengeluhkan toksisitas akut derajat I berupa
peningkatan frekuensi BAB (4-5 kali per hari)/diare dan 1 pasien (16.7%)
mengeluhkan toksisitas derajat II berupa diare disertai nyeri perut yang
memerlukan analgesik untuk meredakan nyeri tersebut. Efek samping terbanyak
didapatkan pada kulit berupa dan saluran cerna bagian bawah, karena dua sistem
tersebut memang terdiri dari sel-sel yang sangat mudah mengalami perubahan
bila terpajan radiasi. Efek samping disebutkan dapat meningkat bila pasien
menjalani kemoradiasi dibandingkan dengan yang menjalani radiasi saja.41
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Metode penilaian yang digunakan dalam menilai respons radiasi dapat dilakukan
secara klinis melalui pemeriksaan fisik/rectal touché (RT) yang dilakukan
sebelum dan sesudah radiasi, patologi atau dengan menilai pencitraan (CT scan,
MRI) sebelum dan sesudah radiasi melalui metode RECIST 1.1 atau WHO. Pada
penelitian ini dipilih metode RECIST 1.1 untuk mempertahankan objektivitas.32
Pada studi ini dilakukan analisis untuk melihat korelasi antara respons radiasi
dengan berbagai karakteristik pasien, yaitu jenis kelamin, usia, stadium dan tipe
histopatologi tumor. Selain itu, analisis juga dilakukan untuk mengetahui adakah
korelasi antara respons radiasi dengan OTT dan korelasi antara respons radiasi
dengan DTT pada kanker rektum. Hasil analisis ditampilkan pada tabel 4.6.
Universitas Indonesia
Tabel 4.6 Analisis bivariat karakteristik jenis kelamin, usia, histologi, stadium,
overall treatment time (OTT) dan delayed treatment time (DTT) dengan respons
radiasi
Studi yang dilakukan oleh Bese et al (2007) mengumpulkan data dari sejumlah
studi tentang pengaruh OTT radiasi pada kontrol lokal sesuai dengan lokasi
tumor, dan didapatkan bahwa data yang paling banyak dijumpai adalah pada
kanker kepala dan leher, kanker paru dan kanker serviks. Kesimpulannya adalah
terdapat pengaruh pemanjangan OTT terhadap penurunan kontrol lokal. Studi
yang fokus pada kanker rektum tidak tersedia. Data yang tersedia dari lokasi
tumor yang terdekat secara anatomis adalah pada kanker di kanal anal, bahwa
Universitas Indonesia
pada 50% pasien kanker kanal anal yang memiliki median durasi gap lebih dari
47 hari didapatkan penurunan kontrol lokal.13 Suatu systematic review oleh
Huang et al (2003) menampilkan bahwa dari 46 studi yang di-review, yang
terbanyak adalah pada kanker payudara dan kanker kepala leher, terdapat
peningkatan angka rekurensi lokal pada pasien dengan jarak radiasi pasca operasi
lebih dari 6 minggu.14
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara respons radiasi
dengan berbagai faktor (jenis kelamin, usia, histologi, stadium, OTT dan DTT)
yang didapatkan pada penelitian ini. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah sampel
yang sedikit. Untuk dapat digunakan dalam populasi yang sebenarnya,
diperlukan jumlah sampel yang lebih besar.
Pada penelitian ini sulit untuk menilai pola rekurensi lokal, karena pada
penelusuran rekam medik tidak didapatkan data mengenai rekurensi. Dari
keterangan pasien yang dapat dihubungi, tidak didapatkan keterangan yang
mengindikasikan rekurensi, namun hal ini tidak dapat dipastikan karena tidak
disertai dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan imaging. Pada penelusuran
data, didapatkan pada satu pasien didapatkan sel ganas dari hasil biopsi di kolon
pada 8 bulan pasca radiasi dan satu pasien lainnya didapatkan residu tumor
(berdasarkan PA) pada 2 bulan pasca radiasi. Pada pasien dengan penyebaran ke
kolon, pasien tercatat tidak menyelesaikan radiasinya (18 kali dari rencana 23
kali) tanpa diketahui alasannya dan pasien tidak dapat dihubungi melalui telepon.
Terdapat 1 pasien, yang melalui PET-CT pada 2 bulan pasca-radiasi, dijumpai
residu tumor dan kemdian pasien menjalani pembedahan dilanjutkan dengan
kemoterapi Oxaliplatin dan Xeloda sebanyak 5 kali.
