Oleh:
Paramita Myrna Listiyani, dr.
NIM 011218076304
Pembimbing:
IGB Adria Hariastawa, dr., Sp.B, Sp.BA(K)
Oleh:
Pembimbing
ii
LEMBAR PERSETUJUAN HASIL KOREKSI
Tim Penguji
Mengetahui,
Koordinator Program Studi Ilmu Bedah Peneliti
iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
NIM : 011218076304
Judul Penelitian :
dengan ini menyatakan bahwa karya tulis akhir ini merupakan hasil penelitian
karya akhir penulis sendiri, bukan hasil rekayasa, dan semua sumber baik yang
kemudian hari penelitian ini mengandung plagiasi atau penjiplakan atas karya
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI
berjudul:
selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai penulis dan pemilik Hak Cipta.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, yang senantiasa melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian karya tulis akhir ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan
saran agar laporan penelitian karya tulis akhir ini menjadi lebih baik.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang tulus dan tak terhingga
kepada semua pihak yang telah ikut membimbing, mendidik, dan membantu
tingginya kepada:
MT, Ak., CMA atas kesempatan yang Beliau berikan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan.
vi
3. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Dr.
Soetojo, dr., Sp.U atas kesempatan yang Beliau berikan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan.
4. Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Kes., Sp.PD, K-EMD, FINASIM selaku
menempuh pendidikan.
5. Direktur RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Dr. Joni Wahyuhadi, dr., Sp.BS(K)
atas kesempatan yang Beliau berikan kepada penulis untuk bekerja sekaligus
6. Dodo Anondo, dr., MPH selaku Direktur RSUD Dr. Soetomo, Surabaya pada
dr., Sp.B(K)KL atas kesempatan yang Beliau berikan kepada penulis untuk
bekerja sekaligus menimba ilmu serta motivasi dan bimbingan selama penulis
menempuh pendidikan.
atas kesempatan yang Beliau berikan kepada penulis untuk bekerja sekaligus
menimba ilmu, dan motivasi, bimbingan, nasihat, serta disiplin selama penulis
menempuh pendidikan.
vii
10. Dr. Heru Koesbijanto, dr., Sp.B, Sp.BTKV (alm) selaku Koordinator Program
Studi Ilmu Bedah pada awal penulis menempuh pendidikan, atas semangat
11. Dr. Desak Gede Agung Suprabawati, dr., Sp.B(K)Onk selaku Koordinator
Program Studi Ilmu Bedah pada saat penulis menempuh pendidikan, atas
disiplin.
12. Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, Dr. R. Maryono Dwi Wibowo, dr.,
Sp.B(K)KL, selaku penguji penelitian karya tulis akhir penulis, atas kesabaran
13. IGB Adria Hariastawa, dr., Sp.B, Sp.BA selaku pembimbing penelitian karya
tulis akhir penulis, atas kesabaran Beliau memberikan arahan pada penelitian
14. Heru Purwanto, dr., MSc., Sp.B(K)Onk selaku penguji dari biro penelitian
15. Sudjatmiko, dr., Sp.B(K)BD selaku penguji penelitian atas kesabaran Beliau
viii
16. Ariandi Setiawan, dr., Sp.B, Sp.BA selaku penguji penelitian atas kesabaran
menempuh pendidikan.
17. Seluruh senior dan staf pengajar yang telah berkenan menjadi guru bagi
menempuh pendidikan.
18. Seluruh senior dan staf pengajar di rumah sakit jejaring (RSUD Sidoarjo,
Ramelan, Surabaya, dan RSUD Dr. Soedono, Madiun) yang telah berkenan
19. Semua pasien yang telah menjadi guru bagi penulis selama menempuh
pendidikan.
20. Kedua orang tua penulis, Edi Trisulo Bahagia, SE, Ak. (alm.) dan Idawati
21. Adik penulis, Justine Irma Anindita dan adik ipar Yuri Widya, serta segenap
menempuh pendidikan.
22. Ibu Srijati Agustini, atas segala motivasi dan bantuan Beliau.
ix
23. Ibu Agustina Romauli Marbun, atas segala motivasi dan bantuan Beliau.
24. Segenap angkatan “kelinci” (YHH, KID, FDR, BNR, NUX, INK, AWN),
yang telah menjadi saudara seperjuangan penulis dalam suka dan duka,
pendidikan.
27. Segenap pendukung lain (J, E, T, P) dan semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu, yang telah membantu kelancaran penelitian ini serta
x
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Hasil Koreksi Ujian Hasil Penelitian Karya Tulis Akhir . iii
xi
2.2.2. Fase Proliferasi ................................................................. 6
Intraperitoneal ............................................................................ 27
xii
BAB 3. KERANGKA PENELITIAN ........................................................... 34
Kontrol/K) ........................................................................ 43
xiii
4.4.7. Kelompok Anastomosis dengan Amnion (Kelompok P) . 44
xiv
Daftar Pustaka ................................................................................................... 64
Lampiran-Lampiran ......................................................................................... 86
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
DAFTAR SINGKATAN
G = Gauge
IL = Interleukin
LPS = Lipopolisakarida
MA = Membran Amnion
xix
MP/MPI = Metallo-Proteinase/Metallo-Proteinase Inhibitor
N = Newton
PMN = Polymorphonuclear
SD = Standar Deviasi
TE = Tissue Engineering
xx
PENGARUH MEMBRAN AMNION KERING TERHADAP BURSTING
PRESSURE PADA ANASTOMOSIS KOLON PRIMER DENGAN
KONDISI INFEKSI INTRAPERITONEAL
(STUDI PADA TIKUS WISTAR)
ABSTRAK
Latar Belakang: Angka kebocoran anastomosis pasca operasi kolorektal masih
tinggi, sehingga keputusan anastomosis primer pada kondisi peritonitis sekunder
(bakterial) masih kontroversial. Kekuatan mekanis dan integritas anastomosis
dapat dievaluasi melalui tensile strength dan bursting pressure. Membran amnion
mudah didapat, mudah diproses, dan murah. Selain itu, membran amnion bersifat
antibakteri, mencegah keradangan, serta membantu epitelialisasi dan
penyembuhan luka. Membran amnion belum diteliti manfaatnya dalam
melindungi anastomosis. Metode: Digunakan tiga puluh dua tikus Wistar (Rattus
norvegicus) dalam penelitian ini, enam belas tikus pada kelompok kontrol dan
enam belas tikus pada kelompok perlakuan. Dilakukan caecal ligation puncture
(CLP) untuk membuat kondisi peritonitis pada kedua kelompok, lalu dilakukan
reseksi dan anastomosis kolon kiri. Balutan membran amnion ditambahkan pada
anastomosis kelompok perlakuan. Semua tikus dikorbankan pada hari ketujuh
pasca operasi kemudian dilakukan evaluasi bursting pressure. Hasil: Bursting
pressure pada kelompok dengan membran amnion lebih tinggi signifikan
dibandingkan kelompok kontrol (p < 0,05). Kesimpulan: Balutan membran
amnion pada anastomosis kolon mencegah efek merugikan peritonitis sekunder
(bakterial) secara signifikan serta memberikan anastomosis yang lebih kuat dan
aman dibandingkan jahitan primer saja.
Kata kunci: Membran amnion, penyembuhan anastomosis, bursting pressure,
anastomosis kolon, infeksi intraperitoneal
xxi
EFFECT OF DRIED AMNIOTIC MEMBRANE ON BURSTING
PRESSURE FOR PRIMARY COLON ANASTOMOSIS WITH
INTRAPERITONEAL INFECTION
(STUDY ON WISTAR RATS)
ABSTRACT
Background: Anastomosis leakage rate of colorectal surgery is still high, so that
decision of primary anastomosis on secondary (bacterial) peritonitis is still
controversial. Mechanical strength and anastomosis integrity are evaluated
through tensile strength and bursting pressure. Amniotic membrane is easily
obtained, easily processed and cheap. Moreover, amniotic membrane provides
antibacterial properties, prevents inflammation and also promoting
epithelialization and wound healing. Amniotic membrane has not been studied for
protecting anastomosis. Method: Thirty two Wistar rats (Rattus norvegicus) were
used on this study, sixteen rats served as control group and other sixteen rats
served as treatment group. Caecal ligation puncture (CLP) was performed to
induce peritonitis on both group, followed by left colon resection and
anastomosis. Amniotic membrane dressing was added on anastomosis of
treatment group. All rats were sacrificed on seventh postoperative day followed
by bursting pressure evaluation. Result: Bursting pressure on treatment group
with amniotic membrane was significantly higher than control group (p < 0.05).
Conclusion: Amniotic membrane dressing on colon anastomosis prevents adverse
effect of secondary (bacterial) peritonitis significantly and provides stronger
anastomosis compare to primary suture.
