TESIS
Ardyanto Florensius
1706099810
ii
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 8 April 2021
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Dokter Spesialis Radiologi pada Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik pada saat kegiatan
pelayanan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan di RS jejaring lainnya,
maupun pada saat pengajuan hingga pelaksanaan penelitian, sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya hendak mengucapkan terima kasih
kepada:
(1) dr. Indrati Suroyo, SpRad(K), selaku dosen pembimbing dari Departemen
Radiologi RSCM-FKUI yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan dan memberikan bimbingan kepada saya dalam penyusunan
tesis ini.
(2) dr. Marlinda Adham, SpTHT-KL (K), Ph.D, selaku dosen pembimbing dari
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI-RSCM yang telah
membimbing dari tinjauan klinisi serta memberikan masukan dalam penyusunan
tesis ini.
(3) Dr. dr. Joedo Prihartono, MPH, selaku dosen pembimbing dari Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas FKUI yang telah membimbing dalam hal statistik
penelitian maupun analisis data.
(4) dr. Yayi Dwina Bilianti Susanto, M.Biomed, SpPA(K), selaku dosen
pembimbing dari Departemen Patologi Antomi FKUI-RSCM yang telah
membimbing dalam tinjauan histopatologi serta memberikan masukan dalam
penyusunan tesis ini.
(5) dr. Thariqah Salamah, SpRad(K) dan dr. Reyhan Eddy Yunus SpRad, M.Sc,
selaku penguji statistik dan penguji divisi yang telah memberikan koreksi dan
saran yang membangun dalam penyusunan tesis ini.
(6) dr. Vally Wulani, SpRad(K) selaku Kepala Program Studi Departemen
Radiologi FKUI-RSCM saat ini yang telah memberikan ilmu, dukungan, dan
iv
bimbingan selama saya menjalani masa pendidikan.
(7) dr. Benny Zulkarnaen, SpRad(K) selaku Kepala Departemen Radiologi FKUI-
RSCM dan juga merupakan pembimbing akademis saya di Departemen
Radiologi FKUI-RSCM yang telah memberikan ilmu, dukungan, dan bimbingan
selama saya menjalani masa pendidikan.
(8) Seluruh staf pengajar, radiografer, dan perawat di RSCM, RSUP Fatmawati,
RSPAD Gatot Subroto, RSAB Harapan Kita, dan RS Kanker Dharmais yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bimbingan
kepada saya selama masa pendidikan.
(9) Kedua orang tua (Patrisius Wiranata dan Patricia Merry), kakak-kakak saya
(Oscar dan dr. Christin) yang telah memberikan dukungan penuh selama saya
menjalani masa pendidikan.
(10) Istri saya (dr. Beatrice Cynthia Walter), dan anak saya (Ian Xavier) yang dengan
sabar memberikan perhatian serta dukungan selama saya menjalani masa
pendidikan ini.
(11) Rekan-rekan PPDS Radiologi angkatan Juli 2017 (dr. Liem Arinuryanto Lios,
dr. Sandra Listiarini, dr. Citra Mahardhika, dr. Andhika Rulyanti Sido, dr. Dini
Wulan Sari, dr. Irmasari Chumairah, dr. Mohammad Reynalzi Yugo, dr.
Benedicta Mutiara Suwita, dr. Hana Larassati, dan dr. Mohammad Gian Falah)
sebagai teman seperjuangan yang telah memotivasi dan menjadi rekan belajar
yang baik bagi saya selama masa pendidikan.
(12) Rekan-rekan PPDS Radiologi FKUI-RSCM terutama Edwin Surhalim dan
Christy Amanda Billy yang telah membantu serta mendukung selama masa
pendidikan dan khususnya selama pelaksanaan penelitian.
(13) Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang memberikan
dukungan langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penelitian ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, bagi ilmu pengetahuan, dan
khususnya bagi pengembangan ilmu radiologi.
Penulis
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif
ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Jakarta
Yang menyatakan,
(Ardyanto Florensius)
vi
ABSTRAK
Metode: Studi komparatif dengan desain potong lintang. Terdapat 27 sampel KNF dan
18 sampel NFK yang dilakukan ROI pada regio tumor, kemudian dilakukan pengukuran
nilai histogram yang terdiri dari mean, skewness, kurtosis dan nilai grey level co-
occurencce matrix (GLCM) terdiri dari homogeinity, energy, contrast, correlation,
entropy. Nilai yang diperoleh dari kedua kelompok kemudian dibandingkan dengan
menggunakan T-test atau Mann-Whitney U Test.
Hasil: Tidak didapatkan perbedaan signifikan secara statistik untuk mean (P = 0,098),
kurtosis (P = 0,914), skewness (P = 0,775), Homogeinity (P = 0,943), Energy (P = 0,745),
Contrast (P = 0,891), Correlation (P = 0,517), Entropy (P = 0,286) antara kelompok KNF
dan NFK
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan signifikan dari nilai histogram (mean, skewness,
kurtosis) dan nilai GLCM (homogeinity, energy, contrast, correlation, entropy) antara
kelompok KNF dan NFK.
Methods: This is a cross-sectional comparative study. There were 27 NPC samples and
18 CNP samples with ROI performed on the tumor region, then measured the histogram
value consisting of mean, skewness, kurtosis and the gray level co-occurrence matrix
(GLCM) consisting of homogeinity, energy, contrast, correlation, entropy. The values
between two groups were then compared using the T-test or the Mann-Whitney U Test.
Results: There were no statistically significant differences for mean (P = 0.098), kurtosis
(P = 0.914), skewness (P = 0.775), Homogeinity (P = 0.943), Energy (P = 0.745), Contrast
(P = 0.891), Correlation (P = 0.517), Entropy (P = 0.286) between NPC and CNP group.
Conclusion: There were no significant difference for histogram values (mean, skewness,
kurtosis) and GLCM values (homogeinity, energy, contrast, correlation, entropy) between
the NPC and NFK groups.
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 46
3.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 46
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................... 46
3.3 Populasi ............................................................................................................ 46
3.4 Besar dan Metode Pengambilan Sampel .......................................................... 47
3.5 Kriteria Penelitian............................................................................................. 48
3.5.1 Kriteria Inklusi ................................................................................................. 48
3.5.2 Kriteria Eksklusi ............................................................................................... 48
3.6 Alur Penelitian .................................................................................................. 49
3.7 Cara Kerja Penelitian........................................................................................ 50
3.8 Batasan Operasional ......................................................................................... 52
3.9 Analisis Data .................................................................................................... 54
3.10 Etika Penelitian................................................................................................. 55
3.10.1 Kerahasiaan ...................................................................................................... 55
3.10.2 Bermanfaat dan Non-maleficence .................................................................... 55
3.10.3 Keadilan............................................................................................................ 55
3.10.4 Pelaksanaan penelitian ..................................................................................... 55
3.11 Pendanaan ......................................................................................................... 55
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema potongan sagital nasofaring .............................................................. 7
Gambar 2.2 Skema potongan koronal (kanan) dan aksial (kiri) nasofaring ..................... 7
Gambar 2.3 Gambaran CT scan nasofaring normal ......................................................... 8
Gambar 2.4 Gambaran histologi nasofaring normal. Tampak nodul jaringan limfoid dan
epitel skuamosa berstratifikasi.......................................................................................... 9
Gambar 2.5 Fotomikrografi nodul limfoid tonsil faringeal. ........................................... 10
Gambar 2.6 Histopatologi karsinoma skuamosa sel tidak berkeratin subtipe tidak
berdiferensiasi ................................................................................................................. 14
Gambar 2.7 Histopatologi Karsinoma Sel Skuamosa tidak berkeratin subtipe tidak
berdiferensiasi ................................................................................................................. 14
Gambar 2.8 Histopatologi karsinoma sel skuamosa nasofaring berkeratin.................... 15
Gambar 2.9 Histopatologi karsinoma sel skuamosa basaloid. ....................................... 16
Gambar 2.10 Skema korelasi rute penyebaran (area hijau) dengan gejala klinis (area biru)
karsinoma nasofaring ...................................................................................................... 17
Gambar 2.11 Gambaran CT scan dengan kontras karsinoma nasofaring ...................... 20
Gambar 2.12 Skema sagittal dan aksial potensial jalur penyebaran (tanda panah)
karsinoma nasofaring ...................................................................................................... 20
Gambar 2.13 CT scan kontras karsinoma nasofaring, perluasan perineural sepanjang
nervus maksilaris ............................................................................................................ 20
Gambar 2.14 Histopatologi hipertrofi adenoid dewasa dan anak ................................... 23
Gambar 2.15 CT scan hipertrofi adenoid potong koronal (kanan) dan aksial (kiri) ...... 24
Gambar 2.16 CT scan hipertrofi adenoid asimetris potongan koronal ........................... 24
Gambar 2.17 Morfologi sel anaplastik. .......................................................................... 25
Gambar 2.18 Karsinoma sel skuamosa kulit berdiferensiasi baik. ................................. 27
Gambar 2.19 Proses “Angiogenic Switch” .................................................................... 27
Gambar 2.20 Karakteristik morfologi dan fungsional vaskular tumor dibandingkan
