i
ii
Universitas Indonesia
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema potongan sagital nasofaring .............................................................. 7
Gambar 2.2 Skema potongan koronal (kanan) dan aksial (kiri) nasofaring ..................... 7
Gambar 2.3 Gambaran CT scan nasofaring normal ......................................................... 8
Gambar 2.4 Gambaran histologi nasofaring normal. Tampak nodul jaringan limfoid dan
epitel skuamosa berstratifikasi.......................................................................................... 9
Gambar 2.5 Fotomikrografi nodul limfoid tonsil faringeal. ........................................... 10
Gambar 2.6 Histopatologi karsinoma skuamosa sel tidak berkeratin subtipe tidak
berdiferensiasi ................................................................................................................. 14
Gambar 2.7 Histopatologi Karsinoma Sel Skuamosa tidak berkeratin subtipe tidak
berdiferensiasi ................................................................................................................. 14
Gambar 2.8 Histopatologi karsinoma sel skuamosa nasofaring berkeratin.................... 15
Gambar 2.9 Histopatologi karsinoma sel skuamosa basaloid. ....................................... 16
Gambar 2.10 Skema korelasi rute penyebaran (area hijau) dengan gejala klinis (area biru)
karsinoma nasofaring ...................................................................................................... 17
Gambar 2.11 Gambaran CT scan dengan kontras karsinoma nasofaring ...................... 20
Gambar 2.12 Skema sagittal dan aksial potensial jalur penyebaran (tanda panah)
karsinoma nasofaring ...................................................................................................... 20
Gambar 2.13 CT scan kontras karsinoma nasofaring, perluasan perineural sepanjang
nervus maksilaris ............................................................................................................ 20
Gambar 2.14 Histopatologi hipertrofi adenoid dewasa dan anak ................................... 23
Gambar 2.15 CT scan hipertrofi adenoid potong koronal (kanan) dan aksial (kiri) ...... 24
Gambar 2.16 CT scan hipertrofi adenoid asimetris potongan koronal ........................... 24
Gambar 2.17 Morfologi sel anaplastik. .......................................................................... 25
Gambar 2.18 Karsinoma sel skuamosa kulit berdiferensiasi baik. ................................. 27
Gambar 2.19 Proses “Angiogenic Switch” .................................................................... 27
Gambar 2.20 Karakteristik morfologi dan fungsional vaskular tumor dibandingkan
pembuluh darah normal. ................................................................................................. 28
Gambar 2.21 Parameter First Order Texture Analysis berbasis statistik. ...................... 29
Gambar 2.22 Diagram 2 gambar pola berbeda tetapi histogram grey-level yang sama . 30
Gambar 2.23 Empat arah sudut yang dikalkulasi untuk menilai hubungan spasial
pasangan voxel ............................................................................................................... 32
Gambar 2.24 Contoh gambar dengan 8 tingkat intensitas grey-level dikonversi menjadi
grey-level co-occurrence matrix ke 3 arah. .................................................................... 32
Gambar 2.25 Contoh gambar dengan nilai parameter tekstur tinggi dan rendah
berdasarkan formula yang dikembangkan Haralick ....................................................... 35
Gambar 2.26 Parameter tekstur pada dua gambar pencitraan satelit yang berbeda ....... 35
Gambar 2.27 Tampilan perangkat lunak LIFEx versi 6.20 ............................................ 41
Gambar 2.28 Pengaturan parameter gambar dan texture analysis.................................. 42
Gambar 2.29 Pengaturan parameter texture analysis yang dikalkulasi .......................... 42
Gambar 2.30 Keterangan validitas texture check ........................................................... 43
Gambar 2.31 Contoh gambaran data hasil analysis........................................................ 43
Gambar 3.1 Pengaturan parameter LIFEx ...................................................................... 51
Gambar 3.2 Penempatan ROI pada tumor dengan freehand (Pencil2D) ........................ 51
Gambar 4.1 Histogram usia subjek................................................................................. 56
Universitas Indonesia
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Distribusi diagnosis patologi penelitian Bercin et al ...................................... 10
Tabel 2.2 Distribusi diagnosis patologi penelitian Arslan et al ...................................... 11
Tabel 2.3 Definisi Tumor Primer (T) ............................................................................. 17
Tabel 2.4 Definisi kelenjar limfe regional (N) ............................................................... 18
Tabel 2.5 Definisi metastasis (M) .................................................................................. 18
Tabel 2.6 Kelompok Prognostik Staging American Joint Committee on Cancer .......... 18
Tabel 2.7 Terapi Karsinoma Nasofaring berdasarkan stadium ...................................... 19
Tabel 3.1 Waktu Penelitian. ........................................................................................... 46
Tabel 3.2 Perkiraan besar sampel penelitian .................................................................. 47
Tabel 4.1 Sebaran subjek menurut karakteristik dan kelompok penelitian .................... 56
Tabel 4.2 Histopatologi kelompok KNF ........................................................................ 57
Tabel 4.3 Distribusi subjek KNF berdasarkan perluasan lesi (T)................................... 57
Tabel 4.4 Hasil analisis parameter histogram ................................................................. 58
Tabel 4.5 Hasil analisis parameter GLCM ..................................................................... 58
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
Texture analysis (TA) merupakan suatu metode matematika yang digunakan untuk
menganalisis distribusi dan hubungan pixel atau voxel gray level suatu gambar, yang
dapat diaplikasikan pada hasil CT untuk menilai secara kuantitatif heterogenitas tumor
yang kadang sulit dinilai secara visual (kualitatif).4,8 Berbagai metode TA yang telah
diterapkan berbasis statistik, model, dan transformasi. Metode berbasis stastistik
merupakan teknik yang paling banyak digunakan, baik dengan perangkat lunak komersial
maupun buatan sendiri dalam menilai grey-level pada gambar. Metode statistik dibagi
menjadi 3 jenis tingkat yaitu first order, second order dan higher order. Parameter CTTA
statistik yang paling sering digunakan untuk penilaian heterogenitas adalah nilai
histogram terdiri dari mean, kurtosis, skewness merupakan first order dan nilai grey level
co-occurencce matrix (GLCM) terdiri dari homogeinity, energy, contrast, correlation,
entropy yang merupakan second order.9
Banyak penelitian yang telah dilakukan beberapa tahun terakhir dengan
menggunakan Texture Analysis di bidang onkologi kepala dan leher untuk membedakan
karakteristik tumor, jinak atau ganas, menilai respon terapi serta memprediksi prognosis
pasien.2,4,5,7,10–13 Tsai et al4 menggunakan CTTA untuk mendiferensiasi KNF dengan
jaringan adenoid normal di nasofaring dimana nilai histogram, nilai GLCM, nilai Gray-
level run-length (GLRL) dan nilai Gray-level gradient matrix (GLGM) dapat bermanfaat
untuk mendeteksi KNF. Kuno et al12 menggunakan CTTA untuk memprediksi kegagalan
kemoradioterapi pada karsinoma sel skuamosa (KSS) kepala dan leher dimana beberapa
nilai histogram dan nilai Gray-level run length matrix (GLRLM) berasosiasi dengan
kegagalan kemoradioterapi . Penelitian lain oleh Fujita et al13 memanfaatkan CTTA untuk
membedakan kanker kepala dan leher non-orofaringeal antara HPV positif dan HPV
negatif dimana beberapa nilai histogram, GLCM, GLGM, GLRL dan GLRLM ditemukan
signifikan sehingga berpotensi menilai perbedaan morfologi pada tumor berhubungan
dengan HPV. Sepengetahuan penulis hingga saat ini belum ada penelitian yang
menggunakan CTTA untuk membantu membedakan antara KNF dengan nasofaringitis
kronis.