Keywords: Amniotic membrane, anastomosis healing, bursting pressure, colon
anastomosis, intraperitoneal infection
xxii
BAB 1
PENDAHULUAN
mengharuskan ahli bedah memotong bagian usus yang rusak dan melakukan
anastomosis pada bagian usus yang masih baik (Pieracci & Barie, 2007;
prosedur diagnosis dan terapi sudah semakin maju, karena diagnosis kebocoran
Margolin, 2016). Angka mortalitas pada peritonitis sekunder mencapai 60% dan
al., 2015; Van Ruler & Boermeester, 2017), sehingga sebagian ahli bedah masih
lebih memilih prosedur operasi berulang (Pieracci & Barie, 2007; Kirchhoff,
Clavien & Hahnloser, 2010; McDermott et al., 2015; Van Ruler & Boermeester,
2017).
1
2
bursting pressure akan meningkat dan menjadi maksimal dalam 7 hari pasca
anastomosis (Thompson, Chang & Jobe, 2006; Khoorjestan, Rouhi & Toolabi,
2016).
perhatian khusus karena material yang telah diteliti untuk melindungi anastomosis
usus masih mahal (Ozel, Kazez & Akpolat, 2006; Leong, Murphy & Phillips,
penyembuhan luka (Toda et al., 2007; Niknejad et al., 2008; Uludag et al., 2009a,
Penelitian ini dilakukan pada tikus coba jenis Wistar (Rattus norvegicus) karena
3
anastomosis kolon kiri pada kondisi yang berisiko tinggi mengalami kebocoran
anastomosis kolon primer dengan kondisi infeksi intraperitoneal yang dinilai dari
anastomosis kolon primer dengan kondisi infeksi intraperitoneal yang dinilai dari
TINJAUAN PUSTAKA
bagian distal terdiri dari empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan
serosa (gambar 2.1). Mukosa yang merupakan lapisan terdalam terdiri dari tiga
sublapisan, yakni epitel (biasanya terbentuk dari sel kolumnar), lamina propria
(jaringan ikat longgar yang mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, sel
mesenkim, sel keradangan, dan kolagen), serta muskularis mukosa (selapis otot
perbaikan dengan adanya migrasi dan hiperplasia sel epitel yang menutup defek
dan membuat pertahanan terhadap bakteri dari dalam lumen sehingga aposisi
Submukosa yang merupakan lapisan kedua merupakan lapisan terpenting bagi ahli
bedah karena paling banyak memberikan tensile strength (kekuatan regangan) dan
terdiri dari jaringan ikat longgar yang mengandung banyak struktur kolagen,
pembuluh darah, pembuluh limfe, dan serabut saraf. Lapisan selanjutnya adalah
muskularis propria yang terutama terdiri dari sel otot polos yang bercampur
dengan serabut kolagen. Lapisan terluar dari saluran gastrointestinal adalah serosa
yang terbentuk dari jaringan ikat yang mengandung sel mesotel, pembuluh darah,
serta pembuluh limfe. Saat membuat anastomosis, aposisi langsung lapisan serosa
4
5
ini meminimalkan risiko kebocoran (Thompson, Chang & Jobe, 2006; Munireddy,
dimulai segera setelah terjadinya cedera dan bisa berlangsung selama berbulan-
bulan hingga satu tahun. Tahapan penyembuhan luka terjadi secara tumpang
tindih (overlapping) dalam satu waktu dan dapat dikategorikan dalam beberapa
fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, serta fase maturasi (Barbul, Efron &
permukaan luka, serta menyingkirkan jaringan nekrosis, debris, dan bakteri. Fase
inflamasi terjadi hingga hari ke-6 dan memiliki ciri penting meningkatnya
6
permeabilitas vaskular, migrasi sel ke dalam luka oleh kemotaksis, sekresi sitokin
dan faktor pertumbuhan ke dalam luka, serta aktivasi migrasi sel. Pada fase ini
fibroblas, namun belum ada tensile strength (daya regang) untuk mempertahankan
tepi luka (Barbul, Efron & Kavalukas, 2016; Leong, Murphy & Phillips, 2017).
Fase proliferasi terjadi kira-kira pada hari ke-4 hingga hari ke-14. Fase
epitelialisasi untuk memulihkan iskemia yang terjadi akibat cedera. Ciri penting
fase proliferasi ini adalah pembentukan jaringan granulasi, yang terdiri dari berkas
kapiler, fibroblas, makrofag, serta berkas halus kolagen, fibronektin, dan asam
bermacam sel menjadi sebuah jaringan yang keras dan hanya terdiri dari kolagen.
ketika sel epitel bermigrasi melewati jaringan granulasi untuk membuat sebuah
Barbul, 2010; Barbul, Efron & Kavalukas, 2016; Leong, Murphy & Phillips,
2017).
dipengaruhi oleh adanya ikatan antarkolagen yang bertambah secara cepat dalam
7
beberapa bulan dalam upaya menyeimbangkan jumlah kolagen. Pada hari ke-14,
tensile strength kira-kira sebesar seperlima (20%) dari normal (Thompson, Chang
& Jobe, 2006; Barbul, Efron & Kavalukas, 2016; Leong, Murphy & Phillips,
2017).
maturasi dan remodelling (kira-kira hari ke-8). Fase maturasi ini bisa terjadi
selama 1 tahun atau lebih tergantung dari ukuran luka dan tidak dipengaruhi
apakah luka itu tertutup atau dibiarkan terbuka (Velnar, Bailey & Smrkolj, 2009).
Fase maturasi ini merupakan periode terjadinya kontraksi jaringan parut dengan
edema. Kontraksi pada penyembuhan luka merupakan hasil dari interaksi rumit
(stress fiber) yang meningkatkan tensile strength pada jaringan parut yang
terbentuk (Barbul, Efron & Kavalukas, 2016; Leong, Murphy & Phillips, 2017).
Pada fase maturasi ini terjadi penurunan populasi fibroblas dan jaringan kapiler
yang padat. Kekuatan luka pada fase maturasi ini meningkat secara cepat dalam 1
hingga 6 minggu dan kemudian menetap hingga setahun setelah terjadi luka. Bila
dibandingkan dengan jaringan yang tidak terluka, tensile strength pada jaringan
parut hanya 30% dari normal dan jaringan parut yang terbentuk juga kurang
8
elastis dibanding normal (Barbul, Efron & Kavalukas, 2016; Leong, Murphy &
Phillips, 2017).
proses penyembuhan luka pada umumnya, namun ada beberapa perbedaan yang
signifikan misalnya penyembuhan serosa dan mukosa usus yang dapat terjadi
tanpa pembentukan jaringan parut. Penyembuhan serosa usus penting untuk cepat
memperoleh “segel” kedap air dari sisi luminal (segel fibrin) dan kapasitas
2016).
Perbedaan lain penyembuhan luka usus dan kulit adalah sumber kolagen.
Kolagen pada usus dihasilkan oleh fibroblas dan sel otot polos, sedangkan
kolagen pada kulit hanya dihasilkan oleh fibroblas, sehingga jumlah fibroblas
yang dihasilkan oleh usus juga jauh lebih banyak dibanding fibroblas yang
dihasilkan oleh kulit (Barbul, Efron & Kavalukas, 2016). Aktivitas kolagenase
penyembuhan luka di kulit (Thompson, Chang & Jobe, 2006). Lisis kolagen
(jahitan terlepas) dalam 10 hari pertama (gambar 2.2). Aktivitas kolagenase ini
terjadi pasca cedera di seluruh segmen usus, namun nampak lebih jelas pada kolon
dibanding usus halus (Munireddy, Kavalukas & Barbul, 2010; Barbul, Efron &
9
Kavalukas, 2016). Penyembuhan luka pada usus juga terjadi lebih cepat (dalam
bakteri dan gaya tarikan pada usus (yang berasal dari gerak peristalsis dan
pengisian lumen) lebih besar (Thompson, Chang & Jobe, 2006; Barbul, Efron &
kulit baru mencapai 20% dari normal pada hari ke-14 serta mencapai maksimal
(hanya 30% dari kekuatan kulit normal) dalam waktu 4 minggu, sedangkan tensile
strength pada usus halus dapat mencapai 100% dalam waktu 4 minggu dan tensile
strength pada kolon dapat mencapai 75% dalam waktu 4 bulan (Thompson,
Meskipun secara umum penyembuhan luka pada usus lebih baik dibanding
penyembuhan luka pada kulit, namun pada kondisi syok hipovolemik perfusi
vaskular pada usus lebih menurun dibanding perfusi perifer pada kulit, sehingga
10
ahli bedah sering menghindari anastomosis pada usus dalam kondisi hipovolemik
(Thompson, Chang & Jobe, 2006; Barbul, Efron & Kavalukas, 2016; McDermott
et al., 2016).