pembuluh darah normal. ................................................................................................. 28
Gambar 2.21 Parameter First Order Texture Analysis berbasis statistik. ...................... 29
Gambar 2.22 Diagram 2 gambar pola berbeda tetapi histogram grey-level yang sama . 30
Gambar 2.23 Empat arah sudut yang dikalkulasi untuk menilai hubungan spasial
pasangan voxel ............................................................................................................... 32
Gambar 2.24 Contoh gambar dengan 8 tingkat intensitas grey-level dikonversi menjadi
grey-level co-occurrence matrix ke 3 arah. .................................................................... 32
Gambar 2.25 Contoh gambar dengan nilai parameter tekstur tinggi dan rendah
berdasarkan formula yang dikembangkan Haralick ....................................................... 35
Gambar 2.26 Parameter tekstur pada dua gambar pencitraan satelit yang berbeda ....... 35
Gambar 2.27 Tampilan perangkat lunak LIFEx versi 6.20 ............................................ 41
Gambar 2.28 Pengaturan parameter gambar dan texture analysis.................................. 42
Gambar 2.29 Pengaturan parameter texture analysis yang dikalkulasi .......................... 42
Gambar 2.30 Keterangan validitas texture check ........................................................... 43
Gambar 2.31 Contoh gambaran data hasil analysis........................................................ 43
Gambar 3.1 Pengaturan parameter LIFEx ...................................................................... 51
Gambar 3.2 Penempatan ROI pada tumor dengan freehand (Pencil2D) ........................ 51
Gambar 4.1 Histogram usia subjek................................................................................. 56
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Distribusi diagnosis patologi penelitian Bercin et al ...................................... 10
Tabel 2.2 Distribusi diagnosis patologi penelitian Arslan et al ...................................... 11
Tabel 2.3 Definisi Tumor Primer (T) ............................................................................. 17
Tabel 2.4 Definisi kelenjar limfe regional (N) ............................................................... 18
Tabel 2.5 Definisi metastasis (M) .................................................................................. 18
Tabel 2.6 Kelompok Prognostik Staging American Joint Committee on Cancer .......... 18
Tabel 2.7 Terapi Karsinoma Nasofaring berdasarkan stadium ...................................... 19
Tabel 3.1 Waktu Penelitian. ........................................................................................... 46
Tabel 3.2 Perkiraan besar sampel penelitian .................................................................. 47
Tabel 4.1 Sebaran subjek menurut karakteristik dan kelompok penelitian .................... 56
Tabel 4.2 Histopatologi kelompok KNF ........................................................................ 57
Tabel 4.3 Distribusi subjek KNF berdasarkan perluasan lesi (T)................................... 57
Tabel 4.4 Hasil analisis parameter histogram ................................................................. 58
Tabel 4.5 Hasil analisis parameter GLCM ..................................................................... 58
xii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Texture analysis (TA) merupakan suatu metode matematika yang digunakan untuk
menganalisis distribusi dan hubungan pixel atau voxel gray level suatu gambar, yang
dapat diaplikasikan pada hasil CT untuk menilai secara kuantitatif heterogenitas tumor
yang kadang sulit dinilai secara visual (kualitatif).4,8 Berbagai metode TA yang telah
diterapkan berbasis statistik, model, dan transformasi. Metode berbasis stastistik
merupakan teknik yang paling banyak digunakan, baik dengan perangkat lunak komersial
maupun buatan sendiri dalam menilai grey-level pada gambar. Metode statistik dibagi
menjadi 3 jenis tingkat yaitu first order, second order dan higher order. Parameter CTTA
statistik yang paling sering digunakan untuk penilaian heterogenitas adalah nilai
histogram terdiri dari mean, kurtosis, skewness merupakan first order dan nilai grey level
co-occurencce matrix (GLCM) terdiri dari homogeinity, energy, contrast, correlation,
entropy yang merupakan second order.9
Banyak penelitian yang telah dilakukan beberapa tahun terakhir dengan
menggunakan Texture Analysis di bidang onkologi kepala dan leher untuk membedakan
karakteristik tumor, jinak atau ganas, menilai respon terapi serta memprediksi prognosis
pasien.2,4,5,7,10–13 Tsai et al4 menggunakan CTTA untuk mendiferensiasi KNF dengan
jaringan adenoid normal di nasofaring dimana nilai histogram, nilai GLCM, nilai Gray-
level run-length (GLRL) dan nilai Gray-level gradient matrix (GLGM) dapat bermanfaat
untuk mendeteksi KNF. Kuno et al12 menggunakan CTTA untuk memprediksi kegagalan
kemoradioterapi pada karsinoma sel skuamosa (KSS) kepala dan leher dimana beberapa
nilai histogram dan nilai Gray-level run length matrix (GLRLM) berasosiasi dengan
kegagalan kemoradioterapi . Penelitian lain oleh Fujita et al13 memanfaatkan CTTA untuk
membedakan kanker kepala dan leher non-orofaringeal antara HPV positif dan HPV
negatif dimana beberapa nilai histogram, GLCM, GLGM, GLRL dan GLRLM ditemukan
signifikan sehingga berpotensi menilai perbedaan morfologi pada tumor berhubungan
dengan HPV. Sepengetahuan penulis hingga saat ini belum ada penelitian yang
menggunakan CTTA untuk membantu membedakan antara KNF dengan nasofaringitis
kronis.
Tumor ganas memiliki heterogenitas yang lebih tinggi dibandingkan lesi jinak karena
tingkat selularitas, angiogenesis, matriks ekstravaskular ekstraselular dan area nekrosis
yang lebih tinggi.8 Penelitian ini akan menggunakan metode CTTA berbasis stastistik
2
berupa nilai histogram dan GLCM untuk membandingkan antara KNF dengan
nasofaringitis kronis.
3
b. Apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM energy dengan nilai GLCM
energy nasofaringitis kronis?
c. Apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM contrast dengan nilai GLCM
contrast nasofaringitis kronis?
d. Apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM correlation dengan nilai GLCM
correlation nasofaringitis kronis?
e. Apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM entropy dengan nilai GLCM
entropy nasofaringitis kronis?
4
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Menilai peran penggunaan parameter histogram dan GLCM untuk membedakan KNF
dengan nasofaringitis kronis.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui apakah terdapat perbedaan antara nilai histogram KNF dengan nilai
histogram nasofaringitis kronis.
a. Membandingkan nilai mean histogram KNF dengan nilai mean histogram
nasofaringitis kronis?
b. Membandingkan nilai kurtosis histogram KNF dengan nilai kurtosis
nasofaringitis kronis?
c. Membandingkan nilai skewness histogram KNF dengan nilai skewness
nasofaringitis kronis?
2. Mengetahui apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM KNF dengan nilai GLCM
nasofaringitis kronis.
a. Membandingkan nilai GLCM homogeinity dengan nilai GLCM homogeinity
nasofaringitis kronis?
b. Membandingkan nilai GLCM energy dengan nilai GLCM energy nasofaringitis
kronis?
c. Membandingkan nilai GLCM contrast dengan nilai GLCM contrast
nasofaringitis kronis?
d. Membandingkan nilai GLCM correlation dengan nilai GLCM correlation
nasofaringitis kronis?
e. Membandingkan nilai GLCM entropy dengan nilai GLCM entropy
nasofaringitis kronis?
5
1.6.2 Bidang Penelitian
Hasil penelitian ini berguna untuk penelitian lebih lanjut ke depannya untuk CTTA
khususnya di bidang onkologi kepala dan leher sebagai contoh aplikasi TA untuk
artificial intelligence (AI) dan potensi membedakan jaringan inflamasi kronis dengan lesi
residif atau residu KNF pada pasien pasca terapi kemoradiasi.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.2 Skema potongan koronal (kanan) dan aksial (kiri) nasofaring 14
7
Batas lateral dan posterior nasofaring merupakan kelanjutan dari dinding lateral dan
posterior orofaring. Sepanjang dinding lateral nasofaring terdapat dua indentasi dan satu
protrusi ke lumen. Kedua indentasi (resessus) tersebut adalah orifisium tuba eustasius dan
resessus lateral faring yang sering disebut sebagai fossa Rossenmuller, sedangkan
protrusi tersebut adalah torus tubarius yang merupakan bagian kartilago dari tuba
eustasius. Pada potongan aksial dan koronal akan tampak fossa Rossenmuller terletak
posterosuperior dari torus tubarius yang merupakan lokasi paling sering munculnya
karsinoma(gambar 2.3). Dinding posterior nasofaring memiliki kontur yang berundulasi
karena terdapat muskulus kapitis longus prevertebra.14–16
8
pharyngeal, cabang arteri karotis eksternal dan drainase vena menuju pleksus vena
faring.17,18
2.2 Histologi Nasofaring
Perbedaan utama nasofaring dengan bagian faring lainnya adalah nasofaring dilapisi oleh
epitel respiratorik yang mengandung sel basal, sel goblet dan sel bersilia, sedangkan
orofaring dan laringofaring dilapisi epitel skuamosa berstratifikasi (gambar 2.4). Lamina
propria terdiri dari jaringan ikat irregular longgar hingga padat yang bervaskularisasi, di
dalamnya terdapat komponen kelenjar seromukosa dan limfoid. Lamina propia juga
menyatu dengan epymisium otot skeletal faring. Pada aspek posterior nasofaring, lamina
propria melapisi jaringan limfoid yang disebut tonsil faringeal.19,20
Gambar 2.4 Gambaran histologi nasofaring normal. Tampak nodul jaringan limfoid dan epitel skuamosa
berstratifikasi21
Manusia memiliki sebuah tonsil faringeal yang terletak di atap nasofaring. Sama
seperti tonsil palatina, tonsil faring memiliki kapsul, akan tetapi kapsul tersebut tidak
komplit dan lebih tipis. Tonsil faringeal tidak memiliki crypt melainkan lipatan dangkal
yang disebut pleats, yang merupakan muara duktus kelenjar seromukosa. Permukaan
tonsil faringeal dilapisi epitel kolumnar pseudostratifikasi bersilia yang di antaranya
diselingi bercak epitel skuamosa berstratifikasi (gambar 2.5).19,20
9
Gambar 2.5 Fotomikrografi nodul limfoid tonsil faringeal.
Epithelium kolumnar pseudostratified bersilia (E) dan senter germinal dari nodul sekunder. 20
10
Metaplasia skuamosa 7 (0.7) 10 (1.1)
Inflamasi granulomatosa 3 (0.3) 6 (0.6)
Aktinomikosis 1 (0.1) 3 (0.3)
Hamartoma - 3 (0.3)
Amyloidosis - 1 (0.1)
2.4.1 Epidemiologi
Pada tahun 2012 terdapat 86.691 kasus KNF di seluruh dunia, 60.896 kasus penderita
laki-laki, 25795 penderita perempuan dengan rasio seks 2,36. Insidens global sekitar 1,2
per 100.000 penduduk, 1,7 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 0,7 per 100.000
penduduk untuk perempuan.2 Karsinoma nasofaring memiliki distribusi geografik yang
tidak seimbang dengan prevalensi tertinggi Asia Tenggara, tenggara Tiongkok , dan
Afrika Utara. Delapan puluh satu persen kasus baru berasal dari Asia dan 67 persen
11
diantaranya berasal dari Asia Tenggara.3 Indonesia menduduki urutan kedua terbanyak
kasus KNF di dunia setelah Tiongkok, sekitar 13.084 kasus, insidensi 5,7 per 100.000
penduduk untuk laki-laki dan 1,9 per 100.000 penduduk untuk perempuan, dua kali lipat
lebih tinggi dibandingkan insidensi global.24
Jumlah kematian akibat KNF di dunia tahun 2012 mencapai 50.831 kasus, 35,756
penderita laki-laki dan 15.075 penderita perempuan. Angka mortalitas global KNF sekitar
0,7 per 100,000 penduduk, 1 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 0,4 per 100.000
penduduk untuk perempuan. Lima negara dengan angka kematian tertinggi melingkupi
Tiongkok sebanyak 21.300 kematian, Indonesia 7.391 kematian, Vietnam 2.885
kematian, India 2.836 kematian dan Thailand 1114 kematian. Penyebab utama tingginya
angka kematian Indonesia karena keterlambatan diagnosis, 80% pasien yang didiagnosis
sudah dalam stadium lanjut.2,3
Pronosis pasien dengan KNF sangat ditentukan oleh perluasan penyakit. Pasien
dengan penyakit terlokalisasi memiliki angka harapan hidup 5 tahun sekitar 70-90%
sedangkan pasien dengan perluasan lokoregional hingga lanjut hanya memiliki angka
harapan hidup 10-50%. Dalam dua dekade terakhir, terapi untuk KNF telah berkembang
pesat dengan pemberian kemoterapi dan radioterapi. Insidens pasien dengan metastasis
sekitar 25-34% dengan angka kesintasan yang rendah.4,5
2.4.2 Etiologi
Penyebab utama sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, beberapa
faktor yang predisposisi KNF sebagai berikut :
1. Genetik. Riwayat keluarga yang menderita KNF berasosiasi kuat dengan
peningkatan resiko KNF. Ras cina cenderung memiliki kerentanan genetik terhadap
KNF. Walaupun sudah migrasi ke negara atau benua lain, masih tetap memiliki
insidens tinggi. Akan tetapi, insidens tersebut semakin menurun pada generasi
berikutnya. Human Leukocyte Antigen (HLA) merupakan gen manusia yang terbukti
berhubungan dengan KNF. Individu dengan alel HLA yang lemah disertai infeksi
Epstein-Barr Virus (EBV) dapat meningkatkan resiko KNF. Beberapa HLA yang
terbukti meningkatkan resiko KNF yaitu HLA-A2, B14, dan B46.3,17,18
2. Viral. Epstein-Barr Virus memiliki korelasi yang kuat dengan KNF terutama tipe
histologi II dan III. Infeksi EBV pada populasi umum sering terjadi tetapi hanya
12
beberapa kelompok kecil yang berkembang menjadi KNF, sehingga kemungkinan
pengaruh EBV pada perkembangan KNF bersifat sekunder, virus mengurangi
supresi tumor padat inangnya. Kadar EBV DNA dapat digunakan untuk prediksi
kesintasan dan kemungkinan relaps. Ebstein-Barr Virus memiliki dua antigen
penting, viral capsid antigen (VCA) dan early antigen (EA). Antibodi IgA EA
memiliki spesifitas tinggi untuk KNF tetapi sensitifitas hanya sekitar 70-80%
sedangkan antibodi IgA VCA lebih sensitif tetapi kurang spesifik.3,17,18
3. Lingkungan. Polusi udara, konsumsi alkohol, merokok produk tembakau dan opium,
dan kandungan nitrosamine dalam ikan asin yang bersifat karsinogenik, terbukti
menyebabkan tingginya insidens KNF. Resiko relatif KNF meningkat menjadi 1,8
hingga 7,5 kali untuk orang yang mengkonsumsi ikan asin setiap hari. Makanan
diawetkan lainnya seperti daging, telur, buah-buahan, dan sayuran juga
meningkatkan resiko menderita KNF. Paparan debu kayu dan formalin karena faktor
okupasional juga dapat meningkatkan resiko KNF.3,17,18
2.4.3 Histopatologi
Mayoritas keganasan pada nasofaring berasal dari lapisan mukosa skuamosa, tipe
histologi lain berupa adenokarsinoma, karsinoma yang berasal dari kelenjar liur, sarkoma,
melanoma, dan keganasan hematologi padat. World Health Organization (WHO)
membagi karsinoma yang berasal dari mukosa skuamosa menjadi 3 tipe histologi :
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS) tidak berkeratin.
KSS jenis ini lebih banyak berhubungan dengan konsumsi tinggi makanan asin yang
diawetkan dengan kandungan nitrosamine yang tinggi. KSS tidak berkeratin memiliki
pola yang bervariasi, dari komponen padat, pulau-pulau irregular, trabekula, bercampur
dengan limfosit dan sel plasma. Terdapat 2 subtipe KSS tidak berkeratin, subtipe tidak
berdiferensiasi merupakan tipe yang lebih sering, karakteristik utama terdiri dari sel
tumor besar dengan bentuk sinsitial, nukleus vesikular bulat hingga oval, dan nukleus
sentral besar disertai kelompok sel epitelial yang sedang bermitosis . Nukleus dapat kaya
dengan kromatin dengan sitoplasma amfofilik atau eosinofilik. Sel ganas dapat berbentuk
spindel dan tersusun seperti fasikular (gambar 2.6). Subtipe berdiferensiasi menunjukkan
gambaran sel yang berstratifikasi dan rata, sering dengan pertumbuhan pleksiform,
dibandingkan dengan tipe tidak berdiferensiasi, ukuran sel tumor tampak lebih kecil.25,26
13
Gambar 2.6 Histopatologi karsinoma skuamosa sel tidak berkeratin subtipe tidak berdiferensiasi.
Sel ganas berbentuk spindel tersusun fasikular.25
Pembagian subtipe tersebut tidak memiliki nilai prognosis maupun klinis. Densitas
sel limfosit dan plasma di antara agregat sel tumor sangat bervariasi. Ketika sel inflamasi
tersebut sangat banyak, akan memecah tumor menjadi kluster kecil sehingga sulit untuk
mengidentifikasi sel epitelial tumor. Kelompok sel tumor juga dapat tersebar dan tertutup
oleh nukleus dan sitoplasma ampfofilik atau eosinofilik yang padat. Sepuluh persen kasus
dapat ditemukan globulus amiloid yang tersebar di intra dan ekstraseluler (gambar 2.7).
25,26
Gambar 2.7 Histopatologi Karsinoma Sel Skuamosa tidak berkeratin subtipe tidak berdiferensiasi
(A) disebut limfoepitelial karsinoma dengan karakteristik sel tumor yang terpisah menjadi agregat kecil
oleh sel limfoid sehingga sulit mengidentifikasi gambaran epithelial pada neoplasma. (B) diantara sel
karsinoma dengan nukleus vesikular tampak juga sel tumor dengan bentuk mengisut dan nukleus terwarna
gelap. (C) Contoh gambaran globulus amyloid di antara sel tumor.25
14
2. Karsinoma sel skuamosa berkeratin
KSS berkeratin merupakan kelompok karsinoma invasif yang menunjukkan gambaran
diferensiasi skuamosa jelas terlihat pada mikroskop cahaya. Gambaran yang tampak
berupa formasi jembatan interseluler dan/atau berbagai derajat keratinisasi disertai
stroma desmoplastik (gambar 2.8). KSS berkeratin dapat tumbuh de novo atau sekunder
karena radioterapi.
15
A B
C D
16
temporoparietal (saraf kranial V) dan tuli konduktif disebut trias Trotter. Ringkasan
lokasi keterlibatan dengan gejala yang timbul dapat dilihat pada gambar 2.10.17,18
Gambar 2.10 Skema korelasi rute penyebaran (area hijau) dengan gejala klinis (area biru) karsinoma
nasofaring. 17
17
Tabel 2.4 Definisi kelenjar limfe regional (N)29
Kategori N Kriteria N
NX Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional
N1 Metastasis kelenjar limfe servikal unilateral dan/atau metastasis
kelenjar limfe retrofaringeal unilateral atau bilateral, 6cm atau kurang
pada dimensi terbesar, di atas batas kaudal kartilago krikoid
N2 Metastasis kelenjar limfe bilateral, 6cm atau kurang pada dimensi
terbesar, di atas batas kaudal kartilago krikoid
N3 Metastasis kelenjar limfe unilateral atau bilateral, 6 cm ke atas pada
dimensi terbesar, dan/atau ekstensi di bawah batas kaudal kartilago
krikoid
Kategori M Kriteria M
M0 Tumor primer tidak dapat dinilai
M1 Metastasis jauh
Tis T0 T1 T2 T3 T4
N0 0 I II III IVA
M0 N1 II II II III IVA
N2 III III III III IVA
N3 IVA IVA IVA IVA IVA
M1 IVB IVB IVB IVB
2.4.6 Tatalaksana
Terapi KNF dapat mencakup radioterapi, kemoterapi atau kombinasi keduanya dan
didukung dengan terapi simtomatik sesuai gejala (tabel 2.5). Radioterapi yang banyak
digunakan saat ini adalah Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3D-CRT) dan
Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) dengan dosis 6000-7000 cGy. Kemoterapi
biasa digunakan pada stadium III dan IV dengan dikombinasikan dengan radioterapi ,
konkuren neoadjuvan atau ajuvan pasca radioterapi. Kemoterapi Cisplatin atau cisplatin
dengan 5-FU paling sering digunakan, baik untuk kontrol locoregional tumor maupun
kontrol metastasis.1,17,30
18
Tabel 2.7 Terapi Karsinoma Nasofaring berdasarkan stadium30
Stadium Terapi
I Radioterapi definitif pada nasofaring dan radioterapi elektif pada leher
Uji klinis
atau
II dan III Radiokemoterapi konkuren diikuti kemoterapi adjuvant
atau
Kemoterapi induksi diikuti kemoradioterapi
atau
Kemoradioterapi konkuren tanpa diikuti kemoterapi adjuvan
III Uji klinis
atau
Kombinasi kemoterapi berbasis platinum dilanjutkan dengan radioterapi ke
lesi primer dan leher atau kemoradioterapi sesuai indikasi klinis.
atau
Kemoradioterapi konkuren.
19
Metastasis kelenjar limfa sering terjadi pada KNF bahkan pada tumor dengan
ekstensi yang tidak terlalu luas. Metastasis kelenjar limfe di regio retrofaringeal lateral,
level II, III dan V terjadi pada 80-90% pasien, 35-50% bilateral. Metastasis jauh terjadi
pada 5-40% kasus terutama metastasis ke tulang, paru dan hati.15
Gambar 2.12 Skema sagittal dan aksial potensial jalur penyebaran (tanda panah) karsinoma nasofaring. 32
Gambar 2.13 CT scan kontras karsinoma nasofaring, perluasan perineural sepanjang nervus maksilaris. 32
20
Perbedaan KNF dengan jaringan adenoid yang prominen dimana biasanya jaringan
adenoid tidak pernah meluas melebihi mukosa dan di anterior tidak mencapai batas
belakang lamina pterygoid medial. Akan tetapi, nasofaringitis kronis dan KNF kadang
dapat tampak mirip pada gambaran CT sehingga selalu butuh korelasi klinis.31,32
2.5.1 Epidemiologi
Hipertrofi adenoid lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa dimana
adenoid biasanya mengalami regresi dan atrofi saat usia remaja sekitar usia 16 tahun.
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan peningkatan insidens hipertrofi adenoid pada
orang dewasa sebagai salah satu penyebab obstruksi nasal.33 Laki-laki lebih sering
dibandingkan perempuan (70%), kemungkinan karena aktivitas luar rumah dan paparan
polutan yang lebih sering. Mayoritas kasus berhubungan dengan infeksi dan alergi seperti
infeksi menurun(descending) dalam 33% kasus, infeksi naik (ascending) 20% dan rinitis
allergi 30% kasus. Sekitar 21% obstruksi nasal orang dewasa disebabkan oleh adenoid
hipertrofi.34 Arslan et al23 melakukan penelitian pada 1074 pasien (500 wanita, 574 laki-
laki) yang dilakukan nasofaring dari Juni 2011 hingga Juni 2017, sebesar 996 kasus
(92,7%) dengan hasil nasofaringitis kronis yang merupakan gambaran histopatologi
hipertrofi adenoid pasien dewasa.
21
2.5.2 Etiologi
Hipertrofi adenoid dapat disebabkan oleh penyebab infeksi maupu non-infeksi. Penyebab
infeksi meliputi patogen virus dan bakteri. Pathogen virus yang berhubungan dengan
adenoid hipertrofi seperti adenovirus, coronavirus, coxsackievirus, cytomegalovirus
(CMV), Epstein-Barr virus (EBV), herpes simplex virus, parainfluenza virus, dan
rhinovirus. Pathogen bakteri seperti spesies alpha-, beta-, and gamma-hemolytic
Streptococcus, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus aureus,
Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheriae, Chlamydophila pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Fusobacterium, Peptostreptococcus, dan Prevotella. Penyebab
non-infeksius terutama pada orang dewasa meliputi refluks gastroesofageal, alergi, dan
paparan asap rokok. Pada orang dewasa, hipertrofi adenoid juga kemungkinan tanda
kondisi yang lebih serius seperti infeksi HIV, limfoma, dan keganasan sinonasal.33,34
2.5.3 Histopatologi
Gambaran histopatologi hipertrofi adenoid orang dewasa berbeda dengan pada anak-
anak. Hipertrofi adenoid orang dewasa memiliki infiltrasi sel inflamasi kronis yang
prominen disertai perubahan sekunder seperti metaplasia skuamosa permukaan
epithelium, fibrosis, kista retensi, dapat juga disertai nekrosis tetapi jarang (gambar
2.14).35–37 Beberapa penulis mengkategorikan gambaran seperti ini sebagai nasofaringitis
hipertrofi kronis atau adeinoitis kronis.38
22
C1
C2
2.5.5 Tatalaksana
Terapi awal hipertrofi adenoid akut dan kronis karena infeksi adalah penggunaan
antibiotik. Golongan beta laktamase seperti amoksisilin merupakan pilihan utama. Jika
infeksi berulang dapat diberikan beta laktamase dengan asam klavulanik. Alternatif bagi
penderita yang alergi penisilin adalah klindamisin atau azitromisin. Adenoidektomi
merupakan terapi bedah untuk hipertrofi adenoid, terutama pasien dengan obstruksi nasal
berulang atau persisten.33
23
2.5.6 Gambaran CT Scan
Hipertrofi adenoid tampak sebagai jaringan lunak homogen superfisial yang mengisi
superior dan recessus superolateral nasofaring dengan atenuasi serupa terhadap otot
(gambar 2.15).15,16 Kadang dapat disertai kista superfisial kecil dan kalsifikasi.
Ukurannya dapat mencapai seperti bola ping-pong dan mengobstruksi aliran udara
melalui saluran nasal. Pasca kontras tampak garis tipis yang menyangat dan intak di
permukaan dalam adenoid, merupakan penyangatan pada vena mukosa dan
faringobasilar.32 Beberapa gambaran yang dapat membantu membedakan hipertrofi
adenoid dengan KNF yaitu hipertrofi adenoid biasanya simetris, tidak disertai
limfadenopati colli, tidak tampak infiltrasi, volume lesi < 5 cm3, dan lebih homogen.
Akan tetapi, hipertrofi adenoid juga dapat tampak asimetris (gambar 2.16).39–41
Gambar 2.15 CT scan hipertrofi adenoid potong koronal (kanan) dan aksial (kiri). 41
24
suatu sel tumor menyerupai sel parenkim aslinya, baik morfologi maupun fungsi. Sel
tumor ganas akan memiliki diferensiasi sel yang luas dan sangat berbeda dengan sel
parenkhim aslinya dan sebaliknya untuk sel tumor jinak. Sehingga tumor yang terdiri dari
sel tidak berdiferensiasi disebut anaplastik dan merupakan indikator handal untuk
keganasan. Istilah anaplasia secara harfiah berarti “formasi ke belakang”, artinya
dediferensiasi, atau kehilangan struktur dan fungsi diferensiasi sel normal. Beberapa ciri-
ciri morfologi sel anaplastik sebagai berikut :42
- Pleomorfisme, bentuk dan ukuran bervariasi (gambar 2.17 A).
- Abnormalitas nukleus, sangat hiperkromatik (dark staining), ukuran dan bentuk
nukleus bervariasi, nukleus tunggal atau multipel yang luar biasa prominen.
- Timbul tumor giant cells yang ukuran tampak sangat besar dibandingkan sel di
sekitarnya.
- Mitosis atipikal (gambar 2.17 B).
- Kehilangan polaritas, tidak tampak lagi pola yang dapat dikenal, struktur komunal
telah hilang, seperti struktur glandula atau skuamosa bertingkat.
A B
Sebagian tumor ganas dapat memiliki sel dengan diferensiasi masih baik, sel tersebut
masih mempertahankan kemampuan fungsional normalnya, sedangkan tumor dengan sel
anaplastik hampir tidak memiliki aktifitas fungsional spesifik tertentu. Sebagai contoh
tumor jinak atau tumor ganas berdiferensiasi baik dari kelenjar endokrin akan
memproduksi hormon seperti sel aslinya, KSS berdiferensiasi baik akan memproduksi
keratin (gambar 2.18).42
Pertumbuhan tumor ganas akan diikuti oleh infiltrasi progresif, invasi, dan destruksi
dari jaringan di sekitarnya sedangkan kebanyakan tumor jinak akan tumbuh menjadi
25
massa ekspansil dan berada di lokasi asalnya. Mayoritas tumor jinak akan memiliki
kapsul fibrosa yang melingkupi tumor sedangkan tumor ganas biasanya tidak memiliki
kapsul sehingga dengan gampang menginvasi jaringan di sekitarnya.42
Metastasis adalah penyebaran tumor ke lokasi yang terpisah dari tumor primer dan
sekaligus menandakan suatu tumor bersifat ganas. Tumor ganas dapat menyebar dengan
3 cara yaitu seeding pada kavitas tubuh, penyebaran limfatik, dan hematogenik.
Penyebaran limfatik lebih sering terjadi pada karsinoma, sedangkan penyebaran
hematogenik lebih sering pada sarkoma.42
Angiogenesis adalah mekanisme pembentukan pembuluh darah baru dari
pembuluh darah yang sudah ada untuk memperdarahi pertumbuhan tumor ganas. Proses
ini distimulasi ketika jaringan tumor membutuhkan nutrisi dan oksigen. Angiogenesis
diregulasi oleh keseimbangan antara faktor aktivator dan inhibitor. Faktor aktivator utama
yaitu Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Platelet Derived Growth Factor
(PDGF), Fibroblast Growth Factor (FGF), Epidermal Growth Factor (EGF),
Transforming Growth Factor (TGF); Matrix metalloproteinases (MMPs); Tumor
Necrosis Factor (TNF) dan Angiopoetins. Proses angiogenesis dimulai dengan
“angiogenic switch”, sehingga tumor memperoleh kemampuan untuk tumbuh dan
diseminasi ke luar dari lokasi primer. Angiogenic switch yang diaktivasi oleh hipoksia,
hipoglikemia, stress mekanis, dan inflamasi, akan melalui beberapa tahapan, mulai dari
pelepasan perivascular dan pelebaran pembuluh darah, pertumbuhan angiogenik,
perkembangan dan pembentukan pembuluh darah baru, dan pengerahan sel perivaskular
(gambar 2.19). Pada kondisi fisiologis, angiogenesis disebabkan oleh sinyal iskemik dan
hipoksia, tetapi pada kondisi keganasan, tumor menghasilkan faktor aktivator yang
dominan sehingga proses angiogenesis menjadi tidak terkontrol dan berlebih.
Pertumbuhan pembuluh darah baru menginduksi ekspansi massa. Akan tetapi, kondisi
faktor aktivator yang berlebih ini menyebabkan jaringan vaskular baru yang terbentuk
tidak sempurna sehingga kaliber pembuluh darah heterogen, aliran darah tidak
terorganisasi dengan baik, disertai malformasi dari vaskular. Distribusi darah yang tidak
merata menimbulkan daerah dengan kondisi hipoksia persisten. Perubahan permeabilitas
vaskular tumor dengan peningkatan tekanan cairan interstisial karena disrupsi sambungan
endotelial. Sebagian pericytes terlepas dari sel endotelial pada vaskular tumor, dan
membran basal terdistribusi tidak merata menyebabkan kerapuhan vaskular dan
26
cenderung mudah mengalami perdarahan. Defek fungsi dan integritas vaskular tersebut
sangat mempengaruhi microenviroment tumor (gambar 2.20).43–45
27
Gambar 2.20 Karakteristik morfologi dan fungsional vaskular tumor dibandingkan pembuluh darah normal.
(a) Vaskular normal dengan sel endotelial menyanggah membran basal dan sel pericyte saling bertautan
dengan ikatan stabil. (b) Vaskular tumor tampak ikatan sel endotelial, pericyte, dan membran basal yang
tidak teratur. (c) Gambaran vaskular abnormal dengan pewarnaan imunofloresens CD31(marker) pada
glioma tikus.43
28
Gambar 2.21 Parameter First Order Texture Analysis berbasis statistik.
(A). Plot voxel histogram, aksis x menunjukkan nilai grey-level atau atenuasi dan aksis y menunjukkan
frekuensi. (B) Contoh skewness histogram, negative jika nilai dibawah 0 dan positif jika nilai diatas 0. (C)
Contoh kurtosis hitogram, dimana menunjukkan ketajaman puncak histogram, semakin tajam semakin
tinggi nilai kurtosis.9
29
Gambar 2.22 Diagram 2 gambar pola berbeda tetapi histogram grey-level yang sama.9
2.7.1.1 Mean
Mean merupakan rerata nilai grey-level di dalam ROI.52
2.7.1.3 Skewness
Skewness menilai asimetri dari histogram, dapat bernilai positif atau negatif. Skewness
negatif mengindikasikan ekor dari sisi kiri histogram lebih panjang daripada sisi kanan
dan sebaliknya jika positif, ekor di sisi kanan histogram lebih panjang daripada sisi kiri.
Nilai nol akan muncul jika nilai terdistribusi secara rata pada kedua sisi nilai mean.
Skewness dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus,
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 3
∑
𝐸 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂)
3
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅2 ))
(√𝐸 ∑ 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
Dimana HISTO(i) menunjukkan jumlah voxel dengan intensitas i, E adalah total jumlah
̅̅̅̅̅̅̅̅̅ adalah rerata grey-level di dalam histogram.51,52
voxel di dalam ROI, 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
2.7.1.4 Kurtosis
Kurtosis menilai ketajaman puncak histogram, dapat bernilai positif atau negatif. Positif
menunjukkan puncak histogram lebih tinggi daripada distribusi normal, sebaliknya jika
negatif, puncak histogram lebih rendah daripada distribusi normal. Kurtosis dapat
dikalkulasi dengan rumus,
30
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 4
∑
𝐸 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂)
4
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅2 ))
(𝐸 ∑ 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
Dimana HISTO(i) menunjukkan jumlah voxel dengan intensitas i, E adalah total jumlah
̅̅̅̅̅̅̅̅̅ adalah rerata grey-level di dalam histogram.51,52
voxel di dalam ROI, 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
31
Gambar 2.23 Empat arah sudut yang dikalkulasi untuk menilai hubungan spasial pasangan voxel.48
Gambar 2.24 Contoh gambar dengan 8 tingkat intensitas grey-level dikonversi menjadi grey-level co-
occurrence matrix ke 3 arah.
(A-C)Gambar grey-scale (kiri) dan dikonversi menjadi grey-level co-occurrence matrix dengan sudut
horizontal(A), diagonal (B) dan vertikal(C). Angka dalam gambar grey-scale mempresentasikan intensitas
grey-level dari 1 (hitam) hingga 8(putih). Kolom dan baris pada grey-level co-occurrence matrix yang
berkorespondensi mempresentasi intensitas grey-level sedangkan selnya menunjukkan jumlah pasangan
dengan intensitas grey-level tersebut, contoh pada gambar (A) pasangan dengan intensitas grey-level 2 dan
4 yang terletak satu sama lain secara horizontal muncul sebanyak 8 kali. 54
32
2.7.2.1 Homogeinity
Nama lainnya adalah Inverse Difference Moment. Parameter ini menilai kedekatan
distribusi elemen GLCM terhadap diagonal GLCM, dengan kata lain menilai kelancaran
(smoothness) distribusi pasangan grey-level dalam gambar atau ROI. Gambaran dengan
kontras yang rendah akan memiliki nilai homogeinity yang tinggi. Range nilai
Homogeinity 0 s.d. 1, Matriks GLCM dengan nilai terdistribusi pada diagonal memiliki
nilai 1.46,51,53,55 Homogeinity GLCM dapat dikalkulasi dengan rumus,
GLCM(i,j)
Rerata dari 13(3D) atau 4(2D) arah (∑ ∑ )
1+|i-j|
i j
2.7.2.2 Energy
Parameter ini disebut juga Uniformity atau Angular Second Moment, berfungsi menilai
keseragaman (Uniformity) atau keteraturan (Orderliness) distribusi pasangan grey-level
voxel dari gambar atau ROI. Jika intensitas grey-level voxel sangat mirip maka semakin
tinggi nilai energy. Gambar yang seragam akan memiliki transisi grey-level sehingga
uniformity maksimal akan tercapai jika hanya ada 1 intensitas grey-level dalam suatu
gambar. Range nilai Energy 0 s.d. 1, gambar konstan memiliki nilai 1.46,50,53,55,56 Energy
GLCM dapat dikalkulasi dengan rumus,
2.7.2.3 Contrast
Contrast disebut juga Variance atau Inertia menilai variasi intensitas grey-level pasangan
voxel pada gambar atau ROI. Semakin tinggi nilai Contrast menandakan semakin banyak
noise dan kerutan pada gambar. Range nilai contrast 0 s.d. ((ukuran GLCM,1)-1)^2)
Secara persepsi visual, Contrast menentukan perbedaan warna dan kecerahan suatu objek
terhadap objek yang lain dalam gambar yang sama.46,50,51,53,55,56 Contrast GLCM dapat
dikalkulasi dengan rumus,
2.7.2.4 Entropy
Parameter ini menilai keserampangan (randomness) distribusi pasangan grey-level voxel
pada gambar atau ROI. Nilainya mencapai maksimal semua elemen GLCM memiliki
33
nilai yang sama, sehingga gambar yang heterogen akan memiliki nilai Entropy yang
tinggi. Range nilai entropy 0 s.d 2Log2(ukuran GLCM).46,50,51,53,55,56 Entropy GLCM
dapat dikalkulasi dengan rumus,
dimana ε=2e-16.
2.7.2.5 Correlation
Correlation menilai ketergantungan linear (linear dependency) dari pasangan grey-level
voxel pada gambar atau ROI. Parameter ini menilai bagaimana hubungan linear antara
voxel utama atau voxel disekitarnya pada arah yang berbeda. Gambar dengan contrast
tinggi biasanya memiliki correlation yang rendah. Range nilai correlation -1 s.d. 1,
dalam kondisi gambaran konstan nilainya NaN. Correlation GLCM dapat dikalkulasi
dengan rumus,
(𝑖 − 𝜇𝑖 ). (𝑗 − 𝜇𝑗 ). 𝐺𝐿𝐶𝑀(𝑖, 𝑗)
Rerata dari 13(3D)atau 4(2D)arah (∑ ∑ )
𝜎𝑖 . 𝜎𝑗
𝑖 𝑗
dimana 𝜇𝑖 atau 𝜇𝑗 koresponden dengan rerata baris i atau kolum j , sedangkan 𝜎𝑖 dan
𝜎𝑗 koresponden dengan varians baris i atau kolum j. 46,50,51,53,55,56
Secara umum semakin tinggi heterogenitas suatu gambar maka nilai semakin tinggi
nilai contrast dan entropy, semakin rendah nilai homogeinity, energy dan correlation .
Contoh beberapa gambar dengan nilai parameter teksture yang berbeda dapat dilihat pada
gambar 2.25.58
34
Gambar 2.25 Contoh gambar dengan nilai parameter tekstur tinggi dan rendah berdasarkan formula yang
dikembangkan Haralick.58
Gambar A dan B berbeda pada nilai voxel, dimana A dengan nilai contrast rendah, homogeinity tinggi dan
sebaliknya untuk gambar B. Gambar C dan D berbeda pada regularitas perubahan nilai voxel
mengakibatkan nilai energy tinggi dan Entropy rendah pada C, dan sebaliknya untuk D. Gambar E dan F
berbeda pada jumlah perubahan nilai voxel antara voxel putih dan berwarna sehingga gambar E memiliki
nilai correlation tinggi dan rendah untuk gambar F.
A B
Gambar 2.26 Parameter tekstur pada dua gambar pencitraan satelit yang berbeda. 53
35
Contoh lain dapat dilihat pada gambar 2.26 dimana terdapat 2 buah gambar hasil
pencitraan satelit, gambar kiri (A) adalah contoh gambar padang rumput (grassland) dan
gambar kanan (B) adalah contoh gambar badan air (water body). Tiga parameter GLCM
dinilai pada masing-masing gambar yaitu energy, contrast dan correlation. Energy adalah
penilaian terhadap homogenitas, gambar B terlihat sebagai suatu gambaran yang
homogen sangat sedikit transisi grey-level pada voxel sedangkan gambar A malah
sebaliknya. Akibatnya gambar B memiliki nilai energy yang lebih tinggi dibandingkan
gambar A. Contrast menilai variasi lokal grey-level pada gambar, sehingga jika
dibandingkan gambar A memiliki variasi yang lebih banyak dibandingkan gambar B
maka nilai contrast gambar A lebih tinggi dibandingkan B. Correlation menilai hubungan
linear dari voxel. Kedua gambar memiliki nilai correlation relatif tinggi pada sudut
horizontal, sepanjang garis pencitraan. Gambar B komponen badan air yang memiliki
grey-level konstan disertai beberapa noise di sekitarnya, yang kelihatan tidak memiliki
korelasi dengan komponen badan air, sehingga secara keseluruhan nilai correlation
gambar B lebih rendah dibandingkan A. Jika diperhatikan dengan lebih seksama, gambar
memiliki banyak struktur linear pada sudut diagonal (45°) dibandingkan dengan sudut
vertical (90°) dan antidiagonal (135°) sehingga memiliki nilai correlation yang lebih
tinggi dibandingkan kedua sudut tersebut.53
36
Heterogenitas tumor dapat dinilai secara histologi atau pencitraan. Akan tetapi
selama ini, evaluasi heterogenitas secara pencitraan masih terbatas secara kualitatif
daripada kuantitatif. Alasannya beragam seperti masih kurangnya metodologi kuantitatif
yang baik dan hubungan yang jelas dengan biologi tumor.59
Penilaian histologi menggunakan evaluasi langsung dengan resolusi spasial tinggi
dari contoh jaringan yang diperoleh dari biopsi. Selain bersifat invasif dan juga sulit untuk
memperoleh jaringan yang tepat, biopsi rentan terhadap sampling errors. Dengan
berkembangnya teknologi, gambar yang dihasilkan dari pencitraan seperti CT scan dapat
diproses dengan TA untuk memperoleh data heterogenitas tumor secara kuantitatif.
Teknik tersebut memungkinkan penilaian dengan resolusi spasial yang baik, tidak invasif,
dapat dilakukan berulang, dan meliputi berbagai bagian tumor bahkan keseluruhan
tumor.59
37
length nonuniformity [hazard ratio =
4,15, P = 0,043], and short-run low
gray-level emphasis [hazard ratio =
5,94, P = 0,035])
Tsai et CTTA Membedakan KNF 32 parameter TA yang signifikan dari
al(2018)4 dengan kontrol total 41 parameter, dengan rincian 11
adenoid sesuai usia dari 12 parameter histogram, 4 dari 5
parameter GLCM, 7 dari 11 parameter
GLRLM, 4 dari 4 parameter GLGM,
dan 6 dari 9 paramter Law
Qin et al MRI TA Intravoxel Receiver Operating Characteristic
(2018)11 incoherent motion (ROC) curve dengan analisis univariat
diffusion-weighted menunjukkan area under curve (AUC)
imaging (IVIM- untuk parameter GLCM individual
DWI) untuk dapat memprediksi respon terapi
memprediksi dengan nilai 0,635 hingga 0,879,
respon awal sensitifitas 54,55% hingga 100% dan
kemoradioterapi spesifisitas 52,86% hingga 85,71%.
KNF Analisis regresi logistik multivariat
menunjukkan nilai pure diffusion
coefficient (D) (P=0,25), inverse
different momentADC (P=0,033),
SumAverageD (P=0,015) merupakan
prediktor independen untuk
mengidentifikasi KNF tanpa residu
dengan nilai AUC 0,977, sensitifitas
90,91% dan spesifisitas 95,71%.
Fujima et MRI Memprediksi Perbedaan signifikan antara KSS
al (2019)7 T2FS diagnosis histologi dengan limfoma maligna pada
TA KSS dan limfoma parameter mean signal (3,65±0,86 vs
maligna kepala dan 2,61±0,49), contrast (72,9±16,2 vs.
leher, 49,3±8,7) dan homogeinity
38
membandingkan (2,22±0,25 x 10-1 vs 2,53±0,12
KSS dengan x 10-1 ).
tingkat histologi Nilai relative mean signal dan contrast
yang berbeda lebih rendah secara signifikan pada
KSS berdiferensiasi buruk (2,89 ±0,63,
56,2 ± 12,9) dibandingkan dengan
yang berdiferensiasi baik/sedang (3,85
± 0,81, 77,5 ± 13,9). Homogeinity KSS
berdiferensiasi buruk (2,56 ± 0,15 ×
10-1 )ditemukan lebih tinggi dari pada
yang berdiferensiasi baik/sedang (2,1 ±
0,18 × 10-1 ).
Raghavan MRI TA Memprediksi Tekstur MRI berhasil memprediksi
et al rekurensi pasien rekurensi dengan AUC 0,79,
(2019)10 KNF sensitifitas 73% dan spesifisitas 71%.
Rekurensi loko-regional diprediksi
dengan AUC 0,82, sensitifitas 73%,
dan spesifisitas 74% sedangkan untuk
prediksi metastasis jauh dengan AUC
0,92, sensitifitas 79%, dan spesifisitas
84%. Parameter TA MRI memiliki
hazard ratio 4,37 (95% confidence
interval 1,72-20,2) untuk rekurensi
setelah penyesuaian dengan usia, jenis
kelamin, merokok, dan staging TNM
2.10 LIFEx
LIFEx adalah perangkat lunak bebas yang digunakan untuk mengkalkulasi TA histogram
konvensional (first order), second order dan fitur bentuk dari berbagai modalitas
pencitraan seperti PET, SPECT, MR, CT dan USG. Perangkat lunak ini dikembangkan
oleh The French Alternative Energies and Atomic Energy Commision (CEA), Centre
national de la recherche scientifique (CNRS), Imagerie Moléculaire in Vivo (IMIV lab),
39
Institut national de la santé et de la recherche médicale (Inserm), Université Paris-Sud,
dan Université Paris Saclay.
40
3. Pengaturan parameter TA yang akan dikalkulasi (lingkaran merah gambar 2.28 dan
gambar 2.29).
4. Peletakan ROI pada gambar dengan klik pada tombol Pencil2D (lingkaran hijau
gambar 2.27).
5. Setelah ROI sudah diletakkan (lingkaran merah muda gambar 2.27), lakukan texture
check untuk mengetahui validitas luas ROI oleh perangkat lunak (lingkaran biru
gambar 2.28), jika valid akan muncul keterangan OK di kiri bawah layar perangkat
lunak (gambar 2.30).
6. Klik tombol run (lingkaran hijau gambar 2.28) untuk memulai kalkulasi TA.
7. Hasil direkam oleh perangkat lunak dalam format CSV kemudian diimport ke
perangkat lunak Microsoft Excel menjadi bentuk tabel (gambar 2.31)
41
Gambar 2.28 Pengaturan parameter gambar dan texture analysis
42
Gambar 2.30 Keterangan validitas texture check
43
2.11 Kerangka Teori
Infeksi
Genetik, Viral, Lingkungan (bakteri, virus) dan non-infeksi
(alergi, asap rokok,
Alternasi genetik epithelium
gastroesofageal refluks)
nasofaring
Nasofaringitis
KNF
CTTA Kronik
Morfologi Kualitatif
- Volume
- Simetrisasi
Infiltrasi
Limfadenopati
Cakupan Penelitian
44
2.12 Kerangka Konsep
CT Scan
CTTA
45
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.3 Populasi
Populasi target penelitian ini adalah pasien dewasa dengan KNF dan nasofaringitis kronis
di Indonesia. Populasi terjangkau adalah pasien dewasa dengan KNF dan nasofaringitis
kronis yang dilakukan pemeriksaan CT scan nasofaring di Departemen Radiologi FKUI-
46
RSCM dengan menggunakan Multi Slice CT (MSCT) 256 slice Siemens® Somatom
Definition Flash, sejak tahun 2015 hingga 2019.
47
3.5 Kriteria Penelitian
3.5.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien berusia 18 tahun atau lebih.
2. Pasien baru yang didiagnosis KNF atau nasofaringitis kronis oleh
Departemen Telinga Hidung Tenggorok(THT) FKUI-RSCM dengan hasil
pemeriksaan patologi anatomi sesuai diagnosis.
3. Untuk nasofaringitis kronis, pemeriksaan patologi anatomi menggunakan
jaringan dari eksplorasi intraoperasi.
4. Perluasan lesi KNF sesuai T1 dan T2.
5. Pasien telah dilakukan pemeriksaan CT scan nasofaring menggunakan Multi
Slice CT (MSCT) 256 slice Siemens® Somatom Definition Flash.
6. Pasien belum pernah dilakukan tindakan pembedahan, radioterapi dan
kemoterapi.
48
3.6 Alur Penelitian
Analisis data
49
3.7 Cara Kerja Penelitian
1. Peneliti melakukan penelusuran hasil histopatologi dengan diagnosis KNF atau
nasofaringitis kronis dari tahun 2014 hingga 2019. Pasien dengan beberapa hasil
histopatologi, jika salah satu didiagnosis KNF maka dijadikan data pasien KNF.
2. Data pasien histopatologi tersebut kemudian ditelusuri pada PACS INFINITT
Departemen Radiologi, ketersediaan hasil pemeriksaan CT nasofaring yang sesuai
protokol penelitian.
3. Pasien yang memiliki hasil histopatologi dan hasil pemeriksaan CT nasofaring
tersebut dilakukan penelusuran rekam medis untuk kesesuaian diagnosis
histopatologi dengan diagnosis akhir klinis.
4. Protokol pemeriksaan CT scan nasofaring menggunakan Multi Slice CT (MSCT)
256 slice Siemens® Somatom Definition Flash, 120 kV, 100-120 mAs, ketebalan
potongan 1 mm, matriks gambar 512 x 512, gambaran diambil 45 detik setelah
injeksi kontras iodine 300mg/mL intravena dengan dosis sesuai berat badan pasien,
dari basis cranii hingga apertura torasik menggunakan algorithma jaringan lunak
(Kernel B31s medium smooth +).
5. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode konsekutif hingga
mencapai besar sampel minimal dari pasien terbaru (tahun 2019) hingga terlama
(tahun 2015). Kemudian masing-masing pasien diberi nomor dan dicatat kelompok
penelitian tanpa sepengetahuan peneliti dengan bantuan kolega peneliti.
6. Dilakukan pengukuran nilai histogram dan GLCM tumor nasofaring dengan
perangkat lunak LIFEx dengan parameter Spatial Resampling 1 x 1 x 2 mm64, Grey
Level 64 bin54, Intensity Rescalling Absolute minimal bound -100 dan maximal
bound 20065. (Gambar 3.1)
50
Gambar 3.1 Pengaturan parameter LIFEx
7. Dilakukan penempatan ROI pada tumor dengan freehand (Pencil2D) pada
penampang terluas tumor di potongan aksial, batas luar ROI sekitar 1-2 mm dari
batas terluar lesi yang dapat diidentifikasi(Gambar 3.2). Area nekrotik, kistik dan
kalsifikasi tidak dimasukkan ke dalam ROI.
51
9. Hasil pengukuran ditabulasi dan dianalisis secara stastistik dengan perangkat lunak
SPSS versi 20.
52
7 Kurtosis Bentuk histogram dari Melakukan penempatan ROI pada Numerik
Histogram distribusi grey-level penampang terluas tumor di potongan
(Hounsfield Unit) aksial, nilai Kurtosis dikalkulasi otomatis
relatif dari ROI oleh perangkat lunak LIFEx dengan rumus
dibandingkan dengan 1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 4
∑
distribusi normal 𝐸 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂)
4
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅2 ))
(𝐸 ∑ 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
53
pasangan grey-level aksial, nilai GLCM Correlation dikalkulasi
voxel dari ROI otomatis oleh perangkat lunak LIFEx
dengan rumus
(𝑖 − 𝜇𝑖 ). (𝑗 − 𝜇𝑗 ). 𝐺𝐿𝐶𝑀(𝑖, 𝑗)
(∑ ∑ )
𝜎𝑖 . 𝜎𝑗
𝑖 𝑗
12 GLCM Keserampangan(Rand Melakukan penempatan ROI pada Numerik
Entropy omness) distribusi penampang terluas tumor di potongan
pasangan grey-level aksial, nilai GLCM Entropy dikalkulasi
voxel dari ROI otomatis oleh perangkat lunak LIFEx
dengan rumus
54
3.10 Etika Penelitian
3.10.1 Kerahasiaan
Data identitas subjek yang digunakan dalam penelitian ini diperlakukan secara hormat
dan rahasia serta bersifat anonim. Data yang mengarah pada identitas penderita tidak
dicantumkan. Hanya peneliti dan pembimbing yang mengetahui identitas subjek dalam
penelitian ini.
3.10.2 Bermanfaat dan Non-maleficence
Salah satu prinsip etik penelitian adalah manfaat yang lebih besar daripada resiko.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari PACS INFINITT Departemen Radiologi
FKUI-RSCM sehingga penderita tidak memerlukan pemeriksaan tambahan.
3.10.3 Keadilan
Tidak terdapat perbedaan perlakuan terhadap subjek penelitian.
3.10.4 Pelaksanaan penelitian
Pengambilan data penelitian dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan persetujuan dari
Bagian Penelitian RSCM serta izin dari Departemen Radiologi FKUI-RSCM.
3.11 Pendanaan
Peneliti tidak terikat kontrak atau dengan perjanjian tertentu dengan pihak manapun.
Biaya penelitian, pembuatan makalah, alat tulis, pengolahan dan penyimpanan data,
percetakan serta biaya tidak terduga ditanggung sendiri oleh peneliti.
55
BAB 4
HASIL
KNF NFK
56
Tabel 4.2 Histopatologi kelompok KNF
Subjek laki-laki pada kedua kelompok lebih banyak daripada perempuan, terutama
pada kelompok KNF mencapai 71,4%. Rentang usia subjek kelompok KNF lebih banyak
pada usia 41-71 tahun (median 46 tahun) dan kelompok NFK pada usia 19-40 tahun
(median 30 tahun). Hasil histopatologi kelompok KNF mayoritas adalah karsinoma sel
skuamosa tidak berkeratin, tidak berdiferensiasi (tabel 4.2), sedangkan untuk perluasan
lesi mayoritas T2 (tabel 4.3).
57
Tabel 4.4 Hasil analisis parameter histogram
58
BAB 5
PEMBAHASAN
59
histopatologi yang paling dominan adalah karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, tidak
berdiferensiasi, dimana berkaitan dengan infeksi EBV.70,71
60
Peningkatan fraksi nekrosi kemudian menyebabkan hipoksia pada tumor yang menjadi
pemicu ekspresi VEGF.8,59,75
Penelitian Tsai et al menggunakan kelompok kontrol age-matched, dimana tidak
dilakukan pada penelitian ini. Usia akan mempengaruhi reaksi imunitas tubuh. Individu
dengan usia yang lebih muda cenderung memiliki reaksi imunitas yang lebih tinggi jika
tubuh mengalami inflamasi terutama jika berlangsung dalam jangka panjang seperti pada
nasofaringitis kronik.76 Reaksi inflamasi menyebabkan pelepasan sitokin seperti
Interluekin-6 (IL6), interferon gamma (IFNγ) dan Tumor necrosis factor alpha (TNFα).77
Ekspresi sitokin kemudian memicu perubahan susunan sel endothelial vaskular dan
pembentukan vaskularisasi baru menyebabkan peningkatan heterogenitas jaringan.78 Jika
inflamasi berlangsung lama, maka terjadi kerusakan dan destruksi jaringan membentuk
jaringan nekrosis.79 Subjek penelitian KNF pada penelitian ini mayoritas berusia antara
19-40 tahun dengan median 31 tahun. Dengan usia yang relatif muda tersebut, faktor
imunitas tubuh mungkin merupakan penyebab peningkatan heterogenitas jaringan.
61
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
- Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai mean antara KNF dan NFK.
- Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai skewness antara KNF dan NFK.
- Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai kurtosis antara KNF dan NFK.
- Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai homogeinity antara KNF dan NFK.
- Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai energy antara KNF dan NFK.
- Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai contrast antara KNF dan NFK.
- Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai correlation antara KNF dan NFK.
- Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai entropy antara KNF dan NFK.
6.2 Saran
Untuk penelitian lebih lanjut disarankan dapat menggunakan data multisenter sehingga
memperoleh jumlah sampel yang memadai untuk masing-masing subtype histopatologi
KNF dan stadium KNF dengan jumlah dan proporsi yang relatif sama antar subtype dan
stadium, sehingga dapat dilakukan analisis subgrup, mencari kemungkinan perbedaan
parameter CTTA antar subgrup tersebut. Selain itu diperlukan kerjasama lintas bidang
terutama bidang teknologi informatika dan statistik untuk proses normalisasi data
sehingga dapat dilakukan perbandingan data CT nasofaring dari mesin CT dan protokol
pemeriksaan yang berbeda, dengan demikian mempermudah pencarian subjek penelitian.
Penggunaan parameter second order yang lebih kompleks dapat membantu menemukan
perbedaan tekstur yang tidak ditemukan dari parameter TA lebih sederhana seperti
histogram dan GLCM yang digunakan pada penelitian ini. Penelitian TA menggunakan
modalitas dengan kontras jaringan yang lebih baik daripada CT seperti MRI.
62
DAFTAR PUSTAKA
63
10. Raghavan Nair JK, Vallières M, Mascarella MA, El Sabbagh N, Duchatellier CF,
Zeitouni A, et al. Magnetic Resonance Imaging Texture Analysis Predicts
Recurrence in Patients With Nasopharyngeal Carcinoma. Can Assoc Radiol J.
2019;70(4):394–402.
11. Qin Y, Yu X, Hou J, Hu Y, Li F, Wen L, et al. Predicting chemoradiotherapy
response of nasopharyngeal carcinoma using texture features based on intravoxel
incoherent motion diffusion-weighted imaging. Med (United States).
2018;97(30):1–7.
12. Kuno H, Qureshi MM, Chapman MN, Li B, Andreu-Arasa VC, Onoue K, et al.
CT texture analysis potentially predicts local failure in head and neck squamous
cell carcinoma treated with chemoradiotherapy. Am J Neuroradiol.
2017;38(12):2334–40.
13. Fujita A, Buch K, Li B, Kawashima Y, Qureshi MM, Sakai O. Difference between
HPV-positive and HPV-negative non-oropharyngeal head and neck cancer:
Texture analysis features on CT. J Comput Assist Tomogr. 2016;40(1):43–7.
14. Drake RL, Moses K, Vogl AW, Mitchell AW. Gray’s Anatomy for Students, Third
Edition. Gray’s Anat Students. 2014;
15. Prokop M, Galanski M. Spiral and Multislice Computed Tomography of the Body.
van der Molen AJ, Schaefer C, editors. New York: Thieme; 2011. 225–277 p.
16. Haaga JR, Boll DT. Pharynx. In: Mohan S, Arya S, Chandra T, Hoeffner E, editors.
CT and MRI of the Whole Body. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 651–83.
17. Dhingra P, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and
Neck Surgery. 7th ed. New Delhi: Elsevier; 2018. 269–286 p.
18. Stafford ND. Tumours of the nasopharynx. In: Hussain SM, editor. Logan Turner’s
Diseases of the Nose, Throat, and Ear Head and Neck Surgery. eleventh. Boca
Raton: CRC Press; 2016. p. 209–13.
19. Mescher AL. Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas. 14th ed. New York:
McGraw-Hill Education; 2016. 352 p.
20. Gartner LP. Textbook of Histology. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. 400 p.
21. Adam AA. Pathology of Nasopharyngeal Carcinoma in Sudanese Patients and its
Association with Epstein-Barr Virus: A Report from a Single Center in Khartoum.
Adv Tumor Virol. 2011;2(January 2011):1–6.
64
22. Bercin S, Yalciner G, Muderris T, Gul F, Deger HM, Kiris M. Pathologic
evaluation of routine nasopharynx punch biopsy in the adult population: Is it really
necessary? Clin Exp Otorhinolaryngol. 2017;10(3):283–7.
23. Arslan N, Tuzuner A, Koycu A, Dursun S, Hucumenoglu S. The role of
nasopharyngeal examination and biopsy in the diagnosis of malignant diseases.
Braz J Otorhinolaryngol [Internet]. 2019;85(4):481–5. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.bjorl.2018.04.006
24. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S,
et al. Nasopharyngeal carcinoma in indonesia: Epidemiology, incidence, signs, and
symptoms at presentation. Chin J Cancer. 2012;31(4):185–96.
25. El-Naggar AK, Chan JKC, Grandis JR, Takata T, Slootweg PJ, editors. WHO
Classification of Head and Neck Tumours. Lyon: International Agency for
Research on Cancer; 2017. 65–67 p.
26. Regauer S. Nasopharynx and Waldeyer’s Ring. In: Cardesa A, Slootweg PJ,
editors. Pathology of the Head and Neck. Berlin, Heidelberg: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg; 2006. p. 180–2.
27. Poornima V, Patankar S, Gokul S, Khot K. Basaloid squamous cell carcinoma. J
Oral Maxillofac Pathol. 2012;16(1):153–5.
28. Ereño C, Gaafar A, Garmendia M, Etxezarraga C, Bilbao FJ, López JI. Basaloid
squamous cell carcinoma of the head and neck: A Clinicopathological and Follow-
Up Study of 40 Cases and Review of the Literature. Head Neck Pathol.
2008;2(2):83–91.
29. Lee AWM, Lydiatt WM, Colevas AD, Glastonbury CM, Le QTX, O’Sullivan B,
et al. Nasopharynx. In: Amin MB, editor. AJCC Cancer Staging Manual. 8th ed.
Chicago: Springer; 2018. p. 103–11.
30. Pfister DG, Spencer S, Adelstein D, Adkins D, Brize DM, Burtness B. NCCN
Clinical Practice Guidelines: Head and Neck Cancers. Version 1.2018. J Natl
Compehensive Cancer Netw. 2018;218.
31. Brant WE. Fundamentals of Diagnostic Radiology - 4 Volume Set. Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2012.
32. Wesolowski JR, Mukherji SK. Pathology of the Pharynx. In: Som PM, Curtin HD,
editors. Head and Neck Imaging. 5th ed. St. Louis: Mosby Elsevier; 2012. p. 1749–
65
809.
33. Geiger Z, Gupta N. Adenoid Hypertrophy [Internet]. StatPearls Publishing. Texas;
2020 [cited 2020 Jul 21]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536984/
34. Rout MR, Mohanty D, Vijaylaxmi Y, Bobba K, Metta C. Adenoid Hypertrophy in
Adults: A case Series. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;65(3):269–74.
35. Finkelstein Y, Malik Z, Kopolovic J, Bernheim J, Djaldetti M, Ophir D.
Characterization of smoking-induced nasopharyngeal lymphoid hyperplasia.
Laryngoscope. 1997;107(12):1635–42.
36. Yildirim N, Şahan M, Karslioǧlu Y. Adenoid hypertrophy in adults: Clinical and
morphological characteristics. J Int Med Res. 2008;36(1):157–62.
37. Babu AR, Shetty TS, Bharathi MB, Joshi P. Evaluation and Management of Adult
Patients with Bilateral Nasal Obstruction Secondary to Adenoid Hypertrophy
using Endoscopic Adenoidectomy. Int J Contemp Med Res [Internet].
2016;3(6):1674–7. Available from: www.ijcmr.com
38. Kamel RH, Ishak EA. Enlarged adenoid and adenoidectomy in adults: Endoscopic
approach and histopathological study. J Laryngol Otol. 1990;104(12):965–7.
39. Kazikdas C, Gode S, Demirci M. Asymmetric adenoid hypertrophy in a patient
with ipsilateral rhinolithiasis: an overlooked entity? J Surg Case Reports.
2011;2(12):1–4.
40. King AD, Wong LYS, Law BKH, Bhatia KS, Woo JKS, Ai QY, et al. MR imaging
criteria for the detection of nasopharyngeal carcinoma: Discrimination of early-
stage primary tumors from benign hyperplasia. Am J Neuroradiol.
2018;39(3):515–23.
41. Singh I, Jain A, Prasad P, Rajpurohit P. Adenoid Hypertrophy in Adults: An
Underdiagnosed Entity? Arch Otolaryngol Rhinol. 2017;006–8.
42. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 10th ed. Philadelphia:
Elsevier Inc; 2018. 192–195 p.
43. Lugano R, Ramachandran M, Dimberg A. Tumor angiogenesis: causes,
consequences, challenges and opportunities. Cell Mol Life Sci [Internet].
2020;77(9):1745–70. Available from: https://doi.org/10.1007/s00018-019-03351-
7
66
44. Nishida N, Yano H, Nishida T, Kamura T, Kojiro M. Angiogenesis in cancer. Vasc
Health Risk Manag. 2006;2(3):213–9.
45. Loizzi V, del Vecchio V, Gargano G, de Liso M, Kardashi A, Naglieri E, et al.
Biological pathways involved in tumor angiogenesis and bevacizumab based anti-
angiogenic therapy with special references to ovarian cancer. Int J Mol Sci.
2017;18(9):1–11.
46. Aggarwal N, K. Agrawal R. First and Second Order Statistics Features for
Classification of Magnetic Resonance Brain Images. J Signal Inf Process.
2012;03(02):146–53.
47. Srinivasan GN, Shobha G. Statistical Texture Analysis. World Acad Sci Eng
Technol Int J Comput Inf Eng. 2008;2(12):4268–73.
48. Nailon WH. Texture Analysis Methods for Medical Image Characterisation.
Biomed Imaging. 2010;75–81.
49. Li R, Xing L, Napel S, Rubin DL. Radiomics and Radiogenomics: Technical Basis
and Clinical Applications. Boca Raton: CRC Press; 2019. 125–132 p. (Imaging in
Medical Diagnosis and Therapy).
50. Parekh V, Jacobs MA. Radiomics: a new application from established techniques.
Expert Rev Precis Med Drug Dev. 2016;1(2):207–26.
51. Nioche C, Orlhac F, Buvat I. Texture-User Guide Local Image Features
Extraction-LIFEx [Internet]. 2019 [cited 2020 Jul 5]. p. 24–6, 41–3. Available
from:
https://lifexsoft.org/images/phocagallery/documentation/ProtocolTexture/UserGu
ide/TextureUserGuide.pdf
52. Miles KA, Ganeshan B, Hayball MP. CT texture analysis using the filtration-
histogram method: What do the measurements mean? Cancer Imaging.
2013;13(3):400–6.
53. Haralick, Robert M., Shanmugam. K A, Dinstein I. Textural Features for Image
Classification. IEEE Trans Syst Man Cybern. 1973;SMC-3(6):610–21.
54. Bashir U, Siddique MM, McLean E, Goh V, Cook GJ. Imaging heterogeneity in
lung cancer: Techniques, applications, and challenges. Am J Roentgenol.
2016;207(3):534–43.
55. Sharma EK, Priyanka E, Kalsh EA, Saini EK. GLCM and its Features. Int J Adv
67
Res Electron Commun Eng. 2015;4(8):2180–2.
56. Thamaraichelvi B, Yamuna G. Gray Level Co- occurrence Matrix features based
classification of tumor in medical images. ARPN J Eng Appl Sci.
2016;11(19):11403–14.
57. Zhao Q, Shi CZ, Luo LP. Role of the texture features of images in the diagnosis of
solitary pulmonary nodules in different sizes. Chinese J Cancer Res.
2014;26(4):451–8.
58. Hua Zhang Y. Radiomics in cancer prognosis: Applications and limitations of
quantitative texture analysis. Karolinka Institute; 2018.
59. Ganeshan B, Miles KA. Quantifying tumour heterogeneity with CT. Cancer
Imaging. 2013;13(1):140–9.
60. Nioche C, Orlhac F, Boughdad S, Reuze S, Goya-Outi J, Robert C, et al. Lifex: A
freeware for radiomic feature calculation in multimodality imaging to accelerate
advances in the characterization of tumor heterogeneity. Cancer Res.
2018;78(16):4786–9.
61. Publications - Journal papers [Internet]. [cited 2020 Oct 31]. Available from:
https://www.lifexsoft.org/index.php/resources/publications-journal-papers
62. Fornacon-Wood I, Mistry H, Ackermann CJ, Blackhall F, McPartlin A, Faivre-
Finn C, et al. Reliability and prognostic value of radiomic features are highly
dependent on choice of feature extraction platform. Eur Radiol.
2020;30(11):6241–50.
63. Orlhac F, Boughdad S, Philippe C, Stalla-Bourdillon H, Nioche C, Champion L,
et al. A postreconstruction harmonization method for multicenter radiomic studies
in PET. J Nucl Med. 2018;59(8):1321–8.
64. Shafiq-Ul-Hassan M, Zhang GG, Latifi K, Ullah G, Hunt DC, Balagurunathan Y,
et al. Intrinsic dependencies of CT radiomic features on voxel size and number of
gray levels. Med Phys [Internet]. 2017 Mar 1 [cited 2020 Oct 25];44(3):1050–62.
Available from: /pmc/articles/PMC5462462/?report=abstract
65. Choi Y, Gil BM, Chung MH, Yoo WJ, Jung NY, Kim YH, et al. Comparing
attenuations of malignant and benign solitary pulmonary nodule using semi-
automated region of interest selection on contrast-enhanced CT. J Thorac Dis.
2019;11(6):2392–401.
68
66. Polesel J, Franceschi S, Talamini R, Negri E, Barzan L, Montella M, et al. Tobacco
smoking, alcohol drinking, and the risk of different histological types of
nasopharyngeal cancer in a low-risk population. Oral Oncol [Internet].
2011;47(6):541–5. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2011.03.017
67. Loh KS, Goh BC, Lu J, Hsieh WS, Tan L. Familial nasopharyngeal carcinoma in
a cohort of 200 patients. Arch Otolaryngol - Head Neck Surg. 2006;132(1):82–5.
68. Ji X, Zhang W, Xie C, Wang B, Zhang G, Zhou F. Nasopharyngeal carcinoma risk
by histologic type in central China: Impact of smoking, alcohol and family history.
Int J Cancer. 2011;129(3):724–32.
69. Jayalie VF, Paramitha MS, Jessica J, Liu CA, Ramadianto AS, Trimartani T, et al.
Profile of Nasopharyngeal Carcinoma in Dr. Cipto Mangunkusumo National
Hospital, 2010. eJournal Kedokt Indones. 2017;4(3).
70. Marks JE, Phillips JL, Menck HR. The national cancer data base report on the
relationship of race and national origin to the histology of nasopharyngeal
carcinoma. Cancer. 1998;83(3):582–8.
71. Almobarak AA, Jebreel AB, Abu-Zaid A. Molecular Targeted Therapy in the
Management of Recurrent and Metastatic Nasopharyngeal Carcinoma: A
Comprehensive Literature Review. Cureus. 2019;11(3).
72. Aryana KK. Overexpression of vascular endothelial growth factor in advanced
stage undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. 2019;01(02):67–9.
73. Berris T, Gupta R, Rehani MM. Radiation dose from cone-beam CT in
neuroradiology applications. Am J Roentgenol. 2013;200(4):755–61.
74. Muina, Agus S, Rahman S. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor dan
Peningkatan Microvessel Density pada Karsinoma Nasofaring Tidak Berkeratin.
2018;27(3).
75. Milross CG, Tucker SL, Mason KA, Hunter NR, Peters LJ, Las LM, et al. The
Effect of Tumor Size on Necrosis and Polarographically Measured pO 2 The Effect
of Tumor Size on Necrosis and Polarographically Measured p 0 2. 2009;
76. Accardi G, Caruso C. Immune-inflammatory responses in the elderly: An update.
Immun Ageing. 2018;15(1):4–7.
77. Wolf J, Weinberger B, Arnold CR, Maier AB, Westendorp RGJ, Grubeck-
69
Loebenstein B. The effect of chronological age on the inflammatory response of
human fibroblasts. Exp Gerontol [Internet]. 2012;47(9):749–53. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.exger.2012.07.001
78. Jambusaria A, Hong Z, Zhang L, Srivastava S, Jana A, Toth PT, et al. Endothelial
heterogeneity across distinct vascular beds during homeostasis and inflammation.
Elife. 2020;9:1–32.
79. Rea IM, Gibson DS, McGilligan V, McNerlan SE, Denis Alexander H, Ross OA.
Age and age-related diseases: Role of inflammation triggers and cytokines. Front
Immunol. 2018;9(APR):1–28.
70