Universitas Indonesia
Pola metastasis
Dari 35 data metastasis, 30 didapatkan didapatkan dari pasien yang dikirim sudah
dengan metastasis dan 5 dari data follow-up pasca radiasi. Pada pasien yang
datang sudah dengan metastasis, lokasi penyebaran ke tulang paling sering
dijumpai, yaitu pada 8 pasien (26.6%), diikuti hepar 7 pasien (23.3%%), paru 7
pasien (23.3%) dan sisanya ke KGB non-regional, otak dan vagina. Sementara
dari data follow-up didapatkan data metastasis pada 4 pasien. Satu pasien
mengalami metastasis ke KGB inguinal pada 2 minggu pasca kemoradiasi, 1
pasien mengalami metastasis ke vertebra thorakolumbal pada 4 minggu pasca
kemoradiasi, 1 pasien mengalami metastasis ke kolon pada 37 minggu pasca
kemoradiasi, 1 pasien metastasis ke hepar pada 37 minggu pasca radiasi dan 1
pasien metastasis ke paru pada 103 minggu pasca radiasi. Detail data tersebut
dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut:
Lokasi (n=30) n %
Tulang 8 26.6
Hepar 7 23.3
Paru 7 23.3
KGB 5 16.6
Otak 2 6.6
Vagina 1 3.6
Universitas Indonesia
Follow-up pasien dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penelusuran rekam
medik dan menghubungi pasien melalui telepon. Dari 144 pasien, terdapat 26
pasien dengan metastasis, sehingga jumlah pasien yang diikutkan dalam analisis
kesintasan adalah 115 pasien. Pada penghitungan statistik didapatkan angka
overall survival 3 tahun 65% dan 5 tahun 45%, dengan median survival 59 bulan.
Analisis kesintasan hidup dilakukan dengan uji Kaplan-Meier dan ditampilkan
dalam bentuk kurva berdasarkan usia, jenis kelamin dan stadium. Grafik analisis
overall survival ini dapat dilihat pada gambar 4.6.
Kesintasan kumulatif
Bulan
Pada gambar 4.7, ditampilkan angka kesintasan hidup berdasarkan usia. Dengan
uji Kaplan-Meier didapatkan nilai p= 0.681. Nilai median survival untuk
kelompok usia <40 tahun adalah 36 bulan, 60-69 tahun 36 bulan dan terendah
pada kelompok usia >69 tahun yaitu 24 bulan. Pada kelompok usia 40-49 tahun
dan 50-59 tahun tidak didapatkan angka median survival-nya karena kurva
berada di atas kesintasan kumulatif 50%.
Universitas Indonesia
Kesintasan kumulatif
Bulan
Angka kesintasan 5 tahun kanker rektum yang telah distandarisasi menurut usia
secara global adalah 50-59%.6 Pada penelitian ini, didapatkan angka kesintasan
yang sedikit lebih tinggi. Data mengenai angka kesintasan di Indonesia sendiri
belum tersedia saat ini, sehingga tidak dapat dibandingkan.
Kesintasan kumulatif
Bulan
Universitas Indonesia
Kesintasan kumulatif
Bulan
Dari kepustakaan, kesintasan 5 tahun pada kanker rektum yang masih lokal dapat
mencapai 90%, menurun menjadi 70% bila telah melibatkan regional dan 10%
bila telah terjadi metastasis jauh.5 Pada kurva analisis kesintasan berdasarkan
stadium (Gambar 4.9),didapatkan nilai p=0.260 dengan median survival pada
stadium I adalah 59 bulan dan 36 bulan pada stadium III, sementara pada
stadium II tidak didapatkan angka median survival karena kurvanya berada di
atas kesintasan kumulatif 50%.
Pada gambar 4.10 ditampilkan hasil analisis kesintasan pada kelompok pasien
dengan radiasi panjang. Angka kesintasan untuk 3 tahun adalah 91% dan angka
kesintasan untuk 5 tahun adalah 78%.
Universitas Indonesia
Kesintasan kumulatif
Bulan
Universitas Indonesia
5.1. Kesimpulan
51
5.2. Saran
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
12. Chung MJ, Chung SM, Kim JY, Ryu MR. Prognostic Significance of Serum
Carcinoembryogenic Antigen Normalization on Survival in Rectal Cancer
Treated with Preoperative Chemoradiation. Cancer Res Treat. 2013; 45(3):
186-192.