pembedahan antara dua organ berongga, dengan atau tanpa tumpahan aktif isi
lumen (McDermott et al., 2015), dengan kata lain kebocoran pada anastomosis
anastomosis ini bervariasi antara 1–19%, bergantung pada lokasi anatomis serta
berbagai faktor risiko yang mempengaruhinya. Berbagai faktor risiko ini secara
menjadi bahan pertimbangan apakah ahli bedah akan melakukan anastomosis atau
tidak. Secara umum faktor risiko kebocoran anastomosis dibagi menjadi faktor
al., 2016).
riwayat radioterapi, penyakit paru, penyakit vaskular, skor ASA lebih dari 2, serta
operasi darurat. Meskipun operasi darurat ini bukan kontraindikasi absolut untuk
penyembuhan luka oleh karena kekurangan protein, vitamin, dan mineral. Vitamin
A, C, dan B6 diperlukan untuk sintesis dan taut silang kolagen, sedangkan zinc
dan tembaga (copper) berperan sebagai kofaktor dari banyak proses yang
melibatkan sintesis DNA dan protein serta proliferasi sel (Dubay & Franz, 2003;
Barbul, Efron & Kavalukas, 2016). Defisiensi zinc dan/atau besi juga
kolagen. Selain itu, kadar besi yang rendah juga secara tidak langsung
sistemik akibat tumor yang mengalami nekrosis atau perforasi maupun kondisi
12
sepsis dibanding malnutrisi lain. Penyebab dari hipoalbumin itu sendiri harus
yang baik dan sesuai, teknik asepsis, perlakuan terhadap jaringan secara lembut,
diseksi jaringan secara tajam, tindakan hemostasis yang baik, penutupan ruang
akurat, dan suplai aliran darah (berbagai faktor yang dikenal sebagai prinsip
pembedahan Halsted) (Barbul, Efron & Kavalukas, 2016; Leong, Murphy &
Phillips, 2017). Sementara itu, durasi operasi lebih dari 4 jam, kontaminasi
intraoperatif, kehilangan darah lebih dari 100 ml, transfusi darah, hipoksia, serta
Enterococcus sp. 500 kali lipat dan bakteri Escherichia coli/Shigella sp. 200 kali
lipat dibanding normal pada lokasi anastomosis, sedangkan jumlah bakteri dalam
lumen tidak banyak berubah. Penelitian lanjutan oleh Shogan et al. membuktikan
dan tertundanya kontraksi luka (Munireddy, Kavalukas & Barbul, 2010; Leong,
Murphy & Phillips, 2017). Peningkatan deposisi kolagen akibat pemanjangan fase
Munireddy, Kavalukas & Barbul, 2010; Leong, Murphy & Phillips, 2017).
pressure yang cukup berarti (Munireddy, Kavalukas & Barbul, 2010; Leong,
Murphy & Phillips, 2017). Hal ini menjadi alasan mengapa mayoritas ahli bedah
peningkatan risiko kebocoran anastomosis hingga 24%. Faktor risiko ini terutama
Secara umum terdapat tiga macam parameter yang dapat digunakan untuk
dan biokimia (Månsson et al., 2002; Thompson, Chang & Jobe, 2006).
(Ikeuchi et al., 1999; Månsson et al., 2002; Thompson, Chang & Jobe, 2006).
minggu setelah operasi (Hendriks & Mastboom, 1990; Ikeuchi et al., 1999;
gembung karena adanya gas atau cairan. Peralatan untuk mengukur bursting
15
pressure terdiri dari sebuah semprit 60 ml berisi udara yang ditempatkan pada
diukur dalam satuan milimeter raksa (mmHg). Cara pengukuran seperti ini
dianggap murah, mudah untuk dilakukan, dan dapat diulang (Hendriks &
penelitian tidak menyebutkan secara lengkap ataupun jelas hal-hal yang berkaitan
2. Usia hewan coba yang digunakan (Watters et al., 1985; Stoop, Dirksen &
Hendriks, 1996);
5. Penggunaan NSAID (Inan, Koca & Şen, 2006) ataupun steroid (Raptis,
2009; Al-Timmemi, Al-Jashamy & Daoud, 2010; Norbury et al., 2012; Yauw
et al., 2015);
Kanellos, 2018);
10. Pemberian cairan kristaloid pada saat anastomosis (Marjanovic et al., 2009);
11. Pembersihan segmen anastomosis dari adhesi (Hendriks & Mastboom, 1990;
de Waard et al., 1995; Stoop, Dirksen & Hendriks, 1996; Siemonsma et al.,
2003; Nursal et al., 2004; Krasniqi et al., 2009; Marjanovic et al., 2009;
12. Waktu dan teknik pengukuran bursting pressure itu sendiri (Ikeuchi et al.,
1999; Okada et al., 1999; Månsson et al., 2002; Tingstedt et al., 2006; Bambo,
13. Besarnya inflasi usus saat pengukuran (Nelsen & Anders, 1966; Hendriks &
pengukuran bursting pressure yang dilakukan secara in vivo (di dalam abdomen)
maupun ex vivo (di luar abdomen) asalkan dilakukan dalam waktu kurang dari 48
jam dan dengan penyimpanan yang baik dalam larutan salin normal. Namun
17
secara in situ (in vivo) pada hewan yang dibius untuk mempertahankan suplai
aliran darah usus serta meminimalkan manipulasi mekanis usus dan kemungkinan
(Christensen, Langfelt & Laurberg, 1993; Månsson et al., 2002; Colak et al.,
2003; Ozel et al., 2006; Krasniqi et al., 2009; Norbury et al., 2012; Durães et al.,
2013; Holmer et al., 2014; Portilla-de Buen et al., 2014; Ntourakis et al., 2015;
vivo dengan batasan waktu tidak lebih dari beberapa menit (sesegera mungkin)
setelah hewan coba dikorbankan (Watters et al., 1985; Stoop, Dirksen &
Hendriks, 1996; Ikeuchi et al., 1999; Siemonsma et al., 2003; Posma et al., 2007;
pressure dan tensile strength. Smith mengevaluasi efek material yang terdrainase
pada anastomosis dan menunjukkan bahwa nilai tensile strength sama besar
terjadi pada titik rapuh anastomosis baik karena nekrosis lokal di daerah yang
kecil maupun kegagalan yang berkaitan dengan teknik operasi sehingga sesuai
keseluruhan dan lebih sesuai untuk menggambarkan fase proliferasi dan maturasi
(Durães et al., 2013). Meskipun terdapat keterbatasan, bursting pressure ini masih
menggambarkan tahanan dinding usus terhadap gaya yang diberikan dengan arah
bertahap dengan arah longitudinal pada segmen anastomosis. Gaya paling besar
strength (Hendriks & Mastboom, 1990; Christensen, Langfelt & Laurberg, 1993;
terhubung dengan tensimeter dan kemudian diberikan gaya tegak lurus terhadap
arah garis anastomosis. Pengukuran tensile strength ini dapat dilakukan dengan
pada metodologi yang digunakan oleh peneliti. Segmen usus diregangkan sampai
koyak dengan gaya yang konstan. Gaya yang diperlukan untuk menyebabkan
rusaknya anastomosis ini disebut dengan tensile strength dan diukur dalam satuan
Maximal Tensile Strength (MaTS) yang diperlukan untuk merusak semua bagian
strength mana yang digunakan dan ada pendapat bahwa tensimeter tidak cocok
untuk dijadikan sebagai alat ukur tensile strength pada anastomosis usus karena
tensimeter tidak cukup sensitif untuk mengukur gaya yang kecil (Bambo, 2009;
Bosmans, 2017). Weiber melaporkan bahwa tensile strength selama 4 hari setelah
strength menurun banyak dalam 2 hari setelah operasi (Högström & Haglund,
1985; Weiber, Jiborn & Zederfeldt, 1994). Penyebab perbedaan hasil pengukuran
5. Teknik pembedahan, jarak antarujung luka, dan lokasi jahitan (Jiborn et al.,
1978; Högström & Haglund, 1985; Ikeuchi et al., 1999; Krasniqi et al., 2009);
6. Jenis benang yang digunakan saat anastomosis (le Grevès et al., 2015);
7. Gaya pengukuran yang ditingkatkan dengan konstan (Jiborn et al., 1978); dan
hari ke-7 setelah operasi sampai 28 hari setelah operasi, sehingga tensile strength
ini dapat digunakan untuk meneliti penyembuhan akhir (fase proliferasi dan
maturasi) dari anastomosis kolon (Weiber, Jiborn, & Zederfeldt, 1994; Durães et
al., 2013; Yamada et al., 2018). Peningkatan tensile strength ini berbanding lurus
dengan akumulasi serabut kolagen (tipe I dan III) (Braskén, 1991; Durães et al.,
2013).
strength = bursting pressure / area luka (Gál et al., 2006), sedangkan untuk
konstanta dianggap 1. Rumus ini merupakan penjabaran dari rumus awal yang
diturunkan dari hukum Laplace yang digunakan oleh Nelsen & Anders (1996),
yakni: bursting pressure = tensile strength / diameter usus (Nelsen & Anders,
1966; Watters et al., 1985; Gong et al., 2017). Beberapa peneliti lain
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara bursting pressure dengan tensile
dinilai dari jumlah epitel glandular, derajat penyembuhan submukosa yang dinilai
tidak ada skor histologis spesifik yang paling sesuai untuk evaluasi mikroskopis
(Bosmans, 2017).
Månsson et al., 2002). Kolagen adalah protein utama yang menyusun komponen
dalam tubuh manusia, serta berperan penting pada setiap fase penyembuhan luka.
di dalam luka yang menentukan stabilitas jaringan secara mekanis (Velnar, Bailey
& Smrkolj, 2009; Holmer et al., 2014). Hydroxyproline adalah asam amino yang
Mastboom, 1990; Thompson, Chang & Jobe, 2006; Munireddy, Kavalukas &
Barbul, 2010).
(scaffold) pada transplantasi kulit oleh Davis pada tahun 1910 (Ganatra, 2003;
Uludag et al., 2009b). Sejak saat itu, membran amnion telah banyak digunakan
et al., 2005; Niknejad et al., 2008; Dobreva et al., 2010; Litwiniuk & Grzela,
2014; Castellanos et al., 2016). Selain sebagai perancah, membran amnion juga
meliputi membran amnion dan membran korionik fetal memisahkan fetus dari
amnion. Membran amnion terdiri dari satu lapis epitel, membran dasar yang tebal,
dan stroma avaskular. Membran amnion tidak mengandung pembuluh darah atau
saraf. Gizi yang diperlukan oleh membran amnion disediakan secara langsung
23
oleh difusi keluar cairan amniotik dan/atau dari desidua yang mendasari. Lapisan
terdalam yang terdekat dengan fetus disebut epitel amnion dan terdiri dari satu
lapis sel yang tersusun secara seragam pada membran dasar. Membran dasar
adalah satu dari membran paling tebal yang ditemukan di seluruh jaringan
manusia. Dukungan yang disediakan untuk fetus oleh membran dasar selama
membentuk rangka fibrous utama membran amnion. Kolagen dari lapisan padat
disekresi oleh sel mesenkim yang terletak di lapisan fibroblas. Kolagen interstisial
(tipe I dan III) mendominasi dan membentuk berkas sejajar yang memelihara
Lapisan tengah (lapisan mirip spons atau zona spongiosa) dari matriks stroma
yang sebagian besar terdiri dari kolagen tipe III. Lapisan seperti spons ini
dipisahkan dari korion dengan diseksi tumpul (Niknejad et al., 2008; Fetterolf &
Snyder, 2012).
2014; Castellanos et al., 2016). Sifat amnion ini masih tetap ada bahkan setelah
meliputi glikoprotein, proteoglikan, serat kolagen (terutama tipe I, III, dan IV),
(dressing) yang penting, yakni (Ganatra, 2003; Toda et al., 2007; Niknejad et al.,
2008; Dobreva et al., 2010; Fetterolf & Snyder, 2012; Duarte & Duval-Araujo,
5. Imunomodulasi;
(KGF), hepatic growth factor (HGF), basic fibroblast growth factor (b-FGF),
energi;
10. Mengurangi eksudat lokal dengan melekat kuat pada luka serta mencegah
11. Nontumorigenik.
26
bermacam faktor pertumbuhan, dan signalling factor seperti tumor necrosis factor
(skin graft) oleh Davis pada tahun 1910 (Uludag et al., 2009b; Litwiniuk &
Grzela, 2014). Sejak itu banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan
membran amnion, bukan hanya sebagai pembalut biologis namun juga sebagai
sebagai bioprostesis, terapi sel, dan kedokteran regeneratif (Talmi, Finkelstein &
Zohar, 1990; Talmi et al., 1991; Fernandes et al., 2005; Niknejad et al., 2008;
Dobreva et al., 2010; Díaz-Prado et al., 2011; Duarte & Duval-Araujo, 2014;
1. Pembalut biologis, terutama pada luka bakar derajat tinggi, luka bakar radiasi,
Intraperitoneal
namun terkadang digunakan secara tidak jelas untuk menjelaskan status klinis
yang disebabkan oleh agen iritasi seperti bakteri, jamur, virus, talk, obat-obatan,
manifestasi lokal yang terjadi sebagai akibat dari peritonitis, sedangkan sepsis
disregulasi respons pejamu terhadap infeksi. Hingga saat ini sepsis masih menjadi
mortalitas yang tinggi (Napolitano, 2018). Lebih dari 5 juta kematian terjadi tiap
tahun akibat sepsis di seluruh dunia dan hampir separuh kematian yang terjadi di
rumah sakit di Amerika Serikat diakibatkan oleh sepsis (Rudd, Delaney & Finfer,
adalah peritonitis sekunder, kondisi yang paling sering dijumpai oleh ahli bedah
umum dalam situasi gawat darurat (Ordoñez & Puyana, 2006; Khan, Dar &
gastrointestinal (Ordoñez & Puyana, 2006; Van Ruler & Boermeester, 2017).
Peritonitis sekunder berat (disebut juga sepsis abdominal) masih bercirikan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi akibat gagal organ multipel (multiple organ
failure, MOF) dari syok septik (Van Ruler & Boermeester, 2017).
Secara umum, terdapat empat golongan model hewan coba untuk sepsis
pejamu terhadap bakteri (dan bukan patogen itu sendiri) yang menyebabkan
mortalitas dan gagal organ. Syok septik dan sindroma disfungsi organ multipel
dan/atau aktivasi sistem imunoinflamasi humoral pejamu serta seluler yang dipicu
yang masuk akal untuk bakteri serta memiliki keuntungan mudah digunakan (dan
secara fisiologis berbeda pada ranah kunci. Sebagai contoh pada satu penelitian
dan menurun dengan cepat setelah perlakuan LPS, sedangkan pada model
sitokin meningkat secara lebih bertahap dan berlangsung lebih lama (Deitch,
2005).
Penelitian lain menunjukkan hasil sitokin yang serupa dan juga tercatat
preklinis agen untuk digunakan pada proses infeksius intraabdomen manusia atau
dengan agen ajuvan semacam barium di dalam pil, kapsul gelatin, atau sebagai
30
bagian dari bekuan fibrin. Bahan ajuvan ini digunakan untuk mencegah
pembersihan cepat bakteri feses oleh pejamu dan untuk memperpanjang proses
penyakit serta memodulasi angka mortalitas. Jika bahan ajuvan tidak diberikan,
Angka mortalitas pada model pil feses ini bergantung pada dosis dan
komposisi bakteri feses yang digunakan, dengan sebagian besar kematian terjadi
dalam 24 hingga 48 jam. Karena jumlah relatif bakteri serta spesies seringkali
bervariasi antara sampel feses yang berbeda, mayoritas peneliti lebih memilih
untuk menggunakan model populasi bakteri yang telah ditetapkan dan diketahui
Escherichia coli yang dicampurkan dengan isi caecum steril (atau ajuvan lain)
2005).
Pada model ini kematian biasanya terjadi dalam 48 jam, dengan angka
menghasilkan sedikit hingga tidak ada mortalitas). Pola mortalitas yang serupa
31
inokulum bakteri serta model pil feses umumnya dihubungkan dengan respons
kardiovaskular hiperdinamis awal yang serupa dengan respons yang diamati pada
pasien sepsis. Selain itu, penelitian yang menggunakan model ini memperlihatkan
selama 5 hari atau lebih, terutama jika diberikan cairan dan antibiotik (Deitch,
2005).
ajuvan. Pada varian peritonitis bakterial ini diperlukan dosis E. coli yang jauh
lebih tinggi (1010 bakteri) dibanding varian yang menggunakan ajuvan, namun
pada penelitian yang tikusnya diterapi antibiotik dan menerima resusitasi cairan,
angka mortalitas berkurang dari hampir 100% menjadi sekitar 20%. Model
inokulum bakteri ini seperti juga model pil feses lebih banyak digunakan sebagai
hanya tikus coba tidak mati, bahkan ketika tikus coba tersebut tidak mendapatkan
antibiotik, abses yang timbul sifatnya terbatas dan biasanya sembuh dengan
model caecal ligation puncture (CLP), yakni caecum diligasi dan ditusuk dengan
jarum. Model CLP pada akhirnya menghasilkan syok septik dengan kematian
yang terjadi 24 hingga 48 jam setelah perlakuan serta dihubungkan dengan sepsis
32
Satu keuntungan model ini adalah angka mortalitas dan waktu kematian
dapat dimodulasi dengan ukuran jarum yang digunakan untuk membuat lubang
pada caecum yang diligasi (makin besar jarum, makin tinggi angka kematian)
seperti juga jumlah tusukan (Otero-Antón et al., 2001; Deitch, 2005). Satu
kelemahan dari model CLP awal adalah hewan coba tidak diberikan cairan
terapi standar pada pasien dengan sepsis abdominal. Namun pada penelitian
selanjutnya CLP dilakukan dengan hewan coba memperoleh cairan resusitasi dan
yang digunakan pada model CLP dapat mengurangi angka mortalitas 50% hingga
75% (Deitch, 2005). Hubungan antara ukuran jarum yang ditingkatkan dan
mortalitas tetap ada pada model CLP bahkan pada hewan yang diterapi antibiotik,
karenanya model CLP ini dianggap sangat bermanfaat dan telah menjadi satu di
dalam penelitian yang mempelajari patofisiologi dan terapi sepsis abdominal serta
akibat sistemiknya (Turnbull et al., 2003; Buras, Holzmann & Sitkovsky, 2005;
Deitch, 2005; Hugunin et al., 2010; Medina, 2010; Dejager et al., 2011; Toscano,
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kondisi CLP adalah latar belakang
genetik dan jenis hewan coba (Godshall et al., 2002; Torres & de Maio; 2005),
usia hewan coba (Turnbull et al., 2003), jenis kelamin hewan coba (Diodato et al.,
2001; Kay et al., 2015), panjang ligasi caecum (Ruiz et al., 2016), serta pemberian
33
melakukan CLP, semua kondisi tersebut di atas beserta parameter teknik harus
digandakan.
ascendent stent peritonitis (CASP). Pada model CASP ini sebuah stent
rongga peritoneum. Adanya stent mencegah lubang pada kolon menutup dan
memastikan kontaminasi feses berlanjut. Mirip dengan model CLP, makin besar
25%. Waktu terjadinya mortalitas juga berkaitan dengan ukuran stent yang
digunakan, yakni mortalitas terjadi lebih dini dengan pemakaian stent berukuran
lebih besar. Model ini memiliki keistimewaan yakni pengangkatan dini stent
menjadikan model ini fleksibel dan penting untuk model penelitian terapetik
preklinis sepsis manusia karena pada pasien kontrol sumber (source control)
merupakan suatu manuver terapetik yang penting (Buras, Holzmann & Sitkovsky,
2005; Deitch, 2005). Chen et al. dalam penelitiannya membuktikan bahwa CLP
maupun CASP menimbulkan kondisi stres oksidatif yang sama seperti stres
KERANGKA PENELITIAN
Fase maturasi
Anastomosis sembuh
34
35
Keterangan:
juga mengakibatkan terganggunya fase proliferasi dan fase maturasi dari proses
anastomosis usus.
growth factor molekul tinggi yang dapat memfasilitasi proliferasi sel epitel,
proses penyembuhan.
baik dibandingkan dengan anastomosis kolon primer tanpa MAK. Adanya MAK
bursting pressure.
3.2. Hipotesis
METODE PENELITIAN
desain randomized post test only control trial pada hewan coba tikus jenis Wistar
murah dan praktis dibanding jenis hewan coba lain karena penanganan dan
amnion segar pada aplikasi klinis berisiko infeksi (Litwiniuk & Grzela, 2014).
Tikus coba akan dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok tanpa
yang sama. Target jumlah tikus coba yang diperiksa untuk masing-masing
requirement) yang diperoleh dari rumus Federer. Sebagai antisipasi bila ada tikus
total didapatkan 40 tikus coba. Semua tikus coba diperlakukan sesuai dengan
aturan Komisi Etik Penelitian/Animal Care and Use Committee (ACUC) Fakultas
37
38
Subjek penelitian adalah tikus coba jenis Wistar (Rattus norvegicus) yang
telah dipilih berjenis kelamin jantan, berusia 10–12 minggu, dengan berat badan
250–300 gram, dan diambil dari Laboratorium Hewan Coba Unit Pengembangan
n: (r – 1) (t – 1) ≥ 15
(r – 1) (2 – 1) ≥ 15
(r – 1) 1 ≥ 15
r ≥ 16
16 tikus. Sebagai antisipasi bila ada tikus coba yang mati ditambahkan 4 tikus
yang digunakan pada penelitian ini, yakni 20 tikus coba untuk kelompok tanpa
membran amnion kering (P) dan 20 tikus coba untuk kelompok dengan membran
Setelah dilakukan evaluasi klinis dan sesuai kriteria inklusi, tikus coba
meyakinkan bahwa tikus coba tidak berpenyakit atau tidak berpotensi menularkan
penyakit.
40
Pada tiap tikus coba diberikan nomor yang diletakkan pada ekor dan
pengacak dengan cara melempar koin. Satu sisi koin dianggap sebagai kelompok
K dan sisi lain sebagai kelompok P. Setiap sisi yang tampak di atas saat koin jatuh
ke lantai akan dicatat pada nomor tikus coba hingga total 40 tikus coba terbagi
Saat melakukan tindakan pada hewan coba, operator hanya diberi instruksi
tikus coba yang mati pada saat pengambilan hasil pada hari ketujuh, maka untuk
membuat kertas undian sejumlah tikus coba yang hidup, 16 kertas bertuliskan
“ya” (diperiksa) dan sisanya bertuliskan “tidak” (tidak diperiksa) untuk tiap
kelompok. Hasil pengundian ini hanya diketahui dan dicatat oleh pengacak.
Semua tikus coba yang terpilih dari undian kemudian dikorbankan untuk
tikus coba tersebut sebelumnya diberikan membran amnion kering atau tidak,
pemeriksa hanya diberi tahu nomor tikus coba. Setelah didapatkan hasil,
2. Tikus sakit, misalnya mata merah, suhu tubuh meningkat, atau sakit kulit.
Terdapat tiga variabel pada penelitian ini, yakni variabel bebas, variabel
1. Tikus coba: jenis tikus, jenis kelamin tikus, usia tikus, berat badan tikus, status
kesehatan tikus
Usia tikus coba dalam satuan minggu diperoleh dari data Laboratorium
Hewan Coba Unit Pengembangan & Penelitian Hewan Lab Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga yang dihitung pada saat tikus coba akan dioperasi.
Berat badan tikus coba dalam satuan gram diukur sesaat sebelum tikus
silk 3/0 (T-Silk 3-0, S61, Triton™) serta membuat perforasi dengan menusukkan
penelitian menerima perlakuan CLP, anastomosis kolon, dan luka operasi ditutup
membran amnion kering yang difiksasi pada serosa kolon dengan 2–3 jahitan, dan
luka operasi ditutup dengan benang multifilamen natural tidak diserap (non-
Lama operasi dalam satuan menit dihitung sejak tikus coba selesai dibius
dengan injeksi Ketamin HCl (Ketalar®, Pfizer) intramuskular dengan dosis 12,5–
dikompensasi oleh jaringan kolon pasca anastomosis yang dinilai secara ex vivo
pada hari ketujuh pasca anastomosis setelah tikus coba dikorbankan dengan
inhalasi eter (Diethyl Ether AR, A-1033, Smart-Lab) dosis tinggi dalam waktu 5
normal (NaCl 0,9%, Ecosol NaCl, B.Braun). Satu ujung kolon dihubungkan ke
dalam cairan salin normal (NaCl 0,9%, Ecosol NaCl, B.Braun). Udara
45
kebocoran dan tekanan saat terjadi kebocoran tersebut dicatat sebagai hasil
multifilamen alami tidak diserap silk 3/0 (T-Silk 3-0, S61, Triton™)
14. Instrumen operasi: pinset chirurgis, pinset anatomis, klem Allis, klem
ditera (dikalibrasi)
tikus coba
1. Dipilih 40 ekor tikus coba jenis Wistar (Rattus norvegicus), berjenis kelamin
jantan, berusia antara 10–12 minggu, dengan berat badan antara 250–300
intramuskular.
3. Tikus coba diposisikan telentang saat kondisi mulai tidak sadar, kemudian
iodine 10% (OneMed) dan Alkohol etil 70% (Alcohol swabs, Onemed).
5. Dilakukan prosedur CLP dengan cara caecum diikat kuat dengan benang
multifilamen alami tidak diserap silk 3/0 (T-Silk 3-0, S61, Triton™) tepat di
bagian distal dari katub ileocaecal (1 cm dari ujung distal), kemudian dibuat
6. Caecum yang terikat ditekan untuk mengeluarkan sedikit feses dari tempat
9. Lapisan otot perut dan kulit ditutup terpisah dengan jahitan satu-satu
10. Setelah operasi, tikus coba diberikan larutan salin normal (NaCl 0,9%) 10 ml
11. Semua tikus coba diberikan makanan standar sesuai diet alaminya dan air 6
jam setelah operasi dan selanjutnya diberikan ad libitum dengan wadah yang
13. Semua tikus pada kedua kelompok tersebut akan dikorbankan pada hari ke-7.
(overdosis).
14. Dilakukan pemeriksaan kultur cairan peritoneum pada semua tikus coba untuk
15. Dilakukan uji untuk menilai kekuatan anastomosis (burst test). Satu ujung
kemudian kolon dibenamkan dalam cairan salin normal (NaCl 0,9%, Ecosol
normal (kebocoran) dan tekanan saat terjadi kebocoran tersebut dicatat sebagai
Sampel:
Tikus Wistar
Randomisasi
Kontrol Perlakuan
Anastomosis kolon tanpa Anastomosis kolon dengan
pemberian membran amnion pemberian membran amnion
Analisis
Dicatat usia tikus, berat badan tikus, lama operasi, dan bursting pressure.
Untuk menjamin validitas, pada penilaian variabel penelitian dipilih alat dan
bahan uji yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, konsisten,
SPSS® versi 25.0 (Special Package for Social Sciences, IBM SPSS Statistics).
Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dicatat dan dianalisis dengan uji
melihat perbedaan antara kedua kelompok. Jika data tidak terdistribusi normal (p
perbedaan antara kedua kelompok. Hasil uji statistik signifikan (ada hubungan
Universitas Airlangga.
Beberapa implikasi etik pada tikus coba yang mendapat perlakuan dan
penelitian pada tikus coba meliputi perilaku tikus coba dan tanda-tanda
52
klinis penting setelah perlakuan CLP dan anastomosis kolon, serta setelah
dibius.
eutanasia, dan sisa-sisa jaringan) akan dikelola sesuai dengan standar yang
Universitas Airlangga.
BAB 5
HASIL PENELITIAN
norvegicus), berjenis kelamin jantan yang telah dipilih dengan usia antara 10–12
minggu dan berat badan antara 250–300 gram. Sampel penelitian dipilih dari
tempat lahir yang sama, dibesarkan di tempat yang sama, serta diberi makanan
Pada kelompok K satu ekor tikus coba mati pada hari kedua dan dua ekor
tikus coba mati pada hari ketiga. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan
kebocoran anastomosis secara makros. Ketiga tikus coba yang mati tersebut tidak
diperiksa lebih lanjut dan jumlah tikus coba yang diperiksa adalah sejumlah
yakni 16 dari 17 tikus coba pada kelompok K dan 16 dari 20 tikus coba pada
peritoneum yang menunjukkan bakteri flora campuran antara aerob dan anaerob,
53
54
Rerata usia dan berat badan sampel penelitian serta lamanya operasi untuk
32 tikus coba yang terpilih dari pengundian tercantum dalam tabel 5.1 di bawah
ini.
didapatkan rerata usia tikus coba kelompok sampel K adalah 11,06 minggu dan
rerata usia tikus coba kelompok sampel P adalah 11,19 minggu. Dari data ini
kemudian dilakukan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk (n < 50) yang
hasilnya adalah p < 0,05 (secara berurutan, p < 0,001 dan p < 0,0001). Hal ini
menunjukkan bahwa usia tikus coba pada kedua kelompok sampel memiliki
distribusi tidak normal, maka uji statistik untuk membandingkan keduanya adalah
uji Mann-Whitney U. Hasil uji Mann-Whitney U pada data usia tikus coba adalah
p > 0,05 (p = 0,657), artinya usia tikus coba pada kelompok sampel K dan P tidak
Telah dilakukan pula analisis data pada berat badan tikus coba dan
didapatkan rerata berat badan tikus coba kelompok sampel K adalah 276,56 gram
dan rerata berat badan tikus coba kelompok sampel P adalah 275,63 gram. Dari uji
normalitas data Shapiro-Wilk (n < 50) didapatkan p > 0,05 (secara berurutan p =
0,411 dan p = 0,086). Hal ini menandakan bahwa data berat badan tikus coba pada
kedua kelompok sampel memiliki distribusi normal. Maka uji statistik untuk
55
berat badan tikus coba menunjukkan bahwa p > 0,05 (p = 0,831). Artinya bahwa
berat badan tikus coba pada kelompok sampel K dan P tidak berbeda secara
Rerata lama operasi pada tikus coba kelompok sampel K adalah 20,25
menit dan rerata lama operasi pada tikus coba kelompok sampel P adalah 20,31
menit. Dari uji normalitas data Shapiro-Wilk didapatkan hasil secara berurutan p
= 0,045 dan p = 0,026. Sehingga nilai p < 0,05, sehingga disimpulkan bahwa
sebaran data lama operasi pada tikus coba terdistribusi tidak normal, dengan
U. Hasil uji Mann-Whitney U pada data lama operasi menunjukkan bahwa p >
0,05 (p = 0,906). Artinya bahwa lama operasi pada tikus coba di kelompok sampel
pressure. Rerata hasil pengukuran bursting pressure tercantum dalam tabel 5.2 di
bawah ini.
14,93 mmHg dan rerata bursting pressure tikus coba kelompok sampel P adalah
146,56 ± 15,14 mmHg. Dari uji normalitas data Shapiro-Wilk (n < 50) didapatkan
p > 0,05 (secara berurutan p = 0,501 dan p = 0,626). Hal ini menandakan bahwa
data bursting pressure tikus coba pada kedua kelompok sampel memiliki
distribusi normal. Maka uji statistik untuk membandingkan keduanya adalah uji t-
amnion.
BAB 6
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini digunakan model caecal ligation puncture (CLP) untuk
CLP merupakan model peritonitis yang paling baik dan paling banyak
digunakan (gold standard) (Buras, Holzmann & Sitkovsky, 2005; Deitch, 2005).
CLP merupakan model sepsis intraperitoneal pada hewan coba dan menyerupai
situasi klinis perforasi usus serta infeksi bakteri yang berasal dari usus sendiri.
Pada model CLP terjadi fase hiperdinamik awal (hingga 10 jam setelah CLP) dan
fase hipodinamik akhir (12 hingga 30 jam setelah CLP), seperti yang terjadi pada
manusia (Buras, Holzmann & Sitkovsky, 2005; Uludag et al., 2009a). Manfaat
lain dari model CLP adalah angka mortalitas bisa diatur menggunakan jumlah
tusukan dan ukuran jarum yang digunakan untuk membuat perforasi pada caecum
yang diligasi (semakin lebar diameter jarum atau semakin banyak jumlah
perforasi, semakin tinggi angka mortalitas) (Deitch, 2005; Uludag et al., 2009a).
sebanyak 1 tusukan. Angka mortalitas ini sesuai dengan penelitian Uludag et al.
57
58
mengenai jumlah perforasi dan mortalitas yang terjadi akibat CLP. Tsukagoshi et
al. (1999) mencatat mortalitas 9,8% dengan perlakuan CLP menggunakan jarum
95% dengan perlakuan CLP insisi 0,5 cm, mortalitas 50% dengan perlakuan CLP
(Deitch, 2005).
model inokulum bakteri karena lebih mudah dilakukan dan bakteri yang diberikan
merupakan bakteri dari usus hewan coba itu sendiri (Dejager et al., 2011). Teknik
menjahitkan jarum infus ukuran 18 G pada kolon asenden dan fiksasi dengan
benang ukuran 7/0. Dari penelitian tersebut didapatkan CLP dan CASP dapat
menstimulasi terjadinya sepsis. Hal ini dapat dilihat dari reaksi inflamasi, hasil
hasil penelitian, karena itu sampel penelitian dibuat sehomogen mungkin untuk
59
menghindari bias. Hewan coba dipilih dari tempat yang sama dan diberi makanan
yang sama. Pada penelitian ini dipilih 40 ekor tikus jantan jenis Wistar, 20 tikus
biologis membran amnion kering dan 20 tikus diberikan perlakuan CLP serta
kering.
Uji Mann-Whitney U pada usia tikus dan lama operasi serta uji t
Independen pada berat badan tikus memberikan hasil bahwa usia tikus coba, berat
badan tikus coba, dan lama operasi meskipun bervariasi tetapi masih homogen
sehingga tidak didapatkan bias dari perbedaan usia tikus, berat badan tikus,
merupakan dua metode penilaian mekanis yang paling sering digunakan pada
metode mana yang lebih unggul (Durães et al., 2013). Peneliti memilih untuk
secara progresif selama 5–6 hari pasca operasi sehingga lebih sesuai untuk
fase proliferasi hingga minggu ke-4 (lebih dari 25 hari) saat terjadi pengaturan
dan paling sering pada fase inflamasi, sehingga bursting pressure lebih baik
anastomosis.
(di luar abdomen) karena tidak berbeda hasilnya dengan pengukuran secara in
vivo asalkan dilakukan dalam waktu kurang dari 48 jam dan dengan penyimpanan
yang baik dalam larutan salin normal (Watters et al., 1985). Raptis et al. dalam
faktor risiko, baik faktor pasien maupun faktor operatif (McDermott et al., 2016;
ataupun sepsis dapat meningkatkan risiko kebocoran anastomosis hingga 4,6 kali
melekat kuat pada luka, serta mencegah adhesi antara struktur neural dan
sebagai pelindung anastomosis (Ganatra, 2003; Toda et al., 2007; Niknejad et al.,
2008; Dobreva et al., 2010; Fetterolf & Snyder, 2012; Duarte & Duval-Araujo,
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi bursting pressure pada hari ke-7
pasca perlakuan dan didapatkan peningkatan nilai bursting pressure pada jaringan
dengan bursting pressure pada jaringan anastomosis kolon yang tidak dibalut
membran amnion kering. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa perbedaan ini
signifikan (p = 0,029).
menurunkan infiltrasi sel-sel inflamasi (Dobreva et al., 2010). Sisi epitelial dari
berfungsi sebagai graft (Duarte & Duval-Araujo, 2014). Uludag et al. (2009b)
perbedaan nilai bursting pressure yang besar (> 30 mmHg) antara anastomosis
terdapat pada cairan amnion jumlahnya sangat berkurang ketika amnion ini
dikeringkan, sehingga secara klinis pada penelitian ini perbedaan nilai bursting
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
anastomosis kolon primer yang dibalut dengan membran amnion kering pada
kondisi infeksi intraperitoneal memberikan nilai bursting pressure yang lebih baik
7.2. Saran
63
DAFTAR PUSTAKA
<https://www.researchgate.net/profile/Magnus_Agren2/publication/529208
7_Effect_of_parenteral_zinc_sulfate_on_colon_anastomosis_repair_in_the_
rat/links/582abca908aef19cb805fe8c/Effect-of-parenteral-zinc-sulfate-on-
colon-anastomosis-repair-in-the-rat.pdf>.
10 Desember 2018,
<http://downloads.hindawi.com/journals/vmi/2010/139610.pdf>.
Bambo, OR, 2009, ‘Intestinal anastomosis wound healing after platelet rich
http://www.tesisenred.net/bitstream/handle/10803/5748/orb1de1.pdf?sequen
ce=1>.
Brunicardi, FC, Andersen, DK, Billiar, TR, Dunn, DL, Hunter, JG,
64
65
183891-7.
9610(02)01418-6.
<https://cris.maastrichtuniversity.nl/portal/files/8203453/c5621.pdf>.
Buras, JA, Holzmann, B & Sitkovsky, M, 2005, ‘Animal models of sepsis: setting
the stage’, Nature Reviews Drug Discovery, vol. 4, no. 10, hal. 854–865,
DOI: 10.1038/nrd1854.
2018 <https://api.intechopen.com/chapter/pdf-download/51868>.
Chen, L, Xu, K, Gui, Q, Chen, Y, Chen, D & Yang, Y, 2016, ‘Probiotic pre-
2018 <https://www.spandidos-publications.com/etm/12/3/1836/download>.
Chen, L, Cao, D, Liu, E, Xiao, C, Xiong, M & Kou, Q, 2017, ‘Rat model of cecal
<https://file.scirp.org/pdf/AID_2017091814483269.pdf>.
suture in “ex vivo” swine’, Journal of Coloproctology, vol. 38, no. 1, hal.
cdn.com/S2237936317300825/1-s2.0-S2237936317300825-
main.pdf?_tid=920d5160-37cf-42d3-802a-
ba994a63ca16&acdnat=1548733970_cffd5f23951d286b9aef808f150f6cee>.
67
De Waard, JWD, Wobbes, T, de Man, BM, van der Linden, CJ & Hendriks, T,
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2034010/pdf/brjcancer00
042-0204.pdf>.
Deitch, EA, 2005, ‘Rodent models of intra-abdominal infection’, Shock, vol. 24,
Desember 2018
<https://pdfs.journals.lww.com/shockjournal/2005/12001/RODENT_MOD
ELS_OF_INTRA_ABDOMINAL_INFECTION.4.pdf>.
<https://core.ac.uk/download/pdf/61915115.pdf>.
Diodato, MD, Knöferl, MW, Schwacha, MG, Bland, KI & Chaudry, IH, 2001,
haemorrhage and subsequent sepsis’, Cytokine, vol. 14, no. 3, hal. 162–169,
DOI: 10.1006/cyto.2001.0861.
68
Dobreva, MP, Pereira, PNG, Deprest, J & Zwijsen, A, 2010, ‘On the origin of
<http://www.ijdb.ehu.es/web/descarga/paper/092935md>.
<https://www.researchgate.net/publication/262646410_Amniotic_membran
e_as_a_biological_dressing_in_infected_wound_healing_in_rabbits>.
Dubay, DA & Franz, MG, 2003, ‘Acute wound healing: the biology of acute
wound failure’, Surgical Clinics of North America, vol. 83, no. 3, hal. 463–
<https://pdfs.semanticscholar.org/4b59/6c067a415d77b91847425ee27d8eae
4b8813.pdf>.
Durães, LdC, Durães, EFR, Lobato, LFdC, de Oliveira, PG & de Sousa, JB, 2013,
anastomosis', Acta Cirúrgica Brasileira, vol. 28, no. 6, hal. 447–452, DOI:
<http://www.scielo.br/pdf/acb/v28n6/08.pdf>.
peritonitis: back to the roots!’, Intensive Care Medicine, vol. 40, no. 2, hal.
<https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2Fs00134-013-3155-
x.pdf>.
Fallon, EM, Nehra, D, Carlson, SJ, Brown, DW, Nedder, AP, Rueda, BR &
Fetterolf, DE & Snyder, RJ, 2012, ‘Scientific and clinical support for the use of
<http://www.woundsresearch.com/files/wounds/WOUNDS_October2012_F
etterolf.pdf>.
Jr., Gál, T & Sabo, J, 2006, ‘Early changes in the tensile strength and
<http://gynpo.lf1.cuni.cz/Data/files/folia_biologica/volume_52_2006_4/FB2
006A0014.pdf>.
Medical Association, vol. 53, no. 1, hal. 29–32, diakses 20 Desember 2018
<http://www.jpma.org.pk/PdfDownload/2029.pdf>.
Godshall, CJ, Scott, MJ, Peyton, JC, Gardner, SA & Cheadle, WG, 2002, ‘Genetic
10.1006/jsre.2001.6319.
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5526050/pdf/etm-14-02-
0995.pdf>.
anastomoses: parameters for repair’, Diseases of the Colon & Rectum, vol.
experimental study in rats’, Journal of Surgical Research, vol. 44, no. 2, hal.
2017 <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3911698>.
sealed and sutured with a collagen fleece in a rat peritonitis model’, Asian
<https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1015958413000651/pd
fft?md5=ccc962dc8185990ef8a3be8e5d19ffc2&pid=1-s2.0-
S1015958413000651-main.pdf>.
Hugunin, KMS, Fry, C, Shuster, K & Nemzek, JA, 2010, ‘Effects of tramadol and
10.1097/SHK.0b013e3181cdc412.
<https://ac.els-cdn.com/S1743919106000033/1-s2.0-S1743919106000033-
main.pdf?_tid=f83c4536-85bf-4f3e-ba87-
f9ddfcf68a57&acdnat=1548734006_1ce6ad5a6c0a93af2b92fa43739d7268>
Jensen, JS, Petersen, NB, Biagini, M, Bollen, P & Qvist, N, 2015, ‘Infliximab
10.1016/j.jss.2014.07.022.
anastomoses. II. Breaking strength of the colon after left colon resection and
anastomosis’, The American Journal of Surgery, vol. 136, no. 5, hal. 595–
Karliczek, A, Benaron, DA, Zeebregts, CJ, Wiggers, T & van Dam, GM, 2009,
10.1016/j.jss.2008.04.017.
10.1189/jlb.3A1214-601RR.
Khan, PS, Dar, LA & Hayat, H, 2013, ‘Predictors of mortality and morbidity in
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4379808/pdf/ucd-29-3-
124.pdf>.
2017, <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2852382/pdf/1754-
9493-4-5.pdf>.
2017,
<https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1743919108001441/pd
fft?md5=35c1460528540cebe227fd2a0e858b02&pid=1-s2.0-
S1743919108001441-main.pdf>.
<https://journals.plos.org/plosone/article/file?id=10.1371/journal.pone.0180
377&type=printable>.
Le Grevès, SS, Bremseth, PL, Biagini, M, Holst, R & Qvist, N, 2015, ‘Effect of
rabbit small intestine’, International Surgery, vol. 100, no. 11, hal. 1435–
Litwiniuk, M & Grzela, T, 2014, ‘Amniotic membrane: New concepts for an old
dressing’, Wound Repair and Regeneration, vol. 22, no. 4, hal. 451–456,
DOI: 10.1111/wrr.12188.
0392-9.
McCracken, TO, Kainer, RA & Carlson, D, 2008, ‘The Rat’, dalam: Color Atlas
McDermott, FD, Heeney, A, Kelly, ME, Steele, RJ, Carlson GL & Winter, DC,
McDermott, FD, Arora, S, Smith, J, Steele, RJC, Carlson, GL & Winter, DC,
<https://www.acpgbi.org.uk/content/uploads/2016/03/management-of-
colorectal-anastomtic-leakage.pdf>.
ligation and puncture (CLP)’, dalam: Proetzel, G & Wiles, MV (ed.), Mouse
Models for Drug Discovery: Methods and Protocols, Humana Press, New
057-1.
Napolitano, LM, 2018, ‘Sepsis 2018: definitions and guideline changes’, Surgical
Nelsen, TS & Anders, CJ, 1966, ‘Dynamic aspects of small intestinal rupture with
engineering’, European Cells and Materials, vol. 15, hal. 88–99, DOI:
<https://www.ecmjournal.org/papers/vol015/pdf/v015a07.pdf>.
Norbury, KC, Kilpadi, DV, Collins, BA & Cunningham, MR, 2012, ‘Burst
pressure therapy’, Surgical Innovation, vol. 19, no. 2, hal. 181–186, DOI:
10.1177/1553350611418254.
<https://www.researchgate.net/publication/282945044_Adhesions_and_Hea
ling_of_Intestinal_Anastomoses_The_Effect_of_Anti-Adhesion_Barriers>.
Nursal, TZ, Anarat, R, Bircan, S, Yildirim, S, Tarım, A & Haberal, M, 2004, ‘The
10.1016/j.amjsurg.2003.02.007.
77
10.1046/j.1365-2168.1999.01161.x.
94be-2cfeb168c347@7>.
Ordoñez, CA & Puyana, JC, 2006, ‘Management of peritonitis in the critically ill
patient’, Surgical Clinics of North America, vol. 86, no. 6, hal. 1323–1349,
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3413265/pdf/nihms21030
2.pdf>.
Pérez, LF, 2001, ‘Cecal ligation and puncture as a model of sepsis in the rat:
tumor necrosis factor alpha levels’, European Surgical Research, vol. 33,
Ozel, SK, Kazez, A & Akpolat, N, 2006, ‘Does a fibrin-collagen patch support
<https://www.researchgate.net/publication/6820607_Does_a_fibrin-
collagen_patch_support_early_anastomotic_healing_in_the_colon_An_expe
rimental_study>.
78
origin’, Scandinavian Journal of Surgery, vol. 96, no. 3, hal. 184–196, DOI:
<http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/145749690709600302>.
leakage’, Danish Medical Journal, vol. 61, no. 3, hal. B4821, diakses 1
11/b4821.pdf>.
<https://www.revistas.usp.br/clinics/article/viewFile/79415/83470>.
Posma, LAE, Bleichrodt, RP, van Goor, H & Hendriks, T, 2007, ‘Transient
anastomoses in the rat’, Diseases of the Colon & Rectum, vol. 50, no. 7, hal.
Raptis, D, Pramateftakis, M-G & Kanellos, I, 2018, ‘Our 20-year experience with
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5909939/pdf/JMedLife-
11-005.pdf>.
79
Rudd, KE, Delaney, A & Finfer, S, 2017, ‘Counting sepsis, an imprecise but
experimental.springeropen.com/track/pdf/10.1186/s40635-016-0096-z>.
Desember 2017
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5027898/pdf/nihms81626
9.pdf>.
Shogan, BD, Smith, DP, Christley, S, Gilbert, JA, Zaborina, O & Alverdy, JC,
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4171717/pdf/2049-2618-
2-35.pdf>.
80
intestinal anastomosis in the rat’, Surgery, vol. 133, no. 3, hal. 268–276,
DOI: 10.1067/msy.2003.27.
Slieker, JC, Daams, F, Mulder, IM, Jeekel, J & Lange, JF, 2013. ‘Systematic
2017 <https://jamanetwork.com/journals/jamasurgery/fullarticle/1654856>.
Smith, SRG, Connolly, JC, Crane, PW & Gilmore, OJA, 1982, ‘The effect of
Stoop, M-J, Dirksen, R & Hendriks, T, 1996, ‘Advanced age alone does not
suppress anastomotic healing in the intestine’, Surgery, vol. 119, no. 1, hal.
<http://repository.ubn.ru.nl/bitstream/handle/2066/22507/22507___.PDF>.
Talmi, YP, Finkelstein, Y & Zohar, Y, 1990, ‘Use of human amniotic membrane
leak’, Clinics in Colon and Rectal Surgery, vol. 29, no. 2, hal. 138–144,
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4882170/pdf/10-1055-s-
0036-1580630.pdf>.
Thompson, SK, Chang, EY & Jobe, BA, 2006, ‘Clinical review: healing in
gastrointestinal anastomoses, part I’, Microsurgery, vol. 26, no. 3, hal. 131–
0053-x.
<https://www.jstage.jst.go.jp/article/jphs/105/3/105_CR0070034/_pdf/-
char/en>.
Toscano, MG, Ganea, D & Gamero, AM, 2011, ‘Cecal ligation puncture
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3339843/pdf/jove-51-
2860.pdf>.
82
<http://anesthesiology.pubs.asahq.org/article.aspx?articleid=1946086>.
cecal ligation and puncture’, Shock, vol. 19, no. 4, hal. 310–313, DOI:
10.1097/01.shk.0000046088.26538.6e.
2016
<https://www.researchgate.net/publication/23951421_Effects_of_amniotic_
membrane_on_the_healing_of_primary_colonic_anastomoses_in_the_cecal
_ligation_and_puncture_model_of_secondary_peritonitis_in_rats>.
<https://www.researchgate.net/publication/24195141_Effects_of_amniotic_
83
membrane_on_the_healing_of_normal_and_high-
risk_colonic_anastomoses_in_rats>.
peritonitis: a continuing problem’, Der Chirurg, vol. 88, sup. 1, hal. S1–S6,
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5233781/pdf/104_2015_
Article_121.pdf>.
<http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/147323000903700531>.
Verhofstad, MHJ, Lange, WP, van der Laak, JAWM, Verhofstad, AAJ &
intestine of normal and diabetic rats’ Diseases of the Colon & Rectum, vol.
Watters, DAK, Smith, AN, Eastwood, MA, Anderson, KC & Elton, RA, 1985,
‘Mechanical properties of the rat colon: the effect of age, sex and different
28 Juni 2018
<https://s3.amazonaws.com/objects.readcube.com/articles/downloaded/wile
y/248f179bcce898f777a5134140433e0cd76febeebb84b7967144242170e8e7
bd.pdf>.
84
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8186314>.
Winsey, K, Simon, RJ, Levenson, SM, Seifter, E & Demetriou, AA, 1987, ‘Effect
10.1097/01.CCM.0000081436.09826.A4.
<https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0899900717301624/pd
fft?md5=3eb17fc2f604b77d6657bccd62445156&pid=1-s2.0-
S0899900717301624-main.pdf>.
10.1002/bjs.9776.
Jadwal Penelitian
2018
No Kegiatan
Juli Agustus September Oktober November Desember
1. Persiapan Penelitian
a. Penyusunan & pengajuan judul penelitian
b. Pengajuan proposal penelitian
c. Perijinan penelitian
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Persiapan & perlakuan hewan coba
b. Pengumpulan data penelitian
c. Pengolahan dan analisis data penelitian
3. Pelaporan Penelitian
86
LAMPIRAN 2
Biaya Penelitian
87
LAMPIRAN 3
Etik Penelitian
88
LAMPIRAN 4
Dokumentasi Penelitian
89
LAMPIRAN 5
1. Membran amnion segar diambil dari ibu dengan persalinan seksio sesaria
dengan cairan salin normal yang berisi streptomisin 50 μg/ml dan penisillin 50
pada suhu 4°C untuk kemudian dilakukan ekstraksi sebelum 24 jam. Membran
amnion ini dikirim ke laboratorium dalam tabung steril dengan es kering (dry
ice).
90
LAMPIRAN 6
1. Distribusi Usia
Usia Kelompok Tanpa Amnion Usia Kelompok Dengan Amnion
Tikus
(minggu) (minggu)
1 11 10
2 10 12
3 12 12
4 10 12
5 12 12
6 11 10
7 11 10
8 12 10
9 10 11
10 10 12
11 12 11
12 11 12
13 12 12
14 10 12
15 11 10
16 12 11
2. Deskriptif Usia
Statistics Frequency
Usia Kelompok Tanpa Usia Kelompok Dengan
Amnion Amnion
Valid 16 16
N
Missing 16 16
Mean 11.06 11.19
Median 11 11.5
Mode 12 12
Std. Deviation .854 .911
Range 2 2
Minimum 10 10
Maximum 12 12
91
92
Test Statisticsa
Usia Tikus (minggu)
Mann-Whitney U 117.000
Wilcoxon W 253.000
Z -.444
Asymp. Sig. (2-tailed) .657
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .696b
a. Grouping Variable: Treatment group
b. Not corrected for ties.
93
Test Statisticsa
Lama Operasi
(menit)
Mann-Whitney U 125.000
Wilcoxon W 261.000
Z -.118
Asymp. Sig. (2-tailed) .906
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .626b
a. Grouping Variable: Group
b. Not corrected for ties.
97