Tumor ganas memiliki heterogenitas yang lebih tinggi dibandingkan lesi jinak karena
tingkat selularitas, angiogenesis, matriks ekstravaskular ekstraselular dan area nekrosis
yang lebih tinggi.8 Penelitian ini akan menggunakan metode CTTA berbasis stastistik
Universitas Indonesia
3
berupa nilai histogram dan GLCM untuk membandingkan antara KNF dengan
nasofaringitis kronis.
Universitas Indonesia
4
b. Apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM energy dengan nilai GLCM
energy nasofaringitis kronis?
c. Apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM contrast dengan nilai GLCM
contrast nasofaringitis kronis?
d. Apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM correlation dengan nilai GLCM
correlation nasofaringitis kronis?
e. Apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM entropy dengan nilai GLCM
entropy nasofaringitis kronis?
Universitas Indonesia
5
2. Mengetahui apakah terdapat perbedaan antara nilai GLCM KNF dengan nilai GLCM
nasofaringitis kronis.
a. Membandingkan nilai GLCM homogeinity dengan nilai GLCM homogeinity
nasofaringitis kronis?
b. Membandingkan nilai GLCM energy dengan nilai GLCM energy nasofaringitis
kronis?
c. Membandingkan nilai GLCM contrast dengan nilai GLCM contrast
nasofaringitis kronis?
d. Membandingkan nilai GLCM correlation dengan nilai GLCM correlation
nasofaringitis kronis?
e. Membandingkan nilai GLCM entropy dengan nilai GLCM entropy
nasofaringitis kronis?
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.2 Skema potongan koronal (kanan) dan aksial (kiri) nasofaring 14
7
8
Batas lateral dan posterior nasofaring merupakan kelanjutan dari dinding lateral dan
posterior orofaring. Sepanjang dinding lateral nasofaring terdapat dua indentasi dan satu
protrusi ke lumen. Kedua indentasi (resessus) tersebut adalah orifisium tuba eustasius dan
resessus lateral faring yang sering disebut sebagai fossa Rossenmuller, sedangkan
protrusi tersebut adalah torus tubarius yang merupakan bagian kartilago dari tuba
eustasius. Pada potongan aksial dan koronal akan tampak fossa Rossenmuller terletak
posterosuperior dari torus tubarius yang merupakan lokasi paling sering munculnya
karsinoma(gambar 2.3). Dinding posterior nasofaring memiliki kontur yang berundulasi
karena terdapat muskulus kapitis longus prevertebra.14–16
Universitas Indonesia
9
pharyngeal, cabang arteri karotis eksternal dan drainase vena menuju pleksus vena
faring.17,18
2.2 Histologi Nasofaring
Perbedaan utama nasofaring dengan bagian faring lainnya adalah nasofaring dilapisi oleh
epitel respiratorik yang mengandung sel basal, sel goblet dan sel bersilia, sedangkan
orofaring dan laringofaring dilapisi epitel skuamosa berstratifikasi (gambar 2.4). Lamina
propria terdiri dari jaringan ikat irregular longgar hingga padat yang bervaskularisasi, di
dalamnya terdapat komponen kelenjar seromukosa dan limfoid. Lamina propia juga
menyatu dengan epymisium otot skeletal faring. Pada aspek posterior nasofaring, lamina
propria melapisi jaringan limfoid yang disebut tonsil faringeal.19,20
Gambar 2.4 Gambaran histologi nasofaring normal. Tampak nodul jaringan limfoid dan epitel skuamosa
berstratifikasi21
Manusia memiliki sebuah tonsil faringeal yang terletak di atap nasofaring. Sama
seperti tonsil palatina, tonsil faring memiliki kapsul, akan tetapi kapsul tersebut tidak
komplit dan lebih tipis. Tonsil faringeal tidak memiliki crypt melainkan lipatan dangkal
yang disebut pleats, yang merupakan muara duktus kelenjar seromukosa. Permukaan
tonsil faringeal dilapisi epitel kolumnar pseudostratifikasi bersilia yang di antaranya
diselingi bercak epitel skuamosa berstratifikasi (gambar 2.5).19,20
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia
11
2.4.1 Epidemiologi
Pada tahun 2012 terdapat 86.691 kasus KNF di seluruh dunia, 60.896 kasus penderita
laki-laki, 25795 penderita perempuan dengan rasio seks 2,36. Insidens global sekitar 1,2
per 100.000 penduduk, 1,7 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 0,7 per 100.000
penduduk untuk perempuan.2 Karsinoma nasofaring memiliki distribusi geografik yang
tidak seimbang dengan prevalensi tertinggi Asia Tenggara, tenggara Tiongkok , dan
Afrika Utara. Delapan puluh satu persen kasus baru berasal dari Asia dan 67 persen
Universitas Indonesia
12
diantaranya berasal dari Asia Tenggara.3 Indonesia menduduki urutan kedua terbanyak
kasus KNF di dunia setelah Tiongkok, sekitar 13.084 kasus, insidensi 5,7 per 100.000
penduduk untuk laki-laki dan 1,9 per 100.000 penduduk untuk perempuan, dua kali lipat
lebih tinggi dibandingkan insidensi global.24
Jumlah kematian akibat KNF di dunia tahun 2012 mencapai 50.831 kasus, 35,756
penderita laki-laki dan 15.075 penderita perempuan. Angka mortalitas global KNF sekitar
0,7 per 100,000 penduduk, 1 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 0,4 per 100.000
penduduk untuk perempuan. Lima negara dengan angka kematian tertinggi melingkupi
Tiongkok sebanyak 21.300 kematian, Indonesia 7.391 kematian, Vietnam 2.885
kematian, India 2.836 kematian dan Thailand 1114 kematian. Penyebab utama tingginya
angka kematian Indonesia karena keterlambatan diagnosis, 80% pasien yang didiagnosis
sudah dalam stadium lanjut.2,3
Pronosis pasien dengan KNF sangat ditentukan oleh perluasan penyakit. Pasien
dengan penyakit terlokalisasi memiliki angka harapan hidup 5 tahun sekitar 70-90%
sedangkan pasien dengan perluasan lokoregional hingga lanjut hanya memiliki angka
harapan hidup 10-50%. Dalam dua dekade terakhir, terapi untuk KNF telah berkembang
pesat dengan pemberian kemoterapi dan radioterapi. Insidens pasien dengan metastasis
sekitar 25-34% dengan angka kesintasan yang rendah.4,5
2.4.2 Etiologi
Penyebab utama sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, beberapa
faktor yang predisposisi KNF sebagai berikut :
1. Genetik. Riwayat keluarga yang menderita KNF berasosiasi kuat dengan
peningkatan resiko KNF. Ras cina cenderung memiliki kerentanan genetik terhadap
KNF. Walaupun sudah migrasi ke negara atau benua lain, masih tetap memiliki
insidens tinggi. Akan tetapi, insidens tersebut semakin menurun pada generasi
berikutnya. Human Leukocyte Antigen (HLA) merupakan gen manusia yang terbukti
berhubungan dengan KNF. Individu dengan alel HLA yang lemah disertai infeksi
Epstein-Barr Virus (EBV) dapat meningkatkan resiko KNF. Beberapa HLA yang
terbukti meningkatkan resiko KNF yaitu HLA-A2, B14, dan B46.3,17,18
2. Viral. Epstein-Barr Virus memiliki korelasi yang kuat dengan KNF terutama tipe
histologi II dan III. Infeksi EBV pada populasi umum sering terjadi tetapi hanya
Universitas Indonesia
13
2.4.3 Histopatologi
Mayoritas keganasan pada nasofaring berasal dari lapisan mukosa skuamosa, tipe
histologi lain berupa adenokarsinoma, karsinoma yang berasal dari kelenjar liur, sarkoma,
melanoma, dan keganasan hematologi padat. World Health Organization (WHO)
membagi karsinoma yang berasal dari mukosa skuamosa menjadi 3 tipe histologi :
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS) tidak berkeratin.
KSS jenis ini lebih banyak berhubungan dengan konsumsi tinggi makanan asin yang
diawetkan dengan kandungan nitrosamine yang tinggi. KSS tidak berkeratin memiliki
pola yang bervariasi, dari komponen padat, pulau-pulau irregular, trabekula, bercampur
dengan limfosit dan sel plasma. Terdapat 2 subtipe KSS tidak berkeratin, subtipe tidak
berdiferensiasi merupakan tipe yang lebih sering, karakteristik utama terdiri dari sel
tumor besar dengan bentuk sinsitial, nukleus vesikular bulat hingga oval, dan nukleus
sentral besar disertai kelompok sel epitelial yang sedang bermitosis . Nukleus dapat kaya
dengan kromatin dengan sitoplasma amfofilik atau eosinofilik. Sel ganas dapat berbentuk
spindel dan tersusun seperti fasikular (gambar 2.6). Subtipe berdiferensiasi menunjukkan
gambaran sel yang berstratifikasi dan rata, sering dengan pertumbuhan pleksiform,
dibandingkan dengan tipe tidak berdiferensiasi, ukuran sel tumor tampak lebih kecil.25,26
Universitas Indonesia
14
Gambar 2.6 Histopatologi karsinoma skuamosa sel tidak berkeratin subtipe tidak berdiferensiasi.
Sel ganas berbentuk spindel tersusun fasikular.25
Pembagian subtipe tersebut tidak memiliki nilai prognosis maupun klinis. Densitas
sel limfosit dan plasma di antara agregat sel tumor sangat bervariasi. Ketika sel inflamasi
tersebut sangat banyak, akan memecah tumor menjadi kluster kecil sehingga sulit untuk
mengidentifikasi sel epitelial tumor. Kelompok sel tumor juga dapat tersebar dan tertutup
oleh nukleus dan sitoplasma ampfofilik atau eosinofilik yang padat. Sepuluh persen kasus
dapat ditemukan globulus amiloid yang tersebar di intra dan ekstraseluler (gambar 2.7).
25,26
Gambar 2.7 Histopatologi Karsinoma Sel Skuamosa tidak berkeratin subtipe tidak berdiferensiasi
(A) disebut limfoepitelial karsinoma dengan karakteristik sel tumor yang terpisah menjadi agregat kecil
oleh sel limfoid sehingga sulit mengidentifikasi gambaran epithelial pada neoplasma. (B) diantara sel
karsinoma dengan nukleus vesikular tampak juga sel tumor dengan bentuk mengisut dan nukleus terwarna
gelap. (C) Contoh gambaran globulus amyloid di antara sel tumor.25
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
A B
C D
Universitas Indonesia
17
temporoparietal (saraf kranial V) dan tuli konduktif disebut trias Trotter. Ringkasan
lokasi keterlibatan dengan gejala yang timbul dapat dilihat pada gambar 2.10.17,18
Gambar 2.10 Skema korelasi rute penyebaran (area hijau) dengan gejala klinis (area biru) karsinoma
nasofaring. 17
Universitas Indonesia
18
Kategori M Kriteria M
M0 Tumor primer tidak dapat dinilai
M1 Metastasis jauh
Tis T0 T1 T2 T3 T4
N0 0 I II III IVA
M0 N1 II II II III IVA
N2 III III III III IVA
N3 IVA IVA IVA IVA IVA
M1 IVB IVB IVB IVB
2.4.6 Tatalaksana
Terapi KNF dapat mencakup radioterapi, kemoterapi atau kombinasi keduanya dan
didukung dengan terapi simtomatik sesuai gejala (tabel 2.5). Radioterapi yang banyak
digunakan saat ini adalah Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3D-CRT) dan
Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) dengan dosis 6000-7000 cGy. Kemoterapi
biasa digunakan pada stadium III dan IV dengan dikombinasikan dengan radioterapi ,
konkuren neoadjuvan atau ajuvan pasca radioterapi. Kemoterapi Cisplatin atau cisplatin
dengan 5-FU paling sering digunakan, baik untuk kontrol locoregional tumor maupun
kontrol metastasis.1,17,30
Universitas Indonesia
19
Stadium Terapi
I Radioterapi definitif pada nasofaring dan radioterapi elektif pada leher
Uji klinis
atau
II dan III Radiokemoterapi konkuren diikuti kemoterapi adjuvant
atau
Kemoterapi induksi diikuti kemoradioterapi
atau
Kemoradioterapi konkuren tanpa diikuti kemoterapi adjuvan
III Uji klinis
atau
Kombinasi kemoterapi berbasis platinum dilanjutkan dengan radioterapi ke
lesi primer dan leher atau kemoradioterapi sesuai indikasi klinis.
atau
Kemoradioterapi konkuren.
Universitas Indonesia
20
Metastasis kelenjar limfa sering terjadi pada KNF bahkan pada tumor dengan
ekstensi yang tidak terlalu luas. Metastasis kelenjar limfe di regio retrofaringeal lateral,
level II, III dan V terjadi pada 80-90% pasien, 35-50% bilateral. Metastasis jauh terjadi
pada 5-40% kasus terutama metastasis ke tulang, paru dan hati.15
Gambar 2.12 Skema sagittal dan aksial potensial jalur penyebaran (tanda panah) karsinoma nasofaring. 32
Gambar 2.13 CT scan kontras karsinoma nasofaring, perluasan perineural sepanjang nervus maksilaris. 32
Universitas Indonesia
21
Perbedaan KNF dengan jaringan adenoid yang prominen dimana biasanya jaringan
adenoid tidak pernah meluas melebihi mukosa dan di anterior tidak mencapai batas
belakang lamina pterygoid medial. Akan tetapi, nasofaringitis kronis dan KNF kadang
dapat tampak mirip pada gambaran CT sehingga selalu butuh korelasi klinis.31,32
2.5.1 Epidemiologi
Hipertrofi adenoid lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa dimana
adenoid biasanya mengalami regresi dan atrofi saat usia remaja sekitar usia 16 tahun.
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan peningkatan insidens hipertrofi adenoid pada
orang dewasa sebagai salah satu penyebab obstruksi nasal.33 Laki-laki lebih sering
dibandingkan perempuan (70%), kemungkinan karena aktivitas luar rumah dan paparan
polutan yang lebih sering. Mayoritas kasus berhubungan dengan infeksi dan alergi seperti
infeksi menurun(descending) dalam 33% kasus, infeksi naik (ascending) 20% dan rinitis
allergi 30% kasus. Sekitar 21% obstruksi nasal orang dewasa disebabkan oleh adenoid
hipertrofi.34 Arslan et al23 melakukan penelitian pada 1074 pasien (500 wanita, 574 laki-
laki) yang dilakukan nasofaring dari Juni 2011 hingga Juni 2017, sebesar 996 kasus
(92,7%) dengan hasil nasofaringitis kronis yang merupakan gambaran histopatologi
hipertrofi adenoid pasien dewasa.
Universitas Indonesia
22
2.5.2 Etiologi
Hipertrofi adenoid dapat disebabkan oleh penyebab infeksi maupu non-infeksi. Penyebab
infeksi meliputi patogen virus dan bakteri. Pathogen virus yang berhubungan dengan
adenoid hipertrofi seperti adenovirus, coronavirus, coxsackievirus, cytomegalovirus
(CMV), Epstein-Barr virus (EBV), herpes simplex virus, parainfluenza virus, dan
rhinovirus. Pathogen bakteri seperti spesies alpha-, beta-, and gamma-hemolytic
Streptococcus, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus aureus,
Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheriae, Chlamydophila pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Fusobacterium, Peptostreptococcus, dan Prevotella. Penyebab
non-infeksius terutama pada orang dewasa meliputi refluks gastroesofageal, alergi, dan
paparan asap rokok. Pada orang dewasa, hipertrofi adenoid juga kemungkinan tanda
kondisi yang lebih serius seperti infeksi HIV, limfoma, dan keganasan sinonasal.33,34
2.5.3 Histopatologi
Gambaran histopatologi hipertrofi adenoid orang dewasa berbeda dengan pada anak-
anak. Hipertrofi adenoid orang dewasa memiliki infiltrasi sel inflamasi kronis yang
prominen disertai perubahan sekunder seperti metaplasia skuamosa permukaan
epithelium, fibrosis, kista retensi, dapat juga disertai nekrosis tetapi jarang (gambar
2.14).35–37 Beberapa penulis mengkategorikan gambaran seperti ini sebagai nasofaringitis
hipertrofi kronis atau adeinoitis kronis.38
Universitas Indonesia
23
C1
C2
2.5.5 Tatalaksana
Terapi awal hipertrofi adenoid akut dan kronis karena infeksi adalah penggunaan
antibiotik. Golongan beta laktamase seperti amoksisilin merupakan pilihan utama. Jika
infeksi berulang dapat diberikan beta laktamase dengan asam klavulanik. Alternatif bagi
penderita yang alergi penisilin adalah klindamisin atau azitromisin. Adenoidektomi
merupakan terapi bedah untuk hipertrofi adenoid, terutama pasien dengan obstruksi nasal
berulang atau persisten.33
Universitas Indonesia
24
Gambar 2.15 CT scan hipertrofi adenoid potong koronal (kanan) dan aksial (kiri). 41
Universitas Indonesia
25
suatu sel tumor menyerupai sel parenkim aslinya, baik morfologi maupun fungsi. Sel
tumor ganas akan memiliki diferensiasi sel yang luas dan sangat berbeda dengan sel
parenkhim aslinya dan sebaliknya untuk sel tumor jinak. Sehingga tumor yang terdiri dari
sel tidak berdiferensiasi disebut anaplastik dan merupakan indikator handal untuk
keganasan. Istilah anaplasia secara harfiah berarti “formasi ke belakang”, artinya
dediferensiasi, atau kehilangan struktur dan fungsi diferensiasi sel normal. Beberapa ciri-
ciri morfologi sel anaplastik sebagai berikut :42
- Pleomorfisme, bentuk dan ukuran bervariasi (gambar 2.17 A).
- Abnormalitas nukleus, sangat hiperkromatik (dark staining), ukuran dan bentuk
nukleus bervariasi, nukleus tunggal atau multipel yang luar biasa prominen.
- Timbul tumor giant cells yang ukuran tampak sangat besar dibandingkan sel di
sekitarnya.
- Mitosis atipikal (gambar 2.17 B).
- Kehilangan polaritas, tidak tampak lagi pola yang dapat dikenal, struktur komunal
telah hilang, seperti struktur glandula atau skuamosa bertingkat.
A B
Sebagian tumor ganas dapat memiliki sel dengan diferensiasi masih baik, sel tersebut
masih mempertahankan kemampuan fungsional normalnya, sedangkan tumor dengan sel
anaplastik hampir tidak memiliki aktifitas fungsional spesifik tertentu. Sebagai contoh
tumor jinak atau tumor ganas berdiferensiasi baik dari kelenjar endokrin akan
memproduksi hormon seperti sel aslinya, KSS berdiferensiasi baik akan memproduksi
keratin (gambar 2.18).42
Pertumbuhan tumor ganas akan diikuti oleh infiltrasi progresif, invasi, dan destruksi
dari jaringan di sekitarnya sedangkan kebanyakan tumor jinak akan tumbuh menjadi
Universitas Indonesia
26
massa ekspansil dan berada di lokasi asalnya. Mayoritas tumor jinak akan memiliki
kapsul fibrosa yang melingkupi tumor sedangkan tumor ganas biasanya tidak memiliki
kapsul sehingga dengan gampang menginvasi jaringan di sekitarnya.42
Metastasis adalah penyebaran tumor ke lokasi yang terpisah dari tumor primer dan
sekaligus menandakan suatu tumor bersifat ganas. Tumor ganas dapat menyebar dengan
3 cara yaitu seeding pada kavitas tubuh, penyebaran limfatik, dan hematogenik.
Penyebaran limfatik lebih sering terjadi pada karsinoma, sedangkan penyebaran
hematogenik lebih sering pada sarkoma.42
Angiogenesis adalah mekanisme pembentukan pembuluh darah baru dari
pembuluh darah yang sudah ada untuk memperdarahi pertumbuhan tumor ganas. Proses
ini distimulasi ketika jaringan tumor membutuhkan nutrisi dan oksigen. Angiogenesis
diregulasi oleh keseimbangan antara faktor aktivator dan inhibitor. Faktor aktivator utama
yaitu Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Platelet Derived Growth Factor
(PDGF), Fibroblast Growth Factor (FGF), Epidermal Growth Factor (EGF),
Transforming Growth Factor (TGF); Matrix metalloproteinases (MMPs); Tumor
Necrosis Factor (TNF) dan Angiopoetins. Proses angiogenesis dimulai dengan
“angiogenic switch”, sehingga tumor memperoleh kemampuan untuk tumbuh dan
diseminasi ke luar dari lokasi primer. Angiogenic switch yang diaktivasi oleh hipoksia,
hipoglikemia, stress mekanis, dan inflamasi, akan melalui beberapa tahapan, mulai dari
pelepasan perivascular dan pelebaran pembuluh darah, pertumbuhan angiogenik,
perkembangan dan pembentukan pembuluh darah baru, dan pengerahan sel perivaskular
(gambar 2.19). Pada kondisi fisiologis, angiogenesis disebabkan oleh sinyal iskemik dan
hipoksia, tetapi pada kondisi keganasan, tumor menghasilkan faktor aktivator yang
dominan sehingga proses angiogenesis menjadi tidak terkontrol dan berlebih.
Pertumbuhan pembuluh darah baru menginduksi ekspansi massa. Akan tetapi, kondisi
faktor aktivator yang berlebih ini menyebabkan jaringan vaskular baru yang terbentuk
tidak sempurna sehingga kaliber pembuluh darah heterogen, aliran darah tidak
terorganisasi dengan baik, disertai malformasi dari vaskular. Distribusi darah yang tidak
merata menimbulkan daerah dengan kondisi hipoksia persisten. Perubahan permeabilitas
vaskular tumor dengan peningkatan tekanan cairan interstisial karena disrupsi sambungan
endotelial. Sebagian pericytes terlepas dari sel endotelial pada vaskular tumor, dan
membran basal terdistribusi tidak merata menyebabkan kerapuhan vaskular dan
Universitas Indonesia
27
cenderung mudah mengalami perdarahan. Defek fungsi dan integritas vaskular tersebut
sangat mempengaruhi microenviroment tumor (gambar 2.20).43–45
Universitas Indonesia
28
Gambar 2.20 Karakteristik morfologi dan fungsional vaskular tumor dibandingkan pembuluh darah normal.
(a) Vaskular normal dengan sel endotelial menyanggah membran basal dan sel pericyte saling bertautan
dengan ikatan stabil. (b) Vaskular tumor tampak ikatan sel endotelial, pericyte, dan membran basal yang
tidak teratur. (c) Gambaran vaskular abnormal dengan pewarnaan imunofloresens CD31(marker) pada
glioma tikus.43
Universitas Indonesia
29
Universitas Indonesia
30
Gambar 2.22 Diagram 2 gambar pola berbeda tetapi histogram grey-level yang sama.9
2.7.1.1 Mean
Mean merupakan rerata nilai grey-level di dalam ROI.52
2.7.1.3 Skewness
Skewness menilai asimetri dari histogram, dapat bernilai positif atau negatif. Skewness
negatif mengindikasikan ekor dari sisi kiri histogram lebih panjang daripada sisi kanan
dan sebaliknya jika positif, ekor di sisi kanan histogram lebih panjang daripada sisi kiri.
Nilai nol akan muncul jika nilai terdistribusi secara rata pada kedua sisi nilai mean.
Skewness dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus,
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 3
∑
𝐸 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂)
3
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅2 ))
(√𝐸 ∑ 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
Dimana HISTO(i) menunjukkan jumlah voxel dengan intensitas i, E adalah total jumlah
̅̅̅̅̅̅̅̅̅ adalah rerata grey-level di dalam histogram.51,52
voxel di dalam ROI, 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
2.7.1.4 Kurtosis
Kurtosis menilai ketajaman puncak histogram, dapat bernilai positif atau negatif. Positif
menunjukkan puncak histogram lebih tinggi daripada distribusi normal, sebaliknya jika
negatif, puncak histogram lebih rendah daripada distribusi normal. Kurtosis dapat
dikalkulasi dengan rumus,
Universitas Indonesia
31
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 4
∑
𝐸 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂)
4
1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅2 ))
(𝐸 ∑ 𝑖(𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂(𝑖) − 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
Dimana HISTO(i) menunjukkan jumlah voxel dengan intensitas i, E adalah total jumlah
̅̅̅̅̅̅̅̅̅ adalah rerata grey-level di dalam histogram.51,52
voxel di dalam ROI, 𝐻𝐼𝑆𝑇𝑂
Universitas Indonesia
32
Gambar 2.23 Empat arah sudut yang dikalkulasi untuk menilai hubungan spasial pasangan voxel.48
Gambar 2.24 Contoh gambar dengan 8 tingkat intensitas grey-level dikonversi menjadi grey-level co-
occurrence matrix ke 3 arah.
(A-C)Gambar grey-scale (kiri) dan dikonversi menjadi grey-level co-occurrence matrix dengan sudut
horizontal(A), diagonal (B) dan vertikal(C). Angka dalam gambar grey-scale mempresentasikan intensitas
grey-level dari 1 (hitam) hingga 8(putih). Kolom dan baris pada grey-level co-occurrence matrix yang
berkorespondensi mempresentasi intensitas grey-level sedangkan selnya menunjukkan jumlah pasangan
dengan intensitas grey-level tersebut, contoh pada gambar (A) pasangan dengan intensitas grey-level 2 dan
4 yang terletak satu sama lain secara horizontal muncul sebanyak 8 kali. 54
Universitas Indonesia
33
2.7.2.1 Homogeinity
Nama lainnya adalah Inverse Difference Moment. Parameter ini menilai kedekatan
distribusi elemen GLCM terhadap diagonal GLCM, dengan kata lain menilai kelancaran
(smoothness) distribusi pasangan grey-level dalam gambar atau ROI. Gambaran dengan
kontras yang rendah akan memiliki nilai homogeinity yang tinggi. Range nilai
Homogeinity 0 s.d. 1, Matriks GLCM dengan nilai terdistribusi pada diagonal memiliki
nilai 1.46,51,53,55 Homogeinity GLCM dapat dikalkulasi dengan rumus,
GLCM(i,j)
Rerata dari 13(3D) atau 4(2D) arah (∑ ∑ )
1+|i-j|
i j
2.7.2.2 Energy
Parameter ini disebut juga Uniformity atau Angular Second Moment, berfungsi menilai
keseragaman (Uniformity) atau keteraturan (Orderliness) distribusi pasangan grey-level
voxel dari gambar atau ROI. Jika intensitas grey-level voxel sangat mirip maka semakin
tinggi nilai energy. Gambar yang seragam akan memiliki transisi grey-level sehingga
uniformity maksimal akan tercapai jika hanya ada 1 intensitas grey-level dalam suatu
gambar. Range nilai Energy 0 s.d. 1, gambar konstan memiliki nilai 1.46,50,53,55,56 Energy
GLCM dapat dikalkulasi dengan rumus,
2.7.2.3 Contrast
Contrast disebut juga Variance atau Inertia menilai variasi intensitas grey-level pasangan
voxel pada gambar atau ROI. Semakin tinggi nilai Contrast menandakan semakin banyak
noise dan kerutan pada gambar. Range nilai contrast 0 s.d. ((ukuran GLCM,1)-1)^2)
Secara persepsi visual, Contrast menentukan perbedaan warna dan kecerahan suatu objek
terhadap objek yang lain dalam gambar yang sama.46,50,51,53,55,56 Contrast GLCM dapat
dikalkulasi dengan rumus,
2.7.2.4 Entropy
Parameter ini menilai keserampangan (randomness) distribusi pasangan grey-level voxel
pada gambar atau ROI. Nilainya mencapai maksimal semua elemen GLCM memiliki
Universitas Indonesia
34
nilai yang sama, sehingga gambar yang heterogen akan memiliki nilai Entropy yang
tinggi. Range nilai entropy 0 s.d 2Log2(ukuran GLCM).46,50,51,53,55,56 Entropy GLCM
dapat dikalkulasi dengan rumus,
dimana ε=2e-16.
2.7.2.5 Correlation
Correlation menilai ketergantungan linear (linear dependency) dari pasangan grey-level
voxel pada gambar atau ROI. Parameter ini menilai bagaimana hubungan linear antara
voxel utama atau voxel disekitarnya pada arah yang berbeda. Gambar dengan contrast
tinggi biasanya memiliki correlation yang rendah. Range nilai correlation -1 s.d. 1,
dalam kondisi gambaran konstan nilainya NaN. Correlation GLCM dapat dikalkulasi
dengan rumus,
(𝑖 − 𝜇𝑖 ). (𝑗 − 𝜇𝑗 ). 𝐺𝐿𝐶𝑀(𝑖, 𝑗)
Rerata dari 13(3D)atau 4(2D)arah (∑ ∑ )
𝜎𝑖 . 𝜎𝑗
𝑖 𝑗
dimana 𝜇𝑖 atau 𝜇𝑗 koresponden dengan rerata baris i atau kolum j , sedangkan 𝜎𝑖 dan
𝜎𝑗 koresponden dengan varians baris i atau kolum j. 46,50,51,53,55,56
Secara umum semakin tinggi heterogenitas suatu gambar maka nilai semakin tinggi
nilai contrast dan entropy, semakin rendah nilai homogeinity, energy dan correlation .
Contoh beberapa gambar dengan nilai parameter teksture yang berbeda dapat dilihat pada
gambar 2.25.58
Universitas Indonesia
35
Gambar 2.25 Contoh gambar dengan nilai parameter tekstur tinggi dan rendah berdasarkan formula yang
dikembangkan Haralick.58
Gambar A dan B berbeda pada nilai voxel, dimana A dengan nilai contrast rendah, homogeinity tinggi dan
sebaliknya untuk gambar B. Gambar C dan D berbeda pada regularitas perubahan nilai voxel
mengakibatkan nilai energy tinggi dan Entropy rendah pada C, dan sebaliknya untuk D. Gambar E dan F
berbeda pada jumlah perubahan nilai voxel antara voxel putih dan berwarna sehingga gambar E memiliki
nilai correlation tinggi dan rendah untuk gambar F.
A B
Gambar 2.26 Parameter tekstur pada dua gambar pencitraan satelit yang berbeda. 53
Universitas Indonesia
36
Contoh lain dapat dilihat pada gambar 2.26 dimana terdapat 2 buah gambar hasil
pencitraan satelit, gambar kiri (A) adalah contoh gambar padang rumput (grassland) dan
gambar kanan (B) adalah contoh gambar badan air (water body). Tiga parameter GLCM
dinilai pada masing-masing gambar yaitu energy, contrast dan correlation. Energy adalah
penilaian terhadap homogenitas, gambar B terlihat sebagai suatu gambaran yang
homogen sangat sedikit transisi grey-level pada voxel sedangkan gambar A malah
sebaliknya. Akibatnya gambar B memiliki nilai energy yang lebih tinggi dibandingkan
gambar A. Contrast menilai variasi lokal grey-level pada gambar, sehingga jika
dibandingkan gambar A memiliki variasi yang lebih banyak dibandingkan gambar B
maka nilai contrast gambar A lebih tinggi dibandingkan B. Correlation menilai hubungan
linear dari voxel. Kedua gambar memiliki nilai correlation relatif tinggi pada sudut
horizontal, sepanjang garis pencitraan. Gambar B komponen badan air yang memiliki
grey-level konstan disertai beberapa noise di sekitarnya, yang kelihatan tidak memiliki
korelasi dengan komponen badan air, sehingga secara keseluruhan nilai correlation
gambar B lebih rendah dibandingkan A. Jika diperhatikan dengan lebih seksama, gambar
memiliki banyak struktur linear pada sudut diagonal (45°) dibandingkan dengan sudut
vertical (90°) dan antidiagonal (135°) sehingga memiliki nilai correlation yang lebih
tinggi dibandingkan kedua sudut tersebut.53
Universitas Indonesia
37
Heterogenitas tumor dapat dinilai secara histologi atau pencitraan. Akan tetapi
selama ini, evaluasi heterogenitas secara pencitraan masih terbatas secara kualitatif
daripada kuantitatif. Alasannya beragam seperti masih kurangnya metodologi kuantitatif
yang baik dan hubungan yang jelas dengan biologi tumor.59
Penilaian histologi menggunakan evaluasi langsung dengan resolusi spasial tinggi
dari contoh jaringan yang diperoleh dari biopsi. Selain bersifat invasif dan juga sulit untuk
memperoleh jaringan yang tepat, biopsi rentan terhadap sampling errors. Dengan
berkembangnya teknologi, gambar yang dihasilkan dari pencitraan seperti CT scan dapat
diproses dengan TA untuk memperoleh data heterogenitas tumor secara kuantitatif.
Teknik tersebut memungkinkan penilaian dengan resolusi spasial yang baik, tidak invasif,
dapat dilakukan berulang, dan meliputi berbagai bagian tumor bahkan keseluruhan
tumor.59
Universitas Indonesia
38
Universitas Indonesia
39
2.10 LIFEx
LIFEx adalah perangkat lunak bebas yang digunakan untuk mengkalkulasi TA histogram
konvensional (first order), second order dan fitur bentuk dari berbagai modalitas
pencitraan seperti PET, SPECT, MR, CT dan USG. Perangkat lunak ini dikembangkan
oleh The French Alternative Energies and Atomic Energy Commision (CEA), Centre
national de la recherche scientifique (CNRS), Imagerie Moléculaire in Vivo (IMIV lab),
Universitas Indonesia
40
Universitas Indonesia
41
3. Pengaturan parameter TA yang akan dikalkulasi (lingkaran merah gambar 2.28 dan
gambar 2.29).
4. Peletakan ROI pada gambar dengan klik pada tombol Pencil2D (lingkaran hijau
gambar 2.27).
5. Setelah ROI sudah diletakkan (lingkaran merah muda gambar 2.27), lakukan texture
check untuk mengetahui validitas luas ROI oleh perangkat lunak (lingkaran biru
gambar 2.28), jika valid akan muncul keterangan OK di kiri bawah layar perangkat
lunak (gambar 2.30).
6. Klik tombol run (lingkaran hijau gambar 2.28) untuk memulai kalkulasi TA.
7. Hasil direkam oleh perangkat lunak dalam format CSV kemudian diimport ke
perangkat lunak Microsoft Excel menjadi bentuk tabel (gambar 2.31)
Universitas Indonesia
42
Universitas Indonesia
43
Universitas Indonesia
44
Infeksi
Genetik, Viral, Lingkungan (bakteri, virus) dan non-infeksi
(alergi, asap rokok,
Alternasi genetik epithelium
gastroesofageal refluks)
nasofaring
Nasofaringitis
KNF
CTTA Kronik
Morfologi Kualitatif
- Volume
- Simetrisasi
Infiltrasi
Limfadenopati
Cakupan Penelitian
Universitas Indonesia
45
CT Scan
CTTA
Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.3 Populasi
Populasi target penelitian ini adalah pasien dewasa dengan KNF dan nasofaringitis kronis
di Indonesia. Populasi terjangkau adalah pasien dewasa dengan KNF dan nasofaringitis
kronis yang dilakukan pemeriksaan CT scan nasofaring di Departemen Radiologi FKUI-
RSCM dengan menggunakan Multi Slice CT (MSCT) 256 slice Siemens® Somatom
Definition Flash, sejak tahun 2015 hingga 2019.
46
47
Universitas Indonesia
48
Universitas Indonesia
49
Analisis data
Universitas Indonesia
50
Universitas Indonesia
51
Universitas Indonesia
52
9. Hasil pengukuran ditabulasi dan dianalisis secara stastistik dengan perangkat lunak
SPSS versi 20.
Universitas Indonesia
53
Universitas Indonesia
54
Universitas Indonesia
55
3.11 Pendanaan
Peneliti tidak terikat kontrak atau dengan perjanjian tertentu dengan pihak manapun.
Biaya penelitian, pembuatan makalah, alat tulis, pengolahan dan penyimpanan data,
percetakan serta biaya tidak terduga ditanggung sendiri oleh peneliti.
Universitas Indonesia
56
BAB 4
HASIL
KNF NFK
Universitas Indonesia
57
Subjek laki-laki pada kedua kelompok lebih banyak daripada perempuan, terutama
pada kelompok KNF mencapai 71,4%. Rentang usia subjek kelompok KNF lebih banyak
pada usia 41-71 tahun (median 46 tahun) dan kelompok NFK pada usia 19-40 tahun
(median 30 tahun). Hasil histopatologi kelompok KNF mayoritas adalah karsinoma sel
skuamosa tidak berkeratin, tidak berdiferensiasi (tabel 4.2), sedangkan untuk perluasan
lesi mayoritas T2 (tabel 4.3).
Universitas Indonesia
58
Universitas Indonesia
59
BAB 5
PEMBAHASAN
Universitas Indonesia
60
Universitas Indonesia
61
intratumoral, dimana semakin besar tumor maka fraksi nekrosis semakin meningkat.
Peningkatan fraksi nekrosi kemudian menyebabkan hipoksia pada tumor yang menjadi
pemicu ekspresi VEGF.8,59,75
Universitas Indonesia
62
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Tidak terdapat perbedaan signifikan dari parameter histogram (mean, skewness, kurtosis)
dan parameter GLCM (homogeinity, energy, contrast, correlation, entropy) antara KNF
perluasan lesi T1 dan T2 dibandingkan NFK.
6.2 Saran
Untuk penelitian lebih lanjut disarankan menggunakan sampling kluster untuk masing-
masing subtype histopatologi KNF dan stadium KNF dengan jumlah dan proporsi yang
relatif sama antar subtype dan stadium, sehingga dapat dilakukan analisis subgrup,
mencari kemungkinan perbedaan parameter CTTA antar subgrup tersebut. Penggunaan
normalisasi data sehingga dapat dilakukan perbandingan data CT nasofaring dari mesin
CT dan protokol pemeriksaan yang berbeda, dengan demikian mempermudah pencarian
subjek penelitian. Penggunaan parameter second order yang lebih kompleks dapat
membantu menemukan perbedaan tekstur yang tidak ditemukan dari parameter TA lebih
sederhana seperti histogram dan GLCM yang digunakan pada penelitian ini.
Universitas Indonesia
63
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
64
10. Raghavan Nair JK, Vallières M, Mascarella MA, El Sabbagh N, Duchatellier CF,
Zeitouni A, et al. Magnetic Resonance Imaging Texture Analysis Predicts
Recurrence in Patients With Nasopharyngeal Carcinoma. Can Assoc Radiol J.
2019;70(4):394–402.
11. Qin Y, Yu X, Hou J, Hu Y, Li F, Wen L, et al. Predicting chemoradiotherapy
response of nasopharyngeal carcinoma using texture features based on intravoxel
incoherent motion diffusion-weighted imaging. Med (United States).
2018;97(30):1–7.
12. Kuno H, Qureshi MM, Chapman MN, Li B, Andreu-Arasa VC, Onoue K, et al.
CT texture analysis potentially predicts local failure in head and neck squamous
cell carcinoma treated with chemoradiotherapy. Am J Neuroradiol.
2017;38(12):2334–40.
13. Fujita A, Buch K, Li B, Kawashima Y, Qureshi MM, Sakai O. Difference between
HPV-positive and HPV-negative non-oropharyngeal head and neck cancer:
Texture analysis features on CT. J Comput Assist Tomogr. 2016;40(1):43–7.
14. Drake RL, Moses K, Vogl AW, Mitchell AW. Gray’s Anatomy for Students, Third
Edition. Gray’s Anat Students. 2014;
15. Prokop M, Galanski M. Spiral and Multislice Computed Tomography of the Body.
van der Molen AJ, Schaefer C, editors. New York: Thieme; 2011. 225–277 p.
16. Haaga JR, Boll DT. Pharynx. In: Mohan S, Arya S, Chandra T, Hoeffner E, editors.
CT and MRI of the Whole Body. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 651–83.
17. Dhingra P, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and
Neck Surgery. 7th ed. New Delhi: Elsevier; 2018. 269–286 p.
18. Stafford ND. Tumours of the nasopharynx. In: Hussain SM, editor. Logan Turner’s
Diseases of the Nose, Throat, and Ear Head and Neck Surgery. eleventh. Boca
Raton: CRC Press; 2016. p. 209–13.
19. Mescher AL. Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas. 14th ed. New York:
McGraw-Hill Education; 2016. 352 p.
20. Gartner LP. Textbook of Histology. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. 400 p.
21. Adam AA. Pathology of Nasopharyngeal Carcinoma in Sudanese Patients and its
Association with Epstein-Barr Virus: A Report from a Single Center in Khartoum.
Adv Tumor Virol. 2011;2(January 2011):1–6.
Universitas Indonesia
65
Universitas Indonesia
66
809.
33. Geiger Z, Gupta N. Adenoid Hypertrophy [Internet]. StatPearls Publishing. Texas;
2020 [cited 2020 Jul 21]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536984/
34. Rout MR, Mohanty D, Vijaylaxmi Y, Bobba K, Metta C. Adenoid Hypertrophy in
Adults: A case Series. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;65(3):269–74.
35. Finkelstein Y, Malik Z, Kopolovic J, Bernheim J, Djaldetti M, Ophir D.
Characterization of smoking-induced nasopharyngeal lymphoid hyperplasia.
Laryngoscope. 1997;107(12):1635–42.
36. Yildirim N, Şahan M, Karslioǧlu Y. Adenoid hypertrophy in adults: Clinical and
morphological characteristics. J Int Med Res. 2008;36(1):157–62.
37. Babu AR, Shetty TS, Bharathi MB, Joshi P. Evaluation and Management of Adult
Patients with Bilateral Nasal Obstruction Secondary to Adenoid Hypertrophy
using Endoscopic Adenoidectomy. Int J Contemp Med Res [Internet].
2016;3(6):1674–7. Available from: www.ijcmr.com
38. Kamel RH, Ishak EA. Enlarged adenoid and adenoidectomy in adults: Endoscopic
approach and histopathological study. J Laryngol Otol. 1990;104(12):965–7.
39. Kazikdas C, Gode S, Demirci M. Asymmetric adenoid hypertrophy in a patient
with ipsilateral rhinolithiasis: an overlooked entity? J Surg Case Reports.
2011;2(12):1–4.
40. King AD, Wong LYS, Law BKH, Bhatia KS, Woo JKS, Ai QY, et al. MR imaging
criteria for the detection of nasopharyngeal carcinoma: Discrimination of early-
stage primary tumors from benign hyperplasia. Am J Neuroradiol.
2018;39(3):515–23.
41. Singh I, Jain A, Prasad P, Rajpurohit P. Adenoid Hypertrophy in Adults: An
Underdiagnosed Entity? Arch Otolaryngol Rhinol. 2017;006–8.
42. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 10th ed. Philadelphia:
Elsevier Inc; 2018. 192–195 p.
43. Lugano R, Ramachandran M, Dimberg A. Tumor angiogenesis: causes,
consequences, challenges and opportunities. Cell Mol Life Sci [Internet].
2020;77(9):1745–70. Available from: https://doi.org/10.1007/s00018-019-03351-
7
Universitas Indonesia
67
Universitas Indonesia
68
Universitas Indonesia
69
Universitas Indonesia