13. Bese N, Hendry J, Jeremic B. Effects of Prolongation of Overall Treatment
Time due to Unplanned Interruptions during Radiotherapy of Different Tumor
Sites and Practical Methods for Compensation. Int J Rad Oncol Biol Phys.
2007; 68(3).
14. Huang J, Barbera L, Brouwers M, Browman G, Mackillop WJ. Does Delay in
Starting Treatment Affect The Outcomes of Radiotherapy? A Systematic
Review. J Clin Oncol. 2003 Feb: 21(3): 555-563.
15. Tsoi KKF, Pau CYY, Wu KK, Chan FKL, Griffiths S, Sung JJY. Cigarette
Smoking and the Risk of Colorectal Cancer: A Meta-analysis of Prospective
Cohort Studies. Clinical Gastroenterology and Hepatology. 2009; 7:682-688.
16. Bhaskaran K, Douglas I, Forbes H, dos-Santos-Silva I, Leon DA, Smeeth L.
Body-mass index and risk of 22 specific cancers: a population-based cohort
study of 5.24 million UK adults. Lancet. 2014; 384:755-765.
17. Cox CD, Ang KK. Radiation Oncology Technique and Results. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2010.
18. Beyzadeoglu M, Ebruli C, Ozygit G. Rectal Cancer. In: Basic of Radiation
Oncology. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag; 2010.
19. Dewhurst CE, Mortele KJ. Magnetic Resonance Imaging of Rectal Cancer.
Radiol Clin N Am. 2013; 51.
20. Rovera F, Dionigi G, Boni L, Cutaia S, Diurni M, Dionigi R. The Role of EUS
and MRI in Rectal Cancer Staging. Surgical Oncology. 2007; 16.
21. Kim E, Brady LW. Rectal Cancer. In Lu JJ, Brady W, editors. Decision
Making in Radiation Oncology Vol. 1. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag;
2011. p. 487-509.
22. Stewart DB, Dietz DW. Total Mesorectal Excision: What Are We Doing? Clin
Colon Rect Surg. 2007; 20.
Universitas Indonesia
23. Lin HH, Lin JK, Lin CC, Lan YT, Wang HS, Yang SH, et al. Circumferential
margin plays an independent impact on the outcome pf rectal cancer patients
receiving curative total mesorectal excision. The American Journal of Surgery.
2013; 206.
24. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology Rectal Cancer. Version
1.2015.
25. Shivnani AT, Small Jr W, Stryker SJ, Kiel KD, Lim S, Halverson AL, et al.
Preoperative chemoradiation for rectal cancer: results of multimodality
management and analysis of prognostic factors. The American Journal of
Surgery. 2007; 193.
26. Bengt G. Optimal Time Intervals between Pre-operative Radiotherapy or
Chemoradiotherapy and Surgery in Rectal Cancer. Front Oncol. 2014 Apr:
4(50).
27. Baker B, Salameh H, Al-Salman M, Daoud F. How does preoperative
radiotherapy affect the rate of sphincter-sparing surgery in rectal cancer?
Surgical Oncology. 2012; 21.
28. Evans WL, McLeod HL. ABC of Colorectal Cancer: Epidemiology. BMJ.
2000;3 21: 805-08.
29. Landis SH, Murray T, Bolden S. Cancer Statistics 2000. CA: A Cancer
Journal for Clinicians. 2000; 50: 2398-2424.
30. Bisset D, Ahmed F, McLeod HL, Cassidy J. Optimal Strategies for The Use of
Oral Fluoropyrimidines. In: Cunningham D, Haller DG, Miles A, editors. The
Effective Management of Colorectal Cancer. London. Aesculapius Medical
Press. 2000:51-62.
31. Chau I, Norman AR. A Randomized Comparison between Six Months of
Bolus Fluorouracil(5FU)/leucovorin and 12 Weeks of Protracted Venous
Infusion (PVI) as Adjuvant Treatment in Colorectal Cancer, An Update with 5
Year’s Follow-up In: 2004 Gastrointestinal Cancers Symposium. San
Fransisco, California 2004.
32. Nishino M, Jagannathan JP, Ramaiya NH, Van den Abbeele AD. Revised
RECIST Guidelines Version 1.1: What Oncologists Want to Know and What
Radiologists Need to Know. Am J Rad. 2010; 195: 281-289.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia